Strategi Penerjemahan Metafora Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris dalam Antologi Puisi On Foreign Shores: American Image in Indonesian Poetry
Parlindungan Pardede
Universitas Kristen Indonesia, Jakarta parlpard2010@gmail.com
Abstract
The objetive of this research was to investigate the translation strategies used to render the metaphors into English and errors committed in the translation. The research methodology was qualitatve using the content analysis method. The data were collected through observation on the 69 Indonesian poems included in “On Foreign Shores” and their corresponding translated English versions using the criteria provided by metaphor theories. In the identification stage the observation process was conducted with the aid of Metaphor Identification Procedure (MIP).
The result reveals the followings. First, to translate the 174 Indonesian metaphors in the poetry anthology, three strategies were used: (1) reproducing the original metaphor with its exact equivalent (59.8%); (2) replacing the metaphor with a different metaphor which expresses similar meaning (35.6%); (3) and converting the metaphor into its approximate literal paraphrase (4.6%). Second, eleven inappropriate selections of translation strategies, which cause distortion in the meaning of the message conveyed by the original poets were found. This means that the accuracy of the use of translation strategies to render the 174 Indonesian metaphors into English is93,68%. Despite thesmall number of errors, the translation strategies applied by the translator were recommended to be used as one of the references for translating Indonesian metaphors into English, especially in the context of poetry translation.
Kata kunci: penerjemahan metafora, strategi penerjemahan, prosedur penerjemahan, kesepadanan
Pendahuluan
Dalam masyarakat modern penerjemahan tidak lagi dipandang hanya
sebagai proses pengalihan makna kata-kata dari satu bahasa ke bahasa lainnya,
tetapi telah berkembang menjadi sarana penyebaran informasi, ide dan nilai-nilai
pemahaman dan kerjasama interkultural. Tanpa penerjemahan, yang secara umum
didefinisikan sebagai upaya mengungkapkan kembali pesan yang terkandung
dalam bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa), sirkulasi ide,
pengetahuan, informasi, dan nilai-nilai dari satu bangsa ke bangsa lain akan
terhambat. Selain itu, dialog-dialog interkultural, yang dimanfaatkan untuk
meningkatkan pemahaman dan kerjasama antar bangsa akan sulit dilakukan tanpa
penerjemahan.
Dalam praktik penerjemahan, metafora merupakan ungkapan yang paling
sulit dialihkan dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Metafora bahkan sering dijuluki
sebagai ekspresi yang misterius karena maknanya sulit dijelaskan, apalagi
diterjemahkan. Newmark (1998, h. 104) menyatakan masalah penerjemahan yang
paling sulit secara khusus adalah penerjemahan metafora.
Kesulitan menerjemahkan metafora pada hakikatnya berkaitan dengan
struktur metafora yang variatif dan unsur pembangunnya yang kompleks, Dilihat
dari strukturnya, sebuah metafora bisa berbentuk satu kata, frasa, klausa, atau
kalimat. Dilihat dari unsurnya, metafora dibentuk oleh komponen topik (vehicle),
citra (tenor), dan titik kesamaan (ground). Namun ketiga komponen ini tidak
selalu disebutkan secara eksplisit. Kadang-kadang satu atau dua dari ketiga
komponen itu bersifat implisit. Akibatnya, metafora seperti ini hanya dapat
dipahami setelah konteks internal ungkapan maupun konteks situasional
(eksternal) ungkapan tersebut terlebih dahulu dipahami. Kadang-kadang
komponen citra sebuah metafora tidak lazim dalam BSa, sehingga penerjemah
Selain itu, sebagai sebuah ungkapan bahasa, metafora sarat dengan nilai-nilai
budaya sehingga penerjemahannya hanya dapat dilakukan setelah nilai-nilai
budaya yang terkait dengan ungkapan tersebut dipahami.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam penerjemahan metafora telah
memunculkan dua pandangan yang kontradiktif mengenai translatibilitas
metafora. Dagut (1987: 25) memaparkan bahwa, di satu pihak, tidak sedikit ahli
penerjemahan, seperti Nida, Vinay and Darbelnet, yang menganggap metafora
tidak bisa diterjemahkan. Di pihak lain, beberapa tokoh, seperti Kloepfer dan
Reiss, menganggap bahwa metafora, sebagai suatu ungkapan lingusitis, metafora
bisa diterjemahkan.
Praktik penerjemahan cenderung mendukung translatibilitas metafora. Hal
ini dibuktikan oleh begitu banyaknya puisi—yang mengandung berbagai
ungkapan metaforis—karya penyair kenamaan seperti Robert Frost, William
Shakespeare, Langston Hughes, Pablo Neruda, Emily Dickinson dan Li Po
berhasil diterjemahkan dengan baik ke dalam berbagai bahasa. Jadi. meskipun
sebagian metafora harus diterjemahkan secara ekstra hati-hati, sebagai salah satu
bentuk ekspresi linguistis, metafora tetap bisa diterjemahkan.
. Hasil-hasil penelitian terkini juga cenderung memperkuat ide bahwa
metafora bisa diterjemahkan. Penelitian Suwardi (2005) tentang penerjemahan
metafora bahasa Inggris dalam konteks penerjemahan novel The Wedding karya
Danielle Steel ke dalam bahasa Indonesia mengungkapkan bahwa ke 41 metafora
yang diidentifikasi diterjemahkan dengan menggunakan lima strategi
imaji yang sama; (2) menerjemahkan metafora menjadi metafora dengan imaji
yang berbeda; (3) menerjemahkan metafora menjadi simile dengan imaji yang
sama; (4) menerjemahkan metafora menjadi simile dengan imaji yang berbeda;
dan (5) menerjemahkan metafora menjadi non-majas. Hasil analisis
memperlihatkan kebanyakan metafora TSu sepadan dengan hasil terjemahannya
dalam TSa.
Penelitian Waluyo (2007) mengungkapkan bahwa strategi penerjemahan
yang digunakan untuk mengalihkan 100 metafora bahasa Indonesia dalam
penerjemahan novel Sa man ke dalam bahasa Inggris adalah: (1) penerjemahan
metafora menjadi metafora yang sepadan; (2) parafrase; (3) penerjemahan
metafora menjadi metafora yang berbeda namun dengan makna yang sama; (4)
penerjemahan harfiah. Ditemukan tiga alasan mengapa penerjemah tidak hanya
menggunakan strategi pertama saja tetapi juga ketiga strategi lainnya. Pertama,
penerjemah tidak dapat menemukan kesepadanan yang sesuai dalam metafora
Inggris. Kedua, penerjemah bermaksud mencegah kesalahpahaman atau berupaya
mempertahankan pesan sesuai dengan konteksnya. Ketiga, penerjemah memiliki
waktu yang terbatas sehingga dia mengambil jalan pintas dalam menerjemahkan
metafora.
Hasil kajian Sudrama (2003) tentang struktur, tipe. dan strategi
penerjemahan metafora dalam penerjemahan novel Master of the Game karya
Sidney Sheldon ke dalam bahasa Indonesia mengungkapkan bahwa novel tersebut
mengandung metafora mati dan metafora hidup. Berlandaskan teori Larson,
Inggris ke dalam bahasa Indonesia, yakni: menerjemahkan metafora ke dalam
metafora, menerjemahkan metafora menjadi simile, dan menerjemahkan metafora
menjadi ungkapan harfiah.
Paparan-paparan di atas mengindikasikan bahwa kesulitan dalam
menerjemahkan metafora disebabkan oleh tiga faktor utama. Pertama, metafora
memiliki struktur yang variatif dan unsur pembangun yang kompleks. Akibatnya,
disamping prosedur dan konsep kesepadanan yang lazim digunakan dalam
menerjemahkan ungkapan-ungkapan linguistik lainnya, penerjemahan metafora
memerlukan strategi khusus (van den Broeck, 1981). Kedua, metafora sarat
dengan nilai-nilai budaya. Oleh karena itu, penerjemah harus benar-benar
memahami nilai-nilai budaya yang terkait dengan metafora BSu secara mendalam
dan melakukan pemetaan konseptual agar dapat menentukan padanan yang
berterima dalam BSa (Al-Hasnawi, 2007). Ketiga, karena berbagai kerumitan
yang ditemukan dalam penerjemahan metafora, hanya sedikit. jumlah pakar pakar
penerjemahan yang mau menggumuli persoalan tersebut (ProZ.com, 2008).
Akibatnya, teori dan kajian tentang penerjemahan metafora yang tersedia relatif
terbatas. Sehubungan dengan itu, penelitian yang ekstensif perlu dilakukan untuk
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang penerjemahan metafora.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam
tentang strategi penerjemahan metafora bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris
dalam antologi puisi On Foreign Shores: American Image in Indonesian Poetry
yang diterjemahkan dan diedit oleh McGlynn (1990). Secara spesifik,
menerjemahkan metafora yang terdapat di dalam On Foreign Shores: American
Image in Indonesian Poetry dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris; (2)
kesalahan-kesalahan penggunaan strategi penerjemahan metafora bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Inggris; dan (3) faktor-faktor penyebab kesalahan
penggunaan strategi penerjemahan tersebut.
Teori utama yang dijadikan sebagai landasan analisis strategi
penerjemahan metafora dalam penelitian ini adalah lima strategi penerjemahan
metafora usulan Larson (1998, h. 278-279), yang tediri dari: (1) menerjemahkan
metafora BSu menjadi metafora yang sama di dalam BSa; (2) menerjemahkan
metafora BSu menjadi sebuah simile jika dalam sistem BSa membuat simile lebih
mudah dipahami daripada metafora; (3) menerjemahkan metafora BSu menjadi
metafora lain dalam BSa tapi memiliki makna yang sama dengan metafora BSu
tersebut; (4) menerjemahkan metafora BSu menjadi metafora yang sama di dalam
BSa yang disertai dengan penjelasan tentang makna metafora tersebut; dan (5)
menerjemahkan metafora menjadi menjadi ungkapan non-metaforis. Sedangkan
analisis tentang bentuk dan faktor kesalahan penggunaan strategi penerjemahan
didasarkan pada gagasan Nababan (2008) tentang kesalahan terjemahan.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis
isi (content ana lysis), yang diterapkan dalam delapan tahapan sesuai dengan saran
Carley (1992, h. 35-40), yakni: (1) menetapkan tataran analisis; (2) menetapkan
untuk menyatakan keberadaan atau frekuensi konsep; (4) menetapkan cara
membedakan konsep-konsep; (5) mengembangkan aturan pengkodean teks; (6)
menetapkan apa yang harus dilakukan terhadap informasi/data yang tidak
relevan; (7) mengkodifikasi teks; dan (8) menganalisis hasil.
Data dalam penelitian ini adalah seluruh ungkapan motaforis yang
dikumpulkan melalui pengamatan terhadap 69 puisi Indonesia yang
dipublikasikan dalam antologi puisi On Foreign Shores: American Image in
Indonesian berdasarkan kriteria teori metafora yang dipadu dengan penerapan
Meta phor Identifica tion Procedure (MIP) usulan kelompok Pragglejaz (2007)
dalam tahapan identifikasi data. Pemeriksaan keabsahan data dilakukan melalui
ketekunan pengamatan, triangulasi, dan kecukupan referensial. Data yang
terkumpul diklasifikasikan untuk selanjutnya dikaji secara obyektif, dianalisis
berdasarkan teori-teori terjemahan yang dipaparkan pada bagian terdahulu, dan
dibandingkan dengan terjemahan masing-masing dalam bahasa Inggris.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Penggunaan Strategi Penerjemahan
Dengan menggunakan teori Larson (1988, h. 279-280) tentang strategi
penerjemahan metafora, ditemukan bahwa ke 174 metafora yang diidentifikasi
diterjemahkan dengan menggunakan tiga strategi, yaitu: (1) menerjemahkan
metafora menjadi metafora yang sama (disingkat menjadi “M M Sama”); (2)
menerjemahkan metafora menjadi metafora lain tapi bermakna sama (M M
makna harfiah (M Non-M). Agar diperoleh kesamaan persepsi, perlu dijelaskan
bahwa ‘lambang panah’ (‘ ’) yang digunakan di sini bermakna “diterjemahkan
atau dialihkan menjadi” atau “dikonversikan kepada”, sesuai dengan konteks
penggunaannya.
Rekapitulasi frekuensi dan persentase ketiga strategi penerjemahan
tersebut ditampilkan pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Frekuensi dan Persentase Penggunaan Strategi Penerjemahan Metafora
No. Strategi Penerjemahan Jumlah Persentase
1 M M Sama 104 59,8
2 M M Lain 62 35,6
3 M Non-M 8 4,6
Total 174 100
a. Menerjemahkan metafora menjadi metafora yang sama
Menerjemahkan metafora menjadi metafora yang sama (M M Sama)
dilakukan dengan cara mereproduksi citra atau tenor TSu di dalam TSa. Strategi
ini dapat dilakukan jika metafora itu berterima atau dapat dipahami pembaca TSa
tanpa adanya salah pengertian. Oleh karena itu, strategi ini sangat sesuai
digunakan untuk menerjemahkan metafora dengan citra yang universal. Karena
citra yang universal, menurut Newmark, biasanya diungkapkan dengan
menggunakan kata-kata yang berhubungan dengan ruang, waktu, ide,
merupakan salah satu karakteristik metafora mati,1 strategi M M Sama sangat
sesuai untuk menerjemahkan metafora mati.
Kriteria-kriteria tersebut dapat ditelusuri dalam penerjemahan metafora
berikut.
1 BSu sentuhan yang menempa marah (36)
BSa a touch that forges anger (37)
2 BSu engkau belut bagiku (44)
BSa you are for me an eel (45)
Metafora pertama di atas merupakan salah satu baris puisi Toeti Heraty
yang berjudul Sungai Iowa . Puisi ini menggambarkan suasana batin si pembicara
(speaker) yang sedang dipenuhi oleh berbagai gejolak emosi negatif. Namun
dirinya langsung menjadi tenang setelah memandang Sungai Iowa. Dia merasakan
gejolak berbagai emosi negatif tersebut reda oleh pesona Sungai Iowa.
Metafora “sentuhan yang menempa marah” adalah satu dari emosi negatif
yang bergejolak dalam diri si pembicara. Dalam metafora ini, “sentuhan”
dinyatakan “menempa” kemarahan. Padahal verba “menempa” ini secara leksikal
berkolokasi dengan besi. Menurut KBBI Daring, verba ini bermakna
“memukul-mukul (besi dsb) untuk dibuat perkakas (spt pisau)” Karena citra dalam verba
“menempa” direproduksi menjadi citra yang sama melalui verba ”forge”, yang
(metal, for example) by heating in a forge and beating or hammering into shape,”
maka metafora tersebut diterjemahkan menjadi metafora yang sama.
Metafora kedua di atas, “engkau belut bagiku” digunakan oleh Rendra
dalam puisi Kepada M.G. untuk menggambarkan seorang pelacur menurut
pandangan pembicara dalam puisi tersebut. Melalui metafora ini diungkapkan
bahwa pembicara mengetahui semua lekuk tubuh si pelacur. Tapi dia sama sekali
tidak memahami jiwa si pelacur. Orang yang sering menangkap atau memegang
belut dapat dengan mudah mengetahui gambaran fisik binatang itu. Sebagaimana
orang itu mengetahui profil fisik belut, demikian pula pengetahuan si pembicara
mengenai liku-liku tubuh si pelacur. Akan tetapi, meskipun sudah sering
menangkap belut, kebanyakan orang tetap tidak dapat menggenggam binatang itu
karena tubuhnya yang licin. Gambaran ini digunakan penyair sebagai analogi
untuk mengungkapkan ketidakmampuan si pembicara memahami pikiran dan
keinginan si pelacur. Dalam penerjemahan, citra “belut” dialihkan menjadi “eel”
dalam TSa. Karena kedua nomina ini mengacu pada binatang yang sama, jelaslah
bahwa penerjemah menerapkan strategi M M Sama.
b. Menerjemahkan metafora menjadi metafora lain tapi bermakna sama
Jika strategi M M Sama dilakukan dengan cara mereproduksi citra atau
tenor TSu di dalam TSa, strategi M M Lain tapi bermakna sama dilakukan
dengan cara mengganti citra dalam BSu dengan citra standar yang berterima
dalam BSa. Penggantian citra ini dilakukan untuk menjembatani perbedaan
metafora BSu berbeda dengan metafora TSa secara leksikal, dilihat dari konteks
pesan secara keseluruhan, keduanya mengungkapkan makna yang sama.
Penerjemahan kedua metafora berikut memperlihatkan aplikasi strategi M M
Lain tapi bermakna sama tersebut.
1 BSu Bumi telah tenggelam (14)
BSa The earth has receded (15)
2 TSu Terlempar damba ke angkasa (12)
TSa Hope was catapulted to space (13)
Topik pada metafora pertama adalah keadaan bumi, yang dibandingkan
dengan tenor (citra), yakni benda yang “tenggelam”. Menurut KBBI Daring,
verba “tenggelam” bermakna “masuk terbenam ke dalam air atau karam”.2 Dalam
metafora terjemahan, citra “tenggelam” tersebut dialihkan menjadi verba
“recede”, yang menurut Merriam Webster Online Dictionary bermakna “gerakan
mundur bertahap dari suatu titik atau posisi yang tinggi”. Terlihat bahwa secara
leksikal, makna verba “mundur” dan “recede” tidak sepadan. Akan tetapi, secara
kontekstual, metafora TSu dan TSa mengungkapkan makna yang sama.
Pada metafora ke dua, kata “terlempar”, yang berfungsi sebagai tenor,
tidak dialihkan menjadi kata bahasa Inggris yang secara leksikal bermakna
sepadan, seperti thrown, tetapi “catapulted”. Namun, walau secara leksikal
bermakna tidak sepadan, secara kontekstual, keduanya mengungkapkan ide yang
c. Menerjemahkan metafora menjadi ungkapan non-metaforis
Strategi M Non M digunakan jika citra terjemahan yang dialihkan
menjadi metafora yang sama sulit dipahami dan BSa tidak memiliki ungkapan
yang sepadan dengan metafora BSu Menurut Larson, strategi M Non M ini
diimplementasikan dengan cara mengalihkan tenor dalam metafora BSu menjadi
ungkapan bermakna harfiah. Strategi ini efektif digunakan untuk menerjemahkan
metafora mati yang sudah menjadi idiom sehingga kesan metaforisnya
benar-benar hampir tidak disadari penutur. Dengan mengalihkan metafora yang hanya
membuat teks bertele-tele dan mengurangi tingkat keterbacaan teks tersebut
menjadi makna harfiah, diharapkan TSa akan lebih sederhana, luwes dan mudah
dipahami. Berikut ini adalah dua contoh metafora bahasa Indonesia yang
diterjemahkan dengan menggunakan strategi menerjemahkan metafora menjadi
ungkapan non-metaforis.
1 BSu sekedar ingin tahu dan memancing pengalaman (66)
BSa just out of curiosity and the experience (67)
2 TSu … perut bumi … (124)
TSa The earth …(125)
Pada metafora pertama, ungkapan “memancing” merupakan tenor (citra).
Verba ini secara umum berkolokasi dengan “ikan.” Namun dalam metafora ini
verba tersebut dikaitkan dengan pengalaman untuk menggambarkan bahwa
ikan. Namun dalam metafora terjemahan, citra tersebut diabaikan oleh
penerjemah. Frasa “memancing pengalaman” dialihkan menjadi nomina
“pengalaman” yang mengandung hanya makna harfiah.
Pada metafora ke dua, nomina “perut” digunakan sebagai citra untuk
menjelaskan bagian spesifik bumi. Menurut KBBI Daring, metafora “perut bumi”
bermakna “bagian dl bumi yg letaknya di tengah-tengah.” Dalam metafora
terjemahan, citra “perut” diabaikan. Dengan demikian, metafora “perut bumi”
dialihkan menjadi frasa “the earth” saja. Karena frasa ini tidak mengandung
makna metaforis, maka metafora “perut bumi” tersebut tidak diterjemahkan
menjadi metafora, melainkan ungkapan bermakna harfiah.
Berdasarkan analisis penggunaan strategi penerjemahan di atas, dapat
disimpulkan bahwa penerjemah lebih mengutamakan strategi penerjemahan
metafora menjadi metafora. Dari 174 metafora yang diterjemahkan, hanya 4,6%
yang diterjemahkan menjadi ungkapan non-metaforis. Hal ini dilakukan
penerjemah karena penerjemahan metafora yang dilakukan merupakan bagian dari
penerjemahan puisi—teks yang mengutamakan penggunaan ungkapan yang
singkat, padat, dan sekaligus menarik. Karena metafora merupakan salah satu
majas yang dapat memenuhi ketiga kriteria ini, wajar bila keberadaannya sedapat
mungkin dipertahankan dalam puisi terjemahan.
Mayoritas metafora BSu dapat dialihkan menjadi metafora yang sama ke
BSa karena penerjemah dapat menemukan dan mereproduksi citra atau tenor
yang sepadan dalam BSa. Akan tetapi, karena perbedaan nilai-nilai budaya BSu
penerjemah melakukan penggantian dengan citra standar yang berterima dalam
BSa melalui strategi M M Lain. Selain itu, ada juga metafora BSu yang
citranya (baik yang sepadan maupun pengganti) tidak dapat ditemukan
penerjemah dalam BSa. Akibatnya, penerjemah mengalihkan citra metafora
tersebut menjadi ungkapan bermakna harfiah dalam TSa.
Temuan di atas memperlihatkan bahwa penerjemah mengutamakan
strategi penerjemahan yang mengalihkan metafora menjadi metafora. Penerjemah
lebih memprioritaskan penggunaan strategi M M Sama, lalu M M Lain, dan
M Non-M sebagai pilihan terakhir. Temuan ini selaras dengan pendapat Reis
(dalam Venuti, 2004, h. 167) yang menekankan pentingnya mengalihkan
unsur-unsur estetik dan artistik teks-teks ekspresif ke dalam TSa dengan cara
menerjemahkan teks tersebut ke dalam tipe yang sama. Dia menegaskan “If the
SL text is written in order to convey artistic contents, then the contents in the TL
should be conveyed in an analogously artistic organization”. Penerjemahan
metafora dalam penelitian ini merupakan bagian dari penerjemahan puisi.
Sedangkan puisi, berdasarkan klasifikasi tipe teks usulan Newmark (1988)
termasuk dalam kelompok teks ekspresif. Sehubungan dengan itu, dalam rangka
mempertahankan unsur-unsur estetik dan artistik puisi, pengutamaan penggunaan
strategi menerjemahkan metafora menjadi metafora oleh McGlynn sudah tepat.
5. Kesalahan Pemilihan Strategi Penerjemahan Metafora bahasa Indonesia
Melalui analisis yang dilakukan dengan cara membandingkan metafora
bahasa Indonesia dan terjemahannya ke dalam bahasa Inggris dalam penelitian ini,
ditemukan 11 butir metafora (6,32%) yang diterjemahkan dengan strategi
penerjemahan yang tidak tepat. Ke 11 butir tersebut dapat dikelompokkan ke
dalam dua tipe, yakni: (a) menerjemahkan metafora menjadi metafora lain atau M
M Lain (9 item kesalahan); dan (b) menerjemahkan metafora menjadi
ungkapan non-metaforis atau makna harfiah atau M Non-M (2 item kesalahan).
Kesimpulan dan rekomendasi
Dilihat dari seluruh temuan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa
penerjemah menguasai kaidah-kaidah BSu dan BSa serta teori-teori dan praktik
penerjemahan dengan baik. Hal ini, paling tidak, tercermin dari tingginya
ketepatan penggunaan strategi penerjemahan (93,68%), ketepatan penggunaan
prosedur penerjemahan (94,25%) dan kesepadanan makna (98,85%). Pemahaman
lintas budaya; pengetahuan tipe teks; pemahaman tentang tujuan penerjemahan
dan pemahaman tentang calon pembaca terjemahan yang dimiliki penerjemah
juga baik. Kesalahan-kesalahan kecil yang teridentifikasi, pada dasarnya
disebabkan oleh orientasi yang terlalu berlebihan pada aspek budaya TSa (yang
mengakibatkan distorsi makna dalam beberapa terjemahan) dan minimnya
pemahaman penerjemah atas sejumlah kecil metafora BSu sehingga padanan yang
tepat dalam BSa tidak dapat ditemukan.
Hasil analisis data mengimplikasikan tiga hal berikut terhadap praktik
penerjemahan kumpulan puisi On Foreign Shores: American Image in Indonesian
Poetry tergolong baik, pemilihan strategi penerjemahan, pemilihan prosedur
penerjemahan, dan penentuan tipe kesepadanan yang dilakukan McGlynn ini
layak dijadikan salah satu acuan dalam praktik penerjemahan metafora bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Kedua, mengingat bahwa penerjemahan
metafora dalam penelitian ini merupakan bagian dari penerjemahan 51 puisi
Indonesia yang secara khusus bertopik tentang Amerika Serikat dan berbagai hal
yang terdapat di negara tersebut ke dalam bahasa Inggris, penggunaan pemilihan
strategi penerjemahan, prosedur penerjemahan, dan tipe kesepadanan oleh
McGlynn tersebut sebagai acuan dalam praktik penerjemahan metafora
hendaknya dibatasi hanya pada penerjemahan metafora bahasa Indonesia ke
dalam bahasa Inggris dalam konteks budaya Indonesia dan Amerika Serikat dan
teks berbentuk puisi. Ketiga, Karena kesalahan penerjemahan metafora dalam
penelitian ini disebabkan oleh perbedaan budaya BSu dan BSa, setiap praktik
penerjemahan metafora harus dilandaskan pada pemahaman budaya BSu dan BSa
yang benar-benar komprehensif.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti merekomendasikan dua saran
berikut. Pertama, karena hasil penelitian ini hanya bisa digeneralisasi secara
terbatas pada penerjemahan metafora bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris
dalam konteks budaya Indonesia dan Amerika Serikat dan teks berbentuk puisi,
untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang penerjemahan
metafora bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, penelitian-penelitian lanjutan
beragam, dan analisis data yang lebih ekstensif. Kedua, dilihat dari sisi
metodologi, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
analisis isi, dan alat bantu yang digunakan untuk memeriksa ketepatan hasil
terjemahan adalah referensi tertulis (kamus, tesaurus, dan beberapa bahan pustaka
lainnya). Untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif, disarankan
agar penelitian lanjutan mengikutsertakan penilaian beberapa informan kunci
(penerjemah ahli) untuk menentukan tingkat kesepadanan antara TSu dan TSa dan
respon beberapa penikmat puisi (baik penutur bahasa Indonesia maupun penutur
bahasa Inggris Amerika) untuk menentukan dan membandingkan efek
kesepadanan melalui hubungan antara penutur bahasa Indonesia dengan TSu dan
penutur bahasa Inggris Amerika dengan TSa.
Referensi
Al-Hasnawi. (2007). A cognitive approach to translating metaphors. Transla tion
Journal, 11 (3). Diakses 30 Desember 2012 dari:
http://www.bokorlang.com/journal/41metaphor.htm
American Heritage Dictiona ry of English language (3rd Ed.). (1992). Boston: Houghton-Mifflin.
Carley, K. (1992). MECA. Pittsburgh, PA: Carnegie Mellon University.
Departemen Pendidikan Nasional. Ka mus bahasa Indonesia . (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2011). Ka mus Besar Baha sa Indonesia (Dalam Jaringan) (Ed.3)”. (http://pusatbahasa. diknas. go.id/ kbbi)
Dickins, J., Hervey, S. & Higgins, I. (2005), Thinking Arabic transla tion. New York: Routledge.
Landers, C. E. (2001) Litera ry translation. Clevedon: Multilingual Matters.
Larson, M. L. (1998). Meaning-based translation: A guide to cross-language equiva lence. Lanham and London: University Press of America.
McGlynn, J. H. (Ed. & Transl.). (1990). On foreign shores: American images in Indonesian poetry. Jakarta: The Lontar Foundation.
Merriam Webster Online Dictionary (2013) diakses dari: http://www.merriam-webster.com/dictionary/recede
Molina, L. & Albir, A.H. “Translation techniques revisited: A dynamic and functionalist approach”. Meta, Vol. XLVII. No. 4, 2002.
Nababan, M.R. (2008). Equivalence in translation: Some problem-solving strategies. Diakses 12 januari 2011 dari http://www.proz.com/ translation-articles/articles/2071/1/
Newmark, P. (1988). A textbook of translation. New York: Prentice-Hall International.
Pragglejaz Group. (2007). “MIP: A method for identifying metaphorically used words in discourse”. Dalam Metaphor and symbol, 22(1), 1–39. Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
ProZ.com (2008). Translation theory with regards to translating metaphors. Diakses 19 Januari 2011 dari: http://www.proz.com/doc/1831
Sudrama, K. (2003). Strategies for Translating into Indonesian English metaphors in the novel “ Master of the Game” : A ca se study. (Thesis). Denpasar: Udayana University.
Suwardi, A. (2005). An analysis of the translation of metaphors in Danielle Steel’s “ The Wedding” into Indonesian in Ade Dina Sigarla ki’s ‘Pernikahan” . (Magister Thesis). Yogyakarta: Sanata Dharma University).
van den Broeck, R. (1981) The Limits of translatability exemplified by metaphor translation”, dalam Poetics Today, Vol. 2, No. 4, Diakses 15 Februari 2011 dari: http://www. jstor.org/stable/1772487.
Venuti, L. (ed.) (2001). The translation studies reader. London: Routledge.