• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Harga Diri Hubungan Romantis da

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh Harga Diri Hubungan Romantis da"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENGARUH HARGA DIRI, HUBUNGAN ROMANTIS, DAN PENGAMBILAN RISIKO

TERHADAP PERILAKU SELFIE YANG NARSISTIK

Mia Puspitasari

Fakultas Psikologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak

Perilaku selfie yang narsistik merupakan perilaku mengambil foto, mengedit, dan mengunggah ke media sosial sedikitnya dua foto per minggu secara mandiri dengan tujuan untuk memamerkan diri, menjadi pusat perhatian, dan untuk mendapat pengakuan dari orang lain. Banyaknya masalah yang muncul dari fenomena selfie

seperti rendahnya harga diri, hubungan interpersonal yang semakin berkurang, meningkatnya perilaku berisiko dalam pengambilan foto selfie, rendahnya empati, dan sebagainya menjadi latar belakang dalam melakukan penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh harga diri, hubungan romantis (komitmen, kepuasan, alternatif, dan investasi), pengambilan risiko, dan jenis kelamin terhadap perilaku selfie yang narsistik. Ketujuh variabel tersebut digunakan untuk menguji pengaruh dari setiap variabel dan seberapa besar variabel tersebut berpengaruh terhadap perilaku selfie yang narsistik. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari 170 partisipan dengan intensitas mengunggah foto selfienya ke media sosial minimal dua foto perminggu. Uji validitas alat ukur menggunakan teknik confirmatory factor analysis (CFA). Analisis data menggunakan teknik analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan harga diri, hubungan romantis, dan pengambilan risiko terhadap perilaku selfie yang narsistik sebesar 27,7%. Hasil uji hipotesis minor menunjukkan empat variabel yang memiliki pengaruh yang signifikan antara lain, harga diri, alternatif non romantis, pengambilan risiko, dan jenis kelamin. Sementara komitmen, investasi, dan alternatif romantis tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku selfie yang narsistik. Kata kunci: selfie, narsistik, harga diri, hubungan romantis, pengambilan risiko

Selfie merupakan sebuah fenomena, yang ditandai dengan seseorang memotret dirinya sendii, dengan menampilkan wajah maupun seluruh tubuh. Oxford Dictionary (2013)

mendefinisikan bahwa selfie merupakan fotograf yang diambil oleh diri sendiri, biasanya dilakukan dengan menggunakan

(2)

diunggah ke media sosial. Media sosial yang memfasilitasi selfie diantaranya seperti Facebook, Twitter, Instagram, Path, Flickr dan jejaring sosial lainnya. Begitu popularnya, Oxford menobatkan kata ini sebagai “Word of The Year” pada tahun 2013.

Suk (2014) membuat info grafik dari

selfie yang disebut dengan selfiegraphic. Terdapat lebih dari satu juta selfie yang diambil setiap harinya. Terdapat sekitar 50% populasi laki-laki, dan 52% populasi wanita membuat foto selfie. Selfie paling banyak diunggah pada media sosial Facebook yaitu sebanyak 48%, melalui media sosial Whatsapp dan pesan sebanyak 27%, pada media sosial Twitter sebanyak 9%, pada media sosial Instagram sebanyak 8%, pada media sosial Snapchat sebanyak 5%, dan pada media sosial Pinterest sebanyak 2%. Selfie biasanya dilakukan di kalangan usia antara 18 sampai 24 tahun. Selfie paling populer di negara Australia, kemudian Amerika Serikat dan Kanada.

Wilson (2014) juga membuat database

mengenai selfie dengan meneliti 400.000 foto Instagram dengan hashtag selfie (#selfie), termasuk koordinat geografiknya. Secara keseluruhan, terdapat 459 kota yang melakukan selfie di dunia dan membuat peringkat 100 kota dengan pengambil selfie

terbanyak. Peringkat pertama diraih oleh kota

Makati dan Pasig, di Filiphina, dengan pengambilan selfie 25,8% dari populasi pengambil selfie di dunia, berikutnya terdapat di Manhattan, New York, dengan perolehan persentase sebesar 20,2%. Dan yang ketiga yaitu kota Miami, Florida, dengan peroleh sebesar 15,5% populasi.

Selfie merupakan lambang utama narsisme (Freedland, 2013). Menurut Buffardi dan Campbell (2008) narsistik berkaitan dengan pandangan diri yang tinggi dan positif dari sifat seperti intelegensi, kekuasaan, fisik yang atraktif, dan daya tarik fisik yang berkaitan dengan keunikan.

Fausing (2013) mengungkapkan bahwa

selfie merupakan bentuk refleksi dimana individu membedakan diri dari orang lain dan mencari pengakuan yang unik tentang diri sendiri. Menurut Letamendi (dalam Sifferlin, 2013) selfie hanya refleksi dari eksplorasi diri, dan memfoto diri sendiri memungkinkan orang dewasa muda dan remaja untuk mengekspresikan suasana hati mereka dan berbagi pengalaman penting. Letamendi juga menjelaskan bahwa remaja mencoba untuk membentuk identitas mereka melalui selfie,

selfie berfungsi sebagai cara untuk mengetahui bagaimana penampilan mereka, juga perasaan mereka, dipengaruhi oleh pakaian tertentu,

(3)

Baek (2013) mengungkapkan selfie

berintegrasi dengan dua hal, diantaranya (1) media sosial, teknologi yang semakin canggih dengan media sosial sebagai wadah untuk memberikan akses bagi para penggunanya tanpa harus melalui komputer. Media sosial tidak hanya sekedar untuk berkomunikasi, media sosial berfungsi sebagai hiburan, atau

self-promotion, norma sosial, identitas sosial, dan kepercayaan sosial yang dikonfirmasi dalam penelitian Blachino, Przepiórka, & Rudnicka (dalam Baek, 2013), (2) telepon selular, pengguna telepon selular yang memiliki kemampuan mengambil fotograf dengan telepon selularnya memiliki kesempatan untuk berbagi fotograf secara instan kepada pengikutnya di dunia maya. Mayoritas partisipan yang memiliki telepon selular dengan fitur kamera serta akses ke media sosial, menghasilkan kuantitas fotograf yang banyak, sebanyak frekuensi foto yang mereka unggah, dengan rata-rata seminggu sekali. Dari penelitian Baek (2013) terdapat beberapa alasan seseorang melakukan selfie, diantaranya untuk menghilangkan kebosanan, berbagi ke media sosial, bentuk sosialisasi, ekspresi diri, kepuasan tersendiri, merefleksikan status emosional, dan sebagainya.

Selfie memiliki berbagai dampak bagi para penggunanya, baik dampak yang positif

maupun negatif. Selfie bisa menguntungkan banyak orang bila digunakan dengan tepat. Misalnya foto seusai menjalankan kebiasaan hidup sehat dibanding sebelumnya (Drexler, 2013). Dalam artikel yang ditulis oleh Maharani (2014), selfie diketahui bisa menjadi bagian dalam pelayanan kesehatan untuk membantu seseorang sembuh dari penyakit kulit eksim pada wajah. Para pasien cukup mengirimkan foto selfie wajah mereka kepada dokter kulit. Hasil studi menunjukkan bahwa mereka yang hanya mengirim foto selfie dapat sembuh dari penyakitnya seperti mereka yang langsung bertemu dengan dokter kulit.

(4)

menghasilkan foto yang sempurna, ia mencoba bunuh diri dengan cara overdosis.

Kasus lain dalam tragedi selfie yakni seorang warga negara Malaysia berinisial Y, yang mengambil foto selfie bersama keluarganya dalam mobil yang dikendarainya. Saat mengambil selfie menggunakan monopod yang dilakukan oleh penumpang di sebelahnya, Y yang ikut bergaya pun lengah, sehingga tanpa sadar mobil yang tengah dikendarai di jalan tol itu berpindah jalur. Tabrakan tersebut membuat penumpang yang duduk di kursi belakang yakni ibu Y dan saudara perempuannya meninggal seketika. Untungnya Y beserta dua penumpang lainnya hanya menderita luka ringan, padahal mobil yang ditabrak mengalami kerusakan parah (Yudhianto, 2014).

Gunawan (2014) memberitakan tentang sepasang suami istri asal Polandia yang tewas akibat terjatuh saat selfie di tepi tebing. Mereka tergelincir saat berfoto narsis dan jatuh ke jurang lautan. Keduanya nekat melewati batas aman di puncak jurang dan menuju ke tepi tebing. Saat sedang mengambil gambar, tiba-tiba kaki mereka tergelincir dan mereka jatuh dari ketinggian ribuan meter.

Fenomena lain mengenai foto selfie

yaitu berkaitan dengan hubungan pernikahan. Doughty (2015) menyatakan bahwa sosial

media yang secara spesifik memposting dan mengunggah foto pada Facebook menjadi pemicu tingkat perceraian. Survey yang dilakukan Censuswide (dalam Doughty, 2015) terhadap 2.011 suami dan istri, mereka mengecek akun sosial media milik pasangannya dengan alasan untuk mengetahui pasangannya berbicara dengan siapa, dimana ia berada, dan kemana ia pergi. Argumen terjadi ketika terjadi kontak dengan pasangan sebelumnya dengan mengirim pesan rahasia dan mengirim gambar yang tidak pantas. Sebanyak 14% menyatakan bahwa mereka memeriksa media sosial pasangannya dengan maksud mendeteksi bukti perselingkuhan. Sebanyak 20% dari mereka merasa gelisah tentang hubungannya setelah menemukan sesuatu di akun Facebook pasangan mereka dan 33% mengatakan mereka terus log-in

media sosial pasangannya secara rahasia. Seperti yang diberitakan oleh Maulana (2015), mereka yang menyukai selfie tidak akan segan-segan untuk berfoto selfie

mengenai bentuk tubuh mereka lalu membagikannya ke sosial media, secara umum maupun privasi dengan mengirimnya melalui pesan. Seperti yang dilakukan seorang wanita yang berusaha untuk mengirimkan foto

(5)

karena kurang teliti dalam mengambil foto

selfie tersebut, wanita ini dituduh melakukan perselingkuhan. Dalam foto yang dikirimnya terdapat sepatu pria lain yang ikut terfoto secara tidak sengaja, akibatnya wanita ini dituduh berselingkuh oleh sang suami dan diketahui bahwa wanita tersebut memang sedang bersama pria lain di hotel.

Semenjak selfie dianggap sebagai word of the year (Oxford Dictionary, 2013) dan terdapat lebih dari satu juta selfie yang diunggah setiap harinya, serta beragam bentuk dan kasus yang terjadi akibat selfie,

mendorong peneliti untuk melakukan

preliminary study mengenai fenomena selfie.

Berdasarkan hasil preliminary study dari 12 individu, yang terdiri dari 11 wanita dan satu pria, berusia antara 20-26 tahun, yang secara intensif mengunggah foto selfienya ke media sosial, yaitu berkisar 3-10 foto selfie dalam seminggu, 41,67% responden mengungkapkan bahwa mereka tidak percaya diri dengan fisiknya (warna kulit dan bentuk tubuh), sehingga mereka menggunakan aplikasi yang terdapat dalam smartphone. Mereka juga melakukan foto selfie berdasarkan pada dorongan teman-temannya. Secara kebetulan peneliti mewawancarai sekelompok individu, dimana semua anggotanya gemar berfoto

selfie dan mengunggahnya ke media sosial. Menurut pengakuan 60% dari responden, pada

awalnya mereka tidak gemar berfoto selfie, namun mereka terpengaruh oleh teman sekelompoknya yang lain dan mereka pun diajak untuk groufie (group selfie).

Berdasarkan pengakuan 25% responden tersebut, mereka mengunggah foto selfie

dengan alasan agar orang lain mengetahui dirinya, apa yang dia lakukan, dimana ia berada, dan kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan responden. Terdapat sekitar 58,3% responden menyatakan bahwa mereka tidak peduli akan komentar orang lain mengenai foto selfienya, mereka juga tidak mempedulikan apakah foto yang mereka unggah akan berpengaruh pada perasaan, kenyamanan, maupun reaksi orang lain, dimana orang lain akan melihat foto-foto selfie

responden saat mereka baru mengunggahnya ke media sosial. Sebanyak 45,4% responden diketahui bahwa hubungannya bersama pasangan tidak berorientasi jangka panjang, mereka menyatakan bahwa dirinya tidak mempertaruhkan banyak hal pada hubungan yang sedang dijalaninya saat ini karena mereka mampu mendapatkan perhatian orang lain dan merasa bahwa masih banyak orang yang menyayanginya apabila hubungannya dengan pasangan suatu saat berakhir.

Peneliti mengamati tiga individu yang memiliki kecenderungan berperilaku selfie

(6)

mereka unggah secara intens agar mereka dapat menampilkan foto terbarunya, foto tersebut dianggapnya lebih menarik dibandingkan dengan foto sebelumnya. Mengunggah foto selfie secara intens juga dilakukan agar mereka mendapat perhatian dari teman media sosialnya. Banyaknya

feedback seperti pujian dan simbol suka menjadi penguat bagi perilaku selfie mereka. Ketiganya telah menikah dan memiliki anak, namun mereka berkomunikasi secara intens dengan lawan jenis, terutama dengan kenalan lama dan orang asing yang baru dikenalnya di media sosial dengan menggunakan pesan dan kata-kata yang mengarah pada hal romantis.

Penelitian mengenai kaitan narsistik dengan self-esteem telah dilakukan oleh Barry, Frick, dan Killian (2003) yang menemukan bahwa interaksi antara narsisme yang tinggi berkaitan dengan harga diri yang rendah. Penemuan ini konsisten dengan penelitian Washburn, McMahon, King, Reinecke, dan Silver (2004) bahwa self-esteem memiliki hubungan negatif dengan narsistik. Namun penelitian yang dilakukan oleh Baumeister, Bushman, dan Campbell (2000) memberikan hasil yang berlawanan, dimana individu yang narsistik (pelaku narsistik) memiliki self-esteem yang tinggi.

Pada penelitian Campbell dan Foster (2002) dijelaskan bahwa individu narsistik

memiliki komitmen rendah dalam hubungan romantis yang dimediasi oleh struktur interdependen hubungan romantis (diantaranya kepuasan, alternatif, dan investasi). Mediasi ini memberikan hasil bahwa narsistik memiliki komitmen rendah pada hubungan romantisnya dibanding non narsistis, ia menganggap dapat mencari alternatif yang lebih besar dalam menjalani hubungan. Sedangkan narsistis memiliki kepuasan dan investasi yang rendah.

Narsistik secara konsisten berkaitan positif dengan risk taking (contoh: menerima tantangan) dengan overconfidence sebagai prediktornya (Campbell, Goodie, & Foster, 2004). Risk taking atau pengambilan risiko berkorelasi positif dengan narsistik dengan prediktor benefit perception dan risk perception. Artinya subyek melaporkan kemungkinan yang lebih tinggi untuk terlibat dalam perilaku pengambilan risiko jika mereka merasakan manfaatnya lebih besar dibandingkan dengan risiko dari perilaku tersebut (Foster, Shenesey, & Goff, 2009).

Narsistik juga berkaitan dengan

psychological control, game playing dan ketidaksetiaan, komitmen level rendah (Campbell & Foster, 2002), body image

(7)

Perilaku Selfie yang Narsistik

Menurut Fausing (2013) selfie adalah bentuk pemikiran yang membedakan diri sendiri dengan orang lain dan mencari pengenalan unik mengenai diri sendiri. Selfie terfokus pada pengambilan foto wajah. Wajah merupakan area untuk menunjukkan diri. Dari wajah dapat terlihat semua fitur yang memberitahu tentang usia, etnis, jenis kelamin, suasana hati, penampilan, dan lain-lain. Individu pada awalnya menampilkan diri terutama melalui wajah, dan berharap bahwa apa yang ia tampilkan akan diterima oleh orang lain.

Kategori selfie dengan frekuensi terbesar terdapat pada variasi kata dari narsis atau narsisme atau narsistik. Beberapa artikel mengungkapkan narsisme sebagai cara egosentris umum yang berpusat pada diri sendiri (Farris, 2015).

Narsistik sendiri yaitu kecenderungan mencintai diri sendiri. Narsistik biasanya digambarkan dengan daftar perilaku yang sebagian besar melibatkan individu itu sendiri (Cunen, 2002). Pembahasan dalam penelitian ini berkaitan dengan variabel kepribadian narsistik yang diwujudkan dalam perilaku

selfie, namun narsistik dalam penelitian ini yaitu subclinical narcissist dimana muncul sebagai narsistik dengan tingkatan lebih

rendah dibandingkan dengan narsistik klinis (Bergman, Fearrington, Davenport, & Bergman, 2011).

Harga Diri

Menurut Rosenberg (dalam Gecas, 1982) harga diri merupakan totalitas pikiran dan perasaan individu dengan mengacu pada dirinya sebagai suatu objek. Mruk (2006) menyatakan bahwa harga diri merupakan kompetensi dalam bidang yang penting bagi seorang individu bergantung pada sejarah perkembangannya atau, karakteristik kepribadian, nilai-nilai, dan sebagainya. Harga diri terlihat dalam perilaku tertentu. Hal ini menyangkut pada evaluasi atau penilaian dari "kelayakan," mereka sendiri yang membawa gagasan nilai-nilai ke dalam harga dirinya.

(8)

merasa layak dan berharga) dan defensive self-esteem (terlihat pada mereka yang merasa tidak layak tapi tidak bisa mengakui informasi yang mengancam ini).

Menurut Gecas (1982) pada umumnya harga diri terbagi menjadi (a) Harga diri berdasarkan kompetensi, kekuasaan, atau keyakinan dan (b) Harga diri berdasarkan nilai moral. Harga diri berdasarkan kompetensi berkaitan dengan kinerja efektif yang berhubungan dengan atribusi diri dan proses perbandingan sosial. Harga diri berdasarkan nilai (nilai diri) yaitu berlandaskan norma dan nilai tentang perilaku personal dan interpersonal, misalnya keadilan, hubungan timbal balik, dan kehormatan. Proses penilaian tercermin memberi kontribusi terhadap pembentukan harga diri.

Hubungan Romantis

Hubungan romantis merupakan hubungan interpersonal individu yang berkaitan dengan cinta, kasih sayang, penerimaan, komitmen, dan kesetiaan terhadap pasangannya. Rusbult (1988) menyatakan bahwa pengalaman manusia inheren secara interpersonal dan berkomitmen untuk membangun psikologis secara sosial, dengan motif berinteraksi dengan pasangan dan berperilaku dalam konteks sosial. Kebanyakan model dari proses dan stabilitas

(9)

daya tersebut akan mengalami penurunan nilai atau hilang jika hubungan itu berakhir.

Pengambilan Risiko

Weber, Blais, dan Betz (2002) menyatakan pengambilan risiko merupakan pola pikir dimana individu membedakan risiko antara keuangan, perjudian, sosial, etika, rekreasi, dan keselamatan kesehatan. Selain itu, Weber et al. (2002) mengklaim individu melihat risiko dalam setiap domain yang sama, tetapi mungkin memiliki toleransi risiko yang berbeda dalam domain yang berbeda. Misalnya, orang yang bersedia untuk terlibat dalam olahraga ekstrim seperti hang gliding

mungkin tidak bersedia untuk menginvestasikan tabungan pensiun mereka dalam risiko tinggi tersebut.

Menurut Baird dan Thomas (1985) pengambilan risikomerupakan kecenderungan untuk berperilaku yang berpotensi melukai atau membahayakan, di waktu yang sama mendorong kesempatan untuk menghasilkan hal yang positif dari perilaku tersebut. Misalnya seperti berkendara dengan cepat atau penggunaan obat-obatan dimana keduanya dapat membawa perasaan positif bagi para pelakunya pada saat melakukan perilaku berisiko tersebut.

Metode Penelitian

Variabel yang terdapat pada penelitian ini adalah perilaku selfie yang narsistik sebagai

dependent variable kemudian harga diri, hubungan romantis, pengambilan risiko, dan jenis kelamin sebagai independent variable. Penelitian ini menggunakan skala likert berdasarkan pengembangan teori dari masing-masing variabel.

Sampel dalam penelitian ini adalah individu dengan intensitas mengunggah foto

(10)

Pengukuran

Perilaku Selfie yang Narsistik

Raskin dan Hall (dalam Raskin & Terry, 1988) mengembangkan Narcissistic Personality Inventory (NPI) untuk mengukur perbedaan individual pada populasi narsisme non klinis. Dalam narsisme terdiri dari tujuh aspek, diantaranya self-sufficiency, superiority, exhibitionism, exploitativeness,

vanity, entitlement, dan authority (Raskin & Terry, 1988). Penulis memodifikasi skala NPI dengan hanya mengambil tiga dimensi agar skala dapat sesuai dengan definisi operasional dari perilaku selfie yang narsistik dan mengukur sesuai dengan apa yang ingin diukur. Ketiga dari tujuh dimensi tersebut diantaranya superiority yaitu perilaku bahwa dirinya lebih hebat dari orang lain dan menyukai pujian, exhibitionism yaitu perilaku yang menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian, dan vanity yaitu perilaku menyukai bentuk tubuhnya, menyukai dirinya di cermin, dan senang menampilkan tubuhnya.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur narsistik yang disusun oleh Raskin dan Terry pada tahun 1979 dikarenakan NPI menyusun alat ukur untuk kepribadian narsistik non klinis, yang beberapa dimensinya sesuai dengan definisi dari variabel perilaku selfie yang narsistik.

Alat ukur tersebut yaitu Narcissistic Personality Inventory (NPI) yang terdiri dari 40 item, namun dikarenakan peneliti hanya menggunakan 3 aspek dari NPI, jumlah item yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 15 item yang telah diadaptasi kedalam Bahasa Indonesia. Reliabilitas NPI sebesar 0.72 dan reliabilitas split-hal sebesar 0.80.

Harga Diri

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur harga diri yang disusun oleh Rosenberg pada tahun 1965 yaitu Rosenberg Self Esteem Scale (RSES) yang terdiri dari 10 item (5 favorable dan 5 unfavorable) yang telah diadaptasi kedalam Bahasa Indonesia. Reliabilitas skala RSES sebesar 0.92, mengindikasikan internal konsistensi yang sangat baik. Reliabilitas test-retest dengan periode dua minggu menunjukan hasil 0.85 dan 0.88.

Hubungan Romantis

(11)

komitmen (0.91 hingga 0.95), kepuasan (0.92 hingga 0.95), investasi (0.82 hingga 0.84), alternatif (0.82 hingga -0.88). Pengukuran lainnya yaitu menggunakan Sternberg’s

Triangular Love Scale yang terdiri dari 45 item dengan aspek diantaranya Intimacy, Passion, dan Commitment dengan masing-masing aspek terdiri dari 15 item (Sternberg, 1997). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan skala yang dikembangkan oleh Rusbult yang telah dimodifikasi, skala dalam

penelitian ini terdiri dari 20 item. Pengambilan Risiko

Pengukuran pengambilan risiko disusun oleh peneliti yang berpedoman pada dua aspek dari

Domain Specifik Risk-Tasking (DOSPERT) yakni Safety dan Recreational milik Weber, Blais, dan Betz (2002). Pengambilan risiko berkaitan dengan perilaku selfie yang narsistik disusun oleh peneliti dengan skala yang terdiri dari enam item.

Tabel 1

Model Summary Analisis Regresi

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate

1 .526a .277 .241 8.10570

a. Predictors: (Constant), JENIS_KELAMIN, HARGA_DIRI, ALTERNATIF_ROMANTIS, PENGAMBILAN_RISIKO,

ALTERNATIF_NONROMANTIS, KOMITMEN, INVESTASI, KEPUASAN

Hasil

Dari Tabel 1 diperoleh R Square sebesar 0,277 atau 27,7%. artinya sebesar 27,7% bervariasinya Perilaku Selfie yang Narsistik dapat dijelaskan oleh semua IV dalam penelitian ini, sedangkan 72,3% dijelaskan oleh variabel lain diluar penelitan ini.

Kedua, peneliti melakukan Uji F untuk menganalisis pengaruh dari keseluruhan IV terhadap Perilaku Selfie yang Narsistik. Adapun hasil uji F dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2

Anova pengaruh keseluruhan IV terhadap DV

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 4054.836 8 506.855 7.714 .000a

Residual 10578.089 161 65.702

(12)

a. Predictors: (Constant), JENIS_KELAMIN, ALTERNATIF_ROMANTIS, PENGAMBILAN_RISIKO ALTERNATIF_NONROMANTIS, HARGA_DIRI, KOMITMEN, INVESTASI, KEPUASAN

b. Dependent Variable: SELFIE_NARSISTIK

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat nilai p (Sig) sebesar 0,000 dengan demikian diketahui bahwa p = 0,000 < 0,05, maka hipotesis nihil yang menyatakan tidak ada pengaruh dari seluruh IV terhadap perilaku selfie yang narsistik ditolak. Artinya, bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari Harga Diri, Komitmen, Kepuasan, Alternatif Romantis, Alternatif non Romantis, Investasi, Pengambilan Risiko, dan Jenis Kelamin terhadap Perilaku Selfie yang Narsistik.

Kemudian peneliti ingin melihat koefisien regresi dari masing-masing IV. Dengan ketentuan, jika t > 1,96 atau nilai sig < 0,05, maka koefisien regresi tersebut signifikan, berarti IV tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Perilaku

Selfie yang Narsistik. Adapun koefisien regresi dari masing-masing IV terhadap DV dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3

Koefisien Regresi

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) -8.792 9.355 -.940 .349

HARGA_DIRI .354 .078 .334 4.539 .000*

KOMITMEN -.151 .112 -.147 -1.347 .180

KEPUASAN .244 .128 .241 1.905 .059

ALTERNATIF_

ROMANTIS -.093 .080 -.099 -.1.164 .246

ALTERNATIF_

NONROMANTIS 311 .082 .298 3.795 .000*

INVESTASI .161 .032 .154 1.566 .119

PENGAMBILAN_RISIKO .144 .072 .142 2.005 .047*

JENIS_KELAMIN 5.590 1.722 .223 3.246 .001*

a. Dependent Variable: SELFIE_NARSISTIK

(13)

Berdasarkan koefisien regresi pada Tabel 3 dapat diketahui persamaan regresi sebagai berikut:

Perilaku Selfie yang Narsistik = -8,792 +

0,354 (Harga Diri)* - 0,151 (Komitmen) +

0,244 (Kepuasan) – 0,093 (Alternatif Romantis) + 0,311 (Alternatif non

Romantis)* + 0,161 (Investasi) + 0,144

(Pengambilan Risiko)* + 5,590 (Jenis

Kelamin)*

Dari Tabel 3 diperoleh informasi sebagai berikut:

1. Harga diri memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,354 dan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Artinya harga diri berpengaruh signifikan dan arahnya positif terhadap perilaku selfie yang narsistik. Berarti semakin tinggi harga diri individu maka semakin tinggi pula tingkat perilaku

selfie yang narsistik.

2. Komitmen memiliki nilai koefisien regresi sebesar -0,151 dan signifikansi sebesar 0,180 (p > 0,05). Artinya komitmen tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku

selfie yang narsistik.

3. Kepuasan memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,244 dan signifikansi sebesar 0,059 (p > 0,05). Artinya kepuasan tidak

berpengaruh signifikan terhadap perilaku

selfie yang narsistik.

4. Alternatif romantis memiliki nilai koefisien regresi sebesar -0,093 dan signifikansi sebesar 0,246 (p > 0,05). Artinya alternatif yang masih berkaitan dengan hubungan romantis tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku

selfie yang narsistik.

5. Alternatif non romantis memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,311 dan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Artinya alternatif non romantis berpengaruh signifikan dan arahnya positif terhadap perilaku selfie yang narsistik. Berarti semakin tinggi individu memiliki alternatif yang tidak berkaitan dengan hubungan romantis seperti teman, keluarga, ataupun menghabiskan waktu sendiri maka semakin tinggi pula tingkat perilaku selfie yang narsistik.

6. Investasi memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,161 dan signifikansi sebesar 0,119 (p > 0,05). Artinya investasi tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku

selfie yang narsistik.

(14)

perilaku selfie yang narsistik. Berarti semakin tinggi individu mampu mengambil risiko dalam berfoto selfie

maka semakin tinggi pula tingkat perilaku

selfie yang narsistik.

8. Jenis kelamin memiliki nilai koefisien regresi sebesar 5,590 dan signifikansi sebesar 0,001 (p < 0,05). Yang dijadikan konstan pada variabel ini adalah laki-laki.

Artinya jenis kelamin berpengaruh signifikan terhadap perilaku selfie.

Uji Beda Jenis Kelamin

Uji beda ini merupakan analisis untuk melihat pengaruh yang lebih besar antara laki-laki dan perempuan terhadap perilaku selfie yang narsistik. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4

Uji Beda Jenis Kelamin

Jenis Kelamin N Mean Std. Deviation

Laki-laki 28 46.1614 9.94130

Perempuan 142 50.7569 9.01953

Total 170

Setelah melakukan analisis uji beda mean, terlihat bahwa mean perempuan (M=50.7569) lebih besar daripada mean laki-laki. Maka dapat diketahui bahwa perempuan memberikan sumbangan lebih besar dibandingkan dengan laki-laki terhadap perilaku selfie yang narsistik.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil uji hipotesis mayor, didapatkan informasi bahwa pengaruh

dependent variable (DV) yang dapat diprediksi dari harga diri, hubungan romantis (komitmen, kepuasan, alternatif romantis,

alternatif non romantis, investasi), pengambilan risiko, dan jenis kelamin. Adapun dari hasil uji F dapat diketahui bahwa hipotesis nihil yang menyatakan tidak ada pengaruh dari seluruh independent variable

(15)

Berdasarkan hasil uji hipotesis minor yang menguji signifikansi koefisien regresi dari masing-masing IV terhadap DV, terdapat empat dari delapan IV yang signifikan mempengaruhi DV yaitu harga diri, alternatif non romantis, pengambilan risiko, dan jenis kelamin. Prediktor yang paling besar sumbangannya terhadap DV adalah variabel harga diri.

Saran

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penelitian ini. Penulis memberikan saran secara metodologis dengan harapan dapat memberikan kontribusi untuk perkembangan penelitian selanjutnya. Selain itu, peneliti juga menguraikan saran secara praktis dengan harapan dapat memberikan informasi tambahan terutama bagi pembaca yang berniat melakukan penelitian.

Saran Metodologis

a. Pada penelitian ini, sampel penelitian memiliki intensitas mengunggah foto selfie

sedikitnya dua foto dalam seminggu, untuk penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan intensitas yang lebih tinggi agar mendapatkan hasil yang lebih maksimal.

b. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah individu yang sedang menjalani hubungan (berpacaran atau menikah) dan

memiliki rentang usia 12-40 tahun. Diharapkan agar mempersempit kategori status menjadi menikah karena berkaitan dengan dimensi-dimensi dari hubungan romantis, dan usia sampel menggunakan usia muda karena menurut penelitian perbandingan usia yang telah dilakukan oleh Foster et al. (2003) bahwa individu yang lebih muda dilaporkan lebih narsistik dibandingkan dengan individu yang lebih tua.

c. Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk memperbanyak sampel penelitian dan juga menyetarakan jumlah sampel penelitian berdasarkan jenis kelamin agar hasil penelitian lebih seimbang dan dapat mempresentasikan populasi.

Saran Praktis

a. Pada penelitan ini diketahui bahwa harga diri berpengaruh positif terhadap perilaku

selfie yang narsistik. Artinya individu dengan harga diri yang tinggi, memiliki tingkat perilaku selfie narsistik yang tinggi. Diharapkan harga diri tinggi pada individu yang melakukan foto selfie dapat mendorong pergerakan penggunaan internet yang lebih sehat pada masyarakat di Indonesia dengan mengunggah foto

(16)

pengaruh positif terhadap perilaku selfie

yang narsistik, namun tidak dapat diketahui pengaruhnya jika diposisikan sebaliknya yaitu pengaruh perilaku selfie

yang narsistik terhadap harga diri. Maka dari itu diharapkan bahwa individu tidak menjadikan perilaku selfie sebagai patokan untuk meningkatkan harga diri. Harga diri dapat ditingkatkan melalui eksplorasi potensi diri ataupun kompetensi yang dimiliki individu seperti peningkatan intelegensi (diantaranya, kemampuan berfikir abstrak, kemampuan numerik, kemampuan spasial, kemampuan persepsi, kemampuan bahasa, kemampuan memori, dan kemampuan motorik), kemampuan pemecahan masalah, dll.

b. Pada penelitian ini diketahui bahwa terdapat pengaruh alternatif non romantis terhadap perilaku selfie yang narsistik. Bagi para individu pelaku selfie yang berkeinginan untuk meningkatkan komitmennya dengan pasangan (dikarenakan alternatif berlawanan dengan komitmen) maka disarankan untuk tidak berlebihan dalam melakukan foto selfie

agar dapat lebih banyak menghabiskan waktu dengan pasangan. Pengaruh alternatif pada perilaku selfie yang narsistik mengacu pada tingginya tingkat perselingkuhan yang dapat terjadi melalui

foto selfie yang diunggah ke media sosial karena tampilan diri dapat diakses secara bebas dan luas dalam dunia maya, sehingga mampu menarik minat orang lain untuk berkomunikasi secara online. Disarankan agar lebih berhati-hati dalam penggunaan internet terutama media sosial dan mengurangi komunikasi secara online, untuk dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat terjadi di dunia maya sehingga berdampak pada hubungan yang sedang dijalani saat ini, serta pengurangan komunikasi secara

online dapat secara otomatis meningkatkan intensitas komunikasi dengan orang-orang terdekat, sehingga meningkatkan kelekatan antar individu.

c. Penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan lebih lanjut dalam penanganan kasus kecelakaan pada pelaku

selfie dengan mempertimbangkan risiko yang didapatkan dalam melakukan perilaku selfie, apakah selfie yang dilakukannya lebih banyak memberikan dampak positif atau negatif bagi dirinya maupun orang lain.

Daftar Pustaka

Aldridge, G. & Harden, K. (2014). Selfie addict took two hundred a day - and tried to kill himself when he couldn't take perfect photo.

Retrieved from

(17)

American Psychiatric Association. (2013).

Diagnostic and statistical manual of mental disorder DSM 5 (5th Edition). Arlington: contingency model of strategic risk taking.

Academy of Management Review. Vol 10 No 2 pp 230-243

Barry, C. T., Doucette, H., Loflin, D. C., Rivera-Hudson, N., & Herrington, L. L. (2015) Let me take a selfie: associations between self-photography, narcissism, and self-esteem.

Psychology of Popular Media Culture

Barry, C.T., Frick, P., & Killian, A.L. (2003). The relation of narcissism and self-esteem to conduct problems in children: a preliminary investigation. Journal of Clinical Child and Adolescent Psychology Vol. 32, No. 1, 139–152 Baumeister, R.F., Bushman, B.J., & Campbell, W.K. (2000). Self-esteem, narcissism, and aggression: does violence result from low self-esteem or from thretened egotism. Department of Psychology. Vol. 9 No. 1. pp: 26-29

Bergman, S.M., Fearrington, M.E., Davenport, S.W., Bergman, J.Z. (2011). Millennials, narcissism, and social networking: What narcissists do on social networking sites and why. Personality and Individual Differences.

Vol 50 pp 706–711

Buffardi, L.E. & Campbell, W.K. (2008). Narcissism and social networking sites.

Personality and Social Psychology Bulettin.

Vol. 34

Bushman, B.J. & Baumeister, R.F. (1998). Threatened egotism, narcissism, self-esteem, and direct and displaced aggression: does self-love or self-hate lead to violence?. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 75, No. 1, 219-229

Campbell, W.K. & Foster, C.A. (2002). Narcissism and commitment in romantic relationships: an investment model analysis. Personality and Social Psychology Bulletin. Pers Soc Psychol Bull 2002; 28; 484

Campbell, W.K., Goodie, A.S., & Foster, J.D. (2004). Narcissism, confidence, and risk attitude. Journal of Behavioral Decision Making 17: 297–311

Carpenter, C. J. (2012). Narcissism on Facebook: Self-promotional and anti-social behavior.

Personality and Individual Differences Vol 52 pp: 482–486

Cast, A.D. & Burke, P.J. (2002). A theory of self-esteem. Social Forces, Vol. 80, No. 3, pp. 1041-1068

Cunen, M.A.B. (2002). Echo no longer; the recovery process of the partner of the person suffering from a narcissistically impaired personality. Counselling Psychology

Doughty, S. (2015). Facebook and twitter threat to marriages: Social media now a factor in one in seven divorces. Retrieved from

http://www.dailymail.co.uk/news/article- 3061616/Facebook-Twitter-factor-one-seven-divorces.html

Drexler, P. (2013). What your selfies say about you are your selfies ruining your relationships?.

Retrieved from

https://www.psychologytoday.com/blog/our-gender-ourselves/201309/what-your-selfie s-say-about-you

Ehrenberg, M.F., Hunter, M.A., & Elterman, M.F. (1996). Shared parenting agreements after marital separation: the roles of empathy and narcissism. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol.64.ho.4.808-818

Farris, B.S. (2015). Framing the selfie: how u.s. news journalists shaped perception of the selfie in year one. Proquest LLC

Fausing, B. (2013). Become an image. on selfies, visuality and the visual turn in social medias.

Academia.edu. Accessed Desember 2, 2014 from (2003). Individual differences in narcissism: Inflated self-views across the lifespan and around the world. Journal of Research in Personality Vol 37 pp: 469–486

(18)

behaviors. Personality and Individual Differences 47 pp 885–889

Fox, J. (2015). Hey, guys: posting a lot of selfies

doesn’t send a good message. The Ohio State

University. Retrieved from

http://news.osu.edu/news/2015/01/06/hey-guys-posting-a-lot-of-selfie s-doesn%E2%80%99t-send-a-good-message/

Freedland, J. (2013). The selfie's screaming narcissism masks an urge to connect. Retrieved from Taylor and Francis Group, LLC

Gunawan, R. (2014). Suami istri tewas terjatuh saat selfie di tepi tebing. Retrieved from http://news.liputan6.com/read/2089673/suami-istri-tewas-terjatuh-saat-selfie-di-tepi-tebing

Holt-Lunstad, J., Birmingham, W., & Jones, B.Q. (2008). Is there something unique about marriage? The relative impact of marital status, relationship quality, and network social support on ambulatory blood pressure and mental

health. Behavioral medicine.

King, LA. (2007) Psikologi umum: sebuah pandangan apresiatif. (Part 1) New York: McGraw-Hill

Lin, H.W. & Yeh, M.C. (2014). Selfie quality assesment based on angle. Institute of Computer Science and Information Engineering. National Taiwan Normal University

Maharani, D. (2014). Ternyata "Selfie" Bisa Bantu Deteksi Penyakit. Retrieved from: http://health.kompas.com/read/2014/11/04/1110 00523/Ternyata.Selfie.Bisa.Bantu.Deteksi.Peny akit

Martin, G. & Pear, J. (2003). Behavior

modification: what it is and how to do it (7th Edition). New Jersey: Prentice Hall, Inc

Maulana, R. (2015). Kirim foto selfie, istri ketahuan suami sedang selingkuh. Retrieved from http://log.viva.co.id/news/read/689757- kirim-foto-selfie--istri-ketahuan-suami-sedang-selingkuh

Merkle, E.R. & Richardson, R.A. (2000). Digital dating and virtual relating: conceptualizing computer mediated romantic relationships.

Family Relations, Vol 49. pp: 187-192

Mruk, C.J. (2006). Self-esteem research, theory, and practice toward a positive psychology of self-esteem (3rd Ed.). New York: Springer Publishing Company, Inc.

Nguyen, A.J. (2014). Exploring the selfie phenomenon: the idea of self-presentation and its implications among young women. Smith College School for Social Work Northampton, Massachusetts

Oxford Dictionaries. (2013). Selfie. Retrieved from http://www.oxforddictionaries.com/definition/e nglish/selfie

Papalia, D.E., Sterns, H.L., Feldman, R.D., & Camp, C.J. (2007). Adult development and aging. New York: McGraw-Hill

Raacke, J. & Bonds-Raacke, J (2008). Myspace and Facebook: Applying the Uses and Gratifications Theory to Exploring Friend-Networking Sites. Cyberpsychology & Behavior Vol 11, No. 2 pp:169-174.

Raskin, R. & Terry, H. (1988). A principal-components analysis of the narcissistic personality inventory and further evidence of its construct validity. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 54, No. 5,890-902 Robins, R.W., Trzesniewski, K.H., Tracy, J.L.,

Potter, J., & Gosling, S.D. (2002). Global self-esteem across the life span. Psychology and Aging. Vol. 17, No. 3, pp: 423–434

Robinson, W. (2014). Selfies almost killed me: schoolboy who took 200 photos of himself every day because he wanted perfection describes how addiction drove him to attempt suicide. Narcissistic leadership. The Leadership Quarterly. Vol17 pp 617-633

Rusbult, C.E. (1980). Commitment and satisfaction in romantic associations: a test of the investment model. Journal Of Experimental Social Psychology Vol 16, 172-186

Rusbult, C.E. (1988). Research project description.

(19)

http://www.carylrusbult.com/index.php?option = com_content&view= article&id= 51&Itemid= 58

Rusbult, C.E., Martz, J.M., & Agnew, C.R. (1998). The investment model scale: measuring commitment level, satisfaction level, quality of alternatives, and investment size. Personal Relationship, 5, 357-391

Santrock, J.W. (2008). Adolesence (3rd Ed.). New York: McGraw-Hill

Sifferlin, A. (2013). Social media: why selfies

matters. Retrieved from

http://healthland.time.com/2013/09/06/why-selfies-matter/

Sternberg, R.J. (1997). Construct validation of triangular love scale. European Journal of Social Psychology.Vol 27. pp:313-335

Suk, T. (2014). Selfie infographic

“Selfiegraphic” facts and statistics. Retrieved

from http://techinfographics.com/selfie -infographic-selfiegraphic-facts-and-statistics/ Thompson, B. (2004). Exploratory and

confirmatory factor analysis: Understanding concept and application. Washington DC: American Psychological Association

Waller, G., Sines, J., Meyer, C., & Mountford, V. (2007). Body checking in the eating disorders: Association with narcissistic characteristics.

Eating Behavior 9 pp 163-169

Warfield, K. (2014). Making selfie or making self: digital subjective in the selfie. Journalism and Communications. Kwantlen Polytechnic University

Washburn, J.J., McMahon, S.D., King, C.A., Reinecke, M.A., & Silver, C. (2004). Narcissistic features in young adolescents: relations to aggression and internalizing symptoms. Journal of Youth and Adolescence, Vol. 33, No. 3, June 2004, pp. 247–260

Weber, E.U., Blais, A.R., & Betz, N. (2002). A domain-specific risk-attitude scale: Measuring risk perceptions and risk behaviors. Journal of Behavioral Decision Making, 15, 263-290. Wilson, C. (2014). The Selfiest Cities in the World:

TIME's Definitive Ranking. Retrieved from http://time.com/selfies-cities-world-rankings/ Wilson, K., Fornaiser, S., & White, K.M. (2010).

Psychological predictors of young adults' use of social networking sites. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, Vol. 13(2). pp. 173-177.

Wright, F. O’leary, J., & Balking, J. (1989).

Shame, guilt, narcissism, and depression: correlates and sex differences. Psychoanalytic Psychology 6(2), 217-230

Yudhianto. (2014). Tewaskan ibu akibat selfie, pria malaysia: i'm sorry mom. Retrieved from http://inet.detik.com/read/2014/10/07/115450/2 711734/398/tewaskan-ibu-akibat-selfie -pria-malaysia-im-sorry-mom

Received December 7, 2015 Revision received February 26, 2016

Gambar

Tabel 2
Tabel 3 Koefisien Regresi
Tabel 4

Referensi

Dokumen terkait

Selain larutan standar aluminium untuk menentukan absorban kandungan dari aluminium pada sampel kaleng minuman bekas juga menggunakan analisis ICP- OES dan

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan siswa dapat memiliki kemampuan gerak dasar shooting bola tangan yang baik dalam pembelajaran pendidikan jasmani.. Dengan adanya penelitian

Teks naskah Resensi novel” Langit dan Bumi Sahabat Kami’ Disajikan naskah resensi novel “langit dan bumi sahabat kami “ siswa dapat memahami karakteristik rensensi.

Dalam satu provinsi sudah banyak tempat-tempat yang dapat dijadikan tempat pariwisata namun masih kurang pengetahuan masyarakat mengenai tempat wisata apa saja, salah

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih, anugerah dan karunia-Nya, yang selalu menyertai dan menolong penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi yang penulis

- bahwa saya/kami dengan ini mengerti bahwa SMA Sampoerna (Sampoerna Academy), Kampus Bogor berhak untuk menghentikan bantuan pendidikan program Sampoerna Academy

Analisis logam berat buatan dalam larutan yang tercampur dengan nanopartikel ferrite juga telah dilakukan dengan pengukuran yang berbeda berdasarkan partikel, magnet murni,

• Manajer operasional harus memahami bahwa perusahaan beroperasi dalam system yang terbuka, sehingga terdapat banyak factor yang dapat mempengaruhi perkembangan