SEJARAH, ISTILAH, CONTOH KARYA SASTRA JAWA DAN TERJEMAHANNYA
Limpakuwus, 11 Aprill
2017
PENDAHULUAN
Sastra sebagai istilah yang menunjuk pada suatu ilmu dengan bahasan yang luas, yang meliputi teori sastra ( membicarakan pengertian-pengertian dasar tentang sastra, unsur-unsur yang membentuk suatu karya sastra, jenis-jenis sastra dan perkembangan pemikiran sastra ), sejarah sastra ( membicarakan dinamika tentang sastra, pertumbuhan atau perkembangan suatu karya sastra, tokoh-tokoh dan cirri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan suatu karya sastra).
Sastra secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, berasal dari akar kata ‘sas’, yang dalam kata kerja turunan berarti ‘mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk/intruksi. Akhiran ‘tra’ menunjuk pada alat, sarana, sehingga sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Biasanya kata sastra diberi awalan ‘su’ ( menjadi susastra ). Su artinya ‘baik’, indah, sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah, atau dengan kata lain, ‘belles-letters’ ( tulisan yang indah dan sopan ).
Sebagai bahan dasar sastra (kesusasteraan) adalah bahasa. Bahasa yang digunakan dalam kesusasteraan memang berbeda dengan bahasa keilmuan maupun bahasa yang digunakan sehari-hari.
Bentuk karya sastra juga ada beberapa macam, meliputi; Karya sastra yang berbentuk prosa, karya sastra yang berbentuk puisi dankarya sastra yang berbentuk drama.
Bicara mengenai sastra tidak lepas dari fungsi dan sifatnya. Karya sastra lebih berfungsi untuk menghibur dan sekaligus memberi pengajaran sesuatu terhadap manusia. Sastra juga berfungsi untuk mengungkapkan adanya nilai keindahan (yang indah), nilai manfaat (berguna), dan mengandung nilai moralitas (pesan moral).
Rumusan masalah
Sejarah perkembangan sastra jawa Periode sastra jawa
Pengaruh islam dalam sastra jawa
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Sastra Jawa
Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna.
Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).
Biasanya sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:
· Sastra Jawa Kuna · Sastra Jawa Tengahan · Sastra Jawa Baru · Sastra Jawa Modern
Terdapat pula kategori Sastra Jawa-Bali, yang berkembang dari Sastra Jawa Tengahan. Selain itu, ada pulaSastra Lombok, Sastra Sunda, Sastra Jawa-Madura, dan Sastra Jawa-Palembang.
Bahasa Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara Pallawa yang berasal dari India Selatan. Aksara ini yang menjadi cikal bakal aksara Jawa modern atau Hanacaraka yang masih dipakai sampai sekarang. Dengan berkembangnya agama Islam pada abad ke-15 dan ke-16, huruf Arab juga dipergunakan untuk menulis bahasa Jawa; huruf ini disebut dengan nama huruf pegon. Ketika bangsa Eropa datang ke Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk menulis bahasa Jawa.
Berbicara tentang sastra jawa, ternyata sastra Jawa tumbuh melalui beberapa fase, dari Jawa kuno, Jawa menengah, hingga Jawa modern. Wujudnya juga beraneka ragam, di antaranya berupa naskah filsafat dan keagamaan yang berbentuk prosa dan kakawin yang berbentuk puisi. Tidak mudah untuk memahami karya sastra Jawa kuno dan Jawa menengah. Itu memerlukan studi khusus karena berupa naskah kuno.
Cabang ilmu yang khusus tersebut adalah filologi. Menurut buku berjudul Kalangwan, karya Prof. Dr. P.J. Zoetmulder, filologi Jawa kuno selama ini masih tetap terbentur pada kekurangan pengetahuan kita tentang bahasa dan latar belakang sosial kulturalnya, sehingga banyak kata susah dipahami. Lewat karya-karya seni inilah, para nenek moyang suku Jawa mengungkapkan ide-ide religius beserta pandangan mereka mengenai manusia dan semesta alam.
Dahulu, seni menulis puisi di Jawa disebut kalangwan atau kalangon, yang jika diartikan ke bahasa Indonesia berarti ‘keindahan’. Dinamakan keindahan karena dengan menciptakan dan menikmati karya-karya sastra, orang akan terhanyut akan pesona untaian kata-kata, jiwa seakan melayang ke luar dari dalam dirinya (ekstasis – ‘lango’).
Dalam prasasti-prasasti berikutnya, sistem penyebutan tanggal disempurnakan lagi, sehingga juga menyebut tinggi bulan, sebuah planet tertentu, dan konstelasi maupun konjunksi dua bintang.
Prasasti Sukabumi dibuat pada tanggal 25 Maret 804 Masehi dan merupakan prasasti tertua yang menggunakan bahasa Jawa kuno yang ditemukan sampai saat ini. Maka dari itu, tanggal tersebut merupakan tonggak yang mengawali sejarah bahasa Jawa kuno. Sejak saat itu bahasa Jawa kuno dipakai dalam kebanyakkan dokumen resmi.
Bahasa Jawa kuno termasuk rumpun bahasa yang dikenal sebagai bahasa-bahasa Nusantara dan merupakan sub-bagian dari kelompok linguistik Austronesia. Di antara bahasa-bahasa Nusantara yang berjumlah sekitar 250 macam, bahasa Jawa menduduki tempat istimewa karena karya-karya sastranya berasal dari abad ke-9 dan ke-10.
Ada dua sifat yang nampak dalam bahasa Jawa kuno, yaitu adanya kata-kata yang berasal dari bahasa Sansekerta, bahasa yang secara linguistik termasuk suatu rumpun bahasa yang lain sama sekali. Sifat kedua, walaupun pengaruh Sansekerta cukup besar, dalam segala susunan dan ciri-ciri pokok, bahasa Jawa kuno tetap merupakan suatu bahasa Nusantara.
Dalam buku Sanskrit in Indonesia, J Gonda membahas pengaruh bahasa Sansekerta terhadap bahasa-bahasa nusantara. Dalam sebuah tinjauan umum dia mencatat: “Secara linguistik pengaruh India terhadap daerah-daerah Indonesia yang mengalami proses Hinduisasi tidak mengakibatkan semacam pembauran antara bahasa India sehari-hari dan salah satu idiom bahasa Nusantara, melainkan suatu bahasa Nusantara yang diperkaya dengan penambahan dan pencampuran kata-kata Sansekerta serta sejumlah kecil kata-kata Indo-Arya yang lebih muda.” Selanjutnya, menurut Gonda, puisi bahasa Jawa yang disusun dalam bentuk kakawin mengandung sekitar 25% sampai 30% kesatuan kata yang berasal dari bahasa Sansekerta.
Memakai kata-kata Sansekerta pada saat itu merupakan suatu mode, untuk menaikkan status atau gengsi karena Sansekerta dianggap berasal dari kebudayaan yang lebih tinggi. Alasan lain yang mendorong para pengarang memasukkan kata-kata Sansekerta khususnya dalam puisi ialah keinginan mereka untuk memperkaya kosakata juga untuk mematuhi kaidah-kaidah dalam puisi. Kaidah-kaidah itu seperti metrum dan naik turunnya suara.
Pada waktu dokumen-dokuemen itu ditulis, yaitu pada abad ke-9, pusat kekuasan politis dan kehidupan kebudayaan terdapat di Jawa Tengah. Sekitar tahun 930 Masehi, pusat itu bergeser ke arah timur dan sejarah Jawa Tengah berabad-abad lamanya tidak dapat diketahui karena tidak ada karya seni atau karya arsitektur yang dapat menceritakan kondisi pada waktu itu.
Jawa kuno mewujudkan kebudayaan Hindu-Jawa, Ketika pada akhir abad ke-17 Kerajaan Blambangan musnah dan kekuasaan Jawa dipegang oleh kekuasaan Islam, maka tamatlah sastra Jawa kuno. Kondisi-kondisi agar sastra Jawa kuno dapat bertahan dan melangsungkan eksistensinya sebagai peninggalan dari masa silam telah lenyap. Ini disebabkan karena lenyapnya keraton-keraton, baik sentral maupun regional, dimana karya sastra dipelihara dan terus-menerus diperbaharui oleh para juru tulis. Selain itu disebabkan banyaknya karya sastra yang musnah pada saat pergantian kekuasaan Hindu ke Islam.
Pada masa pancaroba itu hanya sedikit karya sastra yang dapat bertahan, di antaranya Ramayana dan Arjunawiwaha. Kemudian, pada akhir abad ke-18 di kalangan kraton Surakarta terjadi suatu gerakan satra yang menghasilkan berbagai karya sastra seni yang bermutu. Namun di Jawa, perhatian terhadap sastra Jawa kuno telah surut. Pusat-pusat yang dahulu memancarkan gairah bagi aktivitas kesusastraan telah tiada. Kita patut berterima kasih kepada Majapahit. Kerajaan ini mengekspansi Bali dan karya sastra Jawa kuno juga banyak tersebar di pulau ini. Di Bali, keraton-keraton tetap menjadi warisan kebudayaan Hindu-Jawa dan tetap memperhatikan serta mempelajari tulisan-tulisan keagamaan kuno itu.
Arjunawiwaha, dengan karya pada akhir abad ke-15, Siwaratrikalpa (Lubdhaka), ternyata sedikit sekali perbedaan dalam fonetika dan gramatikal. Hanya karena Arjunawiwaha ditulis lebih dahulu dan Lubdhaka ditulis kemudian, maka karya kedua itu disebut karya Jawa pertengahan. Istilah tersebut seolah-olah menggambarkan bahwa Jawa pertengahan merupakan bentuk bahasa pada akhir jaman Hindu-Jawa dan suatu tahap peralihan antara Jawa kuno yang sering kita jumpai dalam kakawin klasik dan bahasa Jawa modern pada abad-abad kemudian.
Pada sastra Jawa kuno – dalam arti luas – ada dua macam puisi, yaitu kakawin dan kidung. Kakawin menggunakan metrum-metrum dari India, sedangkan kidung menggunakan metrum-metrum asli Jawa. Dalam bahasanya pun terdapat perbedaan. Kakawin menggunakan bahasa Jawa kuno dalam arti sebenarnya, sedangkan kidung menggunakan bahasa Jawa pertengahan. Namun, kalimat tersebut tidak dapat dibalik, seolah-olah Jawa kuno merupakan bahasa yang dipakai dalam kakawin dan Jawa pertengahan ialah bahasa yang dipakai dalam kidung.
B. Periodesasi Sastra Jawa
Perioderisasi sastra Jawa masih merupakan bahan menarik untuk dikaji, terutama jawa kuno dan jawa pertengahan. Kakawin walaupun digolongkan ke dalam sastra Jawa kuno ternyata dapat bertahan hingga seribu tahun, karena adanya kaidah yang ketat dalam penulisannya. Kakawin ditulis dalam sustu bentuk sastra Jawa kuno yang khusus, dan setiap orang yang menulis sebuah syair sejenis itu berkewajiban untuk meniru bahasa tradisional, walaupun bahasa itu dalam perputaran waktu telah manjadi bahasa yang mati. Di Bali, setelah Majapahit runtuh, juga masih ditulis, sehingga tradisi lokal di Bali menganggap beberapa kakawin sebagai hasil penulisan pada abad ke-19. Ini menyebabkan kita tidak dapat menyimpulkan bahwa sastra kakawin mencerminkan bahasa jamannya. Ini juga dialami oleh sastra Jawa pertengahan. Pada kidung tidak dapat ditentukan tanggal penulisan. Kebiasaan penulis kakawin yang menyebut nama raja serta tanggal kejadian, tidak ditemui di kidung.
pertengahan berasal dari Bali, tetapi tidak berarti bahwa karya ini tidak dikenal di Jawa sebelum runtuhnya Majapahit.
Istilah Jawa kuno, Jawa pertengahan, dan Jawa modern jika ditilik dari linguistik benar-benar membingungkan. Seolah-olah perioderisasi ini dibuat hanya berdasarkan masa atau kejadian tertentu. Istilah Jawa modern biasanya dipakai untuk menunjukkan bahasa yang dipakai dalam sastra Jawa padaawal abad ke-19.
Menurut sebuah teori, perioderisasi sastra tersebut berdasarkan rangkaian-rangkaian peristiwa. Hingga masa kekuasaan Majapahit, selain bahasa Jawa kuno yang digunakan menulis kakawin, jugaada bahasa Jawa lain, yang juga digunakan untuk menulis karya sastra lain. Setelah muncul kekuasaan Islam, bahasa Jawa lain itu pecah menjadi dua, yaitu bahasa Jawa yang dipergunakan di Bali dan disebut Jawa pertengahan, dan bahasa yang digunakan masyarakat Islam selanjutnya yang disebut Jawa modern. Memang teori ini masih memiliki kelemahan-kelemahan, namun secara rasional dapat diterima.
Dahulu, sastrawan Jawa menulis karyanya di lempengan batu dan prasasti, namun ada juga yang menggunakan daun lontar. Lontar tersebut diproses hingga menjadi kaku dan siap ditulisi. Jika berupa cerita, biasanya lontar tersebut dipotong-potong berukuran panjang 40-60 cm dan 3-5 cm untuk lebarnya. Bagian ujung dilubangi sehingga dapat dibendel kemudian diberi cover dari bahan yang lebih tebal. Sayangnya daun lontar tidak dapat bertahan lama. Kerusakan umumnya disebabkan karena serangga. Jarang ada daun lontar yang sanggup bertahan berabad-abad, Indonesia hanya memiliki daun lontar yang berumur 1-1.5 abad. Koleksi karya sastra kuno tersebut ada di tiga tempat, yaitu: Perpustakaan nasional di Jakarta, perpustakaan Universitas negeri Liden, Belanda, dan perpustakaan Kirtya di Singaraja. Koleksi terbanyak ada di Leiden. Ini tidak mengherankan karena pada saat itu pemerhati budaya Jawa banyak berasal dari Belanda.
dari tahun ke tahun. Kemungkinan kesalahan tulis dapat terjadi. Bisa dikarenakan kekurangtelitian atau kemiripan huruf, kesalahan itu dapat terjadi.
Karya-karya sastra tersebut merupakan salah satu kekayaan bangsa kita, dimana kita dapat mengetahui suatu sejarah dan pemikiran nenek moyang kita. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa penelitian di bidang ini masih terbuka luas. Masih banyak hal-hal yang tidak kita ketahui, misal perdebatan akan perioderisasi sastra Jawa, dan masih banyaknya karya yang sulit dibaca. Perlu adanya tekad dan usaha kita sebagai bangsa yang mencintai budaya untuk tetap melestarikan karya-karya langka ini. Memang upaya ini tidak bisa dipaksakan ke generasi muda mengingat banyaknya hal-hal yang mungkin lebih menarik minat mereka. Namun pasti di antara mereka masih banyak yang sadar dan mencintai budaya, mungkin perlu adanya suatu badan yang mengkoordinasi upaya pelestari sastra Jawa, dimana kegiatan-kegiatannya dapat menarik minat para pemuda-pemudi bangsa.
1. Periodesasi Sastra Jawa Kuno
Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalambahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai denganPrasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan.
Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahanMahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.
Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti sastra dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam atau pembagian yang lebih halus lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra Jawa Pertengahan. Sastra Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa Kuno dan sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir inilah yang dipakai.
2. Periodesasi Sastra Jawa Baru
Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad kelima belas dan keenam belas Masehi.
Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang Sumirang adalah salah satu yang terpenting.
Kemudian pada masa ini muncul pula karya-karya sastra bersifat ensiklopedis seperti Serat Jatiswara danSerat Centhini. Para penulis ‘ensiklopedia’ ini rupanya ingin mengumpulkan dan melestarikan semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa, sebab karya-karya sastra ini mengandung banyak pengetahuan dari masa yang lebih lampau, yaitu masa sastra Jawa Kuna.
Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah tahun ~ 1650,bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru.
3.Periodesasi Sastra Jawa Pertengahan
Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13 sampai kira-kira abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung.
Daftar Prosa Sastra Jawa Tengahan
Tantu Panggelaran Calon Arang Tantri Kamandaka Korawasrama Pararaton
Daftar Puisi Sastra Jawa Tengahan
Kakawin Dewaruci Kidung Sudamala Kidung Subrata Kidung Sunda
Kidung Panji Angreni Kidung Sri Tanjung
4.Periodesasi Sastra Jawa Moderen
Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan semakin terasa di Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi.
Para cendekiawan Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk menulis cerita atau kisah mirip orangBarat dan tidak selalu berdasarkan mitologi, cerita wayang, dan sebagainya. Maka, lalu muncullah karyasastra seperti di Dunia Barat; esai, roman, novel, dan sebagainya. Genre yang cukup populer adalah tentangperjalanan.
Pada masa ini (tahun 1839, oleh Taco Roorda) juga diciptakan huruf cetak berdasarkan aksara Jawa gayaSurakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi standar di pulau Jawa.
C. Pengaruh Islam Dalam Sastra Jawa
Maksud keterkaitan antara Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat imperative moral atau mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru, sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai petunjuk/nasehat yang secara subtansial merupakan petunjuk/nasehat yang bersumber pada ajaran Islam.
Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam. Kualitas keislaman para pujangga saat ini tentunya berbeda dengan kualitas saat sekarang ini. Jadi, para pembaca seharusnya menyadari bahwa pengetahuan ajaran Islam saat itu (abad 18-19) belum sebanyak seperti sekarang ini, sehingga dalam menyampaikan petunjuk/nasehat para pujangga melengkapi diri dari kekurangannya mengenai pengetahuan ke-islaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Artinya, munculnya tembang/sekar macapat ini berbarengan dengan munculnya Islam di Jawa, yaitu setelah kejatuhan kerajaan Majapahit yang hindu.
Dengan kata lain, Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra para pujangga keraton Surakarta sehingga semua karya-karya sastranya itu berupa puisi yang berbentuk tembang/sekar Macapat.
Istilah ‘interelasi’ (dalam topik) artinya Islam Jawakan, sedangkan Jawa di-Islamkan. Walaupun demikian, warna Islam terlihat sekali dalam substansinya, yaitu :
Unsur ketaukhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)
Unsur kebajikan (upaya memberikan petunjuk/nasehat) kepada siapapun (petunjuk agar berbuat kebajikan dan petunjuk untuk tidak berbuat tercela).
warna keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra tersebut. Karya-karya sastra Jawa adalah karya sastra para pujangga keraton Surakarta yang hidup pada zaman periode Jawa baru yang memiliki metrum Islam. Memiliki corak jihad, masalah ketauhidan, moral/perilaku yang baik dan sebagainya.
PENUTUPAN
Dengan gambaran singkat mengenai pembahasan dalam makalah ini, maka di harapkan dapat menambah wawasan para pembaca mengenai Sastra Jawa, sehingga pengetahuan akan semakin kuat dan mengakar dalam hati para pembaca.
Kami memahami bahwa dalam makalah ini masih banyak ditemui banyak kekurangan dan banyak hal yang harus diperbaiki. Maka dari itu, kami maengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun agar dapat menjadi bahan evaluasi kami dalam menyusun makalah sehingga dikemudian hari dapat tercipta makalah yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Drs, Darori, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000. Astianto, Henny, Filsafat Jawa, Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006.
Faruqi, Ismail R, Islam dan Kebudayaan, Bandung: MIZAN, 1984.
Hasan, M, Tholhah, Islam dalam Perspektif Sosial Cultural, Jakarta: Lata Bora Pers, 1987.
Padmosoekotjo, Ngengrengan Kasusastran Djawa. Jogjakarta: Hien Hoo Sing, 1960. Subalidinata, Kawruh Kasusastran Jawa, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1994,
Tajdrasasmita, Dr. H. Uka, Kajian Naskah-Naskah Klasik, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat DEPAG RI, 2006.
http://www.geocities.com/sesotya_pita/basa/wangsalan.htm http://hanacaraka.fateback.com/wangsalan.htm
ISTILAH DALAM SASTRA JAWA
Dibawah ini adalah istilah – istilah yang sering kita jumpai dalam karya sastra Jawa.
1. Babad: sastra sejarah dalam tradisi sastra Jawa; digunakan untuk pengertian yang sama dalam tradisi sastra Madura dan Bali; istilah ini berpadanan dengan carita, sajarah (Sunda), hikayat, silsilah, sejarah (Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia).
2. Bebasan: ungkapan yang memiliki makna kias dan mengandung perumpamaan pada keadaan yang dikiaskan, misalnya nabok nyilih tangan. gancaran: wacana berbentuk prosa.
3. Gatra: satuan baris, terutama untuk puisi tradisional.
4. Gatra purwaka: bagian puisi tradisional [parikan dan wangsalan] yang merupakan isi atau inti.
5. Guru gatra: aturan jumlah baris tiap bait dalam puisi tradisional Jawa (tembang macapat).
6. Guru lagu: (disebut juga dhong-dhing) aturan rima akhir pada puisi tradisional Jawa.
7. Guru wilangan: aturan jumlah suku kata tiap bait dalam puisi tradisional Jawa.
8. Janturan: kisahan yang disampaikan dalang dalam pergelaran wayang untuk memaparkan tokoh atau situasi adegan.
10. Kagunan basa: penggunaan kata atau unsur bahasa yang menimbulkan makna konotatif: ada berbagai macam kagunan basa, antara lain tembung entar, paribasan,bebasan, saloka, isbat, dan panyandra.
11. Kakawin: puisi berbahasa Jawa kuno yang merupakan adaptasi kawyra dari India; salah satu unsure pentingnya adalah suku kata panjang dan suku kata pendek (guru dan laghu).
12. Kidung: puisi berbahasa Jawa tengahan yang memiliki aturan jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata tiap baris, dan pola rima akhir sesuai dengan jenis metrum yang membingkainya; satu pupuh kidung berkemungkinan terdapat lebih dari satu pola metrum.
13. Macapat: puisi berbahasa Jawa baru yang memperhitungkan jumlah baris untuk tiap bait, jumlah suku kata tiap baris, dan vokal akhir baris; baik jumlah suku kata maupun vokal akhir tergantung atas kedudukan baris bersangkutan pada pola metrum yang digunakan; di samping itu pembacaannya pun menggunakan pola susunan nada yang didasarkan pada nada gamelan;secara tradisional terdapat 15 pola metrum macapat,yakni dhandhang gula, sinom, asmaradana, durma,pangkur, mijil, kinanthi, maskumambang, pucung, jurudemung, wirangrong, balabak, gambuh, megatruh, dan girisa.
14. Manggala: “kata pengantar” yang terdapat di bagian awal keseluruhan teks; dalam tradisi sastra Jawa kuno biasanya berisi penyebutan dewa yang menjadi pujaan penyair (isthadewata), raja yang berkuasa atau yang memerintahkan penulisan, serta–meskipun tak selalu ada–penanggalan saat penulisan dan nama penyair; istilah manggala kemudian dipergunakan pula dalam penelitian teks-teks sastra Jawa baru.
15. Pada: bait parikan: puisi tradisional Jawa yang memiliki gatra purwaka (sampiran) dan gatra tebusan (isi); pantun (Melayu).
17. Parikan rangkep: parikan yang mempunyai masing-masing dua baris gatra purwaka dan gatra tebusan.
18. Pepali: kata atau suara yang merupakan larangan untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, misalnya aja turu wanci surup.
19. Pupuh: bagian dari wacana puisi dan dapat disamakan dengan bab dalam wacana berbentuk prosa.
20. Panambang: sufiks/akhiran.
21. Panwacara: satuan waktu yang memiliki daur lima hari: Jenar (Pahing), Palguna (Pon), Cemengan (Wage), Kasih (Kliwon), dan Manis (Legi).
22. Paribasan: ungkapan yang memiliki makna kias namun tidak mengandung perumpamaan, misalnya dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan.
23. Pegon: aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa.
24. Pujangga: orang yang ahli dalam menciptakan teks sastra; dalam tradisi sastra Jawa; mereka yang berhak memperoleh gelar pujangga adalah sastrawan yang menguasai paramasastra (ahli dalam sastra dan tata bahasa), parama kawi (mahir dalam menggunakan bahasa kawi), mardi basa (ahli memainkan kata-kata), mardawa lagu (mahir dalam seni suara dan tembang), awicara (pandai berbicara, bercerita, dan mengarang), mandraguna (memiliki pengetahuan mengenai hal yang ‘kasar’ dan ‘halus’), nawung kridha (memiliki pengetahuan lahir batin, arif bijaksana, dan waskitha), juga sambegana (memiliki daya ingatan yang kuat dan tajam).
25. Saloka: ungkapan yang memiliki makna kiasan dan mengandung perumpamaan pada subyek yang dikiaskan, misalnya kebo nusu gudel.
26. Saptawara: satuan waktu yang memiliki daur tujuh hari: Radite (Ngahad), Soma (Senen), Buda (Rebo),Respati (Kemis), Sukra (Jumuwah), dan Tumpak (Setu).
bersangkutan) tetapi dapatpula muncul di akhir pupuh (isyarat pola metrum yang digunakan pada pupuh berikutnya.
28. Sastra gagrak anyar: sastra Jawa modern, ditandai dengan tiadanya aturan-aturan mengenai metrum dan perangkat-perangkat kesastraan tradisional lainnya.
29. Sastra gagrak lawas: sastra Jawa modern, ditandai dengan aturan-aturan ketat seperti–terutama–pembaitan secara ketat.
30. Sastra wulang: jenis sastra yang berisi ajaran,terutama moral.
31. Sengkalan: kronogram atau wacana yang menunjukkan lambang angka tahun, baik dalam wujud kata maupun gambar atau seni rupa lainnya yang memiliki ekuivalen dengan angka secara konvensional.
32. Singir: syair dalam tradisi sastra Jawa.
33. Sot: kata atau suara yang mempunyai kekuatan mendatangkan bencana bagi yang memperolehnya.
34. Suluk: (1) jenis wacana (sastra) pesantren dan pesisiran yang berisi ajaran-ajaran gaib yang bersumber pada ajaran Islam; (2) wacana yang ‘dinyanyikan’ oleh dalang dalam pergelaran wayang untuk menciptakan ’suasana’ tertentu sesuai dengan situasi adegan.
35. Supata: kata atau suara yang ‘menetapkan kebenaran’ dengan bersumpah.
36. Tembung entar: kata kiasan, misalnya kuping wajan.
37. Wangsit: disebut juga wisik, kata atau suara yang diberikan oleh makhluk gaib, biasanya berupa petunjuk atau nasihat.
38. Wayang purwa: cerita wayang atau pergelaran wayang yang menggunakan lakon bersumber pada cerita Mahabharata dan Ramayana.
40. Wirid: jenis wacana (sastra) pesantren yang berkaitan dengan tasawuf.
CONTOH KARYA SASTRA JAWA DAN TERJEMAHANNYA
SERAT TRIPAMA
PENDAHULUAN
Serat Tripama (tiga suri tauladan) adalah karya KGPAA Mangkunegara IV (1809-1881) dei Surakarta, yang ditulis dalam tembang Dhandanggula sebanyak 7 pada (bait), mengisahkan keteladanan Patih Suwanda (Bambang Sumantri), Kumbakarna dan Suryaputra (Adipati Karna)
Bagi yang tidak mengenal dunia wayang memang agak sulit memahami apa dan siapa ketiga tokoh tersebut. Secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bambang Sumantri yang setelah menjadi patih disebut “Patih Suwanda” adalah Patih dari Raja Harjunasasrabahu dari negara Maespati pada era sebelum Sri Rama tokoh dalam kisah Ramayana. Patih Suwanda termasyhur dalam kegagahberaniannya, mampu melaksanakan semua tugas dari Prabu Harjunasasrabahu dengan penuh tanggungjawab dan akhirnya gugur di palagan melawan Dasamuka.
Kumbakarna adalah adik dari Prabu Dasamuka raja Ngalengkadiraja (Alengka), walaupun berbentuk raksasa tetapi tidak mau membenarkan tindakan kakaknya yang angkara murka dengan menculik Dewi Shinta. Walaupun demikian pada saat kerajaan Ngalengkadiraja diserang oleh musuh, yaitu Sri Rama dan pasukannya, Kumbakarna memenuhi panggilan sifat ksatrianya, mengorbankan jiwa untuk membela tanah air. Kumbakarna gugur membela negara, bukan membela kakaknya. Kumbakarna adalah salah satu pelaku dalam kisah Ramayana.
saat kelahirannya dibuang di sungai kemudian ditemu dan diangkat anak oleh kusir Adirata, dijadikan adipati oleh Prabu Suyudana. Oleh sebab itu dalam perang besar Bharatayuda Adipati Karna berada di pihak Kurawa yang ia tahu bahwa Kurawa adalah pihak yang angkara murka. Sang Suryaputra gugur dalam perang tanding melawan Harjuna, adiknya, satu ibu.
Secara ringkas, itulah kepahlawanan tiga ksatria dalam tiga jaman yang berbeda yang diangkat oleh Sri Mangkunegara IV dalam Serat Tripama yang terdiri dari 7 bait tembang Dhandanggula: Bait pertama dan ke dua mengisahkan kepahlawanan Kumbakarna, Bait ke tiga dan empat tentang Kumbakarna, Bait ke lima dan enam mengenai Adipati Karna dan Bait ke tujuh adalah kesimpulan/penutup.
PATIH SUWANDA
Di atas telah dijelaskan secara ringkas apa dan siapa Patih Suwanda yang pada masa mudanya bernama Bambang Sumantri. Apa yang diserat oleh Sri Mangkunegara IV dalam tembang Dhandanggula pada (bait) ke satu dan ke dua adalah sebagai berikut:
Yogyanira kang para prajurit; Lamun bisa sira anulada; Duk ing nguni caritane; Andelira Sang Prabu; Sasrabahu ing Maespati; Aran patih Suwanda;Lalabuhanipun; Kang ginelung triprakara; Guna kaya purun ingkang den antepi; Nuhoni trah utama
Lire lalabuhan triprakawis; Guna bisa saniskareng karya; Binudi dadya unggule; Kaya sayektinipun; Duk bantu prang Manggada nagri; Amboyong putri dhomas; Katur ratunipun; Purune sampun tetela;Aprang tanding lan ditya Ngalengka nagri; Suwanda mati ngrana.
Seyogyanya para prajurit; Semua bisa meniru; Seperti ceritera pada jaman dulu; Andalan sang raja; Sasrabahu di negara Maespati; Namanya Patih Suwanda; Jasa-jasanya; Dikemas dalam tiga hal; Pandai, mampu dan berani (Guna, Kaya, Purun), itulah yang dipegang teguh; Menetapi keturunan orang utama.
Artinya dharmabakti yang tiga hal itu; Guna: bisa menyelesaikan masalah; Berupaya untuk memperoleh kemenangan; Kaya: ketika peperangan di negara Manggada; Bisa memboyong putri dhomas; Diserahkan kepada sang raja; Purun: Keberaniannya sudah nyata ketika perang tanding (dengan Dasamuka) raja Ngalengka; Patih Suwanda gugur di medan perang.
Adapun kesimpulan nilai kepahlawanan Patih Suwanda dinilai dari tiga hal, yaitu: Guna, Kaya dan Purun.
GUNA: Nuhoni trah utami dalam hal ini adalah menetapi keturunan orang utama, yaitu ksatria dengan sifat-sifat ksatrianya yang mampu menyelesaikan masalah. Unggul dalam segala hal.
KAYA: Disini disebutkan dalam peperangan berhasil memboyong putri Dhomas (penafsiran disini tidak hanya memboyong putri domas yang 800 jumlahnya tetapi juga harta rampasan perang)
PURUN: Kegagahberaniannya. Dasamuka adalah raja yang tidak tertandingi kesaktiannya kecuali oleh titisan Wisnu (yang tak lain adalah Prabu Harjuna Sasrabahu sendiri, tapi saat itu sang Prabu sedang bercengkerama dengan istri-istrinya). Patih Suwanda berperang sampai titik darah penghasilan dan gugur di palagan.
KUMBAKARNA
Pakubuwana IV dalam Sekar Dhandanggula pada (bait) ke tiga dan empat adalah sebagai berikut:
Wonten malih tuladan prayogi; Satriya gung nagri ing Ngalengka, Sang Kumbakarna arane, Tur iku warna diyu; Suprandene nggayuh utami; Duk wiwit prang Ngalengka, dennya darbe atur; Mring raka amrih raharja. Dasamuka tan keguh ing atur yekti; Dene mengsah wanara.
Kumbakarna kinen mangsah jurit; Mring kang raka sira tan lenggana; Nglungguhi kasatriyane; Ing tekad datan purun; Amung cipta labuh nagari; Lan noleh yayah rena; Nyang leluhuripun; Wus mukti aneng Ngalengka mangke; Arsa rinusak ing bala kapi; Punagi mati ngrana.
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Ada lagi tauladan yang baik; Satria agung dari negara Ngalengka; Sang Kumbakarna namanya; Walaupun wujudnya raksasa; Walau demikian ingin mencapai keutamaan; Ketika dimulainya perang Ngalengka; Ia menyampaikan pendapat; Kepada kakaknya (Prabu Dasamuka supaya (Ngalengka) selamat; Dasamuka tidak mau mendengar pendapat baik; Karena hanya melawan (balatentara) kera.
Kumbakarna diperintah maju perang; Kepada kakaknya ia tidak membantah; Karena menetapi sifat ksatria; (sebenarnya) Tekadnya tidak mau; Hanya semata-mata bela negara; Dan melihat bapak ibunya; Serta leluhurnya; Sudah hidup mukti di negara Ngalengka; Sekarang mau dirusak balatentara kera; Bersumpah mati di medan perang.
Kesimpulannya adalah:
hanya bela negara dan demi nenek moyangnya yang telah mukti di negara ngalengka dan sekarang akan dihancurkan wadyabala kera. Lebih baik mati di medan perang dan akhirnya Kumbakarna gugur sebagai pahlawan.
SURYAPUTRA (ADIPATI KARNA)
Di atas telah dijelaskan secara ringkas apa dan siapa Adipati Karno dan bagaimana nilai-nilai kepahlawanannya. Apa yang dirakit oleh Sri Pakubuwana IV dalam Sekar Dhandanggula pada (bait) ke lima dan enam adalah sebagai berikut:
Wonten malih kinarya palupi; Suryaputra narpati Ngawangga; Lan Pandawa tur kadange; Len yayah tunggil ibu; Suwita mring Sri Kurupati; Aneng nagri Ngastina; Kinarya gul-agul; Manggala golonganing prang; Bratayuda ingadegken senopati; ngalaga ing Kurawa.
Den mungsuhken kadange pribadi; Aprang tanding lan Sang Dananjaya; Sri Karna suka manahe; Dene nggenira pikantuk; Marga denya arsa males sih; Ira Sang Duryudana; Marmanta kalangkung; Denya ngetok kasudiran; Aprang rame Karna mati jinemparing, Sumbaga wiratama.
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Ada lagi yang dapat dijadikan teladan; Suryaputra Senapati dari Ngawangga; Dengan Pandawa masih saudara; Lain bapak satu ibu; Mengabdi pada Sri Kurupati; Di Negara Ngastina; Dijadikan andalan; Panglima di dalam perang; Diangkat senapati dalam perang Bharatayuda; Berperang di pihak Kurawa.
Sang Duryudana; Maka ia dengan sangat; Mengeluarkan semua kesaktiannya; Perang ramai dan Karna gugur kena panah; Termasyhur sebagai prajurit yang utama.
Kesimpulannya adalah:
R Suryaputra adalah Adipati di Ngawangga, dengan Pandawa masih saudara satu ibu lain bapak (Ayahnya adalah Batara Surya). Sejak lahir sampai dewasa tidak hidup bersama Pandawa, tetapi dipelihara kusir Adirata. Karena kesaktian dan kesetiaannya oleh Prabu Duryudana diberikan derajat yang tinggi. Menjelang perang Bharatayuda Karna dibujuk oleh ibunya untuk berperang dipihak Pandhawa. Tetapi Karna berkeras bahwa walaupun Pandhawa masih saudara dan berada di pihak yang benar, tetapi sebagai ksatria ia harus membela raja yang telah mengangkat derajatnya. Dalam perang tanding dengan Harjuna yang dalam pedhalangan Jawa menjadi satu lakon tersendiri “Karna Tanding” Karna mendapat kesempatan untuk membalas budi rajanya. Ia berjuang mati-matian dan akhirnya gugur di medan laga kena panah R Harjuna (Dananjaya)
PENUTUP
KGPAA Mangkunegara IV menutup Serat Tripama pada pada (bait) ke tujuh tetap dengan Sekar Dhandanggula sebagai berikut:
Katri mangka sudarsaneng Jawi; Pantes lamun sagung pra prawira; Amirata sakadare; Ing lelabuhanipun; Awya kongsi buang palupi; manawa tibeng nista; Ing estinipun; Senadyan tekading budya; Tan prabeda budi panduming dumadi; Marsudi ing kotaman.
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Ketiga pahlawan tersebut adalah teladan orang Jawa; Sepantasnya semua perwira; Meneladani semampunya; Tentang dharmabhaktinya; Jangan sampai membuang keteladanan; Bisa menjadi hina; dalam cita-citanya; Walau itu tekad pada jaman dulu; Tidak berbeda budi para manusia; Mencari keutamaan
Ketiga pahlawan tersebut berada pada jaman yang berbeda dengan keteladanan yang berbeda pula. Sri Mangkunegara IV berpesan supaya kita meneladani apa yang telah dilakukan ketiganya semampunya. Janganlah kita membuang contoh baik tersebut dalam mencari dan menetapi keutamaan seorang ksatria.
Secara keseluruhan, Patih Suwanda dikenal dengan kautaman triprakaranya: “Guna, Kaya dan Purun”, kepandaian dan ketrampilan, kecukupan sebarangnya serta keberaniannya. Sedangkan Kumbakarna mengedepankan “Bela negara” mungkin ini yang kita kenal dengan “Right or wrong my country”. Adapun Adipati Karna dikagumi karena kesetiaan dan komitmennya: “Setya mring sedya”, berani mengorbankan segala-galanya demi mempertahankan loyalitas dan komitmen walaupun ia sadar sepenuhnya bahwa yang dia bela adalah pihak yang salah.
SERAT WULANG REH
Deskripsi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Serat Wulang Reh
Secara harfahh Serat Wulang Reh berasal dari kata-kata : serat
dan reh yang berarti perintah. Maksudnya adalah tulisan mengenai pendidikan yang berisi pesan-pesan moral atau budi pekertih yang menuntun ke arah sikap dan perilaku yang baik. Hal itu diungkapkan dalam berbagai ungkapanh seperti marsudeng budi
(mengutamakan budi); jatmika hing budi (bagus budi pekertinya);
patrap tata krama (perilaku sopan); tindak tanduk kang hutama
(perilaku yang mulia); lelabetan kang hutama (pengorbanan yang mulia). Kebalikan dari itu adalah tindak tanduk kang nistha (perilaku yang hina). Dengan demikian kandungan buku tembang Serat Wulang Reh adalah nilai-nilai atau pesan-pesan moralh yang merupakan esensi dari pendidikan karakter (watak).
Dalam tradisi sastra Jawah buku-buku tembang pada umumnya berisi ajaran moral atau tuntunan budi pekerti yang luhur. Hal itu berbeda dengan gendhing-gending dolanan yang isinya lebih bersifat hiburan. Dalam konteks masa kinih keinginan untuk menjadikan nyanyian atau lagu-lagu agar berfungsi sebagai media pendidikan nilai masih sering mengemukah tidak hanya dari kalangan pemikir dan praktisi pendidikanh namun juga dari sebagian artis penyanyi itu sendiri. Dalam majalah Kognisia; Media Aspiratif Kritis & Humanis,
Persoalan nilai dan realiatas sosial yang timpang juga mengganggu pikiran Bimboh kelompok musikus yang melegendah yang oleh Kompas diangkat dalam rubrik Tokoh Pilihan (Jumath 11 Sepember 2009). Ia mengemukakan kegelisahannya dalam melihat karut-marut negeri ini. Ia merasakan bangsa Indonesia hari ini sudah kehilangan rasa (roh) Indonesianya. Ada perubahan nilaih perubahan karakter pada bangsa ini. Rasanya ini bukan bangsa Indonesia. Kita kehilangan akhlak santunh budi pekertih kehilangan nuansa-nuansa flosofsh spiritual. Bangsa ini yang sudah kehilangan rasa saling menghargaih kehilangan rasa kebersamaan dan harmonih kehilangan rujukanh kehilangan kecerdasan dan kecendekiwananh dan kehilangan cita-cita besarnya. Terlalu banyak yang hilang dari bangsa ini. Yang tampak ke permukaan adalah individualish egoish sektarianh maling-maling bergentayangan/ koruptorh kasar dan beringash kehilangan sense of belonging, sense of responsibility, semangat proft dan percaloanh criminal creative, etos kerja yang rendahh pintar menuntuth pintar menyalahkan. Antar komponen masyarakat seolah-olah ada sekath bahkan kesenjangan yang tajam.
Adapun Serat Wulang Rehh di dalamnya terdapat kandungan nilai-nilai moral atau budi pekerti yang tersebar di 13 pupuh tembang yang ada. Nilai-nilai yang terkandung dalam masing-masing tembang dapat diungkapkan sebagai berikut.
1. Dandanggula
Pupuh Dandanggula terdiri dari 8 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
o Pentingnya setiap orang memahami pesanh isyarath atau
o Al Quran adalah sumber spirit yang benarh yang tidak semua
orang mampu memahaminya kecuali atas petunjuk-Nya. Untuk memahami kandungan Al Quranh orang tidak boleh
ngawur, melainkan harus berguru.
o Seorang guru harus mempunyai karakter khusush yaitu baik
budi pekertinyah mematuhi hukum (aturan agama)h beribadahh dan suka menolong. Lebih baik lagi jia ia seorang pertapah yang sifatnya amungkul (tidak melihat ke atas dalam urusan duniawi; tidak sombong)h dan tidak memikirkan pemberian orang lain.
o Seseorang yang mengajarkan ngelmu (pengetahuanh wawasanh
kebijaksanaan) harus bersumber pada dalil (Al Quran)h Al Haditsh Ijma’h dan Qiyas.
o Sindiran terhadap kecenderungan yang sudah terjadi pada
saat itu, yaitu guru mencari muridh sedangkan seharusnya murid mencari guru.
o Sindiran terhadap orang yang belum matang ruhaninyah
namun telah menganggap dirinya setara pujangga. Omongannya tidak karuanh namun ia tak sadar bahwa orang lain mencibirnya. Terhadap orang seperti itu perlu dinasehati dengan halush agar dapat menangkap pelajaran.
Dari 8 pada/bait tersebuth perlu diungkapkan di sini kutipan
pada/bait kelimah berisi tentang karakter ideal seorang guruh yang hingga kini masih sering dijadikan rujukan dalam wacana etika guru. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.
hingkang becik martabate sarta kang wruh hing kukum kang ngibadah lan kang wirangi
sukur oleh wong tapa hingkang wus hamungkul
tan mikir pawehing liyan iku pantes sira guranana kaki
sartane kawruhana
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Jika kalian berguruh ananda
pilihlah manusia yang sunguh-sungguh (yang) baik martabatnya
serta yang tahu hukum (aturan agama) yang taat beribadah dan suka menolong akan lebih baik jika mendapati seorang pertapa
yang sudah menunduk (tidak melihat ke atash tidak sombong) tidak mengharap pemberian orang lain
itulah orang yang pantas kau jadikan guru maka hendaknya kalian ketahui
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
becik martabate (baik budi pekertinya); wruh ing kukum
(mematuhi hukum/perintah agama); ngibadah
tan mikir pawehing liyan (tidak mengharap pemberian orang lain)
b. Karakter yang buruk :
cumanthaka (lancang); basa kang kalantur (pembicaraan
yang tidak terkontrol).
2. Kinanthi
Pupuh Kinanthi terdiri dari 16 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
oPentingnya melatih ketajaman hati (kecerdasan emosional dan
spiritual) agar mampu menerima petunjukh pesanh atau pelajaran.
oKetajaman hati itu dicapai melalui kebiasaan tidak terlalu
banyak makan dan tidurh tidak menuruti segala kesenanganh hidup sederhana/ sesuai kebutuhanh menumbuhkan jiwa kesatriah dan mampu mengendalikan diri.
oSeorang pemimpin tidak boleh tinggi hati dan tidak
berdekat-dekat dengan orang yang mentalnya buruk. Sementara ituh meskipun terhadap orang yang rendah kedudukannyah jika kelakuannya terpuji dan banyak wawasanh maka ia perlu didekati.
oLingkungan sosial mempunyai pengaruh yang besar terhadap
perkembangan kepribadian atau karakter anak-anak muda. Pengaruh yang buruk disebut sebagai panuntuning iblis.
oAnak-anak muda hendaknya suka jejagongan (bertukar fkiran)
dengan orang-orang yang lebih tuah serta mendengarkan petuah atau cerita mereka.
oKritik untuk anak-anak muda yang pada saat itu gejalanya
Dari 16 pada/bait tersebuth perlu diungkapkan di sini kutipan
pada/bait pertama dan kedua tentang petuah untuk menahan (membatasi) makan dan tidurh yang diulang hingga tiga kali dalam dua pada/bait. Kebiasaan ’menahan makan dan tidur’ merupakan laku (perilaku yang baikh ritualh sikap hidup) yang sangat diutamakan dalam kehidupan orang Jawa. Adapun
cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.
Padha gulangen hing kalbu hing sasmita hamrih lantip
haja pijer mangan nendra kaprawiran den kaesthi
pesunen sariranira sudanen dahar lan guling.
Dadiya lakunireku cegah dhahar lawan guling
lan haja hasukan-sukan hanganggoa sawetawis
ala wateke wong suka nyuda prayitnaning batin
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Hendaklah kalian melatih hati
pegang-teguhlah sifat kesatria tekanlah dirimu
kurangi makan dan tidur
Jadikan kebiasaan hidupmu cegah (tahan; batasi) makan dan tidur
dan jangan menuruti kesenangan secara berlebihan lakukan menurut kepantasan
orang yang menuruti kesenangan secara berlebihan itu tidak baik
mengurangi kewaspadaan batin
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
gegulang ing kalbu (melatih hati); haja pijer mangan nendra (jangan banyak makan dan tidur); kaprawiran
(perwirah kesatria); pesunen sariranira (tekanlah dirimu);
haja asukan-sukan (jangan mengumbar kesenangan);
hanganggoa sawetawis (hiduplah secara tidak
berlebihan); haja raket lan wong ala (jangan berdekat-dekat dengan orang yang buruk budi pekertinya);
handhap hasor (rendah hati); bekti mring wong tuwa
(berbakti pada orang tua).
b. Karakter yang buruk :
aras-arasen (bermalas-malas); gunggung diri
(mengagungkan diri sendiri; merasa klas tinggi); humuk
(merasa lebih tinggi derajatnya dibanding orang lain);
panasten (berhati panas; dengki); dahwen hopen (gemar memberi komentar negatif pada hal-hal yang tidak penting).
3. Gambuh
Pupuh Gambuh terdiri dari 17 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
oPerilaku yang tidak terkontrol (polah kang kalantur), termasuk
perilaku tidak jujurh akan berakibat buruk bagi dirinya.
oNasehat yang baik itu wajib diikiutih meskipun berasal dari
orang yang rendah status sosialnya (sudra papeki).
oJangan memiliki sifat hadigang, hadigung, hadiguna. Sifat
hadigang itu artinya memamerkan keberanian atau kekuatan
phisiknya. Sifat hadigung itu artinya memamerkan kedudukan-nya yang tinggi. Sifat hadiguna itu artinya memamerkan kepandaian atau ketangkasannya.
oHendaknya dibiasakan sikap tidak grusa-grusuh berhati-hatih
bertindak dengan perhitunganh dan waspada.
oJangan suka mengharap pujianh yang akibatnya justru dapat
membuat diri sendiri terjatuh. Bahkan perlu waspada terhadap orang yang suka memuji-muji diri kita dengan motif-motif pribadi.
oJangan mudah menyanggupi suatu tanggung jawabh sementara
kemampuannya belum pernah teruji.
Dari 17 pada/bait tersebuth perlu diungkapkan di sini kutipan pada/
bait keenamh berisi tentang sifat hadigung yang cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.
suteng nata hiya sapa hingkang wani hiku hambege wong digung
hing wusana dadi asor
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Itu (maksudnya : bait-bait sebelumnya) suatu perumpamaan kalian menyombongkan diri
(sebagai) keluarga rajah siapa yang akan berani itu watak orang hadigung
yang akhirnya akan menjatuhkan (diri sendiri)
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
rereh-ririh (bersikap tenang; tidak gusar); ngati-ati (hati-hati); waskitha (tahu sebelumnya; waspada).
b. Karakter yang buruk :
polah kang kalantur (perilaku yang tidak terkontrol);
hadigang (merasa lebih kuat secara phisik); hadigung
(merasa lebih tinggi klasnya); hadiguna (merasa lebih pandai).
4. Pangkur
Pupuh Pangkur terdiri dari 17 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
oDalam menjalani hidup (pengabdian)h orang harus mampu
oDalam bertindak hendaknya senantiasa disertai perhitungan
dan pertimbangan kepantasan (deduga klawan prayoga).
oWatak seseorang itu dapat dilihat dari perilaku (solah bawa)
dan ucapannya (muna-muni).
oKritik tentang semakin sedikitnya orang yang ucapannya
membawa kesalamatan. Sebaliknya yang (kadang kala) dijumpai adalah ucapan yang berisi kebencianh kebohonganh dan membuka kejelekan orang lain.
Dari 17 pada/bait tersebuth perlu diungkapkan di sini kutipan pada/
bait kesepuluhh berisi tentang sifat yang cenderung suka membuka kejelekan orang lain dan memamerkan kebaikan diri sendiri. Adapun
cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.
Halaning liyan den handhar hing beciking liyan dipun simpeni
becike dhewe ginuggung kinarya pasamuwan
nora krasa halane katon ngendhukur wong kang mangkono wateknya
nora pantes den cedhaki
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Kejelekan orang lain diobral adapun kebaikannya didimpan kebaikannya sendiri yang ditonjolkan
sebagai pameran
orang yang demikian itu wataknya tidak pantas didekati
Nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh
tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
wruh hing adat waton (mengetahui adat dan norma);
deduga klawan prayoga (memperhitungkan kepantasan);
sumendhe karsane Hyang Agung (berserah diri pada Tuhan); basa kang basuki (pembicaraan yang membawa kesalamatan/ kebaikan; qaalu salaama).
b. Karakter yang buruk :
drengki, drehi (dengkih benci); dora (bohong); murka
(rakush tamak); nora hana mareme (tidak pernah puash merasa kurang); lawamah (merasa kurang); amarah
(pemarah); sungkan kasosor (pantang dibantah); lumuh kahungkulan (tidak mau ada orang lain yang melebihi dirinya); sujanma pangrasane (merasa sebagai manusia yang melebihi orang lain); hangrasa luhur (merasa tinggi derajatnya); lonyo (mudah berubah pendirian); lemer
(mudah tertarik).
5. Maskumambang
Pupuh Maskumambang terdiri dari 34 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
oAnak yang tidak mematuhi petuah atau berani pada orang tua
adalah anak durhakah yang akan terlunta-lunta di dunia dan akhirat.
oKonsep tentang sembah lima (sembah di sini tidak selalu
Tuhanh melainkan dapat diartikan berbakti; kepada lima yang wajib ‘disembah’)h yaitu : orang tua (bapak dan ibu)h mertuah saudara tuah guruh dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
oDalam hidupnya di duniah manusia hendaknya taat kepada
Tuhanh meskipun telah mempunyai kedudukan terhormat. Tidak ada bedanya antara keluarga raja dengan wong cilik,
jika berdosa hukumannya sama.
oDalam mengabdi kepada raja hendaknya patuh pada
perintahnyah rajin seba (menghadap ke karaton)h rajin bekerjah setia lahir-batinh menjaga harta karatonh tidak boleh menentang dan tidak boleh membuka rahasia raja.
Dalam pupuh Dandanggula di muka telah diungkapkan karakter ideal seorang guru. Sedangkan dalam tembang Maskumambang
yang terdiri dari 34 pada/bait itu digambarkan kedudukan dan peranan guru dalam perspektif flosof Jawa pada pada 16-17. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.
Hing sawarah wuruke hingkang prayogi sembah kaping pat
ya marang guru sayekti marmane guru sinembah
Kang hatuduh marang sampurnaning urip tumekeng hantaka
madhangken pepeteng ati hambeberken marga mulya
Dalam segala petuahnya yang baik sembah keempat
terhadap guru (sebenarnya) maka guru disembah
Yang menunjukkan pada hidup yang sempurna hingga akhir hayat
menerangi hati yang gelap mengajarkan jalan kemliaan
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
ngestokken (memenuhi kesanggupan); prayitna (waspadah
hati-hati); haja dupeh wus hawirya (jangan berubah sikap karena sudah berpangkat); gemi nastiti (hemat cermat).
b. Karakter yang buruk :
duraka (bohong); kumawani mring bapa-biyung (berani pada ayah-ibu); ngungasaken (memamerkan); mengeng hing parentah (tidak segera menjalankan perintah);
sungkan (pemalas); mlincur ing kardi (malas dalam pekerjaan); ngepluk (terlambat bangun tidur);
hangediraken (membanggakan kelebihan).
6. Megatruh
Pupuh Megatruh terdiri dari 17 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
oDalam mengabdi kepada raja hendaknya tidak setengah-hatih
segala perintahnya. Sikap melawan perintah raja ibarat melawan perintah Yang Maha Agung.
oBagi mereka yang belum siap mengabdi dengan sepenuh hatih
lebih baik membaca kidung lebih dulu. Mereka tidak wajib
seba (menghadap ke karaton) dan tungguk kemit (caosh bertugas jaga di karaton).
Semua pupuh Megatruh yang terdiri dari 17 pada/bait tersebut berisi tentang etika pengabdian pada seorang raja. Di sini perlu disajikan kutipan pada 2-3 yang menggambarkan kedudukan raja dalam perspektif flosof Jawa. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.
Mapan ratu kinarya wakil Hyang Agung marentahken kukum hadil
pramila wajib den henut kang sapa tan manut hugi mring prentahe sang Katong
Haprasasat mbadal hing karsa Hyang Agung mulane babo wong hurip
saparsa ngawuleng ratu kudu heklas lahir batin haja nganti nemu hewoh
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
memerintahkan hukum adil maka wajib diikuti
barang siapa tidak mematuhi terhadap perintah sang Raja
Sama halnya membangkang terhadap kehendak Yang Agung maka hai semua orang
siapapun yang ingin menghamba ratu harus ikhlas lahir batin
jangan sampai dalam kebimbangan
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
mantep (mantaph tidak ragu); setya tuhu (setia sepenuh hati); tuwajuh (tekun); hangabdi (mengabdi); heklas
(ikhlas).
b. Karakter yang buruk :
minggrang-minggring (ragu-ragu); mutung (tidak mau meneruskan suatu pekerjaan/kewajiban).
7. Durma
Pupuh Durma terdiri dari 12 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut
oPentingnya perilaku hambanting sarira (melatih diri untuk
merasakan penderitaanh kebalikan dari memanjakan diri)h membatasi makan dan tidur.
oKebahahagiaan maupun kesengsaraan seseorang tergantung
oHendaknya ditumbuhkan semangat yang mantap dalam
menambah pengetahuan lahir dan batin.
oHendaknya tidak dimiliki sifat gunggung diri (tinggi hati)h nacat
(mencela)h dan mahoni (mencelah menyalahkanh tidak mau menerima).
Dalam pupuh Kinanthi telah diungkapkan pesan moral untuk menahan (membatasi) makan dan tidurh yang diulang hingga tiga kali dalam dua pada/bait. Dalam pupuh Durma, pesan itu dulangi lagih yang cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.
Dipun sami hambanting sariranira cecegah dhahar guling
darapon sudaha
napsu kang ngambra-hambra rerema hing tyasireki
dadi sabarang karsanira lestari
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Hendaklah kalian membanting diri mengurangi makan dan tidur
agar berkurang nafsu yang tidak karuan
tenteramkan hati kalian jadi segalanya
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
hambanting sarira (melatih diri untuk merasakan
penderitaanh kebalikan dari memanjakan diri); cegah
dahar lawan guling (mengurangi makan dan tidur); heling
(ingath tidak lupa diri).
b. Karakter yang buruk :
gunggung diri (mengagungkan diri sendiri; merasa klas tinggi); nacat kapati-pati (mencela habis-habisan);
mamahoni (mencelah menyalahkanh tidak mau menerima);
nora prasaja (tidak apa adanya); hangrasani
(membicarakan kejelekan orang lain); mada (mencela);
ngrasa bener pribadi (merasa hanya dirinya yang benar).
8. Wirangrong
Pupuh Wirangrong terdiri dari 27 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
oPentingnya budi pekerti yang halush jangan ‘asal bisa bicara’
meskipun hanya sekecap (satu kali ucap).
oHendaknya difkirkan segala ucapan yang akan keluarh sebab
kalau sudah terucap tidak dapat ditarik lagi.
oHendaknya hemat dalam ucapanh jangan mudah memarahi
bawahan dan jika memarahinya harus diingat kesalahannya.
oJika hendak berbicara atau menasehati orang lain hendaklah
mempertimbangkan waktu dan tempat.
oJangan mudah bersumpahh apalagi menjadikan sumpah
oHendaknya dihindari empat kebiasaanh yaitu madat (menghisap
candu)h ngabotohan (berjudi)h durjana (penjahath pencuri)h dan
hati sudagar (bermental dagang dalam segala urusan).
Dari 27 pada/bait tersebuth perlu diungkapkan di sini kutipan
pada/bait 18-19 tentang madat dan nyeret (mengisap candu)h yang cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.
Dene ta wong kang madati kesede kamoran lumoh
hamung hingkang dadi senenganipun ngadhep diyan sarwi
linggih ngamben jejegang sarwi kleyangan bedudan
Yen leren nyeret hadh dhis netrane pan merem karo yen wus ndadi hawake hakuru
cahya biru putih njalebut wedi toya lambe biru huntu pethak
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Adapun orang yang mengisap candu malasnya bercampur enggan yang menjadi kesenangannya hanyalah
mengisap sambil terasa melayang
Jika berhenti mengisap candu kedua matanya terpejam
jika sudah kecanduanh badannya kurus raut mukanya biru putih
lusuh dan takut air (malas mandi) bibir biruh gigi putih
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
marsudeng budi (mengutamakan budi); gemi ing lathi
(hemat dalam berbicara); haja ngakehken supaos (jangan banyak bersumpah).
b. Karakter yang buruk :
madat (mengisap candu ); ngabotohan (berjudi); durjana
(kejahatan); hanggegampang (mengampangkan sesuatu);
hati sudagar (bermental dagang);
9. Pocung
Pupuh Pocung terdiri dari 23 pada/bait yang berisi pesan-pesan
atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
o Pentingya komunikasi dan kerukunan dalam suatu keluargah
baik orang tua dengan anak maupun antar saudara kandung.
o Orang tua atau saudara tua hendaknya mampu momong
(mengasuh)h dengan perlakuan yang samah tidak pilih-kasih.
o Anak-anak muda hendaknya mengetahui hal-hal yang baik
o Hendaknya memiliki hati yang berwatak hajembar (luas),
hamot (menampung), dan hamengku (melindungih mengasuh).
Dari 23 pada/bait tersebuth perlu diungkapkan di sini kutipan
pada/bait 13 tentang interaksi pendidikan dalam keluargah yang
cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.
Pan sadulur tuwa kang wajib pitutur marang kang taruna
kang hanom wajibe wedi sarta manut wuruke sedulur tuwa
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Adapun saudara tua yang berkewajiban memberi nasehat terhadap yang muda
yang muda wajib takut
serta mematuhi nasehat saudara tua
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
rukun (rukun); ngawula (menghamba); saregep (rajin);
hamomong (mengasuh);
b. Karakter yang buruk :
habot sisih (tidak adilh pilih kasih); hugungan (biasa dituruti kemauannya); mlincur (malas bekerja);
gegampang (mengampangkan sesuatu);
Pupuh Mijil terdiri dari 26 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
o Para satriya hendaknya mempunyai watak hanteng jatmika,
ruruh, wasis, prawira hing batin, kendel, wiweka hing hati, den samar den semu.
o Hendaknya memiliki sifat narima, menerima apa yang
diberikan Tuhan kepada dirinyah namun bukan tidak mau berusaha. Dicontohkanh orang yang bodoh namun tidak mau bertanya bukan termasuk dalam pengertian narima;
sedangkan seorang yang mengabdi kepada raja dan menerima kedudukan yang diberikan kepadanya termasuk dalam pengertian narima.
o Kekuasaan raja merupakan pemberian Tuhanh maka tidak
boleh dibantah perintahnya (nora kena den wahoni parentahing katong).
o Bagi orang yang mempunyai kedudukan agar tidak lupa pada
saat-saat akan memperoleh kedudukan itu.
Dari 26 pada/bait tersebuth perlu diungkapkan di sini kutipan
pada/bait 8 yang isinya agar seseorang yang sudah menduduki jabatan tidak lupa pada asal mulanya. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.
Nanging harang hing jaman samangkin kang kaya mangkono
kang wus kaprah hiya salawase yen wus hana lungguhe sethithik
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Namun jarang di masa sekarang yang seperti itu (bait sebelumnya)
yang sudah lumrah selamanya
jika sudah mempunyai sedikit kedudukan kemudian menjadi lupa
pada awal mulanya
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
jatmika hing budi (bagus budi pekertinya); haja hisin
ngakoni bodhone (jangan malu mengkui
ketidaktahuannya); wasis (pandaih trampil); prawira hing batin (kuat batinnya); males sih (membalas budi);
narima hing Widhi (ikhlas pada takdir Tuhan); den samar,
den semu (hendaknya tidak vulgar); tanggon (dapat diandalkan); ruruh (tenang); ririh (sabarh tidak tergesa-gesa); branta hing ngelmu (mencintai ilmu).
b. Karakter yang buruk :
sakarsa pribadi (‘semau gue’); nora heling mula-mulane
(lupa akan awal-mulanya); sabar lan ririh (sabar dan tidak tergesa-gesa); kurang hing panrima (kurang bersyukur).
11. Asmaradana
Pupuh Asmaradana terdiri dari 28 pada/bait yang berisi
o Hendaknya dipatuhi perintah agama (parentahing sarak),
menjalankan rukun Islamh tidak meninggalkan shalat wajib
(salat limang wektu tan kena tininggala).
o Hendaknya dihayati perintah Tuhan di dalam dalil (Al Quran)
dan perintah Nabi di dalam Al Hadits yang akan menerangi hati (padhanging tyasira).
o Hendaknya tidak terlena pada keindahan dunia dan
hendaknya ingat akan kematian.
o Hendaknya dihindari sifat angkuhh bengish mudah
tersinggungh lancangh ladak, tidak semena-mena.
o Bagi para atasan hendaknya memiliki sifat tepa sarira dalam
menggunakan kekuasaanh melindungih diseganih dan mampu mendorong semangat anak buah.
o Bagi para pejabat hendaknya tidak bermental pedagang yang
menghitung untung-rugi (patrape kaya wong dagang), jangan mengharap punjungan/setoran dari bawahan (haja pamrih sarama).
Dari 28 pada/bait tersebuth perlu diungkapkan di sini kutipan
pada/bait 20 yang berisi pesan tentang gambaran orang yang menduduki jabatan dengan cara membeli. Adapun cakepan
(bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.
Pikire gelisa pulih rurubane duk ing dadya
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Yang dipikirkan segera pulih beaya untuk meraih (kedudukan)
siang-malam yang difkirkan bagaimana agar bisa membalas kebaikan atasan kedudukannya karena dibeli tak pelak lagih merusak desa
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
tepa salira (diandaikan dirinya sendirih tidak semena-mena); hasih (kasihh sayang); sukur lan rila (syukur dan ikhlas); narima hing sapancene (menerima dengan ikhlas terhadap apa yang menjadi bagiannya).
b. Karakter yang buruk :
sembrana (kurang hati-hati); lena (lengah); hangkuh
(angkuh); wengis (bengis); lengus (mudah tersinggung);
lancang (lancang); ladak (sulit diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia); sumalonong (menyelonongh tanpa permisi); tan wruh hing tata (tidak tahu sopan santun);
siya-siya (sewenang-wenang); jahil (jahath tindakan yang bodoh); padu (bertengkar); wadulan (suka mengaduh menyampaikan berita yang kurang menyenangkan).
Pupuh Sinom terdiri dari 33 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
o Hendaknya dimiki watak yang muliah yaitu tidak meremehkan
kemampuan orang lainh saling bertukar pengetahuan dan pengalamanh setiap langkahnya bermanfaath tidak memamerkan kelebihannyah mengakui kekurangannyah dan tidak bersedih ketika diremehkan orang lain.
o Kritik terhadap diri pengarang sendiri (self critic), yang masih
suka menutupi kedodohannyah merasa pintarh khawatir dianggap bodoh walaupun sebetulnya memang bodoh
(cubluk), sehingga sering kali tidak ragu untuk membual.
o Hendaknya senantiasa berdoa kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa dalam setiap langkah untuk mencapai tujuan.
o Hendaknya suka meneladani Panembahan Senopatih sebatas
kemampuan masing-masingh dalam membanting raga dan mengurangi makan.
o Hendaknya tidak larut dalam berbagai keadaan yang sedang
dialamih sehingga mampu menjalani lara sajrononing kepenak
(sakit dalam keadaan menyenangkan)h suka sajroning prihatin
(gembira dalam situasi prihatin)h dan mati sajroning hurip
(mati dalam hidup).
o Untuk mengetahui cahaya kawula-gusti, jiwa harus bersih
lahir-batinh tidak boleh tercemari nafsu lawamah dan amarah. Dari 33 pada/bait tersebuth perlu diungkapkan di sini kutipan
Mring luhur hing kuna-kuna hanggone hambanting dhiri
hiya sakuwasanira sakuwate hanglakoni
nyegah turu sethitik sarta nyuda dhaharipun
pira-pira bisaha
kaya hingkang dhingin-dhingin hanirua sapratelon saprapatan
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Terhadap leluhur di zaman kuna (tirulah) dalam hal membanting diri
ya semampunya seberapa kuat menjalani
menahan tidur sedikit serta mengurangi makannya
alangkah baiknya jika bisa seperti orang yang dulu-dulu tirulah sepertiga atau seperempatnya
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
tan ngendak gunaning janmi (tidak meremehkan