• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM INTERNASIONAL PERLINDUNGAN TERHADAP Pencemaran Lingkunga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUKUM INTERNASIONAL PERLINDUNGAN TERHADAP Pencemaran Lingkunga"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM INTERNASIONAL

Mengabdi Untuk Allah

 Home

 Profile

 Tugas Kuliah

MINGGU, 09 DESEMBER 2012

Pencemaran Lingkungan Laut

PERLINDUNGAN TERHADAP PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT DIKAWASAN ASIA TENGGARA DALAM PRESPEKTIF HUKUM LINGKUNGAN

INTERNASIONAL

I. PENDAHULUAN

Hukum lingkungan internasional (huklin) merupakan bidang baru (new

development) dalam sistem hukum internasional. Bidang baru ini dapat pula dianggap bagian dari hukum baru dengan nama hukum lingkungan laut

internasional[1]. Untuk membahas sistem hukum lingkungan internasional ini menurut dapat dikaji dalam kerangka hukum internasional berdasarkan, (i) customary international law (CIL) dan(ii) conventional international law, dari

kedua sumber hukum ini telah tumbuh hukum lingkungan internasional sebagai bagian dari hukum lingkungan[2].

Terkait dengan lingkungan laut terdapat sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati, sebagai sarana penghubung, media rekreasi dan lain

sebagainya. oleh karena itu sangat penting untuk melindungi lingkungan laut dari ancaman pencemaran yang bersumber dari operasi kapal tanker, kecelakaan kapal

tanker, scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua), serta kebocoran minyak dan gas dilepas pantai. Hal ini penting dilakukan agar

(2)

produktif dapat dinikmati secara berkelanjutan, baik bagi generasi sekarang

maupun generasi yang akan datang[3].

Perairan Asia Tenggara mencakup didalamnya laut Andanan, Selat Malaka

dan Singapura, Laut Cina Selatan, perairan kepulauan Indonesia dan Filipina termasuk laut arafuru dan Laut Celebes. Seluruh perairan ini meliputi luas 8.94 juta km2 yang merupakan 2,5% dari permukaan laut dan dunia[4]. Dengan luas

perairan yang dimiliki kawasan Asia Tengara menyebabkan lebih 7% dari penduduk dikawasan ini hidup didaerah pantai[5]. suatu hal yang menyebabkan tingkat

eksploitasi yang tinggi daripada sumber kekayaan alam dan pemburukan lingkungan.

Pada saat ini zat pencemar yang berbahaya dan sering mencemari lingkungan laut adalah minyak[6]. Setiap tahunnya 3 sampai 4 juta ton minyak

mencemari lingkungan laut[7]. Pada tahun 2009 misalnya terjadi pencemaran Laut Timur Indonesia oleh perusahaan Montana Australia[8], yang menurut Balai Riset

Kelautan dan Perikanan (BRKP). Hasil survey mereka pada tanggal 4 November 2009, luas terdampak pencemaran mencapai 16.420 kilometer persegi.

Zat pencemar dalam hal ini minyak yang masuk pada ekosistem laut tidak

hanya dapat secara langsung merusak lingkungan laut, namun lebih jauh dapat pula berbahaya bagi suplay makanan dan habitat lingkungan laut yang merupakan

sumber kekayaan alam bagi suatu Negara khususnya bagi kawasan Asia Tengggara yang penduduknya banyak bergantung pada hasil perikanan. Dalam hal

ini terdapat beberapa aturan hukum lingkungan internasional yang mengatur masalah pencemaran lingkungan laut yaitu:

(1). United Nation Covention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS)

(3)

(3). Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and

Other Matter 1972 (London Dumping Convention).

(4). The International Covention on Oil Pollution Preparedness Response And

Cooperation 1990 (OPRC).

(5). International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973

(Marine Pollution).

Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana telah diuraikan secara tingkas diatas, maka penulis akan mencoba mengkaji lebih jauh lagi,

sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk makalah yang diberi judul “Perlindungan Terhadap Pencemaran Lingkungan Laut Dikawasan

Asia Tenggara Dalam Prespektif Hukum Lingkungan Internasional”. Dari judul ini penulis akan menganalisis secara yuridis yang akan diarahkan untuk

menjawab pertanyaan mengenai sejauhmana penanggulangan pencemaran lingkungan laut diperairan asia tenggara dalam prespektif Hukum Lingkungan

internasional. Adapun tujuan dari makalah ini adalah memberikan gambaran terhadap perkembangan hukum lingkungan internasional serta pencemaran lingkungan laut yang terjadi di perairan Asia Tenggara

II. PERKEMBANGAN PENGATURAN PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT DALAM HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

A. United Nation Covention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS)

Konvensi Hukum Laut 1982 adalah merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut, yang disetujui di montego Bay, Jamaica tanggal 10 Desember 1982[9]. Konvensi Hukum Laut 1982 secara lengkap mengatur perlindungan dan

(4)

Pasal 192 berbunyi : yang menegaskan bahwa setiap Negara mempunyai

kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Pasal 193 menggariskan prinsip penting dalam pemanfaatan sumber daya di lingkungan laut,

yaitu prinsip yang berbunyi : bahwa setiap Negara mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya sesuai dengan kebijakan lingkungan mereka dan sesuai dengan kewajibannya untuk melindungi dan melestarikan

lingkungan laut.

Konvensi Hukum Laut 1982 meminta setiap Negara untuk melakukan

upaya-upaya guna mencegah (prevent), mengurangi (reduce), dan mengendalikan (control) pencemaran lingkungan laut dari setiap sumber pencemaran, seperti

pencemaran dari pembuangan limbah berbahaya dan beracun yang berasal dari sumber daratan (land-based sources), dumping, dari kapal, dari instalasi eksplorasi

dan eksploitasi. Dalam berbagai upaya pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan tersebut setiap Negara harus melakukan

kerja sama baik kerja sama regional maupun global sebagaimana yang diatur oleh Pasal 197-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Negara peserta Konvensi Hukum Laut 1982 mempunyai kewajiban untuk menaati semua ketentuan Konvensi tersebut

berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, yaitu antara lain sebagai berikut :

1. Kewajiban membuat peraturan perundang-undangan tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut yang mengatur secara komprehensif termasuk

penanggulangan pencemaran lingkungan laut dari berbagai sumber pencemaran, seperti pencemaran dari darat, kapal, dumping, dan lainnya. Dalam peraturan

perundang-undangan tersebut termasuk penegakan hukumnya, yaitu proses pengadilannya

2. Kewajiban melakukan upaya-upaya mencegah, mengurangi, dan

(5)

3. Kewajiban melakukan kerja sama regional dan global, kalau kerja sama

regional berarti kerja sama ditingkat negara-negara anggota ASEAN, dan kerja sama global berarti dengan negara lain yang melibatkan negara-negara di luar

ASEAN karena sekarang persoalan pencemaran lingkungan laut adalah persoalan global, sehingga penanganannya harus global juga.

4. Negara harus mempunyai peraturan dan peralatan sebagai bagian

dari contingency plan

5. Peraturan perundang-undangan tersebut disertai dengan proses mekanisme

pertanggungjawaban dan kewajiban ganti ruginya bagi pihak yang dirugikan akibat terjadinya pencemaran laut.

Dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut tersebut, setiap Negara diharuskan melakukan kerja sama baik

kerja sama regional maupun global. Keharusan untuk melakukan kerja sama regional dan global (global and regional co-operation) diatur oleh Pasal 197-201

Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 197 Konvensi berbunyi : “Negara-negara harus bekerja sama secara global dan regional secara langsung atau melalui organisasi internasional dalam merumuskan dan menjelaskan ketentuan dan standard

internasional serta prosedur dan praktik yang disarankan sesuai dengan Konvensi bagi perlindingan dan pelestarian lingkungan laut dengan memperhatikan keadaan

regional tersebut”.

Kerja sama regional dan global tersebut dapat berupa kerja sama dalam

pemberitahuan adanya pencemaran laut, penanggulangan bersama bahaya atas terjadinya pencemaran laut, pembentukan penanggulangan darurat (contingency

plans against pollution), kajian, riset, pertukaran informasi dan data serta membuat kriteria ilmiah (scientific criteria) untuk mengatur prosedur dan praktik bagi pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan laut

(6)

samping itu, Pasal 207-212 Konvensi Hukum Laut 1982 mewajibkan setiap Negara

untuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur pencegahan dan pengendalian pencemaran laut dari berbagai sumber pencemaran, seperti sumber

pencemaran dari darat (land-based sources), pencemaran dari kegiatan dasar laut dalam jurisdiksi nasionalnya (pollution from sea-bed activities to national jurisdiction), pencemaran dari kegiatan di Kawasan (pollution from activities in the

Area), pencemaran dari dumping (pollution by dumping), pencemaran dari kapal (pollution from vessels), dan pencemaran dari udara (pollution from or through the

atmosphere).

Tanggung Jawab Dan Kewajiban Ganti Rugi

Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur persoalan tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan

laut. Pasal 235 Konvensi menegaskan bahwa setiap Negara bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban internasional mengenai perlindungan dan

pelestarian lingkungan laut, sehingga semua Negara harus memikul kewajiban ganti rugi sesuai dengan hukum internasional.

Setiap Negara harus mempunyai peraturan perundang-undangan tentang

kompensasi yang segera dan memadai atas kerugian (damage) yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut yang dilakukan orang (natural person) atau

badan hukum (juridical person) yang berada dalam jurisdiksinya. Oleh karena itu, setiap Negara harus bekerja sama dalam mengimplementasikan hukum

internasional yang mengatur tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi untuk kompensasi atas kerugian akibat pencemaran lingkungan laut, dan juga prosedur

pembayarannya seperti apakah dengan adanya asuransi wajib atau dana kompensasi.

Tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi dari Negara atau disebut

(7)

hukum internasional, sehingga kalau terjadi pelanggaran kewajiban internasional

akan timbul tanggung jawab Negara. Pelanggaran kewajiban internasional tersebut seperti tidak melaksanakan ketentuan-ketenuan yang terdapat dalam Konvensi

Hukum Laut 1982 yang sudah mengikat negaranya. Belum ada perjanjian yang secara khusus mengatur tanggung jawab Negara dalam hukum internasional. Selama ini persoalan tanggung jawab Negara mengacu padaDraft Articles on

Responsibility of States for International Wrongful Acts yang dibuat oleh Komisi Hukum Internasional International Law Commission (ILC) yang menyatakan: setiap

tindakan negara yang salah secara internasional membebani kewajiban Negara yang bersangkutan[10]

B. International Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (Civil

Liability Convention).

Konvensi Internasional Mengenai Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Pencemaran Minyak di Laut (International Convention on Civil Liability for Oil

Pollution Damage). CLC 1969 merupakan konvensi yang mengatur tentang ganti

rugi pencemaran laut oleh minyak karena kecelakaan kapal tanker. Konvensi ini

berlaku untuk pencemaran lingkungan laut di laut territorial Negara peserta.

Dalam hal pertanggungjawaban ganti rugi pencemaran lingkungan laut maka

prinsip yang dipakai adalah prinsip tanggung jawab mutlak.

Lingkup Berlakunya

konvensi ini berlaku hanya pada kerusakan pencemaran minyak mentah (persistent oil)

yang tertumpah dan muatan kapal tangki. Konvensi tersebut mencakup kerusakan

pencemaran lokasi termasuk perairan negara anggota konvensi Negara Bendera Kapal dan

Kebangsaan pemilik kapal tangki tidak tercakup dalam tingkup aplikasi dan CLC Convention.

Notasi “kerusakan pencemaran” (Pollution Damage),termasuk usaha melakukan Pencegahan

atau mengurangi kerusakan akibat pencemaran didaerah teritorial negara anggota konvens,

(8)

Konvensi ini diberlakukan hanya pada kerusakan yang disebabkan oleh tumpahan

muatan minyak dari kapal tangki dan tidak termasuk tumpahan minyak yang bukan muatan

atau usaha pencegahan murni yang dilakukan dimana tidak ada sama sekali Minyak yang

tumpah dari kapal tangki. Konvensi ini juga hanya berlaku pada kapal yang mengangkut

minyak sebagai muatan yakni kapal tangki pengangkut minyak. Tumpahan (Spills) dari kapal

tangki dalam pelayaran “Ballast Condition” dan spills dari bunker oil atau kapal selain kapal

tangki tidak termasuk dalam konvensi ini, Kerusakan yang disebabkan oleh “Non-presistent

Oil” seperti gasoline, kerosene, light diesel oil, dan lain sebagainya, juga tidak termasuk dalam

CLC Convention.

Tanggung Jawab Mutlak

Pemilik kapal tangki mempunyai kewajiban ganti rugi terhadap kerusakan pencemaran

yang disebabkan oleh tumpahan minyak dan kapalnya akibat kecelakaan. Pemilik dapat

terbebas dan kewajiban tersebut hanya dengan alasan :

1. Kerusakan sebagai akibat perang atau bencana alam.

2. Kerusakan sebagai akibat dan sabotase pihak lain, atau

3. Kerusakan yang disebabkan oleh karena pihak berwenang tidak memelihara alat bantu

navigasi dengan baik.

Alasan pengecualian tersebut diatas sangat terbatas, dan pemilik boleh dikatakan

berkewajiban memberikan ganti rugi akibat kerusakan pencemaran pada hampir semua

kecelakaan yang terjadi.

Batas Kewajiban Ganti Rugi(Limitation of Liability)

Pada kondisi tertentu, pemilik kapal memberikan kompensasi ganti rugi dengan batas

133 SDR (Special Drawing Rights) perton dari tonage kapal atau 14 juta SDR, atau sekitar

(9)

membuktikan bahwa kecelakaan terjadi karena kesalahan pribadi (actual fault of privity) dari

pemilik, maka batas ganti rugi (limit his liability) untuk pemilik kapal tidak diberikan.

Permintaan Ganti Rugi (Channeling of Liability)

KIaim terhadap kerusakan pencemaran di bawah CLC Convention hanya dapat

ditujukkan pada pemilik kapal terdaftar. Hal ini tldak menghalangi korban mengklaim

kompensasi ganti rugi diluar konvensi ini dari orang lain selain pemlik kapal. Namun demikian,

konvensi melarang melakukan klaim kepada perwakilan atau agen pemilik kapal. Pemilik kapal

harus mengatasi masalah klaim dari pihak ketiga berdasarkan hukum nasional yang berlaku.

C. Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter 1972 (London Dumping Convention).

London Dumping Convention merupakan Konvensi Internasional untuk mencegah terjadinya Pembuangan (dumping), yang dimaksud adalah pembuangan

limbah yang berbahaya baik itu dari kapal laut, pesawat udara ataupun pabrik industri.Para Negara konvensi berkewajiban untuk memperhatikan tindakan

dumping tersebut. Dumping dapat menyebabkan pencemaran laut yang mengakibatkan ancaman kesehatan bagi manusia, merusak ekosistem dan

mengganggu kenyamanan lintasan di laut.

Beberapa jenis limbah berbahaya yang mengandung zat terlarang diatur

dalam London Dumping Convention adalah air raksa, plastik, bahan sintetik, sisa residu minyak, bahan campuran radio aktif dan lain-lain. Pengecualian dari tindakan dumping ini adalah apabila ada “foce majeur”, yaitu dimana pada suatu

keadaan terdapat hal yang membahayakan kehidupan manusia atau keadaan yang dapat mengakibatkan keselamatan bagi kapal-kapal.

(10)

OPRC adalah sebuah konvensi kerjasama internasional menanggulangi

pencemaran laut dikarenakan tumpahan minyak dan bahan beracun yang berbahaya. Dari pengertian yang ada, maka dapat kita simpulkan bahwa Konvensi

ini dengan cepat memberikan bantuan ataupun pertolongan bagi korban pencemaran laut tersebut, pertolongan tersebut dengan cara penyediaan peralatan bantuan agar upaya pemulihan dan evakuasi korban dapat

ditanggulangi dengan segera.

Pencemaran laut oleh tumpahan minyak bukan merupakan hal yang baru bagi

Negara-negara Asia Tenggara khususnya di Indonesia, sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2009 pencemaran laut dikarenakan tumpahan minyak berulang kali

terjadi di Kepulauan Seribu, korbannya adalah para masyarakat pesisir dan nelayan, dampak pencemaran laut oleh minyak sangatlah luas, laut yang tercemar

oleh minyak akan menyebabkan gangguan pada fungsi ekosistem di pesisir laut, kehidupan aquatic pantai seperti terumbu karang, hutan mangrove dan ikan akan

terganggu. Pada sisi ekonomi, hasil tangkapan seperti udang dan ikan tentu akan beraroma minyak yang berdampak pada nilai jual yang rendah dan mutu ataupun kualitas menurun. Dengan adanya gelombang, arus dan pergerakan massa air

pasang surut, residu minyak akan tersebar dengan cepat. Bila tidak ditangani dengan segera, pencemaran limbah minyak ini akan membawa dampak kesehatan

bagi masyarakat yang mengkonsumsi ikan yang tercemar.

Indonesia juga memiliki aturan mengenai pencemaran laut yang disebabkan

oleh tumpahan minyak dilaut tersebut. Bagi pelaku pencemaran laut oleh tumpahan minyak, dalam hal ini kapal-kapal tanker wajib menanggulangi

terjadinya keadaan darurat tumpahan minyak yang berasal dari kapalnya, yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut.

e. International Convention for the Prevention of Pollution from Ships

(11)

Marpol 73/78 adalah konvensi internasional untuk pencegahan pencemaran dari

kapal,1973 sebagaimana diubah oleh protocol 1978. Marpol 73/78 dirancang dengan tujuan untuk meminimalkan pencemaran laut , dan melestarikan

lingkungan laut melalui penghapusan pencemaran lengkap oleh minyak dan zat berbahaya lainya dan meminimalkan pembuangan zat-zat tersebut tanpa disengaja.

MARPOL 73/78 garis besarnya mengatur :

1. mewajibkan negara untuk menyediakan fasilitas penerimaan untuk pembuangan limbah berminyak dan bahan kimia. Ini mencakup semua aspek

teknis pencemaran dari kapal, kecuali pembuangan limbah ke laut oleh dumping, dan berlaku untuk kapal-kapal dari semua jenis, meskipun tidak berlaku untuk

pencemaran yang timbul dari eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral laut.

2. Semua kapal berbendera di bawah Negara-negara yang menandatangani marpol tunduk pada persyaratan , tanpa memperhatikan tempat mereka berlayar

dan Negara anggota bertanggung jawab atas kapal yang terdaftar dibawah kebangsaan Negara masing-masing.

3. Setiap Negara penandatangan bertanggung jawab untuk memberlakukan

undang-undang domestic untuk melaksanakan konvensi dan berjanji untuk mematuhi konvensi, lampiran dan hukum terkait bangsa-bangsa lain;

4. mengatur desain dan peralatan kapal;

5. menetapkan sistem sertifikat dan inspeksi

International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 yang kemudian disempurnakan dengan Protocol pada tahun 1978 dan konvensi ini

(12)

Annexes yang berisi regulasi-regulasi mengenai pencegahan polusi dari kapal

terhadap :

a. Annex I : Prevention of pollution by oil ( 2 october 1983 )

Total hydrocarbons (oily waters, crude, bilge water, used oils, dll) yang diizinkan untuk dibuang ke laut oleh sebuah kapal adalah tidak boleh melebihi 1/15000 dari total muatan kapal. Sebagai tambahan, pembuangan limbah tidak boleh

melebihi 60 liter setiap mil perjalanan kapal dan dihitung setelah kapal berjarak lebih 50 mil dari tepi pantai terdekat. Register Kapal harus memuat daftar jenis

sampah yang dibawa/dihasilkan dan jumlah limbah minyak yang ada. Register Kapal harus dilaporkan ke pejabat pelabuhan.

b. Annex II : Control of pollution by noxious liquid substances ( 6 april

1987

Aturan ini memuat sekitar 250 jenis barang yang tidak boleh dibuang ke laut, hanya dapat disimpan dan selanjutnya diolah ketika sampai di pelabuhan.

Pelarangan pembuangan limbah dalam jarak 12 mil laut dari tepi pantai terdekat.

c. Annex III : Prevention of pollution by harmful substances in packaged form ( 1 july 1992 )

Aturan tambahan ini tidak dilaksanakan oleh semua negar yaitu aturan standar

pengemasan, pelabelan, metode penyimpanan dan dokumentasi atas limbah berbahaya yang dihasilkan kapal ketika sedang berlayar

d. Annex IV : Prevention of pollution by sewage from ships ( 27 september 2003 )

(13)

(disinfektan) dapat dibuang ke laut dengan jarak lebih dari 4 mil laut dari pantai

terdekat. Air buangan yang tidak diolah dapat dibuang ke laut dengan jarak lebih 12 mil laut dari pantai terdekat dengan syarat kapal berlayar dengan kecepatan 4

knot.

e. Annex V : Prevention of pollution by garbage from ships ( 31 december 1988)

Aturan yang mengatur tentang melarang pembuangan sampah plastik ke laut.

f. Annex IV : Prevention of air pollution by ships

Aturan ini tidak dapat efektif dilaksanakan karena tidak cukupnya negara yang meratifiskasi (menandatangani persetujuan.)

MARPOL 1973/1978 memuat peraturan untuk mencegah seminimum mungkin minyak

yang mencemari laut. Tetapi, kemudian pada tahun 1984 dilakukan beberapa modifikasi yang

menitik-beratkan pencegahan hanya pada kagiatan operasi kapal tangki pada Annex I dan

yang terutama adalah keharusan kapal untuk dilengkapai dengan Oily Water Separating

Equipment dan Oil Discharge Monitoring Systems.

III. PENCEMARAN TERHADAP LINGKUNGAN LAUT DI PERAIRAN ASIA TENGGARA

Dalam dasawarsa terakhir ini gejala pencemaran lingkungan laut (the pollution of marine environment) [11] kian hari menarik perhatian berbagai pihak,

(14)

dengan hal tersebut M. Daud Silalahi mengatakan pencemaran dapat diartikan

sebagai bentukenvironmental impairment, adanya gangguan, perubahan, atau perusakan. Bahkan, adanya benda asing di dalamnya yang menyebabkan unsur

lingkungan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (reasonable function)

[12] sedangkan Dalam konvensi hukum laut 1982 disebutkan bahwa :

Pencemaran lingkungan laut berarti dimasukkannya oleh manusia secara langsung atau tidak langsung bahan atau energi ke dalam lingkungan laut termasuk kuala yang mengakibatkan atau mungkin membawa akibat buruk sedemikian rupa seperti kerusakan pada kekayaan hati dan kehidupan di laut, bahaya bagi kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk penangkapan ikan dan penggunaan laut yang sah lainnya, penurunan kualitas kegunaan air laut dan mengurangi kenyamanan[13]

Dari pengertian diatas dapat kita lihat bahwa pencemaran lingkungan laut itu disebabkan beberapa faktor-faktor yang mengakibatkan menurunya kualitas air

laut itu sendiri, terkait dengan hal pencemaran minyak dikawan asia tenggara yang merupakan daerah yang sangat produktif terjadi pencemaran yang sangat merugikan bagi kawasan asia tenggara yang setiap tahunnya 3 sampai 4 juta ton

minyak mencemari lingkungan laut, pencemaran tersebut bersifat lintas batas negara sehingga bukan hanya Negara yang menjadi korban saja yang kena

dampaknya tetapi semua Negara yang pantainya saling berdekatan pasti terkena dampaknya.

sumber pencemaran dilaut beragam sumbernya sebagaimana yang penulis telah sebutkan pada latar belakang diatas, yaitu operasi kapal tanker, kecelakaan

kapal tanker, scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua), serta kebocoran minyak dan gas dilepas pantai.

a. Operasi kapal tanker[14]

(15)

membawa air ballast (sistem kestabilan kapal menggunakan mekanisme bongkar

– muat air) yang biasanya ditempatkan dalam tangki slop. Sampai dipelabuhan bongkar, setelah proses bongkar selesai sisa muatan minyak dalam tangki dan

juga air ballast yang kotor disalurkan ke dalam tangki slop. Tangki muatan yang telah kosong tadi dibersihkan dengan water jet, proses pembersihan tangki ini ditujukan untuk menjaga agar tangki diganti dengan air ballast baru untuk

kebutuhan pada pelayaran selanjutnya.

Hasil buangan dimana bercampur antara air dan minyak ini pun di alirkan

kedalam tangki slop. Sehingga didalam tangki slop terdapat campuran minyak dan air. Sebelum kapal berlayar, bagian air dalam tangki slop harus dikosongkan

dengan memompakannya ke tangki penampung limbah di terminal atau dipompakan kelaut dan diganti dengan air ballast yang baru. Tidak dapat

disangkal buangan air yang dipompakan ke laut masih mengandung minyak dan ini akan berakibat pada pencemaran laut tempat terjadi bongkar muat kapal

b. Kecelakaan kapal tanker

Beberapa penyebab kecelakaan tanker adalah kebocoran lambung, kandas, ledakan, kebakaran dan tabrakan. Beberapa kasus di perairan selat malaka

adalah karna dangkalnya perairan dimana kapal dalam muatan keadaan pernuh[15]. Tercatat beberapa kasus tumpahnya minyak akibat dari kandasnya

kapal misalnya kandasnya kapal showa Maru diselat malaka dan selat singapura pada tahun 1975[16], diperkirakan 4.500 kilo liter minyak mentah sudah

berceceran kelaut dan telah meliputi laut sejauh 5 km dari tempat kejadian[17] yang membuka mata Negara-negara asia tenggara betapa

pentingnya perlindung terhadap laut dari pencemaran.

(16)

Proses scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua) ini

banyak dilakukan oleh di industri kapal di asia tenggara termasuk Indonesia sendiri. Akibat proses ini banyak kandungan metal dan lainnya termasuk

kandungan minyak yang terbuang kelaut diperkirakan sekitar 1.500 ton/tahun minyak yang terbuang ke laut akibat proses ini dapat merusakan lingkungan laut yang berada disekitar industri kapal dinik

d. Kebocoran minyak dan gas dilepas pantai

Pada tanggal 21 Agustus 2009 telah terjadi kebocoran minyak bumi akibat

terjadinya ledakan bawah laut offshore rig yang dioperasikan oleh The Montara Well Head Platform di Blok West Atlas, 140 mil laut utara Perairan Australia pada

posisi 120 41’ Lintang Selatan (LS) dan 1240 32’ Bujur Timur (BT). Kebocoran ini telah menumpahkan minyak mentah (crude oil) dan gas hidrokarbon lebih-kurang

64 ton per hari. Tumpahan minyak tersebut telah memasuki wilayah perairan laut Provinsi NTT sejauh 50 mil atau lebih-kurang 70 km arah tenggara Pulau Rote[18].

Hal ini jelas mencemari lingkungan laut

Kawasan asia tenggara terletak di antara benua Asia dan Australia, yang merupakan wilayah yang sangat produktif akan sumber daya alamnya. Disamping

itu perairan wilayah asia tenggara ini merupakan daerah yang banyak dilalui oleh kapal-kapal pengankut minyak maupun kargo barang karna wilayah asia tenggara

merupakan jalur perdagangan sehingga tidak mengherankan banyak kapal tiap tahunnya lewat perairan asia tenggara. Sehingga perairan asia tenggara sangat

rentang akan pencemaran lingkungan laut.

Banyaknya kasus pencemaran di perairan asia tenggara nanti membuming

(17)

237.698 ton penuh dengan muatan minyak mentah dari daerah teluk Persia

menuju jepang kandas diperairan selat malaka pada tahun 1975.

Bagi bangsa Indonesia yang merupakan bagian dari wilayah Asia tenggara

kasus Showa Maru merupakan tonggak sejarah terbangunannya perhatian dan keprihatinan masyarakat luas terhadap keselamatan dan kelestarian lingkungan laut nusantara[19]. Masyakat hukum Indonesia sendiri tergugah untuk segera

bertindak nyata melahirkan peraturan perundang-undangan pencegahan pencemaran laut khususnya di selat malaka dan singapura. Untuk itu pemerintah

Indonesia meratifikasi beberapa konvensi seperti, Cilvil Liability Convention 1969 dan pembentukan Dana Internasional (International Fund) 1971,

masing-masing dengan keppres No 18 dan 19, dan MARPOL 1973 dengan Keppres No 15 Tahun 1985 semuannya merupakan konvensi-konvensi IMCO dan UNCLOS 1982

dengan UU No 17 Tahun 1986[20].

Disamping tindakan pemerintah indonesia meratifikasi konvensi-konvensi

internasional tentang pencemaran laut diatas juga mengadakan kesepakatan dengan Negara-negara tetangga dalam ASEAN Treaty 1985 dan persetujuan Tiga Negara di selat malaka dan selat singapura dikenal sebagai Tripartie

Agreement Tentang pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut di selat malaka antara Indonesia, malaysi dan singapura sejak tahun 1971 dan terakhir

pada tahun 1977 dengan diterimannya kesepakatan ketiga Negara tentang Traffic Separation Scheme (TSS) di selat malaka oleh IMCO berdasarkan Resolusi IMCO No

(18)

IV. ANALISI PENANGGULANGAN PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT DIKAWASAN ASIA TENGGARA DALAM PRESPEKTIK HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

Kasus-kasus pencemaran lingkungan laut yang penulis telah uraikan di Bab III diatas merupakan masalah yang harus ditanggulangi bersama oleh

Negara-negara yang tergabung dalam organisasi ASEAN karna dampak yang di timbulkan bukan hanya dirasakan oleh Negara yang menjadi korban pencemaran tersebut

tetapi Negara-negara yang lautnya berbatasan dengan Negara tersebut ikut terkena dampaknya seperti kasus kandasnya showa maru dimana bukan hanya Indonesia yang merasakan dampak dari pencemaran tersebut tapi singapura dan

Malaysia juga terkena dampak dari pencemaran tersebut, inilah sifat dari dari ciri dari lingkungan hidup yang senantiasa terhubung secara utuh dan menyeleruh.

penanggulangan terhadap pencemaran lingkungan laut merupakan hal yang tidak mudah seperti membalikan telapak tangan. Dibutuhkan kordinasi dari

semua Negara-negara khusunya Negara-negara yang berada dikawasan asia tenggara untuk bekerjasama secara regional menanggulangi dampak dari

(19)

Negara-negara harus bekerjasama atas dasar global dan dimana perlu, atas dasar regional secara langsung atau melalui organisasi-organisasi internasional yang kompoten, dalam merumuskan dan mejelaskan ketentuan-ketentuan, standar-standar dan praktek-praktek yang disarankan secara internasional serta prosedur-prosedur yang konsisten dengan konvensi ini untuk tujuan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, dengan memperhatikan cirri-ciri regional yang khas[22]

Dari ketentuan pasal diatas dapatlah kita lihat bahwa hukum lingkungan dalam

hal ini hukum lingkungan internasional memberikan anjuran kerjasama untuk menanggulangi pencemaran lingkungan laut baik ditingkat global maupun

ditingkat regional. Ditinjau dari kerjasama Negara-negara Asia Tenggara di tinggkat regional dimana kerjasama tersebut dimulai di tahun 1977 ketika naskah

ASEAN disiapkan mengenai program lingkungan sub-regional (ASEP ) yang dibantu oleh UNEP (United Nations Environment Programme) untuk

membicarakan masalah lingkungan[23], dimana prioritas dari program kerjasama dibidang lingkungan mencakup 6 (enam) sub pembahasan yaitu:

1. Pengelolaan Lingkungan termasuk Analisis Dampak Lingkungan

(Environmental Impact Assessment)

2. Pelestarian Alam dan ekosistem Terrestrial,

3. Industri dan lingkungan hidup

4. Lingkungan laut

5. Pendidikan dan latihan lingkungan

6. Penerangan lingkungan hidup[24]

Terkait dengan kerjasama Negara-negara Asia Tenggara dibidang lingkungan laut

dilaksanakan melalui tiga badan regional yaitu

(20)

2. The ASEAN Experts Group on the Environment (AEGE)

3. The working Group on marine science (WGMS)[25]

Apa yang penulis paparkan diatas merupakan gambaran dari pada usaha-usaha

Negara-negara asia tenggara untuk menanggulangi masalah pencemaran lingkungan laut yang sifatnya lintas batas Negara. Disamping itu pula kerjasama bilateral maupun multilateral sangat diperlukan seperti kerjasam tripartite antara

Negara Indonesia, singapura dan Malaysia dalam penanggulangan pencemaran laut di selat malaka. Secara umum terdapat tiga faktor yang dijadikan landasan

sebagai untuk penanggulangan pencemaran lingkungan laut, yaitu aspek legalitas, aspek kelengkapan dan aspek kordinasi

a. Aspek Legalitas

Kalau kira lihat dari aspek nasional Benny Hartono dengan mengutip

pendapatnya Husseyn Umar mengatakan suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan formil sebagai suatu peraturan,

tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan dilaksanakan atau ditegakkan dalam kenyataan[26]. Undang-undang No 23 Tahun 1997 diganti dengan Undang-undang No 32 tahun 2009 Tentangan Pengelolaan lingkungan

hidup mengatur jelas aspek-aspek pengelolaan dan sanksi bagi pelaku polusi dilaut, namun fakta dilapangan terkadang aparat yang berwenang justru bermain

kotor dengan pelaku pencemaran disamping itu sulitnya untuk mencari bukti-bukti untuk meyeret mereka kepengadilan. Dari aspek internasional pada tahun 1945

Badan Maritim Internasional (IMO) menghasilkan konvensi internasional mengenai pencegahan pencemaran di laut oleh minyak kemudian kenvensi ini diperbaharui

(21)

b. Aspek Perlengkapan

Kita ketahui bahwa penanggulangan terhadap pencemaran minyak sangat sulit untuk dilakukan misalnya tumpahan minyak showa maru dimana lebih dari 30

kapal militer dan sipil ambil bagian dalam usaha menyelamatkan pantai sebelah barat Singapore disamping itu usaha untuk penyelamatan laut dari pencemaran minyak memerlukan biaya yang banyak. Untuk itu diperlukan bioremediation

seperti menyemprotkan nitrat dan phosphere ketumpahan minyak untuk mempercepat kerja bakteri pengurai minyak. Dalam aspek ini yang paling utama

adalah pentingnya penguasaan prosedur dan teknik-teknik penanggulangan tumpahan minyak oleh petugas pelaksaan lapangan harus dimiliki oleh

Negara-negara yang terkena dampak pencemaran lingkungan

c. Aspek Kordinasi

Dalam hal penanggulangan polusi tumpahan minyak dilaut, aspek kordinasi memegang peranan penting mengingat bahwa pencemaran laut ini merupakan

pencemaran yang bersifat lintas batas Negara sehingga perlu adanya kerjasama antara Negara-negara khususnya Negara-negara tetangga yang pantainya saling berdekatan harus saling bahu-membahu untuk menanggulangi pencemaran

lingkungan tersebut. Dengan demikian maka bisa teratasi pencemaran laut sampai tuntas

menjadi kewajiban semua Negara tidak hanya Negara Asia Tenggara tetapi seluruh Negara-negara didunia untuk menegakkan aturan-aturannya agar bisa

meminimalisir dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan yang lebih parah karna penyumbang terbesar protein hewani berasal dari laut, untuk menegakkan

(22)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analis diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan

1. Perlindungan pencemaran lingkungan laut merupakan suatu permasalahan yang bersifat lintas batas Negara sehingga diperlukan kerjasama diantara

Negara-negara dalam hal ini Negara-negara dikawasan asia tenggara sebagaimana yang diamanatkan oleh hukum lingkungan internasional yang

terdapat dalam konvensi hukum laut 1982. Disamping itu yang tidak kalah pentingnya adalah tiga faktor yang dijadikan sebagai landasan untuk

penanggulangan pencemaran lingkungan laut, yaitu aspek legalitas, aspek kelengkapan dan aspek kordinasi yang telah penulis paparkan di bab IV diatas

sehingga masalah pencemaran lingkungan bisa diatasi secara tuntas

B. Saran

(23)

1. Kepada Negara-negara dikawasan Asia Tenggara hendaknya menerapkan

prinsip penerapan sistem pemberitauan secara dini terhadap kecelakaan-kecelakaan yang mengarah kepada pencemaran lingkungan laut kepada

(24)

Senin, 20 Juni 2016

5 Putusan Pengadilan Terkait

Kebakaran Lahan

Teranyar, Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengabulkan sebagian gugatan 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

YOZ

(25)

Ilustrasi kebakaran lahan. Foto: RES

BERITA TERKAIT

PT Jatim Jaya Perkasa Hanya Didenda Rp29 Miliar, KLHK Siapkan Banding

Hakim Tolak Gugatan KLHK Terhadap PT BMH

Simak Yuk! Kaidah Hukum 12 Putusan Berstatus Landmark Decisions

Jerat Koorporasi Pembakar Lahan, Saatnya Konsep Strict Liability Digunakan

Masyarakat Riau Gugat Presiden Terkait Bencana Asap

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bisa bernafas lega. Soalnya, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengabulkan sebagian gugatan KLHK atas kasus kebakaran lahan yang melibatkan PT Jatim Jaya Perkasa. Meski demikian, KLHK merasa tidak puas dan berencana mengajukan upaya hukum banding.

Dalam kasus lain, ada pula gugatan KLHK yang ditolak oleh majelis hakim dalam kasus yang sama. Bahkan, pemerintah terkadang menjadi pihak tergugat dalam kasus kebakaran lahan. Untuk lebih jelasnya, berikut beberapa putusan

pengadilan terkait kebakaran hutan yang dirangkum hukumonline:

1. Putusan PN Jakarta Utara, Tahun 2016

(26)

menyiapkan langkah hukum banding. Hal ini dilakukan karena majelis hakim hanya mengabulkan sebagian gugatan atas

kebakaran lahan seluas 1.000 Hektar di lokasi PT JJP.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rasio Ridho Sani, mengatakan KLHK meyakini bahwa luas lahan yang terbakar adalah 1.000 hektar sementara majelis hakim berpendapat luas yang terbakar 120 hektar. “Untuk itu majelis hakim menjatuhkan ganti rugi Rp7.196.188.475 dan biaya pemulihan Rp22.277.130.852. Ganti rugi dan biaya pemulihan ini lebih kecil dari yang digugat oleh KLHK yaitu sebesar Rp

491.025.500.000,” katanya.

Berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan, kata Ridho, KLHK akan terus melakukan langkah-langkah penegakan hukum, baik melalui penerapan sanksi administratif, pidana maupun melalui gugatan perdata. “Langkah-langkah penegakan hukum ini perlu dilakukan agar teruwujudnya efek jera bagi pelaku,” ujar Ridho.

2. Putusan PN Palembang, Tahun 2015

Gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH) senilai Rp7,8 triliun ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang. Dalam putusannya, majelis menilai, penggugat tidak bisa membuktikan adanya perbuatan melawan hukum dan unsur kerugian. Ketua majelis hakim Parlas Nababan mengatakan, selain menolak gugatan, KLHK selaku penggugat juga diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp10.521.000. Putusan tersebut dibacakan dalam sidang terbuka yang dihadiri kedua belah pihak, organisasi

penggiat lingkungan dan awak media di Palembang, Rabu (30/12).

Parlas membacakan hal-hal yang menjadi pertimbangan sebelum memutus. Di antaranya, adanya ketersediaan peralatan pengendalian kebakaran, lahan yang terbakar masih dapat ditanami lagi, pekerjaan penanaman diserahkan ke pihak ketiga, adanya pelaporan secara reguler dan diketahui tidak ada laporan kerusakan lahan di Dinas Kehutanan Ogan

Komering Ilir (OKI).

Atas dasar itu, majelis menyatakan tidak ada hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian. Dari hasil laboratorium diketahui tidak ada indikasi tanaman rusak karena setelah terbakar, tanaman akasia masih dapat tumbuh dengan baik. Kemudian, pihak penggugat juga tidak dapat membuktikan adanya kerugian ekologi, seperti adanya perhitungan kehilangan unsur hara, kehilangan keanekaragaman hayati,sehingga tidak dapat dibuktikan perbuatan melawan hukumnya.

Selain itu, majelis juga menilai justru PT BMH yang mengalami kerugian sehingga menolak gugatan perdata KLHK senilai Rp7,8 trilun.Parlas mengatakan, berdasarkan fakta, keterangan saksi dan ahli diketahui bahwa pihak penggugat (KLHK) tidak dapat membuktikan perhitungan kerugian seperti yang digugatkan melalui hasil laboratorium terakreditasi sesuai peraturan UU. "Atas pertimbangan itu, majelis hakim menolak gugatan dan membebankan biaya perkara ke pihak

penggugat (KLHK)," kata Parlas.

Gugatan ini dilayangkan negara atas terbakarnya lahan hutan tanaman industri pohon akasia seluas 20 ribu hektare milik PT BMH pada 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku Kabupaten OKI.

3. Putusan PN Palalawan, Tahun 2013

Perkara pidana pembakaran hutan di Desa Pangkalan Panduk, Riau ini menyeret Suheri Terta serta Fachruddin Lubis, masing-masing Direktur Utama dan Kepala Proyek perusahaan kelapa sawit PT Mekarsari Alam Lestari (PT MAL). Keduanya didakwa sejak tahun 2008 telah membakar hutan dalam rangka membuka dan menyiapkan lahan gambut

untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Pembakaran itu dilakukan dalam rangka meningkatkan kadar keasaman tanah agar cocok ditanami kelapa sawit. Mereka disinyalir sengaja melakukan pembakaran itu dengan cara membuat kanal-kanal yang berfungsi sebagai pembatas petak lahan perkebunan sekaligus untuk melokalisir kebakaran agar api tetap berada di jalur penanaman yang telah direncanakan. Kerugian ekologis dan ekonomis yang terjadi akibat peristiwa itu ditaksir lebih dari Rp87 miliar.

Selain itu, ternyata perusahaan tersebut diketahui tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), Izin Usaha Perkebunan (IUP), sarana dan prasarana serta sumber daya manusia maupun prosedur dalam penanggulangan kebakaran hutan. Padahal, di tahun 2007 PT MAL telah mendapat teguran mengenai hal itu dari Badan Pengendali Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Riau setelah terjadi kebakaran di lahan perkebunan mereka.

(27)

sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana ”Karena Lalainya Melakukan Perbuatan yang Mengakibatkan Kerusakan Lingkungan Hidup”. Keduanya pun dihukum membayar denda masing-masing Rp133 juta. Atas putusan tersebut, tiga hari kemudian Penuntut Umum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Kemudian pada 31 Januari 2013, PT Pekanbaru menghukum keda terdakwa penjara enam bulan dengan masa percobaan satu tahun dan

denda masing-masing Rp100 juta.

4. Putusan PN Meulaboh, 2014

Pada 8 November 2012, Menteri Lingkungan Hidup menggugat PT Kallista Alam, yang salah satu kuasa hukumnya adalah Luhut MP Pangaribuan, karena lahan perkebunannya berada di kawasan konservasi Leuser. Selain itu, selama Januari-November 2011 juga ada indikasi kebakaran di lahan perusahaan tersebut. Pihak perusahaan pun mengakui telah terjadi kebakaran lahan, namun hanya berlangsung selama tiga hari di pertengahan bulan Maret. Pihak Menteri Lingkungan Hidup juga mensinyalir pembukaan lahan dengan membakar hutan dari laporan keuangan perusahaan.

Menurut Menteri, untuk membuka satu hektar lahan secara normal dibutuhkan sekitar Rp40 juta,namun perusahaan melaporkan biaya pembukaan seratus hektar lahan hanya sekitar Rp8 juta. Akibat perbuatannya, perusahaan dinilai telah menurunkan kualitas lingkungan hidup dengan menghilangkan fungsi tanah gambut dan merusak keanekaragaman hayati. Perusahaan pun digugat untuk tidak menanami kelapa sawit di atas lahan seluas seribu hektar yang telah terbakar. Sebaliknya, perusahaan harus membayar biaya pemulihan lingkungan atas lahan itu sekitar Rp250 miliar. Selain itu, perusahaan diminta membayar ganti rugi sebesar lebih dari Rp114 miliar.

Pada tanggal 8 Januari 2014, majelis hakim pada Pengadilan Negeri Meulaboh yang terdiri dari Rahmawati, Rahma Novatiana, dan Juanda Wiajaya mengabulkan sebagian gugatan Menteri Lingkungan Hidup. Perusahaan dinyatakan telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan harus membayar ganti rugi materiil secara tunai melalui rekening kas negara sekitar Rp114 juta. Perusahaan juga tidak boleh menanami lahan gambut seluas seribu hektar yang izinnya telah dimiliki itu. Ditambah pula, perusahaan harus membayar biaya pemulihan lingkungan sesuai permintaan penggugat. Jika perusahaan terlambat melaksanakan putusan nomor: 12/ PDT.G/ 2012/ PN.MBO tersebut, dikenakan uang paksa Rp5

juta per hari.

5. Putusan PN Jakarta Pusat, 2014

LSMWahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang diwakili Ketua, Sekretaris, dan Bendaharanya mengajukan gugatan kepada Negara Republik Indonesia pada bulan Oktober 2013. Ada Sembilan belas instansi kementerian maupun pemerintah daerah yang menjadi tergugat. Di antaranya, Presiden, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kapolri, Gubernur Riau, Gubernur Jambi, dan Bupai/Walikota di kedua provinsi itu.

Walhi menggugat pemerintah atas maraknya kebakaran hutan yang besar dan terus menerus sejak tahun 1980-an di Indonesia. Pemerintah dinilai tidak mampu dan tidak berhasil mengatasi, menegakkan hukum dan melakukan penanggulangan dini peristiwa itu. Dengan demikian, pemerintah dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian materiil dan immateriil. WALHI pun mengajukan beberapa tuntutan, antara lain membuat peta kerawanan kebakaran hutan nasional. Kedua, mengembangkan sistem informasi kebakaran hutan. Ketiga, menetapkan pola kemitraan dengan masyarakat. Keempat, menetapkan standar peralatan pengendalian kebakaran hutan. Kelima, membuat program penyuluhan dan kampanye pengendalian kebakaran.

Keenam, menetapkan pola pelatihan pencegahan kebakaran. Pemerintah juga dituntut melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Khusus untuk Kementerian Lingkungan Hidup, dituntut melakukan audit lingkungan terhadap semua izin Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri di Propinsi Riau dan Propinsi Jambi. Selain itu, semua tergugat diminta menyampaikan permohonan maaf secara tertulis kepada seluruh rakyat Indonesia melalui media masa.

(28)

Contoh Kasus dan Penyelesaian

KASUS LIMBAH TAHU ( PN SIDOARJO, 1998)

Perkara ini diajukan oleh jaksa penuntut umum sebagai delik lingkungan yaitu

pencemaran air Kali Surabaya akibat limbah tahu dan limbah kotoran babi oleh terdakwa

Bambang Goenawan, direktur PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo serta diputus PN Sidoarjo

Tanggal 6 Mei 1989 Nomor : 122/Pid/1989/PN.Sda

(29)

Direktur PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo dihadapkan ke pengadilan negeri Sidoarjo

dengan dakwaan bahwa antara bulan Maret 1986 - Juli 1988, di perusahaan PT. Sidomakmur

dan PT. Sidomulyo yang terletak di desa Sidomulyo. kecamatan Krian, kabupaten Sidoarjo,

telah terjadi perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya

lingkungan hidup dengan cara terdakwa sebagai pengusaha PT. Sidomakmur yang

memproduksi tahu, membuang air limbah ke Kali Surabaya yang mengandung BOD 3095,4

mg/I dan mengandung COD 12293 mg/I dan juga sebagai pengusaha PT. Sidomulyo yang

berupa peternakan babi membuang limbah kotoran babi ke Kali Surabaya yang mengandung

BOD 426,3 mg/I dan mengandung COD 1802,9 sebagaimana hasil dari pemeriksaan air limbah

yang dilakukan oleh badai teknik kesehatan Lingkungan tanggal 20 Juli 1988 No. 261/ Pem/

BTKL.Pa/VII/1988. Kandungan limbah tersebut melebihi ambang batas yang ditetapkan SK

Gubernur Jawa Timur No 43 Tahum 1987, yaitu maksimum BOD 30 mg/I dan COD 80 mg/I.

Terdakwa sebagai pengusaha PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo telah membuat

instansi (septictank) yang tidak memenuhi daya tampung limbah kedua perusahaan tersebut,

sehingga kotoran atau limbah meluber keluar dan mengalir ke Kali Surabaya. Pembuangan air

limbah tersebut menyebabkan menurunnya kualitas air Kali Surabaya dan menyebabkan air

kekurangan oksigen yang mengakibatkan matinya kehidupan dalam air serta sangat sukar untuk

diolah menjadi air bersih untuk bahan baku PDAM.

Jadi terdakwa Bambang Goenawan didakwa telah melanggar pasal 22 ayat 1 dan 2

Undang – Undang No. 4 Tahun 1982.

Pada tanggal 23 Februari 1989, tuntutan pidana dibacakan, pada pokoknya berbunyi :

Menyatakan terdakwa Bambang Goenawan bersalah karena kelalaiannya melakukan

perbuatan menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup – pasal 22 ayat 2 UU No. 4 Tahun

1982 (dakwaan subsidair).

Menjatuhkan pidana terhadap Bambang Goenawan selama 6 (enam) bulan dalam masa

percobaan 1 (satu) tahun dan denda Rp 1.000.0000,00 subsidair 2 (dua) bulan

kurungan. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya sebesar Rp 2.500,00 .

Pledoi penasihat hukum dibacakan pada tanggal 11 Maret 1989 dengan kesimpulan :

1.

Menolak dakwaan dan tuntutan penuntut umum yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah

melakukan perbuatan kelalaian sebagaimana dimaksud pada tuntutannya (23 Februari 1989).

2.

Menyatakan batal demi hukum dakwaan sehingga melanggar pasal 143 (3) KUHAP atau

menyatakan dakwaan jaksa kurang cukup bukti dan tidak beralasan, menurut hukum harus

ditolak.

3.

Menyatakan dakwaan Bambang Goenawan tidak bersalah melakukan perbuatan pidana

sebagaimana yang didakwakan dan karena itu membebaskannya dari segala tuduhan hukum

atau melepaskan dari segala tuduhan hukum atau melepaskan dari segala tuntutan hukum (vide

pasal 191 KUHP).

4.

Menyatakan untuk merehabilitasi nama baik terdakwa di mata umum (vide pasal 97

KUHP).

(30)

Dalam pemeriksaan terhadap Rochim Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Sidoarjo, diperoleh

keterangan bahwa diketemukan adanya sejumlah ikan yang mengambang di permukaan air Kali

Surabaya, tetapi tidak dapat dipastikan apakah ikan yang mengambang di permukaan air Kali

Surabaya itu sebagai akibat dari tercemarnya Kali Surabaya yang disebabkan oleh limbah tahu

industri yang dibuang terdakwa ke kali tersebut. Selain banyak faktor yang menyebabkan ikan

bisa mati lemas, juga mengingat banyaknya perusahaan lain yang menbuang limbah ke Kali

Surabaya.

Saksi Soekarsono Dirja Sukarta, B.A. Pejabat PDAM Pejabat PDAM Surabaya

menyatakan bahwa pernah kadar kimia air Kali Surabaya yang diolah menjadi air minum

sangat tinggi, sehingga PDAM harus mengeluarkan biaya tinggi untuk menormalkan kembali

kadar air tersebut, namun tidak dapat dipastikan kalau kejadian itu disebabkan oleh limbah tahu

yang dibuang terdakwa ke Kali Surabaya. Yang pasti, kejadian itu akibat dari tercemarnya Kali

Surabaya, tetapi siapa sesungguhnya yang mencemarkan, saksi tidak dapat menentukan , karena

pada kenyataannya banyak perusahaan yang membuang air limbah pabriknyaa ke Kali

Surabaya.

Majelis Hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara telah mengadakan pemeriksaan

di lokasi perusahaan dengan konfirmasi keterangan terdakwa sendiri dengan hasil sebagai

berikut:

1.

Di lokasi, yang dibuang itu adalah bekas air rendaman kedelai bercampur kulit kedelai yang

mengalir melalui saluran-saluran kecil di dalam pabrik menuju septic tank.

2.

Tidak ada air yang dibuang setelah kedelai dimasak, karena yang ditinggal hanya sari air

kedelai - diendapkan menjadi tahu. Ampasnya di tampung pada tempat penampungan untuk di

konsumsi oleh ternak.

3.

Air cucian atau rendaman diendapkan di beberapa septic tank dialirkan ke selokan menuju

danau kecil di lokasi perusahaan.

4.

Dalam pembuatan tahu tidak menggunakan cuka.

5.

Di sekitar pekarangan pabrik ada beberapa kelompok septic tank yang masing-masing

berukuran panjang 4 m, lebar 3 m, dalam 3 m, yang dahulu digunakan sebagai bak

penampungan atau pengendapan, penyaringan dan pembuangan air ke kali. Sekarang tidak

digunakan lagi karena limbah setelah diendapkan pada kelompok bak penampungan pertama

langsung mengalir ke danau-danau kecil pada lahan di lokasi perusahaan.

6.

Pada kandang babi terdapat 10 petak kandang.

7.

Limbah cucian ternak dan kotoran babi dari dalam kandang mengalir ke kiri kanan melalui

parit-parit bersemen ke selokan besar lebar 2 m, dalam 1 m, panjang 500 m.

8.

Terdapat septic tank limbah ternak babi yang tidak terpakai lagi dan ditutup atas perintah

Sekwilda Tingkat 2 Sidoarjo.

9.

Sekarang tidak ada lagi pembuangan limbah dalam keadaan bagaimanapun ke Kali

Surabaya karena semua saluran pembuangan ditutup dengan beton semen.

10.

Kedua perusahaan tersebut mempunyai ijin dan mempunyai syarat serta ditinjau Sekwilda

(31)

11.

Air limbah telah dibuatkan bak pengendapan dan tidak benar sampai meluber ke Kali

Surabaya, terkecuali hujan turun lebat, mau tidak mau terjadi perembesan dan masuk ke kali

Surabaya bersama – sama dengan air hujan

12.

Air yang dipergunakan memproses tahu diambil dari Kali Surabaya berdasarkan surat ijin

dari gubernur Jawa Timur yang sudah ada dan telah dimiliki oleh terdakwa.

Dalam pemeriksaan perkara di temukan ketidaksesuaian alat bukti mengenai besarnya

BOD dan COD dari limbah tahu. Perbedaan hasil penilitian laboratorium tentang kadar BOD

dan COD yang bervariasi membuat majelis hakim ragu – ragu terhadap kebenaran dari

besarnya BOD dan COD tersebut, sehingga ditetapkan asas In Dubio Pro Reo (putusan yang

menguntungkan bagi terdakwa) majelis hakim menetapkan bahwa besarnya BOD dan COD

yang terkandung dalam limbah industri tahu terdakwa adalah sebesar 17,54 m/I dan 68,58 m/I

sesuai dan seperti hasil penelitian pada Balai Pengembangan dan Penelitian Industri Kanwil

Departemen Perindustrian Jawa Timur, Surabaya, tanggal 4 Juni 1988.

Di samping itu, menurut majelis hakim karena tidak adanya hasil penelitian itu sendiri

tentang akibat yang timbul dari limbah yang dibuang ke kali, maka kasus tersebut tidak dapat di

pertanggungjawabkan kepada terdakwa. Dengan demikian menurut hukum, tidak terbukti

limbah yang dibuang terdakwa itu menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup, sehingga

perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak kejahatan dan bukan pula merupakan

pelanggaran. Oleh karenanya, pada tanggal 6 Mei 1989 putusan PN Sidoarjo :

1.

Menyatakan Bambang Goenawan alias Oei Ling Gwat telah melakukan perbuatan

membuang limbah industri tahu ke Kali Surabaya, tetapi perbuatan itu bukan merupakan

perbuatan tindak pidana, yakni tidak menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup.

2.

Menyatakan oleh karena itu terdakwa diputus “lepas” dari segala tuntutan hukum.

3.

Membebankan biaya perkara kepada Negara.

4.

Menetapkan surat – sutrat yang diperiksa sebagai alat bukti tetap terlampir dalam berkas.

Berkaitan dengan adanya putusan PN Sidoarjo di atas , Siti Sundari Rangkuti

menyatakan bahwa baik jaksa maupun hakim sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu hukum

pidana, sedangkan pledoi penasehat hukum tidak mengandung argumentasi yang

mencerminkan pengusaan materi hukum lingkungan. Kepolisian, Kejaksaan dan juga Penasehat

Hukum berpendapat bahwa perbuatan “melanggar baku mutu air limbah” identik dengan

“mencemarkan air Kali Surabaya” yang merupakan tindakan pidana lingkungan dan terkena

pasal 22 UULH. Dari sudut pandang yang demikian dapatlah dimengerti, mengapa sampai

terjadi perbedaan persepsi dalam proses pemeriksaan perkara “pencemaran” kali Surabaya

tersebut yang dapat dibahas dalam pemikiran hukum lingkungan.

[7]

(32)

dengan cemarnya air yang merupakan salah satu unsur delik lingkugan. Dengan demikian

pertimbangan hakim tentang asas In Dubio Pro Reo (yang menguntungkkan bagi terdakwa)

karena perbedaan hasil pemeriksaan tentang besarnya BOD dan COD yang terkandung dalam

limbah tahu oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Kanwil Dep. Perindustrian Jawa

Timur dengan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dalam kasus ini, menjadi tidak relevan.

Walaupun belum sepenuhnya berlandaskan pemikiran hukum lingkungan kepemidanaan,

namun putusan Majelis Hakim cukup beralasan, yaitu terdakwa terbukti melakukan

pembuangan limbah industry tahu ke kali Surabaya, tetapi perbuatan itu tidak merupakan satu

tindak pidana, yakni tidak menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup. Terdakwa diputus

lepas dari segala tuntutan hukum. Dapat dimengerti, karena alat buktinya limbah tahu, bukan air

kali Surabaya yang sudah tercemar secara kumulatif. Air mempunyai sifat

“self-purification” kalau hanya menerima limnbah. Dengan demikian perbuatan terdakwa

merupakan pelanggaran hukum lingkungan administratif yang sanksinya diatur dalam pasal

putusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur Nomor 414 Tahun 1987 tentang Penggolongan

dan Baku Mutu Air Limbah di Jawa Timur.

Dari rumusan pasal 8 di atas, jelaslah bahwa sanksi perbuatan mekanggar Baku Mutu

Air Limbah tidak diatur sewaktu terjadinya kasus limbah tahu Sidoarjo baik sanksi administrasi

maupun sanksi pidana. Semua peraturan hukum yang dimaksud dalam pasal 8 tersebut tidak

mengatur tentang perbuatan “ Melanggar Baku Mutu Air Limbah”. Dapat dimengerti, karena

pada waktu itu (1987), pembuat peraturan masih dalam proses belajar tentang hukum

lingkungan. Hal ini terbukti dalam hal dari perbedaan pengaturan sanksi yang kemudian

diberlakukan terhadap perlanggaran sejenis, yaitu pasal 33 PP No. 20 Tahun 1990 tentang

Pengendalian Pencemaran Air.

Dengan berlakunya keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No. 136

Tahun 1994 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Industri Atau Kegiatan Usaha Lainnya di

Jawa Timur, tanggal 21 November 1994, Keputusan Gubernur KDH tingkat I Jawa Timur No.

414 Tahun 1987 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Dari ketentuan di atas Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa perbuatan ”Melanggar

Baku Mutu Air Limbah“ penyelesaiannya bukan melalui jalur pengadilan tetapi merupakan

pelanggaran hukum lingkungan administratif dengan konsekuensi sanksi administrasi. Dewasa

ini perbuatan tersebut tunduk pada pasal 33 PP No.20 Tahun 1990 tentang Pengendalian

Pencemaran Air jo. Keputusan Gubernur KDH tungkat I Jawa Timur No. 136 Tahun 1994.

[8]

(33)

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tersebut, Siti Sundari Rangkuti mengatakan

bahwa perlu dikaji Ratio Decidendi yang melandasi putusan, khususnya masalah pencemaran

itu:

1.

MA mengakui bahwa merupakan kewenangan aparatur tata usaha Negara untuk

menentukan batas kadar keamanan untuk masing – masing objek lingkungan yang harus

dilindungi. Sehubungan dengan itu, oleh pejabat TUN ditentukan pula standar kadar limbah

yang boleh dibuang ke air. Masalahnya adalah mengapa keputusan pejabat TUN yang dilanggar

dikenakan sanksi pidana oleh MA?

2.

Pertimbangan MA yang cukup memprihatinkan adalah menimbang bahwa walaupun secara

individu membuang limbah melebihi yang diperbolehkan An sich memang baru merupakan

perbuatan yang potensial dapat mencemarkan lingkungan, namun hal itu tidak berlaku dalam

perkara ini, karena dalam perkara ini kesalahan terdakwa merupakan satu dari sekian banyak

perusahaan yang membuang limbahnya ke sungai itu, maka pembuangan limbah yang

melampaui ambang batas yang diperbolehkan yang dilakukan terdakwa (yang ternyata bersama

– sama dengan perusahaan lain itu) harus dianggap mencemarkan air sungai tersebut.

3.

MA berpendapat bahwa, berdasarkan keterangan – keterangan terdakwa, saksi – saksi serta

bukti surat – surat yang dihasilkan dalam persidangan, terdakwa harus dinyatakan telah terbukti

lalai memenuhi syarat- syarat pembuangan limbah yang baik dengan demikian, terdakwa harus

dinyatakan terbukti akan dakwaan subsidair.

Dari berkas perkara putusan MA termaksud, tidak ditemukan argumentasi hukum

lingkungan bahwa karena kelalaiannya terdakwa terbukti melakukan perbuatan menyebabkan

tercemarnya air kali yang pembuktiannya menyimpang dari pasal 183 KUHAP yang berbunyi:

“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurang nya 2 alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa sesuatu tindak pidana

benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Sampai sekarang belum

ada aturan hukum yang menyatakan bahwa perbuatan melanggar Baku Mutu Air Limbah adalah

tindak pidana, yang berarti terdakwa tidak melakukan delik lingkungan, sehingga dapat

dikatakan

bahwa

MA

melanggar

asas

legalitas

(pasal 1 KUHP).

(34)

Dengan mengkaji putusan MA tentang kasus limbah tahu di atas sebagai bahan

pemikiran dapatlah dikemukakan bahwa putusan MA itu :

1.

Melanggar asas legalitas.

2.

Melanggar baku mutu air limbah tanpa dasar hukum yang konkrit yang dinyatakan sebagai

delik.

3.

Pengertian delik pencemaran air dalam pasal 22 UULH tidak dikaitkan dengan pasal 1

angka 7 UULH;

4.

Tidak sesuai dengan pasal 183 KUHAP tentang alat bukti.

BAB III

PENUTUP

3.1

Simpulan

Pencemaran air yaitu masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,

dan atau komponen lain kedalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai

ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.

Kualitas air sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan bagi makhluk hidup.

Efek dari pencemaran air antara lain pengaruhnya terhadap lingkungan hidup, pengaruhnya

pada kesehatan bagi manusia, dan pengaruhnya pada industri pertanian.

Indikator adanya pencemaran air dapat dilihat dari :

Penyelesaian sengketa dalam hukum lingkungan dapat diselesaikan di dalam maupun di

luar pengadilan. Apabila sengketa hukum lingkungan ini diselesaikan di dalam pengadilan

maka dapat digunakan tiga instrumen hukum, yaitu instrumen hukum administrasi, instrumen

hukum perdata, maupun instrumen hukum pidana.

3.2

Saran

(35)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tindakan tentang SADARI sebelum dan setelah dilakukan pendidikan kesehatan peer group pada remaja putri

Dari penelitian yang telah dilakukan pada segmen 1 dengan menggunakan pendekatan teori kebutuhan sirkulasi secara visual terlihat bahwa lebarnya suatu jalur

Tindak pidana persetubuhan dipengaruhi oleh bebebrapa faktor dan dari faktor yang ada maka timbulah urgensi penerapan prinsip restorative justice dalam proses penyidikan

Sebagaimana yang telah dilakukan oleh kepala sekolah SDN-1 Kameloh Baru, dalam hal pengawasan kepala sekolah telah melaksanakan dan menjalankan salah satu fungsi

Larutan umpan fiksasi yang mengandung Mo dan U dengan kadar Mo yang sama atau lebih besar dari kadar U hams difiksasi ulang, agar menghasilkan larutan dengan ratio U/Mo lebih besar

Pada Uji Daya Hasil Lanjutan biasanya jumlah galur sudah berkurang dengan jumlah benih yang lebih banyak dibandingkan dengan yang ada pada Uji Daya Hasil

The aim of this paper is to show that DPLS-CO is a better dimensionality reduction technique than the LogContrats Principal Component Analysis (LCPCA) for dimensional reduction

Berdasarkan penjelasan dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya hingga tahap implementasi program maka dapat diambil kesimpulan bahwa penulis