• Tidak ada hasil yang ditemukan

FUNGSI SIWOL BAGI KEHIDUPAN SUKU NGALUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FUNGSI SIWOL BAGI KEHIDUPAN SUKU NGALUM"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

FUNGSI SIWOL BAGI KEHIDUPAN SUKU NGALUM

Rini Maryone (Balai Arkeologi Jayapura)

Abstract

The trading activity in Indonesia, particularly in ancient Papua has depicted that the medium of exchange become an important thing in transaction activity. It can be inferred that the trading activity in the past was also done by the tribes who lived in the mid-mountain like Ngalum community. The medium of exchange that they used was siwol/seashell. The use of siwol, as a medium of exchange, nowadays has changed for it has been infl uenced by offi cial exchange medium (rupiah). Thus this currency has become the offi cial exchange medium for Ngalum Community.

Keywords: Ngalum community, trading activity, seashell

Pendahuluan

Perekonomian masa Prasejarah adalah merupakan kegiatan perekonomian di masa lampau. Pada masa itu perekonomian mereka bukan merupakan perekonomian dalam bentuk uang (money economy). Perekonomian masa prasejarah meliputi bagaimana cara mereka bercocok tanam, menangkap ikan, mengumpulkan makanan, dan berburu makanan, termasuk pengadaan peralatan, perdagangan, dan pertukaran barang/ barter. Perekonomian manusia prasejarah merupakan perekonomian melalui kegiatan sosial, lingkungan, dan teknologi. (Kristantina, 2000: 10).

Perdagangan dan pertukaran barang/ barter, juga termasuk perekonomian pada masa prasejarah, terjadi pula di wilayah Papua, pada awal mulanya dimulai pada wilayah (bagian barat daya Kepala Burung Papua) merujuk ke Fakfak dan Semenanjung Bomberai terjadi pada (abad ke-14). Awalnya didatangi oleh pedagang-pedagang dari Jawa. Pedagang-pedagang tersebut datang ke Papua dengan tujuan untuk mencari kulit kayu masoi (Muller, 2008:85).

Kemudian di Papua, sejarah membuktikan bahwa sebelum abad ke-15, sudah terjadi kotak dengan bangsa-bangsa asing antara lain pedagang-pedagang asal dataran

(2)

Cina, Spanyol dan Portugal. Pemberian nama New Guinea oleh pelaut Eropa kepada daerah Papua, ini juga merupakan bukti adanya kontak dengan bangsa asing (Koentjaraningrat, 1994:47).

Dikatakan Pulau Biak merupakan pusat jaringan dagang sekaligus rampok jarak jauh orang-orang Papua. Ada dua cara mendapatkan barang-barang tersebut yaitu, melalui cara dagang dan jarah. Barang-barang tersebut antara lain: perkakas dari besi, logam, piring keramik/benbepon(Muller, 2008:85). Bukti lain dari perdagangan di wilayah Kepala Burung yaitu perdagangan kain timor.

Sedangkan alur perdagangan di Papua, sepanjang wilayah pesisir sampai ke daerah pegunungan tengah agak sulit diterangkan. Melihat kondisi alam masing-masing wilayah yang sangat sulit di jangkau. Alur perdagangan di wilayah pegunungan tengah meliputi rute timur dan barat. Penduduk dataran tinggi Papua masih mengalami ketersolasian dari dunia luar sampai pada permulaan tahun 1900-an (kontak dengan dunia luar hanya tercatat melalui beberapa kontak dagang dengan peduduk dataran rendah), hal yang sebaliknya justru berlaku bagi masyarakat pesisir Papua. Wilayah pesisir telah memilki berbagai macam kontak yang ekstensi dengan berbagai macam budaya dari wilayah barat ratusan tahun sebelum terbukanya isolasi dataran tinggi pada awal 1900-an. Atau bahkan lebih lama dari kurun waktu tersebut.

Komoditi utama yang diperdagangkan oleh masyarakat pegunungan tengah umumnya adalah garam, mata pisau dari batu dan babi. Sedangkan cowries (rumah kerang) menjadi alat tukar utama bagi mereka. Nilai tukar “rumah kerang” bervariasi tergantung umur dan sejarahnya. Rumah kerang yang bernilai tinggi dapat digunakan untuk membayar mas kawin, dan membayar utang nyawa yang diakibatkan oleh perang suku.

Di wilayah dataran tinggi masih ditemukan beberapa jenis moluska laut. Hal ini dimungkinkan karena wilayah dataran tinggi dulunya merupakan dasar laut sebelum akhirnya dasar laut ‘naik’ dan membentuk deretan pegunungan tengah Papua. Meskipun demikian, ‘rumah kerang’ yang dimanfaatkan sebagai alat tukar di dataran tinggi ini semuanya berasal dari wilayah pesisir- sebagian besar berasal dari Teluk Cenderawasih. Kesimpulan yang diambil karena Laut Arafura yang dangkal dan keruh di sebelah selatan tidak dimungkinkan kerang-kerang (yang rumahnya dipergunakan sebagai alat tukar)

(3)

untuk hidup. Jadi diperkirakan jalur yang ditempuh oleh ‘rumah kerang’ sampai bisa mencapai wilayah pegunungan adalah mula-mula masuk melalui arah barat di Teluk Etna atau Nabire, terus ke wilayah Danau Paniai. Kemudian-menyeberangi Danau Mamberamo, selanjutnya mencapai wilayah pegunungan timur. Sebagian ‘rumah kerang’ diperkirakan dibawa oleh masyarat dataran tinggi Papua dari Selat Toreros dengan dua cara: pertama dengan melalui wilayah Marind-Muyu; kedua dengan melalui dataran tinggi Papua New Guinea menuju ke arah timur di wilayah yang saat ini tergolong wilayah perbatasan internasional (Muller, 2008:74-75).

Melihat hal tersebut di atas bahwa aktivitas perdagangan di Papua pada masa lalu memberikan gambaran bahwa dalam kegiatan perdagangan, alat tukar menjadi satu hal yang penting dalam kegiatan transaksi. Dari hal tersebut maka dapat diketahui bahwa kegiatan perdagangan pada masa lalu tidak hanya terjadi di daerah-daerah pesisir saja namun juga dilakukan pada suku-suku yang terdapat di pegunungan seperti pada suku Ngalum. Alat tukar yang digunakan adalah kulit kerang. Berdasarkan hal tersebut maka aktivitas perdagangan di wilayah Pegunungan Papua khususnya suku Ngalum melakukan perdagangan dengan menggunakan kulit kerang atau disebut (siwol) sebagai alat tukar tradisional.

Pembahasan

Suku Ngalum adalah nama dari salah satu suku di Papua yang mendiami sebuah lembah yang terletak pada bagian selatan deretan Pegunungan Jayawijaya. Tepatnya di Lembah Oksibil, daerah Pegunungan Bintang. Penduduk yang mendiami lembah ini terdiri atas tiga suku yaitu suku Ngalum, Murop dan Kupel. Suku Ngalum berarti timur atau orang-orang yang mendiami daerah sebelah timur Lembah Oksibil. Mereka mendiami Desa Dabolding, Yapimakot, Kabiding, Kukding, dan Bulangkaop (Roembiak, 1998:6).

Pada umumnya perkampungan mereka berbentuk lingkaran atau bundar. Terdapat dua rumah tempat tinggal yaitu: rumah khusus untuk para laki-laki dewasa dan anak laki-laki yang diinisiasi disebut bokam. Sedangkan rumah khusus bagi perempuan disebut abib atau jingilabib (rumah inti). Rumah adat laki-laki yang disebut bokam iwol

yang berada di tengah-tengah kampung. Terdapat pula sebuah rumah khusus bagi kaum wanita yang disebut sukam (pada saat wanita mendapat haid atau melahirkan budaya

(4)

diharuskan berdiam di sukam). Pada umumnya rumah-rumah penduduk orang Ngalum tidak memiliki jendela, hanya terdapat sebuah pintu masuk.

Beradasarkan uraian diatas bahwa perekonomian masa prasejarah meliputi bagaimana cara mereka bercocok tanam, menangkap ikan, mengumpulkan makanan, dan berburu makanan, termasuk pengadaan peralatan, perdagangan, dan pertukaran barang/ barter.Kegiatan ini pula terjadi di dalam kehidupan Suku Ngalum, dimana mereka juga mengenal mata pencaharian bercocok tanam, memelihara ternak khususnya ternak babi. Mereka juga sudah dapat membuat peralatan-peralatan rumah tangga, walaupun masih sangat sederhana.

Suku Ngalum melakukan perdagangan dan pertukaran barang / barter,mulanya perdagangan pada suku Ngalum antar suku-suku yang mendiami Lembah Oksibil saja. Perdagangan tersebut meliputi hasil perdagangan, pertukaran hewan ternak dengan benda-benda tertentu dan tukar menukar produksi yang diukur mempunyai nilai, ini dilakukan dengan sistem barter. Mereka tidak mengenal mata uang tetapi ada benda-benda tertentu yang diukur mempunyai nilai yang sama dengan uang. Suku Ngalum sebelum mengenal uang sebagai alat tukar, dahulu mereka memakai kulit kerang yang disebut siwol.

(5)

Nilai uang ini berbeda satu sama lain menurut warna dan ukurannya. Nilai suatu barang membutuhkan siwol yang mempunyai harga yang sama. Oleh sebab itu mereka harus memiliki banyak siwol. Mereka mendapatkan kerang atau siwol dari pantai selatan Papua di wilayah Merauke. Karena dalam sistem perdagangan mereka dapat menempuh jarak yang jauh dari Oksibil ke daerah pesisir sekitar Merauke dan ke arah timur untuk mengadakan kontak baik dalam hal perdagangan dengan penduduk di sekitar perbatasan Papua New Guinea maupun ke arah barat dengan penduduk di sekitar hulu Sungai Digul. Mereka memperdagangkan babi (kang), anak panah (ara), busur (ebon), kapak batu (papie), gigi anjing (anoniji), kantong berjala (men), bulu cenderawasih (kulep) serta hasil kebun berupa keladi, betatas dan sayuran.

Gbr. 2. Babi (kang) Gbr. 3. Anak panah (ara) dan busur

Gbr. 4. Kapak batu (papie)

(6)

Apabila mereka berdagang ke arah selatan (Mindiptana dan Merauke) mereka akan memperoleh garam dan siwol yang banyak. Hubungan perdagangan ke arah timur (banyak berkaitan desa-desa sekitar perbatasan PNG) banyak berkaitan dengan hubungan kekerabatan yang disebabkan oleh perkawinan dan pertalian darah. Pada saat berdagang kesana diikuti pula dengan cara-cara upacara dan mereka diundang untuk turut hadir. Oleh sebab itu pada saat berdagang tidak menentu waktunya. Mereka harus menunggu hasil panen, membuat panah, membuat kantong jala, kapak batu bahkan benda-benda kesenian berupa tifa atau sejenis gendang dan perhiasan tari-tarian merupakan benda-benda yang di peroleh dari sistem perdagangan tersebut. Maka tidak mengherankan apabilah lagu dan tari-tarian serta alat-alat kesenian orang Ngalum mempunyai persamaan dengan orang-orang yang berdiam di sekitar perbatasan Papua New Guinea misalnya tarian Oksang dan

Bar.

Sistem barter dilakukan, terbatas pada tukar menukar barang-barang tertentu. Misalnya orang Ngalum memberi daun tembakau untuk ditukar keladi atau kus-kus pohon dari orang Digul atau mendapat garam dari penduduk pantai. Dan perdagangan tersebut mereka mencari patner dagang di desa-desa yang dikunjungi sehingga hubungan ini tidak dalam usaha berdagang saja tetapi dapat melibatkan hubungan kekerabatan karena perkawinan bahkan saling tolong menolong pada saat kekurangan makanan, pada saat ditimpa kedukaan atau kematian. Hubungan ini lebih mendalam lagi apabila masing-masing saling mengadakan kunjungan.

Proses Perubahan terhadap Fungsi Siwol

Proses perubahan terjadi dalam kehidupan orang Ngalum, setelah terjadi pengaruh/ kontak dengan orang luar. Pada tahun 1956 misi Katolik masuk di wilayah ini dan pos-pos pemerintahan Belanda mulai dibuka. Pada saat masa pemerintahan Belanda, masyarakat Ngalum sudah di perkenalkan dengan kehidupan ekonomi terutama kegiatan pertanian dengan segala peralatan teknologi yang masih sangat sederhana. Bahkan sampai sekarang sesudah pemerintah Indonesia masih ada sebagian kecil yang masih menggunakan alat-alat yang masih serba sederhana.

Sistem ekonomi dan uang modern mulai dikenal oleh orang Ngalum setelah masuknya pengaruh-pengaruh dari pihak gereja, kemudian menyusul pengaruh

(7)

pemerintahan Belanda. Pengaruh-pengaruh ini baik secara langsung maupun tidak langsung telah membawa perubahan kebudayaan dalam masyarakat Ngalum.

Perubahan lain yang nampak adalah dalam hal perkawinan. Dahulu mereka mengenal sejumlah benda-benda maskawin berupa: kapak batu (papie), anak panah (ara) dan busur (ebon), gigi anjing (anomninjil), babi (kang), siput (daknom), tulang kasuari (ngangop), kuskus atau kusu pohon (kabong), burung cenderawasih (kulep), kulit siput ukuran kecil (siwolsunki), noken (men), penutup kepala berupa anyaman dari tali rotan atau serat batang anggrek (barating). Sekarang semakin sulit bagi seseorang untuk memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut, maka nilai benda dapat di ganti dengan nilai uang.

Penutup

Kedudukan dari siwol pada saat ini telah mengalami perubahan. Dimana kedudukan siwol tersebut telah dipengaruhi oleh sejumlah nilai uang, sehingga nilai uang telah dijadikan sebagai alat pembayaran yang sah pada suku Ngalum. Beberapa hal menyebabkan perubahan-perubahan tersebut antara lain :

• Benda tersebut sangat berkurang jumlahnya dalam masyarakat

• Benda tersebut oleh kelompok klen, menganggap sebagai warisan nenek moyang sehingga tidak digunakan sebagaimana mestinya akan tetapi disimpan sebagai benda pusaka.

• Demikian halnya pada pelaksanaan upacara-upacara adat dalam pembayaran mas kawin sebagai benda pembayaran telah diganti dengan sejumlah uang.

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Kristina, Indriastuti. 2000. “Perekonomian Masa Prasejarah di Dataran Tinggi Pasemah” dalam Siddhayatra. Balai Arkeologi Palembang.

Muller, Kal. 2008. Mengenal Papua. Daisy World Books.

Koentjaraningrat. 1994. Irian Jaya Membagun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Djambatan. Roembiak, Mientje. 1998. Tradisi dan Perubahan Orang Ngalum. Jayapura:

(9)

Kapak Perunggu temuan Situs Kwadeware, Sentani, Jayapura

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa proses penyampaian edukasi pengelolaan lingkungan adalah persepsi masyarakat Kelurahan Bandungrejosari dan Kelurahan Bareng

manapun ketika akan berkomunikasi pasti dipengaruhi dan diatur oleh kaidah-kaidah serta segala daya upaya dan kegiatan manusia dalam mengubah dan mengelolah alam

“Setelah dilakukan pendataan ternyata para pelajar tersebut berasal dari SMK Negeri 1 Cianjur yang akan menuju Candi Borobudur untuk liburan,” kata Kapolres

Dari hasil penelitian yang dilakukan, disimpulkan bahwa terapi diet pisang ambon secara bermakna menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik pada

Bendungan adalah bangunan yang dibangun untuk menampung air yang selanjutnya untuk kebutuhan masyarakat. Kabupaten Blora sering mengalami kekurangan air pada musim kemarau.

Ketentuan dalam lampiran terkait Kelas Jabatan, Daftar Perhitungan Skor Kehadiran Pegawai, Daftar Rekapitulasi Perhitungan Tambahan Penghasilan Pegawai, dan Daftar

Manfaat dari penelitian tentang minat berwirausaha pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan JPTS FPTK UPI adalah:. Memberi sumbangan informasi mengenai minat

Ada pengaruh kadar gula darah dan sensitivitas kaki sebelum dengan sesudah dilakukan senam kaki pada aggregat lansia diabetes melitus di Magelang pada kelompok intervensi dan