• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN FIGUR AYAH DAN IBU DALAM MEMBENTUK (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN FIGUR AYAH DAN IBU DALAM MEMBENTUK (1)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN FIGUR AYAH DAN IBU DALAM MEMBENTUK KEMAMPUAN PENGENDALIAN EMOSI PADA ANAK

Nurhayani

Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN-SU Email: Nurhayani_faktarbiyah1976@yahoo.co.id

Abstrak: Setiap anak memiliki karakteristik yang khas dan khusus yang membedakan mereka dengan teman seusianya. Perbedaan dalam perkembangan emosi membutuhkan perhatian khusus agar anak memiliki kemampuan meregulasi emosi mereka dengan tepat, khususnya anak-anak berkebutuhan khusus yang perlu difahami bahwa sulitnya mereka meregulasi emosi bukanlah karena semata keinginannya tetapi karena kebutuhan mereka akan dukungan orangtua agar mereka memiliki kepercayaan diri pada usahanya untuk meregulasi emosi yang mereka rasakan. Kepercayaan orang tua dan model figur yang mereka amati dalam keluarga berperan dalam membentuk kepercayaan diri anak untuk meregulasi emosinya dan mendorong anak dapat mandiri dan berani mengambil resiko; sehingga anak dapat berperilaku tepat dalam lingkungan sosialnya dan terhindar dari masalah penyesuaian diri dalam hidupnya.

Abstract: Every child has an unic and special characteristic which are different from their peers. The differences in emotional development need to get special care so they can regulate their emotion properly, especially Special children need to be understood that their difficulties to regulate emotion are not because of their will, but they need their parents encourage to make them sure about their effort to regulate their emotion that they feel. Parents’ confidence and figure models that were observed in family contribute in shaping their children’s self confidence to regulate their emotion and encourage them can be independent and be brave take a risk; so they can behave properly in social environment and can be avoided social adapting problems in their life.

Key Words : emotional development, personality

PENDAHULUAN

Munculnya gejolak emosional anak pada hakikatnya merupakan ungkapan kegelisahan konflik perasaan yang dialaminya. Segala yang dialami anak dalam keluarga akan membentuk jiwanya. Jiwa anak menunjukkan tingkat kehangatan dan kasih sayang yang diterimanya. Pemikiran seorang anak tentang bagaimana dirinya terbentuk dari hubungannya dengan keluarga. Perasaan tidak bahagia yang dialami anak dalam keluarganya akan menumbuhkan perasaan benci dan tidak percaya diri sehingga anak akan terpenjara dalam kegelapan iklim psikologis yang membuat anak merasa bahwa dirinya tak mampu, dimusuhi dan terasing dari dunianya sendiri.

(2)

anak-anak pada umumnya maupun kondisi emosi yang dialami oleh anak-anak berkebutuhan khusus. Tulisan ini juga diharapkan dapat membantu orang dewasa dalam memahami dan menyadari kondisi emosi sendiri sehingga tidak berpengaruh buruk terhadap emosi sang buah hati.

Perkembangan Emosi Dan Ekspresinya

Emosi berasal dari kata e-movere yang berarti menggerakkan. Emosi menggambarkan adanya kecenderungan manusia untuk bertindak. Secara sederhana dirumuskan sebagai aktivasi simpatetik, fight or flight, (melawan atau melarikan diri). Menurut Chaplin (2006), perasaan (feelings)

merupakan pengalaman disadari yang diaktifkan baik oleh perangsang eksternal maupun oleh

bermacam-macam keadaan jasmaniah. Maka emosi dapat dirumuskan sebagai satu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku. Karena itu emosi lebih intens daripada perasaan sederhana dan biasa, dan mencakup pula organisme selaku satu totalitas.

Emosi adalah psikologis yang merupakan pengalaman subjektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh. Dan bahwa emosi itu timbul karena pengaruh perubahan jasmaniah atau kegiatan individu. Misalnya menangis itu karena sedih, tertawa itu karena gembira. Sedangkan menurut Lindsley bahwa emosi disebabkan oleh pekerjaan yang terlampau keras dari susunan syaraf terutama otak, misalnya apabila individu mengalami frustasi, susunan syaraf bekerja sangat keras yang menimbulkan sekresi kelenjar-kelenjar tertentu yang dapat mempertinggi pekerjaan otak, maka hal itu menimbulkan emosi. Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak (Santrock, 2011: 25).

Menurut Syamsu Yusuf (2000), emosi antara orang dewasa dan anak-anak memiliki perbedaan. Ciri-ciri yang membedakan emosi anak-anak dan orang dewasa adalah :

Emosi anak Emosi orang dewasa

1. Berlangsung singkat dan berakhir tiba-tiba

2. Terlihat lebih hebat/kuat 3. Bersifat sementara/dangkal 4. Lebih sering terjadi

5. Dapat diketahui dengan jelas dari tingkahnya

1. Berlangsung lebih lama dan berakhir dengan lambat

2. Tidak terlihat hebat/kuat 3. Lebih mendalam dan lama 4. Jarang terjadi

(3)

Ekspresi emosi dikemukakan oleh Kring, Smith and Neale (1994 :934) sebagai berikut:“Emotional expressions refer to the simply to the outward display of emotion, regardless of valence (positive or negative) or channel (facial, vocal or gestural). Emotional expression is observable verbal and nonverbal behavior that communicates emotion. Emotional expression can occur with or without self-awareness. An individual can control such expression, to some extent, and may have deliberate intent in displaying it”.

Dalam perspektif Islam, segala macam emosi dan ekspresinya diciptakan oleh Allah melalui ketentuannya. Emosi diciptakan oleh Allah untuk membentuk manusia yang lebih sempurna. Dalam Al Qur’an dinyatakan :

Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan manusia tertawa dan menangis, dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan menghidupkan. (QS. Al Najm [63] : 43-44) 1

Dalam memberikan petunjuk pada manusia, Al Qur’an dan hadits banyak membahas tentang berbagai jenis ekspresi emosional manusia ketika menghadapi atau mengalami sesuatu. Ekspresi yang ditampilkan sangat kaya termasuk ekspresi primer dan emosi sekunder.

Emosi primer adalah emosi dasar yang dianggap secara biologis yang telah terbentuk sejak awal kelahiran. Diantara emosi primer adalah gembira, sedih, marah dan takut. Sedangkan emosi sekunder merupakan emosi yang lebih kompleks dibandingkan emosi primer. Emosi sekunder adalah emosi yang mengandung kesadaran diri atau evaluasi disi, sehinga pertumbuhannya tergantung pada perkembangan kognitif seseorang. Contoh : malu, iri hati, dengki, sombong, angkuh, bangga, kagum, takjub, cinta, benci, bingung, terhina, sesal dan sebagainya. Beragam emosi ini timbul dalam diri manusia pada kondisi dan situasi tertentu dan pengendaliannya ditentukan oleh kemampuan yang berbeda-beda pada masing-masing individu itu sendiri. Ketika seseorang dilanda emosi, maka akan terjadi perubahan fisiologis (Hasan, Aliah B. Purwakania, 2006 : 24). Mengubah kondisi kejiwaan seseorang

merupakan sarana pengendalian emosi untuk menghilangkan ketegangan otot dan syaraf. Rasulullah SAW mengajarkan cara untuk mengendalikan berbagai emosi (Najati, Muhammad Utsman. 2004 :71), sebagai berikut :

(4)

1. Rasa cinta

Rasa cinta merupakan gejolak emosi yang menuntun seseorang untuk berperilaku sesuai yang diinginkan oleh yang dicintai guna memperkuat hubungannya dengan yang dicintai. Orang yang hanyut dalam perasaan cinta akan menjadikannya bersikap patuh, tunduk bahkan menyerahkan diri sepenuhnya. Oleh karena itu, cara pengendalian diri terhadap rasa cinta ini adalah dengan menempatkan rasa cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya pada posisi terdepan bagi orang yang beriman. Allah SWT berfirman :

“Katakanlah : jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Ali Imran : 31)

2. Rasa takut

Rasa takut merupakan emosi yang dirasakan seseorang pada situasi yang akan menimbulkan rasa sakit, bahaya dan terancam. Studi eksperimen modern menunjukkan bahwa jika kadar takut seseorang seimbang atau tidak berlebihan akan mendorong seseorang melakukan tugas dengan sebaik-baiknya (Najati, Muhammad Utsman : 96). Namun jika kadar ketakutannya tersebut sangat berlebihan maka akan menyebabkan kegoncangan pada jiwa.

“ Sesungguhnya mereka adlah orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang yang khusyu’ kepada Kami.” (Q.S. As Sajadah :16).

3. Rasa marah

Rasa marah merupakan emosi yang muncul ketika salah satu motivasi yang mendasar tidak terpenuhi karena ada hambatan tertentu yang menghalangi untuk mencapai tujuan. Tingkat kemarahan seseorang dapat diukur sesuai dengan tingkat motivasi yang terhambat dan tujuannya dalam memenuhi motivasi tersebut (Najati, Muhammad Utsman, 2004 : 100). Dengan demikian tingkat kemarahan setiap orang sangat beragam sesuai dengan tingkat

hambatan dalam memenuhi motivasi dan tujuan yang ingin dicapai dalam memenuhinya. Namun factor keturunan yang terbentuk dari pengalaman yang diperoleh melalui proses

(5)

“Sesungguhnya marah adalah bara api yang ada dalam hati anak Adam Alaihi salam: Tidakkah kalian lihat matanya yang merah urat lehernya naik?”

4. Rasa benci

Rasa benci merupakan emosi yang terkait dengan emosi kemarahan atau sesuatu yang myebabkan kemarahan dan kebencian (Najati, Muhammad Utsman : 106).

5. Rasa cemburu

Rasa cemburu merupakan suatu emosi yang menggelisahkan yang biasanya muncul ketika

seseorang merasa ada orang lain menyaingi dirnya dalam mencintai seseorang (Najati, Muhammad Utsman : 115). Dari Jabir bin ‘Atik, bahwa Rasulullah SAW pernah berkata :

“Ada rasa cemburu yang disukai oleh Allah SWT dan ada rasa cemburu yang dibenci oleh Allah SWT. Rasa cemburu yang disukai oleh Allah SWT ialah benci dalam hal

yang mencurigakan. Adapun rasa cemburu yang dibenci oleh Allah SWT ialah selain yang mencurigakan.” (HR. Abu Dawud)

Rasa cemburu (envy) meningkat dari perasaan seseorang yang berada dalam defisit dibandingkan dengan orang lain (orang lain lebih baik dalam segala hal dan dari yang dimiliki), sementara rasa cemburu yang mengarah pada iri hati (jealousy) berhubungan dengan perasaan yang kehilangan karena apa yang dimiliki saingan (George A. Panichas,2003 :2).

6. Rasa malu

Rasa malu merupakan suatu kondisi emosional ketika seseorang merasa takut dan menyesal

karena melakukan suatu perbuatan tercela dan buruk. Menurut Syaikh Anas Ismail Abu

Daud, malu adalah menahan diri dari melakukan sesuatu karena takut pada celaan (Humaedi,

Ahmad, 2007: 17). Diriwayatkan oleh Syaikhan, Abu Dawud; Ahmad dari Abdullah bin Mas’ud (dalam Nashif, jilid 5 : hal.59) bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Salah satu pernyataan kenabian pertama yang lumrah diketahui oleh setiap manusia adalah jika kamu tidak merasa malu melakukan apa saja yang kamu kehendaki”. (Najati,

Muhammad Utsman : 115).

(6)

seorang professor Harvard di akhir abad ke-19, merupakan pendukung yang menganggap bahwa perubahan-perubahan fisik yang terjadi ketika mengalami emosi tanpa adanya persepsi, maka emosi yang tampak akan menjadi terbatas dan kurang berwarna. Menurut James, bahwa saat seseorang mengalami suatu emosi, maka tubuh bereaksi seperti sebuah papan yang dibentur oleh gerakan syaraf yang menciptakan gelombang-gelombang perubahan yang kemudian dapat dirasakan oleh otak sebagai kualitas perasaan emosional (quality of emotional feeling). Dengan demikian, jenis dan perbedaan emosi tidak tertentu sebagaimana pola-pola yang diciptakan oleh

gerakan saraf secara menyeluruh, dan jenis-jenis emosi yang berubah-ubah menurut teori.

B.Perkembangan Emosi anak

Kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada pada bayi yang baru lahir seperti menangis, tersenyum dan frustasi. Bahkan beberapa peneliti percaya bahwa beberapa minggu setelah lahir bayi dapat memperlihatkan bermacam-macam ekspresi dari semua emosi dasar, termasuk kebahagiaan, perhatian, keheranan, ketakutan, kemarahan, kesedihan dan kebosanan sesuai dengan situasinya (Campos et al.,1983 dalam Desmita., 2006 : 19).

Untuk mengetahui apakah bayi benar-benar mengekspresikan emosi tertentu, Carroll Izard (1982 dalam Desmita., 2006) telah mengembangkan suatu system pengkodean ekspresi wajah bayi yang berkaitan dengan emosi tertentu yang dikenal dengan Maximally Disciminative Facial Movement Coding System (MAX). berdasarkan system klasifikasi Izard, diketahui

beberapa ekspresi emosi selama masa bayi, yaitu : kegembiraan tertawa diekspresikan pada usia 4 bulan, ketakutan pada usia 5 hingga 8 bulan, dan emosi-emosi yang lebih rumit seperti malu, kebingungan, rasa bersalah, cemburu, dan kebanggaan diekspresikan selama anak belajar berjalan.

Ekspreksi berbagai emosi saat bayi mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan anak. Menurut Bretherton (1981 dalam Desmita, 2006 : 20) menyebutkan 3 fungsi utama ekspresi emosi bayi, yaitu (1) adaptasi dan kelangsungan hidup, (2) regulasi, dan (3) komunikasi. Sehubungan dengan fungsi penyesuaian diri dan kelangsungan hidup, berbagai ketakutan (seperti takut gelap atau takut akan perubahan tiba-tiba di dalam lingkungan), adalah

(7)

Pada saat bayi lahir, emosi hampir tidak terbedakan sama sekali namun seiring dengan bertambahnya usia maka berbagai reaksi emosional akan lebih terbedakan dan dapat ditimbulkan oleh berbagai macam rangsangan. Ada dua ciri khusus emosi yang ada pada bayi. Pertama, emosi bayi sangat berbeda dengan emosi remaja dan orang dewasa. Emosi bayi

misalnya, disertai oleh reaksi perilaku yang terlampau hebat bagi rangsangan yang menimbulkannya, terutama dalam hal marah dan takut. Emosi-emosi itu singkat saja tetapi kuat; sering muncul tetapi bersifat sementara dan berubah menjadi emosi lain kalau perhatian bayi

dialihkan. Kedua, emosi pada bayi lebih mudah dibiasakan pada masa bayi dibandingkan pada periode-periode lain. Hal ini disebabkan karena terbatasnya kemampuan intelektual bayi

sehingga mereka mudah dan cepat bereaksi terhadap rangsangan yang pada waktu lalu membangkitkan reaksi emosional.

Reaksi emosional pada bayi berbeda terhadap beberapa rangsangan tertentu yang berlainan, bergantung sebagian besar pada pengalaman yang dialami bayi sebelumnya. Perbedaan-perbedaan dalam reaksi emosi dipengaruhi oleh berbagai factor, terutama kondisi-kondisi fisik dan mental dari bayi pada saat munculnya rangsangan dan berhasil tidaknya reaksi yang pernah diberikan sebelumnya dalam memenuhi kebutuhannya. Jika pada pengalaman sebelumnya, bayi dihukum karena menarik, menggigit atau merobek sesuatu, ia akan memuaskan rasa ingin tahunya dengan pendekatan tanpa tangan, hanya melihat benda dan menyentuhnya.

Menurut Hurlock (1980 : 76), ungkapan-ungkapan emosi pada bayi merupakan bentuk prabicara yang efektif karena bagi bayi tidak ada yang lebih ekspresif daripada isyarat-isyarat wajah yang oleh bayi digunakan untuk mengatakan keadaan emosinya kepada orang lain. Misalnya, kalau bayi merasa senang, ia menenangkan badannya, melambaikan lengan dan kaki, tersenyum dan menyuarakan bunyi-bunyi sepertuk bentuk tertawa. Ungkapan emosi merupakan bentuk prabicara yang bermanfaat karena dua alas an. Pertama, karena bayi belum mempelajari

pengendalian emosi, maka mudahlah b agi orang lain untuk mengetahui emosi apa yang mereka alami melalui ungkapan-ungakapan wajah dan badan. Kedua, bayi lebih mudah mengerti orang

lain melalui ungkapan wajah daripada melalui kata-kata. Kalimat “saya marah,” misalnya mungkin tidak banyak berarti atau tidak berarti sama sekali bagi bayi dibandingkan dengan ungkapan wajah yang marah yang cepat dimengerti.

(8)

penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial yang baik dan untuk pola-pola perilaku yang akan menimbulkan kebahagian. Bayi yang hidup dalam lingkungan di mana ia diabaikan atau dikenakan hukuman dan bayi yang sering sakit akan lebih banyak menangis karena marah atau takut daripada tersenyum atau menunjukkan emosi senang lainnya. Sebaliknya bayi yang hidup dalam kondisi fisik yang sehat/lebih baik atau hidup dalam lingkungan yang merangsang emosi yang menyenangkan dan di mana ia merasa dilindungi, maka dominasi emosi adalah emosi senang (Hurlock, 1980).

Pada semua usia, kuatnya emosi senang merupakan jaminan untuk penyesuaian yang baik. Bayi yang mengalami lebih banyak emosi senang meletakkan dasar-dasar untuk penyesuaian

pribadi dan penyesuaian social yang baik dan untuk pola-pola perilaku yang akan menimbulkan kebahagiaan. Kondisi mana yang lebih kuat bergantung pada banyak penyebab dan frekuensi seringnya yang menjadikan bayi tidak bahagia. Secara normal, tahun pertama umumnya merupakan salah satu masa yang membahagiakan. Sebaliknya pada tahun kedua, bayi akan merasa kurang bahagia dari pada tahun sebelumnya (Hurlock, 1980: 34).

Setelah melewati masa bayi yang penuh ketergantungan, yakni kira-kira usia 2 tahun sampai saat anak matang secara seksual, yakni kira-kira usia 13 tahun untuk wanita dan 14 tahun untuk pria. Selama periode anak-anak terjadi sejumlah perubahan yang signifikan, baik secara fisik maupun psikologis. Beberapa ahli membagi masa anak-anak menjadi dua, yaitu masa anak-anak awal yang berlangsung dari umur 2 tahun sampai 6 tahun, dan masa anak-anak akhir dari usia 6 tahun sampai saat anak-anak matang secara seksual. Anak berusia tujuh sampai dua belas tahun menurut Hasan (2006: h.168) menunjukkan keterampilan regulasi diri dengan variasi yang lebih luas. Anak mulai mengetahui kapan harus mengontrol ekspresi emosi sebagaimana juga mereka menguasai keterampilan regulasi perilaku yang memungkinkan mereka menyembunyikan emosinya dengan cara yang sesuai dengan aturan sosial.

Remaja usia 12-18 tahun (Hasan, 2006 : h.170-171) mulai memiliki banyak

perbendaharaan untuk mendiskusikan dan mempengaruhi keadaan emosi diri mereka sendiri dan orang lain. Remaja lebih dapat menerjemahkan sistuasi sosial sebagai bagian dari proses

(9)

pekerjaan, nostalgia masa sekolah, kecenderungan untuk memegang pendapat, kebosanan terhadap interaksi sosial, stres terhadap kemampuan finansial dan kesepian. Banyak diantara mereka yang mengalami emosi ’abu-abu”. Interaksi emosional yang intensif pada masa remaja pada masa ini menjadi lebih halus dan lebih pribadi.

Setelah mencapai awal usia 30-an, umumnya menjadi lebih tenang. Mereka diharapkan memiliki kematangan emosi dengan karakteristik yang sangat mengontrol emosi yang lebih baik, kepribadian yang lebih stabil, kemampuan mengatur diri yang lebih baik, lebih serius

dalam menghadapi masalah sulit dan sebagainya. Memasuki usia 40-an, mereka dapat mengalami krisis usia pertengahan (midlife crisis). Emosi yang dialami umumnya merasakan

keraguan dan kecemasan terhadap kenyataan bahwa kehidupan mereka telah dilewati setelahnya.

Perkembangan Emosi Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus seringkali diasumsikan sebagai pribadi yang sulit dimengerti. Hal ini sering disebabkan karena anak berkebutuhan khusus sulit menyampaikan pikiran-pikiran dan perasaannya kepada kita. Kita sering tidak sabar dan langsung memberikan asumsi yang salah pada anak-anak yang sebenarnya harus dicari cara-cara khusus dengan penuh kesabaran dalam mengungkap apa yang sebenarnya mereka rasakan dan pikirkan sehingga kita tidak salah dalam memperlakukan mereka dan membimbing mereka dalam menggali dan mengembangkan segenab potensi yang mereka miliki.

1. Anak Autis

Autisme (gangguan autistik) berasal dari bahasa Latin, auto: “self”/diri sendiri; ismus: kondisi (Child’s apparent self-absorption). Menurut Frith, Morton & Leslie (1991 dalam Aswin, 2006), autisme terjadi karena adanya abnormalitas otak yang mencegah seseorang untuk membentuk “theory of mind” yakni ketika seseorang tidak mampu memprediksi dan menerangkan perilaku orang-orang lain berkaitan dengan status mental mereka atau dapat dikatakan autis ketidak mampuan membaca pikiran/pandangan/ pendapat orang lain.

Abnormalitas otak menyebabkan abnormalitas pada kemampuan afektif, kognitif dan perilaku sehingga menyebabkan munculnya gangguan pada kemampuan sosialisasi, komunikasi dan imajinasi.

Gambaran emosi anak autis bisa dilihat pada kisah Tito, seorang anak yang dideteksi

(10)

menuliskan perasaannya di luar keheningan. Menurut Dr. Samue Smithyman, tulisan Tito telah menggugurkan asumsi yang kita miliki mengenai autisme (Mukhopadhyay, 2005). Tulisan-tulisan Tito merupakan karakteristik seseorang dengan gangguan autis yang pada dasarnya berkutat di seputar diri sendiri dan pengalaman pribadinya. Dalam tulisannya Tito mengungkapkan bahwa pemikiran-pemikirannya lebih luas dari pada ekspresinya sehingga sulit menemukan bentuknya. Setiap gerakan yang dilakukan merupakan ungkapan ketidakberdayaan karena merasa terjebak pertanyaan-pertanyaan dalam benaknya dalam alur peristiwa yang

berkesinambungan, yakni kesinambungan sebab dan akibat. Akibat dari suatu sebab menjadi sebab dari akibat yang lain. Cara mengekspresikan diri dilakukan tidak dengan berbicara tetapi

melalui amarah yang penuh frustrasi karena merasa tak seorang manusiapun disekelilingnya yang cocok dan selalu menganggapnya sebagai badut yang ditonton. Rasa sedih mampu dirasakan dalam suasana yang menyedihkan, tetapi rasa kesedihan itu tidak dapat diperlihatkannya sehingga dirinya merasa bingung mengapa ia tertawa dan tidak menangis dalam situasi seperti itu.

2. Anak Gifted

Anak Gifted adalah anak yang memiliki pembawaan kecakapan (bakat intelektual) sejak lahir dengan IQ + 125-150; dan mampu mengerjakan tugas-tugas mental yang mempunyai kadar kesukaran yang tinggi (Tirtonegoro, 2001). Menurut beberapa ahli tingkatan IQ, yaitu 130 -140 merupakan moderate gifted, 140-150 merupakan high gifted, dan >150 merupakan genius (Tiel, 2004). Tingginya aspek intelektual pada anak berinteligensi tinggi mempunyai pengaruh sangat besar terhadap faktor personalitasnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Webb (1993 dalam Lovecky 1997) ada beberapa konsekuensi dari potensi intelektual anak berinteligensi tinggi, yang dapat menimbulkan pemasalahanpermasalahan yaitu daya tangkap yang cepat dapat menimbulkan ketidaksabaran, adanya tingkat penalaran yang tinggi menjadikan anak menetapkan standar perilaku yang tinggi bagi diri sendiri dan orang lain, kadang-kadang bersikap dominan dan suka mengatur bahkan kurang toleran pada orang lain, ada kecenderungan perfeksionistik, kreativitas yang tinggi membuat anak cepat bosan dengan rutinitas dan kadang menyalurkan

energinya dengan mengganggu orang lain dan cenderung hiperaktif.

(11)

beberapa tahun diatas usianya. Suatu kecepatan perkembangan yang serupa terbukti pada domain sosio-affektif (Gross, 1998). Anak gifted menunjukkan karakteristiknya dengan kemampuan berfikir yang cepat, pengetahuan konseptual dan kreativitas yang tinggi, bersikap menjauhi atau menghindar dan merasa tidak nyaman dengan ketidakseimbangan (Kitano, 1985 dalam Harrison, 2004). Kompleksitas kognitifnya membangkitkan kedalaman emosi, sehingga anak gifted tidak hanya berfikir secara berbeda dari anak seusianya, melainkan juga merasa dengan cara yang berbeda.

Penelitian Wandasari (2004) membuktikan bahwa sebagian besar anak gifted memiliki

tingkat sensitifitas perasaan yang tampak lebih menonjol dibanding anak seusianya. Sensitivitas emosional dan kapasitas untuk berempati dan merasa kasihan dapat dilihat pada beberapa anak gifted sejak dini. Kompleksitas kognitifnya membangkitkan kedalaman emosi. sehingga anak gifted tidak hanya berfikir secara berbeda dari teman sebaya, melainkan juga merasa dengan cara yang berbeda (Gross dan Silverman, dalam Gross, 1998). Hal ini sesuai dengan penegasan Silverman (1993 dalam Lovecky, 1997) bahwa kepekaan emosional merupakan salah satu ciri anak gifted yang perlu diarahkan agar tidak menghambat relasi anak dengan orang lain. Kepekaan perasaan yang intensif merupakan satu kerentanan yang dialami anak gifted, dimana kepekaan tersebut mengarahkan anak gifted untuk mempersepsi sinyal-sinyal sosial secara tidak tepat sehingga mereka cenderung mereaksi sinyal-sinyal tersebut secara berlebihan. Terdapat ambang batas tertentu dimana kepekaan perasaan yang intensif mempersulit anak gifted dalam melakukan penyesuaian sosial yang adaptif.

3. Emosi Down Syndrome

Down’s syndrome disebabkan oleh adanya penyimpangan kromosom atau kromosom yang abnormal. Down’s syndrome disebut juga trisomi 21, antara lain Mongoloid. Cirinya kepala kecil, mata sipit seperti orang Mongolia, gendut, pendek, lidahnya menonjol, hidung pesek, kaki dan tangannya agak lain, umungan mengalami gabungan jantung dan tidak berusia lebih dari 40 tahun, IQnya antara 40-50, umumnya ramah dan periang (Nur’aeni, 1997). Kasus anak-anak yang terlahir dengan menderita down’s syndrome sungguh memprihatinkan sehingga memicu dilakukannya berbagai upaya agar dapat meminimalkan angka kelahiran bayi down’s syndrome. Namun demikian tentunya tidak lalu mengesampingkan bayi down’s syndrome, karena mereka tetap perlu diupayakan untuk dapat hidup maksimal. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan memperhatikan dan membantu perkembangan emosionalnya.

(12)

dengan down’s syndrome cendrung lebih bersahabat, bahagia, dan penuh kasih sayang. Meskipun sebagian kecil dari mereka juga kadang berperilaku agresif dan bersikap bermusuhan. Tingkah laku sosial dan emosi pada sebagian anak-anak yang menderita down’s syndrome terkadang juga menunjukkan emosi yang labil atau mudah tersulut, hiperaktif, sering tampak murung, melamun tepai senang berkelahi dan berteriak-teriak dan jika bermain senang dengan anak yang lebih muda dan sering bermasalah dalam hal buang air kecil dan besar (Nur’aeni, 1997).

Suatu penelitian yang memfokuskan pada ekspresi emosi dan pengenalan bayi yang menderita down’s syndrome pada bulan-bulan pertama kelahirannya (Fernando Carvajal dan Jaime Iglesias, 2002) menunjukkan bahwa secara mendasar kerusakan kromosom yang terjadi sejak lahir tentunya akan membawa kesulitan baik dalam perkembangan kognitifnya maupun proses belajar selanjutnya, sehingga pemahaman terhadap perkembangan emosi menjadi penting diperhatikan. Hal ini tentunya tergantung dari kemampuan merespon secara social, waktu bereaksi, bentuk reaksi yang dilakukan dari orang sekitarnya terutama ibu. Penelitian ini menggunakan pendekatan serta metode terhadap anak down’s syndrome dan anak yang tidak menderita down’s syndrome (sebagai pembanding) untuk mengetahui bagaimana ekspresi wajah bayi-bayi tersebut serta perilaku emosionalnya selama berinterasi dengan ibunya atau dengan orang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam perkembangan emosional, hubungan interaksi bayi (yang menderita down’s syndrome maupun yang tidak) dengan ibunya memperlihatkan rangkaian ekspresi wajah dan berbagai perubahan perilaku yang selaras dan saling tergantung meskipun pada bagian tertentu berbeda karena terkait dengan kondisi anak down’s syndrome (kelainan kromosom).

Respons yang diperlihatkan oleh anak down’s syndrome seperti ekspresi emosinal, prosesnya terjadi di bawah kontrol selaput otak. Dalam kaitannya dengan penelitan ini bahwa anak dengan down’s syndrome sesungguhnya mengalami keterbelakangan psikomotorik yang terdiri dari dua hal yakni :

a. Secara umum mengalami muscular hypotonia sejak lahir sehingga kesulitan untuk bereaksi terhadap lingkungan sekitar

b. kurangnya integrasi sesorimotorik yang berhubungan dengan pengamatan balik (visual feedback)

C. Pengaruh Kapasitas Kognitif Terhadap Perkembangan Emosi Anak

(13)

keadaan emosinya kepada orang lain. Misalnya, kalau bayi merasa senang, ia menenangkan badannya, melambaikan lengan dan kaki, tersenyum dan menyuarakan bunyi-bunyi seperti bentuk tertawa.

Ungkapan emosi merupakan bentuk prabicara yang bermanfaat karena dua alasan. Pertama, karena bayi belum mempelajari pengendalian emosi, maka mudahlah bagi orang lain untuk mengetahui emosi apa yang mereka alami melalui ungkapan-ungkapan wajah dan badan. Kedua, bayi lebih mudah mengerti orang lain melalui ungkapan wajah daripada melalui kata-kata. Kalimat “saya marah,” misalnya mungkin tidak banyak berarti atau tidak berarti sama sekali bagi bayi dibandingkan dengan ungkapan wajah yang marah yang cepat dimengerti (Hurlock, 1980 :85).

Seiring dengan bertambahnya usia anak, bertambah pula kemampuan berfikirnya untuk mengungkapkan emosi yang dirasakannya. Pemikiran seorang anak tentang bagaimana dirinya terbentuk dari hubungannya dengan lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan keluarga dimana anak tumbuh dan dibesarkan. Sebagaimana Piaget, Kohlberg (dalam Syah, 2000) juga menekankan bahwa pemikiran moral seorang anak, terutama ditentukan oleh kematangan kapasitas kognitifnya. Sedangkan di sisi lain, lingkungan sosial merupakan pemasok materi mentah yang akan diolah oleh ranah kognitif anak tersebut secara aktif. Membentuk suatu perilaku anak, memerlukan suatu ilmu dengan memasukkan informasi, gagasan-gagasan dan nilai-nilai dari luar dirinya. Hoffman (dalam Staumb, 1978), mengembangkan ide internalisasi nilai-nilai baik dan buruk sebagai berikut :

“Individu tidak lagi memandang norma-norma sosial secara eksternal dan tidak memandang sebagai sesuatu yang memaksanya untuk. Orang tua menyajikan panduan yang diinternalisasi sehingga anak-anak berperilaku mengacu nilai-nilai, bahkan ketika otoritas eksternal tidak berada di sisi anak-anak untuk mengawasinya. Pengendalian yang semula dilakukan orang lain digantikan dengan pengendalian oleh diri sendiri”.

Seorang anak yang semakin mahir memproses informasi sosial akan semakin mampu

merespons situasi sosial dengan tepat. Kenneth Dodge dan rekan-rekannya merumuskan sebuah teori yang menggambarkan proses mental yang terlibat dalam menilai informasi sosial. Model

(14)

memilih respons sosial yang tepat. Berikut model pertukaran informasi pada anak

Model pertukaran informasi di atas menjelaskan bahwa stimulus sosial yang muncul diproses oleh pemikiran anak melalui lima tahap :

1) Encoding. Anak pertama harus memberi kode/lambang terhadap stimulus sosial. Hal ini

membutuhkan bahwa anak memperhatikan dengan tepat dan cukup memahami signal sosial. Anak harus mengetahui isyarat apa yang penting untuk mengkodekan sesuatu. Misalkan, apakah anak menyambut/membalas senyuman atau mengerutkan dahi (menunjukkan tidak suka) merupakan suatu isyarat sosial yang penting.

2) Interpretation. Sekali memberikan kode, informasi sosial harus diterjemahkan. Apa maksud informasi ini? Untuk menentukan makna/arti, anak harus membandingkan informasi ini dengan apa yang mereka sudah ketahui. Apa yang diartikan anak jika ia disambut dengan senyuman? Hal ini akan tergantung pada apa yang anak ketahui mengenai senyuman yang lain dalam situasi yang sama. ” ketika saya mendekati sekolompok anak saya tahu siapa yang siap bermain, senyuman biasanya suatu tanda menerima. Tetapi ketika Marvin tersenyum pada saya, biasanya berarti dia akan memberikan kesempatan pertama yang didapatnya.” anak-anak mengembangkan peraturan untuk menerjemahkan tanda-tanda sosial. Peraturan tersebut mungkin tidak disadari dan dilakukan dalam waktu sangat cepat

3) Response search. Sekali suatu interpretasi telah dibuat, anak harus memutuskan apa tindakan selanjutnya. Anak harus mengeneralisasi berbagai alternatif/pilihan respons. Dengan usianya, anak semakin banya memiliki kemampuan/kepintaran melakukan pilihan, yang mana perilaku yang merupakan model untuk dianggap sebagai anak yang memiliki kompetensi sosial. 4) Response evaluation. Ketika respon telah digeneralisasi, maka respon-respon tersebut harus

dievaluasi. Misalnya memukulnya sebelum dia memukul saya, atau mungkinkah ada pilihan

(15)

lain yang lebih bijaksana? Pada apa yang dapat diatasi anak akan akibat perilakunya, anak akan memilih respon alternatif yang paling baik dalam situasi sekarang.

5) Enactment. Akhirnya, anak harus melakukan/melaksanakan respon yang dipilihnya.

Stimulus sosial yang telah diproses melalui lima tahap tersebut menjadi informasi yang

diperlukan guna berfungsinya pemikiran moral seorang anak sehingga diharapkan berperilaku yang

sesuai situasi sosial. Anak yang tidak mahir memproses informasi sosial akan menemukan kesulitan

untuk bisa berperilaku yang sesuai secara sosial. Anak akan menunjukkan tingkat perilaku negatif

yang tinggi. Perilaku anak kemudian dinilai oleh teman sebayanya apakah sesuai dan dapat diterima.

Jika anak mahir memproses informasi sosial, anak akan berperilaku yang sesuai situasi sosial dan

perilaku tersebut diterima menjadi perilaku sosial teman sebayanya (Crock & Dodge, 1994; Dodge,

1986).

Anak pra sekolah mulai memahami bentuk perilaku salah dan benar atau perilaku mana yang diterima dan yang tidak, melalui tiga fase :

- Fase kontrol (usia 12-18 bulan). Anak memahami bahwa aturan/tuntutan di sekelilingnya melalui orang-orang dewasa di sekitarnya. Aturan/tuntutan pertama kali dikenalkan oleh orang yang mengasuhnya dan anak sangat tergantung pada reaksi dan tanda bahwa perilakunya benar atau tidak benar (acceptable dan unacceptable behavior). Anak patuh pada reaksi orang yang mengasuhnya.

- Fase kontrol diri (self control). Anak mampu mengontrol perilaku sesuai dengan aturan meskipun sudah tidak ada kontrol. Ada recall memory untuk mengingat aturan-aturan yang bersifat rutin yakni hal-hal yang berkaitan dengan makan, pakaian dan bermain.

- Fase pengaturan diri (self regulating phase) merupakan kemampuan untuk menunda kepuasan (delay of grafication). Anak sudah mulai mampu mengendalikan keinginan meskipun harus mengatasi godaan. Adanya kemampuan anak untuk menunda kepuasaanya menjadi sangat penting dalam perkembangan moral dan kepribadian anak, walaupun kemampuan menunda kepuasan ini mulanya hanya untuk memperoleh sesuatu yang lebih berharga. Kemampuan untuk menunda kepuasan ini melatih anak dalam hal kesabaran, ketekunan dan tahan terhadap tekanan yang tampak pada perilaku-perilaku seperti menabung, belajar dan tidak impulsif (Santrock,2002 )

D. Peran figur ayah dan ibu dalam membentuk kemampuan pengendalian Emosi pada

anak

(16)

mengirimkan informasi dalam bentuk biokimia ke seluruh bagian tubuh. Lobus frontal pada korteks mempunyai peran khusus dalam pengendalian diri karena kesadaran diri terdapat di dalamnya. Namun tidak semua informasi dari talamus dikirimkan langsung ke bagian berfikir otak. Sebagaian juga pergi ke amigdala, bagian otak yang bertugas mengelola emosi. Amigdala membaca dan bereaksi terhadap berbagai masukan pengindraan dalam waktu jauh lebih cepat daripada korteks, dan dapat memicu suatu reaksi emosi lama sebelum bagian otak untuk berfikir mampu memutuskan apa yang harus diperbuat (Shapiro, Lawrence E. 1997:

293).

Para ilmuwan saraf seperti Joseh Le Doux percaya bahwa antara ingatan dan

emosional otak memiliki pengaruh terhadap pengendalian emosi pada anak. Adanya trauma pada masa kanak-kanak dapat berpengaruh di saat dewasa walaupun secara sadar orang itu tidak mengingatnya. Ingatan emosional, seperti perasaan diabaikan ketika tangisan tidak langsung mendapat tanggapan, disimpan dalam amigdala tam[a catatam atai cotra sadar, namun masih dapat memainkan peran penting dalam perasaan dan tindak tanduk si anak di kemudian hari. Rasa takut dan gelisah merupakan emosi yang memaksa. Kegelisahan hebat ketika mengingat atau menghidupkan kembali kejadia-kejadian traumatis dapat mendesak efek yang mengganggu pada manusia selama beberapa tahun. Memori yang iinstruksikan emosi dapat menimbulkan respons emosional yang hebat, walaupun jika memori-memorinya keliru. Otak beroperasi membangkitkan pengalam-pengalaman terhadap ketakutan dan memori emosional. Pemeran kuncinya adalah sebuah struktur yang disebut amygdala (bahasa latin untuk “almond“ karena bentuknya seperti buah almond yang tertanam dikedalaman forebrain (Thomson, Richar F. , Madigan, Stephen A. 2007:206).

Amygdala ditempatkan pda otak untuk berfungsi sebagai pemisah ketakutan. Amygdala menerima informasi dari bagian-bagian indra penglihatan dan pendengangaran dari otak dan informasi mengenai rasa sakit. Selanjutnya ia bertindak pada bagian otak lebih

rendah yang berhubungan dengan aspek-aspek emosional dan perilaku ketakutan. Pengendalian emosi, khususnya pengendalian amarah dan agresivitas merupakan masalah

(17)

Diriwayatkan dari Abu Dzarr RA (dalam Syaibani jilid 4:hlm.249), bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda :

“Jika salah seorang di antara kalian marah dan ia dalam posisi berdiri, maka hendaknya ia segera duduk, maka kemarahannya akan hilang. Namun jika kemarahan itu tidak reda, maka hendaknya ia berbaring.“

Duduk atau berbaring ketika marah dapat menenangkan tubuh sehingga ia akan mempu menguasai ketegangan, mengurangi luapan emosinya sedikit demi sedikit serta dapat

menguasai kecendrungan seseorang untuk melakukan perlawanan dan menyikapi situsi yang mendorong munculnya kemarahan dengan tenang dan bijaksana (Najati, M. Utsman, : 123)

Megan Gunmar, seorang psikolog perkembangan dari University of Minnesoata, percaya bahwa reaksi-reaksi fisik yang lebih jelas akibat trauma, termasuk naiknnya tekanan darah dan laju denyut jantung, tubuh melepaskan hormon kortisol dalam jumlah yang berlebihan, yang biasanya dimaksudkan untuk membantu tubuh menanggapi keadaan bahaya. Kortisol yang terlalu banyak dapat menimbulkan kerusakan, baik sementara maupun menetap, terhadap bagian otak emosional yang yang disebut hippocampus. Kerusakan ini menyebabkan hilangnya sebagian ingatan, rasa cemas dan ketidakmampuan mengendalikan dorongan emosi, sifat agresif dan sifat impulsif. (Shapiro, Lawrence E. Shapiro. 1997:301).

Ketika seseorang mengalami emosi negatif seperti marah maka bagian otak yang berfungsi untuk mengtrol cara menyelesaikan persoalan tidak bekerja. Penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang terus menerus mengalami trauma, misalnya karena diabaikan atau diperlakukan dengan buruk oleh orang dewasa, bisa mengalami kerusakan permanen di bagianotak tempat berlangsunganya pemecahan masalah dan berkembanganya kemampuan berbahasa. Psikiater Bruce Perry, di Baylor College of Medicine, menemukan bahwa sekelompok anak yang ditolak mempunyai luas korteks yang rata-rata 20 persen lebih kecil daripada anak-anak dalam kelompok kontrol. Luas korteks yang lebih kecil merupakan

penyebab rendahnlya IQ dan EQ Shapiro, Lawrence E. Shapiro. 1997:302)

Pemikiran seorang anak mulanya terbentuk dari hubungannya dengan keluarga. Ia

(18)

Gejolak emosional anak yang paling dominan adalah hilangnya rasa tenang, gerakan-gerakan refleks, melamun, temperamental, menangis, mudah emosi dan marah karena hal sepele, dan kejang urat saraf sambil berteriak histeris. Studi ilmiah terhap gejolak emosional anak bahwa peran orang tua memiliki peranan penting dalam proses pembentukan emosional. Mulanya anak memperhatikan perilaku di sekelilingnya untuk kemudian ia menjadi tahu instrumen-instrumen yang bisa membangkitkan emosinya melalui rekaman kebiasaan yang dilihatnya tersebut. (Jurjis, Malak. 2004: 8).

Dengan demikian jelas bahwa gejala-gejala emosional baik yang normal ataupun mengalami gangguan emosional timbul dan berpusat dari orang tua. Anak yang mengalami

kelainan emosional dan perilaku berada pada resiko yang tinggi untuk gagal di sekolah. Pendekatan-pendekatan teoritis yang bisa diterapkan namun tetap harus memperhatikan faktor-faktor yang melatar belakangi hambatan emosi dan perilaku (Kauffman, 1977 dalam Smith, J. David., 2006 : 263), adalah sebagai berikut :

1. Pendekatan Biomedis (Biomedical Approach)

Pendekatan ini menekankan pada ketidakstabilaqn biokimia (biochemical instabilitas). Ketidaknormalan neurologis (neurological abnormalities) dan cedera neurologis (neurogical injuries) sebagai penyebab hambatan ini. Strategi penanganan yang ditekankan pada pendekatan ini adalah penggunaan obat dan penanganan-penanganan medis lainnya.

2. Pendekatan psikodinamic (Psychodinamic approach)

Pendekatan ini menitikberatkan pada kehidupan psikologis anak. Berusaha memahami dan memecahkan kesulitan-kesulitan yang difokuskan pada penyebab-penyebab hambatan.

3. Pendekatan perilaku (behavioral approach)

Pendekatan ini difokuskan pada perilaku daripada mencoba memahami

penyebab-penyebab perilaku yang ada. Pendekatan in berusaha untuk mengubah perilaku yang merupakan problematika secara sosial dan personal. Tujuan utama pendekatan ini adalah

untuk menghilangkan kesulitan perilaku-perilaku dan menggantinya dengan perilaku yang lebih layak secara secara sosial.

4. Pendekatan pendidikan (educational approach)

(19)

di sekolah akan membantu anak mengatasi masalah ketidakmatangan emosi atau ketidakmampuan perilaku.

Orang tua sangat berperan terhadap perkembangan kompetensi anak, yakni kompetensi kognitif dan kompetensi sosial. Kompetensi sosial merupakan kompetensi yang membantu anak mengawali dan memelihara interaksi positif dan kemampuan mengatur pengaruh hasil interaksi sosialnya. Faktor-faktor yang berperan dalam membentuk pola perilaku anak sesuai yang diharapkan adalah konsep pengasuhan (construct parenting), cara mendidik (scaffolding/parental instructional style) dan pola kelekatan orang tua dan anak

(Reid, Patterson dan Snyder, 2002).

Mengasuh anak adalah suatu perilaku altruistic (Shehan, 2003 dalam Andayani, 2004) yang di dalamnya orang tua akan mencurahkan perhatiannya secara penuh pada anak, dan idealnya, menurut Daniel gottlieb (1991), terbebas dari “kebutuhan-kebutuhan psikologis yang tidak terpenuhi” dari orangtua. Oleh karena itu, apabila kesejahteraan psikologis orangtua dalam kondisi rendah sehingga orientasi orang tua adalah lebih kepada pemenuhan kebutuhannya sendiri dapat diprediksi bahwa perilaku orang tua terhadap anak lebih terpusat pada bagaimana orang tua mencapai keseimbangan diri.

Emosi yang terbangun dalam diri anak tidak terlepas dari karakteristik yang dimiliki anak itu sendiri. Dalam penelitian sosialisasi (misal Simon, whitbeck, Conger & Melby, 1990; McBride, Schoppe & Rane, 2002 dalam Andayani,2004), karakteristik anak yang banyak diteliti adalah temperamen dan jenis kelamin anak yang dipersepsi orang tua dan berkontribusi pada cara pengasuhan orang tua terhadap anak. Temperamen muncul dalam bentuk misalnya tingkat aktivitas dan intensitas emosi (McBride dkk., 2002 dalam Andayani, 2004). Anak yang agresif akan ditangani secara berbeda dari anak yang “kalem”. Anak perempuan cenderung diperlakukan lebih lembut daripada anak laki-laki. Cara masing-masing orang tua dalam berinteraksi dengan anak juga dipengaruhi oleh jenis kelamin orang tua sendiri dan jenis kelamin anak (Miller dkk., 1993; McBride dkk., 2002 dalam Andayani 2004).

Permasalahan psikologis juga dipengaruhi oleh urutan kelahiran. Menurut Andayani

(20)

Temperamen anak yang sulit akan membawa stress tersendiri pada orang tua mereka, dan selanjutnya sikap orang tua dalam mengasuh anak juga akan tidak lebih positif sehingga perilakunya atau cara pengasuhan yang dilakukannya cenderung tidak positif pula. Anak bukanlah individu yang pasif menerima perlakuan orang di sekitarnya, tetapi dia secara aktif memberikan stimulasi pada orang-orang di sekitarnya. Stimulasi yang diberikan anak akan ikut menentukan pula bagaimana orang-orang di sekitarnya akan memperlakukannya, baik secara langsung maupun tidak langsung (Andayani,2004).

Belsky (1984 dalam Andayani, 2004) mengajukan model Proses yang didasari oleh pemikiran Bronfenbrenner dengan kerangka system. Kerangka system menyakini bahwa

berbagai faktor dipengaruhi dan mempengaruhi satu dan lainnya. Cara orang tua mengasuh anak akan sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu kondisi psikolgis personal orang tua, karakteristik anak, dan sumber-sumber dukungan stress kontekstual.

Kompetensi pengasuhan orang tua ditentukan secara berganda. Dukungan dan stress kontekstual dapat secara langsung mempengaruhi pengasuhan atau secara tidak langsung mempengaruhi pengasuhan dengan cara pertama-tama mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu, kepribadian mempengaruhi dukungan atau stress kontekstual, yang memberi umpan balik membentuk cara pengasuhan. Pengasuhan anak oleh orang tua dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu kepribadian (yang dipengaruhi oleh sejarah perkembangan individu), kondisi yang memberikan dukungan atau stress dari lingkungan kerja, pernikahan dan kondisi sosial yang lain, di samping dipengaruhi pula oleh karakteristik anak. Dari model ini tampak bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terebut (selain faktor anak) dipengaruhi dan mempengaruhi keribadian individu sehingga pengasuhan dapat dikatakan sebagai suatu proses yang kompleks.

Penjagaan, kasih sayang serta kebaikan orang tua pada anak (Al Qarashi, 2003 : 57) akan dapat mewujudkan kekayaan emosi personal anak dan mencegah terjadinya kekacauan

mental. Berbagai survey di bidang pendidikan modern membuktikan bahwa warga Negara yang baik serta para ilmuwan yang berbudi terutama adalah hasil dari keluarga-keluarga yang

berhati-hati dalam mendidik, mengasuh dan membesarkan anak. Sebaliknya anak yang tidak diasuh dengan baik serta tidak dihormati oleh keluarga mereka, cenderung mengambil sikap agresif, sengan berkelahi, pemberontak dan lihai membuat berbagai tipu daya dan cenderung berprilaku kriminal.

(21)

Sebagaimana dinyatakan Hurlock (1991) bahwa pengalaman sosial pada masa-masa awal yang diterima anak dari orang tuanya sangat menentukan pola perilaku anak selanjutnya. Pola perilaku yang dibina pada masa kanak-kanak akan terbentuk dalam jiwa anak yang selanjutnya akan menjadi atribut yang menetap pada dirinya.

1. F igur ayah

Ayah sebagai makhluk berjenis kelamin laki-laki, mempunyai kepribadian yang secara umum dapat dikatakan berbeda dari perempuan. Proses sosialisasi masa kecil akan berperan sangat besar dalam hal ini. Oleh karena itu, muncullah apa yang disebut dengan “peran seksual” yang membedakan peran laki-laki dan perempuan. Seorang ayah dalam budaya partiarkhat di jaman Freud digambarkan sebagai figur yang penuh dengan kekuasaan dan menakutkan bagi anak sehingga dalam upaya terhindar dari hukuman dari sang ayah, anak menggunakan nilai-nilai yang dimiliki ayah. Pada budaya jawa, digambarkan oleh Koentjaraningrat (1985), hubungan anak dengan orang tua terutama ayah adalah hubungan yang diwarnai oleh obedience (kepatuhan). Dianggap tidak sopan dan tidak pada tempatnya jika orang tua berbicara dan disanggah oleh anaknya. Sak kecap dha sak kecap adalah ungkapan yang negatif untuk menggambarkan perbantahan antara orang tua dan anak.Faktor anak merupakan factor yang tidak dapat diabaikan dalam perilaku pengasuhan ayah. Marsagliio (1991 dalam Andayani 2004) mendapatkan gambaran bahwa ayah cenderung lebih nyaman berinteraksi dengan anak laki-laki daripada anak perempuan. Marsaglio menduga hal ini disebabkan oleh karena anak laki-laki mengidentifikasi diri pada ayahnya, dan komunikasi ayah-anak menjadi lebih mudah.

Masalah yang terjadi sekarang adalah adanya psychosocial lag antara perubahan peran laki-laki dalam keluarga yang kecepatannya lebih lambat dibanding dengan perubahan peran perempuan dalam dunia kerja yang relative lebih cepat. Sebagaimana diramalkan oleh perspektif perubahan peran, pada abad 21 laki-laki mulai menjalankan peran yang lebih besar dalam tugas rumah tangga dan pengasuhan. Gottman dan DeClaire (1997 dalam Andayani, 2004) menekankan pentingnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak terutama dari sisi

(22)

Seorang ayah yang terlibat dan sensitif dalam pengasuhan anak akan memberikan efek positif dalam perkembangan anak. Ketika ayah terlibat dan menerapkan disiplin yang cukup tinggi akan mengurangi kecenderungan anak untuk berperilaku eksternalisasi (marah, bandel, berperilaku menyimpang) terutama pada masa sekolahnya (Miller dkk., dalam Andayani, 2004). Keterlibatan ayah juga akan mengembangkan kemampuan anak untuk berempati, bersikap penuh perhatian dan kasih saying serta hubungan sosial yang lebih baik (Gottman & DeClaire, 1997). Penelitian juga menunjukkan bahwa keterlibatan ayah akan memberikan

manfaat yang positif bagi anak laki-laki dalam mengembangkan kendali diri dan kemampuan menunda pemuasan keinginan (Gottman & DeClaire, 1997)., dan pada penyesuaian sosial

remaja laki-laki (Maharani & Andayani, 2003). Meski penelitian belum memberikan dukungan yang kuat tentang peran ayah pada anak perempuan Andayani (2004) meyakini bahwa keterlibatan dan sensitivitas ayah dalam pengasuhan akan memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan anak perempuan. Dalam perkembangan seorang anak perempuan kasih sayang dan perhatian afektif dari ayah juga sangat dibutuhkan. Gottman dan DeClaire (1997 dalam Andayani., 2004) menggarisbawahi bahwa meski peran ayah pada prestasi akademik dan karir perempuan belum didukung oleh hasil penelitian yang kuat, anak-anak perempuan yang didampingi oleh ayahnya akan cenderung tidak menjadi sexual promiscuous secara dini dan mampu mengembangkan hubungan yang sehat dengan laki-laki di masa dewasanya. Anak-anak perempuan yang mendapatkan perhatian yang positif dari ayahnya akan mendapatkan pemenuhan keutuhan afektif dan pada saat yang sama ia akan belajar bagaimana berhubungan dengan lawan jenis secara sehat.

2. F igur ibu

Ibu adalah sosok perempuan yang banyak diyakini memiliki kemampuan afektif yang tinggi. Perempuan mempuanyai ciri feminim seperti baik hati, lembut dan penuh pengertian (Miller, Caughlin, & Houston, 2003 dalam Andayani, 2004). Budaya dimanapun senantiasa menganggap bahwa baik buruknya anak akan sangat tergantung pada bagaimana ibu mengasuh anaknya. Banyak penelitian menunjukkan peran ibu terhadap emosi anak yang

akan membentuk bagaimana temperamen anak nantinya.

(23)

ibu saat hamil akan berpengaruh terhadap sifat-sifat dan emosi negatif anak pada masa bayi dan kanak-kanak awal (Martin, 1999).

Penelitian tentang keterlibatan dan sensitivitas ibu dalam mengasuh anak (Brody, stoneman & Nurke, 1987; Getrarson & Gelfand, 1988 dalam Andayani 2004) membuktikan bahwa seorang ibu sangat dipengaruhi oleh kebahagiaan pernikahan dan hubungan yang harmonis dengan pasangan. Ketika kedua hal tersebut kurang menguntungkan ibu cenderung mengalami depresi dan distress dan akibatnya cara pengasuhan yang dilakukannya menjadi

kurang positif pula. Meski demikian, cara pengasuhan ibu tidak banyak dipengaruhi oleh factor anak. Hal ini dapat saja disebabkan oleh kesadaran ibu bahwa tugas pengasuhan adalah

tanggung jawabnya, sehingga bagaimana pun karakteristik anak, pengasuhan tetap dijalankannya.

Ibu akan sangat berperan membentuk kebiasaan-kebiasaan hidup anak yang nantinya akan membangun karakter dan sifat-sifat anak. Sebagai sosok orang terdekat, penanaman nilai kepada anak dilakukan ibu melalui penanaman kebiasaan, yang akan berakumulasi menjadi kepribadian. Selain sebagai penanam kebiasaan-kebiasaan, ibu juga berperan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukan anak. Semakin banyak ibu menemukan saat anak berbuat salah, semakin banyak kesempatan ibu untuk mengajak anak memperbaikinya. Jika ibu hanya sempat menemukan kejadian tersebut dua kali dalam sehari, maka pembelajaran yang diterima anak hanya 20%, sementara delapan kali kesalahan lain tidak sempat diperbaiki, yang berarti hilang 80% kesempatan ibu untuk memperbaiki kesalahan anak. Itulah sebabnya, mengapa peran ibu sebagai orang terdekat anak sangat menentukan kebiasaan yang terbentuk yang akhirnya membangun sifat anak (Istadi,2006).

Seorang ibu yang memang sudah kodratnya memiliki “instink” keibuan untuk terampil mengurus anak-anaknya, bahkan wanita yang belum atau tidak melahirkan anaknya sendiri. Peran ayah juga dipengaruhi oleh peran ibu yang sering memberikan evaluasi pada para ayah

ketika terlibat dengan anak-anak. Simons dkk (1990 dalam Andayani, 2004) membuktikan bahwa sikap, harapan dan dukungan ibu terhadap ayah akan mempengaruhi keterlibatan ayah

(24)

terhadap anak juga cenderung kurang positif dan kurang suportif (Brody dkk., 1986; Miller, Cown, 7 Clingempeel, 1993).

Anak-anak yang oleh ibu dipersepsi sebagai anak yang berperangai sulit akan mendapat perlakuan yang berbeda dari anak yang dipersepsi sebagai anak yang “manis” (Greenberger dkk., 1989 dalam Andayani., 2004).

Penutup

Pola asuh orang tua berpengaruh terhadap Kemampuan anak laki-laki dan perempuan

mengendalikan emosinya. Hal ini sejalan dengan salah satu perspektif teoritis utama tentang perbedaan jenis kelamin dalam membentuk perilaku, yaitu perspektif teori proses belajar yang menekankan adanya proses dalam pembentukan perilaku seperti penguatan dan peniruan seseorang memperoleh ciri-ciri menetap yang berkaitan dengan jenis kelamin. Orang tua melalui tindakan dan contoh mempengaruhi anak laki-laki dan perempuan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma moral yang ada dalam lingkungan budayanya (Sears, David O., Freedman, Jonathan L. 1994 : 40)

Sinyal-sinyal perlakuan yang bertujuan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat sesungguhnya telah ada, yang kemudian meresap sejak mereka kanak-kanak, bahwa ia laki-laki maka ia harus begini dan karena ia perempuan ia harus begitu. Perbedaan perlakuan berdasarkan gender ini menjadi norma sejak anak-anak sejak dini, yang selanjutnya menjadi lebih kuat dan nyata di dalam kehidupan sosial. Terjadinya perubahan-perubahan psikologis pada anak perempuan ini sebagai akibat dari adanya konflik antara kebutuhan psikologis dengan pengharapan masyarakat terhadap peran gender, anak perempuan sejak kecil belajar dari keluarganya, sekolah, dan media massa mengenai perilaku yang dapat diterima kelompok (keluarga, sekolah, dan masyarakat), dan anak perempuan juga mempelajari hal-hal yang ditolak kelompoknya, dan ia berusaha untuk menghindarinya (Widyorini, Endang, 1995 : 30).

Orang tua memiliki kecenderungan bertindak berbeda terhadap anak laki-laki dan perempuan dalam berperilaku yang sesuai dengan nilai yang berlaku dalam masyarakatnya, dimana ketika

menerapkan pola asuh orang tua memiliki harapan-harapan perilaku tertentu menurut jenis kelamin anaknya sehingga memungkinkan anak laki-laki dan perempuan mendapatkan kesempatan alih peran

yang berbeda di dalam pembelajaran moral. Hal ini sejalan dengan teori belajar sosial bahwa anak-anak belajar bersikap dan berperilaku yang sesuai dan tidak sesuai dengan perilaku gender melalui observasi dan peniruan dari perbedaan perlakuan orang tua terhadap anak laki-laki dan perempuan.

(25)

memiliki pengaruh yang berbeda tergantung pada kecenderungan-kecenderungan anak laki-laki dan perempuan dalam membangun versi mereka sendiri tentang pola -pola perilaku secara aktif. Dalam kehidupan sehari-hari, anak laki-laki dan perempuan menggunakan bakat dan dorongan dasar mereka dengan cara yang ada kaitannya dengan jenis kelamin.

Emosi perempuan lebih besar daripada anak laki-laki dan anak perempuan kurang tegas atau mudah bimbang dan memiliki kecemasan (Archer, 1996). Anak perempuan memiliki respon emosi yang berbeda dengan anak laki-laki ketika mengalami ketegangan. Menurut Campbell (1993 dalam Chesney, 2004), rasa marah pada anak perempuan disertai emosi-emosi seperti rasa takut, cemas,

merasa bersalah dan rasa malu; sedangkan rasa marah pada anak laki-laki ditandai dengan amukan atau menentang nilai-nilai di lingkungan sosialnya. Anak perempuan ketika marah cenderung menyalahkan diri sendiri karena mereka khawatir kemarahannya akan membahayakan orang lain dan merusak hubungan dengan orang lain. Orang tua otoritatif yang menunjukkan sikap simpatik, hangat dan mendukung akan membantu anak perempuan agar dapat mengatur emosi secara efektif

Demikian besarnya dampak pengalaman emosi yang didapat anak sejak kecil dari figur ayah dan ibunya dalam mempengaruhi kemampuan pengendalian emosi pada anak, maka orang tua harus mendukung perkembangan emosi anak dengan menjadi model figur yang mampu mengendalikan emosi secara sehat demi mencapai kematangan emosional baik sebagai anak laki-laki maupun anak perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

Al Qarashi, Baqir Sharif. 2003. Seni Mendidik Islami : kiat-kiat menciptakan generasi unggul. Penerjemah, Mustofa Bodi Santoso; penyunting, Yudi.-Cek. 1.-jakarta:Pustaka Zahra. Bjourklund. 2005. Children’s Thinking : cognitive development and individual differences.. New

York : Jhon Willey and Son Inc

Carvajal, Fernando.,Iglesias, Jaime. 2002. Face to face emotion interaction studies in Downs’s Syndrome infants. International Journal of Behavioral Development,

Chaplin, James P. 2006. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT Grafindo Persada Desmita. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Gilbert, Paul. 2003. Evolution, social roles, and the differences in shame and Guilt. Social research, 70 (4), 1- 30

George A. Panichas, 2003. The Absence of a culture of shame. Modern Age,45 (1)

Hasan, Aliah B. Purwakania. 2006. Psikologi Perkembangan Islami : menyingkap rentang kehidupan manusia dari pra kelahiran hingga pasca kematian. Jakarta : PT. Grafindo Persada Humaedi, Ahmad. 2007. Cerdas Emosi dengan AL Qur’an : tafsir ayat-ayat pilihan. Bandung :

Khazanah Intelektual

(26)

Jurjis, Malak. Diterjemahkan oleh Muh. Suhadi. 2004. Cara Mengatasi Gejolak Emosi Anak : panduan Islam dalam mendidik anak supaya percaya diri. Jakarta : Hikmah

Konstan, David. 2003. Shame in Ancient Greece. Social research, 70 (4), 1-30

Mukhopadhyay, Tito Rajarshi.2005. Menembus Keheningan Imaji Kecerdasan Anak Autis. Bandung : Nuansa.

Mcguffog, C. 1987. The Diverse Profile of The Extremely Gifted Child. Roeper School, 10 ( 2 ), 1-15

Najati, Muhammad Utsman. 2004. Psikologi dalam Perspektif Hadits (Al Hadits wa ‘Ulum an -Nafs. Jakarta : PT. Pustaka Al-Husna Baru

Nur’aeni. 1997. Intervensi Dini bagi anak bermasalah. Jakarta : Rineka Cipta

Panichas, George A. (2003). The Absence of a Culture of Shame. Modern Age, 45 (1), 1-4

Reid, J.B. 2002. Antisocial Behavior In Children And Adolescents : A Developmental Analysis And Model For Intervention. Washington : American Psychological Association

Staumb, E. 1978. Positive Social Behaviour And Morality, Social And Personal Influences. New York : Academic Press Inc.

Shapiro, Lawrence E. (1997). How to raise a child with a high EQ : a parents’s guide to emotional intelligence. HarperColins Publisher, Inc.

Santrock, 2002. Life Span Development : perkembangan masa hidup. Jilid I. Jakarta : Erlangga Salkind, N.J. 2002. Child Development. New York : Macmillan Library Reference

Staumb, E. 1978. Positive Social Behaviour And Morality, Social And Personal Influences. New York : Academic Press Inc.

Roedell, W. 1984.Vulnerabilities of Highly Gifted Children. The Roeper School, 6, (3), 127-130 Santrock, W., John. Alih bahasa : Juda Damanik. 2002. Life Span Development : Perkembangan

masa hidup. Jakarta : Erlangga

Santrock, John W. 2011. Psikologi Pendidikan, Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Smith, J. David. Alih bahasa : Dennis. 2006. Inklusi : sekolah ramah untuk semua. Bandung : Nuansa

Sears, David O., Freedman, Jonathan L. 1994. Psikologi Sosial. Jilid 2. Alih bahasa : Michael Adriyanto, Jakarta : Erlangga

Referensi

Dokumen terkait

Dari data tersebut akan didapatkan ukuran femoral head bone yang sering muncul, kemudian peneliti membuat suatu rancangan komponen acetabular berdasarkan data tersebut

Jenis dispensing error yang lain adalah content error yaitu tulisan tangan yang tidak jelas, jumlah obat yang tidak sesuai dengan resep, salah dalam menghitung dosis,

Uji DMRT pengaruh pemberian konsentrasi alga terhadap penurunan nilai TSS limbah cair industri karet dapat dilihat bahwa perlakuan 25% dan 18,75% tidak berbeda nyata,

Berdasarkan hal di atas dalam penelitian ini penulis mencoba menerapkan model pembelajaran Problem Based Instruction dengan judul: Efektivitas Model pembelajaran Problem Based

Pemberdayaan pendidikan perempuan menekankan pada aspek ketrampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang

Konteks situasi yang merujuk pada partisipan (pembicara dan lawan bicara) atau yang disebut dengan istilah tenor of discourse juga turut mempengaruhi bahasa yang digunakan dalam

Judul paragraf, huruf kecil (kecuali huruf pertama pada kata pertama yang harus ditulis dengan huruf kapital), diinden, dicetak miring, diakhiri titik. ( Urutan

Tujuan : Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien pengguna jampersal terhadap pelayanan kesehatan di Klinik Pendidikan Sari Mulia