• Tidak ada hasil yang ditemukan

EBN Penanganan Osteoporosis Post Menopouse Lansia Blok 3 6

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan " EBN Penanganan Osteoporosis Post Menopouse Lansia Blok 3 6"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Osteoporosis atau keropos tulang adalah penyakit kronik yang ditandai dengan pengurangan massa tulang yang disertai kemunduran mikroarsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang. Keadaan ini berisiko tinggi karena tulang menjadi rapuh dan mudah retak bahkan patah. Banyak orang tidak menyadari bahwa osteoporosis merupakan penyakit tersembunyi (silent diseases).

Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria. Hal ini disebabkan pengaruh hormon esterogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun sedangkan pada pria hormon testoteron turun pada usia 65 tahun. Menurut statistik dunia 1 dari 3 wanita rentan terkena penyakit osteoporosis. Pada waktu seorang wanita mengalami menopause, pembuangan massa tulang meningkat karena tidak adanya hormon esterogen. Pada kebanyakan wanita, pembuangan massa tulang lebih banyak dibandingkan dengan pembentukan tulang. Akibatnya, terjadilah osteoporosis alias keropos tulang. Dan pada usia 50-an tahun, kemungkinan untuk mengalami patah tulang karena osteoporosis menjadi lebih besar dengan perbandingan lebih kurang 1 orang pada setiap 2 orang.

Insiden osteoporosis meningkat sejalan dengan meningkatnya populasi usia lanjut. Pada tahun 2005 terdapat 18 juta lanjut usia di Indonesia, jumlah ini akan bertambah hingga 33 juta pada tahun 2020 dengan usia harapan hidup mencapai 70 tahun. Menurut data statistic Itali tahun 2004 lebih dari 44 juta orang Amerika mengalami osteopenia dan osteoporosis. Pada wanita usia ≥ 50 tahun terdapat 30% osteoporosis, 37-54% osteopenia dan 54% berisiko terhadap fraktur osteoporotic. Komdisi osteoporosis dapat menyebabkan fraktur (patah tulang) dan frkatus di tulang pinggul (pangkal paha) adalah yang paling mengkhawatirkan.

(2)

osteoporosis[5]. Lima provinsi dengan risiko osteoporosis lebih tinggi adalah Sumatra Selatan (27,75%), Jawa Tengah (24,02%), Yogyakarta (23,5%), Sumatra Utara (22,82%), Jawa Timur (21,42%), Kalimantan Timur (10,5%)[6]. Prevalensi wanita yang menderita osteoporosis di Indonesia pada golongan umur 50-59 tahun yaitu 24% sedang pada pria usia 60-70 tahun sebesar 62%.

Osteoporosis merupakan salah satu dari tiga penyakit kronik utama yang disebabkan karena faktor usia termasuk juga pada wanita postmenopause. Menopause berhubungan dengan reduksi hormone esterogen pada wanita yang dapat mengakibatkan menurunnya kepadatan tulang sehingga terjadi osteoporosis.

Penderita osteoporosis dicirikan dengan tubuh yang bungkuk atau bengkok. Namun sebenarnya tidak selalu demikian, banyak orang yang sudah mulai menderita osteoporosis tetapi tidak terlihat dari luar. Penderita osteoporosis merasakan linu-linu dan sakit terutama ketika melakukan pergerakan anggota tubuhnya. Oleh karena itu perlu diwaspadai gejalagejala sebagai awal osteoporosis seperti rasa pegal, linu-linu dan nyeri tulang terutama pada bagian punggung dan pinggang.

Pencegahan osteoporosis harus dilakukan sejak dini sampai usia dewasa muda agar mencapai kondisi puncak massa tulang (peak bone mass). Bila tercapai kondisi puncak massa tulang pada usia dewasa muda, kemungkinan terjadi osteoporosis pada usia lanjut akan kecil atau paling sedikit ditunda kejadiannya dengan membudayakan perilaku hidup sehat yang intinya mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang yang memenuhi kebutuhan nutrisi dengan unsur kaya serat, rendah lemak dan kaya kalsium (1000-1200 mg kalsium per hari), berolahraga secara teratur, tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol karena rokok dan alcohol meningkatkan risiko osteoporosis dua kali lipat.

Latihan-latihan olahraga dapat menguatkan tulang-tulang kita. Dengan melakukan latihan-latihan olahraga yang secara teratur dan benar gerakannya maka akan bermanfaat dalam pencegahan maupun dalam pengobatan osteoporosis. Olahraga, obat-obatan, dan pengaturan makanan yang baik merupakan kombinasi yang baik untuk menanggulangi osteoporosis dibandingkan dengan pengobatan atau pengaturan makan saja.

(3)

berdasarkan evidence based nursing yang dapat dilakukan di praktik klinis keperawatan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dari laporan yang telah penulis susun antara lain :

1. Apa yang dimaksud dengan osteoporosis postmenopause?

2. Bagaimana penatalaksanaan osteoporosis postmenopause yang sesuai dengan evidence yang ada?

C. Tujuan

Tujuan dari laporan penanganan osteoporosis post menopause yang telah disusun oleh penulis antara lain untuk :

1. Mengetahui penjelasan dari osteoporosis postmenopause

2. Mengetahui penatalaksanaan osteoporosis postmenopause yang sesuai dengan evidence yang ada.

D. Manfaat

Manfaat yang diharapkan penulis bagi penulis dan pembaca dari disusunnya laporan tersebut antara lain :

1. Mendapatkan pengetahuan tentang penjelasan maksud dari osteoporosis postmenopause

(4)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Definisi Osteoporosis

Osteoporosis adalah suatu penyakit degeneratif pada tulang yang ditandai dengan menurunnya massa tulang, dikarenakan berkurangnya matriks dan mineral yang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan tulang, sehingga terjadi penurunan kekuatan tulang. World Health Organization (WHO) secara operasional mendefinisikan osteoporosis berdasarkan Bone Mineral Density (BMD), yaitu jika BMD mengalami penurunan lebih dari -2,5 SD dari nilai rata-rata BMD pada orang dewasa muda sehat (Bone Mineral Density T-score < -2,5 SD). Osteopenia adalah nilai BMD -1 sampai -2,5 SD dari orang dewasa muda sehat.

Osteoporosis postmenapousal merupakan osteoporosis tipe I. Pada wanita menopause, kadar esterogen mulai menurun sehingga terjadi gangguan keseimbangan antara sel penghancur tulang (esteoklas) dan sel pembentuk tulang (osteoblas). Dahulu dikatakan bahwa esterogen menyebabkan gangguan resorbsi jaringan tulang secara tidak langsung. Hal ini karena belum terbukti adanya reseptor tulang. Tetapi pada penelitian selanjutnya dapat dibuktikan adanya reseptor esterogen pada sel-sel tulang, sehingga dapat diketahui adanya pengaruh langsung esterogen terhadap proses pembentukan dan penghancuran tulang. Selain hormon esterogen, hormon paratiroid, vitamin D dan kalsitonin sangat berpengaruh terhadap masa depan wanita yang akan mencapia usia 70 tahun (Alkaff, 2001 Cit. Tanzil, 2007).

B. Patofisiologi Osteoporosis

Penyebab utama osteoporosis adalah gangguan dalam remodeling tulang sehingga mengakibatkan kerapuhan tulang. Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel pembentukan tulang). Keadaan ini mengakibatkan penurunan massa tulang.

Ada 3 penyebab utama untuk masa tulang yang rendah (Ridjab et al, 2004):

(5)

2. Peningkatan resorpsi tulang, defisiensi esterogen merupakan faktor utama pada wanita dan pria. Pada wanita post menopause terjadi defisiensi kalsium dan vitamin D, berkurangnya absorbsi kalsium pada usia lanjut, abnormalitas endokrin (hipertiroid atau hiperparatiroid), sitokin dan faktor lokal lainnya dapat mempunyai peranan.

3. Tidak adekuatnya formasi tulang, hal ini dapat terjadi karena hilangnya elemen tulang secara total karena resorpsi yang berlebihan, sehingga elemen tulang yang diperlukan dalam proses formasi tulang sebagai contoh (template) tidak ada. Gangguan fungsi osteoblas yang berhubungan dengan usia serta faktor lokal dan sistemik dapat mempengaruhi regulasi formasi tulang.

Selama pertumbuhan, rangka tubuh meningkat dalam ukuran dengan pertumbuhan linier dan dengan aposisi dari jaringan tulang baru pada permukaan luar korteks.

Remodeling tulang mempunyai dua fungsi utama : (1) untuk memperbaiki kerusakan mikro di dalam tulang rangka untuk mempertahankan kekuatan tulang rangka, dan (2) untuk mensuplai kalsium dari tulang rangka untuk mempertahankan kalsium serum. Remodeling dapat diaktifkan oleh kerusakan mikro pada tulang sebagai hasil dari kelebihan atau akumulasi stress. Kebutuhan akut kalsium melibatkan resorpsi yang dimediasi-osteoklas sebagaimana juga transpor kalsium oleh osteosit. Kebutuhan kronik kalsium menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder, peningkatan remodeling tulang, dan kehilangan jaringan tulang secara keseluruhan.

(6)

osteoklas untuk protein ini disebut sebagai RANK. Aktivasi RANK oleh RANKL merupakan suatu jalur final umum dalam perkembangan dan aktivasi osteoklas. Umpan humoral untuk RANKL, juga disekresikan oleh osteoblas, disebut sebagai osteoprotegerin. Modulasi perekrutan dan aktivitas osteoklas tampaknya berkaitan dengan interaksi antara tiga faktor ini. Pengaruh tambahan termasuk gizi (khususnya asupan kalsium) dan tingkat aktivitas fisik.

Ekspresi RANKL diinduksi di osteoblas, sel-T teraktivasi, fibroblas sinovial, dan sel-sel stroma sumsum tulang. Ia terikat ke reseptor ikatan-membran RANK untuk memicu diferensiasi, aktivasi, dan survival osteoklas. Sebaliknya ekspresi osteoproteregin (OPG) diinduksi oleh faktor-faktor yang menghambat katabolisme tulang dan memicu efek anabolik. OPG mengikat dan menetralisir RANKL, memicu hambatan osteoklastogenesis dan menurunkan survival osteoklas yang sebelumnya sudah ada. RANKL, aktivator reseptor faktor inti NBF; PTH, hormon paratiroid; PGE2, prostaglandin E2; TNF, tumor necrosis factor; LIF, leukemia inhibitory factor; TP, thrombospondin; PDGF, platelet-derived growth factor; OPG-L, osteoprotegerin-ligand; IL, interleukin; TGF-, transforming growth factor.

Pada dewasa muda tulang yang diresorpsi digantikan oleh jumlah yang seimbang jaringan tulang baru. Massa tulang rangka tetap konstan setelah massa puncak tulang sudah tercapai pada masa dewasa. Setelah usia 30 - 45 tahun, proses resorpsi dan formasi menjadi tidak seimbang, dan resorpsi melebih formasi. Ketidakseimbangan ini dapat dimulai pada usia yang berbeda dan bervariasi pada lokasi tulang rangka yang berbeda; ketidakseimbangan ini terlebih-lebih pada wanita setelah menopause. Kehilangan massa tulang yang berlebih dapat disebabkan peningkatan aktivitas osteoklas dan atau suatu penurunan aktivitas osteoblas. Peningkatan rekrutmen lokasi remodeling tulang membuat pengurangan reversibel pada jaringan tulang tetapi dapat juga menghasilkan kehilangan jaringan tulang dan kekuatan biomekanik tulang panjang.

C. Faktor Resiko : 1. Usia

(7)

dibentuk. Proporsi osteoporosis lebih rendah pada kelompok lansia dini (usia 55-65 tahun) daripada lansia lanjut (usia 55-65-85 tahun).

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya osteoporosis. Wanita secara signifikan memilki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis. Pada osteoporosis primer, perbandingan antara wanita dan pria adalah 5 : 1. Pria memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis sekunder, yaitu sekitar 40-60%, karena akibat dari hipogonadisme, konsumsi alkohol, atau pemakaian kortikosteroid yang berlebihan. Secara keseluruhan perbandingan wanita dan pria adalah 4 : 1.

3. Riwayat Keluarga

Faktor genetika juga memiliki kontribusi terhadap massa tulang. Penelitian terhadap pasangan kembar menunjukkan bahwa puncak massa tulang di bagian pinggul dan tulang punggung sangat bergantung pada genetika. Anak perempuan dari wanita yang mengalami patah tulang osteoporosis rata-rata memiliki massa tulang yang lebih rendah daripada anak seusia mereka (kira-kira 3-7 % lebih rendah). Riwayat adanya osteoporosis dalam keluarga sangat bermanfaat dalam menentukan risiko seseorang mengalami patah tulang.

4. Indeks Massa Tubuh

Indeks massa tubuh yang rendah, dan kekuatan tulang yang menurun memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap berkurangnya massa tulang pada semua bagian tubuh wanita. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa efek berat badan terhadap massa tulang lebih besar pada bagian tubuh yang menopang berat badan, misalnya pada tulang femur atau tibia.

(8)

5. Aktifitas Fisik

Latihan beban akan memberikan penekanan pada rangka tulang dan menyebabkan tulang berkontraksi sehingga merangsang pembentukan tulang. Kurang aktifitas karena istirahat di tempat tidur yang berkepanjangan dapat mengurangi massa tulang. Hidup dengan aktifitas fisik yang cukup dapat menghasilkan massa tulang yang lebih besar. Itulah sebabnya seorang atlet memiliki massa tulang yang lebih besar dibandingkan yang non-atlet. Proporsi osteoporosis seseorang yang memiliki tingkat aktivitas fisik dan beban pekerjaan harian tinggi saat berusia 25 sampai 55 tahun cenderung sedikit lebih rendah daripada yang memiliki aktifitas fisik tingkat sedang dan rendah.

6. Pil KB

Terdapat beberapa bukti bahwa wanita yang menggunakan pil KB untuk waktu yang lama memiliki tulang yang lebih kuat daripada yang tidak mengkonsumsinya. Kontrasepsi oral mengandung kombinasi estrogen dan progesteron, dan keduanya dapat meningkatkan massa tulang. Hormon tersebut dapat melindungi wanita dari berkurangnya massa tulang dan bahkan merangsang pembentukan tulang.

7. Densitas Tulang

(9)

D. Dampak Osteoporosis Postmenopousal

Usia dan berat badan (indeks masa tubuh) berkorelasi dengan densitas mineral tulang (BMD). Densitas mineral yang menurun akan menyebabkan massa tulang yang menurun. Pengukuran densitas mineral tulang dapat digunakan untuk mengetahui adanya penurunan massa tulang. Hal ini mampu memicu terjadinya fraktur. Hubungan antara BMD dan resiko fraktur secara signifikan dipengaruhi oleh usia. Dilihat dari nilai BMD lansia lebih tinggi resiko untuk mengalami fraktur daripada usia muda.

E. Penatalaksanaan

Tujuan treatmen pada osteoporosis adalah :

1. Mencegah fraktur dengan meningkatkan kekuatan tulang fan menurunkan resiko jatuh dan injuri

2. Menurunkan gejala frkatur dan deformitas tulang 3. Memaksimalkan fungsi fisik

Agen farmako yangtelah disetujui oleh FDA united States untuk osteoporosis : No Nama Obat Postmenauposal Osteoporosis

3 Denosumab (Prolia) - 60 mg sub kutan setiap mo

4 Raloxifene (Evista) 60 mg per oral setiap

2.5 mg per oral setiap hari 150 mg per bulan

3 mg IV setiap mo 6 Alendronate (Fosamax) 5 mg per oral per hari

(10)

7 Residonate (Actenol) 5 mg per oral per hari

9 Teriparatide (Forteo) - 20 µg Sub kutan per hari

Keterangan :

a = Fosamax 70 mg tersedia dalam bentuk tablet dan dosis cairan. Alendronate (Fosamas jenis generik) juga tersedia

b = Fosamax plus D adalah tablet yang terdiri dari 70 mg aldendronate dan 2,800 IU atau 5,600 dari vitamin D per minggu

Terapi non Farmako :

1. Menjaga agar intake protein tercukupi 2. Menggunakan body mekanisme yang sesuai

3. Menggunakan proteksi untuk hip pada individu dengan resiko tinggi terjatuh 4. Ambil tindakan untuk mengurangi resiko jatuh

5. Rujuk pada terapi fisik dan terapi okupasional

6. Terapi pilates. Terapi ini meskipun sering digunakan untuk orang yang sehat, namun dapat juga digunakan untuk individu dengan kelainan muskuloskeletal yang dapat memberi manfaat pada nyeri dan kualitas hidup.

(11)

A. Kasus

OSTEOPOROSIS POSTMENOPHOUSE

Ibu Syifa (57 tahun) adalah seorang wirausahawati. Sejak usia 40 tahun ia banyak menghabiskan waktunya mengurus toko di rumah. Ia memanajemen bagian kasir dan sirkulasi keuangan. Aktivitas sehari-harinya banyak dilakukan di dalam ruangan dan tidak terlalu banyak pergerakan fisik. Semenjak masih muda, Ibu Syifa tidak suka dengan olah raga. Setiap kali diajak oleh teman, suami atau anak-anaknya selalu saja ada alasan untuk menolak. Sebenarnya orang-orang terdekatnya telah menyadari bahwa pola aktivitas fisik Ibu Syifa harus ditingkatkan. Semenjak 3 tahun terakhir, Ibu Syifa mulai merasakan bahwa fisiknya mulai melemah, tidak seperti biasanya, sering kali terjatuh ketika sedang beraktivitas. Ketika dibawa ke petugas kesehatan, ia menyatakan merasakan nyeri skala 4. Lambat laun, setelah dilakukan pengkajian perawat dan anamnesis dokter dengan matang, dinyatakan Ibu Syifa menderita penyakit postmenophouse osteoporosis. Perawat Fatin yang sedang menangani Ibu Syifa sedang memikirkan treatment apa yang paling sesuai untuk Ibu Syifa agar penyakitnya semakin membaik, sedangkan keadaan Ibu Syifa masih dalam kategori yang tidak terlalu lemah dan masih dapat diajak untuk beraktivitas.

B. Analisis Jurnal I Judul :

EFFECTS OF PILATES EXERCISES ON PAIN, FUNCTIONAL STATUS AND QUALITY OF LIFE IN WOMEN WITH POSTMENOPAUSAL OSTEOPOROSIS

Penulis :

 Nurten Ku¨c¸u¨kc¸akır, MD, (Uludag University Medical Faculty, Physical Medicine and Rehabilitation, Turkey

 Lale Altan, MD (Uludag University Medical Faculty, Physical Medicine and Rehabilitation, Turkey)

 Nimet Korkmaz, PhD (Uludag University, Faculty of Education, Department of Physical Education and Sports, Turkey)

Sumber :

(12)

Latar Belakang Penelitian :

Osteoporosis (OP) adalah penyakit tulang metabolik yang paling sering terjadi. OP menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di beberapa negara dalam kaitannya untuk meningkatkan angka harapan hidup. Berbagai dampak yang ditimbulkan dari OP yaitu fraktur, nyeri, kehilangan fungsi, isolasi sosial, gangguan emosional sehingga dapat berdampak pada kesehatan pasien secara umum dan kualitas hidup.

Tujuan utama dari penanganan pada OP adalah untuk mencegah fraktur. Meskipun beberapa alternatif penanganan medikasi direkomendasikan untuk mencegah berkurangnya kekuatan tulang atau meningkatkan pembentukan tulang, latihan (exercise) juga ditekankan sebagai bagian dari manajemen pada OP di beberapa pedoman penanganan.

Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya efek positif pada tulang dengan berbagai program latihan. Program-program latihan kini juga bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot-otot tubuh dan ekstremitas bawah untuk mencegah kejadian jatuh. Meskipun latihan sudah dijadikan sebagai bagian integral dari manajemen OP, namun sebuah program latihan standar yang dapat dipercaya untuk meningkatkan bone mineral density (BMD) dan meningkatkan kualitas hidup belum ada.

Pilates adalah sebuah program latihan spesifik yang dikembangkan setelah Perang Dunia I oleh Joseph Pilates (1880-1967). Tujuan dari Pilates training adalah untuk meningkatkan fleksibilitas tubuh secara umum dan meningkatkan kesehatan dengan berfokus kepada kekuatan otot pada tubuh dan koordinasi postur dan pernafasan.

(13)

Tujuan :

Mengevaluasi efek dari Pilates exercise yang terpantau pada nyeri dan kualitas hidup di pasien dengan postmenopausal osteoporosis.

Metode : Populasi :

100 wanita usia 45-65 tahun yang didiagnosa postmenopausal osteoporosis baik lumbar maupun femur. Tidak memiliki riwayat fraktur.

Kriteria eksklusi :

 Pasien mengkonsumsi obat yang dapat menyebabkan osteoporosis sekunder (antiepileptics, steroids, lithium, heparin and thyroid hormone)

 Pasien dengan penyakit sistemik

 Pasien dengan kondisi sistemik yang terbatas kemampuannya untuk melakukan latihan

 Pasien yang tidak ingin berpartisipasi dalam program latihan

Sampel :

(14)

Intervensi :

 Kelompok Pirates exercises (Group 1)

Pirates exercises diberikan selama satu tahun secara terpantau dengan frekuensi dua kali seminggu dengan masing-masing pertemuan berdurasi selama satu jam. Pirates exercise berisikan 9 macam latihan utama yaitu : postural education, maintaining neutral position, sitting exercises, antalgic exercises, stretching exercises, proprioceptive training, and respiratory training.

 Kelompok Home exercises (Group 2)

Pada kelompok ini pasien diberikan demonstrasi tentang Thoracic extention exercises dengan posisi duduk oleh fisioterapis dan pasien disuruh untuk mempraktekkan latihan tersebut 3 set dari 20 pengulangan selama 1 tahun. Pasien akan dicek melalui telepon apakah mereka mempraktekannya atau tidak.

 Pada akhir program mereka akan dievaluasi oleh investigator yang tidak

mengetahui akan pembagian kelompok mereka.

Parameter evaluasi :

 Nyeri

(15)

 Six-minute walk test

Pasien berjalan secepat mungkin pada koridor 25m selama 6 menit kemudian diukur seberapa jauh pasien bisa berjalan

 Sit-to-stand test

Pasien disuruh untuk berdiri dari kursi kemudian duduk secepat mungkin, selama 1 menit diukur berapa kali pasien bisa duduk berdiri untuk mengukur kekuatan ekstremitas bawah.

 Quality of life assessment

Kualitas hidup diukur dengan menggunakan Quality of Life Questionnaire of the European Foundation for Osteoporosis (Qualeffo-41) dan Short-Form (SF)-36.

1. Qualeffo-41 meliputi 5 domain kesehatan yaitu : pain, physical function, social function, general health and mental function. Kelima domain tersebut terbagi lagi ke dalam subdomain yaitu :

 pain (Qualeffo-A),

 physical function activities of daily living (Qualeffo-B),

 physical function jobs around the house (Qualeffo-C),

 physical function mobility (Qualeffo-D),

 social function (Qualeffo-E),

 general health status (Qualeffo-F),

 mental function (Qualeffo-G)

Skor dijumlah dari rentang skala 0-100, dimana 0 mengindikasikan status kesehatan yang baik dan 100 mengindikasikan status kesehatan yang sangat buruk.

2. SF-36 adalah skala pengkajian yang sering digunakan untuk menilai kualitas hidup dan tidak spesifik untuk usia tertentu, penyakit tertentu atau pun kelompok penanganan tertentu. Kuesioner ini berisikan 36 pertanyaan yang mengevaluasi konsep kesehatan umum dan terdiri dari 8 bagian yaitu :

 physical functioning (10 items),

 physical role limitation (4 items),

 emotional role limitation (3 items),

 bodily pain (2 items),

(16)

 mental health (5 items),

 vitality (4 items),

 general health (5 items)

 Number of falls

Angka kejadian jatuh selama satu tahun dicatat.

Analisis : Analisis statistik menggunakan SPSS v. 13.0.

Hasil :

1. Pengukuran sebelum pemberian intervensi

Berdasarkan usia dan hasil evaluasi dasar, tidak ada perbedaan kriteria yang signifikan antara Group 1 dan Group 2 kecuali pada hasil sit-to-stand test.

2. Pengukuran setelah pemberian intervensi

Berdasarkan hasil evaluasi dia akhir program, didapatkan peningkatan yang signifikan di semua parameter pada kelompok Pilate exercise (Group 1).

(17)

3. Perbandingan peningkatan antara Group 1 dan Group 2

(18)

4. Angka kejadian jatuh

Kejadian jatuh sangat jarang ditemui selama periode penelitian. Angka kejadian jatuh tidak tertulis secara statistic karena sedikitnya angka kejadian.

Diskusi

 Efek dari menderita osteoporosis itu sangat banyak mulai dari nyeri kronik, peningkatan kifosis, berkurangnya tinggi, dan berbagai hambatan dalam melakukan aktivitas akibat nyeri sehingga semuanya itu akan berefek lebih lanjut pada kualitas hidup pasien.

 Pilates exercise terbukti memiliki manfaat dalam meningkatkan kekuatan tubuh dan fleksibilitas. Selain itu exercise ini juga dapat meningkatkan kemampuan motorik sehingga mengurangi resiko jatuh.

 Thoracic extension exercise memberikan efek yang bermanfaat dengan memperbaiki postur dan mengurangi resiko fraktur vertebral.

 Kedua intervensi tidak memimbulkan komplikasi atau efek samping sehingga aman untuk dipraktekkan.

(19)

exercise dapat disarankan kepada pasien yang tidak cocok dengan program Pilate Exercise.

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa Pilate Exercises merupakan penanganan alternatif yang efektif dan aman yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien dengan postmenopausal osteoporosis. Hasil positif potensial pada penelitian selanjutnya mungkin berkontribusi pada penerimaan program Pilate Exercise sebagai standar pendekatan terapeutik pada osteoporosis.

C. Analisis Jurnal II

Judul: Bisphosphonates vs Exercise for the Prevention and Treatment of Osteoporosis

Penulis:

Ben Hurley, PhD, and

Terry Jessup Armstrong, FNP-BC

Introduction:

Di Amerika Serikat hampir 12 juta orang yang berumur lebih dari 50 diperkirakan menderita osteoporosis, dan hampir 34 juta beresiko mengalami penurunan BMD (Bone Mineral Density).

NOF (National Osteoporosis Foundation) merekomendasikan untuk perempuan post menopaus dan laki-laki diatas 50 tahun setidaknya mencukupi asupan kalsium paling sedikit 1200 mg/ hari dan vitamin D 800 sampai 1000 IU per hari untuk orang – orang yang beresiko kekurangan kalsium dan vitamin D.

WHO menetapkan standar terapi pengobatan untuk orang dengan patah tulang akibat osteoporosis yang telah disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration), diantaranya adalah biphosphonate (alendronat, risedronat, zeledronic acid), kalsitonin, estrogen/terapi hormone, paratiroid hormone.

(20)

Biphosphonate untuk Mengurangi Resiko Patah Tulang

Patah tulang adalah hal yang sering terjadi sebagai akibat dari osteoporosis pos menopaus dan biphosphonate ditetapkan sebagai treatment awal untuk orang dengan resiko patah tulang.

Pengurangan resiko patah tulang belakang dapat dengan menggunakan 4 tipe biphosphonate, yaitu alendronat (Fosamax), risedronate (Actonel), zoledronic acid (Reclast), dan ibandronate.

Pada penelitian acak terkontrol menunjukkan bahwa fosamax, actonel, dan reclast dapat mengurangi resiko patah tulang belakang, tulang-tulang lain, termasuk tulang panggul. Berkebalikan dengan olahraga rutin, biphosphonate digunakan untuk menghambat reabsorbsi kalsium dari tulang, yang mengakibatkan meningkatnya Bone Mineral Density.

Latihan Rutin untuk Mengurangi Resiko Patah Tulang

Beberapa studi kohort prospektif pada laki-laki dan perempuan, serta penelitian studi kasus menunjukkan bahwa penurunan resiko patah tulang panggul terjadi pada responden yang secara fisik aktif dibanding dengan responden yang tidak aktif.

Pada penelitian meta-analisis dengan studi kohort prospektif, Moayyeri et al menunjukkan bahwa terdapat penurunan resiko patah tulang panggul sebesar 38% pada wanita dan sebesar 45% pada laki-laki yang melakukan aktivitas fisik sedang sampai berat.

Mekanisme spesifik dari penurunan resiko patah tulang karena melakukan aktivitas fisik belum diketahui secara pasti. Tetapi diperkirakan karena adanya perubahan Bone Mineral Density. Terdapat sedikit peningkatan BMD saat melakukan olahraga rutin. Peningkatan BMD dapat berpengaruh pada peningkatan kekuatan tulang, pembentukan tulang (osteogenesis), mengurangi resiko jatuh (peningkatan kekuatan otot, peningkatan keseimbangan). Oleh karena itu olahraga rutin sangat penting dalam mengurangi resiko patah tulang pada wanita yang mengalami osteoporosis pos menopaus.

(21)

Biphosphonate untuk Meningkatkan Bone Mineral Density

BMD yang rendah adalah factor resiko utama untuk terjadinya patah tulang panggul karena osteoporosis. BMD menurun secara bermakna pada wanita 2 sampai 5 tahun setelah menopaus. Pengurangan secara bermakna pada patah tulang ditunjukkan bahkan hanya dengan sedikit peningkatan BMD.

BMD dapat mempengaruhi bagian yang berbeda dari tulang belakang. Contohnya pada pasien yang 3 tahun mengkonsumsi actonel, BMD meningkat hanya pada bagian lumbar dianding dengan femoral.

Olahraga Rutin untuk Meningkatkan Bone Mineral Density

Untuk meningkatkan BMD dengan olahraga rutin, jaringan tulang harus mendapat asupan rantai mekanis yang berasal dari kontraksi otot. Rantai mekanis pada tulang yang dihasilkan dari kontraksi otot menstimulasi pembentukan tulang pada bagian permukaan (periosteum).

Ada banyak aktivitas yang kita lakukan setiap harinya, salah satunya adalah penguatan otot. Aktivitas penguatan otot seperti latihan ketahanan, loncat, lompat, naik tangga lebih dapat membentuk tulang daripada aktivitas yang pengaruhnya lemah seperti berenang dan bersepeda.

Aktivitas penguatan otot lebih besar pengaruhnya untuk pembentukan tulang dibandingkan dengan weight bearing (lebih berat). Meloncat atau melompat 10 kali sehari dapat meningkatkan proses pembentukan tulang sama halnya seperti meloncat atau melompat 40 kali sehari. Jadi penguatan otot itu penting walaupun durasinya tidak lama.

Bisphosphonates vs latihan untuk BMD (Bone Mineral Density)

(22)

Mengenai hal itu, ditemukan 1 kelebihan program latihan dibandingkan bisphosphonates yaitu mampu meningkatkan struktur (massa otot) dan fungsi (keseimbangan, kekuatan, kelenturan otot) yang tidak terdapat pada pemberian bisphosphonates. Peningkatan tersebut dapat menurunkan resiko jatuh dan meningkatkan kekuatan tulang. Meskipun begitu, bisphosphonates pun memiliki kelebihan dibanding program latihan karena mampu secara konsisten dan lebih besar meningkatkan BMD.

Bisphosphonates dalam meningkatkan kekuatan tulang

Antiresorptive agent mampu menurunkan resiko fraktur dengan mencegah pembentukan tulang, yang berdampak meningkatan kekuatan tulang. Dari penelitian yang ada, boniva (salah satu bisphosphonates) mampu meningkatkan kekuatan vertebral, periperal, dan trabecular sebesar 6-8% dibandingkan dengan kelompok plasebo.

Latihan rutin untuk kekuatan tulang

Beck et all menemukan hubungan antara aktivitas fisik dengan BMD yang ditaksir berhubungan dengan aktivitas fisik dan kekuatan tulang. Peningkatan bentukan tulang dengan latihan rutin mampu mengarah pada peningkatan kekuatan tulang ditunjukkan dengan peningkatan geometri pada tulang.

Efek bisphosphonates vs latihan pada kandungan mekanikal tulang

Dosis tinggi bisphosphonates dapat mengarah ke akumulasi kerusakan mikro yang sognifikan dan menurunkan kapasitas absorbsi energi pada tulang trabecular, menyebabkan adanya penurunan kekerasan tulang, yang mengarah ke peningkatan resiko fraktur. Sebaliknya, latihan bertarget mampu meningkatkan substansi kandungan tulang.

Kapan sebaiknya memulai latihan?

Penelitian meta analisis RCT menunjukkan kemajuan yang signifikan pada kekuatan tulang dengan menjalani latihan rutin.

Resep latihan untuk kekuatan tulang

(23)

1. Untuk mengoptimalkan osteogenesis dan kekuatan tulang

Penelitian merekomendasikan latihan rutin yang aman seperti berjalan, jogging dan latihan peregangan. Kemajuan bertahap frekuensi dari aktivitas latihan otot dan tulang lebih diutamakan dibanding dengan peningkatan beratnya latihan tanpa peningkatan frekuensi.

The American College of Sports Medicine merekomendasikan kedua latihan berikut:

a. Aktivitas aerobik, berguna untuk kekuatan tulang. Berupa tenis, naik tangga atau berjalan. Durasi yang disarankan 30-60 menit/hari, dengan frekuensi 3-5 hari/minggu dengan intensitas latihan 40-60% dari upaya maksimal dengan monitor denyut jantung.

b. Latihan kekuatan, intensitas 5-12 kali pengulangan maksimal, dengan durasi 30-60 menit/hari dan dengan frekuensi 2-3 kali/minggu.

Pemberian resep latihan mungkin bervariasi antara pasien, tergantung dari kondisi medis, ketersediaan waktu, dll.

2. Pencegahan jatuh

Latihan yang dapat meningkatkan keseimbangan, kelincahan, kekuatan, tenaga, dan kebugaran kardiovaskular, seperti aerobik (berjalan, jogging).

Kesimpulan

(24)

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Osteoporosis post menopause terjadi ketika seorang wanita itu mengalami menopause maka kadar esterogen mulai menurun sehingga menyebabkan gangguan keseimbangan antara sel penghancur (osteoklas) dan sel pembentuk tulang (osteoblas) sehingga aktivitas osteoklas lebih banyak daripada aktivitas osteoblas sehingga menyebabkan kerapuhan pada tulang. remodeling tulang juga diatur oleh beberapa hormon yang bersirkulasi, termasuk estrogen, androgen, vitamin D, dan hormon paratiroid (PTH).

Sedangkan pada wanita menopause mengalami, defisiensi kalsium dan vitamin D, berkurangnya absorbsi kalsium pada usia lanjut, abnormalitas endokrin (hipertiroid atau hiperparatiroid), dan defisiensi estrogen. Sehingga remodeling tulang tidak dapat berlangsung dengan baik.

Sehingga proses remodeling tulang tidak adekuat. Hal ini menyebabkan penghancuran tulang lebih banyak dari pada pembentukannya. Hal ini menyebabkan massa tulang menurun dan mengakibatkan kerapuhan pada tulang.

2. Penanganan osteoporosis post menopause berdasarkan evidence meliputi : a. Pilates excercise adalah sebuah program latihan spesifik yang dikembangkan

setelah Perang Dunia I oleh Joseph Pilates (1880-1967). Tujuan dari Pilates training adalah untuk meningkatkan fleksibilitas tubuh secara umum dan meningkatkan kesehatan dengan berfokus kepada kekuatan otot pada tubuh dan koordinasi postur dan pernafasan. Pirates exercise berisikan 9 macam latihan utama yaitu : postural education, maintaining neutral position, sitting exercises, antalgic exercises, stretching exercises, proprioceptive training, and respiratory training.

(25)

c. Olahraga rutin untuk meningkatkan bone mineral density yang mampu meningkatkan struktur (massa otot) dan fungsi (keseimbangan, kekuatan, kelenturan otot).

B. SARAN

1. Sebagai perawat bisa mengaplikasikan ilmu ini atau menerapkannya dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang menderita osteoporosis dengan baik dan benar.

2. Perawat sebaiknya memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara mencegah penyakit osteoporosis dan mengajak masyarakat untuk menjauhi alkohol, nikotin dan kafein.

3. Para penderita osteoporosis sebaiknya menjaga pola kesehatannya, misanya dengan berolahraga secara teratur, sehingga dapat mencegah penurunan massa tulang.

(26)

DAFTAR PUSTAKA

AACE. (2010) American Association of Clinical Endocrinologist Medical Guidelines For Clinical Practice for the Diagnosis and Treatment of Postmenopausal Osteoporosis. Endocrine Practice,16, 1-37.

Hurley, Ben and Armstrong, Terry Jessup 2012, ‘Bisphosphonates vs Exercise for the Prevention and Treatment of Osteoporosis’, The Journal for Nurse Practitioners - JNP, Vol.8, Issue 3, pp. 220-224. doi: 10.1016/j.nurpra.2011.07.029

(27)
(28)

Referensi

Dokumen terkait

059/MenKes/SK/I/2009 tanggal 16 Januari 2009, Dengan demikian dalam melaksanakan pelayanannya, Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo yang memiliki kapasitas

Madya Zuraidah Binti Abdul Rahman Pusat Pengajian Pendidikan Jarak Jauh Prof.. Madya Aizzat Binti Mohd Nasurdin Pusat

pemikiran atau ide berkaitan dengan kegiatan pencegahan penyalahgunaan Narkotika Peserta Mampu Menyampaikan Ide Kegiatan Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika

Kandungan amonia yang tinggi di perairan merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik di perairan, kadar amonia bebas melebihi 0,2 mg/L dapat menyebabkan kematian beberapa

Maka secara klasikal ketuntasan belajar yang telah tercapai sebesar 85% (termasuk kategori tuntas). Hasil pada siklus II ini mengalami peningkatan lebih baik dari siklus I.

Khol (1984) yang banyak mengunjungi kota-kota pelabuhan (kota bawah) di propinsi Guangdong dan Fujian serta daerah Pecinan di kota-kota pantai Asia Tenggara, mengatakan bahwa

Langkah-langkah (tahap-tahap) pembelajaran berbasis masalah yang telah dikemukakan terlihat bahwa pembelajaran berbasis masalah pada intinya merupakan suatu strategi