• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korelasi IgG4 Antifilarial pada Ibu Hamil dan Bayi yang Dilahirkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Korelasi IgG4 Antifilarial pada Ibu Hamil dan Bayi yang Dilahirkan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Korelasi IgG4 Antifilarial pada Ibu Hamil dan Bayi yang Dilahirkan

Angela Christina*, Heri Wibowo**

* Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

** Staff Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Abstrak

Filariasis limfatik adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing nematoda, dapat terjadi di berbagai usia termasuk anak-anak, dan menyebabkan kecacatan sementara dan permanen. Biasanya, pasien dengan infeksi filarial aktif memiliki kadar IgG4 antifilarial yang tinggi, yang dapat diamati dengan pemeriksaan rutin. Penelitian ini bertujuan untuk memeriksa adanya transfer IgG4 via plasenta dan mengetahui penggunaan teknik serologi untuk diagnosis filariasis pada bayi sesuai/tidak untuk menghindari penggunaan obat yang tidak perlu. Ibu hamil dengan usia kehamilan trimester ketiga yang tinggal di area endemis filariasis (Desa Jati Sampurna dan Jati Karya) diukur kadar serum IgG4 dengan teknik ELISA. Setelah melahirkan, dilakukan pengukuran kadar serum IgG4 pada bayinya (n = 167). Sampel darah yang diukur sebanyak 4 mL, yang diambil pada pk 20.00 dari ibu dan bayinya (usia bayi < 7 hari). Kadar serum IgG4 dikelompokkan menjadi 2 (kelompok tinggi dan rendah) dengan batas 503,3750. Kadar IgG4 pada bayi berkorelasi positif secara signifikan dengan kadar IgG4 ibu (r = +0.236; p ≤ 0.05). Semakin tinggi konsentrasi IgG4 pada bayi, semakin tinggi kadar IgG4 pada bayinya. Juga didapatkan perbedaan yang signifikan antara rata-rata kadar IgG4 pada bayi yang ibunya memiliki kadar IgG4 yang tinggi dengan yang rendah (p = 0.004). Setiap bayi yang memiliki kadar IgG4 tinggi (n = 118), ternyata dilahirkan oleh ibu yang memiliki kadar IgG4 yang tinggi. Tingginya kadar IgG4 selama masa bayi (<1 tahun) tidak mengindikasikan adanya infeksi filariasis pada bayi tersebut. Kadar IgG4 diperkirakan meningkat karena adanya transfer IgG4 melalui plasenta, oleh sebab itu, teknik serologi tidak direkomendasikan untuk mendiagnosis infeksi filariasis pada bayi.

Kata kunci : Antifilarial, IgG4, bayi, transplasenta

Abstract

Lymphatic filariasis is a painful infectious disease caused by nematode worms. The infection is usually acquired in childhood and causing temporary or permanent disability. Typically, patients with active filarial infection will have their antifilarial IgG4 level elevated, which can be observed using routine assay. In order to suppress the parasite’s activity, antihelmintic drugs must be taken. But, these drugs have considerable side effect to children, such as GI disturbance. This study aim to investigate the transplacental transfer of IgG4 and whether or not serologic techniques are adequate to diagnosie filarial infection in infants and to avoid the unnecessary drugs use. Pregnant women in third trimester residing in filarial endemic area (Jati Sampurna and Jati Karya Village) were measured serum IgG4 level using ELISA technique. Several months later, their infants IgG4 serum level is measure as well (n

(2)

= 167). Four millimeters blood samples were taken at 8 PM from mother and her infant (before 7 days of age). Serum IgG4 level is classified into 2 groups (high and low) by using cut off point 503,3750. There was a significant positive correlation between high serum IgG4 concentration in their mother and her infant (r = +0.236; p ≤ 0.05). The higher IgG4 concentration in mother, the higher IgG4 concentration in their infant. There was also a significant difference between the mean IgG4 concentration in infant whom mother has high level serum IgG4 and low (p = 0.004). Infants, with have high level of serum IgG4 (n = 118), each has a mother with high serum IgG4 level as well. High level of antifilarial IgG4 during infancy (<1 year) does not necessarilly indicate an filarial infection in said infant. The serum IgG4 level is likely to elevated due to the transplacental transfer of maternal IgG4, and thus serologic technique are not recommended in diagnosing filarial infection in infants.

Keywords : Antifilarial, IgG4, infant, transplacental PENDAHULUAN

Filariasis merupakan penyakit infeksi parasit cacing filaria.1 Filariasis ditularkan oleh semua jenis nyamuk (jenis nyamuknya antara lain Culex, Anopheles, Mansonia dan Aedes).1 Cacing filaria yang paling banyak menularkan filariasis di Indonesia adalah Brugia malayi, Brugia timori dan Wucheria brancofti.1 Infeksi parasit ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, yang kemudian berkembang menjadi cacing dewasa di pembuluh limfatik, mengakibatkan kerusakan yang parah dan pembengkakan (lymphoedema).2 Elephantiasis adalah tanda klasik dari penyakit stadium lanjut dengan manifestasi klinis berupa pembengkakan yang menyakitkan pada kaki dan organ genital.2 Infeksi filariasis dapat diobati, namun, kondisi kronis dapat tidak terobati oleh obat anti-filarial dan membutuhkan penanganan khusus, seperti operasi untuk hydrocele.2 Filariasis bila tidak diobati dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin.3 Akibat cacat menetap tersebut, penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung

kepada orang lain sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara.1,3

Di dunia, lebih dari 120 juta orang sedang terinfeksi filariasis, dengan sekitar 40 juta cacat dan lumpuh karena penyakit ini.4 Di Indonesia filariasis juga masih merupakan masalah kesehatan masyarakat.1 Hingga tahun 2008, jumlah kasus kronis filariasis mencapai 11.699 kasus di 378 kabupaten/kota.1 Sebanyak 316 dari 471 kabupaten/kota secara epidemiologis telah terpetakan sebagai endemis filariasis.1 Dari hasil pemetaan tersebut, didapatkan prevalensi mikrofilaria di Indonesia 19% dari seluruh populasi Indonesia. Artinya, dari seluruh populasi masyarakat di Indonesia yang berjumlah 220 juta orang, maka terdapat 40 juta orang di dalam tubuhnya mengandung mikrofilaria. Individu yang memiliki mikrofilaria itulah yang menjadi sumber penularan filariasis.1 Berdasarkan sifat penyakitnya, banyak penduduk yang terinfeksi tanpa menunjukkan gejala.3 Pada filariasis limfatik kronis, terjadi regulasi sistem imunitas yang kompleks terhadap W. bancrofti dan B. malayi, yaitu berupa penurunan respon sel T terhadap antigen mikrofilaria dan berkurangnya produksi

(3)

interferon gamma.5 Kurangnya korelasi antara intensitas mikrofilaremia dan risiko lymphedema menunjukkan bahwa respon imun mungkin berperan dominan dalam menentukan kerusakan akibat infeksi filaria.5

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian yang berbasis pada data sekunder yang diperoleh dari data hasil penelitian utama yang dikerjakan secara cross-sectional. Data-data tersebut digunakan untuk menilai adanya korelasi antara distribusi IgG4 antifilaria pada ibu hamil dengan distribusi IgG4 antifilaria pada bayi yang dilahirkannya.

Analisis dimulai dengan mengakses data titer IgG4 pada ibu hamil dan pada bayi yang dilahirkannya. Untuk mengetahui IgG4 transplasental dari ibu ke bayi dilakukan uji korelasi bivariat. Besar korelasi dinyatakan dengan “r” dan dianggap signifikan pada alfa 0,05. Jika kedua set data berdistribusi normal, data dianalisa menggunakan uji korelasi bivariated dengan uji pearson. Dan jika data tidak berdistribusi normal, analisa akan dilakukan dengan uji spearman. Data yang digunakan adalah kadar IgG4 ibu hamil sebagai variabel independen dan IgG4 bayi sebagai variabel dependen. Setelah melakukan analisis menggunakan SPSS, hasil kemudian disimpulkan.

HASIL

Kelurahan Jati Sampurna dan Jati Karya termasuk kecamatan Jati Sampurna terletak di Bekasi, Jawa Barat. Kedua kelurahan ini adalah area suburban yang endemis terhadap Wuchereria bancrofti. Sebagian besar penduduk bermata

pencaharian sebagai buruh bayaran di sekitar Bekasi. Kebersihan lingkungan pada kedua kelurahan ini tergolong buruk, di mana hasil pembuangan rumah tangga ditampung di sekitar rumah, yang berpotensi menjadi tempat berkembangbiak nyamuk Culex quinquefasciatus, vektor W. bancrofti. Penelitian dilakukan pada ibu hamil trimester 3 yang diambil darahnya, sekitar 266 orang namun hanya 167 bayi yang dapat diperiksa sehingga terdapat 99 data yang hilang. Darahnya kemudian diperiksa kadar IgG4 antifilariasis dengan pemeriksaan parasitologi dan pengukuran antibodi. Hasil pengukuran antibodi kemudian diklasifikasikan berdasarkan nilai batas (cut off point) sebesar 503,3750, yang diperoleh menggunakan analisis ROC (terlampir), menjadi 2 kelompok yaitu ibu dengan status IgG4 antifilaria yang tinggi dan yang rendah.

IgG merupakan antibodi yang ditransfer melalui plasenta dengan jumlah yang signifikan dibandingkan keempat kelas antibodi lainnya. Pada bayi baru lahir, kadar antibodi IgG biasanya berkorelasi dengan ibunya. IgG terdiri dari 4 subkelas, yaitu IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4, yang keberadaannya diperkirakan berespon berbeda untuk antigen yang berbeda dan afinitas yang berbeda terhadap reseptor FcRn (untuk mentranspor IgG).6

Untuk melihat korelasi status IgG4 antifilaria ibu dengan status IgG4 antifilaria bayi yang dilahirkannya digunakan uji spearman dan didapatkan koefisien korelasi r= 0,24, p= 0,000 (Gambar 3). Dari hasil yang didapatkan dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara status IgG4 antifilaria ibu dengan status IgG4 antifilaria bayi yang

(4)

dilahirkannya. Hal ini berarti, semakin tinggi kadar IgG4 pada ibu, semakin tinggi juga kadar IgG4 pada bayi yang dilahirkannya.

Gambar 3. Grafik korelasi antara IgG4 antifilaria pada ibu hamil dan bayi yang dilahirkannya

Karena kadar IgG4 ibu menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan dengan kadar IgG4 pada bayi yang dilahirkan, maka bayi yang lahir dari ibu yang memiliki kadar IgG4 tinggi cenderung melahirkan bayi yang rerata kadar IgG4 antifilarianya juga tinggi dan sebaliknya. Hasil analisis tertera pada gambar 4

Gambar 4. Grafik Rerata Status IgG4 Bayi yang Dilahirkan dari Ibu yang Tinggi dan Rendah

Pada Asymp. Sig. (2-tailed) .004 (p<0.05), menunjukkan hasil signifikan. Jadi uji Mann-Whitney dilakukan untuk menegaskan bahwa terdapat perbedaan rerata yang bermakna antara status IgG4 antifilaria bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan status IgG4 antifilaria tinggi dengan ibu yang status IgG4 antifilaria rendah.

Baik dari uji Spearman maupun uji Mann-Whitney, dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya kadar IgG4 pada bayi sangat tergantung dari IgG4 ibunya. Dan kadar IgG4 antifilaria bayi yang lahir dari ibu dengan status kadar IgG4 tinggi signifikan lebih tinggi dibanding kadar IgG4 bayi yang lahir dari ibu dengan status kadar IgG4 rendah. Dengan demikian, melalui analisis hipotesis penelitian dapat diterima. DISKUSI

Manusia memiliki 5 kelas imunoglobulin yang dibedakan oleh 5 tipe major rantai berat. IgG atau imunoglobulin G, adalah Ig yang paling banyak di cairan ekstraselular. IgG berfungsi menetralkan toksin dan melawan mikroorganisme pada jalur komplemen C1 dan memfasilitasi pengikatan sel fagosit melalui reseptor C3b dan FcƔ. Reseptor FcƔ pada IgG sangat bervariasi, yang masing-masing memiliki spesialisasi dalam berbagai fungsi yang berbeda seperti fagositosis, sitotoksik antibodi, transpor via plasental, dan regulasi limfosit B.7

IgG ibu ditransfer melalui plasenta terutama pada trimester akhir pada masa kehidupan janin. IgG ibu juga diberikan p  =  0,004  

(5)

melalui ASI masuk ke usus dan beredar dalam sirkulasi neonatus pada awal kehidupan. Melalui kedua cara tersebut, IgG ibu memberikan perlindungan utama bagi fetus dalam kandungan juga pada beberapa minggu pertama kehidupan. Keseimbangan kadar IgG diatur oleh FcRn, reseptor yang memasukkan IgG dari lumen usus ke dalam sirkulasi darah neonatus.7

Berdasarkan analisis antigen, IgG memiliki 4 subkelas yaitu IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4. Konsentrasi IgG4 paling kecil dibanding ketiga subkelas yang lain, yaitu 0,5 mg/ml, dan hanya 4% dari total IgG serum.7 Kadar IgG4 serum pada individu yang sehat dapat bervariasi secara signifikan.8 IgG4 memiliki waktu paruh 23 hari.7 Sama seperti subkelas IgG lain, IgG4 juga dapat ditransfer melalui plasenta.7 Antibodi IgG4 memiliki struktural dan sifat fungsional yang unik. Di dalam tubuh, IgG4 mengalami ‘half-antibody exchange’ sehingga terjadi rekombinasi antibodi yang terdiri dari 2 tempat pengikatan yang spesifik dan berbeda.8,9 Produksi antibodi IgG4 dipengaruhi oleh sitokin yang dihasilkan T-helper 2 yang juga memediasi respon alergi dan produksi IgE. Sel Treg diperkirakan berkontribusi dalam mensupresi penyakit alergi dengan supresi IgE dan induksi IgG4.8,10

Seperti IgG rhematoid factor (RF), aktivasi IgG4 juga terjadi oleh adanya interaksi dengan IgG. Namun, berbeda dengan RF konvensional, aktivasi IgG4 terletak pada domain konstannya. Hal ini berpotensi sebagai sumber dari positif palsu pada hasil pemeriksaan IgG4.9

Karena regulasi produksi IgG4 dipengaruhi oleh peran sel T-helper 2

(Th2), respon IgG4 sangat terbatas pada antigen non-mikrobial. Ketergantungan pada Th2 berhubungan dengan respon IgG4 dan IgE. Regulasi imun IgG4 juga cenderung hanya muncul setelah imunisasi jangka panjang (prolonged immunization). Dalam konteks alergi yang dimediasi IgE, keberadaan antibodi IgG4 biasanya berhubungan dengan penurunan gejala. Hal ini tampaknya disebabkan oleh efek blok alergen pada tingkat sel mast dan/atau pada tingkat antigen-presenting cell (dengan mencegah aktivasi IgE oleh sel T).9

Peningkatan produksi IL-10 dan sitokin anti-inflamasi lain menyebabkan peningkatan produksi IgG4. IgG4 diperkirakan tidak menyebabkan gejala alergi, malahan, keberadaan alergen-spesifik IgG4 mengindikasikan adanya mekanisme anti-inflamasi dan mekanisme induksi toleransi yang telah teraktivasi.9 Pada filariasis ditemukan peningkatan kadar IgG4 sehingga, saat ini telah dikembangkan metode diagnosis dengan menggunakan IgG4. Namun sayangnya, deteksi antibodi tidak dapat membedakan infeksi lampau dan infeksi aktif. Pada stadium obstruktif, mikrofilaria sering tidak ditemukan lagi di dalam darah. Kadang-kadang mikrofilaria tidak dijumpai dalam darah, tetapi ada di dalam cairan hidrokel atau cairan kiluria.11,12 Pada hasil penelitian kali ini menunjukkan adanya korelasi antara IgG4 ibu dengan bayi yang dilahirkan, yang berarti IgG4 pada bayi diperkirakan berasal dari transfer transplasenta dan belum tentu menunjukkan adanya infeksi filaria pada bayi. Hal ini didukung oleh Roitt IM dan Delves PJ dalam bukunya yang berjudul Essensial Immunology, bahwa memang

(6)

IgG4 ibu dapat ditransfer melalui plasenta.7 Oleh sebab itu dalam pengukuran IgG4 pada bayi harus diperhatikan faktor yang dapat mempengaruhi kadarnya, seperti infeksi yang terjadi pada ibunya, juga waktu paruh antibodi, serta usia bayi dapat menghasilkan antibodi sendiri.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, nilai koefisien korelasi pada IgG4 memiliki nilai yang kecil yaitu, 0,24. Artinya, memang nilai tersebut menunjukkan adanya peningkatan kadar IgG4 pada bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan kadar IgG4 tinggi karena adanya transfer transplasental, hanya saja korelasinya tidak kuat. Hal ini diperkirakan karena adanya variasi waktu pengambilan sampel darah ibu yang terlalu lebar, ada yang diambil darahnya pada awal trimester ketiga, ada yang pada trimester tiga akhir, akibatnya, nilai korelasinya kecil.

Hasil penelitian ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Fratamico PM. Menurut penelitian Fratamico PM, sensitisasi prenatal terhadap antigen parasit dapat muncul in utero pada bayi yang lahir dari ibu yang mengalami mikrofilaremia. Akibatnya, bayi tersebut memiliki toleransi terhadap antigen filaria, termasuk respon terhadap infeksi di kemudian hari dalam hidup mereka, sehingga kadar antibodinya berbeda dengan bayi yang baru pertama kali terinfeksi filaria.13

Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa penetapan status infeksi filaria berdasarkan IgG4 pada bayi (neonatus) tidak direkomendasikan, karena kadar IgG4 yang ditemukan belum tentu disebabkan oleh infeksi atau sensitisasi

prenatal tetapi bisa terjadi oleh transfer dari ibu hamil yang terinfeksi.

Dengan mempertimbangkan waktu paruh antibodi, sebaiknya penetapan status infeksi filaria berdasrkan IgG4 pada bayi dilakukan pada saat usia bayi di atas 1 tahun atau jika pemeriksaan infeksi filaria harus dilakukan pada neonatus atau kruang dari 1 tahun maka sebaiknya digunakan pemeriksaan antigen.

KESIMPULAN

Dari hasil dan diskusi, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa (1) Tinggi rendahnya kadar IgG4 antifilaria pada ibu hamil yang tinggal di daerah endemis dapat mempengaruhi tinggi rendahnya IgG4 antifilaria pada bayi yang dilahirkan. (2) IgG4 dapat ditransfer dari ibu ke bayi melalui plasenta sehingga apabila bayi yang baru lahir memiliki status IgG4 yang tinggi tidak pasti menunjukkan adanya infeksi pada bayi, tapi bisa didapat dari ibu.

SARAN

Berdasarkan hasil dari penelitian ini, penulis menyarankan pengujian status IgG4 pada bayi pada sebaiknya setelah bayi tersebut berusia lebih dari 1 tahun. Dan untuk pengembangan penelitian mengenai topik yang sama sebaiknya pengambilan darah untuk pemeriksaan status IgG4 ibu hamil sebaiknya dilakukan pada usia gestasi yang sama, diharapkan agar mendapat nilai korelasi yang lebih tinggi.

PENUTUP

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drs. Dr. Heri Wibowo, M. Biomed yang telah membimbing dan mendukung

(7)

penelitian ini sampai akhir dan juga dr. Retno Asti, M. Epid yang telah memberikan kritik dan saran dalam memperbaiki kekurangan penelitian ini. Penulis juga berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penelitian ini dalam pelaksanaannya dari awal hingga akhir.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hasil investigasi kejadian ikutan paska pengobatan massal filariasis di Kabupaten Bandung [homepage on Internet]. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; [cited 2011 Feb 1]. Available from: http://www.depkes.go.id/index.php /berita/press-release/73-hasil- investigasi-kejadian-ikutan-paska- pengobatan-massal-filariasis-di-kabupaten-bandung.html.

2. World Health Organization. Filariasis [homepage on Internet]. WHO; c2012 [cited 2011 Sept 17].

Available from

http://www.who.int/topics/filariasis /en/.

3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Menkes canangkan pengobatan filariasis di Jawa Barat [homepage on Internet]. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; [cited 2011 Feb 1].

Available from:

http://www.depkes.go.id/index.php /berita/press-release/409-menkes- canangkan-pengobatan-filariasis-di-jawa-barat.html.

4. World Health Organization. Lymphatic filariasis [homepage on Internet]. WHO; c2012 [update 2011 March; cited 2011 Sept 17].

Available from:

http://www.who.int/mediacentre/fa ctsheets/fs102/en/.

5. Fratamico PM. Sequelae and long-term consequences of infectious disease. Washington DC: American Society for Microbiology, 2009. pg. 304-5. 6. Palmeira P, Quinello C,

Silveira-Lessa AL, Zago CA, Carneiro-Sampaio MC. IgG Placental Transfer in Healthy and Pathological Pregnancies. Hindawi. July 2011; 2012(985646).

7. Roitt IM, Delves PJ. Essensial immunology. 10th Ed. Massachusetts: Blackwell Publishing. p. 51-7.

8. Nirula A, Glaser SM, Kalled SL, Taylor FR. What is IgG4? A review of the biology of a unique immunoglobulin subtype. Curr Opin Rheumatol. 2011 Jan;[cited 2012 Aug 19];23:(1):119-24. 9. Aalberse RC, Stapel

SO, Schuurman J, Rispens T. Immunoglobulin G4: an odd antibody. Clin Exp Allergy. 2009

Apr;[cited 2012 Aug

19];39(4):469-77.

10. Meiler F, Klunker S, Zimmermann M, Akdis CA, Akdis M. Distinct regulation of IgE, IgG4 and IgA by T regulatory cells and toll-like receptors. Allergy. 2008 Nov;[cited 2012 Aug 19];63(11):1455-63.

(8)

11. Parslow TG, Stutes DP, Terr Al, Imboden JB. Medical immunology international edition. 10th ed. Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2003. p.95. 12. Hastini. Reaksi imunologi pada

perjalanan penyakit filariasis malayi dalam Cermin Dunia Kedokteran. Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma. Jakarta, 1994. p. 14.

13. Fratamico PM. Sequelae and long-term consequences of infectious disease. Washington DC: American Society for Microbiology, 2009. pg. 304-5.

Gambar

Gambar  3.  Grafik  korelasi  antara  IgG4  antifilaria  pada  ibu  hamil  dan  bayi  yang  dilahirkannya

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui sehat dan tidaknya mental seseorang, pada tahun 1959, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 1959) merumuskan kriteria jiwa atau mental yang

Terdapat hubungan antara motivasi dengan hasil belajar mahasiswa AMIK Jayanusa Padang karena dari tabel hasil pengolahan menggunakan spss diperoleh nilai sig = 0,009 yang berarti

Hasil pengujian menunjukkan PAD, DAK, dan SiLPA berpengaruh positif dan signifikan pada IPM sedangkan DAU tidak berpengaruh pada IPM di Kabupaten/Kota di Provinsi

Sebagai contoh ketika sejak dalam keluarga orang tua memberikan tauladan yang baik dan re- sponsif terhadap kebutuhan anak, sementa- ra kurikulum memfasilitasi

1) Pengaruh langsung variabel kualitas layanan terhadap variabel kepuasan orang tua dapat dilihat dari standardized coefficient beta adalah ρ 1 = 0,705 dengan

9. Menu makanan balita sebaiknya diatur berdasarkan a. Tidak ada jawaban yang benar 10. Jika anak kekurangan gizi maka.... Anak akan mudah terserang penyakit b. Air susu ibu

The AVTS Advanced version includes all the feature in AVTS Basic plus the powerful Test Editor, Dynamic Control (includes dynamic end-to-end testing capability, and waveform

The process of dis- covering and installing the appropri- ate application to obtain specific data can be assisted by a recommenda- tion service that takes into account the