• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis pendapat Imam Syamsuddin as–Sarakhsi tentang pernikahan orang yang sedang ihram

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis pendapat Imam Syamsuddin as–Sarakhsi tentang pernikahan orang yang sedang ihram"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

i

ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAMSUDDIN AS – SARAKHSI TENTANG PERNIKAHAN ORANG YANG SEDANG IHRAM

SKRIPSI

Di susun guna memenuhi tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S1) Dalam Ilmu Ahwal al-Syakhshiyah Fakultas Syari’ah

Disusun oleh:

Ahmad Hakim (102111007)

FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2016

(2)
(3)

iii MOTTO























“Dan kawinkanlah orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan

hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas

(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui” (QS. An-Nurr: 32)

(4)

iv

jenjang pendidikan di UIN Walisongo Semarang, dan karya ini kupersembahkan untuk :

1. Kedua orang tuaku Bapak Mustofa Dahlan dan Ibu Kholifah yang senantiasa mencurahkan kasih sayang beserta do‟a dan bimbingannya yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan saya selama ini.

2. Adikku Itna Iyana Miskiya dan keluarga besarku yang selalu memotivasi dan mendo‟akan saya, semoga semua selalu berada dalam pelukan kasih sayang Allah SWT.

3. Untuk Almamaterku UIN Walisongo Semarang.

Penulis,

Ahmad Hakim NIM. 102111007

(5)
(6)

vi

wath’i/jima‟. Akad tersebut bisa dilakukan kapan saja , namun pada saat ihram

akad nikah bagi pelaku ihram ada perbedaan pendapat. Jumhur ulama‟ (Maliki, Syafi‟I , Hanbali) tidak memperbolehkan akad tersebut, dengan berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Utsman ra. Berbeda dengan meraka, Hanafi memperbolehkan akad tersebut. Dalam skripsi ini, dipilih tokoh Syamsuddin as-Sarakhsi yang merupakan ashabul Hanafiyah yang menonjol. Pendapat beliau yang membolehkan akad nikah bagi orang yang sedang ihram berdasarkan pada hadits Ibnu Abbas ra.

Dari latar belakang tersebut dirumuskan masalah dalam skripsi ini sebagai berikut: Bagaimana pendapat Imam Syamsuddin as-Sarakhsi tentang pernikahan pada waktu ihram? Bagaimana istinbath hukum Imam Syamsuddin as-Sarakhsi tentang pernikahan pada waktu ihram?.

Metode penelitian yang digunakan sebagai penunjang adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah kitab al-Mabsuth karya Syamsuddin as-Sarakhsi, sedangkan sumber data sekunder adalah teori-teori yang berhubungan dengan pernikahan pada waktu ihram. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Sedangkan analisa data menggunakan teknik analisa deskriptif kualitatif.

Temuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: pendapat as-Sarakhsi dalam membolehkan pernikahan pada saat ihram dengan menggunakan hadits dari Ibnu Abbas tidak kuat, karena berlawanan dengan riwayat dari Maimunah sebagai pelaku pernikahan itu sendiri yaitu bahwasanya Nabi saw menikahi Maimunah dalam keadaan halal. Kemudian daalam Istinbathnya Syamsuddin as-Sarakhsi juga menggunakan metode Qiyas, yaitu akad nikah disamakan dengan jual beli, sisi kesamaan (illat) nya adalah sama-sama akad. Hukum asalnya adalah akad jual beli bagi orang yang sedang ihram. Hukum

far’inya adalah akad nikah bagi muhrim. Imam as-Sarakhsi lebih menekankan

nikah pada akadnya, bukan ditekankan pada proses diperbolehkannya wath’i. Dengan illat sama-sama akad maka dihasilkan bahwa akad nikah boleh bagi orang yang sedang ihram, akan tetapi tidak boleh wath’i. Namun pendapat ini kurang kuat dikarenakan hadits yang memperbolehkan nikah pada waktu ihram hanya dari satu jalur sahabat yaitu Ibnu Abbas sedangkan hadits yang melarang nikah (nikah beliau dengan Maimunah dalam keadaan halal) berasal dari 3 jalur sahabat (Maimunah, Abu Rafi‟, Yazid bin al Asham). Selain itu Ibnu Abbas pada saat itu masih kecil belum sampai pada usia muda. Walaupun qiyas memenuhi rukun-rukunnya akan tetapi tidak bisa digunakan, karena hadits yang dipakai as-Sarakhsi yaitu hadits dari Ibnu Abbas tidak kuat.

(7)

vii KATA PENGANTAR

ا ِنــــــــــــــــْسِب

ِﷲ

نيِحَّراا ِنَوْحَّرلا

َلَع ُم َلاَّسلاَو ُةَلاَّصلاَو ِنْيِّدلاَو اَيْنُّدلا ِرْوُهُأ ىَلَع ُنْيِعَتْسَن ِهِبَو َنْيِوَلاَعلْا ِّبَر ِ ِلِل ُدْوَحْلَا

ى

ْحَصَو ِهِلآ ىَلَعَو َنْيِلَسْرُولْاَو ِءآيِبْنَلأْا ِفَرْشَأ

)دعباّها( َنْيِعَو ْجَأ ِهِب

Alhamdulillah, Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata‟ala yang telah menganugerahkan rahmat dan pertolongan-Nya terutama terhadap yang berjuang keras dan kesungguhannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga senantiasa selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Sallallahu „alaihi wasalam, keluarga dan para sahabatnya yang mulia.

Penulis bersyukur dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAMSUDDIN AS-SARKHOSI TENTANG PERNIKAHAN ORANG YANG SEDANG IHRAM” skripsi ini disusun guna memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.

Penyusun menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyelesaiaan penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, ucapan terima kasih sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dengan moral dan bantuan apapun yang sangat besar bagi penulis. Ucapan terima kasih teruama penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Dr. H. Mohamad Arja Imroni, M.Ag selaku pembimbing I dan Ibu Yunita Dewi Septiana, S.Ag. MA selaku pembimbing II, yang telah sabar meluangkan waktu, memberikan bimbingan dan pengarahan dari proses proposal hingga menjadi skripsi ini.

2. Ibu Anthin Lathifah, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Ahwal al-Syakhsiyah dan Bapak Muhamad Shoim, S.Ag. MH., selaku Sekjur Ahwal al-Syakhsiyah.

(8)

viii

4. Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag selaku Rektor Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.

5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, yang telah membekali berbagai pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu karyawan perpustakaan Institut dan fakultas yang telah memberikan pelayanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi.

7. Untuk teman-teman AS A angkatan 2010 terimakasih untuk kebersamaan, motivasi, support dan do‟anya selama ini.

8. Terima kasih semua sahabat, BUSI manajemen, keluarga #212, MBEWOH, PONPES AL ISHLAH, SD 01 Pecalungan, SMPN 01 Pecalungan, MANU Nurul Huda Semarang, IKAMANDA, KKN posko 71, HOPAK (Honda Pecalungan Klasik), CB LOPE-LOPE, keluarga besar CBI (CB Indonesia), dan para mantan yang telah memberikan waktu untuk berbagi rasa suka dan duka selama ini.

9. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu, baik moral maupun materiil.

Semoga Allah senantiasa membalas segala kebaikan dan ketulusan yang telah diberikan. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan dalam arti sesungguhnya. Untuk itu tegur sapa serta masukan yang konstruktif sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga penyusunan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pada pembaca pada umumnya.

Semarang, 29 Desember 2015 Penulis

Ahmad Hakim NIM. 102111007

(9)

ix DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ... i PENGESAHAN ... ii MOTTO ... iii PERSEMBAHAN ... iv DEKLARASI ... v ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Telaah Pustaka ... ... 11

E. Metode Penelitian ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN IHRAM A. Tinjauan Umum Pernikahan ... 19

1. Pengertian Nikah ... 19

2. Dasar Hukum Nikah ... 22

(10)

x

2. Dasar Hukum Ihram ... 39 3. Macam-macam Ihram ... 40 4. Larangan dalam Ihram... 41 5. Pendapat beberapa ulama tentang pernikahan yang dilakukan pada waktu ihram... 42 BAB III PENDAPAT SYAMSUDDIN AS-SARKHOSI TENTANG

PERNIKAHAN ORANG YANG SEDANG IHRAM

A. Biografi Syamsuddin as-Sarkhosi... ... 47 B. Metode Istinbath yang digunakan Syamsuddin as-Sarkhosi

dalam Menentukan Hukum... ... 51 C. Pendapat Syamsuddin as-Sarkhosi tentang Pernikahan Orang yang Sedang Ihram ... 57 D. Metode Istinbath Hukum Syamsuddin as-Sarkhosi tentang Pernikahan Orang yang Sedang Ihram... ... 60 BAB IV ANALISIS PENDAPAT SYAMSUDDIN AS-SARKHOSI

TENTANG PERNIKAHAN ORANG YANG SEDANG IHRAM

A. Analisis Pendapat Syamsuddin as-Sarkhosi tentang

Pernikahan Orang yang Sedang

(11)

xi

B. Analisis Istinbath Hukum Syamsuddin as-Sarkhosi tentang Pernikahan Orang yang Sedang Ihram...70 BAB V PENUTUP A. Simpulan...80 B. Saran...81 C. Penutup... 82 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(12)

1

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Nikah dalam arti bahasa adalah 1

ى

ضنا

و

2

ءطونا

yang berarti berkumpul. Ulama’ berbeda pendapat tentang pengertian nikah dalam arti

syara‟. Sebagian ulama’ ushul dan lughoh mengatakan bahwa nikah

adalah wath’i dalam arti hakikat sebagaimana arti secara bahasanya. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa nikah adalah akad dalam arti hakikat, dan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa nikah adalah persekutuan antara akad dan wath‟i secara hakikat.3

Nikah artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak serta kewajiban antara kedunya. Dalam pengertian yang luas, pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin antara dua orang, laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syari’at islam.4

Islam sangat menganjurkan seseorang yang masih sendiri untuk melangsungkan pernikahan. Hal ini dikarenakan agar lebih terjaga dari

1A.W.Munawwir, Muhammad Fairuz, Kamus al-Munawwwir Indonesia- Arab

Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 2007, hlm. 475.

2Ibid, hlm. 908.

3Abdurahman Al-Jaziri, Al-Fiqh „ala Madzahib Al-Arba‟ah, Juz 4, Beirut: Dar

Al-Kutub Al-Ilmiah, 2003, hlm. 7.

4

(13)

2

perbuatan-perbuatan maksud terutama agar dapat mengelola syahwat dengan baik. Allah berfirman di dalam Al-Qur’an surat An-Nur Ayat 32:























































Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah

Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”5 (QS. An-Nur: 32).

Di dalam ayat tersebut menjelaskan agar para wali bersedia untuk menikahkan orang-orang yang sudah saatnya untuk menikah, baik orang itu adalah orang yang merdeka ataupun hamba sahaya. Anjuran nikah mempunyai manfaat yang besar terutama dalam kehidupan manusia. Di antara faidah tersebut adalah dapat lebih memejamkan mata dan lebih menjaga kemaluan. Rasulullah SAW bersabda:

ٍع

ٍتا

دوعسي

ق

ا

ل

,

قا

ل

لوسر

الله

:

اٌ

زشعي

باثشنا

ٍي

عاطتسا

ىكُي

جاثنا

جوشتٍهف

َّاف

ضغا

زصثًنا

ٍصحاو

جزفهن

ٍيو

ىن

عطتسٌ

ٍّهعف

ووصنات

َّاف

ءاجو

(

قفتي

ٍّهع

.)

6

Artinya: ”Dari Ibnu Mas‟ud berkata, Rasulullah bersabda: Wahai pemuda, barang siapa di antara kamu mampu atas biaya nikah maka menikahlah karena sesungguhnya nikah dapat lebih memejamkan mata dan menjaga farji, dan barang siapa tidak mampu maka baginya puasa

karena dapat menjadi benteng.” (HR. Bukhari-Muslim).

5

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan penyelenggara penterjemah Al-Qur’an, 1971, hlm. 354

6KH. A. Abdul Hamid, Miftakhudda’wah wa Ta’lim (pedoman da’wah) Juz. 1,

(14)

Selain untuk tujuan-tujuan biologis sebagaimana yang disampaikan dalam hadits tersebut, pensyariatan nikah juga mempunyai hikmah-hikmah lain. Di antara hikmah tersebut adalah agar menimbulkan rasa kasih sayang di antara pasangan-pasangan tersebut sehingga dapat mencapai ketenangan. Hal ini disampaikan dalam Al-Qur’an surat Ar-Ruum Ayat 21:





























































.

Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu

benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”7 (QS.

Ar-Ruum: 21).

Allah SWT telah menjadikan pernikahan “jenis manusia” sebagai jaminan atas kelestarian populasi manusia di muka bumi. Allah SWT merealisasikan hal itu dengan menciptakan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Allah juga menjadikan pernikahan sebagai motivasi dari tabiat dan syahwat manusia serta untuk menjaga kekekalan keturuna mereka. Kalau bukan karena adanya dorongan syahwat seksual yang terpendam dalam diri setiap laki-laki dan perempuan, pasti tidak ada seorangpun manusia yang berpikir tentang pernikahan. Seorang laki-laki juga tidak

(15)

4

akan pernah memiliki keinginan mencari pasangan wanita. Padahal dengan adanya pasangan, dia dapat hidup tenang di sisinya.

Dalam agama Islam, pernikahan dianggap sah apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Rukun nikah menurut Mahmud Yunus dalam buku

Hukum Perkawinan Islam karangan Rahmar Hakim adalah bagian dari

hakikat pernikahan yang wajib dipenuhi. Kalau tidak dipenuhi pada saat nikah berlangsung, maka pernikahan dianggap batal.8 Adapun rukun-rukun nikah dijelaskan dalam KHI pasal 14, yaitu:

1. Calon suami 2. Calon istri 3. Wali nikah

4. Dua orang saksi dan; 5. Ijab dan kabul.9

Sedangkan syarat-syarat perkawinan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1. Syarat-syarat calon mempelai pria adalah a. Beragama islam

b. Laki-laki c. Jelas orangnya

d. Dapat memberikan persetujuan e. Tidak terdapat halangan perkawinan.

8 Rahmar Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Satia, 2000, hlm.

82.

9

(16)

2. Syarat-syarat calon mempelai wanita adalah a. Beragama islam

b. Perempuan c. Jelas orangnya

d. Dapat dimintai persetujuan

e. Tidak terdapat halangan perkawinan. 3. Syarat-syarat wali nikah

a. Laki-laki b. Dewasa

c. Mempunyai hak perwalian

d. Tidak terdapat halangan perwaliannya.10

Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali adalah sebagai berikut:

a) Bapak, nenek (bapak dari bapak) dan seterusnya sampai keatas. b) Saudara laki-laki sekandung (seibu, sebapak)

c) Saudara laki-laki sebapak

d) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

e) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak seterusnya kebawah f) Paman (saudara dari bapak) kandung

g) Paman (saudara dari bapak) sebapak h) Anak laki-laki paman kandung

i) Anak laki-laki dari paman sebapak seterusnya kebawah.11

10 Imam Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari,

(17)

6 4. Syarat-syarat saksi a. Beragama Islam b. Laki-laki c. Baligh d. Berakal e. Adil

f. Tidak terganggu ingatan g. Mendengar (tidak tuli) h. Melihat (tidak buta)

i. Bisa bercakap-cakap (tidak bisu) j. Menjaga harga diri

k. Mengerti ijab dan qabul

l. Tidak merangkap menjadi wali.12

Adapun syarat-syarat saksi dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada pasal 25: “Yang dapat menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli”.13

5. Syarat-syarat ijab dan qabul.

a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

b. Adanya penerimaan dari calon wali mempelai pria

11 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Mazhab Syafi‟i,

Hanafi, Maliki,dan Hanbali, Jakarta: Hidakarya Agung, 1977, hlm. 55.

12 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan...Op, Cit. Hlm. 55. 13

(18)

c. Memakai kata-kata nikah, Tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau tazwij

d. Antara ijab dan qabul bersambung e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

f. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang haji/umrah. g. Majelis ijab dan qabul itu minimum harus dihadiri empat orang, yaitu calon mempelai pria atau walinya, wali dari mempelai wanita, dan dua orang saksi.14

Para ulama ketika membahas hukum pernikahan, menemukan bahwa ternyata menikah itu terkadang hukumnya bisa menjadi sunnah

(mandub), terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi

sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk dilakukan.15

Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila telah berterus terang sebelumnya dan calon suami istri itu mengetahui dan menerima keadaannya.

Selain itu masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama. Menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram),

14

Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 72.

15

(19)

8

pernikahan wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah, pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun, dan pernikahan yang dilakukan ketika sedang ihram Haji dan Umrah.

Dalam hal kedudukan hukum, orang yang menikah pada waktu ihram ini, fuqaha berselisih pendapat sebagian ulama membolehkan dan sebagian ulama lain melarangnya. Silang pendapat ini disebabkan oleh adanya bermacam-macam hadits yang berkenaan dengan masalah ini.

Ulama Hanafiah, Syamsuddin as-Sarakhsi dalam kitabnya

al-Mabsuth mengatakan:

سوجٌ

وزحًهن

ٌأ

جوشتٌ

ٌأو

جوشٌ

ّتٍنو

.

16

Bahwa orang yang sedang ihram diperbolehkan melakukan nikah,

menikahkan dan wali nikah wanita yang menjadi walinya.”

Dalil yang menjadi pendirian beliau adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Sebagai berikut:

ٍع

ٍتا

صاثع

ٌا

ًثُنا

مص

الله

ٍّهع

ىهسو

جوشت

وًٍي

حَ

و

وْ

وزحي

كْو

اذ

يور

ٍع

اع

ئ

حش

.

17

Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra. Nabi saw. menikahi Maimunah ketika beliau sedang ihram, hadits tersebut juga diriwayatkan dari Aisyah ra.

Sedangkan menurut jumhur ulama seperti Imam Syafi’i, Maliki, Ahmad adalah haram hukumnya untuk dilakukan, mereka berpandapat

16

Abi Bakr Muhammad Syamsudddin al-Sarakhsi, Al Mabsuth, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th), Juz 3, hlm 174.

17

Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari..Op, Cit. hlm. 452.

(20)

bahwa orang yang sedang ihram tidak boleh melakukan akad nikah. Apabila dia melakukannya maka nikahnya batal (tidak sah).18

Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm berpendapat, bahwa orang yang sedang ihram itu tidak boleh nikah, dan tidak boleh menikahkan.19 Adapun dalil yang dijadikan pendiriannya adalah hadits yang diriwayatkan dari Utsman ibn Affan ra. Sebagai berikut:

ٍع

ٌاًثع

لاق

,

لاق

لوسر

الله

ىهص

الله

ٍّهع

ىهسو

:

لا

حكٌُ

وزحًنا

لاو

حكٌُ

.

20 Artinya:”Dari Utsman ibn Affan ra. Rasulullah saw. bersabda: orang yang sedang ihram dilarang menikahkan dan dinikahkan.” (HR. Muslim).

Imam Malik dalam kitabnya al-Muwattha‟ mengungkapkan, sebagai berikut:

قا

ل

ي

ا

كن

:

ٍع

عفاَ

ٌا

اللهذثع

ٍت

زًع

ٌاك

لوقٌ

حكٌُلا

وزحًنا

لاو

ةطخٌ

هع

ى

ّسفَ

لاو

ِزٍغ

.

21

Artinya: “Malik berkata: Dari Nafi‟ bahwa Abdullah bin Umar

berkata: Seseorang yang sedang ihram tidak boleh menikah maupun melamar untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.”

Berdasarkan perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum nikah pada waktu ihram, maka penulis mencoba mengangkat suatu kajian dari salah satu mazhab mengenai hukum nikah pada waktu ihram dalam bentuk skripsi, dan yang akan penulis angkat disini adalah pendapat Imam Syamsuddin as-Sarakhsi seorang ulama Hanafiyah, dimana hanya beliau

18Abu Kamal Malik, Shahih Fiqh Sunnah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) jilid.

2.h.339.

19

Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, al-Umm, Juz 5, Beirut: Dar Kutub al-Ilmiah, t.th., hlm.260.

20

Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz 1, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th.,hlm. 590.

(21)

10

saja yang memperbolehkan pernikahan yang dilakukan pada waktu ihram, untuk itu skripsi ini diberi judul “ANALISIS PENDAPAT IMAM

SYAMSUDDIN AS-SARAKHSI TENTANG PERNIKAHAN

ORANG YANG SEDANG IHRAM”. B. RUMUSAN MASALAH

Dengan memahami serta mempertimbangkan dasar pemikiran yang tertuang dalam latar belakang masalah tersebut, maka penulis merumuskan masalah dalam skripsi ini sebagai berikut:

1. Bagaimana pendapat Imam Syamsuddin as-Sarakhsi tentang pernikahan pada waktu ihram?

2. Bagaimana istinbath hukum Imam Syamsuddin as-Sarakhsi tentang pernikahan pada waktu ihram?

C. TUJUAN PENULISAN SKRIPSI

Suatu langkah atau perbuatan akan mengarah jika dalam perbuatan tersebut mempunyai tujuan. Demikian juga halnya dalam penelitian ini. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk Mengetahui pendapat Imam as-Sarakhsi tentang Hukum pernikahan pada waktu ihram.

2. Untuk Mengetahui istinbath hukum Imam as-Sarakhsi tentang pernikahan pada waktu ihram.

(22)

D. TELAAH PUSTAKA

Penelitian dengan judul “Analisis Pendapat Imam Syamsuddin as-Sarakhsi tentang Pernikahan Orang Yang Sedang Ihram” sejauh pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Namun, setelah melakukan beberapa penelusuran terhadap literatur-literatur dari dan berbagai karya ilmiah, ada beberapa penelitian terdahulu yang ada relevansinya dengan penelitian ini. Beberapa penelitian terdahulu adalah:

Pertama, skripsi Puad dengan judul “Studi Analisis Pendapat Imam Syafi’i tentang Pernikahan Pada waktu Ihram”.22

Penelitian tersebut menjelaskan bahwa Imam Syafi’i berpendapat, seorang yang sedang ihram haram untuk menikah, menikahkan, atau mengkhitbah baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk orang lain. Alasan Imam Syafi’i adalah karena yang demikian dilarang oleh Nabi SAW. pendapat tersebut disandarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan. Penelitian ini menguatkan pendapat Imam Syafi’i dengan mengatakan bahwa dasar hukum yang digunakan oleh Imam Syafi’i adalah dasar hukum yang kuat. Penelitian ini berbeda dengan penelitian penulis. Penelitian Puad ini meneliti tentang pendapat yang melarang pernikahan seseorang yang sedang ihram, sedangkan skripsi penulis menjelaskan tentang diperbolehkannya pernikahan orang yang sedang ihram.

Kedua, skripsi Fuad Amin dengan judul “Analisis Pendapat Ibnu Mas’ud al-Khasani tentang Keabsahan Haji Seseorang Yang Bersetubuh

22 Puad, “Study Analisis Pendapat Imam Syafi‟i tentang Pernikahan pada Waktu

(23)

12

Setelah Wukuf dalam Kitab Badai Ash Shona‟i Tartib-Syara‟i”.23 Di dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa seseorang dilarang untuk melakukan persetubuhan di dalam haji. Apabila dilakukan maka hajinya batal. Penelitian difokuskan kepada pendapat ulama Hanafiyah termasuk didalamnya adalah Imam Al-Khasani tentang bolehnya melakukan persetubuhan yang tidak menyebabkan batalnya ibadah haji, adalah apabila dilakukan setelah melakukan wukuf di Padang Arafah namun diwajibkan untuk membayar fidyah. Skripsi ini mempunyai kesamaan dengan skripsi penulis yaitu berhubungan dengan pernikahan yang dilakukan pada saat melakukan ibadah haji. Perbedaannya adalah, skripsi ini membahas tentang implikasi hukum yang dilakukan setelah wukuf menurut al-Khasani, sedangkan skripsi penulis membahas tentang hukum pernikahan yang dilakukan pada saat ihram menurut Syamsuddin as-Sarakhsi.

Skripsi-skripsi diatas mempunyai kesamaan dengan skripsi penulis, namun fokus masalah yang dibahas berbeda dengan skripsi penulis. Oleh karena itu penulis memandang permasalahan ini layak untuk di kaji. E. METODE PENELITIAN SKRIPSI

Metode penelitian adalah cara yang dipakai dalam mengumpulkan data.24 Menyusun skripsi pada dasarnya merupakan upaya penelitian yang menggunakan data ilmiah yang diterapkan untuk menyelidiki masalah.

23

Fuad Amin, “Analisis Pendapat Ibnu Mas‟ud al-Khasani tentang Keabsahan

Haji Seseorang yang Bersetubuh Setelah Wukuf dalam Kitab Badai Ash Shona‟ifi Tartib al-Syara‟i”, Semarang, Fakultas Syari’ah UIN walisongo, 2006.

24 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Teori dan

(24)

Adapun penelitian yang penulis lakukan ialah studi pustaka dengan menggunakan data-data tertulis. Metode yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penulisan penelitian ini didasarkan pada library research

(penelitian kepustakaan) yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama. Dengan mengadakan kajian terhadap data yang telah ada, penulis menggali teori-teori yang telah berkembang dalam bidang ilmu yang berkepentingan, mencari metode-metode, serta teknik penelitian, baik dalam mengumpulkan data, atau dalam menganalisis data yang pernah digunakan oleh peneliti-peneliti terdahulu, memperoleh orientasi yang lebih luas dalam permasalahan yang dipilih, serta menghindarkan terjadinya duplikasi-duplikasi yang tidak diinginkan.25

2. Sumber Data

Sumber data ada dua, yaitu: a. Sumber Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari data utama, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertamanya.26 Sumber data primer yang dimaksud adalah kitab

al-Mabsuth karya Abi Bakr Muhammad Syamsuddin as-Sarakhsi.

25 Muhammad Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998, hlm.

111-112.

26

Tatang M. Amin, Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 13.

(25)

14

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli.27 Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian

ini mencakup bahan-bahan tulisan yang berhubungan dengan

permasalahan pernikahan yang dilakukan pada saat ihram, baik dalam bentuk kitab, buku, serta literatur ilmiah lainnya.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, karena penelitian ini menerapkan teknik-teknik khusus untuk mengurangi terjadinya pemilahan dalam pengumpulan data dan tingkat analisisnya.28 Penelitian ini tidak bekerja menggunakan data dalam bentuk angka atau diolah dengan rumusan dan tidak ditafsirkan atau diinterpretasikan sesuai ketentuan statistik atau matematik.

Karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan

(library research), sehingga sumber datanya lebih mengandalkan

sumber karya kepustakaan. Penelitian ini dalam pengumpulan datanya menggunakan metode kepustakaan, yaitu dengan cara mencari buku-buku atau karya ilmiah yang berkaitan dengan pembahasan pernikahan saat ihram.

4. Metode Analisis Data

27 Ibid

28 Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian,Terj.

(26)

Analisis data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah. Karena dengan menganalisis data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian.29 Setelah data-data tersebut terkumpul selanjutnya penulis susun secara sistematis dan dianalisis. Untuk dapat menghasilkan kesimpulan yang benar dan valid, maka metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dengan analisis kualitatif,30 penulis mendeskripsikan pandangan Imam Syamsuddin as-Sarakhsi dengan analisis secara mendalam, sehingga diperoleh gambaran pemikiran Imam Syamsuddin as-Sarakhsi tentang konsep nikah pada waktu ihram dengan jelas. Untuk memperoleh deskripsinya penulis juga mengkomparasikan pemikiran Imam Syamsuddin as-Sarakhsi tersebut dengan pendapat ulama yang lain yang menarik perhatian pada pelaksanaan nikah pada waktu ihram, sehingga mudah untuk mengkomposisikan pendapat Imam as-Sarakhsi ini dalam khasanah pemikiran yang berkembang dalam dunia islam.

Adapun langkah-langkah yang penulis gunakan adalah sebagai berikut:

Pertama, penulis mencari pokok-pokok permasalahan dengan indikasi-indikasi dalam landasan berpijak. Langkah ini penulis ambil

29

Muahammad Nazir, Metodologi Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998, hlm. 405.

30 Analisis kualitatif pada dasarnya menggunakan pemikiran logis, analisis

dengan logika dengan induksi, deduksi, analogi, komparasi dan sejenisnya. Lihat, Tatang m. Amirin, op. Cit., hlm, 91.

(27)

16

dengan cara mengkaji kitab-kitab, buku-buku karya imam-imam mujtahid melalui sebuah pembahasan deskriptif, sedangkan permasalahan yang berkaitan dengan pendapat Imam Sarakhsi tentang pernikahan pada waktu ihram akan penulis tuangkan dalam Bab III, sehingga pembahasannya tidak melalui deskriptif komparatif, akan tetapi melalui deskriptif objektif.

Kedua, setelah data-data tersebut diatas dapat disajikan secara menyeluruh, maka penulis mencoba membahas dan menganalisa secara keseluruhan, sehingga pada titik final penulis menyimpulkan dengan memilih pendapat yang paling kuat dasar hukumnya dengan alasan-alasan yang melatatar belakanginya.

F. SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI

Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Masing-masing bab membahas permasalahan yang diuraikan menjadi beberapa sub bab. Antara satu bab dengan bab yang lainnya saling berhubungan dan terkait erat.

Adapun sistematikanya dapat penulis rumuskan sebagai berikut:

BAB I:

Merupakan pendahuluan, yang isinya meliputi: Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, metode penelitian skripsi, dan sistematika penulisan skripsi.

(28)

BAB II:

Merupakan tinjauan umum pernikahan dan ihram, yang meliputi: Pengertian nikah, dasar hukum nikah, syarat dan rukun nikah, larangan nikah, pengertian ihram, dasar hukum ihram, macam-macam ihram, larangan dalam ihram, dan pendapat beberapa ulama tentang pernikahan orang yang sedang ihram.

BAB III:

Merupakan pendapat Imam as-Sarakhsi tentang pernikahan orang yang sedang ihram, meliputi: Biografi Syamsuddin as-Sarakhsi, metode istinbath Syamsuddin as-Sarakhsi dalam menentukan suatu hukum, pendapat Syamsuddin as-Sarakhsi tentang pernikahan orang yang sedang ihram, dan metode istinbath hukum Syamsuddin as-Sarakhsi tentang pernikahan orang yang sedang ihram.

BAB IV:

Merupakan analisis pendapat Syamsuddin as-Sarakhsi tentang pernikahan orang yang sedang ihram, yang isinya meliputi: Analisisis pendapat Syamsuddin as-Sarakhsi tentang pernikahan orang yang sedang ihram, analisis istinbath hukum Syamsuddin as-Sarakhsi tentang pernikahan orang yang sedang ihram.

BAB V:

Merupakan penutup, yang meliputi: Kesimpulan, saran-saran, dan yang terakhir penutup.

(29)

18

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN IHRAM

A. Tinjauan Umum Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan

Perkawinan menurut istilah ilmu fiqih dipakai perkataan “nikah” dan perkataan “zawaaj”1, yang mendapatkan awalan per- dan akhiran –an menjadi pernikahan. Untuk memahami masalah pernikahan perlu kiranya penulis jelaskan lebih dahulu pengertian-pengertian pernikahan atau perkawinan, baik secara bahasa (etimologi) maupun secara istilah

(terminologi). a. Bahasa

ذبكُنا

خغن

ىضنا

ءطٕنأ

2

Artinya: Nikah menurut bahasa berkumpul dan bersetubuh.

Sebagaimana disebutkan dalam kitab Fiqh „ala-Madzahib

al-Arba‟ah karya Abdurahman al-Jaziri, bahwa kata “pernikahan” secara

bahasa adalah

ىضنأ

ءطٕنا

yang artinya berkumpul atau bercampur. Seperti dikatakan:

رُ

ذسكب

سبدشلأا

ذهٌبًرارإ

ىضَأ

بٓضعث

ىنا

ضعث

3

1 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, jakarta: Bulan

Bintang, 1974, hlm. 11.

2 Pengumpul Bahasa Arab, Mujamul Wasith, (Kairo: Dar at-Tahrir, 1972), hlm.

(30)

Artinya: terjadinya pernikahan antara pohon-pohon, bila pohon-pohon

tersebut saling condong dan bercampur.

Adapun pengertian pernikahan dalam bahasa arab disebutkan dengan

ذبكُنا

yang merupakan bentuk masdar dari kata

– بزبكَا

-

بزبكَ

ركٌُ

-

- ركَ

y

ang mempunyai arti “mengawinkan”.4

b. Istilah

Pernikahan atau perkawinan itu mempunyai banyak definisi yang diberikan oleh para fuqaha dan sarjana Islam, menurut golongan Syafi‟iyah, nikah adalah:

ذبكُنا

َّأث

ذقع

ًٍضزٌ

كهي

ءطٔ

ظفهث

ذبكَا

ٔا

حٌٔزر

ٔا

بًُٓعي

5

Artinya: Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya.

Menurut golongan Malikiyah, nikah adalah:

ذبكُنا

َّأث

ذقع

ىهع

دشدي

خعزي

رزهزنا

خٍيدأث

شٍغ

ةٕخٕي

بٓزًٍق

خٍُجث

6

Artinya: Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha‟, bergembira dan menikmati diri wanita yang telah nikah dengannya.

Menurut golongan Hanafiyah, nikah adalah:

ذبكُنا

َّأث

ذقع

ذٍفٌ

كهي

خعزًنا

اذصق

7

3 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, Juz. 4,(Beirut:

Dar al-Fikr, 1969), hlm. 1.

4 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: yayasan penyelenggara

penerjemah dan penafsiran al-Qur‟an, 1973), hlm. 467.

5

Abdurrahman al-Jaziri,.Op. Cit, hlm. 2.

6

Ibid, hlm. 8.

(31)

20

Artinya: Nikah adalah akad yang memperbolehkan memiliki, bersenang-senang dengan sengaja.

Sedangkan para ulama Muta‟akhirin dalam mendefinisikan nikah telah memasukkan hak dan kewajiban antara suami istri, di antaranya adalah: Menurut Muhammad Rifa‟i, nikah adalah suatu akad yang menghalalkan pergaulan secara sah antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya.8 Sedangkan menurut Sudarsono, nikah adalah akad untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara laki-laki dan perempuan di mana antara keduanya bukan muhrim.9

Dari pengertian di atas, berarti pernikahan mengandung aspek akibat hukum, yaitu saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan pergaulan yang dilandasi tolong menolong. Karena pernikahan termasuk dalam pelaksanaan syariat Islam, maka di dalamnya terkandung maksud dan tujuan yang mengharap keridhaan Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 sebagai berikut:

“Pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau Mitsaqan Ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”10

8

Mohamad Rifa’i, fiqh Islam Lengkap..Op, Cit, hlm. 453.

9 Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam,Jakarta: Rineka Cipta, 2001, hlm. 188. 10 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika

(32)

2. Dasar Hukum Pernikahan

Islam sangat menganjurkan seseorang yang masih sendiri untuk melangsungkan pernikahan. Hal ini dikarenakan agar lebih terjaga dari perbuatan-perbuatan maksud terutama agar dapat mengelola syahwat dengan baik. Allah berfirman di dalam Al-Qur‟an surat An-Nuur Ayat 32:























































Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah

Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. An-Nur: 32)11

Ayat lain yang juga menunjukkan tentang anjuran nikah yaitu dalam surat yasin ayat 36, sebagai berikut:



































Artinya: “Maha suci tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka

maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yasin: 36) 12

Pernikahan mempunyai manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, diantara manfaat tersebut adalah agar manusia dapat lebih

11Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan

penyelenggara penterjemah Al-Qur‟an, 1971, hlm. 354.

(33)

22

memejamkan mata dan menjaga kemaluan. Sebagaimana sabda nabi SAW:

ٍع

ٍثا

دٕعسي

لبق

,

لبق

لٕسس

الله

:

بٌ

ششعي

ةبجشنا

ٍي

عبطزسا

ىكُي

ءبجنا

ح

جٔززٍهف

َّبف

ضغا

شصجهن

ٍصزأ

جشفهن

ٍئ

ىن

عطزسٌ

ٍّهعف

وٕصنبث

َّبف

ّن

ءبخٔ

(

قفزي

ٍّهع

)

.

13

Artinya: Ibnu Mas‟ud berkata, Rasulullah Sallahu „Alaihi Wasallam

bersabda: Wahai pemuda, barang siapa di antara kamu mampu atas biaya nikah maka menikahlah karena sesungguhnya nikah dapat lebih memejamkan mata dan menjaga farji, dan barang siapa tidak mampu maka baginya puasa karena dapat menjadi benteng. (H.R. Bukhori Muslim).

Dari deskripsi Al-Qur‟an dan Hadits diatas dapat disimpulkan bahwasanya agama Islam sangat menganjurkan seseorang yang telah cukup umur untuk segera menikah, sehingga dapat lebih menjaga dan mengarahkan nafsu ke jalan yang diridhai Allah SWT.

3. Syarat dan Rukun Nikah

Akad dalam pernikahan adalah salah satu diantara akad-akad yang mengikat hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, oleh karena itu harus dipenuhi rukun-rukun beserta syarat-syaratnya sebagaimana akad-akad yang lain.

Syarat yang dimaksud dalam pernikahan adalah sesuatu yang harus ada dalam suatu perbuatan namun berada diluar perbuatan itu, sedangkan rukun adalah sesuatu yang harus ada dan menjadi bagian perbuatan tersebut. Sebagian rukun nikah juga merupakan bagian dari persyaratan nikah, dan oleh karenanya persyaratan mengacu pada rukun-rukun nikah

13

KH. A. Abdul Hamid, Miftakhudda‟wah wa Ta‟lim (pedoman da‟wah), Juz. 1, Kudus: Menara, 1977, hlm. 118.

(34)

tersebut.14 Dengan demikian pernikahan dianggap sah apabila syarat dan rukun nikah terpenuhi, karena keduanya saling terkait. Sebab ketika akad berlangsung dan diantara syarat dan rukun ada yang tidak terpenuhi, maka pernikahannya dianggap batal.15

Dalam perkawinan Islam di Indonesia,syarat dan rukun perkawinan yang dimaksud tersirat dalam undang-undang Perkawinan dan KHI.

Dalam kompilasi hukum Islam pasal 14, bahwa rukun perkawinan terdiri dari lima macam:

1. Calon suami 2. Calon istri 3. Wali nikah 4. Dua orang saksi 5. Ijab dan Qabul.16

Adapun syarat-syarat dalam perkawinan yang harus dipenuhi adalah sebagi berikut:

1. Syarat-syarat calon mempelai pria adalah a. Beragama islam

b. Laki-laki c. Jelas orangnya

d. Dapat memberikan persetujuan e. Tidak terdapat halangan perkawinan.

14 Rahmar hakim,.Op.Cit, hlm. 82. 15 Ibid

16

(35)

24

2. Syarat-syarat calon mempelai wanita adalah a. Beragama islam

b. Perempuan c. Jelas orangnya

d. Dapat dimintai persetujuan

e. Tidak terdapat halangan perkawinan. 3. Wali nikah

Wali merupakan syarat sahnya suatu pernikahan, demikian menurut madzhab Imam Malik, Syafi‟i, dan Abu Hanifah berpendapat, bahwa jika seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa wali, maka hukumnya tidak sah (batal),17 sehungga dalam pernikahan diperlukan wali dari pihak perempuan (calon istri) yang dinilai mutlak keberadaan ijinnya oleh kebanyakan ulama‟. Sebagaimana Hadits Nabi SAW:

ٍعٔ

ًثا

حدشث

ٍث

ًثأ

ىسٕي

,

ٍع

ٍّثأ

لبق

:

لبق

لٕسس

الله

ىهص

الله

ٍّهع

ىهسٔ

(

ذبكَلا

َا

ًنٕث

)

ِأس

ذًزأ

خعثسلأأ

ّسسصٔ

ٍثا

ًٌُذًنا

يزيش زنأ

ٍثأ

ٌب جز

18

.

Artinya: “Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya

Radliyallaahu „anhu bahwa Rasulullah Shalallaahu „Alaihi wa Sallam bersabda: “tidak sah nikah kecuali dengan wali”. (Riwayat Ahmad dan Imam Empat, Hadits shahih menurut Ibnu al-Madiny, Thirmidzi, dan Ibnu Hibban).

Syarat-syarat yang harus dipenuhi wali adalah sebagai berikut: 1) Laki-laki

2) Dewasa

17 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Madzhab Syafi‟i,

Hanafi, Maliki, Hanbali, Jakarta: Hidakarya Agung, 1997, hlm. 53.

18Asshan‟ani,

Subulussalam Sharhi Bulughul Muram,(Bandung: Diponegoro,t,th) Jilid: 2, Hlm. 117.

(36)

3) Mempunyai hak perwalian

4) Tidak terdapat halangan hak perwaliannya.19 4. Dua orang saksi

Adapun syarat-syarat saksi adalah sebagai berikut: 1) Beragama islam

2) Laki-laki 3) Baligh 4) Berakal 5) Adil

6) Mendengar (tidak tuli) 7) Melihat (tidak buta)

8) Bisa bercakap-cakap (tidak bisu) 9) Tidak pelupa (mughaffal)

10)Menjaga harga diri (menjaga muru‟ah) 11)Mengerti ijab dan qabul

12)Tidak merangkap menjadi wali.20 5. Ijab dan qabul

Rukun nikah yang terakhir adalah ijab dan qabul. Yang dimaksud ijab adalah keinginan dari pihak wanita untuk menjalin ikatan rumah tangga dengan seorang laki-laki, sedangkan qabul adalah

19 Imam Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari ,

(Beirut: Dar al-Kutub al_Ilmiah, 1992), hlm. 456.

20

(37)

26

pernyataan menerima keinginan dari pihak pertama untuk maksud tertentu.21

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan ijab qabul adalah sebagai berikut:

1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali 2) Adanya penerimaan calon wali mempelai pria

3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau tazwij

4) Antara ijab dan qabul bersambung 5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

6) Orang yang terkait dalam ijab dan qabul tidak sedang dalan ihram haji/umrah

7) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu calon mempelai pria atau walinya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya dan dua orang saksi.22

Selain beberapa persyaratan diatas, calon mempelai pun dalam hukum perkawinan islam di Indonesia menentukan salah satu syarat, yaitu persetujuan calon mempelai. Hal ini berarti calon mempelai sudah menyetujui yang akan menjadi pasangannya (suami- istri), baik dari pihak perempuan maupun pihak laki-laki yang akan menjalani ikatan perkawinan, sehingga mereka nantinya menjadi senang dalam

21 M. Fauzhil Adhim, mencapai pernikahan barokah, Yogyakarta: Mitra

Pustaka, 2002, hlm. 27.

22 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

(38)

melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai suami dan istri. Persetujuan calon mempelai merupakan hasil dari peminangan (khitbah) dan dapat diketahui sesudah petugas pegawai pencatat nikah meminta calon mempelai untuk menandatangani blanko sebagai bukti persetujuannya sebelum dilakukan akad nikah.23

4. Larangan Nikah

Meskipun perkawinan telah memenuhi seluruh rukun dan syarat yang ditentukan belum tentu perkawinan tersebut sah, karena masih tergantung lagi pada satu hal, yaitu perkawinan itu telah terlepas dari segala hal yang menghalang. Halangan perkawinan itu disebut juga dengan larangan perkawinan.24

Larangan perkawinan mempunyai landasan dalam artian sebagai dasar hukum, yang nantinya akan digunakan sebagai acuan untuk mengatur mengenai perkawinan yang dilarang menurut hukum yang berlaku. Larangan perkawinan dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu larangan abadi dan larangan dalam waktu tertentu.25

Kedua larangan tersebut, yaitu larangan selama-lamanya terinci dalam pasal 39 KHI dan larangan sementara pasal 40 sampai pasal 44 KHI.26 dipaparkan sebagai berikut:

23Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: SinarGrafika,

2006, hlm. 12-13.

24Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh

Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Putra Grafika, 2006. Hlm.109.

25Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia... Op,Cit. hlm. 30. 26

(39)

28

a. Larangan perkawinan selama-lamanya

Secara bahasa, al-mahram adalah yang haram, terlarang.27 Sedangkan secara istilah, mahramat dalam pembahasan ini adalah wanita-wanita yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki yang telah ditetapkan oleh syara' di dalam Al-Qur'an.28 Ibnu Qudamah berpendapat bahwa mahram adalah semua orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan, dan pernikahan.29

Mahram nikah sepenuhnya juga diatur dalam UU perkawinan yang

materinya mengikuti fiqh yang keseluruhannya bersumber dari Al-Qur‟an al-Karim.30 Yaitu Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Mahram nikah dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974,

perkawinan ialah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.31 Mahram dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 disebut sebagai pencegahan pernikahan yang terdapat dalam bab III Undang-undang tersebut. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam mengistilahkan mahram sebagai larangan kawin yang

27A.W. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka

Progessif, 1997, hlm. 257

28

Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah untuk Wanita, (Jakarta: Al-I'tishom, cet. VI, 2012), hlm. 602

29 Muwafiquddin Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Mahmud bin

Qudamah, al-Mughniy, Jilid 7, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiy,t.th)., hlm. 470.

30Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. ..Op, Cit. Hlm. 135.

31Departemen Agama R.I. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 serta Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Derektorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004), hlm. 14.

(40)

terdapat dalam bab VI Kompilasi Hukum Islam.

Selanjutnya, Undang-undang nomor 1 tahun 1974 mengatakan bahwa perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melaksanakan perkawinan.32 Syarat-syarat tersebut yang ada hubungannya dengan permasalahan mahram dijelaskan dalam Pasal 8 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu atau bapak tiri;

d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan;

e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; dan

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

32

(41)

30

Larangan perkawinan bagi seorang pria dengan seorang wanita selama-lamanya atau wanita-wanita yang haram dinikahi oleh seorang pria selama-lamanya mempuanyai beberapa sebab.33 Pasal 39 KHI mengungkapkan :” Di larang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :

a. Karena pertalian nasab:

1. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya

2. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu 3. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. b. Karena pertalian kerabat semenda :

1. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya.

2. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya 3. Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya,

kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya

itu qabla al dukhul.

4. Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.34 c. Karena pertalian sesusuan :

1. Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus keatas

33Ibid. hlm. 31.

34Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 1995. Hlm.

(42)

2. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah

3. Dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemenakan sesusuan kebawah

4. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan keatas

5. Dengan anak yang di susui oleh istrinya dan keturunannya.35

Allah SWT telah menjelaskan dasar hukum larangan perkawinan selama-lamanya (abadi) pada pasal 39 KHI tersebut dalam Al-Qur‟an, yaitu dalam Surat an-Nisa Ayat 22-23:

















































































































































































































35Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: SinarGrafika,

(43)

32































Artinya: “22.Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).

23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang peremuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang.”36

Pasal 39 kompilasi pada angka 1 mendahulukan mahram nasab, yaitu mahram yang timbul karena hubungan darah yang referensinya adalah surah An-nisa‟ ayat 23, yang juga sekalius menjadi dasar adanya mahram karena pertalian sesusuan, yang di atur pada angka 3. Sementara angka 2 mahram karena kerabat semenda (musaharah) atau perkawinan, di dasarkan pada ayat 22 surah an-Nisa‟. Pengutipan ayat-ayat di atas semata-mata dimaksud agar berurutan. Sementara kompilasi juga bermaksud

36

(44)

mengatur secara tertib dari mahram nasab, mahram akibat perkawinan, dan

mahram sepersusuan.37

b. Larangan perkawinan dalam waktu tertentu

Larangan perkawinan dalam waktu tertentu bagi seorang pria dengan seorang wanita, diungkapkan secara rinci dalam pasal 40-44 KHI.

1. Pasal 40 KHI

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu :

a. Karena wanita yang bersangkutan masih terkait satu perkawinan dengan pria lain

b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain

c. Seorang wanita yang tidak beragama islam.

Ketentuan diatas sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat an-Nisa ayat 24, sebagai berikut:



























Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita

yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah SWT telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas

kamu...”38

37Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia,..Op, Cit, hlm. 123-124. 38

(45)

34

2. Pasal 41 KHI

(1) Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan istrinya

a. Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya b. Wanita dengan bibinya atau kemenakanya

(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalak raj‟i, tetapi masih dalam masa iddah.39 3. Pasal 42 KHI

Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apa bila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang istri yang keempat-empatnya masih terikat dalam perkawinan atau masih dalam iddah raj‟i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj‟i.40

4. Pasal 43 KHI

1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan:

a. Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali;

b. Dengan seorang bekas istrinya yang dili‟an.

39Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,..Op,Cit, hlm. 31-32. 40

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan peran Pimpinan Ranting Muhammadiyah dalam menanamkan ideologi Muhammadiyah dan faktor-faktor apa saja yang menjadi

Shalat gerhana disyariatkan kepada setiap muslim, baik dalam keadaan muqim di negerinya atau dalam keadaan safar, baik untuk laki-laki atau untuk perempuan. Atau

Penilaian responden terhadap tingkat kepentingan daerah yang aksesibilitas dan karakteristik daerahnya dikarenakan letak geografis sulit untuk dijangkau, daerah

“menginstruksikan kepada pustakawan untuk melakukan promosi kepada pengunjung baik itu siswa sekolah, PNS, maupun masyarakat umum pada saat ada buku baru, Kebijakan

karena dengan kehendak-Nya juga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan judul Tradisi Batagak Pangulu di Minangkabau: Studi di Nagari Piobang, Kecamatan Payakumbuh,

Peneliti BBRSEKP berpartisipasi sebagai narasumber dalam Pemantauan dan Evaluasi Kegiatan Litbang Asing Tentang Pelaksanaan Kerjasama Penelitian Asing, Output Dan Outcome Yang

Subbidang Teknologi Terapan Gizi dan Makanan mempunyai tugas melakukan penelitian, pengembangan dan penapisan teknologi kesehatan, serta penyiapan bahan perumusan

Untuk menghasilkan 1 Kg bahan kering kebutuhan air untuk Kg bahan kering kebutuhan air untuk sorgum, jagung , barley, gandum dan sorgum, jagung , barley, gandum dan  padi adalah