• Tidak ada hasil yang ditemukan

In Vitro Culture of Seaweed Kappaphycus Alvarezii Under Different Formulation of Growth Stimulating Substances and Culture Media

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "In Vitro Culture of Seaweed Kappaphycus Alvarezii Under Different Formulation of Growth Stimulating Substances and Culture Media"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KULTUR IN VITRO RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DENGAN FORMULASI ZPT (ZAT PENGATUR TUMBUH) DAN WADAH YANG

BERBEDA

(In Vitro Culture ofSeaweed Kappaphycus alvarezii under Different Formulation of Growth Stimulating Substancesand Culture Media) Mega D. Dalero1, Grevo S. Gerung2, Edwin L.A. Ngangi2, Lawrence J.L.

Lumingas3, Markus T. Lasut2

1 Program Studi S2 (Magister) Ilmu Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi, Manado.

2 Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi, Manado.

3 Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi, Manado.

email : megadayatridalero@gmail.com

ABSTRACT

This study aims at obtaining a sustainably superior seed stock following the characteristics of the parent plant, determining the best formulation of the growth stimulating substance. In general, cytokinin and auxin combination was used, but this study also added with the combination of cytokinin and giberelin and cytokinin and abscisic acid (AA).Parameters measured were bud length, number of buds, and survival rate. Bacterial Vibrio sp test was also done as a cause of the explant mortality. Results showed that the longest bud was recorded in treatment C (S+A 1:2.5) cultured in a jar, 1.343 mm long, 38% of survival, while the highest number of buds was found in treatment B (S+A 1 : 2) 8.86. The shortest bud was recorded in treatment J (S + AA 1:2.5) cultured in a jar, 0.093 mm long, 2.64 buds, 10% of survival, while the explant cultured in the bottle had a length of 0.051 mm long, 1.50 buds, 4% of survival. As conclusion, the best growth stimulating substance was found in the treatment C for the bud length and the survival rate, while the best number of bud was recorded in the treatment B. The best culture tank was topless bottle (aerated). In vitro culture could also use S + G formulation. The explant mortality was caused by Vibrio charchariae. The use of S + AA formulation had lower growth than that of control treatment.

Keywords :in vitro, growth stimulating substance, culture media, Kappaphycus alvarezii, Vibrio charchariae

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh benih unggul secara berkelanjutan yang mengikuti karakteristik dari tanaman induk, menentukan formulasi terbaik dari substansi pertumbuhan merangsang. Secara umum, kombinasi sitokinin dan auksin digunakan, tetapi penelitian ini juga menambahkan

kombinasi sitokinin, giberelin, sitokinin dan asam absisat (AA). Parameter yang diukur adalah panjang tunas, jumlah tunas, dan tingkat kelangsungan hidup. Bakteri Vibrio Uji sp juga dilakukan sebagai penyebab kematian eksplan . Hasil penelitian menunjukkan bahwa tunas terpanjang terdapat pada perlakuan C (S + A 1: 2,5) kultur dalam toples, 1,343 mm, 38% hidup, sementara

(2)

jumlah tertinggi tunas ditemukan pada perlakuan B (S + A 1: 2) 8.86 . Jumlah tunas paling sedikit terdapat pada perlakuan J (S + AA 1: 2,5) yang dikultur dalam toples, 0,093 mm, 2,64 tunas, 10% hidup, sedangkan eksplan yang dikultur dalam botol memiliki panjang 0.051 mm, 1. 50 tunas , 4% bertahan hidup. Sebagai kesimpulan, pertumbuhan terbaik merangsang zat ditemukan dalam perlakuan C untuk panjang tunas dan tingkat kelangsungan hidup, sementara jumlah tunas terbanyak ditemukan pada perlakuan B. Penggunaan wadah budaya terbaik adalah topless yang diaerasi. Kultur in vitro juga dapat menggunakan formulasi S + G. Kematian eksplan disebabkan oleh Vibrio charchariae . Penggunaan formulasi S + AA memiliki pertumbuhan yang lebih rendah dari pada pengobatan kontrol .

Kata kunci : in vitro, zat perangsang tumbuh, media kultur, Kappaphycus alvarezii, Vibrio charchariae

PENDAHULUAN

Rumput laut Kappaphycus alvarezii merupakan rumput laut yang komersial bagi industri, karena kandungan kappa karagenannya yang tinggi yaitu + 20%. Produk yang dihasilkan digunakan untuk bahan makanan, kecantikan, pupuk, pengendalian pencemaran logam berat serta pakan ternak (Plant use, 2016). Rumput laut merupakan komoditas yang memenuhi kriteria triple track : pro job, pro poor, dan pro growth ( Mulyaningrum et al., 2012).

Ketersediaan bibit rumput laut merupakan upaya budi daya untuk memenuhi permintaan pasar dunia sebagai komoditas andalan. Pada tahun 2007, kasus manipulasi pedagang dan faktor lingkungan mempengaruhi kelangkaan karagenan secara tiba-tiba. Hal ini juga didukung oleh data produksi Kappaphycus alvarezii, Indonesia berada di urutan ke tiga dari empat negara penghasil karagenan yang didistribusikan ke seluruh dunia yaitu sekitar 25.000 ton pada tahun 2001 (FAO, 2013). Target produksi rumput laut tahun 2016 yaitu 11 juta ton dan tahun 2017 mengalami kenaikan mencapai 13,4 juta ton (KKP, 2017).

Perubahan iklim yang tak menentu menimbulkan dampak terhadap kualitas rumput laut budi daya yaitu : terserang penyakit dan ketersediaan stok bibit unggul yang sulit didapatkan. Hasil survei yang dilakukan untuk daerah

Sulawesi Utara yaitu Desa Nain, Desa Arakan dan Desa Buku ditemukan kondisi budi daya yang sangat memprihatikan. Stok rumput laut khususnya Kappaphycus alvarezii masih didapatkan dari Desa Buku Kecamatan Belang.

Perkembangan produk dalam bidang bioteknologi diharapkan dapat memenuhi ketersediaan rumput laut, hal ini disebabkan karena kandungan senyawa kimia yang dimanfaatkan dalam industri pangan, farmasi dan kosmestik untuk itu para peneliti melakukan upaya pengembangan produk.

Salah satu cara dalam pengembangan bioteknologi rumput laut dengan teknik kultur jaringan secara in vitro. Kultur jaringan merupakan alternatif untuk mengatasi kendala ketersediaan bibit (Anggadiredja et al., 2008). Penerapan teknik aseptik harus diperhatikan (kondisi eksplan, media dan laboratorium) karena mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan.Kultur jaringan secara in vitro dalam kondisi aseptik dengan penggunaan formulasi zat pengatur tumbuh dapat menunjang keberhasilan pertumbuhan talus untuk bibit unggul.

Zat pengatur tumbuh (ZPT) dalam bahasa asing dikenal dengan istilah PGR (Plant Growth Regulator). Zat pengatur tumbuh tanaman terdiri dari pengatur tumbuh endogen (fitohormon) dan eksogen (sintetik). Fitohormon dihasilkan dalam senyawa tanaman

(3)

dalam kosentrasi rendah yang mempengaruhi pertumbuhan, sedangkan sintetik dihasilkan dari senyawa yang direkayasa dengan kosentrasi tertentu yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Sitokinin (IAA) dan auksin (kinetin, zeatin) yang digunakan dalam formulasi ZPT pada rumput laut Kappaphycus alvarezii. ZPT merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan talus yang menentukan keberhasilan memperoleh bibit unggul (Prakoeswa et al., 2009). Bibit unggul hasil teknik kultur jaringan, dalam penerapannya di alam, dapat menghasilkan panen tiga kali lipat (Mansyur, 2017 dalam KKP, 2017). Zat pengatur tumbuh yang digunakan pada penelitian ini yaitu sitokinin (S), auksin (A), gibererlin (G), asam absisat (AA), hal ini didukung dari hasil pra penelitian yang menunjukan bahwa dari kelima zat, hanya etilen yang eksplannya tidak dapat bertahan. Media pertumbuhan yang digunakan yaitu grund medium. Wadah yang digunakan yaitu toples yang diaerasi (TA) dan botol yang dishaker (BS) untuk tempat kultur in vitro.

Penelitian ini dilakukan untuk menentukan formulasi ZPT dan wadah yang berbeda terhadap pengaruh laju pertumbuhan untuk regenerasi talus rumput laut Kappaphycus alvarezii.

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2018. Penamanan eksplan dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler, penanaman bakteri pada media TCBS untuk uji bakteri Vibrio, sp dilakukan di Laboratorium Farmakologi Kelautan FPIK UNSRAT dan uji biokimia di BPIKM Bitung.

Tahap Pelaksanaan

Adapun tahap pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian yaitu : 1) Pengambilan eksplan yang berasal dari perairan Desa Buku diaklimatisasi

selama 2 hari dengan menggunakan aerasi di dalam cool box, 2) Pembuatan media, media kultur yang digunakan yaitu Grund Medium yang komposisi senyawa organik dilarutkan kedalam 500 ml aquades steril, 3) Pembuatan ZPT dibuat sesuai dengan formulasi yang telah ditentukan; perlakuan A (S + A 1 : 1), B (S + A 1 : 2), C (S + A 1 : 2.5), D (S + G 1 : 1), E (S + G 1 : 2.5), F (S + G 1 : 2.5), G (S + AA 1 : 1), H (S + AA 1 : 2), I (S + AA 1 :2.5) dan kontrol, 4) Sterilisasi alat menggunakan autoklaf atau etanol dan sterilisasi eksplan dilakukan dengan 3 tahapan; perendaman eksplan dengan betadine 1 %, spektrum luas 0.1 % dan antibiotik mix 300 ppm, 5) Penanaman eksplan pada media; eksplan dipotong menjadi 1 cm selanjutnya ditempatkan pada wadah toples (diaerasi on H pada siang hari on L pada malam hari) dan botol (dishaker dengan kecepatan 70-80 putaran permenit pada siang hari) sesuai dengan perlakuan setelah itu diletakan pada rak kultur, suhu ruangan 25 0C, intensitas cahaya yang digunakan 1500 lux, lama foto periode L : D 12 :12, 6) Amati eksplan setiap hari selama 14 hari, apabila eskplan dalam kondisi segar dan menunjukan adanya pertumbuhan tunas, maka dilanjutkan dengan proses pengamatan, 7) Pengamatan dilakukan selama 7 minggu untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan tunas setiap minggu. Data hasil perhitungan rata-rata pertumbuhan harian dianalisis secara statistik dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar.

Jenis Penelitian dan Sumber Data Jenis penelitian ini ialah eksperimen, dan data diperoleh dari hasil uji laboratorium. Rancangan acak lengkap (RAL) dengan teknik analisis ragam multi faktor. Penambahan ZPT formulasi berbeda pada media tumbuh grund dengan menggunakan wadah toples yang diaerasi (TA) dan botol yang dishaker (BS), dilakukan 9 perlakuan dengan masing-masing 5 kali ulangan.

(4)

Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini, yaitu ; Analisis Ragam Perlakuan A, B, C, D, E, F, G, H, I, dan kontrol (tanpa ZPT) yang terdiri dari dua perbandingan penggunaan wadah TA dan BS dengan formulasi zat pengatur tumbuh. Perhitungan yang digunakan data kuantitatif yaitu Parameter yang diamati yaitu (1) panjang tunas; (2) jumlah tunas; (3) sintasan. Mortalitas eksplan diindikasi dengan adanya bakteri Vibrio, sp. Mortalitas eskplan disajikan secara deskriptif. Adapun rumus yang digunakan, yaitu :

1. Rumus Laju Pertumbuhan Harian (Ditjen Perikanan Budidaya, 2007) :

𝟏 𝒏 G (%) = 𝑾𝒏

𝑾𝒐 - 1 x 100 G = Laju pertumbuhan harian

Wn = Panjang tunas awal Wo = Panjang tunas akhir N = Lama kultur

2. Rumus Laju Generasi (Yokoya et al., 2004) :

R (%) = (Fr/Fo) x100 R = Laju generasi (%)

Fr = Jumlah tunas yang beregenerasi F0 = Jumlah jumlah awal

3. Rumus Sintasan (Fadel, 2013) :

SR (%) = (Nt/No) x 100

SR = Kemampuan hidup eksplan (sintasan) Nt = Jumlah eksplan yang hidup pada hari

ke t.

No = Jumlah eksplan pada awal pemeliharaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertambahan Panjang Tunas

Pada wadah toples yang diaerasi

(TA) pertumbuhan panjang tunas tertinggi pada perlakuan C yaitu rata-rata pertumbuhan 1.343 mm , berbeda nyata dengan delapan perlakuan lain yaitu B (1.168 mm), A (0.933 mm), F (0.833 mm), E (0.714 mm), D (0.588 mm) dan terendah pada perlakuan G (0.350 mm), H (0.178 mm) dan I (0.093 mm) paling rendah dari kontrol yaitu 0.585 mm.

Gambar 1. Rata-rata Panjang Tunas K. alvarezii pada wadah TA Hasil menunjukan penggunaan zat

perangsang tumbuh pengaruh nyata. Perbandingan rata-rata laju pertumbuhan panjang tunas, perlakuan C memperoleh panjang tunas tertinggi

sedangkan perlakuan ke sembilan yang terendah hanya 6.92 % laju pertumbuhannya dan tanpa perlakuan 43 % laju pertumbuhan untuk kontrol. Hal ini disebabkan karena penggunaan 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 A B C D E F G H I K

(5)

kosentrasi ZPT yang berbeda. Berdasarkan hasil yang didapat dari gabungan kosentrasi sitokinin + auksin adalah yang terbaik, sitokinin + giberelin juga memiliki pengaruh yang baik pada pertumbuhan eksplan lebih tinggi dari kontrol sedangkan gabungan sitokinin dan asam absisat berpengaruh menghambat.

Pada wadah botol yang dishaker

(BS) pertumbuhan panjang tunas tertinggi pada perlakuan C yaitu rata-rata pertumbuhan 1.120 mm , berbeda nyata dengan delapan perlakuan lain yaitu B (0.961 mm), A (0.789 mm), F (0.697 mm), E (0.619 mm), D (0.499 mm) dan terendah pada perlakuan G (0.297 mm), H (0.171 mm) dan I (0.051 mm) paling rendah dari kontrol yaitu 0.570 mm.

Gambar 2. Rata-rata Panjang Tunas K. alvarezii pada Wadah BS Hasil menunjukan penggunaan

zat perangsang tumbuh pengaruh nyata. Perbandingan rata-rata laju pertumbuhan panjang tunas, perlakuan ke tiga memperoleh panjang tunas tertinggi sedangkan perlakuan I yang terendah hanya 4.55 % laju pertumbuhannya dan tanpa perlakuan 50.89 % laju pertumbuhan untuk kontrol. Hal ini disebabkan karena penggunaan kosentrasi ZPT yang berbeda. Berdasarkan hasil yang didapat dari gabungan kosentrasi sitokinin + auksin adalah yang terbaik, sitokinin + giberelin juga memiliki pengaruh yang baik pada pertumbuhan ekplan lebih tinggi dari kontrol sedangkan gabungan sitokinin dan asam absisat berpengaruh menghambat pertumbuhan eksplan lebih rendah dari kontrol.

Hasil pengamatan pertumbuhan maksimum panjang tunas yang terbaik adalah menggunakan pada perlakuan C sedangkan kosentrasi pada perlakuan G,H,I tidak baik digunakan untuk

pertumbuhan eksplan karena menghambat pertumbuhan eksplan karena lebih rendah dari kontrol.

Perbandingan presentase rata-rata panjang tunas TA dan BS, menunjukan eksplan tanpa perlakuan perbandingannya terendah yaitu 2.56%, tertinggi pada eksplan perlakuan I yaitu 45.16 % dan pada perlakuan A,B,C,D,E,F,G berkisar 13.31% sampai 17.72 %, dapat dilihat pada gambar 3.

Zat pengatur tumbuh yang terbaik untuk digunakan adalah sitokinin + auksin, sitokinin + giberelin dapat juga digunakan untuk eksplan. Namun untuk sitokinin dan asam absisat tidak baik untuk digunakan karena hasilnya lebih rendah dari kontrol berdasarkan fungsinya sebagai penghambat pada tumbuhan tingkat tinggi. Kosentrasi yang digunakan untuk sitokinin pada semua perlakuan adalah 0.5 mg/l. Hal ini didukung oleh penelitian Induksi

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 A B C D E F G H I K

(6)

Kalus Suryati dan Mulyaningrum (2009) dengan kosentrasi 0.4mg/l dan 0.5 mg/l pada penelitian Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Fadel (2013). Penggunaan kosentrasi yang tepat dan didukung dengan media pertumbuhan fungsinya sebagai hormon eksogen akan

merangsang pertumbuhan bagian meristem apikal. Meristem apikal adalah bagian pucuk atau ujung talus yang akan mengeluarkan tunas-tunas pada bagian tubuh rumput laut. Tunas mulai muncul pada masa 2 minggu masa kultur.

Gambar 3. Perbandingan Rata-Rata Panjang Tunas TA & BS Perbandingan rata-rata panjang

tunas TA dan BS menunjukan panjang tunas tertinggi pada perlakuan dengan menggunakan TA. Hal ini disebabkan karena pada TA terdapat gelembung yang dihasilkan (on H pada siang hari on L pada malam hari) 12 : 12 sedangkan BS hanya menggoncang 70 sampai 80 putaran per menit dilakukan sehari sekali pada siang hari.

Jumlah Tunas

Pada wadah TA, penggunaaan zat perangsang tumbuh berpengaruh nyata, dengan pertumbuhan jumlah tunas tertinggi pada perlakuan B yaitu rata-rata pertumbuhan 8.86 , berbeda nyata dengan delapan perlakuan lain yaitu C (8.78), A (8.66), D (7.42), E (7.22), F (7.14) dan terendah pada perlakuan G (3.94), H (3.44) dan I (2.64) paling rendah dari kontrol yaitu 5.08.

Gambar 4. Rata-rata Jumlah Tunas K. alvarezii pada wadah TA 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 A B C D E F G H I K

(7)

Perbandingan jumlah tunas , perlakuan B memperoleh panjang tunas tertinggi sedangkan perlakuan I yang terendah hanya 29.80 % laju pertumbuhannya dan tanpa perlakuan 57.34 % jumlah tunas untuk kontrol.

Pada wadah BS, penggunaaan zat perangsang tumbuh berpengaruh nyata,

dengan pertumbuhan jumlah tunas tertinggi pada perlakuan B yaitu rata-rata pertumbuhan 7.96, berbeda nyata dengan delapan perlakuan lain yaitu A 7.94, C 7.56, F 7.84,E 7.52, D 7.42 dan terendah pada perlakuan G, H (3.62) dan I (1.5) paling rendah dari kontrol yaitu 4.3.

Gambar 5. Rata-rata Jumlah Tunas K. alvarezii pada Wadah BS

Perbandingan rata-rata presentase jumlah tunas, perlakuan B memperoleh panjang tunas tertinggi sedangkan perlakuan I yang terendah

hanya 18.84 % laju pertumbuhannya dan tanpa perlakuan 54.02 % jumlah tunas untuk kontrol.

Gambar 6. Perbandingan Rata-Rata Jumlah Tunas TA & BS

Perbandingan rata-rata jumlah tunas TA dan BS, menunjukan eskplan perlakuan A terendah yaitu 8.31% dan tertinggi pada eksplan perlakuan I yaitu 69.23 % dan pada perlakuan B,C,D,E,F,G,H berkisar 15.35 % sampai 45.85 %.

Sintasan

Sintasan pada wadah TA (C) 22, (B) 19 , (A, F) 18, (E) 17, (D) 11 dan terendah pada perlakuan (G,H) 8 dan (I) 5 paling rendah dari kontrol yaitu 10 . Perlakuan C memperoleh sintasan

0 2 4 6 8 10 A B C D E F G H I K

(8)

tertinggi yaitu 44 % sedangkan perlakuan I yang terendah 10% dan

tanpa perlakuan 20 % sintasan untuk kontrol.

Gambar 7. Rata-rata Presentase Sintasan K. alvarezii pada wadah TA Sintasan pada wadah BS, (C) 16 ,

(A) 8, (B) 14, (F) 11, (D,E) 9 dan terendah pada perlakuan (H) 6, (G) 3 dan (I) 2 paling rendah dari kontrol yaitu 7. Perbandingan presentase sintasan

pada perlakuan C memperoleh sintasan tertinggi yaitu 32% sedangkan perlakuan I yang terendah hanya 4% dan tanpa perlakuan 14 % sintasan untuk kontrol.

Gambar 8. Rata-rata Presentase Sintasan K. alvarezii pada wadah BS Perbandingan rata-rata sintasan

pada wadah TA dan BS, menunjukan eskplan perlakuan D terendah yaitu 18.18 % dan tertinggi pada eksplan

perlakuan G yaitu 62.50 % dan pada perlakuan A,B,C,E,F,H,I berkisar 25 % sampai 60 %.

Gambar 9. Perbandingan Rata-Rata Sintasan TA & BS

0 5 10 15 20 25 A B C D E F G H I K 0 5 10 15 20 A B C D E F G H I K 0 5 10 15 20 25 A B C D E F G H I K Sintasan TA Sintasan BS

(9)

Dari hasil penelitian yang ada pada sintasan keduanya tidak pengaruh nyata. Kematian pada eskplan disebabkan karena kondisi bibit yang kurang baik dan proses sterilisasi yang kurang maksimal, hal ini didukung dengan uji bakteri Vibrio sp, di temukan Vibrio Characariae pada eskplan yang ada.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Formulasi zat pengatur tumbuh terbaik pada panjang tunas yaitu pada formulasi C (Sitokinin + Auksin 1 :2.5) dan pada jumlah tunas yaitu pada perlakuan B (Sitokinin + Auksin 1 : 2)

2. Formulasi zat pengatur tumbuh antara sitokinin yang dikombinasikan dengan auksin, giberelin dan asam absisat yang terbaik adalah pada sitokinin + auksin, sitokinin + giberelin dapat juga digunakan sedangkan sitokinin + asam absisat tidak dianjurkan untuk digunakan karena menghambat pertumbuhan eksplan seperti fungsinya pada tumbuhan tingkat tinggi

3. Wadah terbaik untuk digunakan dalam penelitian adalah Toples yang diaerasi

4. Penyebab kematian eskplan, diindikasi adanya bakteri Vibrio charchariae

DAFTAR PUSTAKA

Anggadiredja, J.T., Zatnika, A., Purwoto, H. & Istini, S., 2008. Rumput laut, pembudidayaa n, pengolahan, dan pemasaran komoditas perikanan potensial. Jakarta : Penebar Swadaya.

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya., 2007. Budidaya Rumput Laut Gracilaria spp di Tambak. Jakarta : Departemen Kelautan dan Perikanan.

FAO., 2013. A guide to the seaweed industry : 6. Seaweed used as a source of carrageenaan. Fisheries and Aquaculture Departemen. [e-book], viewed 09 May 2017, from http://www.fao.org/docrep/006/y47 65e/y4765e09.htm.

Fadel, H. A., 2013. Pengaruh Pemberian Zat Perangsang Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dengan menggunakan Media Grund dan Pes. Tesis. Manado : Universitas Sam Ratulangi.

KKP., 2017. KKP Naikkan Target Produksi Rumput Laut di tahun 2017, diunduh 20 Mei 2017, dari

http://aquaculture-mai.org/archives/1966.

Mulyaningrum, H.R.S., Nursyam, H., Risjani, Y. & Parenrengi, A., 2012.

‘Regenerasi Filamen Kalus

Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dengan Formulasi Zat

Pengatur Tumbuh yang Berbeda’, Jurnal Penelitian Perikanan, 1 (1), 52-60, diunduh 29 Maret 2017, dari http://jpp. ub.ac.id/index.php /jpp/article/ view/ 118.

Plant use., 2016. Kappaphycus alvarezii, viewed 01 May 2017, from http://uses.plantnet-project.org/en/Kappaphycus%20_ alvarezii_(PROSEA).

Prakoeswa, S., Ribkahwati, A. & Suryaningsih, D, R., 2009. Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Sidoarjo : Dian Prima Lestari. Hal. 3-29.

Suryati, E. & Mulyaningrum, S.R.H.,

2009. ‘Regenerasi Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (Doty) melalui Induksi Kalus dari Embrio dengan Penambahan Hormon Perangsang secara In Vitro, Jurnal Riset Akuakultur, 4 (1), 39-45, diunduh 10 April 2017, dari http://ejournal-balitbang.kkp. go.id/index.php/

(10)

Yokoya, N. S., West, J. A. & Valentino.,

2004. ‘Effects of Plant Growth

Regulators on Callus Formation, Growth and Regeneration in Axenic Tissue Cultures of Gracilaria tenuistipitata and Gracilaria perplexa (Gracilariales,

Rhodophyta)’, Phycological Research, 3 (52) , pp. 244–254, viewed 09 Mei 2017, from http:// online library. wiley.com /doi/10.1111/j.1440-183. 2004. 00 349.x/abstract.

http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/platax http://aquaculture-mai.org/archives/1966. http://jpp. http://uses.plantnet-project.org/en/Kappaphycus%20_ alvarezii_(PROSEA). http://ejournal-balitbang.kkp.

Gambar

Gambar 1. Rata-rata Panjang Tunas K. alvarezii pada wadah TA    Hasil menunjukan penggunaan zat
Gambar 2. Rata-rata Panjang Tunas K. alvarezii pada Wadah BS  Hasil  menunjukan  penggunaan
Gambar 3. Perbandingan Rata-Rata Panjang Tunas TA & BS   Perbandingan  rata-rata  panjang
Gambar 5. Rata-rata Jumlah Tunas K. alvarezii pada Wadah BS
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir tepat pada waktunya dengan judul

penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika ilmu. yang berlaku dalam masyarakat

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang berjudul “Aplikasi Data

Berdasarkan analisis ketersediaan, kebutuhan dan jaringan sistem penyediaan air bersih untuk Desa Paputungan yang bersumber dari Sungai Dahiyango dapat

El tallo principal o tronco del árbol, forma una horqueta, generalmente a la altura del pecho de una persona adulta, de donde salen de 4 a 5 ramas primarias.. En algunos lugares

Analisis tentang kebijakan pemerintah mengenai pangan difokuskan pada kebijakan dan program-program yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pangan bagi rumah tangga

Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintahannya dalam menjaga keamanan nasional Amerika Serikat adalah mengeluarkan kebijakan larangan perjalanan atau Travel Ban pada

“Untuk mendapatkan informasi dengan menggunakan angket ini, peneliti tidak harus bertemu langsung dengan subyek tetapi cukup dengan mengajukan pertanyaan atau pemyatan