• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Increasing Literacy in Indonesia (Fasli Jalal dan Nina Sardjunani,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Increasing Literacy in Indonesia (Fasli Jalal dan Nina Sardjunani,"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Increasing Literacy in Indonesia (Fasli Jalal dan Nina Sardjunani, 2005)

Laporan penelitian ini dibuat dalam rangka Education for All Global Monitoring Report tahun 2006 dengan tajuk Literacy for Life yang ditujukan kepada UNESCO. Laporan penelitian ini mengungkapkan kegelisahan serta menyuguhkan data-data terkait rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia. Penelitian ini tidak menelaah secara khusus mengenai perpustakaan sebagai instrumen yang berkaitan erat dengan program-program literasi, meski di dalamnya juga telah disinggung. Pada penelitian yang penulis susun, akan dibahas mengenai literasi namun mengkhusus pada literasi informasi di perpustakaan. Perbedaan lainnya ialah pada penelitian penulis akan dibahas secara khusus, bagaimana peran perpustakaan khususnya pustakawan dalam memanfaatkan literasi informasinya dalam memenuhi kebutuhan informasi pemustaka.

(2)

2.1.2 Evaluasi Berbasis Empowering Eight Terhadap Tingkat Literasi Informasi Mahasiswa (Roro Isyawati, 2013)

Skripsi ini disusun oleh Roro Isyawati Permata Ganggi, Program Studi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Skripsi ini sama-sama menggunakan model Empowering Eight dalam mengidentifikasi tingkat literasi informasi subjek penelitiannya dan menggunakan metode penelitian kuantitatif. Hasil dari penelitian Roro Isyawati ialah literasi informasi mahasiswa PGMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tergolong baik dengan nilai rata-rata 2,83 serta menyarankan untuk menggunakan model khusus agar literasi informasi di lokasi penelitian lebh terarah. Perbedaan skripsi ini dengan penelitian yang penulis susun terletak pada subjek dan metode peneltian yang digunakan. Skripsi Roro Isyawati meneliti mahasiswa Pendidikan Guru Madrasah Ibitidaiyah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga angkatan 2010/2011, sedangkan karya tulis ini meneliti tingkat literasi informasi pustakawan di Perpustakaan Daerah Kota Yogyakarta dan kaitannya dalam pemenuhan kebutuhan informasi pemustaka. Metode yang penulis gunakan pada penelitian ini ialah kualitatif dengan menggunakan model literasi informasi yang sama yakni Empowering 8.

(3)

2.1.3 Studi Literasi Informasi Pemustaka di Perpustakaan Kota Yogyakarta Berdasarkan Model Empowering 8 (Yulia Nurrahmah, 2013)

Skripsi ini disusun oleh Yulia Nurrahmah Program Studi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Meneliti tingkat literasi informasi pemustaka di Perpustakaan Kota Yogyakarta dengan model Empowering 8. Hasil penelitiannya yakni grand mean untuk literasi informasi pemustaka di Perpustakaan Kota Yogyakarta sebesar 2,85 dan secara umum cenderung kurang sesuai dengan model empowering 8. Penelitian Yulia menggunakan metode kuantitatif sedangkan penelitian yang penulis susun menggunakan metode kualitatif. Penulis menjadikan pustakawan sebagai subjek penelitian sedangkan pada skripsi Yulia, subjek penelitiannya adalah pemustaka di perpustakaan yang sama dengan lokasi penelitian penulis. Skripsi Yulia sebatas meniliti tingkat literasi informasi, sedangkan penelitian penulis mengaitkan tingkat literasi informasi pustakawan dalam pemenuhan kebutuhan informasi pemustaka.

2.2 Kerangka Konseptual

2.2.1 Pengertian Perpustakaan Umum

Perpustakaan umum memiliki peranan yang penting dalam kehidupan. Begitu pentingnya hingga UNESCO mengeluarkan manifesto perpustakaan umum pada tahun 1972 yang direvisi kembali pada tahun 1994. Menurut

(4)

manifesto tersebut, perpustakaan umum adalah sebuah pusat lokal informasi yang menyediakan kondisi pembelajaran seumur hidup, pengambilan keputusan yang independen, dan pengembangan budaya baik individu maupun komunitas.

Begitu pula dengan Sulistyo Basuki (2001), menyatakan bahwa perpustakaan umum ialah perpustakaan yang melayani penduduk secara gratis atau dengan pungutan bayaran minimal. Pengelolaan perpustakaan umum dibiayai oleh pemerintah atau oleh swasta. Pernyataan Sulistyo senada dengan definisi dari IFLA General Conference (1985), yang menjelaskan perpustakaan umum sebagai perpustakaan yang dibiayai oleh pemerintah daerah atau dalam hal tertentu oleh pemerintah pusat, juga badan lainnya yang memiliki wewenang untuk bertindak atau bertindak atas nama badan. Perpustakaan umum tersedia bagi siapa saja yang ingin menggunakannya tanpa bias atau diskriminasi.

Berdasarkan ketiga pengertian tersebut, dapat dipetik kesimpulan bahwa perpustakaan umum ialah sebuah perpustakaan yang menjadi pusat informasi bagi masyarakat lokal yang dibiayai oleh pemerintah daerah setempat atau dalam kasus tertentu, oleh badan lainnya yang memiliki wewenang untuk bertindak atas nama badan. Perpustakaan umum mengembangkan budaya pembelajaran seumur hidup serta menyediakan layanan informasi dengan asas persamaan akses bagi semuanya tanpa memandang agama, status sosial, ras, pandangan politik dan lain sebagainya.

(5)

Pada manifesto perpustakaan umum UNESCO (1994) tersebut, juga menyepakati bahwa misi utama perpustakaan umum tidaklah jauh dari melek huruf, informasi, pendidikan maupun kebudayaan. Adapun misi-misi tersebut, antara lain:

1. Menciptakan serta memperkokoh budaya baca di kalangan anak-anak sedari belia;

2. Membantu individu dan pendidikan swatindak serta formal di semua tingkatan;

3. Menyuguhkan peluang untuk mengembangkan kreativitas pribadi; 4. Merangsang imajinasi dan kreativitas anak-anak serta kawula muda;

5. Membangkitkan kesadaran akan warisan budaya, apresiasi atas seni, perolehan ilmiah, dan inovasi;

6. Menyediakan akses untuk ekspresi kultural dari seluruh seni pertunjukan; 7. Menjaga dan membina dialog antarbudaya dan menoleransi keberagaman

budaya;

8. Menyokong tradisi lisan;

9. Menjaga dan menjamin hak akses warga negara terkait semua informasi komunitas;

10.Menyediakan jasa informasi untuk perusahaan lokal, asosiasi, dan kelompok yang berkepentingan secara berkecukupan;

11.Memberikan fasilitas untuk pengembangan informasi serta keterampilan melek komputer;

(6)

12.Membantu dan turut serta dalam aktivitas ataupun program literasi bagi semua kelompok usia dan menjadi pionir dalam aktivitas tersebut bilamana perlu.

Melalui butir-butir tersebut, tersirat bahwa perpustakaan umum memiliki peranan yang vital sebab merupakan satu-satunya pranata kepustakawanan yang dapat dijangkau oleh umum. Sebagaimana disebutkan di atas, disoroti bahwa perpustakaan umum memiliki misi untuk memberantas iliterasi (ketidakberaksaraan), mengembangkan serta membudayakan literasi informasi di kalangan masyarakat. Perpustakaan Daerah Kota Yogyakarta dalam fungsinya sebagai perpustakaan umum, tentu perlu menjalankan misi -misi di atas, khususnya dalam hal pengembangan dan pembudayaan literasi informasi.

2.2.2 Pengertian Pustakawan

Pustakawan sebagai perpanjangan tangan perpustakaan, wajib mengemban misi-misi perpustakaan. Pustakawan menurut Sulistyo (2010) adalah tenaga professional yang mengemban tugas untuk mengelola perpustakaan, mengorganisir materi perpustakaan, supaya nantinya dapat diberdayakan oleh pemustaka. Pustakawan merupakan sebuah profesi, khususnya kelompok profesi informasi.

Pernyataan tersebut tidak berbeda jauh dengan pendapat Aziz (2006), pustakawan ialah ahli perpustakaan yang juga merupakan tenaga profesi dalam bidang informasi, terutama informasi untuk publik yang disediakan

(7)

melalui lembaga kepustakawanan yang meliputi berbagai jenis perpustakaan. Lain halnya menurut kode etik Ikatan Pustakawan Indonesia, yang menjabarkan bahwa pustakawan ialah seseorang yang melakukan kegiatan kepustakawanan dengan cara memberikan pelayanan jasa kepada publik sesuai dengan tugas lembaga induknya dengan berdasar ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi yang dimiliki melalui pendidikan.

Bila demikian, dari ketiga pengertian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pustakawan adalah seseorang yang berkompeten dalam bidang kepustakawanan, memiliki pendidikan pepustakaan, tenaga profesi dalam bidang informasi, dan bekerja di perpustakaan serta diberikan tanggung jawab, tugas, wewenang, dan hak oleh lembaga induk atau pejabat terkait yang memiliki wewenang.

Pustakawan sebagai penggerak perpustakaan perlu menjadi mediator dan katalisator dalam pengembangan serta pembudayaan literasi informasi. Pentingnya peran tersebut, menjadikan literasi informasi sebagai kemampuan mutlak yang perlu dimiliki oleh pustakawan. Ini pula yang mendasari, mengapa kemampuan literasi informasi pustakawan perlu ditelusuri. Pada karya tulis ini, yang ditelusuri adalah seluruh pustakawan di Perpustakaan Daerah Kota Yogyakarta.

2.2.3 Literasi Informasi

Deskripsi mengenai literasi informasi telah menjelma menjadi beragam bentuk dari tahun ke tahun. Tokoh yang dianggap sebagai pencetus pertama

(8)

istilah literasi informasi adalah Paul Zurkowski dalam laporannya ke US National Commission on Libraries and Information Science pada awal tahun 1970-an, sedangkan deskripsi yang paling familiar mengenai literasi informasi ialah hasil studi Christina Doyle pada awal tahun 1990-an dan laporan akhir Presiden Komite ALA (American Library Association) mengenai literasi informasi.

1. Pengertian Literasi Informasi

Literasi informasi menurut Christina Doyle (1992) ialah kemampuan untuk mengakses, mengevaluasi dan menggunakan informasi dari beragam sumber. Sebelumnya, pada tahun 1989, American Library Association (ALA) memaparkan bahwa untuk menjadi seseorang yang literat dalam informasi, seseorang perlu mengetahui kapan suatu informasi dibutuhkan serta memiliki kemampuan untuk menemu kembali, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara efektif. Orang-orang yang literat dalam informasi adalah mereka yang sudah belajar bagaimana cara “belajar.” Mereka tahu cara “belajar” karena mereka mengetahui bagaimana sebuah informasi dikelola.

Salah satu definisi mengenai literasi informasi dari Chartered Institute of Library dan Information Professionals (CILIP) yang disepakati oleh Dewan CILIP tahun 2004. Menurut CILIP, literasi informasi merupakan kemampuan seseorang untuk mengetahui kapan dan mengapa suatu informasi dibutuhkan, dimana mencarinya, bagaimana cara mengevaluasi, menggunakan serta mengomunikasikan suatu informasi secara etis.

(9)

Melalui tiga definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa literasi informasi adalah kemampuan untuk menemu kembali, mengevaluasi, menggunakan, menciptakan suatu informasi secara efektif guna mencapai berbagai tujuan, baik individu maupun sosial, serta mampu mempertanggunjawabkan informasi bersangkutan secara etis. Adapun cakupan kemampuan yang menurut CILIP seharusnya dipahami oleh seseorang yang literat informasi antara lain; mengenali kebutuhan akan informasi, mengenali sumber-sumber referensi yang tersedia, mengakses dan menemu kembali informasi, mengevaluasi informasi hasil temuan, mengelola informasi, menggunakan informasi secara bertanggung jawab, mengomunikasikan atau membagi informasi yang ditemukan kepada orang lain, dan menyimpan informasi tersebut dengan baik.

Delapan butir yang disebutkan di atas merupakan himpunan kemampuan yang perlu dipahami oleh seorang literat dalam informasi, yang kemampuan tersebut kemudian digunakan untuk memecahkan problematika sehari-hari serta mengasah pemikiran kritis.

b. Model Literasi Informasi

Komponen-komponen seorang literat dalam informasi dapat diidentifikasi dengan model-model literasi informasi. Keberadaan suatu model dapat pula menunjukkan hubungan-hubungan antar komponen. Terdapat empat model literasi informasi yang masyhur hingga saat ini, yakni Empowering 8, Seven Pillars of Information Literacy, Seven Faces of

(10)

Information Literacy, dan The Big 6. Adapun deskripsi dari masing-masing model literasi informasi:

1. Empowering 8

Model ini dicetuskan sekaligus disepakati pada International Workshop on Information Skills for Learning tahun 2004 di Colombo, Sri Lanka. Model ini digunakan untuk negara-negara Asia Tenggara dan Selatan.

Tabel 2.1 Model Empowering Eight

Langkah Komponen Hasil Pembelajaran yang Didemonstrasikan

1 Identifikasi - Menentukan subjek atau topik

- Menentukan dan memahami sasaran penyajian

- Memilih format yang relevan untuk produk akhir

- Mengidentifikasi kata kunci - Merencanakan strategi

penelusuran

- Mengidentifikasi berbagai jenis sumber, dimana informasi bersangkutan memungkinkan ditemukan

2 Eksplorasi - Menentukan lokasi sumber yang

sesuai dengan pilihan topik

- Menemukan informasi yang sesuai dengan pilihan topik

- Melakukan wawancara, kunjungan lapangan atau penelitian di luar lainnya

3 Seleksi - Memilih informasi yang relevan

- Menentukan sumber mana saja yang terlalu mudah, terlalu sukar

(11)

atau sesuai

- Mencatat informasi yang relevan dengan cara membuat catatan atau membuat pengorganisasi visual seperti kartu, grafik, bagan atau garisan, dan sebagainya

- Mengidentifikasi tahapan dalam proses

- Mengumpulkan sitiran yang sesuai

4 Organisasi - Memilah informasi

- Membedakan antara fakta, pendapat, dan khayalan - Mengecek bias dalam

sumber-sumber

- Mengatur informasi yang diperoleh dengan urutan logis - Menggunakan pengorganisasian

visual untuk membandingkan atau mengontraskan informasi yang didapat

5 Menciptakan - Menyusun informasi sesuai

dengan opini dalam cara yang bermakna

- Merevisi dan menyunting sendiri atau bersama pembimbing

- Finalisasi format bibliografis

6 Presentasi - Mempraktekkan aktivitas

penyajian

- Berbagi informasi dengan pihak yang sesuai

- Memaparkan informasi dalam format yang tepat sesuai sasaran - Menyusun dan menggunakan

peralatan yang sesuai

7 Penilaian - Menerima masukan dari siswa lain

- Swa-akses kinerja dalam

penanggapan dan penilaian dari pihak guru

- Merefleksi seberapa jauh keberhasilan yang telah mereka

(12)

2. Seven Pillars of Information Literacy

Pada tahun 1999, SCONUL (Standing Conference of National and University Libraries) di Inggris menyepakati sebuah model literasi infomasi bernama Seven Pillars of Information Literacy atau Tujuh Pilar Kemelekan informasi.

Tabel 2.2 Model Seven Pillars of Information Literacy

Pengetahuan Perpustakaan Dasar

dan Kemampuan Teknologi Informasi

Mengenali kebutuhan informasi

Kemelekan Informasi

Membedakan cara mengatasi kesenjangan Membangun strategi lokasi informasi Menentukan lokasi dan akses informasi

Membandingkan dan mengevaluasi Mengorganisasi, menerapkan, dan

mengomunikasikan Sintesis dan penciptaan

lakukan

- Menentukan apakah masih perlu suatu keterampilan baru

- Pertimbangkan apa yang dapat dilakukan lebih baik pada kesempatan berikutnya

8 Aplikasi - Meninjau masukan dan penilaian

- Menggunakan masukan dan penilaian untuk keperluan pembelajaran atau aktivitas berikutnya

- Mendorong menggunakan

pengetahuan yang diperoleh dari berbagai situasi

- Menentukan keterampilan yang dapat diterapkan pada subjek - Menambahkan produk pada

portofolio produksi

(13)

3. Seven Faces of Information Literacy

Christine Bruce sekitar tahun 1997-an menggunakan pendekatan informasi terhadap informasi. Tiga strategi yang ia usulkan yakni, ancangan prilaku, ancangan konstrukvis, dan ancangan relasional. Adapun tujuh wajah literasi informasi yang ia paparkan, tertera pada tabel berikut:

Tabel 2.3 Model Seven Faces of Informmation Literacy

Kategori satu:

Konsepsi teknologi informasi

Literasi informasi dipandang sebagai penggunaan teknologi informasi guna menemu kembali informasi dan komunikasi Kategori dua:

Konsepsi sumber ke informasi

Literasi informasi dipandang sebagai cara menemukan informasi yang berada di sumber informasi

Kategori tiga:

Konsepsi proses informasi

Literasi informasi dipandang sebagai pelaksanaan sebuah proses

Kategori empat:

Konsepsi pengendalian informasi

Literasi informasi dipandang sebagai pengendalian informasi

Kategori lima:

Konsepsi konstruksi pengetahuan

Literasi informasi dipandang sebagai pembentukan basis pengetahuan dan perspektif pribadi pada bidang baru yang diminatinya

Kategori enam:

Konsepsi perluasan pengetahuan

Literasi informasi dipandang sebagai penciptaan karya dengan pengetahuan dan perspektif pribadi yang digunakan

sedemikian rupa hingga mencapai wawasan baru

Kategori tujuh: Konsepsi kearifan

Literasi informasi dipandang sebagai cara menggunakan informasi dengan bijak demi kemudaratan orang lain

(14)

4. The Big 6

Model ini dikembangkan oleh Michael B. Eisenberg dan Robert E. Berkowitz pada tahun 1988. The Big 6 dicantumkan dalam terbitan Curriculum Initiative: An Agenda Strategy for Library Media Programs. Berikut gambarannya dalam tabel:

Tabel 2.4 Model Big 6

1. Definisi tugas

Definisikan masalah informasi yang dihadapi

Identifikasi informasi yang diperlukan 2. Strategi mencari informasi

Menentukan semua sumber yang mungkin

Memilih sumber terbaik 3. Lokasi dan akses

Tentukan lokasi sumber secara intelektual maupun fisik

Menemukan informasi dalam sumber 4. Menggunakan informasi

Hadapi, misalnya membaca,

mendengar, mengamati, menyentuh Ekstrak informasi yang relevan

5. Sintesis

Mengorganisasikan informasi dari berbagai sumber

Sajikan informasi

6. Evaluasi

Nilai produk yang dihasilkan dari segi efektivitas

Nilai proses dan efisiensi

Keempat model literasi informasi di atas memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, serta dapat digunakan dalam kondisi-kondisi tertentu. Model literasi informasi yang digunakan sebagai tolak ukur dalam penelitian ini adalah Empowering 8, sebab dari keempat model tersebut,

(15)

model Empowering 8 yang dianggap cocok diaplikasikan di negara-negara berkembang karena memperhatikan kondisi dan budaya setempat.

2.2.4 Pengertian Kebutuhan Informasi

Peningkatan taraf hidup mengakibatkan peningkatan pada kebutuhan informasi manusia dalam berkehidupan. Pada era ini, kebutuhan informasi manusia semakin kompleks. Konsep mengenai kebutuhan informasi ini kerap disandingkan dengan model perilaku informasi. Wilson (1981) menyatakan bahwa model perilaku informasi yang mengkhusus pada penemuan informasi merupakan konsekuensi dari kebutuhan pengguna akan informasi, termasuk upaya mereka dalam memenuhi kebutuhannya itu dengan hasil berupa kegagalan atau keberhasilan dalam menemukan informasi yang relevan.

Kebutuhan informasi dapat dikatakan unsur dari perilaku informasi, namun tidak secara langsung dapat berubah menjadi perilaku informasi. Wilson (1981) mengungkapkan bahwa kebutuhan informasi perlu dipicu dengan konteks kebutuhan, mekanisme pengaktifan pertama, variabel perantara, lingkungan dan mekanisme pengaktifan kedua. Belkin dalam Ishak (2006) menyatakan bahwa suatu kebutuhan informasi muncul pada saat kita mengetahui tingkat pengetahuan mengenai suatu kondisi atau topik tertentu masih kurang dan kita berhasrat untuk mengatasi kekurangan itu. Keterbatasan pengetahuan inilah yang mendorong seseorang untuk mencari informasi. Sedangkan Wilson (1981) beranggapan bahwa munculnya kebutuhan

(16)

informasi dipengaruhi oleh kebutuhan pribadi yang meliputi kebutuhan afektif, fisiologi ataupun kognitif.

Berdasarkan gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan informasi seseorang didasari oleh suatu kondisi pribadinya yang dipengaruhi oleh internal maupun eksternalnya, di mana ia menyadari memiliki keterbatasan akan pengetahuan yang dimilikinya dan kemudian berkeinginan untuk mencari informasi lebih lanjut. Konsep kebutuhan informasi ini menjadi cukup samar sebab menyangkut psikologi personal, tetapi tidak menutup kemungkinan bagi para peneliti yang ingin membuat kajian mengenai topik ini. Sarasevic dan kawan-kawannya (1988) menyampaikan dalam karya tulis mereka beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penelitian mengenai kebutuhan informasi, yaitu:

1. Persepsi mengenai permasalahan yang dihadapi

Perlu ditelaah bagaimana responden melihat permasalahan yang mereka hadapi atau hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhannya.

2. Rencana penggunaan informasi

Manakala seseorang membutuhkan suatu informasi, tentunya mereka telah memiliki rencana bagaimana akan mendayagunakan informasi tersebut.

3. Relevansi pengetahuan seseorang dengan kebutuhannya

Melihat jurang antara apa yang sudah diketahui dan apa yang belum diketahui oleh seseorang terhadap suatu informasi.

(17)

4. Dugaan ketersediaan informasi

Ketika seseorang membutuhkan informasi, mereka memiliki bayangan ke mana atau pada siapa harus mencari informasi tersebut.

2.3. Model Penelitian

Adapun tahapan atau langkah-langkah penelitian yang dilakukan di lapangan, sebagai berikut:

Gambar 2.1 Model Penelitian

Wawancara informan (pustakawan dan

pemustaka)

Observasi

Analisis data dan penarikan kesimpulan

Gambar

Tabel 2.1 Model Empowering Eight
Tabel 2.2 Model Seven Pillars of Information Literacy
Tabel 2.3 Model Seven Faces of Informmation Literacy
Tabel 2.4 Model Big 6
+2

Referensi

Dokumen terkait

18 Fischer menyebutkan bahwa “rasa takut merupakan emosi yang timbul pada situasi stress dan tidak menentu (uncertainty) sehingga orang merasa dirinya terancam atau tidak berdaya

Peningkatan Kreativitas melalui Pendekatan Tematik dalam Pembelajaran Seni Grafis Cetak Tinggi Bahan Alam di SD Sistem pendidikan Sekolah Dasar, sebagaimana diungkapkan

Jenjang SMK telah berlalu kala itu penyaji bersekolah di SMK N 8 Surakarta (dulu SMKI) lalu ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu ISI Surakarta. Maka penyaji

9uru "ersama sis(a meluruskan kesalah pahaman4 mem"erikan penguatan dan

REFOLIS ISKANDAR Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Karena kadar IgG4 ibu menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan dengan kadar IgG4 pada bayi yang dilahirkan, maka bayi yang lahir dari ibu yang

Pasal 13: Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden

Populasi jabon putih dari wilayah NTB (Lombok Barat dan Sumbawa) mempunyai nilai keragaman yang lebih tinggi dibandingkan nilainya dari wilayah Sumatera (Sumatera Barat dan