• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Identitas dan Kegiatan Ekstrakur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Politik Identitas dan Kegiatan Ekstrakur"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK IDENTITAS DAN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER Yosal Iriantara1

Abstrak

Selain karena globalisasi, mobilitas masyarakat di Indonesia pun melahirkan perubahan identitas masyarakat. P embentukan identitas tidak lagi terkait dengan lokalitas dan globalisasi

sendiri memberi alternatif identitas baru. F akta sosial ini ditanggapi beragam oleh lembaga pendidikan. Satu di antara alternatif tindakan adalah mengembangkan politik identitas melalui

kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksanakan di lembaga pendidikan tersebut.

Kata Kunci:

politik identitas, kegiatan ekstrakurikuler, globalisasi

‘Our world and our lives are being shaped by the conflicting trends of globalization and identity.’

- Manuel Castells A. Pendahuluan

Globalisasi bisa dipandang dari berbagai perspektif. Ada yang memandang globalisasi sebagai penghancuran identitas-identitas kultural lokal dan mengakselerasi homogenisasi kultural sehingga sering dipandang globalisasi tidak lain merupakan eufimisme dari imperialisme kultural Barat. Namun ada juga yang memandang globalisasi sebagai pemberi harapan bagi peningkatan kualitas hidup karena orang tinggal di dunia yang sama dan berusaha mencapai standar hidup yang sama. Karena globalisasi ada keperdulian terhadap masalah-masalah global seperti pemanasan global dan aksi mengatasi kemiskinan bersama melalui Millenium Development Goals (MDGs).

Dalam pandangan Tomlinson (2003:269), sebelum ada globalisasi kaitan antara lokasi geografis dan pengalaman budaya yang bersifat lokal, otonom, distingtif dan dirumuskan dengan baik, kokoh (robust) dan dipertahankan secara kultural. Hubungan antara lokasi

geografis dan pengalaman budaya itulah yang membentuk ‘identitas budaya’ seseorang atau

sekelompok orang dalam satu komunitas. Kita bisa melihat misalnya, identitas budaya Sunda

1

(2)

ada di Tanah Sunda dengan pengalaman budaya Sundanya. Lebih jauh lagi, Tomlinson melihat, identitas itu bukan hanya menjadi pembeda antara satu kelompok dengan kelompok budaya lainnya melainkan juga merupakan kekayaan kolektif (collective treasure) satu masyarakat, yang merupakan kekayaan yang bisa mudah hilang atau rusak bila tidak dilinudngi dan dijaga dengan baik.

Tomlinson (2003:269) selanjutnya melukiskan bagaimana globalisasi datang dan

menerpa. Dilukiskannya, “globalisasi seperti air bah yang menyapu ke seluruh penjuru dunia dengan keragaman budayanya, menghancurkan lokalitas-lokalitas yang mapan, mengalihkan manusia, membawa ekonomi yang didorong pasar, melakukan homogenisasi yang branded terhadap pengalaman budaya sehingga meruntuhkan perbedaan-perbedaan di antara budaya-budaya yang dirumuskan berdasarkan lokalitas yang membentuk identitas kita.

Identitas sendiri dipandang Tomlinson (2003:270) sebagai daya kultural (cultural power) yang memiliki kekuatan sentrifugal dalam menghadapi globalisasi kapitalisme seperti yang terjadi saat ini. Karena itu, kita bisa menyaksikan bagaimana perlawanan-perlawanan terhadap sapuan globalisasi itu pada tingkat lokal. Banyak kelompok-kelompok masyarakat yang membangun identitasnya untuk menunjukkan identitas kelompoknya di tengah tarikan homogenisasi akibat globalisasi. Fenomena inilah yang diperhatikan baik Tomlinson (2003:270) maupun Medina (2003:655). Dalam pandangan Medina, pada abad ke-20 ini kita menyaksikan perkembangan berbagai gerakan pembebasan seperti gerakan etik dan ras, gerakan perempuan, dan gerakan gay. Hal yang senada dikemukakan juga Tomlinson yang melihat terjadinyan peningkatan yang dramatis gerekan-gerakan sosial yang didasarkan pada posisi-posisi identitas seperti gender, seksualitas, etnisitas, agama dan nasionalitas. Karena itu, misalnya, kini kita bisa menyaksikan perkembangan nasionalisme berbasis etnis atau agama sehingga kita kini mengenal apa yang diistilahkan sebagai nasionalisme etno-religio. Perkembangan seperti inilah yang dalam pandangan Medina dinyatakan dapat disebut sebagai tumbuhnya politik identitas.

(3)

masalah justru menunjukkan resistensi kita untuk bisa menerima perbedaan sebagai bagian dari hidup kita, yang sekaligus juga merupakan pembentuk identitas kita dan komunitas-komunitas yang kita bentuk.

Menarik, di tengah kecenderungan globalisasi tersebut, apa yang dikemukakan Kuah (2003:30). Dia menulis, negara-bangsa (nation-state) jadi ‘terlalu besar’ untuk masalah -masalah lokal pada taraf sub-nasional seperti kekerasan hipernasionalisme dan etnoreligius. Namun negara-bangsa juga menjadi ‘terlalu kecil’ untuk menghadapi masalah-masalah pelaksanaan ekonomi global dan menangani masalah-masalah seperti menurunnya daya dukung lingkungan hidup dan manajemen sumberdaya, dan tidak memadai dalam menanganu permasalahan yang lebih luas dari konsepsi keadilan sosial yang lebih kosmopolitan.

Pada sisi lain, kita juga berhadapan dengan fakta makin beragamnya masyarakat yang tinggal di satu kawasan, khususnya kawasan industrial yang sedang berkembang. Kawasan seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, Surabaya, Pasuruan dan Sidoarjo merupakan contoh masyarakat yang multikultur dan sampai batas tertentu kosmopolit. Warga yang tinggal di kawasan tersebut berasal dari berbagai suku bangsa di Indonesia selain sejumlah warga negara asing. Identitas yang dikembangkan pun tentu bukan lagi identitas lokal yang terikat lokalitas.

Dalam tulisan ini hendak dikaji bagaimana respons sekolah bercirikhaskan Islam terhadap kecenderungan globalisasi tersebut? Identitas seperti apa yang hendak dikembangkan, khususnya melalui kegiatan ekstrakurikuler, mengingat kurikulum yang dipergunakan merupakan kurikulum standar sehingga ruang untuk mengembangkan identitas ada pada ekstrakurikulum? Tanpa perlu mempertentangkan keislaman dan keindonesiaan, apa yang dilakukan sekolah-sekolah tersebut dalam mengembangkan keberagamaan dan nasionalisme? Bagiamana politik identitas yang dikembangkan diwujudkan dalam praktik pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan tersebut?

(4)

kecenderungan yang berkembang di dunia kontemporer dan terasa dampaknya di Indonesia ini.

B. Kajian Pustaka

Akan halnya politik identitas, ada cukup banyak penjelasan tentang hal tersebut. Marshall, S.E. dan Read, J.G. (2003:876) menyebutkan bahwa istilah politik identitas dipakai untuk menjelaskan adanya pemisahan politik yang bersumber dari identitas kelompok dan bukan dari keterpisahan secara ekonomis atau konflik kelas. Bahkan istilah ini dipakai untuk mempertahankan isu-isu identitas kultural yang lebih mengesankan seperti agama, etnisitas, gender dan seksualitas. Lebih jauh lagi, politik identitas ini merupakan produk kompleksitas kehidupan modern, yang menjadi penyebab hancurnya skema identitas yang relatif tetap yang didasarkan pada sistem kekerabatan tradisional. Pandangan seperti ini melihat identitas kelompok sebagai satu variabel, produk wacana dan perdebatan, ketimbang sebagai satu

kategori sosial yang objektif. Oleh sebab itu politik sering tampak sebagai ‘perang budaya”.

Bahkan menjadi kerang untuk menafsirkan peristiwa dan mendorong mobilisasi kolektif. Kuah (2003:13-14) mengutip Robertson yang menyatakan bahwa globalisasi merupakan konsep yang mengacu pada baik kompresi dunia maupun intensifikasi kesadasaran dunia sebagai satu kesatuan, yang di dalamnya ada interdependensi global yang nyata dan kesadaran atas kesatuan dunia yang muncul pada abad ke-20. Senada dengan itu, Giddens yang dikutip Kuah juga menyatakan bahwa dengan globalisasi itu terjadi intensifikasi relasi sosial mendunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas yang jauh sehingga peristiwa-peristiwa lokal dibentuk oleh kejadian yang berlangsung di tempat yang jauh dan sebaliknya. Karena itu, Kuah memandang, sekarang ini ada kesadaran sosial yang lebih besar atas politik dunia kontemporer yang isi-isu, masalah-masalah, tempat-tempat dan orang-orangnya saling berhubungan dan terkait.

Ada satu hal menarik yang dikemukakan Kauh yang mengutip Brown bahwa globalisasi lebih merupakan proses dan bukannya kondisi akhir. Oleh karena itu, Kuah melihat

globalisasi ini sebagai ‘momentum tanpa akhir’ dari transformasi akselerasi ruang dan waktu

(5)

yang mendorong liberalisasi ekonomi –sebagai salah satu wujud globalisasi− seperti KTT APEC dan Pertemuan WTO.

Globalisasi sendiri memang dipandang mendua. Pada satu sisi, kaum neoliberalisme meyakini liberalisasi ekonomi akan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat global karena ada kebebasan arus barang dan jasa. Pada sisi lain, mereka yang antiglobalisasi justru melihat globalisasi merupakan proses pemiskinan global khususnya pemiskinan rakyat di negara-negara berkembang. Kita pun kerap memandang globalisasi sebagai peluang untuk melakukan demokratisasi informasi, pengetahuan dan kesempatan namun pada sisi lain cukup kuat juga kekhawatiran akan rusaknya nilai-nilai sosial karena derasnya arus informasi yang datang dari negara maju (baca: Barat).

Ada respons yang berbeda-beda yang diberikan terhadap globalisasi ini. Berbagai sektor masyarakat dan negara memberikan responsnya masing-masing. Sektor pendidikan pun memberikan respons tersendiri terhadap kecenderungan globalisasi ini. Sekolah-sekolah sudah banyak yang menyediakan fasilitas komputer dan internet serta pembelajaran bahasa asing yang merupakan respons terhadap tuntutan globalisasi. Ini merupakan respons tipikal yang dilakukan sekolah dalam menghadapi derasnya arus perubahan yang berjalan tidak linear itu.

Akan halnya kegiatan ekstra-kurikuler sebagai ruang yang lebih besar untuk merespon globalisasi dalam konteks politik identitas. Oleh karena itu, lembaga pendidikan memiliki ruang yang memungkinkannya berkesempatan menunjukkan identitasnya. Ringkasnya, kegiatan ekstra kurikuler bisa menjadi manifestasi politik identitas meski adanya begitu subtil.

Kegiatan ekstra kurikuler sendiri dapat dimaknai dengan mengacu pada Kamus Mirriam-Webster. Kamus itu menyebutkan kegiatan ekstra kurikuler sebagai kegiatan yang tidak termasuk ke dalam ruang-lingkip kurikulum reguler; atau secara spesifik kegiatan yang terkait secara resmi atau setengah resmi dengan kegiatan siswa yang direstui dan biasanya terorganisasi yang berhubungan dengan sekolah dan umumnya tidak ada kredit akademisnya.

(6)

dikategorikannya ke dua dua kategori model. Pertama, Model Efek Langsung yang menekankan pada pengaruh langsung partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler pada penghindaran kenakalan. Model ini menunjukkan bagaimana kegiatan-kehgiatan ekstrakurikuler secara langsung mempengaruhi sikap atau kepribadian remaja, khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilainya sendiri, soklah, akademik dan kemasyarakatan. Di samping itu membangun emosi positif dan merasa dihargai, memiliki harga diri dan memandang dirinya berharga atau penting dalam lingkungannya.

Kedua, Model Efek Termediasi yang menunjukkan bahwa keterlibatan dalam kegiatan ekstrakurikuler secara tak langsung bisa mencegah kenakalan karena ada interaksi dengan konteks sosial tempat remaja itu bergabung. Model ini menunjukkan bahwa keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler terkait dengan sekolah, sebaya dan lingkungan masyarakat yang akan menentukan pengaruhnya terhadap kenakalan remaja. Dengan menguti David A. Hamburg, Bayran menunjukkan kebutuhan untuk mengidentifikasi tugas-tugas yang secara umum diakui di dalam kelompok sebagai nilai adaptif yang merupakan kebutuhan dasar manusia yang penting untuk menjaga kelangsungan hidup.

Di samping itu, kegiatan ekstrakurikuler pun dipandang menjadi bagian dari pembeentukan kepribadian yang sehat sebagai warga negara termasuk penanaman identitas kultural yang dimiliki siswa. Namun masalahnya, identitas yang dikembangkan menjadi persoalan dalam konteks negara-bangsa, karena mobilitas penduduk. Karena identitas tersebut tidak mungkin terkait ruang atau lokalitas.

Inilah yang ditelaah Grever, Haydn & Ribbens (2008) di Belanda dan Inggris sebagai negara-bangsa yang banyak menerima pendatang dari berbagai benua. Menurut ketiga pakar tersebut, globalisasi, unifikasi Eropa dan migrasi mempengaruhi masyarakat Belanda dan Inggris yang mengakibatkan adanya ketidakpastian pada identitas dan budaya nasional. Mengingat pembentukan identitas setidaknya merupakan bagian dari proses yang berorientasi historis, maka transmisi pengetahuan historis menjadi penting untuk dipertimbangkan sebagai sarana untuk memperkuat kohesi di kalangan pendiuduk dan mengintegrasikan para imigran.

(7)

Data untuk tulisan ini diperoleh melalui wawancara dengan pengola lembaga pendidikan bernafaskan Islam di 6 provinsi, pengamatan dan studi dokumen. Pengelola lembaga pendidikan yang diwawancarai adalah pimpinan yayasan untuk lembaga pendidikan swasta, kepala sekolah, guru dan komite sekolah. Dalam wawancara ditanyakan kurikulum dan kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksanakan di lembaga pendidikan tersebut. Jumlah lembaga pendidikan dan provinsi tempat studi dilakukan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1 Sumber Data

No Provinsi Jumlah Lembaga Pendidikan

1 Sumatera Selatan 6

2 Lampung 7

3 Banten 7

4 Jawa Barat 14

5 Jawa Timur 18

6 Sulawesi Selatan 16

Jumlah 68

Berdasarkan wawancara dan studi dokumen diketahui kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksanakan di lembaga pendidikan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pramuka b. Pencak silat c. Kesenian daerah d. Rebana/Tagoni e. Hadrah

f. Barjanzi g. Sholawatan

h. Keterampilan bahasa asing i. Keterampilan komputer j. Olahraga

(8)

Untuk kesenian daerah tidak terbatas pada kesenian daerah lokasi lembaga pendidikan tersebut. Di Kabupaten Jember ada lembaga pendidikan yang kegiatan ekstrakurikulernya musik kolintang dari Sulawesi Utara. Sedangkan untuk pencak silat, ada beberapa aliran pencak silat yang diajarkan namun biasanya mengacu pada dua aliran besar yakni Cimande dan Cikalong atau variannya seperti TTKDH (Tjimande, Tarikkolot, Kebon Djeruk Hilir). Hal yang menarik dikemukakan adalah lembaga pendidikan yang didirikan oleh warga pendatang. Komunitas Sunda di Sukakarya Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan, di lembaga pendidikan yang mereka dirikan tidak mengajarkan kesenian yang berbau Sunda meski mereka –termasuk anak-anaknya− masih berbicara dalam bahasa Sunda. Mereka mengembangkan kegiatan ekstrakurikuler yang lebih menunjukkan identitas keislaman dan keindonesiaan yakni Pramuka dan Rebana. Sedangkan untuk lembaga pendidikan yang dikelola dan didirikan penduduk Bugis di Kabupaten Luwu yang relatif heterogen memilih kegiatan ekstrakurikuler keterampilan komputer dan bahasa Inggris.

Di Sumatera Selatan bagian Selatan dan Lampung yang merupakan lokasi transmigrasi yang cukup besar pilihan kegiatan ekstrakurikulernya hampir sama yakni memilih identitas keindonesiaan dan keislaman, yakni seni hadrah, shalawatan dan pramuka. Namun untuk kawasan yang berubah dengan cepat di Serang dan Tangerang (Banten) serta Bogor (Jawa Barat) lebih memilih kegiatan ekstrakurikuler yang bernuansa keislaman seperti Rebana/Tagoni, Hadrah, dan Barjanzi.

Untuk nuansa identitas kedaerahan lebih banyak menggunakan ruang dalam kurikulum untuk muatan lokal. Bahasa daerah menjadi muatan lokal di lembaga pendidikan di Bogor, Jember, Situbondo, Banyuwangi, Luwu, Palopo, Luwu Utara, dan OKU Timur. Karena lembaga pendidikan Islam, maka selain bahasa daerah ada juga muatan lokal Baca Tulis al-Quran. Namun tidak demikian halnya untuk komunitas Lombok yang menempati salah satu kawasan di Bupon Pegunungan Kabupaten Luwu Timur, yang lebih memfokuskan kegiatan ekstra kurikuler pada kepramukaan dan Baca Tulis al-Quran.

D. Pembahasan

(9)

dua F yaitu food dan fashion. Pada sisi yang lain, konsep negara-bangsa Indonesia dengan Wawasan Nusantaranya membuat semua wilayah Indonesia bisa didatangi dan ditinggali oleh mereka yang berasal dari bagian lain Indonesia. Bahkan sebagian didorong berdasarkan kebijakan pemerintah seperti melalui program transmigrasi dan dampak ikutan dari pembangunan ekonomi dan industrialisasi yang mendorong perpindahan penduduk dari satu kawasan ke kawasan yang cepat pertumbuhan dan perkembangan perekonomiannya.

Globalisasi juga membangkitkan kembali politik identitas, baik sebagai bentuk perlawanan terhadap globalisasi maupun sebagai kebutuhan kultural untuk tetap memiliki jati-diri di tengah penyeragaman akibat globalisasi. Pada tingkat tertentu, upaya menjaga identitas tersebut bisa merupakan bagian dari politik identitas yang bisa saja dilakukan tidak secara sistematis namun lebih karena kesadaran untuk memiliki akar identitas yang jelas sebagai warga satu kelompok budaya.

Dalam konteks Indonesia, politik identitas yang dikembangkan beberapa kelompok masyarakat sebagai respons atas globalisasi cukup beragam. Ada yang mengembalikan identitas pada agama, etnik dan nasionalisme. Identitas keagamaan menguat selain identitas etnik juga menguat. Pada bebeberapa wilayah di tanah air kita bisa menyaksikan bagaimana penguatan kedua akar identitas tersebut di tengah masyarakat kita. Beberapa tokoh Sunda mengingatkan lagi pentingnya menguatkan identitas kesundaan. Sejumlah organisasi keagamaan juga mendorong penguatan identitas keagamaan tersebut. Meski ada juga yang berusaha memadukan identitas etnik dan agama itu melalui akar etnoreligius.

Akan halnya lembaga-lembaga pendidikan bernafaskan Islam yang merupakan bagian dari tradisi pendidikan di Indonesia, tentu tidak bisa melepaskan diri dari arus perkembangan seperti ini. Harus ada respons dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut. Secara sederhana,

ruang respons tersebut berada dalam kontinum yang pada satu titik “mempertahankan identitas keislaman” dan pada titik lain “menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman”.

(10)

Pada sisi lain, kemudahan-kemudahan tersebut diharapkan atau diidealkan setidaknya pada tingkat gagasan bisa tidak membuat generasi berikut tidak kehilangan identitasnya sebagai muslim. Ini misalnya tercermin pada visi sebuah MI di lingkungan pesantren di

bagian Selatan Jember yang mendambakan lulusannya sebagai orang yang “berhati Mekkah dan berotak Jerman”. Karena itu, identitas keislaman (yang diverbalkan dengan “berhati Mekah”) tetap dipertahankan meski diharapkan anak-didiknya tidak anti kemajuan teknologi dan mampu menerapkan proses berpikir ilmiah yang rasional, yang diverbalkan dengan

“berotak Jerman” tadi.

Namun ada kalnya kontinum tersebut berubah menjadi pendulum. Artinya, goyangannya bisa terlalu berat ke sisi identitas keagamaan dan bisa pula mengarah pada penyesuaian diri dengan perkembangan jaman, khususnya mengarungi arus globalisasi. Padahal pada tingkat

gagasan atau wacana, seringkali diungkap agama sebagai “benteng” atau “penahan” arus

deras perubahan yang makin lama makin menggusur pedoman hidup berdasarkan ajaran agama. Rupanya, agama lebih difungsikan sebagai penahan sesuatu ketimbang sebagai wahana untuk melewati suatu masa yang penuh tantangan atau mengarungi ruang dan waktu yang makin deras arus perubahannya.

Ruang untuk memberikan respons terhadap perubahan tersebut rupanya tak terlalu besar tersedia dalam kurikulum yang terstandar.Maksud ruang untuk memberikan respons dalam kerangka politik identitas tidak begitu besar tersedia. Ruang yang memungkinkan untuk itu adalah kurikulum muatan lokal. Dalam muatan lokal ini tercermin kehendak untuk

mewujudkan “berhati Mekah dan berotak Jerman” itu. Muatan lokal itu ada yang mengisinya dengan pembelajaran bernuansakan keagamaan dan kemampuan komputer dan bahasa asing.

Namun demikian rupanya tersedia ruang yang lebih besar dan cukup leluasa untuk mewadahi respons terhadap perubahan dan perkembangan akibat proses globalisasi, yakni ruang kegiatan ekstrakurikuler. Gagasan politik identitas menemukan lahan persemaiannya untuk bisa mewujud. Identitas keislaman masih bisa dipertahankan dan bila memungkoinkan dikembangkan sehingga siswa lebih siap mengikuti atau bila memungkinkan mewarnai proses globalisasi.

(11)

pendidikannya sendiri maupun identitas yang nantinya disadari peserta didiknya denganidentitas yang berakar pada agama. Dampak penanaman semangat kebergamaan yang toleran bisa dilihat dari kacamata model dampak langsung maupun dampak termediasi dalam kerangkan kegiatan ekstrakurikuler. Artinya, bisa terlihat langsung dari semangat keberagamaan selama mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan tersebut atau setidaknya kegiatan ekstrakurikuler tersebut memungkinkan para siswa untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya sehingga bisa menangkal dampak buruk perkembangan sosial.

Ruang ekstrakurikuler juga menjadi ruang yang aman dan nyaman karena di sinilah apa yang oleh beberapa kalangan selalu dipandang secara dikhotomis justru bersatu dalam harmoni yakni keislaman dan keindonesiaan. Tidak ada pertentangan di antara keduanya. Nilai-nilai keislaman menjadi salah satu penyumbang bagi nilai-nilai keindonesiaan seperti nilai toleransi kehidupan.

Karena itu, politik identitas yang dikembangkan melalui kegiatan ekstrakurikuler ini pun mengacu pada semangat pertemuan keislaman dan keindonesiaan itu. Ini tampak misalnya dengan apa yang dilakukan oleh sebuah lembaga pendidikan keislaman yang cukup besar di Parung, Kabupaten Bogor yang menyelenggarakan upacara bendera Senin pagi. Di lembaga pendidikan yang lain, banyak para siswa yang sore hari mengikuti kegiatan kepramukaan yang menjadi simbol keindonesiaan dan malam harinya mengeikuti pembelajaran agama sebagai simbolisasi dari keislaman.

Globalisasi yang dipandang sebagai proses dengan arus yang besar yang melanda segenap kehidupan publik dan privat warga masyarakat memang bisa menyurutkan identitas yang selama bertahun-tahun atau berabad-abad dipelihara melalui lembaga pendidikan pada

tingkat komunitas dan keluarga. Upaya “perlawanan” terhadap globalisasi itu melalui

kegiatan ekstrakurikuler dipandang sebagai tempat yang paling tepat untuk mempertahankan identitas sekaligus sebagai tempat bersemainya politik identitas.

Menganalogikan dengan konsep respons Islam Indonesia terhadap proses modernisasi

dari Yudi Latief yang dikategorikan menjadi “Islamisasi modernisasi” dan “modernisasi

(12)

berbagai fenomena modern untuk dicarikan solusi syariahnya sehingga Islam siap mengikuti perubahan akibat modernisasi dan memberikan jawaban atas persoalan-persoalan akibat modernisasi.

Dalam kerangka politik identitas ini, ada respon yang menarik untuk diperhatikan yakni keinginan untuk menegakkan dua identitas sekaligus yakni keislaman dan keindonesiaan dalam konteks proses globalisasi. Artinya, sejauh di lembaga pendidikan yang menjadi objek penelitian tidak dikembangkan identitas etnoreligius seperti yang terjadi di beberapa negara, tidak pula etno-nasionalisme melainkan religio-nasionalisme yang dipandang sebagai solusi untuk menghadapi arus globalisasi.

Memang apa yang dilakukan dalam pengembangan politik identitas itu tidak dilakukan secara sistematis seperti halnya dalam literatur politik identitas yang mengkaji kecenderungan berkembangnya politik identitas di beberapa negara. Karena tidak ada upaya sistematis mengembangkan politik identitas itu, maka tidak pula menunjukkan untuk memilih salah satu dari dua kategori berikut: Islamisasi globalisasi dan globalisasi Islam. Kebanyakan lembaga pendidikan tersebut lebih memilih Islam menjadi pedoman yang diamalkan untuk bisa hidup pada era global. Kegiatan ekstrakurikuler menjadi ruang untuk menyemaikan identitas tersebut.

Kenapa pilihan ini diambil? Karena ada kesadaran keislaman dan keindonesiaan bukan dua hal yang bertentangan. Sekaligus juga menunjukkan komitmen terhadap keindonesiaan. Komitmen keindonesiaan itu sebagian karena alasan historis yakni negara ini didirikan juga oleh para ulama yang menyetujui bentuk negara seperti saat ini. Selain itu, ada doktrin di lingkungan Islam ahli sunnah wal jamaah untuk mengembangkan bukan hanya ukhuwah Islamiyah, melainkan juga ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah basyariyah. Ukhuwah wathoniyah itulah yang mendorong terjaganya semangat keindonesiaan tersebut.

Ini merupakan pilihan ketiga –tapi bukan jalan tengah− yang dapat dijadikan alternatif untuk menjaga dan menumbuhkembangkan akar-akar identitas melalui kegiatan ekstrakurikuler. Rupanya pilihan inilah yang diambil oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia sebagai respons terhadap proses globalisasi.

(13)

mengadakan kesepakatan itu. Adapun tujuan dari “negara-bangsa” ialah mewujudkan maslahat umum (dalam pandangan kenegaraan Salaf disebut al-maslahat al-ammah atau al-maslahat al-mursalah, pandangan pengertian general welfare). suatu konsep tentang kebaikan yang meliputi seluruh seluruh warga negara tanpa kecuali.

Pemikiran seperti ini tampaknya berkembang di kalangan pengelola lemnbaga pendidikan tersebut. Karena itu ada keinginan untuk menjaga keindonesiaan dan tidak menghadapkannya secara frontal dengan keislaman. Keduanya bisa berjalan beriringan dan bukan berjalan berlawanan. Keberjalanan beriringan itulah yang menjadi “modal” untuk merespons globalisasi.

Globalisasi tidak dipandang sebagai hal yang menakutkan dan menyeramkan seperti halnya tercermin dalam respons yang diberikan pada kelompok-kelompok antiglobalisasi. Globalisasi justru melahirkan tantangan untuk berubah. Namun perubahan tersebut dilaksanakan dalam kerangka negara-bangsa Indonesia. Ini merupakan repons lokal untuk masalah lokal yang penting untuk diperhitungkan sebagai modus bertindak di tengah perubahan yaitu berpegang pada nilai keislaman dan keindonesiaan menghadapi globalisasi.

E. Kesimpulan

Globalisasi sebegai proses besar melahirkan fenomena keseragaman. Fenomena ini membangkitkan apa yang populer dengan sebutan politik identitas. Melalui politik identitas ini dibangkitkan kembali akar-akar identitas sehingga kita mengenal identitas yang dikembangkan melalui akar etnoreligius atau etnonasionalisme sebagai respons terhadap proses globalisasi.

Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia pun tentu dipengaruhi perkembangan global tersebut. Bagaimana respons lembaga-lembaga pendidikan Islam terhadap kecenderungan tersebut? Lembaga-lembaga pendidikan yang menjadi lokasi penelitian rupanya tidak memilih salah satu dari dua kategori populer respons yakni Islamisasi globalisasi dan globalisasi Islam. Melainkan lebih memilih jalan ketiga yaitu memilih penguatan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan untuk menghadapi arus besar perubahan. Kedua nilai tersebut menjadi acuan untuk menghadapi globalisasi.

(14)

perkembangan jaman dibandingkan dengan ruang kurikuler yang muatanya mengacu pada standar yang ditetapkan. Ini merupakan salah satu kreatifitas yang berkembang untuk membangun politik identitas melalui ruang-ruang yang mungkin tersedia di lembaga pendidikan.

Daftar Bacaan

Bayran, L. A. (1998), The Relationship of Extra -curricular Activities and Adolescent Delinquency. Dokumen www. Dapat diakses: http://amcom.aspensys.com/ ncjrs/txtfiles/fs000169.txt [23 September 2008]

Grever, M., Haydn, T., & Ribbens, K. (2008), Identity and School History: The P erspective of Young P eople F rom the Netherlands and England. British Journal of Educational Studies Vol. 56 , No. 1 , Maret 2008, hlm. 76–94

Kuah, A. (2003), Sovereignty and The P olitics of Identity In International Relations, Singapura: Institute of Defence and Strategic Studies

Latief, Y. (2006) Agama Dan Kebangsaan:Mewujudkan Misi P rofetik Dalam Kehidupan P ublik. Makalah.

Marshall, S.E. dan Read, J.G. (2003), Identity P olitics Among Arab-American Women dalam Social Science Quarterly, Volume 84, Number 4, December 2003, hlm. 875-891

Medina, J. (2003), Identity Trouble: Disidentification and the P roblem of Difference dalam P hilosophy & Social Criticism Vol 29 No 6 hlm. 655–680

Referensi

Dokumen terkait

Sebelum penulis membahas tentang tatacara pelaporan dan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 25 orang pribadi terlebih dahulu akan membahas garis besar tentang Pajak Penghasilan

Untuk keperluan permohonan ini dan selama berlakunya Izin Penggunaan Air Tanah nanti, kami menyatakan tunduk pada semua Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku

Untuk menyamakan jumlah responden antara kelompok kasus dan kontrol, 1 responden pada kelompok kehamilan normal juga dikeluarkan, sehingga jumlah sampel yang

Todd Johnson, seorang manajer proyek senior di FASB yang menyatakan bahwa dewan memerlukan penggunaan yang lebih besar dari pengukuran fair value dalam laporan

Dengan demikian kita tidak perlu khawatir jika pasar saham sedang bearish (harga- harga saham cenderung tutun dalam jangka waktu yang lama), karena jika kita yakin reksadana yang

tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran Problem Solving lebih baik dibandingkan dengan hasil

Hasil tabulasi data terhadap jawaban dari pertanyaan Media Classroom dan Perkuliahan adalah jawaban 53 orang Responden dapat di simpulkan bahwa 72%

The eggs of shrimp Artemia salina was purchased from Biological Laboratory of Islamic State University of Malang, and patchouli alcohol (65.25% purity) was purchased from