• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majelis Umum PBB Sahkan Resolusi Hak Ata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Majelis Umum PBB Sahkan Resolusi Hak Ata"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

L

U

A

wal bulan

Septem-ber lalu, masyarakat dunia, khususnya prak-tisi, pegiat lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat serta aktivis dibidang Air Minum dan Penyehatan Lingkun-gan dibuat terkejut denLingkun-gan terbitnya Reso lusi Majelis Umum PBB yang menegaskan bahwa akses memper-oleh air minum dan sanitasi yang layak merupakan bagian dari hak asa-si manuasa-sia. Jelasnya, resoluasa-si Majelis Umum PBB tersebut bertajuk: “Hak untuk mendapatkan air minum dan sanitasi yang bersih dan aman meru-pakan bagian dari hak asasi manusia, dan merupakan elemen penting un-tuk menikmati hak atas hidup secara menyeluruh.”

Dalam resolusi tersebut Maje-lis Umum PBB mendesak seluruh masyarakat internasional dan Negara yang menandatangani resolusi untuk meningkatkan usaha menyediakan air dan sanitasi yang aman, bersih, dan mudah untuk dijangkau bagi selu-ruh manusia.” “Keterbatasan akses ke air minum membunuh lebih banyak anak-anak dibandingkan jumlah anak yang meninggal dunia akibat AIDS, malaria, dan campak,” kata Ketua Dewan HAM PBB dari Bolivia, Pablo Solon dalam situs resmi PBB.

Data Program Lingkungan Hidup PBB memperkirakan 884 juta pen-duduk dunia tidak memiliki akses untuk mendapatkan air minum yang aman dan 2,6 milyar orang memiliki akses terbatas untuk fasilitas sanitasi

yang layak. Kesulitan akses tersebut menyebabkan antara lain 1,5 juta ba-lita meninggal dunia akibat penyakit yang terkait dengan air minum dan sanitasi yang layak.

Resolusi Hak Atas Air minum tersebut disahkan melalui voting yang diikuti 163 negara anggota PBB. Tidak ada negara yang menolak resolusi ini. Terdapat 122 negara termasuk China, Rusia, Jerman, Prancis, Spanyol, dan Brazil mendukung resolusi tersebut. Sementara 41 negara, seperti Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Botswana menyatakan abstain.

Sebagian negara yang abstain me-nyatakan, resolusi tersebut tidak menjelaskan cakupan hak atas air minum dan kewa-jiban yang

(2)

harus dilakukan untuk memenuhi hak tersebut. Menyikapi resolusi terse-but, pakar AMPL, Hening Darpito menga takan pada awalnya ada kekha-watiran bahwa resolusi hak atas air dan sanitasi ini prematur, ternyata sebaliknya dalam voting, resolusi ini malah memperoleh tanggapan positif oleh hampir semua peserta sidang.

Jalan Panjang

Diawali pada tahun 1948 ketika Deklarasi Universal Hak Asasi Ma-nusia (DUHAM) diumumkan dan dilanjutkan pada tahun 1966 ketika International Covenants on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), air tidak disebut eksplisit sebagai hak asasi tetapi disebutkan sebagai bagian tidak terpisahkan dari hak asasi yang telah disepakati yaitu hak untuk hidup, hak untuk kehidupan yang layak, hak

un-tuk kesehatan, hak unun-tuk perumahan dan hak untuk makanan. Setelah itu barulah disebutkan secara lebih eks-plisit walaupun masih sebagai bagian dari suatu konvensi dengan tema lain seperti misalnya yang tertuang dalam pasal 14 ayat (2) huruf h he Conven-tion on the EliminaConven-tion all of Forms Dis-crimination Against Women-(CEDAW 1979), bahwa negara pihak harus mengambil langkah-langkah yang ter-ukur untuk menghapuskan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perem-puan, khususnya menjamin hak-hak perempuan untuk menikmati standar kehidupan yang layak atas sanitasi dan air minum yang sehat. Demikian juga dalam pasal 24 he Convention on he Right of he Child-CRC 1989 yang menyatakan bahwa dalam upaya mencegah malnutrisi dan penyebaran penyakit maka setiap anak memiliki hak atas air minum yang bersih.

Kemudian dilanjutkan dengan pernyataan dan himbauan melalui Deklarasi Millenium yang mence-tuskan proyek MDGs (Millenium Development Goals), yang merupa-kan komitmen para kepala negara/ pemerintahan anggota PBB untuk memerangi kemiskinan global antara 2000-2015 menyerukan kepada pe-merintah agar “menyediakan akses air bersih dan sanitasi yang memadai bagi masyarakat yang saat ini belum bisa menikmatinya”.

Tetapi pernyataan yang eksplisit dan secara khusus menyebut air baru terjadi pada tahun 2002, ketika Komite Hak Ekonomi Sosial dan Bu-daya PBB dalam komentar umum No-mor 15 memberikan penafsiran yang lebih tegas terhadap pasal 11 dan 12 Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang menyatakan hak atas air tidak bisa dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya, yaitu air tidak hanya sebagai komoditas ekonomi dan akses terhadap air (right to water) adalah hak asasi manusia. ” he human

Water Right dan Right to Water

P

emahaman atas pengerian Water Right dan Right to Water sering kabur,

kedua isilah itu sering diarikan sama dalam Bahasa Indonesia yaitu Hak atas Air. Padahal kedua isilah tersebut mempunyai pemahaman yang

berbeda. Kekuasaan untuk mengambil air dari alam sering disebut sebagai

Water Right yang mengandung pengerian sebagai berikut :

l Mengambil atau mengalihkan dan menggunakan sejumlah air dari sebuah sumber alamiah

l Mengumpulkan sejumlah air dari sebuah sumber air ke dalam suatu

tempat seperi bendungan atau struktur lainnya atau

l Menggunakan air di sumber alaminya.

Water Right merupakan suatu alat yang dikeluarkan oleh negara sebagai

insitusi yang menguasai air kepada perseorangan atau badan usaha yang secara

hukum disebut sebagai ‘licences’, ‘permissions’, ‘authorisaions’, ‘consents’ and

‘concessions’ untuk memanfaatkan air. Water right dalam terminologi ekonomi dipakai sebagai alat untuk menarik restribusi atas air yang dimanfaatkan.

Pengerian tersebut jelas sangat berbeda dengan Right to Water seperi yang

dipahami dalam kajian Hak Asasi Manusia. Hukum yang mengatur Water Right

memiliki asumsi bahwa air adalah komodii yang membutuhkan perlindungan

hukum bagi pihak-pihak yang menguasainya. Water Right dapat lebih diarikan sebagai Hak Memiliki Air. Perbedaannya adalah air sebagai sebuah kebutuhan (untuk dimiliki) dan air sebagai sebuah hak. The Right to Water (air sebagai sebuah hak) lebih ditekankan pada air sebagai bagian yang tak terpisahkan

dari kehidupan manusia yang bermartabat, oleh karena itu Hak Atas Air adalah

(3)

right to water entitles everyone to suf-icient, afordable, physically accessible, safe and acceptable water for personal and domestic uses.” Hak atas air juga termasuk kebebasan untuk mengelola akses atas air. Elemen hak atas air harus mencukupi untuk martabat manusia, kehidupan dan kesehat an. Kecukupan hak atas air tidak bisa diterjemahkan dengan sempit, hanya sebatas pada kuantitas volume dan teknologi. Air harus diperlakukan sebagai barang social dan budaya, tidak semata-mata sebagai barang ekonomi.

Dalam Komentar Umum Perseri-katan Bangsa-Bangsa (United Na-tions General Comments) pada Komite untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (Committee on Economic, Social, and Cultural Rights) Nomor 15, hak asasi manusia atas air terdiri dan dua kom-ponen penting, yaitu kebebasan (free-dom) dan pengakuan (entitlements). Kebebasan dimaksudkan tidak adanya intervensi yang bisa menyebabkan

ter-cerabutnya hak asasi manusia atas air, misalnya terkontaminasinya air yang dikonsumsi. Pengakuan adalah hak atas sistem dan manajemen air yang memungkinkan setiap orang mempu-nyai kesempatan dan akses yang sama atas air.

Upaya Pemerintah

Sebagaimana hak asasi manusia lainnya posisi negara dalam hubung-annya dengan kewajibhubung-annya yang ditimbulkan oleh hak asasi manusia, negara harus menghormati (to respect) yaitu mengharuskan negara mencegah terganggunya langsung/tidak lang-sung pemenuhan hak atas air, melin-dungi (to protect) yaitu mengharuskan negara mencegah keterlibatan pihak ketiga (perusahaan) dalam pemenuh-an hak atas air, dpemenuh-an memenuhinya (to fulill) yaitu mengharuskan negara mengambil langkah untuk mencapai pemenuh an hak atas air sepenuhnya. Dalam konteks menghormati, peme-rintah Indonesia telah meratifikasi

kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial, budaya melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 sehingga ne-gara harus memenuhi hak masyarakat termasuk kebutuhan akan air mi-num.

(4)

pengelo-laan sumber daya air; (iv) menyatakan keberatan terhadap rencana pengelo-laan sumberdaya air yang sudah diu-mumkan dalam jangka waktu terten-tu sesuai dengan kondisi setempat; (v) mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air; dan/ atau (vi) mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah sumberdaya air yang merugikan ke-hidupannya.

Sementara hak masyarakat diatur lebih jauh dalam Peraturan

Pemerin-tah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum sebagai turunan UU No-mor 7 Tahun 2004, yang dalam hal ini adalah pelanggan adalah (i) mem-peroleh pelayanan air minum yang memenuhi syarat kualitas, kuantitas, dan kontinuitas sesuai dengan standar yang ditetapkan; (ii) mendapatkan informasi tentang struktur dan be-saran tarif serta tagihan; (iii) meng-ajukan gugatan atas pelayanan yang merugikan dirinya ke pengadilan; (iv) mendapatkan ganti rugi yang layak sebagai akibat kelalaian pelayanan; dan (v) memperoleh pelayanan

pem-buangan air limbah atau penyedotan lumpur tinja.

Bahkan secara teknis kualitas air minum telah diatur tersendiri dalam PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengen-dalian Pencemaran Air untuk memas-tikan kepentingan masyarakat terlin-dungi.

Walaupun demikian, pemerintah dianggap telah gagal memenuhi hak masyarakat tersebut. “Upaya peme-rintah Indonesia untuk melindungi dan menghormati hak atas air mi-num masih terlalu jauh dari harapan masyarakat,” kata Koordinator Na-sional Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha) Hamong Santono. “La-poran yang disusun oleh UNESCAP, ADB, dan UNDP, juga secara tegas menyatakan bahwa Indonesia berada di jalur yang lambat dalam pemenuh-an target air minum dpemenuh-an spemenuh-anitasi da-lam MDGs,” tuturnya.

Salah satu pemicu rendahnya akses masyarakat terhadap air mi-num itu adalah kecilnya anggaran yang dialokasikan pemerintah. Tahun 2005 lalu, anggaran yang dikeluarkan hanya Rp.500 miliar dan tahun 2010 Rp.3 triliun. Padahal, kebutuhan ang-garan untuk pembangunan air mi-num dan sanitasi berkisar 2 sampai 3 kalinya. “Perlu komitmen dan agenda politik yang lebih jelas soal hak atas air masyarakat. Kita jangan asal ikut menandatangani resolusi namun tidak tahu setelah itu akan kemana perso-alan air minum dan sanitasi dasar masyarakat bergerak,” ujar Hamong,

Namun kembali kepada salah satu prinsip pemenuhan hak asasi manu-sia, bahwa prosesnya harus memper-hatikan kemampuan dari masing-masing pemerintah. Terpenting dari semuanya adalah adanya keinginan yang kuat dari pemerintah mencapai target pemenuhan hak atas air. Hal ini sudah terlihat jelas jika

(5)

dingkan kenaikan alokasi anggaran air minum dan penyehatan lingkunng-an naik hampir enam kali lipat pada kurun waktu lima tahun mendatang (2010-2014) dibanding kurun waktu lima tahun sebelumnya (2005-2009).

Pemerintah Daerah sebagai Ujung Tombak

Seringkali aktor utama dari pem-bangunan air minum dan penyehatan lingkungan terlupakan. Berdasarkan regulasi yang ada, pemerintah daerah lah yang saat ini menjadi pihak yang bertanggungjawab menyediakan air minum. Menjadi pertanyaan penting, sejauh mana konsep hak atas air seba-gai hak asasi manusia telah dipahami oleh pengambil keputusan di daerah. Jika itu saja belum terlaksana, jangan berharap banyak bahwa resolusi PBB tersebut akan berdampak bagi pen-ingkatan akses air minum di Indone-sia. Kalapun telah dipahami, menjadi langkah berikutnya untuk mengeta-hui sejauhmana pemahaman tersebut telah terinternalisasi dalam dokumen perencanaan pemerintah daerah, semisal rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerh (RPJMD). Demiki-an selDemiki-anjutnya sampai teralokasikDemiki-an dana yang terfokus pada kelompok marjinal.

Menjadi tugas pemerintah pusat dan pemerintah propinsi menjadi-kan pemahaman hak atas air sebagai hak asasi manusia menjadi bagian dariarus utama pembangunan air mi-num dan penyehatan lingkungan di daerah. Dibutuhkan upaya advokasi baik ke pihak eksekutif maupun legis-latif, dilanjutkan dengan internalisasi melalui peninjauan kembali doku-men RPJMD, sehingga terlihat jelas peningkatan dramatis dari alokasi anggaran AMPL khususnya bagi me-reka yang termarjinalkan. Sepertinya dibutuhkan waktu yang cukup lama dengan mempertimbangkan terdapat

sekitar 500 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Tugas Bersama

Jadi dibutuhkan tentunya sedikit kesabaran bagi kita semua untuk da-pat melihat hasil dari upaya pemerin-tah. Tentunya kerjasama dari semua pihak, dan ini juga merupakan salah satu prinsip pemenuhan hak asasi yaitu saling ketergantungan,

men-jadi suatu keniscayaan. Pemenuhan hak atas air sebagai hak asasi manu-sia tidak akan tercapai jika pemerin-tah dibiarkan berjuang sendiri. Mari kita bekerjasama. Masih sekitar 100 juta saudara kita belum memperoleh akses terhadap air minum. Sebagian terbesar dari mereka berasal dari kelompok yang termarjinalkan (OM)

Dirjen HAM, Harkristui Harkrisnowo:

Sejumlah Masalah di Sektor Air Jadi

Perhaian Pemerintah

Dalam Lokakarya Hak Atas Air yang diselenggarakan oleh Pokja AMPL di Bogor beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia, Harkristui Harkrisnowo dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan oleh Direktur Kerjasama HAM, Dimas Samudera Rum menegaskan,air merupakan benda yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan mahluk hidup. Tanpa air mahluk hidup idak akan mampu mempertahankan kehidupannya. Namun dalam kenyataannya dunia mengalami permasalahan dengan air yang disebabkan berbagai faktor, antara lain laju pertumbuhan penduduk dunia yang cepat, serta pengelolaan air yang idak berkelanjutan yang saat ini dilaksanakan.

Disampaikan pula bahwa dalam sambutan tersebut sejumlah kebijakan internasional terkait hak atas air seperi CEDAW (Convenion on the Eliminaion of All Forms of Discriminaion Against

Women), CRC (Convenion on the Rights of the Child) dan ICESCR

(Internaional Covenant on Civil and Poliical Rights dan Internaional

Covenant on Economic, Social and Cultural Rights). Termasuk juga ECOSOC DECLARATION (Deklarasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya) PBB pada bulan November 2002.

Sementara Indonesia sendiri mencantumkan pengakuan atas hak dasar tersebut sejak awal di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 yang menyatakan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dengan demikian, negara bertanggung jawab menjamin penyediaan air yang bagi seiap individu warga negara.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari program pengabdian kepada masyarakat (PKM) ini adalah memberi pengetahuan dan keterampilan pada masyarakat Sidorejo untuk bercocok tanam menggunakan sistem

Penegakan hukum terhadap korupsi – dalam hal putusan (vonis) hakim – tidak dapat dilepaskan dengan adanya faktor-faktor yang menentukan dalam proses penangannya di pengadilan,

Dengan hasil ini maka dapat disimpulkan bahwa adanya ketetapan harga yang lebih baik seperti harga yang lebih terjangkau dan sesuai dengan menu yang disajikan, maka akan

Pemantauan HPIK adalah suatu serangkaian pemeriksaan yang sistematik terhadap suatu populasi ikan, untuk mendeteksi adanya hama dan penyakit ikan karantina,

Tapi kelemahan yang diperoleh, yaitu pada kegiatan laporan keuangan, dimana perusahaan tidak membuat necara dan laporan rugi laba sehingga besarnya pendapatan

Guru : Menurut saya di kelas XI APK 1 minat belajar siswa 30% sudah cukup baik mbak, ya karena masih ada anggapan dari siswa bahwa pembelajaran Matematika itu

Untuk itu perlu dilakukan pengukuran kinerja lingkungan pada perusahaan tersebut, di mana metode yang dapat digunakan dalam pengukuran adalah Integrated Environment

Penelitian tindakan kelas (PTK) ini akan dilaksanakan di Kelas VI SD Negeri 3 Cakranegara semester dua Tahun 2016/2017, dengan jumlah Siswa sebanyak 20 orang. Cara