• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proceeding Seminar Nasional Profesionali. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Proceeding Seminar Nasional Profesionali. pdf"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN ANAK BERBASIS

QUANTUM LEARNING

:

KRISTALISASI PROFESIONALISME GURU

DAN PERAN ORANG TUA DALAM PRESPEKTIF GLOBAL

Asef Umar Fakhruddin* dan Fifti Istikhlaili*

*Dosen Jurusan PG-PAUD FIP IKIP Veteran Semarang

Pendahuluan

Pendidikan anak akan senantiasa berada di titik fundamentalitasnya setiap kali ia dikaji dan didalami. Hal ini karena pendidikan bagi anak usia akan memengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya, sampai ia tua dan bahkan sampai anak turunnya. Sebabnya, tidak lain lantaran konsepsi yang diperoleh sang anak ketika dia masih kecil memberinya kemampuan dan semangat untuk pula memberikannya kepada para generasi setelahnya.

Dengan demikian, stimulasi dan “asupan gizi” yang diberikan kepada anak harus memberikan implikasi yang baik bagi kehidupannya. Orangtua dan pendidik, yang bergerak di ranah institusional, memiliki kelabudan untuk senantiasa memberikan yang terbaik bagi anak. Pasalnya, mereka adalah pihak-pihak yang sangat dekat dengan anak, yang tentu saja akan memengaruhi pola pikir dan pola sikap anak (sebab bukankah anak memiliki sifat meniru?).

Oleh karenanya harus ada strategi yang tepat yang digunakan untuk mendekati dan memberikan yang terbaik bagi anak. Di antara strategi tersebut adalah Quantum Learning. Quantum Learning mengajak anak untuk mengaktifkan dan memaksimalkan semua potensi yang dimilikinya, sehingga hal ini menjadikan anak sebagai pribadi dengan daya juang tinggi namun dengan basis kekuatan diri yang kuat pula.

Pada ranah institusional, dalam hal ini yang terlingkup dalam PAUD, entah formal atau informal, konsep Quantum Learning akan bisa mengajak anak untuk memiliki kemauan dan kemampuan meningkatkan dan bahkan memunculkan bakat-bakat luar biasanya. Hal ini karena, konsep ini memang memprovokasi anak, pendidik, dan orangtua untuk ikut berperan dalam “lingkaran edukasi”, dengan pendar-pendar cahaya yang selalu benderang: dan hal ini bisa termanifestasi dengan kemampuan anak dalam mengenali serta memaksimalkan kejerdasan majemuknya.

Tentang

Quantum Learning

Quantum Learning berakar dari upaya Dr. Georgi Lozanov, seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai ”suggestology” atau ”suggestopedia”. Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti memengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apa pun memberikan sugesti positif maupun negatif.

Beberapa teknik yang digunakannya untuk memberikan sugesti positif adalah mendudukkan murid secara nyaman, memasang musik latar di dalam kelas, meningkatkan partisipasi individu, menggunakan poster-poste untuk memberi kesan besar sambil menonjolkan informasi, dan menyediakan guru-guru yang terlatih baik dalam seni pengajaran sugestif.

Istilah yang hampir dapat dipertukarkan dengan suggestology adalah ”pemercepatan belajar” (accelerated learning). Pemercepatan belajar didefiniskan sebagai ”memungkinkan siswa dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal, dan dibarengi kegembiraan”.

(2)

persamaan: hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik, dan kesehatan emosional. Namun senyatanya, semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.

Quantum Learning mencakup aspek-aspek penting dalam program neurolinguistik, yaitu suatu penelitian tentang bagaimana otak mengatur informasi. Program ini meneliti hubungan antara bahasa dan perilaku dan dapat digunakan untuk menciptakan jalinan pengertian antara siswa dan guru, pun dengan orangtua, serta masyarakat sekitar.

Para pendidik dengan pengetahuan neurolinguistik mengetahui bagaimana menggunakan bahasa yang positif untuk meningkatkan tindakan-tindakan positif, faktor penting untuk merangsang fungsi otak yang paling efektif. Semua ini dapat pula menunjukkan dan menciptakan gaya belajar terbaik dari setiap orang, dan menciptakan pegangan dari saat keberhasilan yang meyakinkan.

Bobbi DePorter dan Mike Hernacki sendiri mendefinisikan Quantum Learning sebagai ”interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya”. Semua kehidupan adalah energi. Rumus yang terkenal dalam fisika quantum adalah massa kali kecepatan cahaya kuadrat sama dengan energi. Persamaan ini tentu saja sudah pernah dilihat, sebuah penemuan monumental Albert Einstein, dengan rumus E = mc2.

Tubuh manusia secara fisik adalah materi. Sebagai makhluk dengan kemampuan otak yang begitu luar biasa, tujuan manusia adalah meraih sebanyak mungkin cahaya: interaksi, hubungan, inspirasi, dan aksi-aksi positif demi menghasilkan energi cahaya. Pada titik ini, Quantum Learning menjadi alas yang begitu kuat nan indah sebab dia mengajak untuk menjangkau aspek terdalam dari diri manusia, untuk kemudian memaksimalkannya menjadi energi bagi kehidupannya.

Quantum Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar, dan neurolinguistik dengan teori, keyekinan, dan teori-teori lain. Kemudian, pendaran isi dalam Quantum Learning akan bermuarakan bagaimana mengkaji hal-hal berikut ini:

a. teori otak kanan/kiri b. teori otak triune (3 in 1) c. pilihan modalitas d. teori kecerdasan ganda e. pendidikan holistik

f. belajar berdasarkan pengalaman

g. belajar dengan simbol (metaphoric learning) h. simulasi/permainan1

Kajian tersebut sangat mungkin bertambah. Kenapa demikian? Sebab, hasil kajian tersebut sangat dinamis. Apabila ada hal-hal baru yang ternyata saat diujicobakan memiliki kelebihan dan atau nilai baru, maka kajian tersebut bisa saja dihapuskan, atau pula mendapatkan penyempurnaan-penyempurnaan.

Artinya, sangat mungkin terdapat kajian-kajian lain yang serupa. Tetapi, selama itu baik dan demi kebaikan semua, terkhusus untuk anak, maka hasil penelitian tersebut patut untuk diapresiasi. Penelitian tersebut merupakan sebuah usaha mulia, karenanya perlu didukung, pun dikembangkan menjadi sebuah bangunan teori demi kemaslahatan umat manusia.

Quantum Learning membingkai semua kecenderungan anak. Yang dibingkai terkhusus lebih pada hal-hal yang bersifat positif. Kenapa? Sebab, tujuan dari Quantum Learning adalah

1

(3)

memunculkan, mengembangkan, dan memaksimalkan potensi anak. Potensi-potensi ini sendiri pada hakikatnya adalah hal-hal yang terdapat dalam diri anak, dan itu adalah hal-hal yang baik. Sehingga, jika pun di kemudian hari ada anak atau seseorang yang kemudian menjadikan potensi tersebut untuk aksi-aksi negatif, sangat mungkin hal itu karena pengaruh lingkungan.

Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa quantum dapat dipahami sebagai “interaksi yang mengubah energi menjadi pancaran cahaya yang dahsyat”, maka sepuhan pihak-pihak di sekitar anak memberikan pengaruh yang sungguh signifikan dan langsung.

Oleh karenanya, dalam konteks belajar, Quantum Learning dapat dimaknai sebagai atau bahwa interaksi yang terjadi dalam proses belajar niscaya mampu mengubah pelbagai potensi yang ada di dalam diri manusia menjadi pancaran atau ledakan gairah (dalam memperoleh hal-hal baru) yang dapat ditularkan (ditunjukkan) kepada orang lain.2 Bahkan, sebenarnya, tidak hanya kepada orang lain saja pancaran (kebaikan) ini tertuju, melainkan kepada semua penghuni semesta.

Karena memiliki kemampuan untuk mengajak anak memberikan dan mempraktikkan kepada semua penghuni semesta, sebagai hasil interaksi positif, maka anak anak selalu diajak bersama-sama dan dengan menyenangkan memberikan kemanfaatan untuk semua pula.

Karena Semua Berpotensi Menjadi Pribadi Sukses dan Bahagia

Rene Descartes, ahli filsafat dan matematika dari Perancis, pada tahun 1619 mengatakan, ”Saya mulai memahami dasar dari suatu penemuan yang luar biasa...semua ilmu pengetahuan saling berkaitan seperti sebuah rantai; tak satu pun di antaranya dapat dipahami secara menyeluruh tanpa mengetahui seluruh ensiklopedia tentang hal itu secara bersamaan.” (Yang dimaksudkan dengan ensiklopedia bukanlah serangkaian buku-buku, tetapi totalitas pengetahuan manusia).

Kalau manusia ragu bahwa dia memiliki perangkat mental penting untuk menjadi pelajar atau manusia quantum, harus diingat bahwa otak yang dimiliki manusia sejak lahir secara fisiologis sama dengan otak orang-orang terkenal dengan kejeniusannya, semisal Ibnu Haitsam, Ibnu Batutah, Habibi, Aristoteles, Plato, Albert Einstein, Wolfgang Amadeus Mozart, Leonardo da Vinci, Van Gogh, Galileo Galilei, Michael Angelo, ataupun Thomas Alva Edison, dan orang-orang besar lainnya.

Ini berarti bahwa otak manusia mampu mencapai kebesaran dan sama dengan otak orang-orang yang mempunyai kemampuan mental yang tinggi tersebut; dan semuanya hanya perlu belajar bagaimana membimbingnya menuju kebesarannya sendiri, dan bagaimana berjuang mengoptimalkan potensi otak yang luar biasa tersebut.

Menciptakan hubungan-hubungan memori yang baru juga meningkatkan kreativitas pribadi. Seperti yang dikatakan oleh Peter Kline dalam bukunya The Everyday Genius bahwa untuk menjadi orang yang mampu memecahkan masalah secara kreatif dan pemikir konstruktif, ”kita harus mampu meraih sebebas-bebasnya dan sebanyak-banyaknya seluruh pengalaman kita, yang merupakan konteks memori kita.”

Untuk menjadi pelajar quantum, yang harus dilakukan adalah kemampuan mengolah informasi dengan dua cara: dengan mengasimilasikan potongan-potongan materi sekaligus. Dan, dengan mengembangkan pemahaman kita tentang satuan-satuan kecil ini untuk mengetahui bagaimana satuan-satuan ini beroperasi dalam skala besar dalam kaitan-kaitannya dengan

(4)

faktor lainnya. Biasanya, orang lebih mudah belajar dengan satu atau lain cara (inilah fungsi cara belajar), tetapi adalah penting untuk melakukan kedua-duanya.

Kemampuan untuk menikmati belajar dan belajar dengan gembira akan membawa anak pada berbagai kegairahan wilayah minat-minat baru. Dan dalam setiap wilayah, anak akan menemukan begitu banyak kesempatan untuk ditelusuri sehingga anak akan sibuk selamanya, belajar selamanya, dan terangsang selamanya dengan kerumitan-kerumitan dunia yang sedang berlangsung.3

Sebuah kritik seringkali dilontarkan oleh para trainer dan psikolog bahwa semua manusia dilahirkan untuk merengkuh kesuksesan dan kebahagiaan. Pertanyaannya, apakah dia mau atau tidak? Hal ini mendedahkan bahwa siapa pun dia, dan dari latar belakang yang bagaimanapun, bisa meraih kesuksesan. Tanpa ada pertanyaan dan kritik di atas, sebenarnya manusia memang pribadi-pribadi dengan potensi sukses itu.

Quantum Learning sebagai sebuah metode mengarahkan semua pribadi untuk menyadari bahwa mereka memiliki kelebihan. Kelebihan tersebut bisa dimaksimalkan, sehingga membuatnya menjadi pribadi yang bahagia. Orang tua dan guru yang bijak akan berada pada wilayah ini, wilayah di mana dia berkarya dan berjuang untuk mengarahkan anak mencapai kecermelangannya.

Maka, interaksi yang terjadi antara orangtua dan anak menjadi motivasi bagi anak untuk memberikan yang terbaik, minimal, bagi orangtuanya tersebut. Apabila hal ini terus dikembangkan dan dilakukan, anak tersebut memiliki kepribadian dan empati yang kuat.

Quantum Learning dan Kecerdasan Anak

Sebagai sebuah metode, Quantum Learning sangat besar potensi untuk menjadikan anak semakin cerdas (karena memang anak sejak dalam kandungan memiliki potensi tersebut). Kecerdasan yang akan bisa dimaksimalkan anak bisa beraneka keceradasan. Tidak hanya satu kecerdasan saja yang bisa dimiliki anak, melainkan juga dua, tiga, dan seterusnya.

Kemampuan anak memiliki banyak kecerdasan ini sebab di dalam diri anak memang tersimpan potensi tersebut. Hal ini pula yang membuat Howard Gardner menegaskan bahwa di dalam diri manusia terdapat multiple intelligence (kecerdasan majemuk, kecerdasan yang tidak hanya satu jenis saja).

Howard Gardner tidak menyebut “jumlah” dalam kecerdasan yang bisa dipunyai manusia tersebut. Tetapi, dia langsung menyebut dengan kata “banyak atau majemuk”. Kenapa? Sebab, sangat mungkin kecerdasan yang terbaca sekarang (oleh banyak peneliti, sekarang ditemukan bahwa ada sembilan kecerdasan) bisa bertambah dan bertambah terus seiring dengan perjalanan hidup manusia dan seiring penelitian yang dilakukan.

Meski demikian, ada persiapan yang perlu dilakukan untuk mempersiapkan agar anak menjadi cerdas, atau lebih cerdas. Untuk menciptakan anak cerdas, setidaknya adalah lima hal yang harus diperhatikan dengan saksama. Lima hal tersebut adalah:

1. makanan yang tepat 2. lingkungan yang sesuai 3. pengalaman emosional 4. stimulasi rasional yang tepat 5. aktivitas fisik yang sesuai.

(5)

Makanan. Ini amunisi otak yang sangat penting. Anak-anak yang kekurangan gizi umumnya memiliki otak yang kurang berkembang. Konsumsi ikan yang cukup, ASI, vitamin, dan mineral merupakan amunisi yang tepat bagi otak. Apa pun kursus yang Anda berikan untuk anak Anda tanpa memberinya makanan yang tepat, samalah artinya dengan mengisi ruangan tanpa memperkuat dinding-dindingnya. Gizi adalah bahan baku proses-proses seluler, terutama untuk pembangunan struktur otak.

Lingkungan. Makin bervariasi lingkungan hidup anak Anda, makin baik perkembangan otaknya. Warna, bentuk, orang-orang yang berbeda, suasana yang bervariasi, dan lain-lain lebih mudah menstimulasi otak dibandingkan yang homogen. Jika Anda menciptakan lingkungan yang kaya dengan permainan, otak anak Anda berkembang dengan sangat pesat. Karena itu, sebisa mungkin, tempat tidur, tempat belajar (terutama di sekolah-sekolah), dan ruangan keluarga dapat diubah setiap jangka waktu tertentu. Anda juga perlu mengajaknya ke tempat-tempat yang penuh hal-hal baru, seperti di pantai, gunung, dan lain-lain. Semakin bervariasi lingkungan, semakin cepat koneksi sel saraf terjadi.

Pengalaman emosional. Sistem limbik lebih dulu matang dibandingkan dengan kulit otak. Akibatnya, anak-anak menjadi sangat peka terhadap rangsangan dan pengalaman emosinal. Semua pengalaman emosional yang diberikan kepada rentang usia 0-7 tahun ini akan sangat berpengaruh dalam membentuk jalinan antarsel saraf. Pada usia ini, kontrol diri, kesabaran, kerja sama, empati, dan lain-lain lebih mudah dilatih dan tertanam kuat dalam otak dibanding berhitung, membaca, atau kegiatan-kegiatan kalkulatif lainnya. Jangan lupa, kematangan emosional ini lebih menentukan kesukesan anak Anda di masa depan ketimbang kemampuan berhitung dan main computer.

Stimulasi rasional. Hal-hal yang baru (novelty), menantang (challenge), padu (coherent), dan penuh makna (meaningfull) lebih cepat memengaruhi otak ketimbang hal-hal yang lazim dan biasa. Jika setiap hari Anda memperkenalkan kata-kata baru kepada anak Anda, teknik-teknik baru dalam berhitung, tugas-tugas yang menantang dan penuh makna (misalnya, membuat percobaan-percobaan fisika yang berkenaan dengan hal sehari-hari), otaknya akan cepat berkembang.

Aktivitas fisik. Aktivitas fisik memengaruhi otak dengan tiga cara: 1. meningkatkan sirkulasi darah ke otak. Artinya, oksigen, gula, dan zat gizi juga bertambah. 2. memengaruhi hormon NGF (Nerve Growth Factor), dan 3. merangsang produksi dopamine. Zat ini berfungsi penting dalam menata perasaan (mood) anak. Semakin sering dan terampil ia melakukan kegiatan fisik, semakin baik perkembangan otaknya.

Lima hal di atas tidak berdiri sendiri. Semuanya saling melengkapi dan saling memengaruhi. Orangtua dan guru tidak boleh mengedepankan dan memprioritaskan satu di antara yang lain. Jika harus memiliki yang utama, Taufik Pasiak menyarankan untuk melatih emosi anak lebih dulu. Kematangan emosi memerlukan waktu tertentu untuk berkembang. Sedangkan, kecerdasan rasional dapat ditingkatkan kapan saja orangtua dan guru mau.4

Dan Belajar Pun Punya Cara

Seringkali dipahami bahwa belajar adalah proses satu arah, yaitu dari narasumber kepada audiennya. Bisa pula disebutkan, dari guru kepada anak-anak didiknya. Padahal, sebenarnya yang dimaksud belajar adalah proses mencari, menelaah, merenungkan, dan melakukan evaluasi atas apa yang akan, sedang, dan dilakukan.

4

(6)

Dengan demikian, seorang pendidik dan orangtua sebelum memberikan model pembelajaran kepada anak hendaknya lebih memahami bagaimana cara agar belajar itu bisa menyenangkan. Adapun di antara cara agar belajar bisa nyaman dan menyenangkan adalah sebagai berikut:

1. menciptakan lingkungan tanpa stress (rileks), lingkungan yang aman untuk melakukan kesalahan, namun harapan untuk sukses tinggi menjulang,

2. menjamin bahwa subjek pelajaran adalah relevan; karena harus dipahami bahwa belajar akan berjalan dengan efektif jika yang bersangkutan paham manfaat dan pentingnya pelajaran tersebut,

3. melibatkan secara sadar semua indera dan juga pikiran, baik yang terdapat dalam otak kiri dan kanan,

4. menantang otak untuk dapat berpikir jauh ke depan dan mengeksplorasi apa yang sedang dipelajari dengan sebanyak mungkin,

5. dan menggabungkan semua bahan yang dipelajari dengan tetap tenang dan nyaman.5

Kenapa dalam belajar harus ada cara yang harus ditempuh? Pasalnya, cara belajar masing-masing anak berbeda. Pun demikian dengan cara mengajar yang seharusnya dilakukan. Jika pendidik terhadap para anak didiknya atau orangtua terhadap anak-anaknya menyamakan model dan strategi pembelajaran yang diberikan, sejatinya mereka telah melakukan pemaksaan kepada anak, dan ini sangat tidak baik bagi perkembangan dan pertumbuhan anak.

Maka dari itu, pendidikan atau pembelajaran kepada anak haruslah dengan konsep dan dasar yang benar. Dalam konteks keluarga, jika orangtua memaksakan anak untuk mengikuti semua aturan yang diberikan dengan alasan aturan tersebut demi kebaikan dan kesuksesan anak, dapat disimpulkan bahwa hal itu tidaklah terlalu benar. Sebab sangat mungkin pola yang diberikan tidak cocok dengan potensi dan kecenderungan anak.

Adapun dalam konteks institusi pendidikan formal semisal sekolah (apa pun nama dan karakter yang dibawanya), para pendidik harus menyesuaikan cara mengajar mereka dengan cara belajar anak didik. Harus disadari bahwa dalam ranah pengajaran, ada yang disebut dengan wewenang mengajar dan hak mengajar. Kedua hal ini berbeda.

Apabila seorang guru berhasil masuk ke dalam dunia siswa lewat penyesuaian gaya belajar siswa, siswa akan rela memberikan hak mengajarnya kepada guru. Mungkin, setiap guru yang memiliki lisensi mengajar punya wewenang untuk mengajar. Akan tetapi, hak mengajar adalah sesuatu yang harus diraih guru dengan kerja keras, dan hak tersebut ada dalam keinginan para siswa.6

Cara mengajar yang baik akan membuat anak nyaman dengan apa yang diberikan. Sebaliknya, jika cara mengajarnya tidak baik, maka anak akan takut dan tertekan dengan model pembelajaran tersebut. Kenapa pula seorang guru dan orangtua harus memerhatikan gaya dan cara belajar anak? Anak adalah pribadi dengan pelbagai kelebihan dan potensi. Masing-masing anak, kembar sekalipun, memiliki kecenderungan yang berbeda. Perbedaan ini tentu saja memerlukan pendekatan yang berbeda.

Tidak hanya itu, pendekatan yang berbeda ini bertujuan untuk memaksimalkan potensi-potensi luar biasa anak. Ini karena sebenarnya kecenderungan tersebut menunjukkan jenis kecerdasan anak. Sehingga bisa diberikan simpulan “ringan” (karena butuh penelusuran lebih mendalam selanjutnya), bahwa gaya belajar anak berbanding lurus dengan kecerdasannya. Oleh karenanya, gaya mengajar tentu saja harus dibedakan antara satu anak dengan anak yang lain.

5 Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning for the 21st Century: Cara Belajar Cepat Abad 21, terj. Dedy Ahimsa

(Bandung: Nuansa, 2002), hlm. 93.

(7)

Cara belajar dan cara mengajar yang benar menghasilkan dan meningkatkan kepercayaan diri anak, yang ini sangat berguna bagi masa depannya. Sangat sering terjadi, orangtua atau guru menghancurkan masa depan anak dengan sikap atau ungkapan yang menyepelekan kepercayaan diri anak. Ini adalah di antara bentuk cara mengajar atau cara mendidik yang tidak tepat, dan harus dihindari sekarang juga.

Pada tahun 1982, Jack canfield, pakar masalah kepercayaan diri, melaporkan hasil penelitian di mana seratus anak ditunjuk untuk seorang periset selama sehari. Tugas periset adalah mencatat berapa banyak komentar positif dan negatif yang terima seorang anak dalams sehari. Penemuan Canfield ternyata menjelaskan bahwa setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif atau yang bersifat mendukung. Jadi, komentar negatif enam kali lebih banyak dibandingkan komentar positif.

Komentar dan tanggapan ini sangat berpengaruh pada perkembangan anak selanjutnya. Umpan balik ini akan membekas dalam benak setiap anak, atau siswa dalam dunia pendidikan, dan akan mengendon di dalam alam bawah sadarnya. Umpan balik negatif yang kontinu ini sangat berbahaya. Setelah beberapa tahun bersekolah, kemandekan belajar yang sesungguhnya pun benar-benar terjadi, dan anak-anak akan menghalangi dan menutupi pengalaman belajar mereka secara tidak sadar.

Saat lulus dari sekolah dasar, kata ”belajar” itu sendiri bisa membuat murid merasa tegang dan terbebani. Hal ini karena komentar dan umpan balik tersebut telah menjadi bahan-pijakan anak dalam merespon semua hal. Selain itu, di dalam sekolah atau ketika merasa sedang belajar di sebuah sekolah atau bahkan di tanah lapang atau pula di masyarakat, mereka menjadi sangat tidak nyaman dan tidak menikmati semua itu. Sebaliknya, yang mengelilingi mereka adalah perasaan tertekan dan terbebani.

Jika pun para siswa sering mendapatkan komentar negatif, umpan balik yang tidak diharapkan, dan cemoohan dari orang lain, guru dan juga orangtua memiliki kewajiban untuk berada di samping para siswa untuk memotivasi dan memberikan dukungan kepada mereka.

Di antara bentuk penghargaan dan motivasi tersebut yaitu menghargai setiap pilihan dan sikap yang dipilih anak. Meskipun pilihan tersebut terkesan negatif, seorang guru dan orangtua tidak sepantasnya memberikan penghukuman langsung kepada mereka, sebab bisa jadi pilihan tersebut berdasar ketidaktahuan dan ketidakpahaman mereka. Maka dari itu, seorang guru dan orangtua yang baik akan mencoba menanyakan kepada para siswa, atau siswa yang memlilih sikap tidak bajik tersebut dengan pertanyaan, ”Apa manfaatnya sikap dan pilihan tersebut?”

Aplikasi

Quantum Learning

dalam PAUD

Di atas telah dijelaskan bahwa quantum adalah interaksi yang terjadi dalam proses belajar meniscayakan untuk mampu mengubah prlbagai potensi yang ada di dalam diri manusia menjadi pancaran atau ledakan gairah yang dapat ditularkan kepada orang lain, sebabnya semakin baik interaksi akan semakin pula bagi perkembangan dan pertumbuhan anak.

Nah, dalam konteks pendidikan bagi anak usia dini (PAUD), dengan karakter dan kecenderungan anak, interaksi yang baik, positif, dan mencerahkan harus menjadi acuan dan tujuan bersama: orangtua, guru, dan masyarakat. Karena mewujud dalam interaksi, yang paling memberikan nilai tambah adalah bagaimana kesan terhadap interaksi tersebut.

(8)

kemungkinan kenaikan pangkat, biaya rumah di tempat baru, cuaca, tingkat kriminalitas, kualitas sekolah, berapa jauh dari sanak keluarga, apakah ada fasilitas rekreasi yang memadai, dan banyak lagi faktor lainnya.

Orang tersebut sejatinya mengajukan sebuah tanya, ”Apa manfaat pekerjaan itu bagiku? Apa sih enaknya pekerjaan itu? Dan seterusnya.” pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat wajar. Pertanyaan yang diajukan tersebut menunjukkan sebuah karakter dan kecenderungan.

Hal ini pula yang dilakukan kepada anak usia dini. Dengan pertanyaan ini, dia akan bisa menimbang apa yang seharusnya dipilih dan dilakukan. Pertanyaan ini tidak hanya akan membuatnya semakin kritis, namun juga membuat memiliki penyembang atas apa-apa yang menyapanya. Harus dipahami di sini bahwa anak usia dini telah memiliki kemampuan memiliki: mana yang menyenangkan baginya dan mana yang tidak membuatnya gembira.

Oleh Mike Hernacki dan Bobbi DePorter, cara atau metode bertanya ini disebut dengan

konsep ”Ambak atau Apa manfaatnya bagiku?”7 Dengan pertanyaan ini, diharapkan akan didapatkan sebuah simpulan atas langkah yang akan ditempuh, yang itu dilakukan secara sadar dan ikhlas, tidak ada paksaan di dalamnya. Lebih dari itu, ”Ambak” juga memungkinkan anak untuk melakukan penyelaman ke dalam diri-terdalamnya, dan ini sangat bermanfaat bagi usaha yang dilakukan untuk mendapatkan jawaban atas semua rasa ingin tahu.

Kedua praktisi dan pemerhati masalah pendidikan di atas mendedahkan bahwa kadang-kadang konsepsi ”Ambak” sangat jelas dalam benak, dan di lain waktu harus dicari, atau bahkan bisa menemukannya begitu saja. Meski begitu, dengan metode ”Ambak”, maka anak akan terbawa sebab dia yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan atau dipilih.

Kemauan anak inilah sejatinya yang menjadi ukuran pendidikan atau pembelajaran. Lantaran yang mau, karena dia paham apa manfaat yang akan diperoleh, dia pun begitu menikmati proses tersebut. Rasa senang, nyaman, dan bahagia atas apa yang dilakukan ini merupakan pesan dalam Quantum Learning, sebuah ajakan untuk mempraktikkan interaksi positif dengan tujuan agar anak memiliki semangat untuk terus belajar dan berkarya.

Meskipun demikian, sekali lagi, karena bertumpu pada bahwa interaksi akan memberikan pengaruh dalam kehidupan anak, maka orangtua dan seorang guru memiliki kewajiban memiliki sikap-sifat dasar yang harus bertumpu kebaikan dan kemanfaatan. Bagi orangtua, sikap dan sifat penuh kasih sayang dan bahasa cinta mutlak untuk dipunya.

Dengan bahasa cinta dan kasih sayang, pendidikan yang berlangsung di rumah akan berjalan dengan begitu menyenangkan, membahagiakan, dan sangat berkesan bagi. Dengan bahasa cinta, anak menjadi pribadi dengan semangat yang selalu berdegar. Dengan kasih sayang yang salah satunya terbungkus dalam doa, anak akan merasakan pelukan kedamaian dan ketenangan. Perasaan ini adalah bekal yang sangat penting bagi proses dalam memaknai setiap renik yang bergelayut dalam kehidupannya.

Bagi seorang pendidik, perlu pula memiliki sikap-sikap dasar semisal sabar, bisa menjadi sahabat, konsisten dan komitmen, dan memiliki kerendahan hati.8 Sikap dan sifat dasar menjadi penting karena daya dalar dan kecenderungan anak yang berbeda dengan orang dewasa. Dengan sikap-skap dan sifat-sifat tersebut, setidaknya, guru bisa berinteraksi secara nyaman dengan anak, dan anak pun tenang berdekatan dengan guru.

Banyak terjadi anak didik yang justru merasa tidak nyaman apabila berdekatan dengan gurunya. Banyak anak yang ketika melihat wajah gurunya, maka kontan saja semangat belajarnya

7

Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning, hlm. 45.

(9)

meredup, padahal awalnya semangat tersebut demikian bergelora. Hal ini banyak terjadi karena tidak terjalinnya komunikasi dan interaksi yang baik dengan anak didik tersebut.

Quantum Learning membingkai setiap interaksi tersebut agar menjadi baik satu sama lain. Sehingga, ketika seorang anak berada pada kegelisahan, maka dia akan bisa segera berada pada titik kebahagiaan dan kenyamanannya. Seorang guru yang telah memahami bahwa semua anak memiliki potensi besar untuk sukses maka dia akan mendekati anak yang sedang dirundung gelisah tersebut, kemudian mengajaknya berdiskusi, atau berusaha berempati dengan apa yang dialami tersebut, kemudian masuk di dunianya, lantas memberikan sugesti tentang kebaikan dan apa pula yang seharusnya dilakukan.

Dengan metode semacam ini, kedekatakan emosional dan spiritual antara murid (baca: anak) dengan guru akan terjalin dengan begitu erat-memesona. Dalam Quantum Learning, terdapat prinsip bahwa dengan menemukan manfaat pada salah satu sikap atau kecenderungan yang dipilih, bisa meningkatkan semangat belajar.

Tidak hanya itu, ada pula prisnsip-prinsip lain yang membuat anak menjadi pribadi quantum. Prinsip-prinsip tersebut adalah bagaimana ajakan memberikan pujian kepada diri sendiri, bagaimana menciptakan tempat yang aman untuk belajar dan bekerja, bagaimana mengetahui cara belajar, bagaimana memaksimalkan kedahsyatan pikiran, dan bagaimana cara meningkatkan kreativitas dalam segala situasi.

Bagi seorang pendidik, dengan semangat Quantum Learning ini, terkhusus pada ranah pendidikan anak usia dini, dalam strategi pembelajarannya, guru mengajar dan siswa belajar adalah dua proses atau jalan yang berbeda. Maka dari itu, tidak tepat apabila seorang guru kemudian meyakinkan diri bahwa pengajaran yang dia berikan disukai anak, tanpa adanya evaluasi pada bagaimana anak merespon cara pengajaran tersebut.

Dengan Quantum Learning, pun demikian metode pengembangan multiple intelligence dalam pendidikan anak usia dini, anak dilibatkan secara langsung pada proses pembelajaran. Alhasil, anak mendapatkan penghargaan dan pengakuan bahwa dia “ada” dan “bisa”. Pengakuan dan penghargaan ini membuat anak fun, nyaman, dan bahagia dalam proses pembelajaran tersebut. Lebih dari itu, anak berhasil mendapatkan hal-hal baru dalam setiap pembelajaran yang dilakukannya: yang hal ini berlangsung setiap hari, jika sebelum berangkat menuju tempat pendidikan dia belum mengetahui, setelah keluar dari tempat tersebut dia mendapatkan ilmu dan nilai-nilai baru.

Apabila ini pula yang terjadi di dalam keluarga, rumah akan menjadi tempat yang begitu menyenangkan bagi anak. Anak selalu kerasan di rumah. Orang tua pun menjadi idola anak. Interaksi yang terjadi di dalam keluarga menjadi tenaga sekaligus pembelajaran yang senantiasa dirindukan oleh anak, di mana pun dan kapan pun itu. Bahkan, ketika sang anak telah menginjak dewasa, interaksi, pembelajaran, dan keteladanan yang diberikan akan terus membekas dalam benaknya, membekas begitu kuat dan menyatu dalam aliran darah dan napasnya.

Oleh karena itu, potensi-potensi luar biasa anak jangan sampai terabaikan, apalagi sampai terbunuh, dengan sikap-sikap orang-orang di sekitarnya. Quantum Learning, sebuah strategi mendekati semua potensi dan kecenderungan anak untuk kemudian memaksimalkan potensi-potensi tersebut, bisa menjadi salah satu cara untuk menjaga, memelihara, dan mendorong anak untuk maju. Strategi ini pun bisa dilakukan di rumah atau di institusi-isntitusi pendidikan.

(10)

Apa yang dimaksud dengan bermain? James Sully di dalam bukunya, Essay of Laughter (dalam Mayke S. Tedjasaputra) menjelaskan bahwa tertawa adalah tanda dari kegiatan bermain dan tertawa ada di dalam aktivitas sosial yang dilakukan bersama sekelompok teman atau orang.9

Masih menurut Sully, bermain memang mempunyai manfaat tertentu. Yang penting di dalam kegiatan bermain adalah rasa senang, riang, dan gembira, yang ditandai dengan tertawa, atau ekspresi-ekspresi kebahagiaan lainnya, semisal senyum atau juga perasaan lega dan nyaman.

Dengan demikian, dapat diberikan sebuah tanggapan pasti bahwa bermain dan permainan merupakan sesuatu yang penting, apalagi bagi anak. Anak-anak tidak akan terlepas dari permainan. Dengan kata lain dapat diberikan juga sebuah simpulan bahwa dunia anak adalah permainan. Oleh karenanya, memaksakan anak untuk menerima pelajaran sebagaimana orang dewasa tentu tidak tepat dan tidak bisa dibenarkan. Mengharapkan anak bisa menyikapi semua hal dengan hitungan kalkulatif juga merupakan harapan yang tidak akan sampai pada titik muaranya.

Anak memberikan respon pada setiap hal yang diterima dan dialami dengan gaya, karakteristik, dan kecakapannya masing-masing. Sebagai bentuk ekspresinya, tidak jarang seorang anak mewujudkan dengan aktivitas-aktivitas sugestif-informastif, dengan harapan memberikan nilai bahagia bagi dirinya.

Terkait dengan aktivitas sugestif-informatif, senyatanya hal itu ditujukan kepada orangtua dan guru. Agar mereka menyaksikan apa yang menjadi harapan dan keinginan anak, yaitu bisa bermain, mendapatkan kenyamanan dan kebahagiaan, dan merupakan bentuk apresiasi atas segala dinamika yang berkembang. Seorang anak tentu tidak akan bisa memberikan simpulan tanggapan sebagai orang dewasa kala sedang menumpai dinamika unik bagi dirinya.

Masalahnya, tidak semua guru bisa merespon harapan dan keinginan anak semacam ini. Untuk itu, sudah saatnya seorang guru dan orangtua mengubah paradigmanya dalam melihat anak dan dunianya. Bermain sendiri merupakan kegiatan utama yang mulai tampak sejak bayi berusia 3 (tiga) atau 4 (empat) bulan. Secara umum, permainan atau bermain penting bagi perkembangan kognitif, sosial, afektif, dan perkembangan anak.

Artinya, bermain, selain berfungsi begitu mendasar bagi perkembangan pribadi anak, juga memiliki fungsi sosial dan emosional. Melalui bermain, seorang anak juga akan merasakan berbagai pengalaman emosi; senang, sedih, bergairah, kecewa, bangga, marah, dan sebagainya.10 Perkembangan dan pengalaman emosional ini sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Jika disebutkan bahwa muara dalam sebuah permainan adalah rasa senang dan bahagia, tapi pada tesis di atas disebutkan bahwa pengalaman emosi semisal sedih juga terjadi. Maksudnya, memang tujuan bermain adalah mendapatkan kebahagiaan, tetapi tidak menutup kemungkinan di dalam permainan ada hal-hal yang tidak diinginkan. Menangis, marah, dan sedih merupakan di antara hal-hal tersebut.

Meski demikian, rasa-rasa tersebut, marah, menangis, dan sedih, tetap urgen bagi perkembangan anak. Pasalnya, semua rasa tersebut memberikan ransuman nilai dan pengalaman kepada anak. Tidak jarang, dengan rasa tersebut, anak kemudian sudah bisa memberikan balancing atas semua aktivitas yang dilakukan.

Sekali lagi, pada titik ketika seorang anak tidak mendapatkan kebahagiaan ketika sedang bermain, peran orangtua dan guru menemukan titik aksentuasinya. Mereka dituntut untuk bisa memberikan ketenangan kepada anak. Selain itu, meraka juga memiliki kewajiban untuk

9

Mayke S. Tedjasaputra, Bermain, Mainan, dan Permainan untuk Anak Usia Dini (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 15

(11)

menjelaskan apa hikmah atau pelajaran dari permainan yang tekah dilakukan tersebut, entah yang membuat bahagia dan riang atau yang justru menjadikan seorang anak bersedih.

Kebutuhan anak sesungguhnya adalah kebutuhan kasih sayang dan beberapa unsur yang melekat-erat dalam diri anak seperti keterampilan dalam menggunakan pancaindera, konsep diri yang positif, kebutuhan untuk memiliki kesempatan bereksplorasi, belajar dengan teman, mampu menilai diri, dan interaksi dengan lingkungan sekitar yang semakin berkualitas.11

Alat peraga dengan demikian menjadi pentinga untuk digunakan dalam setiap aktivitas anak. Sebab, sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa seorang anak belum mampu menyikapi dan merespon semua hal sebagaimana orang dewasa. Alat peraga ini berfungsi untuk menjembatani daya-respon tersebut. Tujuannya, supaya apa yang disapa anak tersebut bernilai positif.

Walaupun begitu, terkadang alat peraga yang digunakan belum bisa memberikan pengaruh signifikan bagi anak. Apabila itu yang terjadi, maka harus ada cara atau strategi lain agar kelindah nilai bisa diterima anak. Nah, permainan pada titik ini menemukan titik konfirmasinya. Sebab, seperti dijelaskan di atas, anak sangat menggemari permainan, atau bahwa dunia anak adalah dunia bermaian.

Kalau menggunakan tesis Vygotsky tentang permainan, ada penjelasan menarik bahwa permainan merupakan contoh sosial atau keteladan sosial untuk membantu perkembangan awal anak.12 Maksudnya, permainan merupakan produk kebudayaan (termasuk karena diciptakan sebagai respon) yang membawa implikasi bagi perkembangan anak.

Alat peraga dengan nilai-nilai pendidikan di dalamnya, agar memberikan tetap memberikan kesan positif pula, maka perlu diberi sepuhan ”pendekatan” lain, supaya tetap berada pada wilayah yang menjadi titik pijak sebuah transformasi dalam diri anak. Pendekatan yang dimaksud adalah permainan. Karena di dalamnya, seorang guru atau orangtua, bisa dengan mudah memasukkan nilai-nilai positif, sebab perkembangan emosi anak usia dini memang labil.

Labilitas tersebut memang menunjukkan sebuah gejala bahwa seorang anak sedang berjuang memaknai semua hal. Pola perkembangan emosi, sejatinya telah ada sejak anak lahir. Gejala emosional pertama yang muncul adalah ketarangsangan yang umum terhadap stimulus atau rangsangan yang kuat. Reaksi emosional ini memang belum tampak jelas sebagai reaksi emosional pada umumnya, akan tetapi hanya memberikan kesan sederhana berupa kesenangan dan ketidaksenangan.13

Dengan demikian, permainan yang diberikan pun hendaknya merupakan permainan yang benar-benar aman, memiliki nilai edukasi, dan membantu perkembangan anak. Tidak bisa tidak, peran guru dan khususnya orangtua, menjadi suatu hal yang subtil. Sebab, seorang anak belum bisa melakukan netralisasi atas gelayut fenomena yang sedang dan akan terjadi.

Pemahaman yang benar terhadap anak akan membuat pola dan aksi dalam pendidikan anak usia dini bisa maksimal dan optimal. Mengajak anak untuk senantiasa berpikir juga bisa menjadi media bagi perkembangan anak selanjutnya. Memperlakukan anak sebagai manusia dan juga membiarkan anak tampil sebagai dirinya sendiri pun merupakan pranata pengembangan potensi dan kepribadian anak.14

Di antara tujuan permainan adalah agar anak begitu asyik terhadap dunia atau kecenderungannya. Hal ini sangat penting bagi perkembangan selanjutnya. Anak akan dengan

11

Anggani Sudono, Sumber Belajar dan Alat Permainan (Jakarta: Grasindo, 2006), hlm. vii.

12

Laura E. Beck, Development Throught the Lifespan (New York: Paerson, 2007, fourth edition), hlm. 234.

13 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, terj. Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih (Jakarta: Erlangga, 1978, edisi

keenam), hlm. 210.

(12)

mantap bisa menyambut masa depan jika sejak kecil ia dibimbing untuk memberikan respon terhadap semua hal. Respon yang dilakukan seorang anak juga bisa disebut sebagai bentuk sikap aktif. Apabila menjadikan permainan sebagai bahan kritisasi, maka permainan edukatif-aktif menjadi semua keniscayaan untuk diberikan kepada anak-anak.

Hal ini juga lantaran bermain memberikan manfaat sebagai berikut: bermanfaat untuk berkembangan aspek fisik, untuk perkembangan aspek motorik halus dan kasar, untuk perkembangan aspek sosial, untuk perkembangan aspek emosi dan kepribadian, untuk perkembangan aspek kognisi, untuk mengasah ketajaman penginderaan, untuk mengembangkan

keterampilan olah raga dan menari.15

Manfaat dari segi aspek fisik, seorang anak yang sedang bermain akan bisa memperkuat otot-otot pada tubuhnya. Untuk perkembangan motorik halus, hal itu bisa dilihat saat anak sedang mencorat-coret dinding, begitu juga pada perkembangan motorik kasar, hal itu bisa dilihat ketika ia sedang main kejar-kejar dengan temannya, dan ia berhasil menangkapnya, maka ini menunjukkan bahwa ia terampil dalam menangkap sesuatu, dan seterusnya.

Apabila ditarik pada alat peraga edukatif, tentu permainan sangat sesuai dan berimplikasi

baik bagi anak. Misalnya membuat pesawat terbang dari kertas. Membuat pesawat dari kertas sendiri merupakan jenis permainan yang sangat digemari anak, sebab hasil dari permainan ini bisa langsung dinikmati, selain karena bisa mengembangkan beberapa aspek dalam diri anak.16

Melalui permainan yang membuat anak kreatif, maka anak pun akan terus terpacu untuk menampilkan karya-karya kreatif lainnya, sebagai tandingan dari keberhasilan yang diperolehnya dari permainan sebelumnya. Jika pun alat peraga yang digunakan terbuat dari kertas atau daun, tetapi apabila dikemas dengan baik dan disampaikan dengan bijak, akan menjadi alat peraga yang sugestif, yang membuat anak terbawa dan senang dengan permainan yang dilakukan, kemudian anak pun berusaha mengaktualisasikan permainan tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.

Di antara yang dikeluhkan oleh para guru adalah tidak adanya fasilitas permainan yang mendukung kegiatan belajarnya. Padahal, sebenarnya sangat banyak sekali ”alat alami” yang bisa digunakan. Bahkan, diri seorang guru bisa dijadikan media pembelajaran.

Bermain tebak rupa juga bisa digunakan untuk mengasah ingatan anak. Permainan ini mengajarkan anak untuk fokus dan tenang, seorang guru pun diajari untuk bersikap jujur. Sebab, daya fokus anak memang masih lemah. Jika permainan ini diberikan dengan perhatian saksama kepada anak, dengan memerhatikan perkembangan dan kecenderungan anak, maka anak akan belajar banyak. Ia akan bisa fokus pada apa yang dilihat, diraba, dan didengar.

Dengan lain ungkapan, semua hal yang ada di sekitar tempat proses pembelajaran berlangsung bisa digunakan sebagai alat, sumber, dan media pembelajaran. Semua itu bisa dijadikan alat peraga, yang memiliki berbuntal nilai-nilai edukasi yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Yang diperlukan adalah kesediaan guru dan orangtua untuk mengoptimalkan semua anugerah Tuhan yang ada pada diri mereka.

A.

Fungsionalisasi

Pembahasan ini dan selanjutnya senyatanya bisa dikatakan sebagai elaborasi dan penjelasan dari beberapa deskripsi di atas. Nah, dari deskripsi dan analisis di atas, dapat diberikan titik pijak bahwa agar pengembangan APE berbasis permainan bisa maksimal adalah dengan fungsionalisasi. Artinya, apa pun yang menjadi alat peraga bisa dijadikan bahan ajar atau sumber

15

Mayke S. Tedjasaputra, Bermain…, hlm. 39-45.

(13)

ajar dengan berbasiskan permainan. Pada titik ini, bisa diberikan jabaran lain yaitu fungsionalisasi.

Misalnya, dan ini seringkali dijadikan alasan oleh sekolah dan guru yang ada di daerah terpencil, sebuah sekolah tidak memiliki alat atau media pembelajaran, sebenarnya ia bisa menggunakan sumber yang ada di sekitarnya. Pelepah pisang atau daun pisang bisa menjadi alat peraga edukatif, dengan menjadikannya sebagai alat permainan ”Payung Bersama”.

Awalnya, memang pelepah dan daun pisang tidaklah memberikan banyak arti. Akan tetapi, dengan kreativitas guru, pelepah dan daun tersebut bisa dimaksimalkan menjadi alat peraga edukatif. Tidak hanya itu, atau tidak hanya berhenti sebagai alat peraga edukatif, melainkan juga bisa dijadikan alat bermain anak didik.

Di dalam permainan itu pun bisa diselipkan nilai-nilai pendidikan kepada para anak. Apa yang dilakukan ini merupakan bentuk fungsionalisasi. Semua hal yang awalnya belum banyak memberikan arti dan nilai positif, bisa menjadi sebaliknya bila dikemas dengan baik dan tepat.

Memang benar, dalam hal fungsionalisasi ini, yang memiliki peran sangat besar adalah seorang guru dan orangtua. Seorang guru berperan ketika anak didik berada di lingkungan sekolah, sedangkan orangtua tentu saja berperan ketika anak berada di rumah, meski untuk anak usia dini, peran orangtua begitu fundamental.

Fungsionalisasi memberikan kesan sekaligus penandasan bahwa semua hal bisa memberikan kesan, pesan, dan pengaruh positif, tinggal bagaimana menyiasatinya. Fungsionalisasi menjadi titik pijak untuk senantisa berinovasi memberikan yang terbaik kepada anak didik, khususnya anak usia dini.

Menjadikan alat peraga sebagai bahan permainan memberikan penjelasan bahwa, pada dasarnya, alat peraga hanyalah ”benda mati” yang tidak bisa memberikan kesan dan pesan kepada siapa pun. Dengan semangat fungsi atau fungsionalisasi, maka benda mati tersebut dapat diberdayakan, yang dalam hal ini melalui sebuah permainan.

Anak-anak akan sangat senang jika alat peraga yang ada bisa dijadikan sumber belajar dan sumber permainan mereka. Selain karena menarik secara fisik, alat peraga tersebut juga memberikan daya tarik secara emosional dan intelektual kepada anak-anak. Proses belajar mengajar pun bisa berjalan dengan sangat menarik-sugestif.

B.

Kristalisasi

Tidak hanya berhenti pada fungsionalisasi, setelah sebuah atau banyak alat peraga difungsikan secara optimal dan proporsional, maka yang selanjutnya perlu dilakukan adalah kristalisasi nilai atas alat peraga dan atau alat permainan tersebut.

Main ”Payung Bersama”, misalnya, setelah menjadikan pelepah atau daun pisang sebagai payung yang bisa mengayomi dan melindungi banyak orang, selanjutnya orangtua dan guru bisa memberikan berjalin nilai positif kepada anak bahwa sikap tolong-menolong merupakan sikap yang baik dan terpuji.

(14)

Bermain ”Saling Memberi Hadiah” bisa menjadi salah satu cara untuk memberikan atau menyelipkan kristal nilai yang baik kepada anak. Misalnya, dan ini semua anak kebanyakan memilikinya, di rumah terdapat benda atau mainan yang tidak dipakai lagi. Maka, mainan bisa dijadikan bagian dari mainan ”Saling Memberi Hadiah” tersebut.17

Permisalan dari caranya adalah dengan mengadakan sebuah acara atau lomba kecil untuk anak-anak. Nah, yang berhasil memenangkan lomba tersebut mendapatkan hadiah berupa mainan yang ”tidak terpakai” tersebut. Atau, seorang guru melangsungkan sebuah lomba untuk anak-anak, yang sebelumnya mereka diminta untuk membawa mainan di rumah yang sudah tidak dipakai lagi. Setelah permainan selesai dimainkan, tidak ada juaranya, melainkan semua peserta mendapatkan hadiah. Hadiah tersebut merupakan pertukaran antarsiswa dari mainan-mainan yang dibawanya.

Demikianlah, sebuah permainan tetap harus punya manfaat atau kristal nilai kebaikan di dalamnya.

Semua hal dalam kehidupan ini pada dasarnya bisa atau merupakan alat peraga. Yang diperlukan adalah kreativitas orangtua dan guru. Barang atau benda apa pun, sejatinya, juga bisa menjadi alat peraga yang bisa menunjang dan meningkatkan semangat belajar anak.

Meski demikian, alat peraga tersebut sebenarnya merupakan ”benda mati”, tidak

memberikan manfaat dan pengaruh apa-apa. Agar alat peraga tersebut bisa berdaya gugah, berdaya ubah, dan berdaya guna, maka diperlukan sentuhan halus orangtua dan guru, untuk mengemaskan dalam sebuah aktivitas.

Akan tetapi, aktivitas dengan sumber utamanya adalah alat peraga tidakk jarang malah membuat anak bosan, tidak menikmati, atau tidak fun dengan alat peraga tersebut. Sebagai langkah antisipastif, agar alat peraga tetap menjadi sumber belajar dan anak-anak pun menikmati proses belajar tersebut, bermain atau permainan bisa menjadi salah satu alternatif yang sungguh brilian.

Dunia anak-anak adalah dunia bermain, karenanya mereka akan senang jika diajak bermain. Proses pendidikan atau pembelajaran pun akan berjalan dengan begitu mengasyikkan apabila anak-anak menikmatinya, dan ini akan mudah dicapai dengan permainan.

Apa jenis dan bagaimana cara memeragakan dan mempraktikkan permainan tersebut, orangtua dan guru berperan sangat penting di sini. Titik simpul dari kesukaan anak pada proses belajar tersebut, tentu saja transformasi nilai dan ilmu akan berjalan dengan maksimal. Anak-anak akan berkembang menjadi pribadi dengan kombinasi anggun antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan juga kecerdasan spiritual.

Demikianlah, pengembangan Alat Peraga Edukatif (APE) Berbasis Permainan pun akan bisa memberikan beransum nilai kebajikan dan kearifan bagi anak. Pasalnya, semua hal yang bergelayut di dalam kehidupan ini berusaha ditafsirkan atau dipetik kebaikannya, untuk kemudian dijadikan pranata membingkai kehidupan ini menjadi lebih baik. Dengan memerankan suatu alat peraga yang dikemas dalam sebuah permainan, yang di dalamnya baluran nilai kebersamaan, misalnya, seorang anak sedang menangkap bulir indah kehidupan, dan ini akan terekam pada alam bawah sadarnya. Tabungan kebaikan di dalam diri anak tersebut sangat bermanfaat bagi masa depan dan kehidupannya, yaitu bahwa semua anak bisa berbuat baik.

Alangkah indah jika ini yang terjadi.

17

(15)

Daftar Pustaka dan Daftar Referensi

Asef Umar Fakhruddin. 2009.

Menjadi Guru Favorit

. Yogyakarta: Diva Press.

Beck, Laura E. 2007.

Development Throught the Lifespan.

New York: Paerson, fourth

edition.

Bobbi DePorter dan Mike Hernacki. 2007.

Quantum Learning: Membiasakan Belajar

Nyaman dan Menyenangkan

, terj. Alwiyah Abdurrahman. Bandung: Kaifa.

Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl. 2002.

Accelerated Learning for the 21

st

Century:

Cara Belajar Cepat Abad 21

, terj. Dedy Ahimsa. Bandung: Nuansa.

Hernowo (editor). 2004.

Quantum Writing

. Bandung: Mizan Learning Center.

Hurlock, Elizabeth B. 1978.

Perkembangan Anak.

Terj. Meitasari Tjandrasa dan

Muslichah Zarkasih. Jakarta: Erlangga, edisi keenam.

Khalfan, Mohamed A. 2004.

Anakku Bahagia Anakku Sukses

. Terj. Taufiqurrahman.

Jakarta: Pustaka Zahra.

Kuffner, Trish. 2003.

Play and Learn: 280 Aktivitas Bermain dan Belajar Bersama Anak

.

Terj. Emilia Sekti Ariyanti. Jakarta: Gramedia.

Munif Chatib. 2009.

Sekolahnya Manusia

. Bandung: Kaifa.

Prasetyono, Dwi Sunar. 2008.

Biarkan Anakmu Bermain

. Yogyakarta: Diva.

Sudono, Anggani. 2006.

Sumber Belajar dan Alat Permainan.

Jakarta: Grasindo.

Taufik Pasiak. 2007.

Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk

Kesuksesan Hidup

. Bandung: Mizan.

Tedjasaputra, Mayke S. 2001.

Bermain, Mainan, dan Permainan untuk Anak Usia Dini

.

Referensi

Dokumen terkait

1) Saran lebih ditujukan kepada pemerintah sebagai penentu kebijakan yang dapat mengendalikan implementasi pembangunan yang ada di koridor jalan Babarsari yang sudah mulai

Metode Colored Seismic Inversion (CSI) digunakan untuk melihat sebaran reservoar menggunakan parameter sensitif pada sumur secara lateral pada seismik.. Nilai Vp/Vs

humas untuk merumuskan strategi media relations yang lebih baik, melalui pembentukan hubungan antarpribadi dengan jurnalis yang didasari atas.

10 Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor Dj.I/151/2011 tentang Petunjuk Teknis Pembayaran dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Asumsi atau anggapan dasar adalah sesuatu yang diyakini kebenarannya oleh peneliti yang akan berfungsi sebagai hal yang dipakai untuk berpijak bagi peneliti dalam

Potensi di bidang industri pertambangan tersebut membutuhkan strategi perencanaan dan pengembangan yang lebih komprehensif yang mempertimbangkan beberapa aspek,

PROFIL KREATIVITAS D AN PENINGKATAN PENGUASAAN KONSEP SISWA SMP PAD A MATERI ENERGI D ALAM PEMBELAJARAN IPA BERBASIS STEM.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |