• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERAPI DESENSITISASI SISTEMATIK DALAM MENURUNKAN TINGKAT KECEMASAN PADA FOBIA JARUM SUNTIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TERAPI DESENSITISASI SISTEMATIK DALAM MENURUNKAN TINGKAT KECEMASAN PADA FOBIA JARUM SUNTIK"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

TERAPI DESENSITISASI SISTEMATIK DALAM MENURUNKAN

TINGKAT KECEMASAN PADA FOBIA JARUM SUNTIK

Togi Fitri A Ambarita

Dosen Fakultas Psikologi Universitas HKBP Nommensen

ABSTRACT

The purpose of this research was to conduct a case study to explain how a systematic desensitization therapy decress anxiety in patients blood-injection-injury phobia. The independent variable was systematic desensitization therapy. The dependent variable was anxious reaction which is a symptom of blood-injection-injury phobia. This research used a quasi-experimental design with a single case, by A-B-A model.

The research participants were patients with blood-injection-injury phobia, diagnosed by an interview developed based on DSM IV. The results of therapy showed that the systematic desensitization therapy could decreass anxiety level from 100 SUD to 40 SUD. After the therapy has been stopped in one week, the scale decreased to be 30 SUD and it stood in next week. Self-administration conducted in this therapy was sufficiently helpful for the effectiveness of therapy. A succses practice of facing real situations conducted after stimulating imaginations was helpful in decreasing SUD number.

Keywords: blood-injection-injury phobia, systematic desensitization, subjective unit of disturbance/SUD

1. PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat ratusan macam fobia, dimana berdasarkan diagnostik ilmu psikologi/psikiatri yang tercantum dalam DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder IV), fobia-fobia tersebut merupakan bagian dari 3 jenis fobia. Pengelompokan fobia berdasarkan kategorisasi DSM-IV, yaitu:

1. Social phobia / fobia sosial(Fobia terhadap pemaparan situasi sosial) yaitu rasa takut akan penilaian orang lain atau takut tampil memalukan didepan publik sehingga cenderung menghindari atau meminimalkan interaksi dengan orang lain, seperti takut jadi pusat perhatian, orang seperti ini senang menghindari tempat-tempat ramai.

2. Agoraphobia /fobia kompleks (Fobia terhadap tempat atau situasi ramai dan terbuka) merupakan rasa takut berada dalam tempat yang padat dan ramai (crowded, bustling place), misalnya di kendaraan umum/ mall; orang seperti ini bisa saja takut keluar rumah.

3. Specific phobia / fobia sederhana atau spesifik (Fobia terhadap suatu obyek/keadaan tertentu) yaitu merupakan rasa takut yang irasional terhadap objek, kondisi, atau aktivitas tertentu. seperti pada binatang, tempat tertutup, ketinggian, dan lain lain.

Dalam DSM IV, fobia merupakan salah satu bentuk perilaku patologis dibawah payung/kategori anxiety disorder. Dari sejumlah penderita anxiety disorder, specific phobia

merupakan kasus yang paling sering muncul (Morisson, 1995). Spesific phobia ini umum terjadi, dimana prevalensinya yaitu 4 – 8.8 persen dari masyarakat Amerika Serikat (American Psychiatric Assosiation, dalam Nolen, 2004). Prevalensinya sepanjang kehidupan diperkirakan berkisar antara 7.2 – 11.3 persent (American Psychiatric Association, dalam Nolen 2004). Specific phobia ini dikategorikan dalam dalam 4 tipe (Nolen, 2004), animal type, natural environtmental type,

(2)

Fobia terhadap jarum suntik merupakan salah satu jenis specific phobia yang masuk dalam sub kategori Blood-injection-injury type

(BII). Menurut American Psychiatric Association (dalam Davey, 1997), fobia BII adalah rasa takut disebabkan melihat darah, atau luka, atau ketika disuntik, atau melakukan proses-proses pengobatan lainnya. Dalam Noelen (2004) dijelaskan penderita fobia BII merasa takut melihat darah dan alat suntik. Mark (1988) menyatakan perasaan tidak menyenangkan yang timbul karena melihat darah, suntikan atau bentuk bagian tubuh yang aneh mengarahkan terbentuknya perilaku fobia BII ini.

Ketakutan pada jarum suntik terjadi bisa saja disebabkan oleh seseorang yang sebelumnya pernah menjalani serangkaian suntikan untuk perawatan suatu penyakit, yang lama kelamaan memicu timbulnya rasa takut terhadap jarum suntik. Kondisi lain yang bisa membuat seseorang menjadi takut dengan jarum yaitu trauma masa kecil saat disuntik atau imunisasi. Bisa juga karena terpengaruh cerita menakutkan dari orang lain.

Seorang anak kecil yang di pegang dengan paksa ketika akan disuntik atau imunisasi, akan bisa menimbulkan trauma tersendiri bagi anak, yang akan terbawa hingga ia dewasa. Sehingga tak jarang ia menjadi takut dengan jarum suntik/proses suntikan.

Fobia terhadap jarum suntik pada akhirnya bisa berdampak atau membuat seseorang tidak bisa melakukan pemeriksaan medis dasar seperti tes darah, perawatan gigi dan juga vaksinasi.

Suatu penelitian tentang rasa takut terhadap suntikan dilakukan oleh Nir dkk (2003) terhadap 400 orang pemuda-pemudi dewasa awal (usia 15 – 32 tahun). Penelitian dilakukan di pusat klinik kesehatan Bnai Zion Medical Center di Haifa, Israel. Disini orang-orang yang akan berkunjung ke daerah tropis diberikan vaksinasi untuk menghindari terjangkit penyakit tertentu di daerah yang dikunjunginya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat deskripsi gambaran rasa takut yang berkaitan dengan rasa takut terhadap suntikan serta prevalensinya. Hasil penelitian menunjukkan beberapa faktor

yang signifikan yang menimbulkan rasa takut yaitu ukuran jarum, bau ruangan, pengalaman buruk ketika disuntik, rasa sakit, mendengar perawat berbicara tentang menyuntik, melihat perawat mempersiapkan alat suntik, melihat orang lain disuntik.

Di Indonesia penelitian fobia secara umum belum banyak dilakukan. Namun kasus-kasus ini banyak berkembang di masyarakat, termasuk kasus fobia jarum suntik (redaksi ITS 2010). Hal ini sering muncul dan dibahas di forum konsultasi kesehatan sebuah media elektronik kompas (2004), tergambar reaksi takut yang berlebihan ditimbulkan dari benda/kondisi yang sebenarnya secara rasional tidak begitu menakutkan. Bentuk reaksinya yaitu reaksi panik yang terjadi tiba-tiba, ditandai dengan perubahan fisiologis yaitu, keluar keringat dingin, gemetar dan sesak napas. Juga muncul perasaan tersiksa, perasaan jijik dan ngeri yang disertai juga pemikiran menakutkan, seperti takut tertusuk. Tampak nyata bahwa stimulu-stimulus tersebut benar-benar mengganggu, baik secara fisiologis, pikiran dan perasaan sehingga orang-orang tersebut merasa tidak nyaman dan tersiksa jika berhadapan dengan situasi tersebut dan akhirnya mereka menghindarinya.

Bahkan rasa takut ini juga muncul meskipun stimulus tersebut tidak nyata ada tapi hanya dengan membayangkan saja.

Kebanyakan penderita fobia jarum suntik lebih berbeda dengan jenis fobia yang lain, yaitu rasa takut yang muncul dalam fobia ini bersifat

lethal (mematikan). Pasien dapat meninggal secara langsung atau tidak langsung karena fobia ini. Secara tidak langsung penderita fobia ini meninggal karena perilakunya yang ekstrim menghindari segala sesuatu yang berkaitan dengan treatmen pengobatan (dokter, rumah sakit, darah dll), akibatnya ia terhambat untuk mendaptkan pertolongan medis ketika sakit sehingga mengakibatkan kematian. Fobia bisa mempengaruhi kematian secara langsung yaitu reaksi fisiologi dari ketakutan, berupa lonjakan darah yang tiba-tiba secara refleks atau di sebut sebagai Vaso-Vagal Syncope (VVS). Namun untungnya kematian karena hal ini jarang terjadi (Hamilton, 1995).

(3)

Seorang penderita fobia jarum suntik hendaknya mendapat penanganan yang serius mengingat dampak yang ditimbulkan, terutama ketika si penderita tidak bersedia menjalankan pengobatan medis melalui suntik yang dapat berakibat fatal pada diri seorang penderita fobia jarum suntik. Seorang penderita fobia dapat disembuhkan melalui teknik terapi psikologis, dimana terapi dengan pendekatan perilaku (behavioristik) lebih umum digunakan.

Teknik desentisisasi sistematik dianggap teknik yang efektif dalam menangani penderita fobia spesifik, misalnya fobia jarum suntik. Desentisisasi sistematik merupakan salah satu bentuk terapi dengan pendekatan behavioristik (terapi perilaku). Di tahun 1996, Barlow and Lehmen mereview mengenai keefektifan dari terapi ini, mereka menemukan bahwa untuk fobia spesifik, desensitisasi tidak hanya sangat efektif tapi juga lebih disukai para pasien. Dijelaskan juga (dalam www.ofear.com) bahwa treatmen kognitif-perilaku yang paling sering digunakan untuk fobia spesifik adalah tipe terapi desensitisasi sistematik. Treatmen ini sangat efektif mengatasi fobia, yakni berdasarkan National Institute of Mental Health di inggris dijelaskan bahwa 75% penderita fobia mampu mengatasi fobianya dengan terapi ini.

Berdasarkan uraian diatas dan pentingnya terapi desensitisasi sistematik dalam penanganan penderita jarum suntik, menarik perhatian penulis untuk melakukan kajian penelitian dengan mengangkat judul: ”Terapi Desensitisasi Sistematik Dalam Menurunkan Tingkat Kecemasan pada Fobia Jarum Suntik”

2. TINJAUAN PUSTAKA

Fobia Jarum Suntik

Menurut pengkategorian DSM IV, fobia jarum suntik disebut sebagia fobia blood-injection-injury (BII). Lebih lanjut dalam DSM IV fobia BII yang didiagnosa sebagai fobia spesifik, didefenisikan sbb:

Blood-injuction-injury type. This subtype should be specified if the fear is cued by seing blood or an injury or by receiving an injection or other invasive medical procedure. This subtype is highly familial and is often characterized by a strong vasovagal respon.

Fobia spesifik dijelaskan sebagai kondisi medis dengan kode 300.29 dengan simptom-simptom kecemasan. Fobia spesifik dibagi dalam 4 sub kategori:

1. fobia binatang

2. fobia terhadap lingkungan, misalnya ketinggian, petir, atau air

3. fobia terhadap situasi tertentu, misalnya naik pesawat terbang, berada dijembatan, elevator atau mengendarai sesuatu.

4. fobia blood- injection-injury (BII)

Fernandez (2002) menjelaskan bahwa berbagai macam bentuk rasa takut terhadap jarum (fear of needles) yang merujuk pada “needle phobia” atau “blood-injury phobia”.

Penelitian Hamilton (1991), seorang peneliti fobia yang berkaitan dengan jarum (neddle pobia), menjelaskan neddle phobia sebagai

blood-injury phobia, yang didefenisikan berdasarkan literatur psikiatri yaitu rasa takut terhadap darah, luka, rasa sakit, jarum suntik atau bentuk bagian tubuh yang tidak wajar (deformities). Kemudian tahun 1995, dia kembali melakukan penelitian tentang neddle phobia, dimana dia menjelaskan bahwa dalam DSM-IV disebut dengan kategori diagnostic

blood-injection-injury phobia (BII). Dimana dalam penelitian, penderita fobia jarum suntik menunjukkan gejala perilaku takut terhadap stimulus-stimulus lainnya seperti dokter, darah, rumah sakit. Dengan demikian istilah Fobia BII digunakan dalam penelitian ini.

Nolen (2004) menjelaskan bahwa fobia BII adalah rasa takut melihat darah dan luka. Seorang penderita fobia memang cenderung mengembangkan reaksi-reaksi berikut: peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan bentuk reaksi figth-or-fligth perubahan fisiologis lainnya, ketika berhadapan dengan sumber fobia. Lebih spesifik pada fobia BII, biasanya selanjutnya diikuti reaksi penurunan tekanan darah yang drastis (drop) dan bahkan hampir pingsan. Dibandingkan fobia tipe lain, fobia ini bersifat familial.

Ost (1992) melakukan penelitan yakni membandingkan 2 kelompok fobia, kelompok pertama dengan keluhan utamanya adalah fobia darah sebanyak 81 orang dan kelompok kedua bentuk keluhan utama fobia suntikan sebanyak

(4)

59 orang. Hasil yang diperoleh adalah adanya perbedaan yang signifikan kecenderungan munculnya fobia suntikan pada penderita fobia darah dibandingkan munculnya fobia darah pada penderita fobia suntikan. Yakni persentasi fobia suntikan pada penderita fobia darah adalah 69 % dan persentasi fobia darah pada penderita fobia suntikan 31 %. Ost melihat bahwa berbagai variable lainnya yang berbeda diantara kedua fobia ini. Berdasarkan hal tersebut diduga bahwa fobia suntikan, cenderung juga mengeluhkan rasa takut pada hal lain seperti darah, dan seharusnya digolongkan dalam kategori blood-injury-injection phobia.

Dalam penelitian ini kategorisasi fobia suntikan merujuk pada gejala reaksi takut yang didiagnosa sebagai fobia spesifik oleh DSM IV, dengan sub kategori fobia BII.

Desensitisasi Sistematik

Desensitisasi sistematik adalah sebuah terapi yang efektif dalam menurunkan rasa cemas yang mengganggu (Wolpe, 1969). Prosesnya dilakukan dengan cara, terlebih dahulu seseorang dimasukkan dalam kondisi rileks yang mendalam, lalu dalam keadaan rileks kepada orang tersebut dihadirkan situasi-situasi yang menimbulkan perasaan cemas melalui alam imaginasinya (dikenal dengan istilah in vitro). Ketika perasaan cemas muncul ketika proses berlangsung, peserta akan diminta berhenti membayangkan situasi tersebut dan diminta untuk melakukan rileksasi. Dengan menghadirkan kondisi-kondis yang menimbulkan cemas secara kontiniu, level kecemasan akan melemah secara progresif, hingga akhirnya orang tersebut tidak lagi merasakan cemas terhadap stimulus-stimulus tadi (Wolpe, 1969).

Secara umum proses desensitisasi ssitematis ini terbagi dalam 3 tahapan penting (Wolpe, 1969) yaitu:

1. penyusunan hirarki kecemasan 2. latihan rileksasi mendalam

3. menghadapkan pasien yang rileks kepada stimulus yang menimbulkan kecemasan sesuai dengan hirarki.

Dasar dari desensitisasi sistematik adalah azas counterconditioning dan reciprocal

inhibition (Wolpe, 1969; Yates, 1970). Azas

counterconditioning ialah bahwa respon cemas pada dasarnya dapat dihambat dengan menggantikan dengan suatu aktivitas yang berlawanan dengan respon cemas yakni rileksasi. Prosedurnya adalah dengan reciprocal inhibition yaitu membuat pasien melakukan respon rileks terlebih dahulu untuk kemudian secara bertahap ia dihadapkan pada stimulus yang menimbulkan kecemasan.

Terapi bisa dilakukan dengan cara in vitro yakni penderita tidak harus secara nyata berhadapan langsung dengan sumber ketakutan namun bisa melalui alam imajinasi. Penelitian menunjukkan bahwa jika klien berhasil mengurangi rasa cemasnya secara berlahan-lahan melalui alam imajinasinya maka hal ini dapat dilakukannya juga kemudian di alam nyata (Rathus dan Nevid, 1977). Hal ini dilakukan secara bertahap, mulai dari stimulus yang tingkat rasa cemas paling rendah hingga situasi yang lebih menakutkan lagi. Jadi penderita dihadapkan dengan sumber fobia dengan cara yang aman dan terkontrol. Melalui cara ini dapat meningkatkan kepekaan untuk mengontrol fobia. Dengan begitu cemas secara berlahan-lahan akan berganti dengan keadaan rileks dan akhirnya penderita benar-benar dalam kondisi nyaman berhadapan dengan sumber cemasnya.

3. METODOLOGI PENELITIAN

Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini berupa quasi eksprimen dengan pendekatan studi kasus. Desain eksperimen yang digunakan adalah desain ABA. Quasi eksperimen adalah suatu desain yang digunakan pada penelitian dengan setting lapangan yang mirip dengan desain eksperimental tetapi tidak persis sama. Pada quasi eksperimen kontrol lebih lemah dibandingkan eksperimen murni. Jadi peneliti harus hati-hati dalam menarik kesimpulan melalui quasi-ekspreiman (Graziano, 2000). Studi kasus adalah suatu deskripsi dan analisis yang intensif terhadap seorang individu (Zechmeister, 2001). Dalam studi kasus terdapat batasan-batasan yang tergolong ringan. Pertama, studi kasus tidak secara khusus dilakukan pada lingkungan yang

(5)

alami, namun di dalam suatu seting yang dipilih oleh peneliti. Kedua, studi kasus biasanya terfokus pada individu. Ketiga, studi kasus mengamati pada kelompok perilaku yang dibatasi bukan pada keselurukan konteks dan alur alami perilaku individu (Graziano & Raulin, 2000).

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini bukanlah merupakan kesimpulan yang dapat berlaku secara umum, melainkan suatu kesimpulan yang hanya dapat berlaku pada sample penelitian saja.

Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui sejauhmana metode terapi desensitisasi sistematik dalam menurunkan reaksi cemas pada penderita fobia jarum suntik. Dengan diberikannya terapi desensitisasi sistematik diharapkan dapat meminimalisir reaksi cemas, yakni terjadi penurunan tingkat kecemasan penderita fobia jarum suntik, bahkan diharapkan dapat menghilangkan kecemasan yang dimiliki. Berikut rancangan penelitian Quasi

eksperiment desain ABA:

Gambar 1. penelitian quasi eksperimental

Pengukuran dengan skala kecemasan dilakukan dalam tiga kondisi yakni sebelum treatmen diberikan (fase baseline), saat treatmen (fase perlakukan/ intervensi) dan situasi dimana treatmen tidak di berikan lagi (fase follow –up). Dimana untuk fase baseline dan follow-up, masing-masing dilakukan dua kali pengukuran.

Definisi operasional terapi desensitisasi sistematik dalam penelitian ini yakni suatu teknik terapi behavioral yang bertujuan melemahkan (bahkan memutuskan) asosiasi antar rasa cemas dan jarum suntik yang sudah terbentuk pada penderita fobia jarum suntik. Caranya dengan menghadirkan kondisi rileks yang mendalam terlebih dahulu sebelum menampilkan situasi yang menakutkan bagi penderita fobia jarum suntik dalam alam imajinasi. Melalui rilekasasi diharapkan asosiasi rasa tidak nyaman (cemas) dari jarum suntik di

tekan atau dilemahkan, dimana hal ini dilakukan berulang-ulang dan sistematis sehingga secara berlahan-lahan reaksi cemas benar-benar terasa berkurang hingga melemah.

Agar pasien dapat mencapai rileksasi yang mendalam, terlebih dahulu subjek diajarkan teknik rileksasi otot progresif. Setelah latihan dalam rentang waktu tertentu pasien akan semakin mudah merilekskan diri dan mampu mencapai rileks mendalam saat proses desensitisasi. Dilakukan juga penyusunan hirarki kecemasan yang berisi daftar situasi/kondisi yang memancing rasa cemas pada pasien berkaitan dengan rasa takut terhadap jarum suntik/proses suntikan disebut scene.

Dalam penelitian ini proses desensitisasi dinyatakan berhasil jika angka SUD pada daftar stimulus hirarki kecemasan menurun setelah proses desensitisasi. Harapan keberhasilan yakni kecemasan menurun hingga angka 0 – 19 SUD yakni kategori cemas rendah, sesuai dengan kategorisasi menurut Richmond (2007).

Definisi operasional reaksi cemas pada penderita fobia jarum suntik yaitu reaksi cemas terhadap stimulus jarum suntik yang diuraikan dalam suatu daftar hirarki kecemasan. Daftar hirarki kecemasan berisi stimulus-stimulus yang memancing reaksi takut terhadap suntikan, diantaranya: mendengar orang berbicara tentang menyuntik, melihat dokter mempersiapkan alat suntik dll. Masing-masing stimulus diukur tingkat kecemasannya menggunakan skala SUD. Hirarki kecemasan tersusun dari stimulus terlemah hingga terkuat menimbulkan rasa cemas sesuai dengan nilai skala SUD. Situasi-situasi dalam daftar inilah yang kemudian diterapi yang dijadikan indikator terjadinya penurunan rasa cemas pada jarum suntik.

Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah seorang penderita fobia jarum suntik dengan karakteristik sbb:

1. Simptom memenuhi kriteria DSM IV, yang disebut sebagai fobia spesifik dengan sub kategori fobia BII.

2. Keluhan utama yakni takut jarum suntik (stimulus yang paling kuat menimbulkan rasa cemas adalah jarum suntik).

3. Usia di atas 17 tahun

Fase follow-up Fase B, Fase Perlakuan Fase A, Fase baseline

(6)

4. Tidak sedang mengikuti pengobatan untuk menghilangkan fobia.

Jenis data dalam penelitian ini adalah kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif berupa laporan uraian hasil observasi/wawancara tentang perubahan unsur psikologis yang ditampilkan subjek di setiap sesi atau tahapan terapi, dan data kuantitatif berupa pengukuran angka skala subjective unit of disturbance/sud

(Wolpe 1969), dan merupakan data utama untuk mengukur taraf kecemasan.

Skala kecemasan subjektif (subjective unit of disturbance/sud) adalah skala rating untuk mengukur tingkat distress yakni mengukur level kecemasan dalam diri pasien. Skala ini berkisar antara 0 – 100, dimana 0 = tidak ada cemas; 100 = sangat cemas. Penderita di minta untuk menetapkan level perasaan cemas yang dirasakan saat dia dihadapkan pada sumber fobia.

Menurut Yates (1969) cara pengukuran terhadap cemas atau takut dapat dibedakan menjadi cara pengukuran yang obyektif dan subyektif. Cara pengukuran yang obyektif antara lain mengukur perilaku subyek dalam hubungannnya dengan obyek yang ditakuti atau bisa juga dengan menggunakan pengukuran gejala fisiologis (misalnya kecepatan detak jantung). Cara pengukuran yang subyektif antara lain menggunakan kuesioner dan self rating scale kecemasan. Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan dasar pikiran Yates (1969) tentang cara pengukuran subyektif, serta dasar pikiran Wolpe (1969) yaitu SUD scale.

Penulis juga berusaha melengkapi data kuantitatif SUD ini dengan laporan informasi anekdotal atau deskriptif bahwa perubahan telah dicapai sebagaimanan yang disarankan oleh Kazdin (1992) dan Graziano (2000) mengenai kuasi eksperimen.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Subjek penelitian berjenis kelamin wanita berusia 29 tahun, belum menikah. Pendidikan subjek tingkat sarjana bidang psikologi dan sedang menjalani pendidikan lanjutan magister psikologi saat penelitian dilakukan. Rasa takut disuntik mulai muncul sejak kecil, ketika subjek masih TK (taman kanak-kanak), usia sekitar 5

tahun. Kondisinya saat itu adala subjek di bawa keluarga ke seduah klinik untuk di immunisasi. Keluarga membujuk subjek agar mau disuntik dengan mengatakan bahwa disuntik tidak sakit, seperti di gigit semut. Namun ketika subjek di suntik, subjek merasakan sakit sekali, dia menjadi kesal (“bete”), dan merasa dibohongi. Bagi subjek disuntik sakit sekali, seperti “digigit semut yang sebesar gajah”. Saat itu subjek menangis, sambil marah-marah. Sesampai di rumah, ia masih merasa kesal sehingga diam saja, “ngambek”, tidak mau bicara selama satu hari itu.

Sejak saat itu, jika ada program immunisasi di sekolahnya, subjek biasanya akan langsung buru-buru minta pulang ke rumah dan dengan tegas mengatakan kepada guru bahwa dia tidak mau di suntik. Rasa takut semakin kuat, ketika subjek juga melihat teman-teman yang diimmunisasi menangis setelah di suntik.

Rasa takut kemudian berkembang menjadi takut melihat orang di suntik, bahkan ketika tidak secara langsung melihat proses suntik misalnya menonton di TV. Melihat gambar orang lagi disuntik di majalah juga menimbulkan rasa tidak nyaman. Bahkan ketika binatang yang disuntik subjek juga merasa tidak nyaman. Mendengar orang membicarkan tentang proses suntikan juga menimbulkan rasa tidak nyaman dan subjek cenderung akan segera menghindari. Rasa takut ini terus bertahan hingga subjek dewasa. Saat ini subjek belum pernah benar-benar mencoba melawan perasaan tersebut. Tiap kali berhadapan dengan situasi tadi subjek cenderung langsung menghindari. Namun subjek tidak bisa menghindari ketika diri sendiri yang disuntik karena alasan kesehatan. Perasaan-perasaan sangat kesal diikuti dengan perilaku marah ketika disuntik ini, menetap hingga sekarang dan subjek merasa tidak ada pengurangan yang berarti kualitas rasa takutnya, intensitasnya dirasakan sama. Hasil Utama

Hasil penelitian merupakan hasil observasi perilaku dan wawancara data kuantitatif perubahan tingkat kecemasan stimulus-stimulus sesuai daftar hirarki kecemasan. Pengukuran

(7)

hirarki kecemasan dilakukan pada 3 fase yakni fase baseline, treatmen dan follow-up.

Pada tabel berikut diuraikan hasil terapi dalam 3 kondisi observasi dengan desain ABA, sbb:

Tabel 1. Hasil Penelitian

Dari tabel 1 dapat dilihat terjadi perubahan angka SUD pada tiap scene di tiga kondisi yakni fase baseline, fase intervensi dan fase follow-up. Nilai akhir SUD tiap scene, di fase treatmen semakin menurun namun tidak semua scene mencapai angka 0. Pada scene dengan reaksi cemas tinggi, penurunan angka SUD semakin sulit diperoleh, dimana angka SUD akhir treatmen yakni 20 dan 40. Terapi desensitisasi yang dilakukan bersama peneliti ( therapist-administration) selama 8 sesi/pertemuan.

Selain sesi terapi dengan peneliti, subjek juga melakukan terapi secara mandiri di rumah (self-administration) yang dilakukan di antara sesi terapi. Ada 11 kali latihan sendiri dilakukan. Pelaksanaan treatmen (intervensi) berlangsung kurang lebih satu bulan. Jarak antara sesi satu ke sesi berikutnya cukup bervariatif. Penetapan waktu pertemuan (sesi) disesuaikan dengan kondisi subjek saat itu dan situasi yang ada. Pertemuan untuk fase Baseline dan follow up, berjarak satu minggu.

Pembahasan

Terapi systematic desensitization berhasil menurunkan tingkat kecemasan pada penderita fobia jarum suntik dari tingkat kecemasan awal saat disuntik sebesar 100 SUD menjadi 30 SUD sesudah di terapi. Proses desensitisasi mampu menurunkan angka kecemasan pada scene-scene

di hirarki kecemasan dimulai dari scene kategori cemas sedang rendah atau 20 – 39 SUD (jarum tanpa kemasan di pegang orang lain), lalu ke situasi (scene) yang lebih tinggi, hingga scene dengan kecemasan kategori cemas tinggi yakni 80 – 100 SUD (saat diri sendiri di suntik). Ada sepuluh situasi atau scene yang di terapi di sini yang disusun berdasarkan keluhan dari subjek. Proses membayangkan satu persatu situasi scene sepanjang sesi terapi, menyebabkan penurunan tingkat kecemasan pada scene berikutnya. Pada kasus ini, terapi desensitisasi sistematik hanya mampu menurunkan level kecemasan sampai 30 SUD, yakni kategori cemas sedang rendah, tidak sampai pada angka SUD 0 atau mendekati 0.

Menurut Wolpe, harapan untuk mencapai angka SUD hingga 0, pada akhir terapi, adalah hal yang diinginkan dalam suatu terapi. Namun tidak semua kasus dapat sampai pada angka 0. Pada kasus yang tingkat cemas berat (free floating anxiety, pada fobia sosial atau agoraphobia), angka akhir 50 SUD sudah sangat berarti. Pada beberapa kasus angka SUD akhir yakni 25 SUD, bisa efektif, namun jarang di temukan. Berdasarkan pandangan dari Wolpe tersebut dapat dilihat bahwa setelah treatmen diberikan terjadi perubahan angka SUD yakni dari 100 menjadi 30 pada subjek.

Sesuai dengan saran Kazdin, yakni dalam menjelaskan keberhasilan perubahan yang diperoleh melalui terapi dapat dilihat dari berbagai jenis data, bisa saja data yang bersifat kualitatif berupa laporan yang dirasakan subjek penelitian. Disamping itu observasi langsung perubahan perilaku juga bisa dijadikan data untuk menjelaskan sejauhmana perubahan perilaku yang sudah di peroleh dalam terapi. Dalam penelitian ini dilakukan wawancara sepanjang terapi dan juga dilakukan pengukuran perubahan perilaku di akhir terapi. Berikut ini uraian yang bisa dijadikan data untuk menjelaskan sejauhmana kegunaan yang diperoleh dari terapi dalam penelitian ini:

- Pendapat subjek

Subjek menyatakan setelah di terapi dalam dirinya ada keberanian bersedia melakukan proses suntikan, meskipun masih merasakan cemas.

(8)

- Perilaku Subjek

Subjek sudah mampu menonton video tentang proses suntikan yang berdurasi 4 menit dengan relatif tenang.

Pada tahap awal mengikuti terapi, target yang ingin dicapai subjek yakni mampu merasa lebih nyaman saat melihat orang lain di suntik, dia tidak yakin akan muncul perasaan berani untuk disuntik. Di akhir terapi, subjek merasakan bahwa hasil terapi mampu mengubah keyakinannya bahwa dia akan mampu mengatasi rasa takutnya ketika disuntik, dimana rasa takutnya berkurang dari skala 100 menjadi 30.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Terapi Desensitisasi Sistematik dapat menurunkan rasa cemas pada penderita fobia suntikan dengan penurunan tingkatan rasa cemas dari 100 SUD menjadi 30 SUD. 2. Melakukan desensitisasi secara mandiri di

rumah (Self-administration) meningkatkan efektivitas dan efisiensi terapi

3. Melatih menghadapi situasi/scene di alam nyata setelah terapi melalui alam imaginasi, efektif membantu proses penurunan kecemasan, dengan catatan reaksi cemas sudah cukup rendah.

4. Selama proses desensitisasi dapat timbul

insight yang menyadarkan penderita tentang pemikiran yang irasional.

5. Pengalaman berhasil menghadapi beberapa scene dalam terapi, juga membentuk sikap positif dan rasa percaya diri subjek akan kemampuannya menghadapi sumber takut. Saran

A. Untuk pelaksanaan terapi

1. Pentingnya observasi dan dialog di jalin dengan klien sepanjang pelaksanaan terapi, terutama untuk memelihara motivasi klien. 2. Mengembangkan kegiatan ”homework”

yang sistematis di antar sesi terapi, yang memunculkan reinforcement (penguatan) untuk perubahan perilaku yang diinginkan, misalnya self-admintration (SA).

3. Terapi dilanjutkan hingga pelatihan di situasi nyata sehingga SUD benar-benar mendekati angka 0.

B. Untuk penelitian selanjutnya

Perlunya dilakukan penelitian lebih banyak tentang treatmen desensitisasi sistematik untuk mengatasi fobia jarum suntik.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Leila Ch, 2005. Konsultasi Psikologi: Fobia Kancing Berlubang, Rabu 20 April, www.kompas.co.id.

Bellack, A. S., Hersen, M. 1977. Behavior Modification, Baltimore; The WiIliam & Wilkins Company

Corsini, R. J., Contrivuter, 1979, Currrent Psychotherapies, Edisi 2 , F. E. PEACOCK PUBLISHER, INC. Itasca, Illinois 60143 USA

Craig. J. R., & Metze, L. P. (1986), Methods of Psychological Research, Monterey,

California Brooks/Cole Publishing Company Davey G.C.L, Et al 1993 UCS Inflation in the

Aetiology of A Variety of Anxiety disorder: Some Case Histories. Behav. Res. Ther. 31:498:8

Davey, G. C. L. 1997. Phobias: A Handbook of Theory, Research and Treatment, Wiley & Son,

Dar, R., & Marks, I. 2000. Fear Reduction by Psychotherapies, British Journal Of Psychiatry,

___ DSM-IV: Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders (1994), fourth edition, American Psychiatric Association, 1994 Ellinwood EH, Hamilton JG. 1991. Case report

of a needle phobia. J Fam Pract;32:420–3. Fernandez. 2003. Rapid Desensitization for

Needle Phobia, Psychosomatics 44:3, May-June

Gerlach, A.L., Et al. 2006. Blood-Injury Phobia With and Without a History of Fainting: Disgust Sensitivity Does Not Explain the Fainting Response, Psychosomatic Medicine

68:331–339, melalui

www.psychosomaticmedicine.org

Goldfried, M. R., & Davison G. C., 1976, Clinical Behaviour Therapy, Newe York, Rinehart & Winston.

Halgin, Richard P, (2005) Abnormal Psychology Clinical Perspective on

(9)

Psychological Disorder, edisi ke 4, Mc. Grawhill

Hamilton Jg (1995), Needle Phobia: A Neglected Diagnosis. J. Fam Pract 1995; 41:169-75

Kazdin, A. E. (1992), Research design in clinical psychology, Boston, London, Toronto, Sydney. Frankurt: Pergamon Press Kose S, Mandiracioglu A. 2007. Fear of Blood

and Injection in Healty and Unhealthy Adults Admitted to a Teaching Hospital. Int J Clin Prac 61:453-7

Martin, G., & Pear, J. (1996)Behaviour Modification, What is and How To Do It (edisi 5) New Jersey; Prentice Hall Inc. Nevid, J. S. Et al. 2002, Psikologi Abnormal,

edisi ke 5, Erlangga, Jakarta.

Nir Y. Et al. 2003. Fear of Injections in Young Adults:Prevalence and Associations. Am J Trop Med Hyg 68:341-4

Nolen, S. H. 2004. Abnormal Psychology, second edition. McGrawHill Companies, Inc. New York.

Olatunji BO. Et al. 2006. Disgusst, Anxienty and Fainting Symptoms Associated With Blood Injection-Injury Fears: A Structural Model. J. Anxiety Disord 20:23:41

Ost L. 1992. Blood and Injection Phobia. Background and Cognitive, Physiological and Behavioral Variables. J. Abnorm Psychol 101:68-74

Rimm, D., Master, J. (1987) Behavior therapy, ____________

Richmond, R. L. 2007. A guide to psychology and its practice: Systematic Desensitization, http://www.Guidetopsychology.com. Rathus, S. A.. & Nevid J. S. 1977. Behavior

Therapy. A Signet Book, New American Library.

Richard, D. C. S. & Lauterbach, D. 2007. Handbook of exposure therapy, Academic Press

Roan, W.M., (1980), Terapi Untuk Mengubah Tingkah Laku (edisi pertama; Jakarta) Spiegler M. D. & Guevremont D.C., (2010)

Contemporary Behavior Therapy, Wadsworth Cencage Learning

Walker, C. E., et al 1981, Clinical Procedures for Behaviour Therapy, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall

Wenzel, A & Craig S. H. 2002. Validation of the Multidimensional Blood/Injury Phobia Inventory: Evidence for a Unitary Construct, Jpornal of Psychopathology and Behavioral Assesment, vol 25. no. 3, September 2003

Wright & Garfield. 2009. Fear of Needles:Nature and Prevalence in General Practice, Australian Family Physician, vol.38.n0.3 March 2009.

Wolpe, J. 1969. The practice of behavior therapy, New York, Pergamon Press

Yates, A. J. 1970. Behaviour Therapy. New York, London, Sydney, Toronto: John Wiley & Sons, Inc.

Yim L. 2006. Belonephobia – a fear of needles. Aust Fam Physician 2006;35:623–4.

Zimmerman M. 1994. Interview guide for evaluaitng DSM IV Psychiatric Disorser and the mental Status Examination, East Greenwhich, Psych Product Press;

____, (2010) Injection Phobia and Needle

Phobia; A brief guide,

http://www.anxietyuk.org.uk/

___Encyclopedia psychotherapy vol.1, Elselvier, 2002

Redaksi ITS (2010), Donor Darah, Jarum Suntik Masih Jadi Momok, ww.its.ac.id/redaksi.php

Gambar

Tabel 1. Hasil Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Saudara diharapkan membawa Dokumen Asli Perusahaan dan menyerahkan Fotocopynya antara lain : Dokumen Penawaran, Jaminan Penawaran, Surat Dukungan Keuangan Dari Bank, Ijin

Segala biaya akomodasi dan transportasi penyedia jasa yang berkaitan dengan rapat pembuktian kualifikasi ini ditanggung oleh penyedia jasa itu sendiri. Apabila pihak Penyedia Jasa

Hasil penelitian menunjukkan kecilnya pengaruh Debt To Total Asset (DTA), Cash Ratio, Size, Return On Asset (ROA), Kepemilikan Institusional, dan Growth terhadap variabel

Setelah proposal disetujui, kemudian penulis menghadap kepada Kepala SLTP Islam Mafatihul Huda Rengging Pecangaan Jepara yang bertujuan untuk memohon ijin

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh perbandingan kosentrasi ekstrak jahe merah dengan kosentrasi gula aren yang akan mempengaruhi karakteristik organoleptik

A recognized cable type in the ANSI/TIA/EIA-568-B Standard is screened twisted-pair (ScTP) cabling, a hybrid of STP and UTP cable.. ScTP cable contains four pairs of 24 AWG,

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Kualitas Data, Pengendalian

Suprijono (2009:79) memberi penjelasan batasan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching Learning) yaitu konsep belajar di mana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam