• Tidak ada hasil yang ditemukan

Semangat Egalitarian Al-Qur’an dalam Otoritas Menginisiasi dan Prosedur Perceraian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Semangat Egalitarian Al-Qur’an dalam Otoritas Menginisiasi dan Prosedur Perceraian"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Pendahuluan

asus-kasus perceraian dewasa ini tidak hanya menjadi fenomena sosial yang menggejala, akan tetapi juga menjelma semacam komoditas media dengan pangsa pasar yang cukup menjanjikan. Berbagai kasus perceraianpublic figureyang cenderung berlarut-larut merupakan umpan besar bagi media untuk mendulang keuntungan sebanyak mungkin. Konsumen, di sisi lain, mengkonsumsi dan menikmati liputan-liputan tersebut secara terus-menerus tak ubahnya sinema elektron dengan episode-episode yang bersambung hingga di akhir cerita. Di antara beberapa kasus perceraian yang cukup menyita perhatian publik adalah perceraian (mantan) Bupati

SEMANGAT EGALITARIAN AL-QUR’AN

DALAM OTORITAS MENGINISIASI DAN PROSEDUR PERCERAIAN

Masyithah Mardhatillah

Institute ofSoutheast Asian Islam(ISAIs) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Jalan Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281, Indonesia eeta_mirza@yahoo.co.id

Abstract

This article aims to elaborate the egalitarian spirit of Quran on divorce authority and related procedures. It is generally believed that only men can initiate the divorce, whereas Quran also gives the same chance for women as told in QS. al-Baqarah (2): 229 through khulu’ concept. Therefore, this article is going to explore firstly the concept of divorce in Islam, including law and ethical procedures that related parties have to obey, particularly, husband and wife. The next discussion focuses on the concept of khulu’ and insights (method and rereading product of Quranic interpretation) among tafsir ahkam experts and feminists. Besides uncovering the same chance for husband and wife to initiate the divorce in the different condition and emphasis, those insights show that divorce should be the last choice to take. As a consequence, the authority initiated the divorce of husband and wife should not be based on self-interest and egoism, but egalitarian norms consideration for both parties.

Keywords:divorce initiative, divorce procedures, khulu’, egalitarian spirit of Quran Abstrak

Tulisan ini berupaya mengelaborasi semangat egalitarian Al-Qur’an dalam hal otoritas menginisiasi perceraian serta berbagai prosedur dalam praktik perceraian. Sejauh ini lumrah dipahami bahwa otoritas menginisiasi perceraian hanya dimiliki laki-laki

(suami). Padahal, dengan konsepkhulu’yang tertuang dalam QS. al-Baqarah (2): 229, Al-Qur’an juga menyiratkan kesempatan

yang sama bagi perempuan (istri). Untuk itu, tulisan ini akan terlebih dahulu memaparkan konsep perceraian dalam Islam termasuk prosedur-prosedur hukum maupun etis yang harus dijalankan pihak-pihak terkait. Setelah itu, barulah pembahasan akan difokuskan pada konsep khulu’ dalam Al-Qur’an berikut pandangan (meliputi metode serta produk pembacaan) para

penggiattafsir ahkammaupun para feminis terkait hal tersebut. Selain mengemukakan adanya kesempatan yang sama bagi

suami maupun istri dengan ketentuan dan penekanan yang berbeda, berbagai pembahasan tersebut menunjukkan bahwa perceraian benar-benar merupakan pilihan terakhir yang harus demikian dipertimbangkan. Karena itu, otoritas menginisiasi perceraian yang dimiliki suami maupun istri bukanlah untuk mengukuhkan egoisme pribadi masing-masing, akan tetapi lebih kepada upaya menegakkan norma-norma egalitarian bagi kedua belah pihak.

Kata kunci:Perceraian, Khulu’,Egalitarian Al-Qur’an, Gender

K

Garut, Aceng Fikri, dengan seorang perempuan yang dinikahinya secarasirri. Aceng diberitakan menceraikan perempuan tersebut melalui pesan singkat telepon seluler pada hari keempat pernikahannya. Pesan singkat tersebut menandakan berakhirnya pernikahan Aceng dengan perempuan yang diketahui bernama Fani Oktora (18).

Persoalan cerai merupakan salah satu di antara beberapa kasus kunci yang sekilas tampak sangat mensubordinasi perempuan. Dalam kasus Aceng, misalnya, Fani yang baru dinikahi harus menerima pernyataan cerai dari mantan suaminya. Penjatuhan cerai pun sekilas dilakukan tidak etis secara moral kendatipun secara agama diaggap sah dan memiliki konsekuensihukum.Kasus ini(semakin) menandaskan

(2)

otoritas tunggal laki-laki (suami) dalam persoalan perceraian yang dalam beberapa hal juga tampak cacat moral, sehingga perempuan (istri) tidak memiliki kuasa apapun bahkan untuk meminta klarifikasi dan atau negosiasi jika si suami telah menjatuhkan cerai. Terlepas dari kasus Aceng, konsep cerai dalam Islam sebenarnya merupakan konsep yang cukup integratif, sebab ada beberapatermyang sudah baku menjadi produk dan ketetapan hukum, misalnya term khulu’, faskh, talak ta’liq, bilangan talak, ruju’, dzihar, ‘iddahtalak dan lain sebagainya. Beberapa kasus perceraian di tanah air juga masih banyak yang sangat kental dengan nuansa lokalitas, misalnya ikrar nikah-cerai pada tokoh agama setempat dan Kantor Urusan Agama, konsep dan pembagian hartagono-gini, putusan talak yang tidak diterima oleh salah satu pihak dan karenanya mengajukan banding sehingga talak dianggap belum jatuh dan lain sebagainya. Karena itu, untuk tujuan efisiensi dan pembahasan yang terarah, tulisan ini akan fokus pada persoalan otoritas dan prosedur cerai di balik ayat-ayat talak serta semangat egalitarianisme al-Qur’an di baliknya. Sekilas, ayat-ayat al-Qur’an tentang perceraian menyiratkan otoritas tunggal laki-laki dalam perceraian dengan prosedur yang juga terkesan tidak memihak perempuan. Hal ini, utamanya bagi para feminis, dianggap bias gender sebab nasib istri maupun pernikahan seolah-olah berada sepenuhnya di tangan suami dan karenanya otoritas tersebut rentan disalahgunakan dengan cara-cara yang kurang etis.

Perceraian dan Berbagai Prosedurnya dalam al-Qur’an

Dalam Islam, perceraian menjadi semacam pilihan dan alternatif terakhir yang dilegalkan namun sangat tidak direkomendasikan. Hal ini diungkapkan dalam sebuah hadis yang mengatakan bahwa perceraian adalah perkara yang dibolehkan namun paling dibenci Allah.1Selain hadis tersebut, beberapa ayat al-Qur’an

juga menyiratkan tidak direkomendasikannya per-ceraian,misalnya QS.an-Nisa’(4): 35 yang menyarankan>

adanya mediasi yang sehat antara suami dan istri yang tengah didera konflik dan atau keinginan untuk

bercerai. Ayat lain yang serupa adalah QS. an-Nisa’(4): 19 yang menyiratkan perintah bagi para suami agar bersabar jika mereka mendapatkan hal-hal yang tidak menyenangkan dari istri.2

Selain itu, celaan terhadap praktikdzihardalam QS al-Muja>dilah (58): 1-4 juga menegaskan semangat emansipatoris al-Qur’an dalam hubungannya dengan pengangkatan derajat perempuan, kendatipun praktik tersebut sudah jarang sekali ditemukan di masyarakat dewasa ini. Berlandaskan beberapa ayat ini, muncul asumsi bahwa al-Qur’an sebenarnya mengatur perihal dan prosedur cerai sedemikian rupa untuk memberi cukup waktu dan kesepatan bagi pasangan suami istri dalam mempertimbangkan kembali rencana untuk bercerai. Asumsi tersebut di antaranya muncul dari Wahiduddin Khan, Morteza Mutahhari dan Muhammad Al-Ghazali. Wahiduddin Khan mengatakan bahwa mengesahkan sebuah ikatan pernikahan hanya membutuhkan waktu yang tidak kurang dari 10 menit, sedang mengesahkan ikrar cerai membutuhkan waktu sekitar tiga bulan (tiga masa sucian dalam masa‘iddah). Hal ini baginya tak lain merupakan metode al-Qur’an untuk mengen-dalikan dan memediasi pasangan yang ingin bercerai untuk mengurungkan niatnya.3

Mengenai ini, Morteza mengatakan bahwa ikrar pernikahan bisa diucapkan kapan saja, sedang ikrar cerai tidaklah demikian. Seorang suami dilarang menjatuhkan cerai kepada istrinya pada masa-masa tertentu, misalnya ketika si istri tengah menstruasi (QS at}-T{ala>q (65): 1).4Bagi Morteza, jika bukan untuk

1Sunan Abi Dawud, hadis nomor 2178 yang berasal

dari Ibnu Umar, sebagaimana dikutip dalam Yusuf Al-Qardhawy,Ruang Lingkup Aktivitas Wanita Muslimahterj. Moh. Suri Sudahri A (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996), 156.

2Hisako Nakamura, Perceraian Orang Jawaterj. Zaini

Ahmad Noeh (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983), 31.

3 Wahiduddin Khan, Agar Perempuan Tetap Jadi

Perempuan; Cara Islam Membebaskan Wanitaterj. Abdullah

Ali (Jakarta: Serambi, 2003), 256-257.

4Larangan menjatuhkan cerai pada masa menstruasi

hampir disetujui oleh semua ulama’. Amru Abdul Mun’im Salim,Fikih Talak Berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah terj. Futuhal Arifin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), 57-66. Ada beberapa faktor yang diduga menyebabkan larangan ini. Beberapa di antaranya adalah,pertama,pada masa mens-truasi, secara psikologis, perempuan banyak mengalami gangguan dan hal ini dimungkinkan akan mempengaruhi sikap dan atau tindakannya, sehingga suami tidak menye-nanginya dan terpancing untuk menjatuhkan cerai.Kedua,

tidak terjadi hubungan suami istri ketika perempuan menjalani masa menstruasi, sehigga hal ini dimungkinkan

(3)

mencegah terjadinya cerai, seharusnya larangan ini diberlakukan pada akad pernikahan dan bukannya pada perceraian, sebab hubungan suami istri tidak diperkenankan ketika seorang istri tengah menstruasi.5

Sementara itu, Muhammad al-Ghazali menegaskan bahwa Islam memandang perceraian dan seluruh prosedurnya sebagai wadah introspeksi bagi suami istri untuk kembali memikirkan dan meninjau ulang rencana untuk berpisah yang akan berakibat besar pada kehidupan mereka.6Asumsi al-Ghazali ini tentu

berkait erat dengan konsepruju’dan‘iddahyang umum dikenal dalam praktik talak.

Beberapa ayat di atas cukup jelas menunjukkan tidak direkomendasikannya perceraian melalui prosedur-prosedur yang ditetapkan. Hal ini sesuai dengan spirit moral al-Qur’an untuk menjaga silatur-rahmi (QS. an-Nisa’ (4): 1), sebab umumnya, perceraian>

sangat berpotensi memutuskan dan atau merenggang-kan ikatan silaturrahmi antara mantan istri dan suami maupun keluarga masing-masing pihak. Namun demikian, dalam keadaan yang sudah tidak bisa dikompromikan lagi, perceraian bisa menjadi pilihan danhal inidiaminidalam QS.an-Nisa’(4): 130.> 7Namun

demikian setelah perceraian pun, ada beberapa hal yang harus dipatuhi suami dan istri misalnya kewajiban suami untuk memberi nafkah dan atau tempat tinggal pada masa ‘iddah (QS. at}-T{ala>q (65): 6), memberi mut’ah (QS. al-Baqarah (2): 241) dan melunasi mas kawin yang belum terbayar (QS. al-Baqarah (2): 237).Beberapa prosedur ini menunjukkan

adanya stimulus dan dorongan bagi pasangan suami-istri untukruju’. Dengan tinggal serumah dalam masa ‘iddahdan nafkah lahir yang masih diberikan, baik suami maupun istri bisa berpikir lebih banyak dan matang untuk melakukanruju’sebelum masa ‘iddah berakhir.

Berbagai ayat yang tidak merekomendasikan talak serta ayat-ayat yang menyiratkan perintah untuk mempertimbangkan kembali perihal talak dalam masa-masa dilegalkannyaruju’ juga selaras dengan sakralitas pernikahan yang digariskan al-Qur’an. Al-Qur’an menganggap pernikahan tidak hanya sebagai sebuah lembaga yang melegalkan seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama, akan tetapi juga menyebutnya sebagaimis>#a>qan gali>za>(QS an-Nisa>’ (4): 21) atau perjanjian yang agung. Karena tinggi dan agungnya nilai pernikahan, berakhirnya ikatan pernikahan juga diarahkan sedemikian rupa agar tidak dilakukan dengan terburu-buru dan tanpa pertim-bangan yang matang, betatapapun perceraian sangat tidak dianjurkan. Meski tidak secara spesifik, al-Qur’an berulang kali menegaskan bahwa segala prosedur dalam talak hendaknya dilakukan dengan sebaik dan sewajar mungkin. (QS. al-Baqarah (2): 229, 231 dan al-Ah}za>b (33): 49).

Meski begitu, di balik semangat emansipatoris

al-Qur’an dalam perihal perceraian, beberapa ayat menandaskan bahwa hanya suamilah yang berhak dan berkewenangan menjatuhkan cerai. Hal ini kemudian memunculkan wacana otoritas tunggal laki-laki, sehingga perempuan tampak tidak memiliki hak apa-apa untuk menjatuhkan dan atau menolak talak yang dijatuhkan suami. Sepintas, prosedur ini merupakan suatu hal yang logis mengingat suamilah yang mengucapkan ikrar pernikahan, sehingga ia jugalah yang berhak memutuskan ikatan tersebut.8

Namun demikian, tentu saja, ada perbedaan kondisi

akan menurunkan kadar cinta suami maupun istri. Selain pada masa menstruasi, larangan menjatuhkan talak juga diberlakukan pada masa suci ketika telah terjadi hubungan suami istri (berkait erat dengan konsep‘iddah) serta ketika perempuan menjalani masa nifas. Muhammad Utsman Al Husyt,Perbedaan Laki-Laki dan Perempuan; Tinjauan Psikologi,

Fisiologi, Sosiologi, dan Islamterj. Abdul Kadir Ahmad &

Amirullah Kandu (Jakarta: Cendekia, 2003), 179-180.

5Morteza Mutahhari,Wanita dan Hak-Haknya dalam

Islam terj. M. Hashem (Bandung: Pustaka, 1986), 242.

Morteza juga mengemukakan bahwa keharusan adanya saksi adalah indikasi lain untuk menggagalkan dan atau mencegah jatuhnya talak. Morteza Mutahhari, Wanita

dan Hak-Haknya…, 241

6 Muhammad Al-Ghazali, Mulai dari Rumah terj.

Zuhairi Misrawi (Bandung: Mizan, 2001), 228.

7 Syariat talak dalam Islam terbilang moderat

dibanding aturan yang sepenuhnya melarang perceraian ataupun aturan yang sangat melonggarkan terjadinya perceraian.

8 Selain karena suamilah yang mengucapkan ikrar

pernikahan, Kamal Mukthar mengidentifikasi adanya lima faktor lain di balik ‘keberpihakan’ al-Qur’an terhadap laki-laki perihal penjatuhan cerai. Lima faktor tersebut adalah, posisi laki-laki sebagai pemimpin dalam rumah tangga, posisi laki-laki sebagai si pembayar mahar, pencari uang, pikiran yang dominant dibanding perasaan, serta legitimasi ayat-ayat al-Qur’an yang secara tekstual menempatkan lelaki sebagai subjek perceraian dan perempuan sebagai objek. Yunahar Ilyas, Konstruksi

Pemikiran Gender dalam Pemikiran Mufassir (Jakarta:

(4)

dalam pengucapan ikrar pernikahan dan perceraian. Ikrar pernikahan diucapkan di depan wali istri dan dua orang saksi, sedang ikrar perceraian hanya mem-butuhkan dua orang saksi (QS. at}-T{ala>q (65): 2). Perbedaan kondisi ini berimplikasi pada banyak hal, termasuk pertimbangan untuk mengucapkan ikrar pernikahan dan perceraian

Wacana otoritas tunggal laki-laki dalam perceraian memetakan para pemerhati hal ini menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang tidak menganggapnya sebagai masalah,9dan kelompok

kedua adalah mereka yang menganggap hal ini sebagai persoalan besar. Kelompok kedua didominasi oleh para feminis yang sangat mengkhawatirkan penggunaan hak tersebut dengan sewenang-wenang dan tanpa pertimbangan. Otoritas tersebut bisa di-gunakan kapan sajatanpa memandang usia pernikahan yang baru sehari atau sudah lima puluh tahun.10

Kekhawatiran ini diperkuat dengan beberapa hadis yang menyebutkan bahwa dalam keadaan bergurau-pun, ucapan talak seorang suami bisa memiliki konsukensi hukum. Beberapa kasus juga menunjukkan bahwa legalitas suami untuk mengucapkan cerai tidak jarang membuat mereka kebablasan dan tidak terkontrol. Salah satunya tampak dalam kasus (mantan) Bupati Garut yang menceraikan istrinya melalui pesan singkat telepon seluler.

Beberapa ayat al-Qur’an yang memposisikan suami sebagai subjek yang memiliki otoritas tunggal dalam perceraian tidak secara langsung diiringi dengan perintah untuk menggunakan hak tersebut dengan sehati-hati mungkin. Hal ini ditengarai menjadi salah satu sebab mengapa kasus cerai seakan ikut melang-gengkan subordinasi perempuan dalam kehidupan kluarga. Nasib dan kehidupan istri hingga sebuah rumah tangga seakan berada sepenuhnya di tangan suami. Kapanpun istri dicerai, ia harus menerima keputusan tersebut apapun latar belakang dan sebab perceraian. Sementara itu, jika ia merasa tertekan

dengan keadaan rumah tangganya dan ingin mengakhiri pernikahan, ia seakan tidak memiliki hak untuk mengakhiri pernikahan seleluasa suami. Term-term lain seputar perceraian juga sekilas tidak memihak kepada perempuan.

Konsep ila’ yang disebutkan dalam QS. al-Baqarah (2): 225, misalnya, mempertegas superioritas laki-laki sebagai pihak yang bisa melakukanila’dan pada akhir masaila’bisa memutuskan untuk kembali bersama istri maupun menjatuhkan cerai. Posisi yang demikian dianggap tidak menguntungkan perempuan, sebab tidak ada syarat-syarat yang harus dipenuhi suami untuk mengatakanila’. Suami bisa melaku-kannya kapan saja, meski banyak yang mencela praktik ini dari segi agama11 maupun segi moral.

Sementara itu di sisi lain, sebagai akibatíla’, seorang istri menderita karena tidak mendapat nafkah batin namun tidak juga diceraikan.

Dalam kasus lain, yaknikhulu’,12QS. al-Baqarah

(2): 229 menandaskan bahwa istri berhak menga-jukan inisiatif untuk bercerai dengan membayar sejumlah uang. Secara otomatis, si istri juga tidak berhak mendapat tunjangan apapun dari suami (pra maupun pasca perceraian) seperti halnya ketika si suami yang menginisiasi perceraian. Inisiatif yang demikian tampak menggiring berbagai konsekuensi yang berdampak kurang baik terhadap si istri. Terlebih lagi, konsep ini tidak menjamin jatuhnya talak sebab inisiatif yang dilakukan istri bisa goal dan bisa juga tidak.Khulu’juga diperbolehkan namun sangat tidak direkomendasikan dan kebolehannya pun disertai beberapa catatan. Sebuah hadis bahkan mengemukakan bahwa seorang perempuan yang mengajukan inisatif untuk bercerai tanpa alasan yang dapat dibenarkan tidak akan pernah mencium bau

9 Menurut Yunahar Ilyas, kelompok pertama ini

terdiri dari Thabari, Zamakhsyari, Ar-Razi, Ibnu Katsir, Al-Alusi, Muhammad Abduh, Al-Maragi, Hamka, dan Hasbi As-Shiddieqy. Yunahar pun cenderung pada kelompok ini meskipun ia mengakui konsep dan mekanisme khulu’. Yunahar Ilyas, Konstruksi Pemikiran

Gender,247 dan 254.

10Farid Wajdi (ed.),Mengenali Hak Kita; Perempuan,

Keluarga, Hukum dan Adat di Dunia Islam terj. Suzanaa

Eddyono (Yogyakarta: LKiS, 2007), 240.

11Praktik ini dianggap haram. Ali Yusuf As-Subki,

Fiqh Keluarga; Pedoman Berkeluarga dalam Islam, terj. Nur

Khozin (Jakarta: Amzah, 2010), 334.

12Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga; Pedoman

Berkeluarga dalam Islam, terj. Nur Khozin (Jakarta:

AMZAH, Jakarta, 2010), 347. Ketika seorang perempuan melakukankhulu’pada masa Nabi, Nabi tetap menyuruh si suami untuk mengucapkan talak. Hal ini berarti bahwa jika sang suami tidak mau menjatuhkan talak, maka perceraian tidak pernah dianggap sah betapapun sang istri ngototakan bercerai.

(5)

surge;13semacam sebuah ironi mengingat tidak ada

peringatan serupa terhadap laki-laki.14

Modelkhulu’di Indonesia umum dikenal dengan istilah cerai gugat, yakni suatu perceraian yang ini-siatifnya berasal dari istri. Dalam praktik yang demi-kian, istri melayangkan gugatan cerai pada pengadilan agar suaminya menjatuhkan talak, sebagaimana diatur dalam KHI, pasal 132 ayat 1.15Namun demikian,

meski model ini tampak cukup memihak perempuan, ada beberapa hal yang justeru memberatkan perem-puan. Beberapa di antaranya adalah kewajiban untuk membiayai persidangan hingga memberikan hadiah bagi suami. Prosedur yang demikian sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang digariskan al-Qur’an, di mana salah satu point penting dalam khulu’ adalah pemberian tebusan dari istri kepada suami sebagai konsekuensi karena perceraian yang diinisiasi si istri.

Selain merugikan pihak istri, model ini diketahui sering dimanipulasi oleh para suami agar ia terbebas dari kewajiban membayar biaya pengadilan, memberi hadiah kepada istri serta kewajiban menyediakan tempat tinggal dan memberi nafkah selama masa ‘iddah.16Model ini kemudian semakin merugikan

13Ali Yusuf As-Subki,Fiqh Keluarga; Pedoman, 347.

Terkait dengan hadis ini, sudah ada upaya untuk membuat kontekstualisasi yang lebih ramah perempuan, salah satunya dikemukakan oleh Kadar M. Yusuf. Ia beranggapan bahwa hadis tersebut khusus tertuju kepada perempuan yang menginisiasi perceraian tanpa sebab dan alasan yang bisa dibenarkan. Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam; Tafsir

Tematik Ayat-Ayat Hukum(Jakarta: Amzah, 2001), 250.

14Perihal menjatuhan talak, laki-laki ‘hanya’

diperintah-kan untuk menjatuhdiperintah-kan talak pada masa-masa yang memungkinkan istri menjalani masaiddah. (QS 65:1).

15Anik Farida, “Perempuan dalam Institusi Gugat di

Tangerang”, dalam Anik Farida (ed), Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai Komunitas

dan Adat(Jakarta: Departemen Agama RI Balai Penelitian

dan Pengembangan Agama, 2007), 6 , 21, dan 31. Para

fuqaha’berbeda pendapat apakahkhulu’harus

dimejahijau-kan dengan melibatdimejahijau-kan pemerintah atau tidak. Sebagian mewajibkan adanya campur tangan pemerintah, sedang yang lain tidak. Al-Imam Al-Jassas,Ahkam Al Qur’an jil. I(Beirut: Dar Al-Fikr, 1993), 539.

16 Dalam kasus yang demikian di mana suami

berposisi sebagai pihak yang nusyuz, sementara ulama’ mengharamkan suami untuk menerima pemberian apapun dari istri meskipun perceraian diinisasi oleh istri (khulu’). Al-Imam Al-Jassas,Ahkam Al Qur’an.., 532.

?äÇ?Ê?Ñ?ã ?ÞÇóá?ØáÇ ۖ ?äÇ?Ó?ÍöÅöÈ?ÍíöÑ?Ó?Ê?æóà ?Ýæ?Ñ?Ú?ãöÈ?ßÇ?Ó?ãöÅóÝ ۗ úäóà ?ãõßóá?á?Í?íÇóá?æ ?å?ááÇ?Ïæ?Ï?Í Ç?ãí?Þ?íÇ?áóÃÇóÝÇ?Î?íúäóà Ç?áöÅÇðÆ?í?Ô?ä?åæ?ã?Ê?í?ÊÂÇ?ã?ã ÇæõÐ?ÎúÃ?Ê ۖ Ç?áóÃ?ã?ÊúÝ?Î úäöÅóÝ ?åöÈ?Ê?Ï?ÊúÝÇÇ?ãí?ÝÇ?ãöå?íóá?Ú?ÍÇ?ä?Ì ÇóáóÝ?å?ááÇ?Ïæ?Ï?Í Ç?ãí?Þ?í ۗ ÇóáóÝ?å?ááÇ?Ïæ?Ï?Í ?ß úá?Ê Ç?åæ?Ï?Ê?Ú?Ê ۚ óäæ?ã?áÇ?ÙáÇ?ã?å ?ß ?Æ?óáæõÃóÝ?å?ááÇ?Ïæ?Ï?Í ?Ï?Ú?Ê?í?ä?ã?æ

17Anik Farida, “Perempuan dalam Institusi Gugat

di Tangerang”, dalam Anik Farida (ed),Perempuan dalam

Sistem Perkawinan…,33.

18Farid Wajdi (ed.),Mengenali Hak Kita; Perempuan..

241.

19 Yayan Sopyan, “Bias Gender dalam Perceraian

(Studi Perbandingan antara Talak dan Cerai Gugat)”, Musawa, Jurnal Studi Gender Islam, vol. 3. no. 2 September 2004 (Yoyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga, 2004), 227.

perempuan sebab setelah ia menjalani kehidupan rumah tangga yang kurang menyenangkan (dan karenanya mengajukan gugat cerai), ia masih harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.17 Terlebih

dalam praktiknya, gugat cerai seringkali dipandang sebelah mata oleh lembaga peradilan, khususnya jika dibandingkan dengan perceraian yang diinisiasi suami.18

Selain itu, hal yang menjadikan khulu’ cukup problematis dan dianggap sangat bias gender adalah tidak adanya kesempatan untuk ruju’,sebabkhulu’ dianggap sebagai talak ba’in (talak yang tidak bisa dirujuk). Ini berbeda dengan konsep talak cerai yang diajukan seorang suami, di mana ia memiliki hak untukruju’sebab talak cerai dianggap talakraj’i(yang memungkinkan terjadinyaruju’).19

Berbagai masalah seputar perceraian, khususnya mengenai otoritas cerai kemudian banyak menarik simpati sekaligus keprihatinan baik dari kalangan feminisan sichmaupun mereka yangconcerndi bidang tafsir atau studi al-Qur’an, khususnya yang bersangkut paut dengan aspek-aspek hukum. Dari situ, mereka kemudian berupaya membaca kembali konsep cerai Al-Qur’an dalam perspektif gender yang lebih emansi-patoris.

Khulu’;Penyeimbang Otoritas (Inisiasi) Cerai dalam Tafsir Ahkam

Konsepkhulu’dijelaskan dalam QS. al-Baqarah (2): 229 berikut;

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya

(6)

(suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa konsepkhulu’ memberikan kesempatan pada istri untuk menginisiasi perceraian—yang dilakukan dengan membayar tebusan—dalam keadaan-keadaan tertentu, misalnya ketika dikhawatirkan baik suami maupun istri akan melampaui batas dengan melanggar hukum-hukum Allah jika sebuah pernikahan dilanjutkan. Para penulis tafsirahkammengartikan batas-batas tersebut dengan sendi-sendi kehidupan berumah tangga, misalnya keharmonisan, komunikasi yang baik,20

kebebasan dan kesempatan untuk beribadah, pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing,21

saling pengertian, ketaatan, hubungan yang baik22

dan lain sebagainya. Dengan demikian, jika sebuah rumah tangga mengalami kekacauan parah yang menyebabkan tidak terpenuhinya hal-hal tersebut di atas,khulu’menjadi sebuah pilihan bagi istri. Ini menunjukkan bahwa sebagaimana talak, secara etis, khulu’seharusnya tidak dilakukan tanpa pertimbangan

matang.23 Khulu’ pada dasarnya ditujukan untuk

kebaikan suami istri jika lembaga pernikahan yang dijalani rentan atau sangat dimungkinkan dapat mempermudah keduanya melanggar rambu-rambu yang telah digariskan, karena itulahkhulu’seharusnya dipilih untuk alasan kemaslahatan bersama, bukan untuk ajang ekspresi egoisme.

Khulu’ bisa dibilang merupakan sebuah kesempatan bersyarat, sebab ia memiliki konsekuensi sendiri. Dalam hal ini, para penulis tafsir ahkam secara umum bersepakat bahwa QS. Al-Baqarah (2): 229 menunjukkan kebolehan suami untuk menerima pemberian istri—sebagai tebusan dalam khulu’— dengan menggarisbawahi bahwa jika suami yang mencari gara-gara sehingga istri menjatuhkankhulu’, misalnya tidak menunaikan hak istri dan bermaksud menyengsarakan istri, maka suami tersebut tidak berhak menerima tebusan yang diberikan pihak istri bahkan tebusan tersebut menjadi haram baginya.24

Begitu juga sebaliknya, jika istrilah yang menginisiasi

20 Abdul Halim Al Banjai membahasakan

keharmonisan dan komunikasi yang baik dengan

mu’asyarah wa al sahabah. Syeikh Abdul Halim Hasan

Binjai,Tafsir Al-Ahkam(Jakarta: Kencana, 2006), 118.

21Dalam masalah penegakan hak dan kewajiban,

Imam Syafi’ie mengemukakan bahwa ketika hak salah seorang di antara suami istri tidak terpenuhi, maka secara otomatis hak anggota lain juga tidak terpenuhi. Misalnya saja, ketika seorang istri tidak dapat memberi nafkah batin kepada suaminya, secara otomatis hak suami tersebut tidak dapat terpenuhi. Dalam keadaan seperti inilah, khulu’

diperbolehkan. Imam Syafi’ie,Hukum Al-Qur’an (As-Syafi’ie

dan Ijtihadnya)terj. Baihaqi Safi’uddin (Surabaya: Bungkul

Indah, 1994), 205. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalam kasus yang demikian ketika suami tidak mendapat haknya dan secara otomatis istri berposisi sebagai pihak

yang nusyuz, maka pemberian dari istri dalam praktik

khulu’menjadi halal bagi suami.Mafhum mukhalfahnya,

inisiasi perceraian dari istri yang diakibatkannusyuzsuami bisa membuat suami tidak legal menerima pemberian istri. Dengan demikian, konsep tebusan dalam khulu’

berkait erat dengan konsepnusyuz.

22Tiga point ini disebutkan dalam Muhammad Ali

As-Shabuny,Rawai’ul Bayan Tafsir Ayat-Ayat Hukumter. Moh. Zuhri dan M. Qodirin Nur (Semarang: Asy-Syifa’, 1993), 71.

23 Kadar M. Yusuf mengatakan bahwa khulu’

merupakan pilihan ketika kesalahan atau kekacauan dalam rumah tangga sudah benar-benar fatal. Kadar M. Yusuf,Tafsir Ayat Ahkam; Tafsir Tematik..,249.

24Pendapat demikian dapat ditemukan di berbagai

sumber, di antaranya adalah karya Imam Syafi’ie, Abdul Halim dan Al Jassas. Imam Syafi’ie mengatakan bahwa jika perempuan tidak melakukan kewajiban dan tidak memenuhi hak suami atau karena ia tidak menyukai suami, maka tebusan yang ia berikan menjadi halal bagi suaminya. Imam Syafi’ie,Hukum Al-Qur’an (Asy-Syafi’ie, 205. Abdul Halim menambahkan bahwa dalam keadaan yang disebutkan Asy-Syafi’ie, pemberian istri yang nilainya berlebih dari mahar pun menjadi halal bagi suami. Namun demikian jika perilaku suami yang menyebabkan jatuhnya

khulu’, maka si suami tidak berhak menerima tebusan dari

istri. Ia juga mengutip pendapat Ibnu Wahab bahwa jika suamilah yang menjadi sebab istri menjatuhkan khulu’,

maka hakimlah yang wajib menjatuhkan cerai dan tebusan dari istri harus dikembalikan (jika terlanjur diberikan). Abdul Halim Hasan Binjai,Tafsir Al-Ahkam,119-120. Dalam hal ini, Al Jassas mengemukakan pendapat yang tidak jauh berbeda dari dua penulis tafsir ahkam tersebut. Ia mengutip pendapat yang mengatakan bahwa khulu’ bisa sah jika ditujukan untuk suami yangnusyuzatau istri yang sudah jelas melakukan perbuatan keji misalnya zina. Dalam kasus pertama, suami tidak berhak mengambil sepeserpun dari pemberian istri sedang pada kasus kedua, suami dibolehkan menerima tebusan istri. Al Imam Al-Jassas,

(7)

perceraian dengan alasan dari dirinya sendiri, seperti ketidaksenangannya pada suami karena berbagai faktor ataupun karena kekhawatiran akan melanggar aturan agama jikangototmempertahankan pernikahan, maka si istri juga harus siap dengan segala kon-sekuensinya, yakni memberi tebusan kepada suami. Dari sudut pandang ini,khulu’sebenarnya berkait erat dengan larangan mengambil kembali pemberian suami terhadap istri, termasuk mas kawin dan pemberian lain yang tercantum dalam kalimat awal QS. al-Baqarah (2): 229. Dengan demikian, dalam keadaan tertentu, yakni ketika istri menjatuhkan khulu’yang bukan disebabkannusyuzsuami, suami dibolehkan mendapat kembali harta/mas kawin yang pernah diberikan kepada istri dalam bentuk pemberian. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah bahkan menegaskan bahwakhulu’adalah praktik mengem-balikan semua atau sebagian mahar.25

Mengenai besarnya tebusan, para penulis tafsir ahkamcenderung berbeda pendapat. Berlandaskan pada riwayat yang berpangkal pada Ali, sebagian pemerhati memakruhkan tebusan yang lebih besar dari jumlah mahar. Di sisi lain, berlandaskan pada riwayat dari Usman, Umar dan beberapa sahabat lain, pemerhati lain membolehkan tebusan yang jumlah-nya lebih besar dibanding jumlah mahar.26Di luar

dua pendapat ini, madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanafi memberikan pendapat moderat bahwa jumlah tebusan selayaknya disesuaikan dengan kesepakatan

antara suami dan istri.27Pendapat terakhir ini cukup

representatif dan aplikatif sebab keadaan ekonomi suami-istri ketika awal pernikahan bisa jadi berbeda jauh dengan keadaan mereka menjelang perceraian. Selain itu, jika jumlah atau jenis tebusan dikomuni-kasikan terlebih dahulu, akan didapatkan sebuah win-win solution yangfair, sehingga silaturrahmi pasca-perceraian dapat terjaga karena masing-masing pihak merasa opininya telah diakomodir dalam proses menentukan (besarnya) tebusan.

Konsep dan Aplikasi Cerai; Metode Pembacaan (kembali) Ayat-ayat al-Qur’an

Sebagaimana diketahui secara umum, para feminis dan mereka yang memiliki kesadaran tentang ketertindasan perempuan serta melakukan tindakan untuk mengakhirinya tidak hanya didominasi oleh kaum perempuan. Beberapa pemikir laki-laki juga turut aktif dalam upaya ini misalnya Asghar Ali Engineer, MortezaMutahhari, Wahiduddin Khan dan lain sebagainya. Selain itu, semangat egalitarian dalam hal gender juga dapat ditemukan di berbagai sumber yang ditulis oleh para fenomenolog, misalnya Hisako Nakamura. Tafsir-tafsirahkamkarya cende-kiawan yang kurang tampak sebagai feminis juga mulai menunjukkan semangat kesetaraan perempuan, termasuk mengenai persoalan ini. Dari beberapa karya tersebut, berikut adalah beberapa metode yang paling sering dan hampir selalu digunakan; Munasabah dan atau Penafsiran Holistik

Semangat egalitarianisme dalam pembacaan ayat-ayat al-Qur’an tentang perceraian umumnya mengapli-kasikan konsep munasabah dan atau penafsiran holisitk. Gaya penafsiran ini bisa dibilang merupakan gaya yang berbeda—bahkan bertolak belakang— dengan tafsirtahliliyang menafsirkan ayat demi ayat sesuai urutan mushaf Utsmani. Langkah ini dilakukan untuk memperoleh kesimpulan yang representatif, sehingga konsep mengenai cerai dapat difahami dengan benar-benar utuh, tidak miopis dan tidak tendensius. Munasabah juga banyak disandingkan dengan metode penafsiran holistik di mana seorang penafsir mempertimbangkan banyak faktor dalam kerja penafsirannya tidak hanya mengenai teks-teks yang secara langsung ataupun tidak berkaitan, akan 25 Imad Zaki Al Barudi, Tafsir Wanita: Penjelasan

Terlengkap tentang Wanita dalam Al-Qur’an terj. Samron

Rahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), 112.

26Keterangan ini dikemukakan dalam Syeikh Abdul

Halim Hasan Binjai,Tafsir Al-Ahkam…,118-119. Sumber lain menyebutkan bahwa golongan pemerhati pertama adalah As-Syatibi, Zuhri, dan Hasan Basri dengan alasan bahwa suami mengambil yang bukan haknya. Adapun golongan Lebih lanjut disebutkan bahwa jumhur ulama’

memilih kelebihan nilai tebusan dari mahar sebagai hal yang diperbolehkan akan tetapi tidak direkomendasikan (dimakruhkan). M. Ali As-Shabuny,Tafsir Ayat al-Ahkam

min al-Qur’an jil. I(Kairo: Beirut, 1999), 239. Golongan

pertama umumnya berlandaskan pada kisah salah seorang sahabat perempuan yang datang kepada Rasulullah

untuk mengajukan khulu’ kemudian Rasulullah

memerintahkannya untuk mengembalikan kebun yang dahulu menjadi mas kawinnya. Abbas Mahmoud Al-Akkad,Wanita dalam Al-Qur’anterj. Chadidjah Nasution (Jakarta: Magenta Bhakti Guna, 1984), 175.

27 Syaikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita:

(8)

tetapi juga faktor-faktor lain misalnya sosial, budaya, psikologi dan lain sebagainya.

Terkait denganpointpertama ini, ada pernyataan menarik yang dikemukakan oleh Hisako Nakamura. Ia mengatakan bahwa al-Qur’an memang tidak memuat larangan khusus bagi para suami untuk menggunakan hak cerai dengan sewenang-wenang, akan tetapi penyalahgunaan hak-hak tersebut dikendalikan oleh pertimbangan-pertimbangan etis dari ayat-ayat cerai maupun ayat lain yang bernuansa etis.28Morteza juga menegaskan bahwa laki-lakilah

yang memiliki peran dominan dalam perceraian, akan tetapi hal tersebut tidak kemudian menutup dan meniadakan hak perempuan. Baginya, dalam keadaan tertentu, perempuan juga memiliki otoritas untuk menginisiasi perceraian, misalnya ketika ia mendapat pengalihan hak dari laki-laki (talakta’liq) atau ketika ia berada dalam sebuah rumah tangga yang sudah tidak bisa diselamatkan lagi.29Tentunya,

dua tokoh ini tidak akan sampai pada kesimpulan tersebut jika keduanya hanya memperhitungkan satu atau beberapa ayat saja.

Jika dua tokoh tersebut hanya menyiratkan metodemunasabahdalam produk kesimpulan yang mereka utarakan, berbeda halnya dengan Asghar Ali Engineer yang secara langsung menyajikan berbagai ayat tentang talak di tengah kerja-kerja penelitiannya.30

Dengan menyajikan ayat-ayat tersebut, Asghar tampak lebih mudah dan sistematis menyusun gagasan-gagasannya. Metode yang sama juga digunakan penulis tafsirahkamImam Al-Jassas yang berasumsi bahwa QS. al-Baqarah (2): 229 telah dihapus dengan QS. al-Nisa>’ (4): 20 yang mengemukakan bahwa suami tidak berhak mengambil harta yang pernah diberi-kannya kepada istri jika ia menginginkan perceraian karena ingin menikahi perempuan baru (lain) yang lebih dicintainya.31Asumsi ini kemudian berimplikasi

pada ketentuan bahwa ketika sebuah perceraian diinisiasi oleh istri karena nusyuz suami, suami tidak berhak mendapat tebusan dari pihak istri yang

sebagian di antaranya diperkirakan merupakan pemberian suami, setidaknya dalam bentuk mahar.32

Penggunaan metodemunasabah,corak tematik-holistik dan gaya tafsir tematik-holistik merupakan suatu keharusan dalam penafsiran berperspektif gender dan atau emansipatoris khususnya untuk menganalisis tema atau ayat-ayat yang sekilas tampak bias gender. Hal ini erat kaitannya dengan tersebarnya ayat-ayat mengenai sebuah tema di berbagai bagian al-Qur’an serta banyaknya ayat yang tidak bisa dipahami secara miopis tanpa melibatkan tinjauan terhadap ayat lain. Sebagai contoh, jika QS. al-Baqarah (2): 237 yang me-mosisikan otoritas perceraian di tangan suami di-pahami tanpa meninjau ayat lain—misalnya perintah untuk berperilaku wajar yang terdapat dalam QS. at}-T{ala>q (65): 2 dan al-Baqarah (2): 231—maka seorang suami akan sewenang-wenang menggunakan otoritas tersebut dan melupakan kewajiban formal serta etis yang harus tetap ia jalankan. Begitu juga dengan konsepkhulu’.Jika QS. al-Baqarah (2): 229 saja yang dijadikan pegangan tanpa mempertimbang-kan QS. al-Nisa’ (4): 20, misalnya, maka praktik> khulu’ sangat rentan dieksploitasi dan tidak digunakan untuk membela perempuan, akan tetapi justeru semakin menindas perempuan.

Pemetaan Ayat-ayat Ideal Moral dan Legal Formal Berangkat dari konsep muna>sabah dan corak tematik yang kurang lebih bisa diartikan dengan melacak dan meninjau semua ayat yang berkaitan dengan suatu tema, pembacaan ulang ayat-ayat al-Qur’an umumnya juga dilakukan dengan memetakan antara ayat yang kasuistik dengan ayat yang memuat spirit al-Qur’an. Asghar Ali Engineer banyak meng-gunakan metode ini dalam kerja analisisnya. Dengan mengkombinasikan pendapatnya dengan pendapat Muhammad Asad yang banyak ia sajikan dalam kutipan langsung, ia berkesimpulan bahwa QS. al-Baqarah (2): 237 (tentang tata cara pembayaran mahar yang belum dilunasi) adalah ayat kasuistik dan karenanya hal tersebut tidak cukup menjadi legitimasi bahwa otoritas (inisiasi) cerai hanyalah berada di tangan suami. Untuk memperkuat argumennya, Asghar kemudian menampilkan QS. al-Baqarah (2): 28Hisako Nakamura,Perceraian Orang Jawa..,31.

29Nashiruddin dan Sidik Hasan,Poros-Poros Ilahiyah; Perempuan dalam Lipatan Pemikiran Muslim (Tradisional

versus Liberal)(Surabaya: Jaring Pena, 2009), 149.

30Asghar Ali Engineer,Hak-Hak Perempuan dalam

Islam terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf

(Yogyakarta: LSPPA, 2000), 205-207.

(9)

229 yang menyiratkan hak dan kesempatan bagi istri untuk menginisiasi perceraian.33

Lebih lanjut Asghar menjelaskan bahwa perihal talak tiga dan syarat yang harus dipenuhi untuk bisa kembali pada istri yang telah ditalak adalah kebiasaan masyarakat Arab Jahiliyah yang tidak bisa diterapkan pada kehidupan dewasa ini. Ia mengutip komentar Tabari dalam kitab tafsirnya bahwa peraturan tersebut semata-mata dimaksudkan untuk menghentikan penyalahgunaan praktik penjatuhan talak secara berulang-ulang yang didasari kesewenang-wenangan.34

Baginya, konsep talak tiga sama halnya dengan konsep otoritas tunggal laki-laki dalam perceraian. Keduanya adalah warisan budaya Arab patriarkhal yang dinyatakan dalam al-Qur’an.35Ia juga

menam-bahkan bahwa spirit atau pesan moral yang disampai-kan al-Qur’an melalui ayat tersebut adalah anjuran agar para lelaki tidak gegabah menjatuhan talak serta anjuran untuk melakukanruju’pada masa‘iddah.

Pesan moral lain yang disampaikan al-Qur’an perihal cerai, menurut Asghar, termuat dalam QS. al-Baqarah (2): 231, yakni bagian ayat yang memerintah-kan agar para suami melepasmemerintah-kan (mentalak) istrinya dengan wajar. Pilihan ini merupakan alternatif jika suami tidak melakukan ruju’ pada masa ‘iddah. Asghar menggarisbawahi bahwa apapun keputusan seorang laki-laki terkait dengan hubungan pernikah-an, keputusan tersebut hendakanya dipertimbngkan dieksekusi sewajar dan sebaik mungkin tanpa menga-baikan pemenuhan hak istri.36Selain ayat tersebut,

Asghar juga banyak menarik spirit moral Al-Qur’an dari ayat-ayat yang kasuistik sehingga ia sampai pada sebuah kesimpulan bahwa al-Qur’an lebih ‘memihak’ perempuan dalam masalah perceraian.37

Sayangnya, ia tidak memasukkan bagian dalam QS. al-Ahza} >b (33) dan at}-Tala{ q (28) dan 65: 6—tentang>

larangan untuk menyusahkan istri—sebagai salah satu spirit al-Qur’an perihal perceraian.38Dua ayat tersebut

memuat prinsip dasar dalam perceraian, khususnya dalam eksekusi perceraian serta perilaku suami terhadap istri yang tengah menjalani masa ‘iddah. Anjuran ini bisa digeneralisir dalam segala ‘babak’ dan prosedur yang ditetapkan dalam proses perceraian, sebab ia juga senada dengan QS. al-Nisa>’ (4): 19 yang berisi perintah untuk memperlakukan istri dengan baik.

Pemilahan ayat yang kasuistik dan ayat yang memuat ideal moral adalah salah satu langkah yang idealnya dilakukan oleh semua orang yang ingin membaca kembali teks-teks al-Qur’an. Tentunya, pemetaan dan klasifikasi ayat-ayat tersebut tidak didasarkan hanya pada selera pribadi, kepentingan pribadi dan ideologis atau bahkan produk nalar yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Pemetaan tersebut idealnya dilakukan dengan menggunakan teori munasabah, aplikasi metode pencarianasbab al-nuzul mikro dan makro hingga kontekstualisasi dengan lokalitas kekinian. Untuk usaha-usaha tersebut, Asghar Ali Engineer sudah cukup memberikan kontribusi yang representatif.

Sikap Moderat dan Kritis terhadap Isu Gender Sikap moderat para ‘pembaca ulang al-Qur’an’ dalam persoalan perceraian cukup tampak dalam kerja penelitian mereka. Dalam beberapa hal, mereka terkesan ‘memaklumi’ mengapa ayat al-Qur’an sekilas tampak memuat ajaran yang bias gender dengan kemudian mencari penyebab di balik pilihan tersebut. Adanya permakluman ini menuntun mereka untuk tidak terburu-buru ‘menyalahkan’ al-Qur’an, akan tetapi justeru terus berupaya mengungkap makna emansipatoris yang diusung al-Qur’an dalam kemasan ayat-ayat yang tampak bias gender.

Sikap inilah yang kemudian banyak berpengaruh terhadap cara pandang mereka terhadap perceraian. Terlepas dari berbagai konsep yang mereka kritik kemudian mereka baca ulang untuk mendapatkan pemahaman yang lebih representatif, mereka

ber-33Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan;

Transformasi Al-Qur’an. Perempuan, dan Masyarakat Modern

terj. Akhmad Affani dan Muh. Ihsan (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), 148-149.

34 Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan;

Transformasi, 150-151. Untuk menguatkan posisinya

terhdap konsep ini, ia mengemukakan berbagai analisis dan data yang dapat memberatkan legalitas konsep talak tiga. Asghar, 157-160.

35 Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan;

Transformasi, 161.

36 Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan;

Transformasi, 152-153

37 Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan;

Transformasi, 156.

38Barangkali, Asghar ‘mengabaikan’ QS. at}-T{ala>q

(65): 6 karena spirit yang sama sudah termuat dalam QS. al-Baqarah (2): 231 dalam diksi yang berbeda akan tetapi dengan maksud yang kurang lebih sama.

(10)

ketetapan bahwa konsep cerai yang digariskan Islam adalah konsep yang paling ideal dan paling egaliter.39

Bagi mereka, Islam tidak sepenuhnya melarang perceraian (seperti yang dianut sebagian aliran dalam agama Katolik) dan pada waktu yang sama juga tidak memudahkan perceraian, misalnya fenomena yang tampak di Negara maju. Islam berada pada posisi tengah-tengah di mana ia melegalkan talak namun dengan catatan dan persyaratan yang tidak boleh dikesampingkaan.40

Tokoh-tokoh yang menggunakan persepektif gender dalam membaca kembali ayat-ayat talak juga cenderung melihat talak sebagai alternatif terakhir ketika sudah tidak ada lagi jalan dan atau solusi lain. Sebagian dari mereka berani meng’kadaluarsa’kan beberapa konsep talak yang dimuat dalam al-Qur’an, akan tetapi tidak ada di antara mereka yang menafikan berbagai proses mediasi sebelum dan atau sesudah terjadinya talak kendatipun kondisi saat ini pastinya sudah sangat jauh berbeda dengan kondisi ketika al-Qur’an pertama kali diturunkan. Tindakan ini dapat difahami sebab talak tiga, misalnya, sangat menindas perempuan dan meredusir hak-haknya, sedang berbagai proses mediasi untuk mencegah perceraian dapat menyelamatkan perempuan dari perceraian dan segala beban psikis, moral, sosial maupun finansial yang harus diemban.

Sementara itu, para penggiat tafsirahkamjuga menunjukkan sikap moderat mereka dalam mengutip berbagai pendapat yang bertolak belakang untuk kemudian memposisikan diri di kubu yang moderat. Gaya yang demikian merupakan salah satu ciri khas tulisan penggiat kajian tafsir dan fiqh di mana mereka memaparkan banyak pendapat para tokoh pendahulu sebelum menentukan pilihan. Abdul Halim, misalnya, sebelum menentukan opininya mengenai kebolehan suami menerima tebusan yang lebih banyak dari mahar, terlebih dahulu memaparkan dua pendapat ekstrim, yakni satu pendapat yang begitu saja membolehkan serta pendapat lain yang sama sekali melarang.41Gaya yang sama juga ditempuh

Al-Jassas terkait dengan gagasannya perihal keharusan adanya campur tangan pemerintah dalam proses khulu’.42

Sikap lain yang identik dengan pembacaan berperspektif gender adalah sikap kritis, yakni mencoba memahami suatu ayat dengan analisis yang mendalam, tidak buru-buru dan ceroboh mengambil kesimpulan, memperhitungkan konteks di sekitar turunnya ayat serta menggalispirital-Qur’an (Qur’anic wisdom). Sikap ini salah satunya ditunjukkan oleh Amina Wadud dalam analisis singkatnya seputar perceraian. Menurut-nya, kekuatan/kekuasaan yang ‘pernah/telah’ diberikan kepada lelaki (Mendidhave this power)untuk menjatuhkan cerai tidak kemudian melegalkan yang bersangkutan untuk menceraikan istri dengan sewenang-wenang dan tanpa pertimbangan. Baginya, hal yang perlu diingat adalah bahwa hak untuk menceraikan diiringi dengan beberapa ketentuan dan aturan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.43

Ia juga menjelaskan bahwa hak menginisiasi perceraian juga dimiliki perempuan dengan dua alasan.Yang pertama adalah tidak adanya indikasi al-Qur’an bahwa hak menceraikan sepihak (otoritas tunggal laki-laki) harus dilanjutkan dan dilanggengkan, dan yang kedua adalah tidak adanya penghapusan hak inisiasi perceraian dari perempuan seperti yang lazim dipraktikkan masyarakat sebelum Islam.44Senada

dengan Asghar Ali Engineer, Amina banyak menarik Qur’anic wisdomdari QS. Al-Baqarah (2): 231. Spirit di balik ayat tersebut, bagi Amina, adalah pembanding dari posisi laki-laki sebagai subjek pernikahan, sehingga yang bersangkutan tidak seharusnya menjalankan hak-haknya dengan semena-mena sebab ada kewajiban yang juga harus dipenuhi.

Analisis-Dekonstruksif terhadap Produk Penafsiran dan atau Pemikiran yang Dianggap Bias Gender

Sebuah pemikiran, betapapun brilliant-nya, pastilah diilhami dari produk pemikiran lain yang sebelumnya muncul dan berkembang. Alur yang demi-kian juga terdapat dalam kerja penelitian pembacaan ayat-ayat al-Qur’an di mana beberapa tokohnya mengembangkan, melanjutkan bahkan mengkritik 39Asghar Ali Engineer, misalnya, mengatakan bahwa

Islam ‘berani’ melawan kepercayaan dan pandangan

umum dengan melegalkan konsep khulu’ (perceraian

yang diinisiasi perempuan). Asghar Ali Engineer,

Hak-Hak Perempuan…,185.

40Morteza Muttahari,Wanita dan Hak-haknya dalam

Islam.., 208-224.

41Lihatfootnotenomor 26.

42Lihatfootnotenomor 15.

43Amina Wadud,Qur’an and Woman; Rereading the

Sacred Text from a Woman’s Perspective (Oxford: Oxford

University Press, 199), 80.

(11)

pemikiran yang telah ada sebalumnya. Salah satu produk pemikiran yang banyak mendapat kritik adalah mengenai otoritas (menginisiasi) perceraian. Dalam hal ini, Asghar dengan tegas mengemukakan bahwa asumsi otoritas tunggal laki-laki dalam inisiasi cerai adalah kesimpulan dan bukan aturan Tuhan.45

Beberapa kritik juga banyak dialamatkan pada asumsi mengenai sebab di balik otoritas tunggal laki-laki dalam hal perceraian. Setidaknya, apa yang dikemu-kakan Yusuf Al-Qardhawy serta Mushthafa Abdul Wahidcukuprepresentatif mengemukakan pandangan umum mengenai pertimbangan di balik otoritas cerai di tangan laki-laki. Keduanya berpandangan bahwa lelaki memiliki emosi yang lebih stabil serta mampu berpikir dan mempertimbangkan banyak hal. Sifat ini berbeda dengan perempuan yang cenderung dianggap plin-plan, tidak berpendirian, mudah terbawa emosi, serta terlalu mudah mencintai dan membenci.46

Salah satu kritik terhadap pandangan ini dikemukakan Fatma Amalia. Menurutnya, asumsi bahwa perempuan cenderung emosional dan tidak berpikir panjang sebenarnya tidak konsisten dengan konsepkhulu’.Khulu’tidak membuka kemungkinkan untuk ruju’, sehingga ketika seorang perempuan mengajukankhulu’dan kemudian terjadilah perceraian, tidak ada kemungkinan baginya untuk menjalani ruju’di tengah masa‘iddah. Seharusnya, jika perempuan memang dianggap tidak berpikir panjang dan tidak melakukan pertimbangan yang matang, ia tidak diberi hakkhulu’sebab praktik tersebut tidak memung-kinkan terjadinyaruju’47

Selain persoalan emosi dan porsi berpikir, alasan lain yang banyak dikemukakan sebagai faktor yang membuat otoritas talak berada di tangan laki-laki adalah karena laki-laki berposisi sebagai pencari nafkah (breadwinner)48Ini senada dengan apa yang

dikemukakan Sayyid Sabiq bahwa ada alasan

material (selain alasan psikologis) yang membuat laki-laki memiliki otoritas tunggal dalam talak. Baginya, baik pernikahan dalam tradisi klasik maupun kontemporer sama-sama mengharuskan lelaki untuk mengeluarkan sejumlah biaya, sehingga hanya dialah yang berkewenangan dalam hal talak.49Secara khusus,

belum ditemukan kritik terhadap asumsi yang demikian. Hal ini barangkali disebabkan mudahnya asumsi tersebut dipatahkan dengan gaya hidup kontemporer yang menunjukkan bahwa semakin banyak perempuan yang bisa menghasilkan uang serta konsep khulu’ yang mengharuskan istri membayar sejumlah uang (bisa dalam bentuk hadiah). Jika tolak ukur otoritas talak adalah pada kemampuan untuk mencari penghidupan, maka dengan demikian asumsi tersebut kemudian justeru memposisikan perempuan sebagai pihak yang juga memiliki otoritas untuk menginisiasi perceraian mengingat dewasa ini, tidak sedikit perempuan yang juga berperan sebagai pencari nafkah dan penopang ekonomi keluarga.

Dengan ditolaknya dua faktor ini, para pemikir (baca: feminis) umumnya berpendapat bahwa otoritas tunggal perceraian talak di tangan laki-laki tidak lagi kontekstual. Apalagi, perkembangan KHI telah membolehkan perempuan melakukan inisiasi perceraian, misalnya dengan prosedurfaskhdan gugat cerai (khulu’). Mengenai ini, Morteza memberikan argumen yang cukup moderat bahwa otoritas laki-laki untuk menjatuhkan cerai lebih karena ia meru-pakan pihak yang berposisi sebagai subjek dalam hal memulai perjodohan, sehingga ia pun memiliki kans yang sama untuk mengakhiri sebuah hubungan. Ia memastikan bahwa otoritas laki-laki dalam hal cerai bukanlah karena lemahnya perempuan sebagaimana yang banyak dipersangkakan.50Pendapat ini tampak

cukup representatif mengingat hak-hak perempuan masih diperhitungkan dalam berbagai praktik inisiasi hingga prosedur perceraian. Jika saja perempuan memang benar-benar lemah dan tidak stabil emosinya, pastilah ia tidak diberi hak untuk menginisiasi perceraian seperti dalam praktikkhulu’.

Selain keempat point di atas, metode lain yang banyak digunakan para feminis dalam pembacaan

45 Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan;

Transformasi, 149.

46Dikutip dari Mushthafa Abdul Wahid,Al-Usrah fi

Al-Islam, 101, sebagaimana dikutip Ali Yusuf As-Subki,

Fiqh Keluarga; Pedoman Berkeluarga dalam Islam, terj. Nur

Khozin (Jakarta: Amzah, 2010), 334. Bandingkan dengan Yusuf Al-Qardhawi,Ruang Lingkup Aktivitas..,172-173,

47 Fatma Amalia,Talak Cerai Istri dalam Musawa,

Jurnal Studi Gender Islam vol. 3 no. 2 September 2004 (Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga. 2004), 214.

48Djamal Latif,Aneka Hukum Perceraian di Indonesia

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), 40.

49Hal ini dikemukakan oleh Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan

dalam Islam; Sebuah Dokumentasi(Bandung: Mizan, 2001),

170.

50Moerteza Mutahhari,Wanita dan Hak-haknya dalam

(12)

ayat-ayat al-Qur’an perihal perceraian adalah dengan meninjau praktik perceraian yang umum terjadi di sekitar mereka atau di wilayah yang menjadi konsentrasi mereka. Hal ini merupakan suatu hal yang tidak terhindarkan sebab perceraian tidak hanya berkait dengan masalah agama, akan tetapi juga dengan hukum kebiasaan dan lokalitas masing-masing daerah, sehingga sangat mungkin norma-norma perceraian akan berbeda antarbeberapa Negara, wilayah, suku, etnis dan lain sebagainya.

Produk Pembacaan Ulang terhadap Ayat-ayat Talak Perspektif Feminis

Berbagai pembacaaan ulang terhadap ayat-ayat al-Qur’an melahirkan beberapa produk pemikiran yang satu sama lain berbeda, akan tetapi menyiratkan ruh yang sama, yakni upaya menghilangkan penin-dasan perempuan. Abduh, misalnya, berpendapat bahwa untuk melindungi hak-hak perempuan, solusi terbaik dalam perceraian adalah dengan membawa kasus perceraian ke pengadilan. Menurutnya, hakim di pengadilan memiliki kompetensi khusus di bidang ini sehingga ia akan menjalankan prosedur dan proses perceraian dengan sebaik-baiknya, misalnya melibatkan keluarga dari dua belah pihak untuk melakukan mediasi.51Pendapat Abduh ini

menyirat-kan bahwa perihal otoritas talak individu bumenyirat-kanlah suatu hal yang perlu terlalu panjang dipermasalah-kan dan dibincangdipermasalah-kan.

Berbeda dengan Abduh, Yusuf Al-Qardhawi mengemukakan bahwa seharusnya, perceraian tidak dibawa ke meja hijau sebab hal tersebut akan menjadi konsumsi publik. Ia mendasarkan pendapatnya pada tingginya angka perceraian di Barat di mana kasus-kasus perceraian selalu dimejahijaukan. Al-Qardhawi juga melihat bahwa banyak terjadi praktik suap dan mafia hukum dalam persidangan, sehingga ia tidak menyarankan memperkarakan perceraian.52 Baik

pendapat pertama maupun kedua sama-sama memiliki pertimbangan dan argumentasi yang jelas, sehingga keduanya sama-sama bisa dipraktikkan dengan situasi dan kondisi tertentu. Namun demikian, bedanya, pendapat pertama secara implisit ‘mengakui’ otoritas talak dari pihak perempuan, sedang pendapat kedua

tampak tidak demikian. Perbedaan ini wajar adanya sebab Abduh dan Qardhawi berangkat dari titik yang berbeda.

Terkait dengan persoalan otoritas talak, Muhammad Syahrur yang terkenal denganteori limit-nya menegaskan bahwa pria dan wanita memiliki hal yang sama untuk menginisiasi talak. Talak dari suami masih merupakan ‘terminal’, sedang talak dari istri dapat ditolak oleh suami hanya jika si istri berada dalam keadaan hamil. Ia menegaskan bahwa pada keadaan itulah lelaki memiliki kelebihan atas istri.53Pendapat Syahrur ini tampak sangat berani

dan karenanya, perlu diimbangi dengan pendapat Morteza yang lebih moderat.54

Berbeda dengan para feminis yang semangat emansipasinya sangat tampak dalam berbagai kerja penelitian, karya-karya tafsir ahkam lebih banyak fokus pada hukum kebolehan mengambil kembali mahar dan atau/pemberian suami kepada istri dalam proseskhulu’.Hal ini menjadi semacamtakhsisdari keumuman larangan bagi suami untuk meminta kembali apa yang pernah mereka berikan pada istri, khususnya dalam bentuk mahar. Produk-produk tafsir ahkam lebih banyak memfokuskan pada konsepnusyuz,di mana siapapun—di antara suami istri yang melakukannusyuz—akan mengalami ‘kerugian material’ dari proseskhulu’.Suami yangnusyuztidak boleh mendapat tebusan dari istri, sedang istri yang nusyuzharus membayar tebusan kepada suami dalam proses khulu’. Hal ini menunjukklan pergerseran paradigma penggiat tafsirahkamkhususnya terkait dengan isu gender, di mana mereka menyamakan kedudukan lelaki dan perempuan sebagai individu yang bertanggung jawab penuh atas pilihan yang telah diambil dan tindakan yang dilakukan. Penggiat tafsirahkamsecara umum mengakui legalitaskhulu’ dengan berbagai catatan mengenai praktik tersebut dan hal ini menunjukkan bahwa otoritas tunggal laki-laki dalam persoalan perceraian adalah hal yang harus dipikirkan kembali. Produk hukum yang bias gender perlahan namun pasti mulai teredusir seiring

51Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan;

Perspektif Islam atas Kesetaraan Jenderterj. Anni Hidayatun

Noor (dkk) (Bantul: Fajar Pustaka Baru, 2002), 245.

52Yusuf Al-Qardhawi, 173-174

53Keterangan ini bersumber dari Nashiruddin dan

Sidik Hasan, Poros-Poros Ilahiyah…, 278. Lebih lanjut penulis buku mengatakan bahwa pendapat Syahrur tersebut senada dengan pendapat Nasr Hamd Abu Zayd

dalam Dawa’ir, 221, Muhammad Abduh, dan Rasyid

Ridha.

54Pendapat Morteza tersebut disebutkan dalam

(13)

dengan meratanya kesadaran akan ketertindasan perempuan dan upaya untuk menghilangkannya.

Produk-produk penafsiran yang disebutkan dalam bagian ini maupun dalam bagian sebelumnya sama-sama menyiratkan semangat emansipatoris terhadap perempuan maupun laki-laki. Hal yang paling banyak menyedot perhatian para pemikir— baik feminis atau bukan—sebenarnya bukanlah mengenai otoritas cerai di tangan laki-laki atau perempuan, akan tetapi lebih kepada berbagai upaya untuk mengurungkan rencana perceraian melalui berbagai prosedur yang ditetapkan. Perihal otoritas tunggal laki-laki dalam hal perceraian serta produk-produk pembacaan ulang terhadap teks-teks al-Qur’an secara umum berasumsi bahwa inisiasi talak tidak hanya berada di tangan laki-laki, melainkan juga pada perempuan dengan porsi dan mekanisme yang satu sama lain berbeda. Akan tetapi, hal yang perlu digarisbawahi adalah penegakan norma-norma etis yang dikemukakan al-Qur’an baik oleh perempuan atau laki-laki yang tersangkut dengan persoalan cerai.

Simpulan

Berbagai paparan dan informasi pada bagian-bagian sebelumnya menunjukkan adanya berbagai prosedur cerai yang sangat emansipatoris terhadap

perempuan. Selain mengangkat derajat perempuan, berbagai prosedur tersebut juga semakin menyakral-kan ikatan pernikahan yang tidak bisa begitu saja dimulai kemudian diakhiri tanpa tekad yang bulat dan pertimbangan yang matang. Sementara itu dalam hal otoritas menginisiasi perceraian, kedua belah pihak sebenarnya sama-sama memiliki hak dengaan porsi dan kemasan yang berbeda. Hanya saja, lebih terkesposnya otoritas laki-laki dibanding perempuan dalam al-Qur’an tak jarang menimbul-kan berbagai praduga hingga praktik yang cenderung mendiskriminasi perempuan.

Namun demikian, keberpihakan yang demikian ini idealnya tidak dijadikan legitimasi untuk sedemi-kian rupa mengangkat derajat perempuan hingga pada batas-batas yang tidak bisa ditoleransi, misalnya menggunakan hak khulu’ sekenanya. Inti dari distribusi otoritas talak sebenarnya bukanlah untuk melindungi satu pihak baik laki-laki atau perempuan, akan tetapi untuk mengharmoniskan sebuah keluarga. Dengan demikian, semangat pembebasan al-Qur’an terhadap perempuan tidak selayaknya dieksploitasi untuk kepentingan dan praktik yang tidak seharusnya. Batasan dan ketetapan bagi seorang perempuan, misalnya konsep‘iddah,tidak bisa begitu saja diabaikan karena terlalu ‘menikmati’ semangat pembelaan al-Qur’an terhadap perempuan. []

(14)

Daftar Pustaka

Al-Akkad, Abbas Mahmoud.Wanita dalam Al-Qur’an.terj. Chadidjah Nasution. Jakarta: Magenta Bhakti Guna, 1984.

Al Barudi, Imad Zaki. Tafsir Wanita: Penjelasan Terlengkap tentang Wanita dalam Al-Qur’an terj. Samron Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007.

Binjai, Syeikh Abdul Halim Hasan.Tafsir Al-AhkamJakarta: Kencana, 2006.

Engineer, Asghar Ali.Matinya Perempuan; Transformasi Al-Qur’an. Perempuan, dan Masyarakat Modern terj. Akhmad Affani dan Muh. Ihsan. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.

Farida, Anik (ed),Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai Komunitas dan Adat. Jakarta: Departemen Agama RI Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007.

Ghazali, Muhammad Al.Mulai dari Rumahterj. Zuhairi Misrawi. Bandung: Mizan, 2001.

Hasyim, Syafiq.Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuan dalam Islam; Sebuah Dokumentasi. Bandung: Mizan, 2001.

Husyt, Muhammad Utsman Al.Perbedaan Laki-Laki dan Perempuan; Tinjauan Psikologi, Fisiologi, Sosiologi, dan Islamterj. Abdul Kadir Ahmad & Amirullah Kandu. Jakarta: Cendekia, 2003.

Ilyas, Yunahar.Konstruksi Pemikiran Gender dalam Pemikiran Muaffsir.Jakarta: Departemen Agama RI, 2005. Jawad, Haifaa A. Otentisitas Hak-Hak Perempuan; Perspektif Islam atas Kesetaraan Jenderterj. Anni Hidayatun

Noor (dkk). Bantul: Fajar Pustaka Baru, 2002.

Al-Jassas, Al-Imam.Ahkam Al Qur’an jil. I.Beirut: Dar Al-Fikr, 1993.

Khan, Wahiduddin.Agar Perempuan Tetap Jadi Perempuan; Cara Islam Membebaskan Wanitaterj. Abdullah Ali. Jakarta: Serambi, 2003.

Latif, Djamal.Aneka Hukum Perceraian di IndonesiaJakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Mutahhari, Morteza.Wanita dan Hak-Haknya dalam Islamterj. M. Hashem. Bandung: Pustaka, 1986. Nakamura, Hisako.Perceraian Orang Jawaterj. Zaini Ahmad Noeh. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, 1983.

Nashiruddin dan Sidik Hasan.Poros-Poros Ilahiyah; Perempuan dalam Lipatan Pemikiran Muslim (Tradisional versus Liberal).Surabaya: Jaring Pena, 2009.

Qardhawy, Yusuf Al-.Ruang Lingkup Aktivitas Wanita Muslimahterj. Moh. Suri Sudahri A. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996.

Salim, Amru Abdul Mun’im.Fikih Talak Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah terj. Futuhal Arifin. Jakarta: Pustaka Azzam, 2005.

As-Shabuny, Muhammad Ali. Rawai’ul Bayan Tafsir Ayat-Ayat Hukumter. Moh. Zuhri dan M. Qodirin Nur. Semarang: Asy-Syifa’, 1993.

Sopyan, Yayan. “Bias Gender dalam Perceraiann (Studi Perbandingan antara Talak dan Cerai Gugat)”, Musawa, Jurnal Studi Gender Islam, vol. 3. no.2. Yoyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga, 2004.

Subki. Ali Yusuf As-.Fiqh Keluarga; Pedoman Berkeluarga dalam Islam, terj. Nur Khozin Jakarta: Amzah, 2012. Syafi’ie, Imam. Hukum Al-Qur’an (As-Syafi’ie dan Ijtihadnya)terj. Baihaqi Safi’uddin. Surabaya: Bungkul

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang "Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum" yang diubah dengan Peraturan Bank Indonesia

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah, rahmat, dan karunianya sehingga penulis mampu menyelesaikan sebuah Skripsi Penelitian yang menjadi tugas akhir

Menggunakan instalasi yang hampir sama dengan Tidal Power, namun terpisah dengan turbin arus antara 5 sampai 8 knot (5,6 sampai 9 mil/jam) dapat dimanfaatkan energi lebih besar

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis mayor dalam penelitian ini diterima, yaitu terdapat hubungan negatif

Berdasarkan analisis dan hasil pengolahan data yang telah dilakukan oleh peneliti mengenai analisis kepuasan pelanggan terhadap kualitas layanan dengan metode

1) Biaya uang dan biaya in natura. Biaya- biaya yang berupa uang tunai, misalnya upah kerja untuk biaya penggarapan tanah, biaya untuk pembelian pupuk dan pestisida dan

Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis pada perhitungan beban kerja mental mahasiswa Universitas XYZ Yogyakarta jurusan Teknik Industri