SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
Salah satu perubahan strategi sesuai dengan amanat agenda reformasi adalah melakukan desentralisasi terhadap sistem pembangunan nasional melalui pendekatan otonomi daerah. Sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, setiap kabupaten/kota memiliki hak, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan pembangunan sesuai dengan profil dan karakteristiknya masing-masing. Seperti diketahui bersama, sistem pembangunan sentralistik selama 30 tahun lebih di masa lalu telah melahirkan kondisi pembangunan yang tidak merata, karena lebih banyak dipusatkan di Pulau Jawa. Hal ini berakibat menumpuknya sumber daya berkualitas di Pulau Jawa yang terdiri dari 5 provinsi, sementara ke-28 provinsi lainnya mengalami kekurangan sumber daya manusia dengan berbagai latar belakang ilmu serta kompetensinya, baik dipandang dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Persoalan di lapangan yang sedang dihadapi sekarang adalah bahwa pendekatan pembangunan yang sentralistik menuju desentralistik ini masih dalam tahap transformasi (baca: ‘on the making’), sehingga masih sering ditemukan berbagai tantangan dalam pelaksanaannya, seperti: inkonsistensi kebijakan, perubahan peraturan, ketidakadaan standar, ketidakjelasan visi, dan lain-lain). Hal ini secara langsung maupun tidak langsung berakibat pada “gamangnya” pemerintah, industri, dan masyarakat di suatu daerah dalam proses mengembangkan potensi yang dimilikinya karena takut salah atau keliru dalam memahami, menyikapi, dan mengejawantahkan hak, wewenang, dan tanggung jawab yang diberikan dalam kerangka sistem otonomi daerah.
Berbicara mengenai kualitas SDM sebuah negara, indikator yang paling banyak diadopsi negara-negara di dunia adalah HDI (Human Development Index) yang dipergunakan oleh UNHDR, dimana Indonesia ditempatkan pada ranking 108 dari 169 negara pada tahun 2010, di tengah-tengah GDP (PPP) per kapita sebesar US$4,394 atau GDP (nominal) per kapita sebesar US$3,015, yaitu ranking 122 dari 153 negara. Kenyataan ini tentu saja merupakan sebuah “wake up call” dan tantangan besar bagi bangsa dan negara untuk meningkatkan daya saing bangsa-nya di tengah-tengah arus globalisasi yang sedemikian cepat dan dinamis. Apalagi jika dibandingkan dengan sejumlah negara ASEAN yang memiliki akselerasi peningkatan kualitas SDM dan daya saing bangsa yang cukup mencengangkan sehingga dapat melampaui Indonesia hanya dalam waktu yang relatif singkat.
Sistem Pendidikan Nasional Indonesia disusun dan dikembangkan untuk menghadapi tantangan tersebut, terutama dalam menjawab kebutuhan riil SDM di lapangan. Sesuai dengan postur Indonesia sebagai negara kepulauan, dengan
HALAMAN DARI 1 3 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
HDI dan Strategi Otonomi Daerah
oleh Prof. Richardus Eko Indrajit - indrajit@post.harvard.edu
EKOJI
999
Nomor 446, 28 November 2013
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
berbagai keberagaman yang ada, maka seyogiyanya model pengembangan dan pemberdayaan manusia yang diberlakukan disesuaikan dengan kondisi tersebut.
!
!
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
SDM terdidik dan terlatih dicoba diciptakan oleh negara dan masyarakat melalui beragam pendekatan, baik yang bersifat formal, non formal, maupun informal – mulai dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) hingga pendidikan setingkat Doktor, baik dalan jalur akademik, vokasi, maupun profesi. Untuk dapat memetakan antara beragam jenis dan jalur pendidikan yang ada dengan kebutuhan riil industri, maka dikembangkanlah sebuah kerangka yang diberinama KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia).
Keberadaan kerangka ini sangat membantu dan dapat dijadikan sebagai jembatan penghubung dalam menentukan kebutuhan tenaga terdidik dan terlatih dengan spesifikasi yang ditentukan oleh industri (lapangan pekerjaan) dengan yang perlu disediakan oleh sistem pendidikan tinggi di Indonesia, baik dari segi kuantitaif maupun kualitatif.
Sumber daya manusia yang unggul hanya dapat tercipta jika yang bersangkutan dapat memperoleh kesempatan untuk menikmati dan mengenyam pendidikan tinggi yang relevan dengan kebutuhan industri dan masyarakat yang ada. Oleh karena itulah maka perlu dikembangkan sebuah lansekap pendidikan nasional yang memungkinkan terbukanya akses sebesar-besarnya kepada setiap individu dalam kebutuhannya untuk menikmati pendidikan tinggi yang bermutu. Agar terjadi “link and match” antara kebutuhan dan ketersediaan, ada baiknya dilakukan pemetaan terlebih dahulu dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
akhir dokumen