HUKUM INTERNASIONAL
Mengabdi Untuk Allah
Home
Profile
Tugas Kuliah
MINGGU, 09 DESEMBER 2012
Pencemaran Lingkungan Laut
PERLINDUNGAN TERHADAP PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT DIKAWASAN ASIA TENGGARA DALAM PRESPEKTIF HUKUM LINGKUNGAN
INTERNASIONAL
I. PENDAHULUAN
Hukum lingkungan internasional (huklin) merupakan bidang baru (new
development) dalam sistem hukum internasional. Bidang baru ini dapat pula dianggap bagian dari hukum baru dengan nama hukum lingkungan laut
internasional[1]. Untuk membahas sistem hukum lingkungan internasional ini menurut dapat dikaji dalam kerangka hukum internasional berdasarkan, (i) customary international law (CIL) dan(ii) conventional international law, dari
kedua sumber hukum ini telah tumbuh hukum lingkungan internasional sebagai bagian dari hukum lingkungan[2].
Terkait dengan lingkungan laut terdapat sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati, sebagai sarana penghubung, media rekreasi dan lain
sebagainya. oleh karena itu sangat penting untuk melindungi lingkungan laut dari ancaman pencemaran yang bersumber dari operasi kapal tanker, kecelakaan kapal
tanker, scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua), serta kebocoran minyak dan gas dilepas pantai. Hal ini penting dilakukan agar
produktif dapat dinikmati secara berkelanjutan, baik bagi generasi sekarang
maupun generasi yang akan datang[3].
Perairan Asia Tenggara mencakup didalamnya laut Andanan, Selat Malaka
dan Singapura, Laut Cina Selatan, perairan kepulauan Indonesia dan Filipina termasuk laut arafuru dan Laut Celebes. Seluruh perairan ini meliputi luas 8.94 juta km2 yang merupakan 2,5% dari permukaan laut dan dunia[4]. Dengan luas
perairan yang dimiliki kawasan Asia Tengara menyebabkan lebih 7% dari penduduk dikawasan ini hidup didaerah pantai[5]. suatu hal yang menyebabkan tingkat
eksploitasi yang tinggi daripada sumber kekayaan alam dan pemburukan lingkungan.
Pada saat ini zat pencemar yang berbahaya dan sering mencemari lingkungan laut adalah minyak[6]. Setiap tahunnya 3 sampai 4 juta ton minyak
mencemari lingkungan laut[7]. Pada tahun 2009 misalnya terjadi pencemaran Laut Timur Indonesia oleh perusahaan Montana Australia[8], yang menurut Balai Riset
Kelautan dan Perikanan (BRKP). Hasil survey mereka pada tanggal 4 November 2009, luas terdampak pencemaran mencapai 16.420 kilometer persegi.
Zat pencemar dalam hal ini minyak yang masuk pada ekosistem laut tidak
hanya dapat secara langsung merusak lingkungan laut, namun lebih jauh dapat pula berbahaya bagi suplay makanan dan habitat lingkungan laut yang merupakan
sumber kekayaan alam bagi suatu Negara khususnya bagi kawasan Asia Tengggara yang penduduknya banyak bergantung pada hasil perikanan. Dalam hal
ini terdapat beberapa aturan hukum lingkungan internasional yang mengatur masalah pencemaran lingkungan laut yaitu:
(1). United Nation Covention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS)
(3). Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and
Other Matter 1972 (London Dumping Convention).
(4). The International Covention on Oil Pollution Preparedness Response And
Cooperation 1990 (OPRC).
(5). International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973
(Marine Pollution).
Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana telah diuraikan secara tingkas diatas, maka penulis akan mencoba mengkaji lebih jauh lagi,
sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk makalah yang diberi judul “Perlindungan Terhadap Pencemaran Lingkungan Laut Dikawasan
Asia Tenggara Dalam Prespektif Hukum Lingkungan Internasional”. Dari judul ini penulis akan menganalisis secara yuridis yang akan diarahkan untuk
menjawab pertanyaan mengenai sejauhmana penanggulangan pencemaran lingkungan laut diperairan asia tenggara dalam prespektif Hukum Lingkungan
internasional. Adapun tujuan dari makalah ini adalah memberikan gambaran terhadap perkembangan hukum lingkungan internasional serta pencemaran lingkungan laut yang terjadi di perairan Asia Tenggara
II. PERKEMBANGAN PENGATURAN PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT DALAM HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL
A. United Nation Covention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS)
Konvensi Hukum Laut 1982 adalah merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut, yang disetujui di montego Bay, Jamaica tanggal 10 Desember 1982[9]. Konvensi Hukum Laut 1982 secara lengkap mengatur perlindungan dan
Pasal 192 berbunyi : yang menegaskan bahwa setiap Negara mempunyai
kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Pasal 193 menggariskan prinsip penting dalam pemanfaatan sumber daya di lingkungan laut,
yaitu prinsip yang berbunyi : bahwa setiap Negara mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya sesuai dengan kebijakan lingkungan mereka dan sesuai dengan kewajibannya untuk melindungi dan melestarikan
lingkungan laut.
Konvensi Hukum Laut 1982 meminta setiap Negara untuk melakukan
upaya-upaya guna mencegah (prevent), mengurangi (reduce), dan mengendalikan (control) pencemaran lingkungan laut dari setiap sumber pencemaran, seperti
pencemaran dari pembuangan limbah berbahaya dan beracun yang berasal dari sumber daratan (land-based sources), dumping, dari kapal, dari instalasi eksplorasi
dan eksploitasi. Dalam berbagai upaya pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan tersebut setiap Negara harus melakukan
kerja sama baik kerja sama regional maupun global sebagaimana yang diatur oleh Pasal 197-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Negara peserta Konvensi Hukum Laut 1982 mempunyai kewajiban untuk menaati semua ketentuan Konvensi tersebut
berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, yaitu antara lain sebagai berikut :
1. Kewajiban membuat peraturan perundang-undangan tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut yang mengatur secara komprehensif termasuk
penanggulangan pencemaran lingkungan laut dari berbagai sumber pencemaran, seperti pencemaran dari darat, kapal, dumping, dan lainnya. Dalam peraturan
perundang-undangan tersebut termasuk penegakan hukumnya, yaitu proses pengadilannya
2. Kewajiban melakukan upaya-upaya mencegah, mengurangi, dan
3. Kewajiban melakukan kerja sama regional dan global, kalau kerja sama
regional berarti kerja sama ditingkat negara-negara anggota ASEAN, dan kerja sama global berarti dengan negara lain yang melibatkan negara-negara di luar
ASEAN karena sekarang persoalan pencemaran lingkungan laut adalah persoalan global, sehingga penanganannya harus global juga.
4. Negara harus mempunyai peraturan dan peralatan sebagai bagian
dari contingency plan
5. Peraturan perundang-undangan tersebut disertai dengan proses mekanisme
pertanggungjawaban dan kewajiban ganti ruginya bagi pihak yang dirugikan akibat terjadinya pencemaran laut.
Dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut tersebut, setiap Negara diharuskan melakukan kerja sama baik
kerja sama regional maupun global. Keharusan untuk melakukan kerja sama regional dan global (global and regional co-operation) diatur oleh Pasal 197-201
Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 197 Konvensi berbunyi : “Negara-negara harus bekerja sama secara global dan regional secara langsung atau melalui organisasi internasional dalam merumuskan dan menjelaskan ketentuan dan standard
internasional serta prosedur dan praktik yang disarankan sesuai dengan Konvensi bagi perlindingan dan pelestarian lingkungan laut dengan memperhatikan keadaan
regional tersebut”.
Kerja sama regional dan global tersebut dapat berupa kerja sama dalam
pemberitahuan adanya pencemaran laut, penanggulangan bersama bahaya atas terjadinya pencemaran laut, pembentukan penanggulangan darurat (contingency
plans against pollution), kajian, riset, pertukaran informasi dan data serta membuat kriteria ilmiah (scientific criteria) untuk mengatur prosedur dan praktik bagi pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan laut
samping itu, Pasal 207-212 Konvensi Hukum Laut 1982 mewajibkan setiap Negara
untuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur pencegahan dan pengendalian pencemaran laut dari berbagai sumber pencemaran, seperti sumber
pencemaran dari darat (land-based sources), pencemaran dari kegiatan dasar laut dalam jurisdiksi nasionalnya (pollution from sea-bed activities to national jurisdiction), pencemaran dari kegiatan di Kawasan (pollution from activities in the
Area), pencemaran dari dumping (pollution by dumping), pencemaran dari kapal (pollution from vessels), dan pencemaran dari udara (pollution from or through the
atmosphere).
Tanggung Jawab Dan Kewajiban Ganti Rugi
Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur persoalan tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan
laut. Pasal 235 Konvensi menegaskan bahwa setiap Negara bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban internasional mengenai perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut, sehingga semua Negara harus memikul kewajiban ganti rugi sesuai dengan hukum internasional.
Setiap Negara harus mempunyai peraturan perundang-undangan tentang
kompensasi yang segera dan memadai atas kerugian (damage) yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut yang dilakukan orang (natural person) atau
badan hukum (juridical person) yang berada dalam jurisdiksinya. Oleh karena itu, setiap Negara harus bekerja sama dalam mengimplementasikan hukum
internasional yang mengatur tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi untuk kompensasi atas kerugian akibat pencemaran lingkungan laut, dan juga prosedur
pembayarannya seperti apakah dengan adanya asuransi wajib atau dana kompensasi.
Tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi dari Negara atau disebut
hukum internasional, sehingga kalau terjadi pelanggaran kewajiban internasional
akan timbul tanggung jawab Negara. Pelanggaran kewajiban internasional tersebut seperti tidak melaksanakan ketentuan-ketenuan yang terdapat dalam Konvensi
Hukum Laut 1982 yang sudah mengikat negaranya. Belum ada perjanjian yang secara khusus mengatur tanggung jawab Negara dalam hukum internasional. Selama ini persoalan tanggung jawab Negara mengacu padaDraft Articles on
Responsibility of States for International Wrongful Acts yang dibuat oleh Komisi Hukum Internasional International Law Commission (ILC) yang menyatakan: setiap
tindakan negara yang salah secara internasional membebani kewajiban Negara yang bersangkutan[10]
B. International Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (Civil
Liability Convention).
Konvensi Internasional Mengenai Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Pencemaran Minyak di Laut (International Convention on Civil Liability for Oil
Pollution Damage). CLC 1969 merupakan konvensi yang mengatur tentang ganti
rugi pencemaran laut oleh minyak karena kecelakaan kapal tanker. Konvensi ini
berlaku untuk pencemaran lingkungan laut di laut territorial Negara peserta.
Dalam hal pertanggungjawaban ganti rugi pencemaran lingkungan laut maka
prinsip yang dipakai adalah prinsip tanggung jawab mutlak.
Lingkup Berlakunya
konvensi ini berlaku hanya pada kerusakan pencemaran minyak mentah (persistent oil)
yang tertumpah dan muatan kapal tangki. Konvensi tersebut mencakup kerusakan
pencemaran lokasi termasuk perairan negara anggota konvensi Negara Bendera Kapal dan
Kebangsaan pemilik kapal tangki tidak tercakup dalam tingkup aplikasi dan CLC Convention.
Notasi “kerusakan pencemaran” (Pollution Damage),termasuk usaha melakukan Pencegahan
atau mengurangi kerusakan akibat pencemaran didaerah teritorial negara anggota konvens,
Konvensi ini diberlakukan hanya pada kerusakan yang disebabkan oleh tumpahan
muatan minyak dari kapal tangki dan tidak termasuk tumpahan minyak yang bukan muatan
atau usaha pencegahan murni yang dilakukan dimana tidak ada sama sekali Minyak yang
tumpah dari kapal tangki. Konvensi ini juga hanya berlaku pada kapal yang mengangkut
minyak sebagai muatan yakni kapal tangki pengangkut minyak. Tumpahan (Spills) dari kapal
tangki dalam pelayaran “Ballast Condition” dan spills dari bunker oil atau kapal selain kapal
tangki tidak termasuk dalam konvensi ini, Kerusakan yang disebabkan oleh “Non-presistent
Oil” seperti gasoline, kerosene, light diesel oil, dan lain sebagainya, juga tidak termasuk dalam
CLC Convention.
Tanggung Jawab Mutlak
Pemilik kapal tangki mempunyai kewajiban ganti rugi terhadap kerusakan pencemaran
yang disebabkan oleh tumpahan minyak dan kapalnya akibat kecelakaan. Pemilik dapat
terbebas dan kewajiban tersebut hanya dengan alasan :
1. Kerusakan sebagai akibat perang atau bencana alam.
2. Kerusakan sebagai akibat dan sabotase pihak lain, atau
3. Kerusakan yang disebabkan oleh karena pihak berwenang tidak memelihara alat bantu
navigasi dengan baik.
Alasan pengecualian tersebut diatas sangat terbatas, dan pemilik boleh dikatakan
berkewajiban memberikan ganti rugi akibat kerusakan pencemaran pada hampir semua
kecelakaan yang terjadi.
Batas Kewajiban Ganti Rugi(Limitation of Liability)
Pada kondisi tertentu, pemilik kapal memberikan kompensasi ganti rugi dengan batas
133 SDR (Special Drawing Rights) perton dari tonage kapal atau 14 juta SDR, atau sekitar
membuktikan bahwa kecelakaan terjadi karena kesalahan pribadi (actual fault of privity) dari
pemilik, maka batas ganti rugi (limit his liability) untuk pemilik kapal tidak diberikan.
Permintaan Ganti Rugi (Channeling of Liability)
KIaim terhadap kerusakan pencemaran di bawah CLC Convention hanya dapat
ditujukkan pada pemilik kapal terdaftar. Hal ini tldak menghalangi korban mengklaim
kompensasi ganti rugi diluar konvensi ini dari orang lain selain pemlik kapal. Namun demikian,
konvensi melarang melakukan klaim kepada perwakilan atau agen pemilik kapal. Pemilik kapal
harus mengatasi masalah klaim dari pihak ketiga berdasarkan hukum nasional yang berlaku.
C. Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter 1972 (London Dumping Convention).
London Dumping Convention merupakan Konvensi Internasional untuk mencegah terjadinya Pembuangan (dumping), yang dimaksud adalah pembuangan
limbah yang berbahaya baik itu dari kapal laut, pesawat udara ataupun pabrik industri.Para Negara konvensi berkewajiban untuk memperhatikan tindakan
dumping tersebut. Dumping dapat menyebabkan pencemaran laut yang mengakibatkan ancaman kesehatan bagi manusia, merusak ekosistem dan
mengganggu kenyamanan lintasan di laut.
Beberapa jenis limbah berbahaya yang mengandung zat terlarang diatur
dalam London Dumping Convention adalah air raksa, plastik, bahan sintetik, sisa residu minyak, bahan campuran radio aktif dan lain-lain. Pengecualian dari tindakan dumping ini adalah apabila ada “foce majeur”, yaitu dimana pada suatu
keadaan terdapat hal yang membahayakan kehidupan manusia atau keadaan yang dapat mengakibatkan keselamatan bagi kapal-kapal.
OPRC adalah sebuah konvensi kerjasama internasional menanggulangi
pencemaran laut dikarenakan tumpahan minyak dan bahan beracun yang berbahaya. Dari pengertian yang ada, maka dapat kita simpulkan bahwa Konvensi
ini dengan cepat memberikan bantuan ataupun pertolongan bagi korban pencemaran laut tersebut, pertolongan tersebut dengan cara penyediaan peralatan bantuan agar upaya pemulihan dan evakuasi korban dapat
ditanggulangi dengan segera.
Pencemaran laut oleh tumpahan minyak bukan merupakan hal yang baru bagi
Negara-negara Asia Tenggara khususnya di Indonesia, sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2009 pencemaran laut dikarenakan tumpahan minyak berulang kali
terjadi di Kepulauan Seribu, korbannya adalah para masyarakat pesisir dan nelayan, dampak pencemaran laut oleh minyak sangatlah luas, laut yang tercemar
oleh minyak akan menyebabkan gangguan pada fungsi ekosistem di pesisir laut, kehidupan aquatic pantai seperti terumbu karang, hutan mangrove dan ikan akan
terganggu. Pada sisi ekonomi, hasil tangkapan seperti udang dan ikan tentu akan beraroma minyak yang berdampak pada nilai jual yang rendah dan mutu ataupun kualitas menurun. Dengan adanya gelombang, arus dan pergerakan massa air
pasang surut, residu minyak akan tersebar dengan cepat. Bila tidak ditangani dengan segera, pencemaran limbah minyak ini akan membawa dampak kesehatan
bagi masyarakat yang mengkonsumsi ikan yang tercemar.
Indonesia juga memiliki aturan mengenai pencemaran laut yang disebabkan
oleh tumpahan minyak dilaut tersebut. Bagi pelaku pencemaran laut oleh tumpahan minyak, dalam hal ini kapal-kapal tanker wajib menanggulangi
terjadinya keadaan darurat tumpahan minyak yang berasal dari kapalnya, yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut.
e. International Convention for the Prevention of Pollution from Ships
Marpol 73/78 adalah konvensi internasional untuk pencegahan pencemaran dari
kapal,1973 sebagaimana diubah oleh protocol 1978. Marpol 73/78 dirancang dengan tujuan untuk meminimalkan pencemaran laut , dan melestarikan
lingkungan laut melalui penghapusan pencemaran lengkap oleh minyak dan zat berbahaya lainya dan meminimalkan pembuangan zat-zat tersebut tanpa disengaja.
MARPOL 73/78 garis besarnya mengatur :
1. mewajibkan negara untuk menyediakan fasilitas penerimaan untuk pembuangan limbah berminyak dan bahan kimia. Ini mencakup semua aspek
teknis pencemaran dari kapal, kecuali pembuangan limbah ke laut oleh dumping, dan berlaku untuk kapal-kapal dari semua jenis, meskipun tidak berlaku untuk
pencemaran yang timbul dari eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral laut.
2. Semua kapal berbendera di bawah Negara-negara yang menandatangani marpol tunduk pada persyaratan , tanpa memperhatikan tempat mereka berlayar
dan Negara anggota bertanggung jawab atas kapal yang terdaftar dibawah kebangsaan Negara masing-masing.
3. Setiap Negara penandatangan bertanggung jawab untuk memberlakukan
undang-undang domestic untuk melaksanakan konvensi dan berjanji untuk mematuhi konvensi, lampiran dan hukum terkait bangsa-bangsa lain;
4. mengatur desain dan peralatan kapal;
5. menetapkan sistem sertifikat dan inspeksi
International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 yang kemudian disempurnakan dengan Protocol pada tahun 1978 dan konvensi ini
Annexes yang berisi regulasi-regulasi mengenai pencegahan polusi dari kapal
terhadap :
a. Annex I : Prevention of pollution by oil ( 2 october 1983 )
Total hydrocarbons (oily waters, crude, bilge water, used oils, dll) yang diizinkan untuk dibuang ke laut oleh sebuah kapal adalah tidak boleh melebihi 1/15000 dari total muatan kapal. Sebagai tambahan, pembuangan limbah tidak boleh
melebihi 60 liter setiap mil perjalanan kapal dan dihitung setelah kapal berjarak lebih 50 mil dari tepi pantai terdekat. Register Kapal harus memuat daftar jenis
sampah yang dibawa/dihasilkan dan jumlah limbah minyak yang ada. Register Kapal harus dilaporkan ke pejabat pelabuhan.
b. Annex II : Control of pollution by noxious liquid substances ( 6 april
1987
Aturan ini memuat sekitar 250 jenis barang yang tidak boleh dibuang ke laut, hanya dapat disimpan dan selanjutnya diolah ketika sampai di pelabuhan.
Pelarangan pembuangan limbah dalam jarak 12 mil laut dari tepi pantai terdekat.
c. Annex III : Prevention of pollution by harmful substances in packaged form ( 1 july 1992 )
Aturan tambahan ini tidak dilaksanakan oleh semua negar yaitu aturan standar
pengemasan, pelabelan, metode penyimpanan dan dokumentasi atas limbah berbahaya yang dihasilkan kapal ketika sedang berlayar
d. Annex IV : Prevention of pollution by sewage from ships ( 27 september 2003 )
(disinfektan) dapat dibuang ke laut dengan jarak lebih dari 4 mil laut dari pantai
terdekat. Air buangan yang tidak diolah dapat dibuang ke laut dengan jarak lebih 12 mil laut dari pantai terdekat dengan syarat kapal berlayar dengan kecepatan 4
knot.
e. Annex V : Prevention of pollution by garbage from ships ( 31 december 1988)
Aturan yang mengatur tentang melarang pembuangan sampah plastik ke laut.
f. Annex IV : Prevention of air pollution by ships
Aturan ini tidak dapat efektif dilaksanakan karena tidak cukupnya negara yang meratifiskasi (menandatangani persetujuan.)
MARPOL 1973/1978 memuat peraturan untuk mencegah seminimum mungkin minyak
yang mencemari laut. Tetapi, kemudian pada tahun 1984 dilakukan beberapa modifikasi yang
menitik-beratkan pencegahan hanya pada kagiatan operasi kapal tangki pada Annex I dan
yang terutama adalah keharusan kapal untuk dilengkapai dengan Oily Water Separating
Equipment dan Oil Discharge Monitoring Systems.
III. PENCEMARAN TERHADAP LINGKUNGAN LAUT DI PERAIRAN ASIA TENGGARA
Dalam dasawarsa terakhir ini gejala pencemaran lingkungan laut (the pollution of marine environment) [11] kian hari menarik perhatian berbagai pihak,
dengan hal tersebut M. Daud Silalahi mengatakan pencemaran dapat diartikan
sebagai bentukenvironmental impairment, adanya gangguan, perubahan, atau perusakan. Bahkan, adanya benda asing di dalamnya yang menyebabkan unsur
lingkungan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (reasonable function)
[12] sedangkan Dalam konvensi hukum laut 1982 disebutkan bahwa :
Pencemaran lingkungan laut berarti dimasukkannya oleh manusia secara langsung atau tidak langsung bahan atau energi ke dalam lingkungan laut termasuk kuala yang mengakibatkan atau mungkin membawa akibat buruk sedemikian rupa seperti kerusakan pada kekayaan hati dan kehidupan di laut, bahaya bagi kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk penangkapan ikan dan penggunaan laut yang sah lainnya, penurunan kualitas kegunaan air laut dan mengurangi kenyamanan[13]
Dari pengertian diatas dapat kita lihat bahwa pencemaran lingkungan laut itu disebabkan beberapa faktor-faktor yang mengakibatkan menurunya kualitas air
laut itu sendiri, terkait dengan hal pencemaran minyak dikawan asia tenggara yang merupakan daerah yang sangat produktif terjadi pencemaran yang sangat merugikan bagi kawasan asia tenggara yang setiap tahunnya 3 sampai 4 juta ton
minyak mencemari lingkungan laut, pencemaran tersebut bersifat lintas batas negara sehingga bukan hanya Negara yang menjadi korban saja yang kena
dampaknya tetapi semua Negara yang pantainya saling berdekatan pasti terkena dampaknya.
sumber pencemaran dilaut beragam sumbernya sebagaimana yang penulis telah sebutkan pada latar belakang diatas, yaitu operasi kapal tanker, kecelakaan
kapal tanker, scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua), serta kebocoran minyak dan gas dilepas pantai.
a. Operasi kapal tanker[14]
membawa air ballast (sistem kestabilan kapal menggunakan mekanisme bongkar
– muat air) yang biasanya ditempatkan dalam tangki slop. Sampai dipelabuhan bongkar, setelah proses bongkar selesai sisa muatan minyak dalam tangki dan
juga air ballast yang kotor disalurkan ke dalam tangki slop. Tangki muatan yang telah kosong tadi dibersihkan dengan water jet, proses pembersihan tangki ini ditujukan untuk menjaga agar tangki diganti dengan air ballast baru untuk
kebutuhan pada pelayaran selanjutnya.
Hasil buangan dimana bercampur antara air dan minyak ini pun di alirkan
kedalam tangki slop. Sehingga didalam tangki slop terdapat campuran minyak dan air. Sebelum kapal berlayar, bagian air dalam tangki slop harus dikosongkan
dengan memompakannya ke tangki penampung limbah di terminal atau dipompakan kelaut dan diganti dengan air ballast yang baru. Tidak dapat
disangkal buangan air yang dipompakan ke laut masih mengandung minyak dan ini akan berakibat pada pencemaran laut tempat terjadi bongkar muat kapal
b. Kecelakaan kapal tanker
Beberapa penyebab kecelakaan tanker adalah kebocoran lambung, kandas, ledakan, kebakaran dan tabrakan. Beberapa kasus di perairan selat malaka
adalah karna dangkalnya perairan dimana kapal dalam muatan keadaan pernuh[15]. Tercatat beberapa kasus tumpahnya minyak akibat dari kandasnya
kapal misalnya kandasnya kapal showa Maru diselat malaka dan selat singapura pada tahun 1975[16], diperkirakan 4.500 kilo liter minyak mentah sudah
berceceran kelaut dan telah meliputi laut sejauh 5 km dari tempat kejadian[17] yang membuka mata Negara-negara asia tenggara betapa
pentingnya perlindung terhadap laut dari pencemaran.
Proses scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua) ini
banyak dilakukan oleh di industri kapal di asia tenggara termasuk Indonesia sendiri. Akibat proses ini banyak kandungan metal dan lainnya termasuk
kandungan minyak yang terbuang kelaut diperkirakan sekitar 1.500 ton/tahun minyak yang terbuang ke laut akibat proses ini dapat merusakan lingkungan laut yang berada disekitar industri kapal dinik
d. Kebocoran minyak dan gas dilepas pantai
Pada tanggal 21 Agustus 2009 telah terjadi kebocoran minyak bumi akibat
terjadinya ledakan bawah laut offshore rig yang dioperasikan oleh The Montara Well Head Platform di Blok West Atlas, 140 mil laut utara Perairan Australia pada
posisi 120 41’ Lintang Selatan (LS) dan 1240 32’ Bujur Timur (BT). Kebocoran ini telah menumpahkan minyak mentah (crude oil) dan gas hidrokarbon lebih-kurang
64 ton per hari. Tumpahan minyak tersebut telah memasuki wilayah perairan laut Provinsi NTT sejauh 50 mil atau lebih-kurang 70 km arah tenggara Pulau Rote[18].
Hal ini jelas mencemari lingkungan laut
Kawasan asia tenggara terletak di antara benua Asia dan Australia, yang merupakan wilayah yang sangat produktif akan sumber daya alamnya. Disamping
itu perairan wilayah asia tenggara ini merupakan daerah yang banyak dilalui oleh kapal-kapal pengankut minyak maupun kargo barang karna wilayah asia tenggara
merupakan jalur perdagangan sehingga tidak mengherankan banyak kapal tiap tahunnya lewat perairan asia tenggara. Sehingga perairan asia tenggara sangat
rentang akan pencemaran lingkungan laut.
Banyaknya kasus pencemaran di perairan asia tenggara nanti membuming
237.698 ton penuh dengan muatan minyak mentah dari daerah teluk Persia
menuju jepang kandas diperairan selat malaka pada tahun 1975.
Bagi bangsa Indonesia yang merupakan bagian dari wilayah Asia tenggara
kasus Showa Maru merupakan tonggak sejarah terbangunannya perhatian dan keprihatinan masyarakat luas terhadap keselamatan dan kelestarian lingkungan laut nusantara[19]. Masyakat hukum Indonesia sendiri tergugah untuk segera
bertindak nyata melahirkan peraturan perundang-undangan pencegahan pencemaran laut khususnya di selat malaka dan singapura. Untuk itu pemerintah
Indonesia meratifikasi beberapa konvensi seperti, Cilvil Liability Convention 1969 dan pembentukan Dana Internasional (International Fund) 1971,
masing-masing dengan keppres No 18 dan 19, dan MARPOL 1973 dengan Keppres No 15 Tahun 1985 semuannya merupakan konvensi-konvensi IMCO dan UNCLOS 1982
dengan UU No 17 Tahun 1986[20].
Disamping tindakan pemerintah indonesia meratifikasi konvensi-konvensi
internasional tentang pencemaran laut diatas juga mengadakan kesepakatan dengan Negara-negara tetangga dalam ASEAN Treaty 1985 dan persetujuan Tiga Negara di selat malaka dan selat singapura dikenal sebagai Tripartie
Agreement Tentang pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut di selat malaka antara Indonesia, malaysi dan singapura sejak tahun 1971 dan terakhir
pada tahun 1977 dengan diterimannya kesepakatan ketiga Negara tentang Traffic Separation Scheme (TSS) di selat malaka oleh IMCO berdasarkan Resolusi IMCO No
IV. ANALISI PENANGGULANGAN PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT DIKAWASAN ASIA TENGGARA DALAM PRESPEKTIK HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL
Kasus-kasus pencemaran lingkungan laut yang penulis telah uraikan di Bab III diatas merupakan masalah yang harus ditanggulangi bersama oleh
Negara-negara yang tergabung dalam organisasi ASEAN karna dampak yang di timbulkan bukan hanya dirasakan oleh Negara yang menjadi korban pencemaran tersebut
tetapi Negara-negara yang lautnya berbatasan dengan Negara tersebut ikut terkena dampaknya seperti kasus kandasnya showa maru dimana bukan hanya Indonesia yang merasakan dampak dari pencemaran tersebut tapi singapura dan
Malaysia juga terkena dampak dari pencemaran tersebut, inilah sifat dari dari ciri dari lingkungan hidup yang senantiasa terhubung secara utuh dan menyeleruh.
penanggulangan terhadap pencemaran lingkungan laut merupakan hal yang tidak mudah seperti membalikan telapak tangan. Dibutuhkan kordinasi dari
semua Negara-negara khusunya Negara-negara yang berada dikawasan asia tenggara untuk bekerjasama secara regional menanggulangi dampak dari
Negara-negara harus bekerjasama atas dasar global dan dimana perlu, atas dasar regional secara langsung atau melalui organisasi-organisasi internasional yang kompoten, dalam merumuskan dan mejelaskan ketentuan-ketentuan, standar-standar dan praktek-praktek yang disarankan secara internasional serta prosedur-prosedur yang konsisten dengan konvensi ini untuk tujuan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, dengan memperhatikan cirri-ciri regional yang khas[22]
Dari ketentuan pasal diatas dapatlah kita lihat bahwa hukum lingkungan dalam
hal ini hukum lingkungan internasional memberikan anjuran kerjasama untuk menanggulangi pencemaran lingkungan laut baik ditingkat global maupun
ditingkat regional. Ditinjau dari kerjasama Negara-negara Asia Tenggara di tinggkat regional dimana kerjasama tersebut dimulai di tahun 1977 ketika naskah
ASEAN disiapkan mengenai program lingkungan sub-regional (ASEP ) yang dibantu oleh UNEP (United Nations Environment Programme) untuk
membicarakan masalah lingkungan[23], dimana prioritas dari program kerjasama dibidang lingkungan mencakup 6 (enam) sub pembahasan yaitu:
1. Pengelolaan Lingkungan termasuk Analisis Dampak Lingkungan
(Environmental Impact Assessment)
2. Pelestarian Alam dan ekosistem Terrestrial,
3. Industri dan lingkungan hidup
4. Lingkungan laut
5. Pendidikan dan latihan lingkungan
6. Penerangan lingkungan hidup[24]
Terkait dengan kerjasama Negara-negara Asia Tenggara dibidang lingkungan laut
dilaksanakan melalui tiga badan regional yaitu
2. The ASEAN Experts Group on the Environment (AEGE)
3. The working Group on marine science (WGMS)[25]
Apa yang penulis paparkan diatas merupakan gambaran dari pada usaha-usaha
Negara-negara asia tenggara untuk menanggulangi masalah pencemaran lingkungan laut yang sifatnya lintas batas Negara. Disamping itu pula kerjasama bilateral maupun multilateral sangat diperlukan seperti kerjasam tripartite antara
Negara Indonesia, singapura dan Malaysia dalam penanggulangan pencemaran laut di selat malaka. Secara umum terdapat tiga faktor yang dijadikan landasan
sebagai untuk penanggulangan pencemaran lingkungan laut, yaitu aspek legalitas, aspek kelengkapan dan aspek kordinasi
a. Aspek Legalitas
Kalau kira lihat dari aspek nasional Benny Hartono dengan mengutip
pendapatnya Husseyn Umar mengatakan suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan formil sebagai suatu peraturan,
tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan dilaksanakan atau ditegakkan dalam kenyataan[26]. Undang-undang No 23 Tahun 1997 diganti dengan Undang-undang No 32 tahun 2009 Tentangan Pengelolaan lingkungan
hidup mengatur jelas aspek-aspek pengelolaan dan sanksi bagi pelaku polusi dilaut, namun fakta dilapangan terkadang aparat yang berwenang justru bermain
kotor dengan pelaku pencemaran disamping itu sulitnya untuk mencari bukti-bukti untuk meyeret mereka kepengadilan. Dari aspek internasional pada tahun 1945
Badan Maritim Internasional (IMO) menghasilkan konvensi internasional mengenai pencegahan pencemaran di laut oleh minyak kemudian kenvensi ini diperbaharui
b. Aspek Perlengkapan
Kita ketahui bahwa penanggulangan terhadap pencemaran minyak sangat sulit untuk dilakukan misalnya tumpahan minyak showa maru dimana lebih dari 30
kapal militer dan sipil ambil bagian dalam usaha menyelamatkan pantai sebelah barat Singapore disamping itu usaha untuk penyelamatan laut dari pencemaran minyak memerlukan biaya yang banyak. Untuk itu diperlukan bioremediation
seperti menyemprotkan nitrat dan phosphere ketumpahan minyak untuk mempercepat kerja bakteri pengurai minyak. Dalam aspek ini yang paling utama
adalah pentingnya penguasaan prosedur dan teknik-teknik penanggulangan tumpahan minyak oleh petugas pelaksaan lapangan harus dimiliki oleh
Negara-negara yang terkena dampak pencemaran lingkungan
c. Aspek Kordinasi
Dalam hal penanggulangan polusi tumpahan minyak dilaut, aspek kordinasi memegang peranan penting mengingat bahwa pencemaran laut ini merupakan
pencemaran yang bersifat lintas batas Negara sehingga perlu adanya kerjasama antara Negara-negara khususnya Negara-negara tetangga yang pantainya saling berdekatan harus saling bahu-membahu untuk menanggulangi pencemaran
lingkungan tersebut. Dengan demikian maka bisa teratasi pencemaran laut sampai tuntas
menjadi kewajiban semua Negara tidak hanya Negara Asia Tenggara tetapi seluruh Negara-negara didunia untuk menegakkan aturan-aturannya agar bisa
meminimalisir dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan yang lebih parah karna penyumbang terbesar protein hewani berasal dari laut, untuk menegakkan
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analis diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan
1. Perlindungan pencemaran lingkungan laut merupakan suatu permasalahan yang bersifat lintas batas Negara sehingga diperlukan kerjasama diantara
Negara-negara dalam hal ini Negara-negara dikawasan asia tenggara sebagaimana yang diamanatkan oleh hukum lingkungan internasional yang
terdapat dalam konvensi hukum laut 1982. Disamping itu yang tidak kalah pentingnya adalah tiga faktor yang dijadikan sebagai landasan untuk
penanggulangan pencemaran lingkungan laut, yaitu aspek legalitas, aspek kelengkapan dan aspek kordinasi yang telah penulis paparkan di bab IV diatas
sehingga masalah pencemaran lingkungan bisa diatasi secara tuntas
B. Saran
1. Kepada Negara-negara dikawasan Asia Tenggara hendaknya menerapkan
prinsip penerapan sistem pemberitauan secara dini terhadap kecelakaan-kecelakaan yang mengarah kepada pencemaran lingkungan laut kepada
Senin, 20 Juni 2016
5 Putusan Pengadilan Terkait
Kebakaran Lahan
Teranyar, Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengabulkan sebagian gugatan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
YOZ
Ilustrasi kebakaran lahan. Foto: RES
BERITA TERKAIT
PT Jatim Jaya Perkasa Hanya Didenda Rp29 Miliar, KLHK Siapkan Banding
Hakim Tolak Gugatan KLHK Terhadap PT BMH
Simak Yuk! Kaidah Hukum 12 Putusan Berstatus Landmark Decisions
Jerat Koorporasi Pembakar Lahan, Saatnya Konsep Strict Liability Digunakan
Masyarakat Riau Gugat Presiden Terkait Bencana AsapPemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bisa bernafas lega. Soalnya, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengabulkan sebagian gugatan KLHK atas kasus kebakaran lahan yang melibatkan PT Jatim Jaya Perkasa. Meski demikian, KLHK merasa tidak puas dan berencana mengajukan upaya hukum banding.
Dalam kasus lain, ada pula gugatan KLHK yang ditolak oleh majelis hakim dalam kasus yang sama. Bahkan, pemerintah terkadang menjadi pihak tergugat dalam kasus kebakaran lahan. Untuk lebih jelasnya, berikut beberapa putusan
pengadilan terkait kebakaran hutan yang dirangkum hukumonline:
1. Putusan PN Jakarta Utara, Tahun 2016
menyiapkan langkah hukum banding. Hal ini dilakukan karena majelis hakim hanya mengabulkan sebagian gugatan atas
kebakaran lahan seluas 1.000 Hektar di lokasi PT JJP.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rasio Ridho Sani, mengatakan KLHK meyakini bahwa luas lahan yang terbakar adalah 1.000 hektar sementara majelis hakim berpendapat luas yang terbakar 120 hektar. “Untuk itu majelis hakim menjatuhkan ganti rugi Rp7.196.188.475 dan biaya pemulihan Rp22.277.130.852. Ganti rugi dan biaya pemulihan ini lebih kecil dari yang digugat oleh KLHK yaitu sebesar Rp
491.025.500.000,” katanya.
Berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan, kata Ridho, KLHK akan terus melakukan langkah-langkah penegakan hukum, baik melalui penerapan sanksi administratif, pidana maupun melalui gugatan perdata. “Langkah-langkah penegakan hukum ini perlu dilakukan agar teruwujudnya efek jera bagi pelaku,” ujar Ridho.
2. Putusan PN Palembang, Tahun 2015
Gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH) senilai Rp7,8 triliun ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang. Dalam putusannya, majelis menilai, penggugat tidak bisa membuktikan adanya perbuatan melawan hukum dan unsur kerugian. Ketua majelis hakim Parlas Nababan mengatakan, selain menolak gugatan, KLHK selaku penggugat juga diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp10.521.000. Putusan tersebut dibacakan dalam sidang terbuka yang dihadiri kedua belah pihak, organisasi
penggiat lingkungan dan awak media di Palembang, Rabu (30/12).
Parlas membacakan hal-hal yang menjadi pertimbangan sebelum memutus. Di antaranya, adanya ketersediaan peralatan pengendalian kebakaran, lahan yang terbakar masih dapat ditanami lagi, pekerjaan penanaman diserahkan ke pihak ketiga, adanya pelaporan secara reguler dan diketahui tidak ada laporan kerusakan lahan di Dinas Kehutanan Ogan
Komering Ilir (OKI).
Atas dasar itu, majelis menyatakan tidak ada hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian. Dari hasil laboratorium diketahui tidak ada indikasi tanaman rusak karena setelah terbakar, tanaman akasia masih dapat tumbuh dengan baik. Kemudian, pihak penggugat juga tidak dapat membuktikan adanya kerugian ekologi, seperti adanya perhitungan kehilangan unsur hara, kehilangan keanekaragaman hayati,sehingga tidak dapat dibuktikan perbuatan melawan hukumnya.
Selain itu, majelis juga menilai justru PT BMH yang mengalami kerugian sehingga menolak gugatan perdata KLHK senilai Rp7,8 trilun.Parlas mengatakan, berdasarkan fakta, keterangan saksi dan ahli diketahui bahwa pihak penggugat (KLHK) tidak dapat membuktikan perhitungan kerugian seperti yang digugatkan melalui hasil laboratorium terakreditasi sesuai peraturan UU. "Atas pertimbangan itu, majelis hakim menolak gugatan dan membebankan biaya perkara ke pihak
penggugat (KLHK)," kata Parlas.
Gugatan ini dilayangkan negara atas terbakarnya lahan hutan tanaman industri pohon akasia seluas 20 ribu hektare milik PT BMH pada 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku Kabupaten OKI.
3. Putusan PN Palalawan, Tahun 2013
Perkara pidana pembakaran hutan di Desa Pangkalan Panduk, Riau ini menyeret Suheri Terta serta Fachruddin Lubis, masing-masing Direktur Utama dan Kepala Proyek perusahaan kelapa sawit PT Mekarsari Alam Lestari (PT MAL). Keduanya didakwa sejak tahun 2008 telah membakar hutan dalam rangka membuka dan menyiapkan lahan gambut
untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Pembakaran itu dilakukan dalam rangka meningkatkan kadar keasaman tanah agar cocok ditanami kelapa sawit. Mereka disinyalir sengaja melakukan pembakaran itu dengan cara membuat kanal-kanal yang berfungsi sebagai pembatas petak lahan perkebunan sekaligus untuk melokalisir kebakaran agar api tetap berada di jalur penanaman yang telah direncanakan. Kerugian ekologis dan ekonomis yang terjadi akibat peristiwa itu ditaksir lebih dari Rp87 miliar.
Selain itu, ternyata perusahaan tersebut diketahui tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), Izin Usaha Perkebunan (IUP), sarana dan prasarana serta sumber daya manusia maupun prosedur dalam penanggulangan kebakaran hutan. Padahal, di tahun 2007 PT MAL telah mendapat teguran mengenai hal itu dari Badan Pengendali Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Riau setelah terjadi kebakaran di lahan perkebunan mereka.
sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana ”Karena Lalainya Melakukan Perbuatan yang Mengakibatkan Kerusakan Lingkungan Hidup”. Keduanya pun dihukum membayar denda masing-masing Rp133 juta. Atas putusan tersebut, tiga hari kemudian Penuntut Umum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Kemudian pada 31 Januari 2013, PT Pekanbaru menghukum keda terdakwa penjara enam bulan dengan masa percobaan satu tahun dan
denda masing-masing Rp100 juta.
4. Putusan PN Meulaboh, 2014
Pada 8 November 2012, Menteri Lingkungan Hidup menggugat PT Kallista Alam, yang salah satu kuasa hukumnya adalah Luhut MP Pangaribuan, karena lahan perkebunannya berada di kawasan konservasi Leuser. Selain itu, selama Januari-November 2011 juga ada indikasi kebakaran di lahan perusahaan tersebut. Pihak perusahaan pun mengakui telah terjadi kebakaran lahan, namun hanya berlangsung selama tiga hari di pertengahan bulan Maret. Pihak Menteri Lingkungan Hidup juga mensinyalir pembukaan lahan dengan membakar hutan dari laporan keuangan perusahaan.
Menurut Menteri, untuk membuka satu hektar lahan secara normal dibutuhkan sekitar Rp40 juta,namun perusahaan melaporkan biaya pembukaan seratus hektar lahan hanya sekitar Rp8 juta. Akibat perbuatannya, perusahaan dinilai telah menurunkan kualitas lingkungan hidup dengan menghilangkan fungsi tanah gambut dan merusak keanekaragaman hayati. Perusahaan pun digugat untuk tidak menanami kelapa sawit di atas lahan seluas seribu hektar yang telah terbakar. Sebaliknya, perusahaan harus membayar biaya pemulihan lingkungan atas lahan itu sekitar Rp250 miliar. Selain itu, perusahaan diminta membayar ganti rugi sebesar lebih dari Rp114 miliar.
Pada tanggal 8 Januari 2014, majelis hakim pada Pengadilan Negeri Meulaboh yang terdiri dari Rahmawati, Rahma Novatiana, dan Juanda Wiajaya mengabulkan sebagian gugatan Menteri Lingkungan Hidup. Perusahaan dinyatakan telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan harus membayar ganti rugi materiil secara tunai melalui rekening kas negara sekitar Rp114 juta. Perusahaan juga tidak boleh menanami lahan gambut seluas seribu hektar yang izinnya telah dimiliki itu. Ditambah pula, perusahaan harus membayar biaya pemulihan lingkungan sesuai permintaan penggugat. Jika perusahaan terlambat melaksanakan putusan nomor: 12/ PDT.G/ 2012/ PN.MBO tersebut, dikenakan uang paksa Rp5
juta per hari.
5. Putusan PN Jakarta Pusat, 2014
LSMWahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang diwakili Ketua, Sekretaris, dan Bendaharanya mengajukan gugatan kepada Negara Republik Indonesia pada bulan Oktober 2013. Ada Sembilan belas instansi kementerian maupun pemerintah daerah yang menjadi tergugat. Di antaranya, Presiden, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kapolri, Gubernur Riau, Gubernur Jambi, dan Bupai/Walikota di kedua provinsi itu.
Walhi menggugat pemerintah atas maraknya kebakaran hutan yang besar dan terus menerus sejak tahun 1980-an di Indonesia. Pemerintah dinilai tidak mampu dan tidak berhasil mengatasi, menegakkan hukum dan melakukan penanggulangan dini peristiwa itu. Dengan demikian, pemerintah dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian materiil dan immateriil. WALHI pun mengajukan beberapa tuntutan, antara lain membuat peta kerawanan kebakaran hutan nasional. Kedua, mengembangkan sistem informasi kebakaran hutan. Ketiga, menetapkan pola kemitraan dengan masyarakat. Keempat, menetapkan standar peralatan pengendalian kebakaran hutan. Kelima, membuat program penyuluhan dan kampanye pengendalian kebakaran.
Keenam, menetapkan pola pelatihan pencegahan kebakaran. Pemerintah juga dituntut melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Khusus untuk Kementerian Lingkungan Hidup, dituntut melakukan audit lingkungan terhadap semua izin Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri di Propinsi Riau dan Propinsi Jambi. Selain itu, semua tergugat diminta menyampaikan permohonan maaf secara tertulis kepada seluruh rakyat Indonesia melalui media masa.