• Tidak ada hasil yang ditemukan

SERI KAJIAN SASTRA KLASIK SERAT KALATIDH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SERI KAJIAN SASTRA KLASIK SERAT KALATIDH"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

SERI KAJIAN SASTRA KLASIK

SERAT KALATIDHA

RADEN NGABEHI RANGGAWARSITA

KEDHUNGKOL SURAKARTA ADININGRAT

TERJEMAH DAN KOMENTAR OLEH:

(2)

Serat Kalatidha merupakan karya

Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Kalatidha artinya zaman keraguan. Kala artinya zaman, tidha artinya ragu-ragu.

Serat Kalatidha terdiri dari satu Pupuh Sinom dan 12 pada, menceritakan tentang zaman yang penuh keraguan, juga tentang sulitnya kehidupan atau juga sering disebut zaman kutukan.

Sumber naskah bahasa Jawa yang dipakai dalam buku ini diambil dari Lima Karya Pujangga

Ranggawarsita yang ditulis oleh Karkana Kamajaya,

seorang budayawan Jawa dan pejuang angkatan 45.

Terjemah dan komentar oleh Bambang Khusen Al Marie.

Seluruh isi buku ini telah diunggah dalam situs

http://paramenkawi.com

(3)

Kajian Kalatidha (1): Kalulun Kalatidha

Di tengah budaya feodal yang paternalistik beliau masih sanggup menyuarakan kritik terhadap penguasa. Posisinya sebagai bawahan tak membuat ketajaman hatinya kabur. Serat ini menjadi bukti sebuah perlawanan yang disampaikan secara apik, sekaligus refleksi sikap mupus. Sebuah sikap untuk selalu mencari hikmat yang terkandung dalam setiap kejadian, dan mencari tindakan yang terbaik. Dialah sang pujangga besar, Raden Ngbehi Ranggawarsita.

Serat Kalatidha ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1860. Ketika itu karir beliau mentok dan tampaknya hubungannya dengan raja kurang harmonis. Ada ketidak puasan dalam dirinya sehingga lahirlah serat Kalatidha ini.

Kita tidak akan mengupas terlalu panjang tentang latar belakang sang pujangga. Bagaimanapun diperlukan riset yang mumpuni untuk mengambil kesimpulan sejarah yang tepat. Dan saya tak punya kemampuan untuk itu. Maka kami cukupkan dengan mengkaji isi serat Kalatidha secara tekstual saja.

Alasan lain dari kajian Kalatidha ini adalah serat ini cukup populer di kalangan masyarakat. Beberapa bulan yang lalu saya mendapatkan rekaman gending sinom parijatha yang memuat serat ini. Jadi serat ini cukup akrab terdengar di telinga banyak orang Jawa. Karena itu kami merasa perlu untuk mengkajinya agar generasi muda yang sudah tak begitu paham kosa kata Jawa lama menjadi sedikit mengerti.

Inilah bait ke-1, dalam tembang Sinom dari serat Kalatidha karya pujangga agung Ranggawarsita:

(4)

Kajian per kata:

Mangkya (keadaan sekarang) darajating (keluhuran, martabat) praja (negara), kawuryan (terlihat) wus (sudah) sunyaruri (secara samar). Keadaan keluhurang negara, terlihat sudah

semakin samar.

Kata sunyaruri sering dipakai untuk menyebut alam gaib, yang tidak terlihat atau samar bagi kita. Karena itu saya lebih sreg menerjemahkan kalimat itu sebagai terlihat makin samar. Hal ini berkaitan dengan kewibaan pemerintah yang sudah merosot, keluhuran pemerintahan Mataram seperti yang dicita-citakan pendirinya semakin samar-samar.

Rurah (rusak) pangrehing (pengendalian) ukara (perkataan), karana (karena)tanpa (tanpa)

palupi (teladan baik), atilar (meninggalkan) silastuti (aturan terpuji). Rusak

kepemimpinannya, karena tanpa teladan baik, (pejabat) meninggalkan aturan terpuji.

Pangrehing ukara, pangreh artinya mengendalikan, ukara artinya perkataan dalam hal ini berarti peraturan karena pada jaman itu perkataan raja atau pejabat menjadi aturan yang berlaku. Jadi kalimat ini lebih tepat diterjemahkan sebagai kepemimpinan. Silastuti dari kata sila dan astuti. Sila adalah aturan, asas atau pedoman, seperti pada Panca Sila. Astuti artinya terpuji, silastuti adalah aturan yang terpuji, yang dimaksud adalah aturan moral karena kata ini lebih sering dipakai untuk menyebut sikap atau tatakrama.

Sujana(orang cerdik) sarjana(cendekia) kelu (terseret), kalulun (ikut tergulung) kalatidha (jaman keragu-raguan). Orang cerdik cendekia terseret, ikut tergulung jaman keragu-raguan.

Orang-orang serba ragu, perbuatan apa yang seharusnya diambil. Mau berbuat ini takut salah, tidak berbuat juga disalahkn. Mengambil opsi A dihujat kelompok sana, mengambil opsi B dihujat kelompok sini. Akibatnya para cerdik pandai pun terseret arus pasar. Kira-kira mana yang akan disukai orang itulah yang akan disuarakan. Padahal yang dikatakan belum tentu sesuai hati nurani. Para cendekia pun memilih ikut arus yang menguntungkan.

Tidhem(sepi) tandhaning(dari tanda) dumadi (kehidupan), Andayengrat (membuat seolah dunia) dene (seperti) karoban (tenggelam) rubeda (dalam kerepotan). Sepi dari tanda-tanda

kehidupan, membuat seolah dunia tenggelam dalam kerepotan.

Saking tidak jelasnya keadaan negara sampai berkesan tidak ada kehidupan di situ. Yang dimaksud adalah daya hidup yang menjiwai setiap kebijakan. Segala keputusan diambil seolah mengabaikan kecerdasan. Lha iya wong para cedik-pandai sudah memilih ikut arus. Keadaan orang-orang yang loyo ini membuat seolah dunia sedang dirundung malang, penuh kerepotan.

(5)

Kajian Kalatidha (2): Tan Dadi Paliyasing Kala Bendu

Bait ke-2, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya pujangga agung Ranggawarsita:

Ratune ratu utama, Banyak halangan yang membuat kerepotan,

dari hasrat yang berbeda-beda setiap orang seluruh negara.

.

Kajian per kata:

Ratune (rajanya) ratu (raja) utama (utama), Patihe (patihe) patih (patih) linuwih (pilihan), Pra (para) nayaka (punggawa) tyas (berhati) raharja (mulia, baik), Panekare (bawahan, pejabat rendah) becik-becik (baik-baik). Rajanya raja utama, patihnya patih pilihan, para

punggawa berhati mulia, para bawahannya baik-baik.

Inilah gambaran dari negara yang sedang kita bicarakan pada bait pertama, sebagai negara yang surut kewibawaannya, merosot keluhurannya. Padahal di dalamnya penuh dengan orang-orang baik. Rajanya seorang yang utama, Patihnya juga orang pilihan, punggawa negara berhati mulia dan pegawai-pegawai negara juga orang baik-baik semua. Sebuah negara yang sebenarnya ideal untuk memberi keadilan dan kemakmuran bagi penduduknya.

Sekedar informasi bahwa pemerintahan jaman serat ini digubah adalah sistem kerajaan dimana raja secara simbolis menjadi pemegang kekuasaan negeri dan berwenang menentukan kebijakan. Dalam hal ini yang bertindak sebagai pelaksana atau perdana menteri adalah Patih. Namun karena masa itu Belanda sudah sedemikian berkuasa kedudukan Belanda di atas raja. Jadi setiap kebijakan apapun harus disetujui oleh Belanda yang dalam hal ini diwakili Residen surakarta. Dengan demikian posisi raja sebenarnya terbelenggu, karena apapun kalau tidak disetujui Residen takkan terjadi.

(6)

demikian tidak menjadi penolak dari jaman Kutukan, malah makin menjadi-jadi (kerusakannya).

Kalau dalam bait pertama keadaan negara baru disebut Kalatidha, artinya jaman penuh keraguan, di bait ini sudah disebut Kalabendu, jaman penuh kutukan. Kerusakan ada dimana-mana, penyimpangan merajalela. Walau negara diisi oleh para cerdik cendekia, raja, patih, punggawa dan pegawai yang baik-baik tetap saja tak mampu menolak datangnya kutukan ini.

Sebenarnya gatra ini mengandung sindiran kepada para pejabat itu: kalian ngapain aja? Orang-orang pintar kok nggak becus ngurus negara?

Rubeda (halangan) angrebedi (membuat kerepotan), beda-beda (berbeda-beda) ardaning (hasratnya) wong (orang-orang) sanegara (seluruh negara). Banyak halangan yang membuat

kerepotan, dari hasrat yang berbeda-beda setiap orang seluruh negara.

(7)

Kajian Kalatidha (3): Ketaman Ing Reh Wirangi

Bait ke-3, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya pujangga agung Ranggawarsita:

Katetangi tangisira,

Temah suka ing karsa tanpa weweka.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Tumpahlah tangis (kesedihan)-nya, engkau sang pujangga

Terbelit hati oleh rasa sedih, tertimpa rasa malu.

Oleh perbuatan tersembunyi, yang menyertai dalam pergaulan, menyamar dengan berkata manis.

Yang sebenarnya mencari pamrih berharap keuntungan, sehingga membuat suka dalam harapan tanpa kewaspadaan.

Kajian per kata:

Katetangi (tertumpahlah) tangisira (tangismu), sira (engkau) sang (sang) paramengkawi (ahli bahasa, pujangga). Tumpahlah tangis (kesedihan)-nya, engkau sang pujangga.

Tumpahlah kesedihan sang pujangga. Katetangi tangisira di sini berarti bangkitlah tangismu. Menunjukkan adanya kesadaran yang tiba-tiba menyeruak dan menjadi penyesalan. Paramengkawi adalah ahli bahasa Kawi, yang dimaksud adalah diri sang pujangga Ranggawarsita sendiri. Jadi bait ini sedang menceritakan pergolakan hati Ranggawarsita sendiri.

Kawileting (terbelit) tyas (hati) duhkita (brsedih), ketaman (tertimpa) ing reh (dalam hal) wirangi (memalukan). Terbelit hati oleh rasa sedih, tertimpa rasa malu.

Kawilet dari kata wilet artinya tali, maksudnya kesedihannya begitu membelit, sangat sedih. Selain sedih juga merasa malu, jadi kesedihannya menjadi berlipat ganda.

Dening (oleh) upaya (perbuatan) sandi (sembunyi), sumaruna (pergaulan) anarawung (bersamaan), mangimur (menyamar) manuhara (berkata manis). Oleh perbuatan

tersembunyi, yang menyertai dalam pergaulan, menyamar dengan berkata manis.

(8)

asing lagi. Orang itu menyamar atau berpura-pura (mangimur) dengan berkata-kata manis (manuhara).

Met (mencari) pamrih (pamrih)melik (berharap) pakolih (keuntungan), temah (hingga) suka (suka) ing (dalam) karsa (hati) tanpa (tanpa) weweka (kewaspadaan). Yang sebenarnya

mencari pamrih berharap keuntungan, sehingga membuat suka dalam harapan tanpa kewaspadaan.

Padahal sebenarnya orang itu menyembunyikan pamrih, berharap keuntungan. Kata-kata manisnya membuat senang hati dan membangkitkan harapan (karsa) sang pujangga sehingga hilanglah kewaspadaan (weweka).

(9)

Kajian Kalatidha (4): Mundak Apa Aneng Ngayun?

Bait ke-3, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya pujangga agung Ranggawarsita:

Dasar karoban pawarta,

Pokok persoalannya adalah mendapat berita, kabar angin yang seolah-olah,

akan ditunjuk sebagai pemuka. Akhirnya malah tersingkir.

Kalau direnungkan dengan sungguh-sungguh, bertambah apa sih menjadi pemuka itu? Hanya menebarkan kesalahan.

Seperti tenggelam dalam kealpaan.

Jika membesar menjadi penuh dengan kesusahan.

Kajian per kata:

Dasar (pokok persoalannya) karoban(mendapat) pawarta (berita), bebaratan (kabar angin) ujar (perkataan) lamis (berpura-pura, seolah-olah), pinudya (ditunjuk) dadya (sebagai) pangarsa (pemuka). Pokok persoalannya adalah mendapat berita, kabar angin yang

seolah-olah, akan ditunjuk sebagai pemuka.

Bait ini mengungkap lebih dalam pokok masalah yang mendera sang pujangga. Berawal dari kabar angin yang dibawa seorang yang berpura-pura (lamis) tadi, bahwa beliau akan ditunjuk menjadi seorang pemuka.

Mengingat serat ini ditulis setelah sang pujangga memasuki usia matang, maka tak heran kalau kabar ini sangat membuat beliau berharap lebih. Mengingat beliau sebagai pujangga yang banyak karya-karyanya ternyata kariernya mentok. Pangkat beliau pun terhenti, ditilik dari gelar beliau yang hanya seorang Raden Ngabehi. Bandingkan dengan kakek beliau yang sesama pujangga namun bergelar Kanjeng Raden Tumenggung, yakni KRT Yasadipura.

Wekasan (akhirnya) malah (malah) kawuri (tersingkir). Akhirnya malah tersingkir.

(10)

Yen (kalau) pinikir (direnungkan) sayekti (sungguh-sungguh), mundhak (bertambah) apa (apa) aneng (menjadi) ngayun (pemuka). Kalau direnungkan dengan sungguh-sungguh,

bertambah apa sih menjadi pemuka itu?

Dalam gatra ini sang pujangga mulai mengambil hikmat dari peristiwa yang beliau alami. Dengan menimbang-nimbang untung ruginya. Sebenarnya kalau menjadi pemuka apa sih yang bertambah? Kok saya demikian berharap.

Andhedher (menebarkan) kaluputan (kesalahan). Hanya menebarkan kesalahan.

Memang benar, menjadi pemuka, pejabat atau pemimpin jika tidak cakap justru berbuah hina. Hanya menebarkan banyak kesalahan, blunder, salah langkah, dan mungkin kedzaliman. Oleh karena itu ada untungnya juga tak jadi ditunjuk sebagai pemimpin.

Siniram ing banyu(seperti tenggelam) lali (dalam kealpaan). Seperti tenggelam dalam

kealpaan.

Pemimpin yang tidak cakap dan tak tahan godaan justru seringkali lupa diri. Tenggelam dalam kealpaan, kekhilafan, kemunafikan, pencitraan, dan aneka penyimpangan lain.

Lamun (jika) tuwuh (membesar) dadi (menjadi) kekembenging (penuh dengan) beka (kerepotan, kesusahan). Jika membesar menjadi penuh dengan kesusahan.

Jika tidak segera sadar justru semakin lama semakin menjadi-jadi, kelak penyimpangannya semakin membesar hingga menimbulkan kesusahan. Baik bagi orang banyak karena kebijakannya yang salah, juga bagi diri sendiri karena bisa-bisa menuntunnya ke bui.

(11)

Kajian Kalatidha (5): Wong Hambeg Jatmika Kontit

Bait ke-5, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya pujangga agung Ranggawarsita:

Ujaring panitisastra, Di jaman yang penuh malapetaka,

orang berbudi halus akan tersingkir. Demikian jika diperhatikan.

Apa gunanya menuruti, kabar yang tak jelas,

hanya tambah menyusahkan hati.

Lebih baik merangkai cerita tentang jaman dahulu kala.

Kajian per kata:

Ujaring (termaktub dalam) panitisastra (buku Panitisastra), awewarah (menasihati) asung (memberi) peling (peringatan). Sudah termaktub dalam Panitisastra, yang menasihati dan

memberi peringatan.

Panitisastra atau serat Panitisastra adalah kitab kuna yang disusun kembali dan diterjemahkan dari bahasa Kawi ke bahasa Jawa atas perintah Sunan Paku Buwana IV. Pengarang kitab ini tidak diketahui, tetapi isinya banyak dipakai pedoman dalam bersikap sebagai punggawa negara. Di dalamnya termuat nasihat-nasihat tentang bagaimana harus bersikap dalam kehidupan sehari-hari.

Ing (di) jaman (jaman) keneng (yang penuh) musibat (malapetaka), wong (orang) hambeg (berbudi) jatmika (halus, tenang) kontit (tersingkir). Mengkono (demikian) yen (jika) niteni (perhatikan). Di jaman yang penuh malapetaka, orang berbudi halus akan tersingkir.

Demikian jika diperhatikan.

Orang-orang yang berbudi halus akan tersingkir di jaman pernuh malapetaka, karena mereka tak sampai hati berebut periuk nasi. Hati mereka terlalu halus untuk diajak berperilaku

mburog, ngusruk, mepet sesama. Padahal di jaman terkutuk ini orang-orang yang tak tahu

(12)

Kontit artinya tersingkir dengan memalukan. Ibarat pertandingan lari dia ketinggalan jauh hingga disoraki penonton.

Pedah (guna, faidah) apa (apa) amituhu (menuruti), pawarta (kabar) lelawara (angin, tak jelas), mundhak (tambah) angreranta (menyusahkan) ati (hati). Apa gunanya menuruti,

kabar yang tak jelas, hanya tambah menyusahkan hati.

Pada gatra ini sang pujangga sudah menunjukkan tanda-tanda melupakan kesedihan dan mulai move on. Beliau sadar bahwa mempercayai kabar yang tak jelas tidak ada gunanya. Jika tak sesuai harapan malah akan membuat hati semakin susah saja.

Angurbaya (lebih baik) angiket (merangkai, menyusun) cariteng (cerita) kuna (tentang jaman dahulu). Lebih baik merangkai cerita tentang jaman dahulu kala.

(13)

Kajian Kalatidha (6): Mupus Pepesthening Takdir

Bait ke-6, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya pujangga agung Ranggawarsita:

Keni kinarta darsana,

perbandingan antara yang buruk dan yang baik. Sesungguhnya banyak sekali,

kejadian yang menjadi tamsil, masalah kehidupan.

(Dengan begitu) makna kehidupan ditemukan, sehingga bisa menerima (keadaan).

Menerima segala keadaan yang sudah ditetapkan takdir, bagaimanapun sedang menjalani kejadian yang aneh.

Kajian per kata:

Keni (bisa) kinarya (dipakai) darsana (contoh tauladan), panglimbang (perbandingan) ala (buruk) lan (dan) becik (baik). Bisa dipakai sebagai teladan, perbandingan antara yang

buruk dan yang baik.

Bait ini masih melanjutkan bait sebelumnya tentang rencana sang pujangga yang akan merangkai cerita kuna. hal ini beliau lakukan sebagai upaya beliau untuk tetap memberi sumbangan pada kehidupan masyarakat, meski beliau tidak jadi menempati kedudukan yang diharapkan.

Dalam cerita-cerita tentang kehidupan jaman dahulu ada banyak kisah yang bisa dipakai sebagai teladan, sebagai bahan perbandingan antara yang baik dan yang buruk.

Sayekti (sesungguhnya) akeh (banyak) kewala (sekali), lelakon (kejadian) kang (yang) dadi (menjadi) tamsil (teladan baik, perumpamaan,perbandingan), masalahing (masalah) ngaurip (kehidupan). Sesungguhnya banyak sekali, kejadian yang menjadi tamsil, masalah

kehidupan.

Kisah-kisah lama banyak memuat ajaran tentang budi pekerti, nasihat tentang kehidupan, tamsil atau perumpamaan kehidupan yang dapat kita tiru, dan hal-hal lain yang berguna dalam praktik kehidupan sehari-hari. Hal ini beliau lakukan dengan menulis serat Pustaka

(14)

berisi tentang nasihat kehidupan yang dibingkai dalam sebuah percakapan antara guru dan murid.

Wahaninira (makna hidupnya) tinemu (ditemukan) , temahan (sehingga) anarima (bisa menerima). (Dengan begitu) makna kehidupan ditemukan, sehingga bisa menerima

(keadaan).

Beliau berharap dari kisah-kisah lama yang beliau dituliskan dapat digali dari makna hidup masing-masing orang, sehingga bisa menerima keadaan apapun yang menimpanya.

Mupus (menerima segala keadaan) pepesthening (yang sudah ditetapkan) takdir (oleh takdir), puluh-puluh (bagaimanapun juga) anglakoni (menjalani) kaelokan (kejadian aneh).

Menerima segala keadaan yang sudah ditetapkan takdir, bagaimanapun sedang menjalani kejadian yang aneh.

Mupus adalah salah satu bentuk akhlakul karimah bagi orang jawa, yang artinya rela menerima segala keadaan atau kejadian yang dibawah harapannya. Mupus ini biasanya disertai rasa syukur walau yang diharapkan tidak tercapai tetapi sudah mampu melangkah sejauh ini. Misalnya seseorang yang bersemangat menempuh pendidikan. Setelah bersusah payah dan berusaha dengan segala cara yang ada dia gagal diterima di program S3. Tentu itu sangat mengecewakannya, membuatnya tak habis pikir. Tetapi setelah merenungkan kembali dia kemudian mupus, mengubur impiannya untuk melanjutkan sekolah dan merasa bahwa apa yang telah diraihnya sudah merupakan karunia yang besar.

Dalam bait ini sang pujangga melakukan hal serupa. Beliau mupus, mengubur impiannya menjadi seorang pemuka (mungkin yang ingin diraihnya pangkat tumenggung), dan bersyukur atas apa yang diterimanya saat ini. Bagaimanapun (puluh-puluh) beliau sudah melalui banyak kejadian yang berat (elok-elok) tapi masih mampu meraih jabatannya sekarang ini.

(15)

Kajian Kalatidha (7): Luwih Begja Kang Eling Waspada

Bait ke-7, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya pujangga agung Ranggawarsita:

Amenangi jaman edan,

Luwih begja kang eling lawan waspada.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Hidup di jaman gila,

serba sulit dan repot dalam bertindak. Ikut gila tidak tahan,

kalau tidak ikut melakukan, tidak kebagian pendapatan, kelaparan akhirnya.

Namun sudah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lupa diri, masih lebih bahagia yang ingat dan waspada.

Kajian per kata:

Amenangi (menyaksikan, hidup di) jaman (jaman) edan (gila), ewuh (repot) aya (sulit) ing (dalam) pambudi (bertindak, berusaha). Hidup di jaman gila, serba sulit dan repot dalam

bertindak.

Kata amenangi sering diartika sempat hidup dan mengalami, misalnya pada kalimat:

amenangi jaman panjajahan Walanda, masih hidup dan menyaksikan jaman penjajahan

Belanda. Dalam kalimat di atas bermakna bahwa beliau hidup dan mengalami sendiri jaman edan itu. Dan merasakan seulit dan repotnya hidup tersebut.

Milu (ikut) edan (gila) nora (tidak) tahan (tahan), yen (kalau) tan (tidak) milu (ikut) anglakoni (melakukan), boya(tidak) kaduman (kebagian) melik (pendapatan), kaliren (kelaparan) wekasanipun (akhirnya). Ikut gila tidak tahan, kalau tidak ikut melakukan, tidak

kebagian pendapatan, kelaparan akhirnya.

(16)

Akibatnya seringkali lebih suka mundur dan mengalah, dengan resiko pendapatannya atau peruntungannya berkurang.

Jaman edan memang tidak berpihak kepada orang baik-baik. Orang yang tekun mengabdi disingkirkan, yang banyak bacot dijunjung tinggi. Asal bisa njeplak banyak pengikutnya, tentu saja sesama orang sakit hati yang sama gilanya.

Ndilalah (namun sudah menjadi) karsa (kehendak) Allah (Allah), begja begjane (sebahagia-bahagianya) kang (yang) lali (lupa diri), luwih (masih lebih) begja (bahagia) kang (yang) eling (ingat) lawan (dan) waspada (waspada). Namun sudah menjadi kehendak Allah,

sebahagia-bahagianya orang yang lupa diri, masih lebih bahagia yang ingat dan waspada.

Kata ndilalah sebenarnya bermakna kebetulan yang tidak diharapkan seperti pada kalimat,

ora nggawa payung ndilalah udan, tidak membawa payung tiba-tiba hujan. Agaknya kata ini

dipakai sebagai ungkapan bahwa mereka yang berperilaku gila itu boleh merencanakan ini dan itu, berbuat sesk mereka namun yang terjadi tetaplah kehendak Allah yang tidak mereka duga ata rencanakan.

Walau orang-orang yang berlaku gila dalam hidupnya itu tampak bahagia dan hidup enak, tetapi belum tentu seperti yang terlihat. Mungkin kelak tiba-tiba masuk bui karena terbongkar kejahatannya. Mungkin suatu saat terkena banyak penyakit karena gaya hidupnya. Karena sesungguhnya manusia hanya dapat menilai orang lain dari penampilan luarnya saja, sedangkan yang ada didalam kehidupannya kita tidak tahu.

Namun orang-orang yang tetap ingat dan waspada akan lebih bahagia. Hidupnya lebih terarah dan teratur. Keinginannya sederhana sesuai kemampuannya dan gaya hidupnya pun sewajarnya. Tidak ada keinginan yang menyiksa hati siang dan malam, karena orang seperti ini sudah pasrah dengan apa yang diterimanya.

(17)

Kajian Kalatidha (8): Muhung Mahas Ing Asepi

Bait ke-8, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya pujangga agung Ranggawarsita:

Semono iku bebasan, yang sangat kepengin (jabatan). Bukankah begitu Paman Doblang? Benar yang mengatakan demikian, tetapi dalam hati,

sebenarnya keinginan itu belum seberapa. Sudah tua akan berbuat apa.

Lebih baik hanya fokus dalam kesepian, agar mendapat ampunan Yang Maha Suci.

Kajian per kata:

Semono (Yang demikian) iku (itu) bebasan (seperti), padu-padune (orang yang sangat) kepengin (kepengin). Enggih mekoten man Doblang (bukan begitu Paman Doblang?). Yang

demikian itu seperti orang yang sangat kepengin (jabatan). Bukankah begitu Paman Doblang?

Maksud dari kalimat retoris ini adalah orang yang begitu susah ketika tak jadi diangkat sebagai pejabat (seperti yang dibahas bait sebelumnya) kok berkesan seperti orang yang sangat menginkan jabatan itu. Bukankah begitu Paman Doblang?

Paman Doblang disini bisa sembarang orang, seperti pada kata fulan dalam bahasa arab.Kata Paman Doblang ini diambil dari lagu dolanan anak yang terdiri dari beberapa bait, di akhir bait selalu diakhiri dengan pertanyaan, “Nggih mekaten, Man Dhoblang?”

Bener (benar) ingkang(yang) angarani (mengatakan demikian), nanging (tetapi) sajroning (dalam) batin (batin, hati), sejatine (sebenarnya) nyamut-nyamut (belum seberapa). Benar

yang mengatakan demikian, tetapi dalam hati, sebenarnya keinginan itu belum seberapa.

(18)

Nyamut-nyamut atau klamut-klamut sering dipakai untuk menyebut hasil dari sesuatu yang tak seberapa. Misalnya buah kelapa muda yang baru muncul buahnya atau degan, kalau belum tua masih tipis sekali buahnya, ini disebut klamut-klamut.

Wis (sudah) tuwa (tua) arep (akan) apa (apa), muhung (lebih baik hanya) mahas (fokus) ing (dalam) asepi (kesunyian), supayantuk (agar mendapat) pangaksamaning (ampunan) Hyang (Yang) Suksma (Maha Suci). Sudah tua akan berbuat apa. Lebih baik hanya fokus dalam

kesepian, agar mendapat ampunan Yang Maha Suci.

Sudah tua apa lagi yang mau dicapai. Mestinya disediakan waktu untuk beribadah. Tidak terus-menerus mengejar dunia. Cukuplah sekian porsinya untuk kehidupan dunia yang penuh intrik dan gejolak ini. Sudah saatnya memperbanyak muhasabah, menyendiri di tempat sepi (mahas ing asepi) mencari pengampunan kepada Allah Yang Maha Suci. Sambil di sela-sela waktu luang mengarang kitab untuk anak-anak muda di kemudian hari, agar menjadi pelajaran bagi mereka.

Kira-kira begitulah sikap batin Ki Ranggawarsita yang setelah merenung mampu mencapai ketenangan hidup. Tidak lagi galau oleh godaan keinginan menjadi pemuka yang sebelumnya sangat beliau inginkan.

Jika kita belajar sejarah seputar kerajaan Mataram, Surakarta dan Yogyakarta, mengabdi kepada raja memanhg menjadi cita-cita besar setiap orang. Apalagi bagi seorang abdi dalem yang sudah sejak muda membaktikan hidupnya untuk raja. Keridhaan raja yang dalam hal ini diwujudkan dengan kenaikan pangkat adalah sesuatu yang diidam-idamkan.

Dr. Kuntowijaya dalam buku Raja, Priyayi dan Kawula, menyebut bahwa pejah ing

sahandhap sampeyan dalem (mati di bawah kaki paduka raja) adalah obsesi setiap priyayi

(19)

Kajian Kalatidha (9): Saking Mangunah Prapti

Bait ke-9, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya pujangga agung Ranggawarsita:

Beda lan kang wus santosa, kinarilah ing Hyang Widhi.

Berbeda dengan yang sudah kuat, diridhali oleh Yang Maha Kuasa.

namun demikian masih rajin berusaha agar lebih baik.

Kajian per kata:

Beda (beda) lan (dengan) kang (yang) wus (sudah) santosa (kuat), kinarilah (diridhai) ing (oleh) Hyang (Yang) Widhi (Maha Kuasa). Berbeda dengan yang sudah kuat, diridhali oleh

Yang Maha Kuasa.

Setelah berbicar tentang niat untuk menyepi untuk bermuhasabah dan mencari ampunan Allah, Ki Ranggawarsita menyoroti orang yang sudah kuat dalam hubungannya dengan Allah. Suatu pencapaian yang masih jauh dari jangkauannya, paling tidak menurut penuturannya dalam serat ini.

Satiba (di mana pun) malanganeya (tempatnya), tan (tidak) susah (sulit) ngupaya (mencari) kasil (penghasilan). Di manapun tempatnya, tidak sulit mencari penghasilan.

Kapan pun, di manapun, kalau orang Jawa menyebutnya satiba-tibane kepenak, artinya dia jatuh di manapun akan hidup enak. Mencari makan pun tak sulit, mencari penghasilan pun mudah. Ini adalah gambaran orang yang sudah mempunyai kepasrahan yang kuat kepada Sang Pencipta.

Saking (dari mana pun) mangunah (pertolongan) prapti (datang), Pangeran (Tuhan) paring (memberi) pitulung (pertolongan), marga (lewat) samaning (sesama) titah (manusia, makhluk). Dari manapun pertolongan datang, Tuhan memberi pertolongan, lewat sesama

(20)

Mangunah adalah pertolongan yang diberikan kepada seseorang agar orang tersebut mampu menjalani tugas yang dibebankan. Orang yang sudah pasrah dan diridhai Allah akan mendapat mangunah ini, entah dari mana datangnya pertolongan itu. Bisa juga datang dari sesama makhluk Tuhan (titah). Bisa dari tetangga, kenalan, atau malah orang yang tak dikenal sama sekali.

Rupa (berupa) sabarang (sembarang) pakolih (pendapatan, rejeki), parandene (namun demikian) maksih (masih) taberi (rajin) ikhtiyar (berusaha lebih baik). Berupa sembarang

pendapatan, namun demikian masih rajin berusaha agar lebih baik.

(21)

Kajian Kalatidha (10): 4 Cagaking Ngaurip

Bait ke-10, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya pujangga agung Ranggawarsita:

Sakadare linakonan,

hanya berbuat yang menyenangkan hati, asal tidak menjadi masalah.

Karena ada riwayat mengatakan, ikhtiyar itu harus dilakukan, untuk memilih hal yang lebih baik. Sambil berusaha,

dengan tetap waspada dan ingat.

Disertai doa semoga mendapat anugrah dari Allah.

Kajian per kata:

Sakadare (sekedarnya) linakonan (dilakukan), mung (hanya) tumindak (berbuat) mara ati (menyenangkan hati), angger (asal) tan (tidak) dadi (menjadi) prakara (masalah).

Sekedarnya dilakukan, hanya berbuat yang menyenangkan hati, asal tidak menjadi masalah

Bait masih melanjutkan bahasan bait sebelumnya tentang orang yang sudah kuat kepasrahannya kepada Allah. Mereka walau seringkali mendapat kemudahan dan pertolongan Allah tetapi tidak bersikap mentang-mentang. Dalam arti tidak mentang-mentang dekat dengan Allah yang ditunjukkan dengan seringnya mereka beribadah secara kusyu’ dan khusus, sehingga mereka kemudian mengadalkan pertolongan itu semata-mata.

Tidak, merek tetap melakukan berusaha sebagaimana manusia yang lain. Hanya saja semua itu dilakukan dengan sekadarnya, tidak dengan hati yang penuh ambisi atau hasrat yang kuat. Mereka selalu menjaga agar dapat berusaha dengan hati senang, dan tidak membuat masalah dengan sesama. Wong cuma sekedar mancari makan saja kok sikut-sikutan, kira-kira begitulah.

Karana (karena) riwayat (ada riwayat) muni (mengatakan), ikhtiyar (iktiyar) iku (itu) yekti (harus dilakukan), pamilihing (memilih) reh (hal) rahayu (yang lebih baik). Karena ada

riwayat mengatakan, iktiyar itu harus dilakukan, untuk memilih hal yang lebih baik.

(22)

sanadnya. Sedangkan yang dimaksud ikhtiyar sesuai dengan pengertian dalam budaya Jawa adalah berusaha untuk memilih kehidupan yang lebih baik. Ini sesuai dengan maksud yang tersurat dalam bait ini, pamilihing reh rahayu, memilih keadaan yang lebih baik.

Sinambi (sambil) budidaya (berusaha), kanthi (dengan) awas (waspada) lawan (dan) eling (ingat). Kanti (disertai) kaesthi (memikirkan, berdoa) antuka (semoga mendapat) parmaning (anugrah dari) Suksma (Allah). Sambil berusaha, dengan tetap waspada dan ingat, disertai

doa semoga mendapat anugrah dari Allah.

Di sini muncul lagi dua kata kunci yang sudah kita bahas dalam bait yang lalu, yakni eling (ingat) dan waspada. Kita ulangi lagi penjelasannya agar semakin hapal. Ingat berarti mengingat diri sendiri, menjaga diri dari keinginan hati yang melampaui batas, jadi ingat lebih ditujukan ke dalam. Waspada lebih ditujukan ke luar dalam menghadapi berbagai godaan dan halangan yang muncul.

Maka yang harus selalu diingat di sini adalah: sambil berusaha dengan tetap waspada dan eling, disertai doa semoga mendapat anugrah dari Allah. Inilah 4 pilar orang hidup: budidaya, awas , eling dan berdoa. Empat hal itu jika dilakukan bersama-sama disebut dengan ikhtiyar.

(23)

Kajian Kalatidha (11): Mugi Aparinga Pitulung Ya Allah

Bait ke-10, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya pujangga agung Ranggawarsita:

Ya Allah ya Rasulullah, kang sipat murah lan asih, mugi-mugi aparinga,

yang bersifat Maha Penyayang dan Maha Pengasih, mohon berikanlah

pertolongan yang menggembirakan. Di alam dunia dan akhirat,

tempat kehidupanku.

Ya Allah ya Rasulullah, Kang (yang) sipat (bersifat) murah (Maha Pengasih) lan (dan) asih (Maha Penyayang), mugi-mugi (mohon) aparinga (berikanlah), pitulung (pertolongan) ingkang (yang) martani (menggembirakan). Ya Allah, Ya Rasulullah, yang bersifat Maha

Penyayang dan Maha Pengasih, mohon berikanlah pertolongan yang menggembirakan.

Ya Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang, berikanlah pertolonganmu kepada kami. Ya Rasulullah berikanlah syafa’atmu (pertolonganmu) nanti.

Ing (di) alam (alam) awal (awal, dunia) akhir (akhir, akhirat), dumununging (tempat) gesang (hidup) ulun (aku). Di alam dunia dan akhirat, tempat kehidupanku.

Di alam dunia dan akhirat, tempat aku menghabiskan hidup, tempat aku menghabiskan sisa umurku. Sudah sedikit yang bisa kukerjakan di dunia, karena jabatan pun tak ada. usia sudah semakin tua. Sanak saudara pun semakin jauh. Hanya tersisa sedikit saja dari kamaremaning

donya ini sekarang. Akhiratlah tempat sejati untuk hidup sebenarnya.

Mangkya (padahal) sampuna (sudah) wredha (lanjut usia), ing (pada) wekasan (akhirnya) kadipundi (bagaimana nasibku). Padahal sudah beerusia lanjut, pada akhirnya bagaimana

nasibku nanti.

(24)

nanti? Apakah dapat beroleh husnul khatimah? Hati ini sungguh sangat berharap padamu, Ya Allah!

Mula mugi (semoga) wontena (ada) pitulung (pertolonganmu) Tuwan (ya Allah). Semoga

datang pertolonganmu, Ya Allah!

Semoga datang pertolongan darimu Ya Allah.

(25)

Kajian Kalatidha (12): Mati Sajroning Urip

Bait ke-12, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya pujangga agung Ranggawarsita:

Sageda sabar santosa,

Semoga bisa sabar dan kuat,

dalam menjalani mati sajroning urip (mati dalam hidup). Terhindar dari dari segala kerepotan,

sifat tamak dan amarah menyingkir.

Tak lain hanya memusatkan diri untuk mencari karunia (Ilahi), senantiasa menjaga hati agar tetap patuh.

Hilangnya kutukan,

dan mendapat kemudahan seperlunya.

Serahkan diri sekeluarga untuk agar tercapai sejahtera.

Kajian per kata:

Sageda (semoga bisa) sabar (sabar) santosa (kuat), mati (mati) sajroning (dalam) ngaurip (hidup). Semoga bisa sabar dan kuat, dalam menjalani mati sajroning urip (mati dalam

hidup).

Mati sajroning urip adalah falsafat Jawa yang berarti natinya kehendak atau kepentingan diri, berganti menjadi kehendak Ilahi semata-mata. Ini adalah pencapaian yang sangat seulit bagi kebanyakan orang, mesti berlatih mengendalikan nafsu dn keinginan dengan cara bertapa dan menyepi. Untuk lebih jelasnya soal ini silahkan mengikuti kajian serat Wedatama yang sudah tuntas dimuat dalam blog ini.

Kalis (terhindar) ing (dari) reh (segala) aruraha (kerepotan), murka (tamak) angkara (amarah) sumingkir (menghindar). Terhindar dari dari segala kerepotan, sifat tamak dan

amarah menyingkir.

Karena sudah mati dalam hidup, maka segala ambisi dan keinginan, yang merupakan biaang dari segala kerepotan menjadi hilang. Terhindar dari nafsu tamak dan amarah. Dua yang terakhir ini menyingkir karena sudah tidak kita butuhkan lagi.

Tarlen (tak lain) meleng (konsentrasi, fokus) malat (mencari) sih (sayang, karunia), sanityaseng (senantiasa) tyas (hati) mematuh (patuh). Tak lain hanya memusatkan diri untuk

(26)

Hidupnya sekarang hanya untuk mencari kasih sayang Ilahi, segala tindak-tanduk fokus menuju karuniaNya. Senantiasa menjaga hati agar tetap dalam keadaan patuh dan tunduk.

Badharing (hilangnya) sapudhendha (hukuman, kutukan), antuk (mendapat) mayar (kemudahan) sawetawis (seperlunya). Hilangnya kutukan, dan mendapat kemudahan

seperlunya.

Jia kita sudah ikhlas dalam menjalani lehidupan sebagai hamba Allah, maka hilanglah kutukan dalam diri kita, hilanglah segala bala’ dan hukuman. Segala kesulitan menjadi ujian yang mendatangkan pahala, menjadi peringatan agar kita hati-hati dan tetap fokus.

Bahwa seseorang yang sudah membaktikan diri untuk mendekati Tuhan maka akan Dia memberi jalan kemudahan, tetapi tetaplah petunjuk yang diberikan dalam batas sewajarny. Kedekatan dengan Tuhan tidak lantas membuat kita menjadi istimewa dalam tatanan hukum alam. Mentang-mentan dekat dengan Tuhan lantas kita dimanja, tidak demikian. Karena sesungguhnya dunia dan seisinya diciptakan agar menjadi alat belajar tentangNya. Maka setiap proses mesti dilalui dengan sewajarnya.

BoRONG (serahkan) angGA (diri) saWARga (sekeluarga) meSI (memuat, berisi) marTAya (sejahtera). Serahkan diri sekeluarga untuk agar tercapai sejahtera.

Pasrah atas semua yang akan terjadi, menyerahkan diri agar kehidupan menjadi sejahtera, terhindar kerepotan yang tak perlu, hati menjadi tenang karena kepatuhan kepada Sang Pencipta.

Gatra terakhir ini juga memuat sandi asma, yakni nama yang disembunyikan. Perhatikan suku kata yang berhuruf besar jika dikumpulkan akan membentuk nama: RONGGAWARSITA.

Sekian kajian serat Kalatidha. Semoga memberi manfaat kepada para pembaca yang berkenan mampir ke blog ini. Saya doakan Anda semua panjang umur, murah rejeki dan berhati tenang di akhir kehidupan, sebagaimana yang telah dicapai oleh sang pujangga Ki Ranggawarsita rahimahullah.

Wallahu a’lam.

Catatan kecil:

(27)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini memiliki tujuan yaitu menjelaskan (1) Keterkaitan antar ide yang terdapat dalam Serat Wulangreh pupuh Pangkur karya Sunan Paku Buwana IV, (2) Aktivitas