• Tidak ada hasil yang ditemukan

EMBATASAN HAK BERSERIKAT DAN BERKUMPUL I (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EMBATASAN HAK BERSERIKAT DAN BERKUMPUL I (1)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Para hadirin yang saya muliakan,

Pada tahun 1996, Prof.Dr. H. Rukmana Amanwinata, SH., MH menulis Disertasi dengan thema “Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul Dalam Pasal 28 UUD 1945”. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul adalah suatu hak asasi manusia yang termasuk ke dalam golongan hak asasi manusia klasik (klassieke grondrechten) atau hak asasi manusia generasi pertama. Seperti diketahui, perkembangan konsep hak asasi mansuaia telah menempuh perjalanan panjang dan mengalami masa pasang dan masa surut. Menurut Prof. Rukmana, sejarah pengaturan tentang hak asasi manusia telah telah ada sejak masa Raja Hammuradi di Babylonia, sekitar 2100 tahun sebelum Masehi sampai dengan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada tahun 1948. Sejak saat itu begitu banyak

dokumen-dokumen dan konstitusi-konsitusi di dunia yang mengatur hak asasi, khususnya mengenai kebeasan berserikat dan berkumpul.

Di dalam UUD 1945, pada Pasal 28 kita dapati ketentuan yang

(2)

Partai politik secara umum dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang bergabung atas dasar adanya kesamaan visi, orientasi dan persepsi politik. Ketiga hal itu melahirkan suatu nilai tertentu yang lazim disebut sebagai ”idiologi partai”. Idiologi itu dituangkan dalam sebuah konstitusi partai yang di kita dikenal sebagai Anggaran Dasar, yang kemudian dijabarkan lebih rinci dalam flatform perjuangan partai, yang semestinya tergambar dalam Anggaran Rumah Tangga. Idiologi merupakan sebuah nilai kolektif yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku para anggota, sehingga dari pendirian, sikap dan perilaku seseorang, semestinya kita dapat menduga dari partai politik mana dia berasal.

Hadirin yang saya muliakan,

Pada masa itu jumlah partai politik hanya ada tiga, yaitu Partai Persatuan Pembanguan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golongan Karya, dan yang terakhir itu tidak disebut partai politik. Kenyataan itulah yang melahirkan pertanyaan bagi Prof. Rukmana, kenapa jumlah partai politik hanya dibatasi tiga?

Di sisi lain Prof. Rukmana mengakui bahwa hak asasi manusia bukan tanpa batas, dan batas-batas itu dapat berubah-ubah tergantung dari keadaan, namun sarana yang dipergunakan untuk membatasi itu adalah hukum.

Sungguhpun dalam Pasal 28 UUD 1945 terdapat anak kalimat, “…sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang.” tetapi dapatkah undang-undang hanya menetapkan 3 partai politik saja dan melarang orang membentuk partai politik baru, karena hal itu berarti membatasi kebebasan berserikat dan berkumpul?.

Dalam Disertasi tersebut terdapat dua masalah pokok yang beliau sampaikan, yaitu:

1. Dapatkah peraturan perundang-undangan melakukan pembatasan terhadap implementasi kebebasan berserikat dan berkumpul dalam Pasal 28 UUD 1945?

(3)

Para hadirin yang saya hormati,

Keberadaan ketiga partai politik tersebut tidak terlepas dari sejarah ketatanegaraan Indonesia. Tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan, sebagai suatu negara baru yang belum berpengalaman, Pemerintah berupaya untuk membangun infra struktur politik. Upaya tersebut diawali dengan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang berisi anjuran Pemerintah kepada masyarakat untuk membentuk partai-partai politik. Anjuran untuk menumbuh-kembangkan iklim demokrasi itu mendapat

sambutan antusias dari masyarakat, sehingga bermunculan partai-partai politik baru seperti jamur di musim hujan. Kemudian, dengan terbitnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November sistem pemerintahan presidensial bergeser ke arah sistem pemerintahan parlementer, yang mengakibatkan peran partai politik semakin dominan, sehingga minat mendirikan partai politik semakin berkobar.

Kombinasi antara sistem multi partai dan sistem pemerintahan parlementer dalam periode demokrasi liberal sejak Maklumat Pemerintah tanggl 14 November 1945 sampai dengan Dekrtit Presiden 5 Juli 1959, telah melahirkan instabilitas politik. Kabinet jatuh bangun silih berganti, karena tidak ada partai politik atau koalisi partai politik yang dominan menguasai parlemen atau DPR. Oleh sebab itulah setelah kembali ke UUD 1945

berkembang gagasan dan semangat untuk membatasi jumlah partai politik.

Dalam hal itu, Prof. Rukmana menolak anggapan umum bahwa instabilitas pemerintahan pada masa demokrasi liberal disebabkan oleh diterapkannya sistem pemerintahan parlementer dan sistem multi partai. Sebab di beberapa negara, seperti Perancis dan Belanda telah diterapkan sistem pemerintaam parlementer dan multi partai, namun stabilitas

pemerintahan tetap terjaga. Jadi faktor utama instabilitas pemerintahan bukan pada sistem, melainkan lebih pada belum adanya kesadaran politik dari bangsa Indonesia.

(4)

Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Berdasarkan PENPRES tersebut jumlah partai politik tinggal 10, yaitu PNI, NU, PKI, Parkindo, PSII, Partai Katolik Republik Indonesia, Partai Murba, IPKI, Partindo dan Perti.

Selanjutnya tidak hanya jumlah yang dibatasi, Presiden Soekarno mencoba pula untuk membatasi peran partai politik. Hal itu dilakukannya dengan cara

membentuk Front Nasional melalui PERPRES No.13 Tahun 1959 tentang Front Nasional, yang keanggotaannya bersifat perorangan/individual.

Wajar apabila PERPRES tersebut kemudian mendapat kecaman dari partai-partai politik, sehingga dengan KEPPRES No.653 tahun 1961

keanggotaannya diperluas meliputi golongan karya, partai politik dan perorangan. Namun demikian, hal tersebut justru lebih menguntungkan Presiden Soekarno, karena Front Nasional sebagai suatu “partai pemerintah” sepenuhnya berada di bawah kontrol Presiden Soekarno sejalan dengan konsep Demokrasi Terpimpin yang dicanangkannya. Selain itu Presiden Soekarno mengeluarkan PERPRES No.2 tahun 1959 tentang Larangan Kenggotaan Partai Politik Bagi Pejabat Negeri WNI, yaitu pegawai pemerintah, anggota angkatan perang dan kepolisian, termasuk anggota direksi/pimpinan badan usaha yang seluruhnya atau sebagian milik negara.

Hadirin yang saya muliakan,

(5)

sebagai penjelmaan rakyat. Keputusan-keputusan MPR dengan demikian adalah pernyataan kehendak rakyat. Berdasarkan Ketetapam MPR tersebut kemudian keluar Undang-undang No.3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Dalam undang-undang tersebut organisasi kekuatan sosial politik dikelompokkan menjadi dua partai politik dan satu golongan karya. Dengan komposisi seperti itu diharapkan dapat menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan Bangsa, stabilitas nasional serta terlaksananya percepatan pembangunan.

Sejak saat itu, meskipun secara formal Indonesia masih menganut sistem banyak partai (multy party), tetapi dalam kenyataannya menganut sistem satu partai (mono party), karena sejak pemilu 1977, dan keempat pemilu berikutnya 1982, 1987, 1992, 1997 senantiasa dimenangkan oleh

Golongan Karya, sehingga Golongan Karya sepenuhnya menguasai MPR/DPR dan seluruh DPRD. Model Front Nasional pada masa Orde Lama “diadopsi” kembali, dengan menempatkan Presiden sebagai ketua Dewan Pembina Golongan Karya.

Hadirin yang saya hormati,

Jika pada masa Orde Lama Presiden menggunakan instrument Peraturan Presiden (PERPRES) dan Keputusan Presiden (KEPPES) untuk menjalankan kebijakannya, pada masa Orde Baru Presiden cukup

menggunakan Keputusan Presiden (KEPPRES). Menurut Ketetapan MPR(S) No.XX/MPRS/1966 Kedudukan KEPPRES secara formal berada di bawah Peraturan Pemerintah, namun dalam kenyataannya kedudukan KEPPRES jauh lebih kuat. Legitimasi itu dikembangkan dari logika bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, kemudian MPR

(6)

keberadaannya tidak perlu atas dasar periuntah undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi, sehingga KEPPRES memiliki kekuataan yang sejajar bahkan di atas undang-undang. Oleh sebab itu penyangkalan hak asasi manusia pada masa itu lebih banyak dilakukan dalam bentuk KEPPRES. Menurut Prof. Rukmana pada masa itu kebebasan berserikat dan berkumpul berdasarkan Pasal 28 UUD 1945 mengalami masa surut.

Jadi dalam pemikiran beliau pembatasan jumlah partai politik pada masa itu adalah tidak wajar. Pembatasan implementasi kebebasan berserikat dan berkumpul sebagai suatu hak asasi manusia, seharusnya memenuhi beberapa syarat, yaitu:

1. untuk menjamin pengakuan dan penghormatan hak dan kebebasan orang lain;

2. syarat kesusilaan; artinya pelaksanaan hak asasi manusia tersebut wajib mengindahkan kaidah-kaidah etika dan kepatutan;

3. syarat kepentingan umum; artinya tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum.

Lebih lanjut Prof. Rukamana mengatakan bahwa implementasi Pasal 28 tidak hanya dilihat dalam konteks hak asasi manusia, melainkan tidak terlepas dari konteks demokrasi dan negara hukum (rechtstaat). Pengekangan atau pembatasan yang berlebihan justru menggambarkan corak pemerintahan yang anti demoktasi atau totaliter dan berdasarkan kekuasaan (machtstaat). Sebab salah satu esensi negara hukum yang demokratis adalah “freedom of

expression” dan “freedom of speak” yang menjiwai Pasal 28 UUD 1945 tersebut.

Oleh sebab itu anak kalimat “… ditetapkan dengan undang-undang” dalam Pasal 28 UUD 1945, tidak boleh diartikan sekedar diatur dengan

undang-undang sesuai dengan apa yang dihendaki penguasa, melainkan hanya dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:

(7)

darurat militer dan keadaan perang. Dapat juga dilakukan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa seperti yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Pembatasan atau penyangkalan terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul dalam kondisi negara seperti itu dibenarkan sesuai dengan asas “solus publica supreme lex” (kepentingan umum berada di atas undang-undang). Pada saat kepentingan negara menjadi taruhan, maka UUD 1945 dapat disampingkan.

Kedua, pembatasan tersebut tidak permanen, melainkan hanya bersifat sementara selama Negara berada dalam kondisi abnormal. Artinya, ketika kondisi negara kembali normal, kebebasan berserikat dan berkumpul tersebut harus dikembalikan.

Hadirin yang saya hormati,

Seperti kita ketahui, setelah tahun 1998 (Reformasi) suasana kehidupan sosial politik berubah drastis. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul adalah harga mati yang tidak dapat ditawar lagi. Semua sistem yang dibangun pada masa pemerintahan Orde Baru mendapat stigma “totaliter” dan memperoleh anti-thesa, demikian pula halnya dengan aturan kepartaian. Masyarakat menginginkan sistem kepartaian yang lebih terbuka, demokratis dan transparan.

Undang-undang No.3 Tahun 1975 tentang Kepartaian dan Golongan Karya yang membatasi jumlah partai politik segera diganti dengan UU No.2 Tahun 1999. Dalam undang-undang tersebut yang dimaksud dengan Partai Politik adalah setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk

memperjuangkan baik kepentingan anggotanya maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum. Sementara syarat untuk membentuk sebuah Partai Politik cukup mudah, yaitu sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dapat membentuk Partai Politik. Didirikan dengan Akta Notaris sebagaimana

(8)

jumlah partai politik membengkak sampai lebih dari seratus dan pada Pemilu anggota MPR, DPR dan DPRD tahun 1999 diikuti oleh 48 Partai Politik yang lolos verifikasi.

Hadirin yang saya hormati,

Banyak pihak menilai periode antara 1999 sampai 2004 merupakan masa “legislative tragedy” karena Pemilu tahun 1999 telah berhasil

menempatkan orang-orang yang kurang berkualitas untuk duduk di kursi MPR, DPR dan DPRD. Hal itu tampak dalam sikap dan perilaku mereka yang kurang patut. Sebagai contoh, ada satu Kabupaten di Jawa Barat yang mengalokasikan 1/3 APBD digunakan untuk gaji anggota DPRD. Korupsi, kolusi dan nepotisme bergeser dari eksekutif ke legislatif. Fenomena tersebut melahirkan kesadaran bahwa implementasi penuh dari kebebasan berserikat dan berkumpul ternyata tidak serta merta membawa kesejahteraan rakyat, bahkan sebaliknya membuat rakyat semakin menderita, sehingga sering kali dikatakan bahwa reformasi telah kebablasan, dan muncul gagasan serta pikiran untuk membatasi jumlah partai poltik.

Setelah Perubahan UUD 1945, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2002, dan terakhir diganti dengan Undang-undang Nomor 2 tahun 2008. Persyaratan-persyaratan administratif mengenai pembentukan, penggabungan, dan pembubaran partai politik diatur lebih terperinci, tetapi pembatasan jumlah partai politik model Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tampaknya tidak dapat diterima.

Upaya pembatasan jumlah partai politik tersebut justru diatur undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam Pasal 142 dinyatakan:

(9)

ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 1999.”

Selanjutnya, dalam Pasal 143 ditegaskan bahwa partai politik yang tidak memenuhi ketentuan pasal 142 tidak boleh ikut dalam pemilihan umum berikutnya (2004), kecuali bergabung dengan partai politik lain.dengan cara :

1. bergabung dengan partai politik peserta Pemilu tahun 1999 yang memenuhi ketentuan Pasal 142;

2. Bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142, dengan menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung;

3. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 dengan menggunakan nama dan tanda gambar baru.

Dengan cara ini, yang dikenal sebagai “parliament threshold” tersebut, jumlah perserta pemilu tahun 2004 menciut menjadi 24 partai politik, dan diharapkan dalam pemilu berikutnya secara alamiah jumlah partai politik tersebut akan semakin mengerucut. Dari hasil perolehan suara peserta pemilu 2004

diperkirakan pada pemilu berikutnya hanya akan diikuti sekitar tujuh partai politik. Namun demikian, pada tahun 2008 undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tersebut diganti dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008,

ketentuan mengenai parliament threshold tetap dipertahankan, bahkan diperberat.

Dalam Pasal 315 dinyatakan:

(10)

Dengan ketentuan tersebut, semestinya jumlah peserta pemilu 2009 akan semakin kecil, tetapi faktanya jumlah peserta pemilu pada bulan April 2009 yang lalu diikuti oleh 44 (empat puluh empat) partai politik ditambah 6 (enam) partai local di Aceh. Upaya membatasi jumlah partai politik melalui Pasal 315 menjadi tidak efektif karena Pasal 316 telah membunuh Pasal 315.

Dalam Pasal 316 dikatakan:

Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan:

a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau

b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dan selanjutnya

menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau

c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau

d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau

e. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang

Poin a, b, dan c persis sama dengan ketentuan Pasal 143 undang-undang No.12 tahun 2003, tetapi poin “d” justru menghapus makna 3% perolehan jumlah kursi DPR yang disyarakatkan. Artinya partai politik yang hanya memiliki satu kursi di DPR tetap berhak ikut pemilu. Sementara untuk poin “e” persyaratan verifikasi ditetapkan sendiri oleh KPU beradasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Jadi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 telah membuat “blunder”, tetapi tentu hal itu harus kita maklumi karena suatu undang-undang pada hakekatnya merupakan suatu kesepakatan politik dari kekuatan sosial politik baik yang ada di DPR maupun di luar DPR. “Blunder” itu dapat dibaca bahwa sekalipun berkembang gagasan-gagasan untuk membatasi jumlah partai politik di kalangan akademisi,

(11)

Hadirin yang saya hormati,

Dalam 10 tahun terakhir ini sebagaian dari kita, termasuk Prof. Rukmana mungkin mulai menyadari bahwa demokrasi itu ternyata

membutuhkan biaya mahal, dan biaya tersebut tidak sebanding dengan hasil yang dicapai. Setidak-tidaknya hal itu tergambar dari indikator-indikator pembangunan yang digunakan, kita tidak beranjak jauh dari kondisi pada awal Reformasi. Kebebasan berserikat dan berkumpul, termasuk kebebasan

membentuk partai politik pada kenyataannya tidak memperbaiki keadaan apabila partai sekedar menjadi kendaraan untuk meraih kekuasaan.

Tujuan partai politik memang meraih kekuasaan sesuai dengan aturan main yang ada, dan lalu mengelola kekuasaan tersebut selama mungkin. Kekuasaan, meski punya sifat cenderung bersalah guna, tetapi bukan suatu yang haram. Sejarah membuktikan, dengan kekuasaan itu manusia membangun peradaban, atau sebaliknya menghancurkan peradaban. Keberadaan partai politik sangat dibutuhkan sebagai sarana meraih kekuasaan secara elegan, tertib dan bermartabat. Sejalan dengan itu, semestinya partai politik berfungsi sebagai:

a. pendidikan politik kepada masyarakat sesuai dengan plateform perjuangan parpol;

b. menyiapkan kader pemimpin melalui sebuah program pembinaan yang terencana dan bertahap, dan menawarkan calon pemimpin itu kepada rakyat;

c. mengawasi jalannya pemerintahan, melalui kritik-kritik dan tawaran solusi alternatif;

d. mengembangkan program-program konkrit di tingkat akar rumput sebagai stimulan perubahan sekaligus sebagai upaya menarik simpati rakyat.

(12)

Kalah atau menang dalam pemilu bukan persoalan. Sebab partai politik yang menang dan kalah semua akan duduk bersama dalam kursi kekuasaan. Mungkin inilah yang menjadi akar masalah, seperti yang dikemukakan Prof. Rukmana dalam disertasinya bahwa persoalannya bukan pada sistem, tetapi pada manusia Indonesia yang belum mempunyai kesadaran politik.

Jika demikian halnya, maka jumlah partai politik tidak penting, tetapi jika nanti tercapai permufakatan politik untuk membatasi jumlah partai,

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan permasalahan yang ada maka tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh metode karyawisata pada konsep ekosistem terhadap hasil belajar siswa

Jenis pekerjaan tertentu tentu tidak dapat diselesaikan hanya dengan satu orang saja. Jenis pekerjaan tertentu memungkinkan untuk diselesaikan oleh dua orang atau

Menurut Hidayat (2003:96) bahwa fungsi metode bernyanyi pada anak TK adalah untuk mencapai kemampuan dalam pengembangan daya cipta, mencapai kemampuan dalam

Puji Syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat, rahmat, kesehatan, akal budi serta bimbingan-Nya sehingga Landasan Teori dan Program (LTP) Projek Akhir

Terbatasnya informasi tentang kupu-kupu pengunjung pada tumbuhan tersebut, maka menjadi dasar dilakukan penelitian untuk mengetahui jenis-jenis kupu-kupu pengunjung

Penelitian untuk mengetahui dampak negatif alih fungsi lahan sawah terhadap produksi pakan untuk pengembangan sapi telah dilaksanakan di Kabupaten Tabanan, Bali dari

Hal ini memiliki kesamaan dengan pola spasial yang terbentuk pada peta LISA IR pada tahun 2008 dan 2009, dimana muncul wilayah pemusatan baru pada Kecamatan Ungaran Barat