• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Sebagai sebuah teks sastra yang bersifat kanonik, yaitu yang dikukuhkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Sebagai sebuah teks sastra yang bersifat kanonik, yaitu yang dikukuhkan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai sebuah teks sastra yang bersifat kanonik, yaitu yang dikukuhkan sebagai “ukuran”, norma, pegangan yang berwibawa, sukma bagi kehidupan komunitas yang memegangnya, standar yang menjadi sumber ilham bagi kehidupan penciptaan generasi berikutnya, (Arsuka, 2003: 206), La Galigo menceritakan perjalanan kehidupan manusia di dunia, yang tidak urung mengungkap sisi terang dan kelam perilaku manusia terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Sifat kanonik pada mitos La Galigo itulah yang menunjukkan tingkat kesadaran masyarakat Bugis dan beberapa kelompok masyarakat lain di jazirah Sulawesi, terhadap kehidupannya. Tingkat kesadaran yang berupa penataan kehidupan dan pembentukan peradaban, yang tergambarkan melalui sebentuk karya sastra epik.

Sebagai sebuah mitos, sebagaimana mitos-mitos lainnya yang dilahirkan oleh sebuah rezim kekuasaan, La Galigo yang terformat sebagai mitos yang bersifat magis-religius, berfungsi untuk melegitimasi dan mengukuhkan sebuah kekuasaan. Para aristokrat yang memegang tampuk kekuasaan pada pemerintahan tradisional Bugis dianggap sebagai titisan dewata yang bertakhta di Boting Langi’ atau di kahyangan. Namun demikian, La Galigo juga telah menunjukkan fungsinya yang lain sebagai pembawa nilai dan telah memperlihatkan sistem pengetahuan, serta kebudayaan yang pernah dimiliki oleh masyarakat Bugis.

(2)

La Galigo sebagai sebuah karya sastra, yang oleh sebagian masyarakat Bugis masih sangat disakralkan, menjadi salah satu sumber nilai dalam khasanah kebudayaan Bugis. Sebagai salah satu sumber nilai, baik nilai etis maupun nilai estetis, hingga saat ini La Galigo masih dianggap sebagai gerbang untuk mengungkap konsep nilai yang pernah dijadikan sebagai pedoman kehidupan bagi masyarakat Bugis. Selain itu, La Galigo juga dianggap sebagai pintu masuk untuk mencoba mengenal sejarah kerajaan-kerajaan yang pernah eksis di Sulawesi Selatan dan sekitarnya, khususnya kerajaan yang dianggap sebagai kerajaan tertua di Sulawesi, yaitu Kedatuan Luwu, yang diceritakan dalam La Galigo sebagai kerajaan yang didirikan oleh Batara Guru sebagai mula tau atau manusia pertama di bumi, yang biasa juga disebut sebagai tomanurung atau manusia yang diturunkan dari langit.

Terdapat beragam konsep nilai yang merupakan kearifan lokal masyarakat Bugis, pernah dipraktekkan secara konsisten di masa lalu, dan sebagian di antara konsep-konsep nilai yang dimaksud masih bisa dilacak keberadaannya, karena hingga saat ini masih terdapat di kalangan masyarakat Bugis yang tetap mempraktekkan nilai-nilai yang merupakan warisan yang lahir dari kecerdasan para cendekiawan Bugis di masa lampau. Sangat beruntung, karena masyarakat Bugis adalah salah satu etnis di Indonesia yang memiliki sistem aksara dan tradisi menulis, yang kemudian digunakan untuk mendokumentasikan sistem pengetahuan yang mereka miliki, termasuk menuliskan dalam berbagai bentuk tulisan, konsep nilai yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ketika itu. Konsep nilai dalam kebudayaan Bugis, yang

(3)

terekam dalam bentuk tulisan, hingga saat ini masih bisa dibaca dan diungkap berbagai macam misteri yang terkandung di dalamnya, termasuk nilai-nilai kemanusiaan.

Pemahaman tentang manusia dalam nilai-nilai budaya Bugis misalnya, dapat dimulai penelusurannya dengan berangkat dari pembacaan terhadap naskah La Galigo, sebuah epos yang diawali dengan episode mula tau atau manusia pertama yang diturunkan dari Boating Langi. Berawal pada episode pertama tersebut, dapat dilihat bagaimana budaya Bugis memandang manusia sebagai entitas yang berkesadaran.

Penciptaan manusia, dalam pemahaman budaya Bugis yang bersumber dari epos La Galigo, sangat erat kaitannya dengan persoalan eksistensi para dewa yang berkuasa di Boting Langi atau dunia atas. Batara Guru sebagai anak sulung dari Patoto’e yang bertakhta sebagai maharaja di dunia atas, diturunkan ke Ale Kawa atau dunia tengah untuk menjadi tunas bagi kehidupan manusia. Konsep penciptaan manusia pertama yang dimaksud dalam La Galigo adalah merupakan proses perubahan eksistensi Batara Guru sebagai dewa menjadi Batara Guru sebagai manusia yang menghuni dunia tengah. Penciptaan tersebut dimaksudkan untuk melegitimasi eksistensi para dewa sebagai dewa yang disembah oleh manusia penghuni dunia tengah, eksistensi mereka yang bertakhta di Boting Langi dan di Peretiwi. “Kita bukanlah dewata, apabila tak satu pun orang di kolong langit menyeru tuan kepada Batara”. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa para dewa membutuhkan

(4)

untuk di-ada-kan atau untuk dihadirkan, atau untuk diakui keber-ada-an mereka, dan mereka tidak akan pernah ada ketika tidak ada pengakuan.

Jika manusia dilihat sebagai entitas yang hadir dengan kesadarannya, maka dalam konteks nilai-nilai budaya Bugis, manusia dipandang sebagai sebuah entitas yang terdiri dari dua unsur, yaitu unsur luar dan unsur dalam. Unsur luar manusia yang dimaksud adalah unsur fisik, unsur yang dapat terjangkau oleh pancaindra, yaitu tubuh yang dalam bahasa Bugis disebut watakkale. Sementara itu, Unsur dalam pada manusia adalah unsur-unsur yang immaterial atau non fisik yang kehadirannya tak terjangkau oleh pancaindra. Unsur tersebut dikategorikan sebagai jiwa, yang dalam bahasa Bugis disebut bannapati, namun dalam pandangan nilai-nilai budaya Bugis terdapat beberapa unsur lain yang terkadang disinonimkan dengan bannapati, unsur tersebut diantaranya adalah ininnawa, sumange’ dan tiyo atau tiniyo. Namun, yang dikatakan sebagai tau atau manusia adalah ketika dua unsur yang dimaksud tersebut hadir sebagai satu entitas.

Sebagai makhluk yang berkesadaran, manusia Bugis dalam perjalanan kehidupannya, kemudian mengkonstruksi nilai-nilai yang merupakan kreasi kesadaran kemanusiaan manusia Bugis, dalam hal ini termasuk mengkonstruksi nilai-nilai kemanusiaan yang terpatri dalam ruang-ruang kesadaran mereka. Ruang-ruang kesadaran manusia Bugis, kemudian menghasilkan konsep-konsep relasi antarmanusia yang mengantarkan manusia Bugis untuk menghadirkan manusia lain sebagai subjek, sebagaimana dirinya sebagai subjek, untuk saling menghadirkan dan

(5)

berdialog antarsubjek. Konsep relasi antarmanusia yang lahir dari ruang kesadaran manusia Bugis yaitu konsep sipassiriki, sebuah konsep yang kemudian termanifestasi dalam pola sipakatau dan sipakalebbi.

Sipakatau atau saling memanusiakan, dalam konsep nilai-nilai budaya Bugis, merupakan konsep relasi antarmanusia yang dibangun dari pemahaman tentang manusia sebagai makhluk titisan dewa, makhluk yang mulia. Sebagai titisan dewa, maka selayaknya jika sesama manusia dalam kehidupan ini saling memanusiakan, karena tidak ada yang lebih dari yang lain, demi memberikan cahaya kehidupan kepada bumi yang pada awalnya gelap gulita, tidak berpenghuni. Sipakatau, mengandung makna ke-saling-an atau “hubungan yang saling” di antara sesama manusia, yang di dalamnya tidak mengandung objek di antara yang “saling”, yang ada adalah Aku subjek, Engkau pun subjek.

Sebuah ungkapan dalam bahasa Bugis yang mengatakan, pakataui ri padammu rupa taue, manusiakanlah sesamamu manusia, menjadi penegas terhadap penegakan praktek konsep sipakatau dalam masyarakat Bugis. Dalam ungkapan tersebut mengandung makna ke-saling-an di antara sesama manusia, dan juga mengandung makna tidak mengenal perbedaan. Makna ke-saling-an bisa ditemukan pada kata pakataui, saling memanusiakanlah. Sementara itu, yang mengandung makna tidak mengenal perbedaan, bisa dilihat pada kalimat ri padammu rupa taue. Kalimat tersebut mengandung makna bahwa rupa tau adalah entitas makhluk yang berkesadaran yaitu manusia, tanpa ada unsur pembeda di antara sesama rupa tau atau

(6)

manusia. Jadi, setiap rupa tau atau manusia harus mendapat perlakuan sesuai martabatnya sebagai manusia tanpa mengenal unsur-unsur pembeda, apakah dia manusia berkulit hitam atau berkulit putih, austronesia atau kaukasus, Bugis atau Jawa, Hindu atau Islam, perempuan atau laki-laki, selama sebagai manusia maka harus mendapat perlakuan sebagai manusia.

Pada sisi lain, sipakalebbi juga merupakan konsep yang sarat mengandung nilai-nilai kemanusiaan, sebuah konsep yang memberikan posisi kepada manusia sebagai makhluk yang memiliki kemuliaan. Sipakalebbi dalam pemahaman masyarakat Bugis diartikan dengan saling memuliakan, tentunya yang saling memuliakan adalah makhluk yang memiliki kemuliaan berupa kesadaran terhadap diri dan kehidupannya. Sipakalebbi juga merupakan sebuah konsep ke-saling-an, selain sipakatau, dalam praktek nilai-nilai budaya Bugis, yang bermakna saling memberi kemuliaan atau saling menghargai di antara sesama manusia. Setiap manusia dianggap harus memberikan perlakuan mulia kepada setiap manusia yang lain, karena setiap manusia lahir dengan membawa alebbireng atau kemuliaan, dan di antara sesama manusia wajib untuk saling memuliakan, karena manusia merupakan titisan dewa yang bertugas menerangi dunia ini dengan cahaya kehidupan.

Pada dasarnya, terdapat dua kemuliaan atau alebbireng yang dimiliki oleh setiap manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia ini. Kedua kemuliaan yang dimaksud tersebut yaitu, kemuliaan atau alebbireng yang melekat pada diri manusia yang menyertai kehadirannya sebagai manusia, alebbireng ri alemu na muriaseng

(7)

tau. Hal tersebut bisa dikatakan sebagai kemuliaan substansial. Sedangkan kemuliaan atau alebbireng yang kedua yaitu, Kemuliaan atau alebbireng yang disematkan kepada setiap manusia, alebbireng ri atuo-tuongemmu. Kemuliaan yang dimaksud adalah kemuliaan yang hadir setelah manusia hadir terlebih dahulu, dalam hal ini adalah kemuliaan yang dilekatkan atau disematkan, bukan kemuliaan yang menyertai kehadiran manusia. Kemuliaan semacam ini adalah kemuliaan yang diterima oleh manusia dalam kehidupan sosialnya, dan oleh karena itulah sebagai sesuatu yang dilekatkan atau disematkan, maka kemuliaan semacam ini lebih bersifat artifisial.

Sebagaimana konsep sipakatau, konsep sipakalebbi juga tidak mengenal perbedaan, sepanjang sebagai manusia maka wajib untuk diberi kemuliaan sebagai seorang manusia. Ungkapan pakalebbi i ri padammu rupa taue menegaskan hal tersebut, dan tidak memberi ruang pemahaman untuk saling menistakan karena adanya perbedaan.

Pada prinsipnya, dalam pemahaman budaya Bugis, ketika manusia berupaya untuk saling memanusiakan dan saling memuliakan sesama manusia, maka upaya tersebut merupakan upaya untuk membangun relasi, serta merupakan bentuk pengabdian kepada Yang Maha Kuasa, atau dewata seuwwae dalam kepercayaan tradisional masyarakat Bugis, dengan dasar pemahaman bahwa manusia adalah makhluk yang dijelmakan ke Ale Kawa’ oleh dewata seuwwae untuk menegakkan kehidupan, bukan untuk merusak kehidupan. Menegakkan kehidupan berarti membangun relasi dan dialog dengan Yang Abadi, yaitu Tuhan, karena menegakkan

(8)

kehidupan di dunia adalah kehendak Sang Maha Kuasa, bukan pilihan manusia. Konsep pengabdian semacam ini, kepada dewata seuwwae, oleh masyarakat bugis dikenal dengan konsep mappesona ri dewata seuwwae.

Bersumber dari pemahaman tentang konsep relasi antarmanusia yang telah diuraikan tersebut di atas, menunjukkan jika kajian relasi antarmanusia yang terdapat dalam nilai-nilai budaya Bugis, memiliki relevansi yang kuat dengan usaha pembangunan pemahaman tentang Hak Asasi Manusia atau HAM, khususnya di Indonesia. Kajian tersebut di atas dapat juga dijadikan sebagai sumbangan pemikiran atas persoalan kemanusiaan yang tidak berhenti mendera bangsa ini. Paling tidak, bisa memberikan pencerahan pemahaman tentang entitas manusia sebagai makhluk yang berkesadaran, yang memiliki hak-hak mendasar untuk hidup dan menjalani kehidupannya.

B. Saran

Sebagai sebuah negara multikultural, Indonesia tentunya memiliki sangat banyak kearifan lokal, yang bersumber dari setiap etnis dan budaya yang mendiami setiap sudut negeri ini. Namun kebanyakan kearifan lokal di negeri ini masih menjadi barang antik yang tidak terjamah oleh ilmu pengetahuan. Kearifan lokal pada dasarnya kaya akan nilai-nilai yang bisa dielaborasi menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, bukan justru dijadikan sebagai barang antik yang dikeramatkan, yang tidak jelas apa manfaatnya bagi kehidupan manusia.

(9)

Kearifan lokal bukanlah sesuatu yang hadir untuk dikeramatkan dan disimpan dengan rapi layaknya barang antik, tetapi hadir untuk dijadikan sebagai nilai-nilai dalam menuntun kehidupan masyarakatnya. Kemudian, bagi generasi selanjutnya kelak, makna-makna yang terkandung di dalam kearifan lokal bisa diurai agar menjadi pengetahuan yang lebih aplikatif. Misalnya saja, ketika tidak ada kepedulian untuk mencoba menggali nilai-nilai yang terkandung dalam setiap kearifan lokal, maka yang terjadi adalah pensakralan terhadap nilai-nilai. Pengetahuan yang terdapat di dalamnya hanyalah menjadi barang usang yang pada akhirnya akan lenyap ditelan zaman, dan masyarakatnya hanya akan memiliki kebanggaan semu bahwa nenek moyang mereka pernah memiliki kearifan yang agung, namun akan gagap ketika ada yang mempertanyakannya.

Studi-studi tentang kearifan lokal sebaiknya semakin digalakkan, agar sistem pengetahuan masyarakat Indonesia di masa lampau, yang hingga saat ini masih banyak terkungkung, bisa diungkap makna-makna yang banyak terkandung di dalamnya. Nilai-nilai kemanusiaan misalnya, dalam setiap sistem pengetahuan yang dimiliki oleh setiap etnis, hampir dapat dipastikan memiliki pandangan dan pemahaman tentang manusia dan kemanusiaan. Pengungkapan nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam kearifan lokal, bisa menjadi bahan pertimbangan dalam menjalin relasi dengan etnis lain, bahkan sangat memungkinkan untuk dijadikan sebagai penunjang untuk membangun kesepahaman antarsesama manusia

(10)

dan antarkelompok masyarakat, serta sebagai penunjang untuk pembangunan Hak Asasi Manusia atau HAM.

Numun tidak dapat disangkal jika selama ini, upaya-upaya penegakan Hak Asasi Manusia atau HAM, hanya menggunakan pendekatan-pendekatan hukum dan politik, belum pernah terdengar adanya upaya untuk menggunakan pendekatan kultural dalam usaha penegakan HAM. Pendekatan kultural dengan menggunakan konsep-konsep kearifan lokal, sangat memungkinkan untuk dijadikan sebagai salah satu model pendekatan dalam rangka pembangunan dan penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia, tidak semata-mata hanya menggunakan pendekatan hukum dan politik. Dengan demikian, nilai-nilai kultural bisa dikatakan turut mengambil peran aktif dalam membangun penegakan Hak Asasi Manusia, khususnya di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pejabat Perwakilan Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 bertindak untuk dan

kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. Dalam ketentuan pasal tersebut batasan kewajiban dan tanggung jawab

Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan media Computer Assisted Instructions model tutorial yang layak dan efektif untuk digunakan dalam proses pembelajran pada

Dengan menggunakan media kartu gambar dari penelitian ini manfaat yang diharapkan agar dapat mengatasi kesulitan anak dalam pengucapan kata benda dan mengetahui

Kombinasi atribut tangible yang menjadi preferensi pasien BPJS di Rumah Sakit Martha Friska dapat dilihat dari nilai kegunaan (utility estimate) yang paling

Maksud penyusunan Panduan Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan di Lembaga Legislatif adalah sebagai acuan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah

Berdasarkan pokok permasalahan diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui bagaimana respon siswa-siswi pada iklan kondom sutra yang diperankan oleh Gaston

Jika pelanggan anda nak buat medical card untuk anak mereka yang di bawah umur 18 tahun, yang sesuai dan yang boleh masuk hanya prisma dan harmoni sahaja?. Jadi jika pelanggan