DAFTAR ISI
II.4 Konfigurasi Fasilitas Sisi Udara Bandara...9
II.4.1 Runway...9
II.4.2 Taxiway...12
II.4.3 Apron...13
II.5 Perancangan Geometri Sisi Udara Bandara...17
II.5.1 Klasifikasi Lapangan Terbang...17
II.5.2 Runway...18
II.5.3 Taxiway...30
II.5.4 Apron...38
II.6 Perencanaan Struktur Perkerasan Sisi Udara Bandara...41
II.6.2 Metode Desain Perkerasan FAA...45
II.6.3 Desain Perkerasan Lentur...47
II.6.4 Desain Perkerasan Kaku...50
II.6.5 Sambungan dan Jarak Antar Sambungan...52
II.6.6 Perkerrasan Beton Bertulang Menerus...55
II.7 Perencanaan Drainase Sisi udara Bandara...57
II.7.1 Pengolahan Data Hujan...58
II.7.2 Perencanaan Dimensi Saluran Drainase...61
II.7.3 Perencanaan Tata Letak Saluran Drainase...62
BAB III Metodologi...65
III.1 Umum...65
III.1.1 Diagram alir (flowchart) pengerjaan...65
III.1.2 Tahapan pengerjaan...72
IV.1 Spesifikasi Bandara Internasional Sultan Hasanuddin...84
IV.2 Proyeksi Pergerakan Penumpang dan Pesawat...85
IV.2.1 Proyeksi pergerakan penumpang...85
IV.2.2 Proyeksi Pergerakan Pesawat Harian Tahun Rencana...88
IV.3 Geometri Runway...97
IV.3.1 Memperkirakan panjang runway...98
IV.3.3 Menentukan jarak pandang...99
IV.3.4 Menentukan Gradient Runway...99
IV.3.5 Menentukan pemisahan Runway dengan fasilitas sisi udara lainnya 100 IV.3.6 Menentukan Zona Bebas Hambatan Runway...100
IV.4 Geometri Taxiway...101
IV.4.1 Dimensi, gradient, dan pemisah taxiway...101
IV.4.2 Menentukan jarak panadang taxiway...102
IV.4.3 Menentukan dimensi dan lokasi exittaxiway...102
IV.4.4 Kebutuhan Rapid Exit Taxiway...107
IV.5 Geometri Apron...107
IV.6 Perancangan Perkerasan Fasilitias Sisi Udara...110
IV.6.1 Data Tanah...111
IV.6.2 Data Awal Perancangan...111
IV.6.3 Perhitungan Perkerasan Manual...113
IV.6.4 Perhitungan perkerasan lentur dengan program FAARFIELD...117
IV.6.5 Perhitungan perkerasan kaku dengan program FAARFIELD...127
IV.7 Perencanaan Sistem Drainase...135
V.2.3 Analisis Geometri Taxiway...143
V.2.4 Analisis Geometri Apron...145
V.3 Analisis Sistem Perkerasan...146
V.3.1 Analisis Desain perkerasan lentur...148
V.3.2 Analisis desain perkerasan kaku...150
BAB VI Kesimpulan dan Saran...151
VI.1 Kesimpulan...151
DAFTAR TABEL
Tabel I.1 Data jumlah penumpang di Bandara AP-I...2
Tabel II.1 Koefisien korelasi...6
Tabel II.2 Aircraft approach categories...17
Tabel II.3 Airplane Design Group...17
Tabel II.4 Standar dimensi runway kategori A dan B...24
Tabel II.5 Standar dimensi runway kategori C, D, dan E...24
Tabel II.6 Standar ICAO untuk dimensi runway...24
Tabel II.7 Standar kemiringan permukaan runway...26
Tabel II.8 Standar kemiringan permukaan runway...27
Tabel II.9 Pemisahan lapangan udara untuk pesawat kategori A dan B...27
Tabel II.10 Pemisihan lapangan udara untuk kategori pesawat C dan D...28
Tabel II.11 Kriteria Pemisahan runway vs taxiway...28
Tabel II.12 Standar dimensi taxiway dalam ft (FAA)...30
Tabel II.13 Standar kemiringan taxiway (FAA)...30
Tabel II.14 Standar dimensu taxiway dalam m (ICAO)...30
Tabel II.15 Satandar kemiringan taxiway (ICAO)...31
Tabel II.16 Radius kurvatur untuk pesawat pengangkut...36
Tabel II.17 Standar dimensi kurvatur taxiway...37
Tabel II.18 Clearence minimum antar pesawat dengan objek tetap atau bergerak pada posisi parkir di apron...40
Tabel II.19 Klasifikasi tanah...42
Tabel II.20 Faktor pengali untuk keberangkatan tahunan ekivalen...45
Tabel II.21 Dimensi dan spasi dowel...54
Tabel II.23 Koefisien Manning untuk berbagai jenis pipa jenis terbuka...65
Tabel III.1 Tahapan pengerjaan desain geometri fasilitas sisi udara bandara...74
Tabel III.2 Tahapan pengerjaan desain perkerasan fasilitas sisi udara bandara...78
Tabel III.3 Tahapan pengerjaan desain drainase...80
Tabel IV.1 Spesifikasi runway eksisting...86
Tabel IV.2 Taxiway eksisting...87
Tabel IV.3 Variabel yang digunakan dalam perhitungan...88
Tabel IV.4 Nilai korelasi antara keberangkatan dengan variable bebas...88
Tabel IV.5 Nilai korelasi antara kedatangan dengan variable bebas...88
Tabel IV.6 Hasil proyeksi pergerakan penumpang pada tahun rencana...89
Tabel IV.7 Perhitungan proporsi penumpang terangkut...91
Tabel IV.8 Penentuan pesawat tahun rencana...92
Tabel IV.9 Perhitungan perubahan modulasi pesawat...93
Tabel IV.10 Perubahan modul pesawat...94
Tabel IV.11 Pergerakan keberangkatan harian pesawat...95
Tabel IV.12 Pergerakan kedatangan harian pesawat...96
Tabel IV.13 Spesifikasi runway eksisting...97
Tabel IV.14 Penentuan ARFL pesawat desain...98
Tabel IV.22 Treshold required distance...102
Tabel IV.23 Lokasi Exit Taxiway...104
Tabel IV.24 Penggunan taxiway oleh pesawat...104
Tabel IV.25 Dimensi taxiway...104
Tabel IV.26 Kebutuhan waktu pendaratan tiap jenis pesawat...105
Tabel IV.27 Modulasi pesawat RON...106
Tabel IV.28 Jumlah psawat pakir tiap jam...106
Tabel IV.29 Kriteria perhitungan panjang apron ICAO...107
Tabel IV.30 Kebutuhan panjang apron...107
Tabel IV.31 Kebutuhan lebar apron...108
Tabel IV.32 Kebutuhan minimal dimensi apron tahun rencana...108
Tabel IV.33 Keberangkatan rata-rata tahunan pesawat selama tahun rencana...109
Tabel IV.34 perjitungan keberangkatan ekivalen...110
Tabel IV.35 Tebal minimum lapisab base...112
Tabel IV.36 Faktor ekivalensi stabilized base...112
Tabel IV.37 Hasil perhitungan perkerasan lentur manual...113
Tabel IV.38 Hasil perkerasan kaku manual...114
Tabel IV.39 Tebal lapisan perkerasan lentur baru...116
Tabel IV.40 Nilai PCN komponen eksisting yang dipertahankan pada tahun rencana...117
Tabel IV.41 Asumsi data perkerasan lentur eksisting untuk PCN 63...119
Tabel IV.42 Asumsi data perkerasan lentur eksisting untuk PCN 77...119
Tabel IV.43 Tebal perkerasan lentur overlay untuk PCN 63...121
Tabel IV.44 Tebal perkerasan lentur overlay untuk PCN 77...121
Tabel IV.46 Tebal lapissn perkerasan kaku baru...124
Tabel IV.47 Asumsi data perkerasan kaku eksisting...124
Tabel IV.48 Tebal lapisan perkerasan kaku overlay...125
berikut : Tabel IV.49 Tebal lapisan bahu perkerasan lentur...125
Tabel IV.50 Perhitunagn Momen Ultimit...128
Tabel IV.51 Spesifikasi beton bertulang...128
Tabel IV.52 Perencanaan sambungan kontraksi dan konstruksi...129
Tabel IV.53 Perencanaan embedded steel...130
Tabel IV.54 Data hujan...132
Tabel IV.55 Analisis frekuensi didtribusi Gumbel...132
Tabel IV.56 Analisis frekuensi distribusi Log-Pearson III...132
Tabel IV.57 Nilai uji kecocokan menggunakan software Easyfit...132
Tabel IV.58 Hasil perhitungan dimensi drainase...136
Tabel V.1 Hasil perhitungan runway...138
Tabel V.2 Kondisi runway eksisting...138
Tabel V.3 Kondisi eksisting taxiway...139
Tabel V.4 Hasil desain taxiway...140
Tabel V.5 Kondisi eksisting apron...141
Tabel V.6 Kondisi kebutuhan desain apron...141
Tabel V.7 Kondisi eksisting perkerasan...143
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1 Tampak depan pesawat...7
Gambar II.2 Tampak samping pesawat...7
Gambar II.3 Konfigurasi roda pesawat...8
Gambar II.4 Tampak atas bagian runway...9
Gambar II.5 Tampak areal single runway...9
Gambar II.6 Parallel Runway...11
Gambar II.7 Intersection Runway...11
Gambar II.8 Open V runway...12
Gambar II.9 Konsep apron sederhana...13
Gambar II.10 Konsep apron linear...14
Gambar II.11 Konsep apron terbuka...15
Gambar II.12 Konsep apron pier...16
Gambar II.13 Konsep apron satelit...16
Gambar II.14 Wind rose...21
Gambar II.15 Sistem dimensi runway...23
Gambar II.16 Zona bebas halangan...23
Gambar II.17 Zona Visibilitas untuk runway berpotongan (FAA)...25
Gambar II.19 Zona perlindungan runway...29
Gambar II.20 Radius kurvatur dan kurva masuk taxiway...36
Gambar II.21 Exit taxiway kecepatan tinggi...36
Gambar II.22 exit taxiway dan konfigurasi simpang...37
Gambar II.23 Sistem parkir angled nose-in...38
Gambar II.25 Sistem parker paralel...39
Gambar II.26 Sistem parkir nose-in...39
Gambar II.27 Potongan melintang perkerasan bandara...41
Gambar II.28 Jendela program FAARFIELD...47
Gambar II.29 Visualisasi teori desain lapisan plastin...49
Gambar II.30 Contoh output software FAARFIELD...50
Gambar II.31 Output software FAARFIELD untuk perkerasan kaku...51
Gambar II.32 Sambungan pada perkerasan kaku...53
Gambar II.33 Detail sambungan...55
Gambar II.34 Bagian spesifik (tampak atas) tata letak drainase...64
Gambar II.35 Contoh tata letak drainase bandara...65
Gambar III.1 Flowchart keseluruhan pengerjaan...68
Gambar III.2 Flowchart desain geometri...69
Gambar III.3 Flowchart Desain perkerasan...70
Gambar III.4 Flowchart drainase...71
Gambar III.5 Flowchart desain geometri runway...72
Gambar III.6 Flowchart desain geometri taxiway...73
Gambar III.7 Flowchart desain geometri apron...73
Gambar IV.1 Grafik kedatangan penumpang harian...89
Gambar IV.2 Grafik kedatangan penumpang harian...90
Gambar IV.3 Metode tiga segmen ICAO...102
Gambar IV.4 Hasil plot perkerasan lentur manual...111
Gambar IV.5 Hasil plot perkerasan kaku manual...113
Gambar IV.6 Tampilan input data pesawat pada program FAARFIELD...115
Gambar IV.8 Hasil perhitungan tebal lapis perkerasan lentur baru...116
Gambar IV.9 Asumsi awal ketebalan pada form COMFAA support spreedsheet117 Gambar IV.10 input nilai CBR dan total equivalent thickness pada COMFAA. .118 Gambar IV.11 Hasil keluaran nilai PCN dari COMFAA...118
Gambar IV.12 Tampilan input data pesawat pada program FAARFIELD...120
Gambar IV.13 Input CBR dan tipe material...120
Gambar IV.14 Hasil perhitungan tebal lapis perkerasan lentur overlay untuk PCN 63...120
Gambar IV.15 Hasil perhitungan tebal lapis perkerasan lentur overlay untuk PCN 77...121
Gambar IV.16 Input data pesawat untuk perhitungan tebal bahu...122
Gambar IV.17 Hasil perhitungan bahu perkerasan lentur...122
Gambar IV.18 Hasil perhitungan perkerasan kaku baru...123
Gambar IV.19 Hasil perhitungan perkerasan kaku overlay...125
Gambar IV.20 Hasil perhitungan bahu perkerasan lentur...126
Gambar IV.21 Hasil tegangan horizontal maksimal keluaran FAARFIELD...127
Gambar IV.22 Strategi Pengaliran...131
BAB I Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah Negara dengan luas 1.904.569 km2 dan memiliki penduduk sebanyak 237.556.363 jiwa. Indonesia juga merupakan sebuah Negara kepulauan dengan 17.506 pulau yang tersebar melalui 34 provinsi. Dengan luas wilayah yang begitu besar dan jumlah penduduk yang tergolong banyak maka sektor pergerakan menjadi sebuah sektor yang sangat penting bagi Indonesia. Maka dari itu sektor transportasi haruslah sangat diperhatikan.
Moda transportasi terdiri dari banyak jenis, yaitu moda transportasi darat, laut, dan udara. Moda darat didalamnya terdapat kereta api, bus, dan kendaraan pribadi. Moda laut di dalamnya terdapat kapal penumpang dan kapal kargo. Dan moda udara didalamnya terdapat pesawat terbang, baik yang mengangkit penumpang maupun mengangkut kargo. Kondisi gegografis yang berupa negara dengan banyak pulau menjadikan transportasi udara yang baik dapat menjadi solusi untuk pergerakan antar pulau di Indonesia.
Melihat vitalnya transportasi udara bagi Indonesia, prasarana transportasi udara tentu juga harus diperhatikan. Perlu adanya pengembangan berkala untuk setiap prasarana agar tetap sesuai dengan kebutuhan pergerakan yang semakin hari semakin bertambah. Bandar udara merupakan fasilitas yang memiliki peran penting dalam transportasi udara. Dengan adanya bandar udara akan memberikan kelancaran pergerakan dan kemudahan akses bagi suatu lokasi.
Bandar udara memiliki dua komponen, yaitu fasilitas sisi darat dan fasilitas sisi udara. Komponen fasilitas dalam Bandar udara terdiri dari runway, apron dan
Fasilitas sisi udara sangat berpengaruh terhadap kualitas bandara tersebut. Hal ini dikarenakan performa fasilitas sisi udara seperti runway sangat menentukan pesawat yang akan datang dan berangkat dari bandara tersebut. Fasilitas sisi udara yang lain adalah Apron yang juga memengaruhi performa loading, unloading dan perawatan pesawat itu sendiri dalam sebuah bandara.
Salah satu Bandar udara di Indonesia adalah Bandar udara Internasional Sultan Hasanuddin yang berada di kota Makassar, Tingginya daya tarik kota Makassar dan provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya membuat pergerakan yang terjadi di Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin semakin meningkat tiap tahunnya. Provinsi Sulawesi Selatan memang kaya akan seni & budaya, keindahan alam, kekayaan sejarah. Selain itu, Sulawesi Selatan yang tiap tahunnya semakin maju, menimbulkan potensi bisnis yang tinggi, sehingga menaikkan tingkat pergerakan yang terjadi. Untuk peningkatan pergerakan yang menggunakan moda udara, dapat dilihat pada Tabel I.1 di bawah ini :
Tabel I.1 Data jumlah penumpang di Bandara AP-I
Pada tahun 2003 jumlah penumpang yang tercatat di Bandar udara Internasional Sultan Hasanuddin sebanyak 2.641.653 penumpang. Namun pada tahun 2011 lalu jumlah penumpang yang tercatat ialah sebanyak 7.456.381 penumpang (Sumber : PT. AP I). Dalam kurun waktu 9 tahun terjadi lonjakan penumpang mendekati angka 6 juta penumpang di Bandara Internasional Sultan Hasnuddin. Peningkatan jumlah penumpang ini diprediksi akan terus berlanjut kedepannya sesuai peningkatan supply dan demand yang terjadi.
kebutuhan pesawat yang ada, disesuaikan dengan perkembangan lalu lintas penerbangan dan perkembangan jenis pesawat.
I.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan, permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Berkembangnya kebutuhan transportasi udara di Indonesia, salah satunya di bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar.
2. Diperlukannya pengembangan fasilitas sisi udara Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar, terkait dengan peningkatan jumlah penumpang
I.3 Tujuan penelitian
1. Merancang kebutuhan geometri runway, geometri taxiway, dan geometri apron bandara Internasional Sultan Hasanuddin.
2. Merancang struktur dan tebal perkerasan untuk kebutuhan runway,
taxiway, dan apron bandara Internasional Sultan Hasanuddin.
3. Merancang sistem drainase Bandara Internasional Sultan Hasanuddin
I.4 Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari tugas akhir ini merupakan perancangan bandar udara. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perancangan bandar udara ini adalah:
1. Lokasi yang ditinjau adalah kawasan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.
2. Fasilitas sisi udara yang ditinjau adalah runway, taxiway, dan apron.
3. Pengembangan yang dilakukan sampai tahun 2033 mendatang. 4. Komponen yang ditinjau adalah geometri, perkerasan, dan drainase
5. Jenis perkerasan yang ditinjau adalah perkerasan lentur untuk runway dan
taxiway, dan perkerasan kaku untuk apron.
7. Manual yang menjadi pedoman perancangan perkerasan runway, taxiway, dan apron adalah FAA AC 150/5320 – 6E.
8. Program yang digunakan untuk perencanaan perkerasan lentur dan kaku adalah FAARFIELD dan COMFAA.
I.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada laporan tugas akhir ini adalah sebagai berikut: BAB I Pendahuluan
Membahas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup, dan sistematika penulisan.
BAB II Studi Pustaka
Membahas dasar teori, metode, serta perhitungan untuk melakukan evaluasi desain pengembangan fasilitas sisi udara dari segi geometri, perkerasan, dan drainase bandara.
BAB III Metodologi
Membahas sistematika pengerjaan evaluasi desain pengembangan fasilitas sisi udara dari segi geometri, perkerasan, dan drainase, termasuk penjelasan kebutuhan data yang diperlukan.
BAB IV Pengolahan Data
Membahas pengolahan data-data yang telah didapatkan dan perhitungan yang dilakukan untuk mendapatkan rancangan desain pengembangan fasilitas sisi udara dari segi geometri, perkerasan, dan drainase.
BAB V Analisis
Menampilkan hasil pengolahan data, evaluasi pengembangan fasilitas sisi udara eksisting berdasarkan rancangan desain yang telah dibuat sebelumnya.
BAB VI Kesimpulan dan Saran
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
II.1 Pendahuluan
Bandar udara (disingkat: bandara) atau pelabuhan udara merupakan sebuah fasilitas tempat pesawat terbang dapat lepas landas dan mendarat. Bandar udara yang paling sederhana minimal memiliki sebuah landas pacu namun bandara-bandara besar biasanya dilengkapi berbagai fasilitas lain, baik untuk operator layanan penerbangan maupun bagi penggunanya (sumber : id.wikipedia.org).
Bandara dapat dibagi menjadi dua bagian berdasarkan wilayahnya, yaitu Sisi Udara dan Sisi Darat. Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan KM No 47 tahun 2002, sisi udara suatu bandar udara adalah bagian dari bandar udara dan segala fasilitas penunjangnya yang merupakan daerah bukan publik tempat setiap orang, barang, dan kendaraaan yang akan memasukinya wajib melalui pemeriksaan keamanan dan/atau memiliki izin khusus. Fasilitas-fasilitas yang ada pada sisi udara meliputi:
Landas pacu atau runway.
Landas hubung atau taxiway.
Landas parkir atau apron.
II.2 Perkiraan Penumpang
Suatu bandara dapat dikembangkan berdasarkan perkiraan jumlah penumpangnya di tahun mendatang. Perkiraan pertumbuhan penumpang dapat dilakukan untuk jangka pendek sekitar 5 tahun, jangka menengah sekitar 10 tahun, dan jangka panjang sekitar 20 tahun. Memperkirakan pertumbuhan pergerakan penumpang dapat dilakukan dengan beberapa metode forecasting.
Metode linear mempunyai satu variabel bebas yang berguna untuk mencari harga variabel terikat. Fungsi tersebut diuraikan dalam persamaan II.I. pada halaman berikut.
Y = a + bx ( II-1 )
Dimana,
Y : variabel terikat (variabel yang dicari) a,b : konstanta
x : variabel bebas
b. Korelasi
Korelasi membahas tentang hubungan antara variabel – variabel yang terdapat dalam regresi, sehingga kedua analisis ini saling terkait satu dengan lainnya. Koefisien korelasi merupakan ukuran untuk mengetahui derajat hubungan antar variabel pada data kuantitatif. Tabel II.1 yang menyatakan koefisien derajat korelasi
Tabel II.2 Koefisien korelasi
c. Model Ekonometrik
diaplikasikan dalam peramalan yang melibatkan hubungan antara variabel tidak bebas dan variabel bebas. Berikut merupakan bentuk persamaan umum dari regresi linear disajikan pada persamaan II.2
(II-2)
Dimana,
Y : Y adalah peubah tidak bebas A : A adalah konstanta
B : B1 … BN adalah koefisien regresi X : X1 … XN adalah peubah bebas
II.3 Karakteristik Pesawat Terbang
Dalam mendesain sebuah bandara, tantangan yang paling utama adalah membuat fasilitas yang dapat mengakomodasi semua jenis pesawat. Banyak hal yang harus diperhatikan dalam pendesainan, seperti dimensi pesawat, konfigurasi roda, berat pesawat, dan lain-lain.
Gambar II.1 Tampak depan pesawat
Gambar II.2 Tampak samping pesawat
Sementara konfigurasi roda pesawat berguna untuk mengerahui tegangan yang disalurkan ke perkerasan. Biasanya konfigurasi roda pesawat dirancang berdasarkan tiga konfigurasi roda dasar, yaitu : single wheel, dual wheel. Atau
dual tandem wheel.
Konfigurasi roda sangat berpengaruh terhadap pendistribusian berat pesawat terhadap perkerasan. Semakin banyak jumlah roda maka kemampuan perkerasan menahan beban pesawat akan semakin meningkat.
Berat pesawat sanagt susah ditentukan, karena sangat bergantung pada kondisi bahan bakar, payload, jumlah penumpang, dll. Berikut ini merupakan beberapa kriteria berat pesawat :
1. The Maximum Structural Payload
Merupakan beban maksimal yang mampu ditanggung oleh pesawat
2. The Maximum Ramp Weight
Beban yang disetujui untuk melakukan maneuver di runway dan
taxiway. Sudah termasuk saat pesawat berjalan pelan dan telah kehilangan sedikit bahan bakar.
3. The maximum gross take-off
Merupakan beban maksimum yang diizinkan untuk melakukan take-off 4. The maximum structural loading weight
Merupakan beban maksimum yang diizinkan untuk melakukan pendaratan.
Pada saat mendarat beban pesawat diasumsikan sebagai berat kosong pesawat,
payload, berat bahan bakar sisa, dengan asumsi pesawat berhasil mendarat di tempat tujuan.
II.4 Konfigurasi Fasilitas Sisi Udara Bandara
Gambar II.4 Tampak atas bagian runway
Pada umumnya konfigurasi runway merupakan gabungan dari beberapa konfigurasi dasar runway. Beberapa konfigurasi dasar runway tersebut antara
lain :
1. Singlerunway
Gambar II.5 Tampak areal single runway
Konfigurasi ini merupakan konfigurasi yang paling mudah dan paling sederhana. Sesuai dengan Gambar II.5 ,kapasitas setiap jam dari single runway dalam kondisi Visual Flight Rule sudah dipertimbangkan diantara 50 sampai 100 operasi setiap jam, sedangkan dalam kondisi IFR kondisi direduksi menjadi 50 sampai 70 operasi per jam, tergantung dari komposisi dari jenis pesawat dan bantuan navigasi yang tersedia.
2. ParallelRunway
menjadi rapat, menengah, dan jauh, tergantung jarak garis tengah pemisah kedua runway.
Landasan sejajar berdekatan mempunyai jarak sumbu ke sumbu dengan jarak rapat, menengah dan jauh dapat bervariasi dari 100 hingga 200 gerakan bergantung pada komposisi campuran pesawat terbang. Sedangkan dalam dalam kondisi IFR, kapasitas per jam untuk landasan sesjajar berjarak rapat berkisar antara 50 hingga 60 gerakan, untuk landasan sejajar menengah kapasitasnya 75 sampai 80 gerakan per jam, dan untuk landasan sejajar jauh kapasitasnya bervariasi antara 85 hingga 105 gerakan tiap jam. Masing-masing bergantung pada komposisi campuran pesawat terbang.
Pada landasan pacu dua jalur dapat melayani lalu lintas paling sedikit 70% lebih banyak dari runway tunggal dalam kondisi VFR dan kurang lebih 60% lebih banyak dari runway tunggal dalam kondisi IFR.
Gambar II.6 Parallel Runway
3. IntersectionRunway
runways. Intersecting runways diperlukan saat ada angin kencang di arah yang berbeda. Jika angin relatif kecil ,maka kedua runway bisa digunakan sekaligus. Kapasitas dari dua runway yang berpotongan bergantung kepada lokasi potongannya ( contoh di akhir atau di awal
runway ). Semakin jauh potongan dari tempat keberangkatan pesawat di akhir runway maka kapasitasnya semakin kecil.
Gambar II.7 Intersection Runway
4. Open-V runways (landasan V terbuka)
Gambar II.8 Open V runway
II.4.2 Taxiway
Taxiway didefinisikan jalur pada permukaan lapangan terbang yang ditetapkan untuk taxi pesawat dan dimaksudkan untuk memberikan sebuah hubungan antara satu bagian dari lapangan udara dan lain. Istilah "taxiway paralel ganda "mengacu pada dua taxiway sejajar satu sama lain di mana pesawat dapat taksi di arah yang berlawanan. Sebuah taxiway apron adalah taxiway yang biasanya terletak di pinggiran apron dimaksudkan untuk memberikan melalui rute taksi di apron. Sebuah taxilane adalah bagian dari pesawat area parkir yang digunakan untuk akses antara taxiway dan pesawat posisi parkir. ICAO mendefinisikan berdiri
taxilane pesawat sebagai porsi dari apron dimaksudkan untuk menyediakan akses ke pesawat untuk stand by.
Dalam rangka memberikan nilai keamanan dalam operasi bandara daerah,
trafficways harus cukup dipisahkan dari satu sama lain dan karena hambatan yang berdekatan. Pemisahan minimum antara garis tengah taxiway, antara garis tengah
II.4.3 Apron
Sebuah apron biasanya terletak di area non pergerakan pesawat di sebuah bandara dekat dengan area terminal. Fungsi dari sebuah apron adalah untuk mengakomodir pesawat ketika melakukan proses loading atau unloading
penumpang dan atau kargo. Kegiatan seperti pengisian bahan bakar, pengecekan berkala dan parkir jangka panjang/pendek juga bertempat di apron. Tampak desain apron tergantung dari posisi gerbang pesawat, kebutuhan sirkulasi kendaraan dan pesawat dan ketentuan daerah bebas pesawat (aircraft clearance). Ada beberapa jenis apron dalam sebuah bandara yaitu apron penumpang, apron
kargo, apron jauh dan apron hangar. Apron penumpang adalah tempat dimana penumpang naik dan turun dari pesawat terbang. Apron kargo adalah ditujukan untuk masuk dan keluarnya kargo pesawat. Apron jauh adalah suatu kebutuhan khusus dimana diperlukan ketika pesawat perlu diamankan dalam waktu tertentu.
Apron adalah tempat dimana pesawat keluar masuk dari hangar penyimpan.
Apron harus direncanakan dengan konfigurasi yang tepat dan memenuhi kebutuhan yang ada agar menjamin keamanan dan keselamatan pesawat, personil, maupun peralatan yang berada di area tersebut. Apron juga harus direncanakan dengan area yang cukup untuk manuver pesawat, baik masuk ataupun keluar sehingga berjalan aman dan efisien.
Konfigurasi terminal sebagai bagian dari konsep desain apron dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu sebagai berikut :
1. Konsep Sederhana
Konsep ini biasanya digunakan di Bandara kecil dengan sedikit pergerakan pesawat komersial dalam satu hari. Posisi parkir pesawat (angled nose-in atau nose-out) biasanya bergantung pada bagian terminal dan lereng apron untuk meminimalkan mesin ledakan mesin jet atau
Gambar II.9 Konsep apron sederhana
2. Konsep Linear
Gambar II.10 Konsep apron linear
Di banyak bandara konsep sederhana berkembang secara bertahap dengan konsep linear. Masing-masing berdiri terletak di sepanjang bangunan seperti di Munich dan Bandara Roissy-Charles de Gaulle-Aerogare terminal 2 dan 3. Keuntungan dari konsep apron linear adalah akses sederhana dari terminal untuk pesawat terbang, instalasi jembatan penumpang untuk naik pesawat yang sederhana dan ruang yang cukup untuk peralatan penanganan teknis dan staf ketika di apron.
3. Konsep Terbuka
Dalam konsep ini ,stands terletak di satu atau lebih baris di depan gedung. Salah satu baris mungkin ditutup dari dalam, tapi kebanyakan akan jauh dari terminal. Pengangkutan penumpang untuk menuju stands
sangat pendek. Lokasi apron dapat dioptimalkan dalam kaitannya dengan operasi pesawat yaitu dekat dengan landasan pacu untuk meminimalkan jarak taksi dan bahan bakar yang dibakar. Ekspansi mudah, pelayanan ini biasanya dilakukan dari pulau-pulau yang ditetapkan di tengah apron.
Gambar II.11 Konsep apron terbuka
Kerugian utama konsep ini adalah kebutuhan untuk menyediakan transportasi ke stands yang lebih jauh untuk semua penumpang. Ini memerlukan tenaga kerja besar dan beberapa armada shuttle bus. Panjang dan kurangnya keandalan perjalanan bis ini membuat konsep ini tidak cocok untuk operasi dengan transfer penumpang. Kelemahan lain adalah tambahan dalam jumlah besar pergerakan pada apron, meningkatkan kemungkinan kecelakaan pesawat dan kendaraan darat lain.
4. Konsep Pier
Di banyak bandara besar, perpanjangan pier adalah cara yang paling nyaman untuk menyediakan lebih banyak stands dan untuk meningkatkan kapasitas bandara sambil menyediakan perlindungan cuaca bagi para penumpang.
bandara dengan konsep pier. Pier memiliki keuntungan menjaga pintu-pintu gerbang di bawah satu atap, memungkinkan kontak langsung dengan daerah pusat pengolahan dan tugas navigasi yang relative sederhana untuk mentransfer penumpang. Untuk konsep apron ini, hanya jenis stands nose-in yang digunakan. Pesawat dapat diparkir di stands
dengan posisi bersudut atau umumnya tegak lurus ke pier.
Gambar II.12 Konsep apron pier
5. Konsep Satelit
Dalam konsep ini, setiap satelit penumpang dihubungkan dengan bangunan terminal melalui koridor langit atau terowongan bawah tanah. Satelit bisa dibuat dari bentuk apapun dari konsep linear, misalnya di Atlanta Hartsfield yang dibuat melingkar begitu pula di Bandara Charles de Gaulle Terminal 1.
6. Konsep Gabungan
Merupakan gabungan dari dua atau lebih konsep yang telah dijelaskan di atas. Biasanya digunakan pada bandara dengan kondisi khusus sehingga perlu penerapan 2 konsep untuk mengakomodir kelemahan setiap sistemnya.
II.5 Perancangan Geometri Sisi Udara Bandara
II.5.1 Klasifikasi Lapangan Terbang
FAA membagi dengan menggunakan dua kode, yakni kode abjad menunjukkan kategori pendekatan kecepatan pesawat dan kode numerik menunjukkan kategori ketinggian dan lebar sayap pesawat. Hasil klasifikasi adalah berupa airport reference code, yang merupakan sistem penomoran untuk menghubungkan kriteria perencanaan dengan karakteristik fisik dan operasional dari pesawat yang akan beroperasi dalam sebuah bandara. Sistem penomoran tersebut berdasarkan pada aircraft approach category dan airplane design group yang ditujukan kepada pesawat tertentu. Aircraft approach category merupakan pendekatan kecepatan pesawat 1.3 kali lebih besar dari kecepatan jatuh pesawat dalam konfigurasi mendarat pesawat di berat mendarat maksimum.
Tabel II.3 Aircraftapproachcategories
II.5.2 Runway
Dalam perencanaan geometrik runway, FAA menggunakan keterangan yang dikeluarkan oleh pabrik-pabrik pesawat untuk menentukan besarnya kebutuhan akan panjang runway. Faktor yang perlu dipertimbangkan agar pesawat mudah untuk lepas landas dan mendarat pada landas pacu. Hal yang perlu diperhatikan antara lain.
1. Orientasi Runway
2. The Wind Rose
3. Perkiraan Panjang Runway
4. Lebar Runway
5. Kelengkapan Runway
6. Kemiringan 7. Syarat Halangan
8. Berat Operasional Pesawat
II.1.1.1 Dimensi Panjang Runway
bandara yang memerlukan runway terpanjang. Prosedur FAA untuk mengestimasi panjang runway berdasarkan data berikut :
1. Penentuan pesawat kritis
2. Berat Maksimum Lepas Landas (MTOW) pesawat kritis dalam bandara
3. Elevasi bandara
4. Rata-rata maksimum temperature harian untuk bulan terpanas di bandara
5. Perbedaan elevasi maksimum sepanjang garis tengah runway Panjang landas pacu harus memadai untuk memenuhi keperluan operasional pesawat sebagai mana yang dikehendaki. Untuk menentukan panjang landas pacu perlu memperhatikan pesawat yang perlu difasilitasi. Menurut SKEP 77-VI-2005, faktor yang mempengaruhi perhitungan panjang landas pacu adalah sebagai berikut.
a. Ketinggian Altitude, panjang landas pacu bertambah 7% setiap kenaikan 300 m dari permukaan laut. Dengan h adalah elevasi, maka faktor koreksi elevasi didapat dari rumus sebagai berikut.
Fe =1+ 0.007 (h/300) II-1
b. Temperatur, panjang landas pacu bertambah 1% setiap kenaikan 10C. Dimana T merupakan temperatur di sekitar bandara.
Ft = 1+ 0.01 ((T-15)-0.0065 h) II-2
c. Kemiringan landas pacu, panjang landas pacu bertambah 10% setiap pertambahan kemiringan. Dimana S merupakan kemiringan.
Fs =1+ 0.1 x S II-3
Setelah mendapatkan semua factor koreksi tersebut, panjang landas pacu didapat dengan rumus sebagai berikut :
II.5.2.2 Orientasi Runway
Orientasi dari runway didefinisikan oleh arah, relatif terhadap kutub utara, dari operasi yang dilakukan oleh pesawat dalam runway. Biasanya runway berorientasi sedemikian rupa supaya bisa digunakan dalam arah tersebut. Sangat tidak biasa untuk tidak mengorientasikan runway sedemikian rupa supaya bisa beroperasi di arah tersebut , biasanya karena adanya ganggunan.
Sebagai aturan utama, runway utama dalam sebuah bandara harus diorientasikan sedekat dan sepraktis mungkin dalam arah angin yang ada. Saat lepas landas dan mendarat pesawat bisa bermanuver di runway selama komponen angin ada di arah yang baik terhadap arah perjalanan.
FAA merekomendasikan bahwa runway seharusnya diorientasikan supaya pesawat bisa selalu mendarat setidaknya 95 persen dari komponen angin samping yang diizinkan tidak melewati batas berdasarkan Airport Reference Code di gabungkan dengan pesawat kritis yang memiliki bentang sayap terpendek dan kecepatan mendekat terlama.
Saat komponen angin samping terbesar di pilih , maka arah runway untuk cakupan angin bisa ditentukan dengan memeriksa rata-rata karakteristik angin dalam bandara dengan kondisi sebagai berikut :
1. Seluruh cakupan angin tidak melihat visibilitas atau awan
2. Kondisi angin saat ada awan setidaknya 1000 ft dan visibilitas setidaknya 3 mi
3. Kondisi angin saat ada awan setidaknya diantara 200 ft dan 1000 ft dan visibilitas antara ½ sampai 3 mi
instrument untuk mendarat ,dengan istilah Instrument Meteorological Condition (IMC).
Di Amerika Serikat data cuaca didapat dari stasiun cuaca di seluruh negeri dalam basis setiap jam dan di rekam untuk analisis. Data yang dikumpulkan termasuk luas awan, jarak pandang, kecepatan angin, arah angin, badai, tekanan barometric, jumlah dan jenis dari hujan, suhu dan kelembapan relatif.
II.5.2.3 WindRose
Orientasi runway yang cocok dapat ditentukan dengan analisis vektor grafik menggunakan windrose.
Gambar II.14 Windrose
Dari grafik wind rose diatas dapat diketahui bahwa angin berasal dari arah SE dengan kecepatan 20-25 mph. Sebuah contoh digambar dengan batasan komponen
crosswind sebesar 15 mi/jam. Dalam contoh ini ada tiga garis paralel yang sama di gambar didalamnya. Garis tengah menggambarkan garis tengah runway, dan jarak antara garis tengah dengan garis luar sesuai skala adalah komponen
II.5.2.4 Spesifikasi geometri runway
Sistem runway bandara terdiri dari struktur perkerasan, bahu runway, blast pad, dan runway safety area. Sistem runway sebaiknya memnuhi hal-hal berikut :
1. Runway mendukung pesawat sehubungan dengan beban struktural, manuver, kontrol, stabilitas, dan operasional dan dimensi kriteria lainnya.
2. Bahu runway berada pada ujung struktur perkerasan untuk menahan erosi pesawat jet dan mengakomodasi perawatan, dan sebagai peralatan darurat
3. Blast Pad adalah daerah yang dirancang untuk mencegah erosi permukaan yang diakibatkan oleh ledakan jet atau mencuci
propeller.
4. Runwaysafety area (RSA) adalah area di sekeliling runway yang disiapkan untuk mengurangi kemungkinan kerusakan pesawat karena undershoot, overshoot, atau ekskursi pada runway. Area yang mirip dengan RSA sesuai standar ICAO dinamakan runway strip atau runway end safety area. Runway safety area termasuk struktur perkerasan, shoulder, blast pad, dan stopway, jika ada. Area ini mampu untuk mendukung kondisi darurat dan perbaikan untuk mendukung pesawat.
5. Area Bebas Benda ( OFA ) didefinisikan oleh FAA sebagai luas tanah dua dimensi di sekitar runway yang harus bebas dari pesawat parkir dan benda-benda selain yang sudah ditetapkan oleh fungsinya .
6. Obstacle-free zone (OFZ) adalah volume udara di atas runway
7. Inner approach obstacle-free zone, diaplikasikan jika terdapat lampu pendekat runway. Didefinisikan sebagai udara di atas permukaan di pertambahan pusat runway setiap 200 ft dari ambang runway dengan elevasi yang sama dengan ambang dan naik setiap 200 ft lampu terakhir mendekati sistem lampu pendekat/ lebarnya sama dengan runway obstacle-free zone dan kemiringannya naik dengan perbandingan 1:50
8. Inner transitional obstacle free-zone diaplikasikan untuk peralatan yang presisi pada runway. FAA mendefinisikan sebagai volume udara yang berdekatan dengan runway dan inner approach obstacle-free zone. Kemiringan permukaan dengan perbandingan 1:3 dari luar ujung runway obstacle-free zone dan berada dalam
obstacle-free zone sampai dengan ketinggian 50 ft diatas elevasi bandara
9. Runway protection zone (RPZ) adalah area yang digunakan untuk melindungi orang dan objek yang berdekatan dengan runway
Gambar II.16 Zona bebas halangan
Standar runway FAA terkait dengan trotoar dan lebar bahu runway, daerah safety runway, panel ledakan, dan permukaan bebas hambatan diberikan dalam Tabel II.4 dan Tabel II.5. Data serupa untuk ICAO diberikan dalam Tabel II.6.
Tabel II.5 Standar dimensi runway kategori A dan B
II.5.2.5 Jarak Pandang Profil Longitudinal, dan Gradien Tranversal runway
Persyaratan FAA untuk jarak pandang di runway mensyaratkan bahwa profil runway membutuhkan dua buah 5 ft diatas garis tengah runway untuk bisa terlihat untuk seluruh panjang runway .
Namun, jika landasan pacu memiliki panjang taxiway paralel penuh ,profil
runway mungkin direncanakan sedemikian rupa sehingga bebas halangan dari setiap titik 5 ft di atas garis tengah landasan pacu ke titik lain 5 ft di atas garis tengah landasan pacu selama satu - setengah panjang runway .
FAA merekomendasikan garis yang jelas terlihat antara ujung berpotongan landasan pacu . Tanah harus diberikan gradasi dan benda permanen dirancang dan berlokasi sehingga tidak akan ada jarak pandang terhalang dari setiap titik 5 kaki di atas satu runway tengah untuk setiap titik 5 kaki di atas runway tengah berpotongan dalam zona visibilitas runway .
Zona visibilitas runway adalah daerah yang dibentuk oleh garis imajiner yang menghubungkan titik-titik visibilitas dan berpotongan di runway .Zona visibilitas
1. Jika jarak dari persimpangan dua centerlines runway adalah 750 ft atau kurang , titik visibilitas pada centreline di ujung landasan pacu yang ditunjuk oleh titik pada Gambar II.17.
2. Jika jarak dari persimpangan dua garis tengah runway lebih besar dari 750 ft tetapi kurang dari 1500 ft , titik visibilitas pada garis tengah 750 kaki dari persimpangan centerlines ditunjukan oleh titik b pada Gambar II.17 . 3. Jika jarak dari persimpangan dua garis tengah runway sama dengan atau
lebih besar dari 1500 ft , titik visibilitas adalah pada jarak yang sama tengah dari ujung runway dan persimpangan garis tengah ditunjukan oleh poin c dan d di Gambar II.17 .
Gambar II.17 Zona visibilitas untuk runway berpotongan (FAA)
Untuk profil longitudinal diperbolehkan untuk meminimumkan perubahan longitudinal selama itu mungkin. Tapi hal ini tidak diperbolehkan untuk alasan ekonomi. Baik ICAO ataupun FAA memperbolehkan perubahan. Maksimum perubahan longitudinal dan transversal yang diperbolehkan diberikan pada tabel II.7 dan tabel II.8. Direkomendasikan 5 persen kemiringan transversal ada pada 10 ft pertama shoulder pada perkerasan untuk memastikan drainase.
Tabel II.9 Standar kemiringan permukaan runway
II.5.2.6 Pemisahan Lapangan Udara Berhubungan dan Persyaratan Bebas Hambatan
Tabel II.10 Pemisahan lapangan udara untuk pesawat kategori A dan B
Tabel II.11 Pemisihan lapangan udara untuk kategori pesawat C dan D
Ketika zona perlindungan runway dimulai pada lokasi lain selain 200 ft di luar ujung landasan karena penerapan Konsep jarak dinyatakan dibahas sebelumnya, dua buah perlindungan runway zona biasanya diperlukan, yaitu zona perlindungan landasan pendekatan dan zona perlindungan runway keberangkatan. Dimensi zona perlindungan runway pendekatan diberikan dalam tabel II.13 tetapi zona perlindungan runway keberangkatan dimulai 200 ft luar ujung runway lepas landas tersedia dan bagian dari runway antara lepas landas tersedia dan ujung landasan dinyatakan tidak tersedia dan tidak cocok untuk lepas landas. Dimensi keberangkatan zona perlindungan runway antara lain :
1. Untuk runway yang hanya melayani pesawat kecil dalam kategori pendekatan pesawat A dan B, panjangnya 1.000 ft, lebar dalam adalah 250 ft dan lebar luar adalah 450 ft
2. Untuk landasan pacu melayani pesawat besar dalam kategori pendekatan pesawat A dan B, panjangnya 1.000 ft, lebar dalam adalah 500 ft dan lebar luar adalah 700 ft
Gambar II.18 Zona perlindungan runway
II.5.3 Taxiway
II.5.3.1 Lebar dan kemiringan
Karena kecepatan di taxiway lebih rendah dibanding runway, kriteria kemiringan longitudinal, lengkung vertikal, dan jarak pandang tidak seketat pada runway. Selain itu dengan semakin kecilnya kecepatan, mengijinkan semakin kecilnya lebar sayap pada runway. Prinsip geometri sesuai tabel II.12 dan II.13 untuk FAA. Untuk ICAO sesuai tabel II.14 dan II.15.
Tabel II.14 Standar kemiringan taxiway (FAA)
Tabel II.16 Satandar kemiringan taxiway (ICAO)
II.5.3.2 Kriteria pemisahan Taxiway dan taxilane
Menurut FAA, kriteria pemisahan memerlukan minimum clearence pada ujung sayap pesawat sebesar 0,2 kali bentang sayap pesawat dominan ditambah 10 ft.
Minimum clearence ini merupakan pemisah minimum dari garis tengah taxiway
ke garis tengah paralel taxiway atau pemisah garis tengah taxilane 1,2 kali bentang sayap pesawat dominan ditambah 10 ft. Pemisah antara garis tengah
taxiway dan benda diam atau bergerak 0,7 kali bentang sayap pesawat dominan ditambah 10 ft. Pemisah ini berlaku untuk pesawat melintasi taxiway di apron
atau ramp. Direkomendasikan pemisah setidaknya 2,6 kali dasar roda dari pesawat yang paling menentukan yang bisa mengakomodasi 180o putaran. Kriteria pemisahan dapat dilihat pada tabel II.14.
terluar roda, margin tepi keamanan taxiway U1, diberikan pada tabel 2.13. Clearance ini memberikan pemisahan minimum antara garis tengah taxiway ke garis tengah paralel taxiway atau garis tengah taxilane sesuai persamaan dibawah ini:
STT=WS+2U1+C1 II-5
Dimana,
STT : Jarak pemisahan minimum taxiway ke taxiway atau taxiway ke taxilane WS : Bentang sayap pesawat paling dominan
U1 : Margin keselamatan tepi taxiway C1 : Clearance minimum ujung sayap
Sebagai contoh, ICAO kode E, yang dapat mengakomodasi pesawat dengan bentang sayap sampai 65 m, memerlukan jarak pemisah dari garis tengah taxiway
ke garis tengah taxiway atau garis tengah taxilane adalah 65+2(4,5)+7,5=81,5 m.
Persyaratan pemisah antar garis tengah taxiway atau garis tengah apron taxiway
dan benda bergerak atau tidak bergerak ditentukan oleh persamaan berikut:
S¿=0.5WS+U1+C2 II-6
SATO=0.5WS+U2+C1 II-7
Dimana,
SATO : Pemisah stand taxilane pesawat ke benda diam atau bergerak U2 : stand safety margin pesawat.
Nilai untuk safety margin, U2 yaitu 1.5 m untuk kode A dan B, 2 m untuk kode C, dan 2.5 m untuk kode D dan E. Kriteria pemisah taxiway dan taxilane oleh ICAO sesuai tabel II.16.
II.5.3.3 Jarak pandang dan profil longitudinal
FAA tidak mendefinisikan persyaratan jarak pandang untuk taxiway. Tapi jarak pandang diperlukan untuk memastikan keamanan. FAA menspesifikasikan bahwa perbedaan elevasi dari titik di centerline taxiway dan titik di ujung paralel runway,
taxiway, atau apron adalah 1,5 persen dari jarak terpendek antar titik. ICAO menspesifikasikan bahwa permukaan taxiway dapat dilihat dari jarak 150 m dari titik 1,5 m diatas taxiway untuk kode A, dari jarak 200 m dari titik 2 m diatas
taxiway untuk kode B, dan dari jarak 300 m dari titik 3 m diatas taxiway untuk kode C,D, dan E.
II.5.3.4 Geometri Exit Taxiway
Fungsi dari exit taxiway adalah untuk mengurangi okupansi runway oleh pesawat yang mendarat. Exit taxiway bisa ditempatkan di sudut yang tepat dengan runway atau sudut lain terhadap runway. Sesuai dengan percobaan yang dilakukan oleh FAA selama bertahun-tahun, ada hubungan antara kecepatan keluar pesawat dan besar diameter kurvatur dan konfigurasi umum dari taxiway. Yang ditemukan adalah ketika kecepatan tinggi dalam sebuah kurva bisa mengurangi keausan roda di bagian hidung pesawat dan diameter kurva utama R2 harus ada di dalam
Jalur pesawaat dalam uji adalah berbentuk spiral. Dalam tes ada beberapa kesimpulan yang diambil diantaranya adalah :
1. Kategori pesawaat angkut dan pesawat militer bisa dengan nyaman menggunakan exit taxiway dengan kecepatan 60 sampai 65 mi/jam diatas permukaan basah dan kering.
2. Faktor yang paling signifikan dalam diameter belok adalah kecepatan , bukan total sudut untuk kenyamanan penumpang.
3. Kenyamanan penumpang bukan merupakan variabel penting
4. Gaya Lateral yang dihitung dalam tes sebenarnya lebih kecil daripada gaya lateral maksimum untuk perencanaan alat pendaratan
5. Dalam prakteknya sering ditemui bahwa pintu masuk exit taxiway sengaja di lebarkan sedikit. Pelebaran ini memberikan pilot keleluasaan dalam menggunakan exit taxiway.
6. Sudut total untuk belok adalah 30o sampai 45o . Sudut yang semakin kecil biasanya dikarenakan panjang jalur kurvaa di kurangi, jarak pandang ditambah , dan konsentrasi yang kurang dari pilot.
7. Hubungan antara Radius Belok vs Kecepatan di ekspresikan dengan
Dimana V adalah kecepatan dalam mil/jam dan f adalah koefisien friksi. 8. Kurva yang diekspresikan oleh R2 seharusnya di dului oleh raidus
Dimana V dalam feet/detik , R2 dalam feet, dan C ditemukan secara eksperimen dengan besaran 1.3
10. Panjang yang cukup sangat diperlukan untuk perlambatan pesawat setelah lepas dari runway. Disarankan untuk jaraknya mampu mengakomodir perlambatan sebesar 3.3 ft/s2. Hal ini disyaratkan khusus untuk pesawat pengangkut.
Sebuah grafik yang menunjukkan radius R1 dan R2 dan panjang kurva transisi L1 disajikan dalam Gambar II.19
ICAO telah menentukan hubungan antara kecepatatan pesawat dengan radius kurvatur dari lengkung taxiway seperti yang tergambar dalam Tabel II.16. Untuk exit taxiway kecepatan tinggi , ICAO merekomendasikan radius minimum untuk kurvatur dengan garis tengah taxiway sepanjang 275 m untuk kode aerodrome 1 dan 2 dan 550 m untuk kode aerodrome 3 dan 4. Ini membolehkan kecepatan keluar dalam kondisi basah sebesar 65 km/jam untuk kode aerodrome 1 dan 2 dan 93 km/jam untuk aerodrome 3 dan 4.
Konfigurasi untuk kecepatan keluar 60 mi/jam dan sudut putar 30o ditunjukkan dalam Gambar II.20. FAA merekomendasikan bahwa garis tengah harus berada di dalam spiral sepanjang 1400-ft supaya terjadi perpindahan yang halus dari garis tengah runway menuju taxiway. ICAO merekomendasikan geometri yang serupa untuk tempat keluar dengan kecepatan tinggi. Right-angle atau 90o exit taxiway. Konfigurasi untuk 90o exit taxiway digambarkan dalam Gambar II.21
Tabel II.17 Radius kurvatur untuk pesawat pengangkut
.
Gambar II.21 exit taxiway dan konfigurasi simpang
Tabel II.18 Standar dimensi kurvatur taxiway
II.5.4 Apron
II.5.4.1 Pemilihan sistem parkir pesawat
1. Angled nose-in:
Sistem parkir pesawat udara dengan hidung pesawat menghadap gedung terminal membentuk sudut 45° terhadap gedung terminal
Gambar II.22 Sistem parkir anglednose-in
2. Angled nose-out:
Sistem parkir pesawat udara dengan hidung pesawat membelakangi terminal membentuk sudut 45° terhadap gedung terminal.
3. Paralel
Sistem parkir pesawat udara sejajar dengan bangunan terminal.
Gambar II.24 Sistem parkir paralel
4. Nose-in
Sistem parkir pesawat udara dengan hidung pesawat tegak lurus sedekat mungkin dengan gedung terminal.
Gambar II.25 Sistem parkir nose-in
melayaninya di gate. Baik FAA dan ICAO menyarankan jarak minimal antara setiap bagian dari pesawat dan pesawat lainnya atau struktur di daerah apron
seperti yang diberikan dalam Tabel II.18
Tabel II.19 Clearence minimum antar pesawat dengan objek tetap atau bergerak pada posisi parkir di apron
II.5.4.2 Kemiringan permukaan terminal apron
Untuk pengisian bahan bakar, kemudahan dalam menarik dan pergerakan pesawat, kemiringan atau gradien apron harus dijaga pada persyaratan minimum secara konsisten dengan drainase yang baik. Kemiringan tidak boleh dalam setiap kasus melebihi 2 persen untuk bandara utilitas dan 1 persen untuk bandara transportasi. Di gate di mana pesawat diisi bahan bakarnya, harus diusahakan untuk menjaga kemiringan apron sebesar 0.5 persen.
II.6 Perencanaan Struktur Perkerasan Sisi Udara Bandara
Struktur perkerasan pada bandara berujuan untuk dapat mendukung berat objek seperti pesawat diatas tanah dasar alami. Perkerasan bandara biasanya dirancang berlapis dima setiap lapisnya memiliki ketebalan yang cukup untuk memikul beban yang diberikan. FAA memberikan panduan dalam desain perkerasan lapangan terbang, yaitu AC 150/5320-6E.
Gambar II.26 Potongan melintang perkerasan bandara
Gambar diatas mengilustrasikan potongan melintang perkerasan bandara pada umumnya. Seperti pada gamabar perkerasan bandara secara umum terdiri dari :
1. SurfaceCourse
2. BaseCourse
3. Subbase
Surface Course terdiri dari campuran material bituminous (pada umumnya aspal) dan agregat yang ketebalannya bervariasi dari 2 sampai 12 inchi untuk perkerasan lentur, dan sebongkah PCC setebal 8 sampai 24 inchi untuk perkerasan kaku. Fungsi utama dari surface course adalah untuk memberikan operasi pesawat yang halus dan aman, untuk menahan efek beban terapan yang terjadi dan pengaruh lingkungan untuk beberapa tahun penggunaan dan untuk mendistribusikan beban terapan kepada lapisan dibawahnya.
Subbase Course juga terdiri dari material yang diatur (Treated) atau tidak diatur (Untreated), secara umum material tidak diproses atau material yang diambil langsung disekitar lokasi. Fungsi dari subbase ini adalah sama dengan base. Apakah subbase dibutuhkan dan berapa banyak merupakan fungsi dari jenis beban yang 74 bekerja pada perkerasan ,juga jenis dan kualitas tanah, atau subgrade dimana pavement berada. Untuk kebanyakan perkerasan kaku, surface course langsung diletakkan diatas subbase.
I.1.1 Penyelidikan Tanah
Investigasi yang akurat dari pondasi perkerasan sangat penting untuk desain struktur perkerasan yang tepat. Subgrade menahan perkerasan besera beban yang ditempatkan pada permukaan perkerasan. Fungsi perkerasan adalah untuk mendistribusikan beban ke subgrade, dan semakin besar kemampuan subgrade
menahan beban, ketebalan perkerasan yang diperlukan akan semakin berkurang. Investigasi tanah terdiri dari survei untuk menentukan susunan lapisan-lapisan berbeda di dalam tanah hingga elevasi subgrade tertentu, dengan proses sampling dan pengujian karakteristik fisik tanah, dan survei untuk menentukan ketersediaan dan kecocokan material local untuk digunakan pada konstruksi subgrade dan perkerasan
Tabel II.20 Klasifikasi tanah
GW : Well-graded gravels and gravel-sand mixtures, little or no fines
GP : Poorly graded gravels and gravel-sand mixtures, little or no fines
GM : Silty gravels, gravel-sand-silt mixtures
GC : Clayey gravels, gravel-sand-clay mixtures
SW : Well-graded sands and gravelly sands, little or no fine
SP : Poorly graded sands and gravelly ands, little or no fines
SM : Silty sands, sand-silt mixtures
SC : Clayey sands, sand-clay mixtures
M : Inorganic silts, very fine sands, rock flour, silty or clayey fine sands
CL : Inorganic clays of low to medium plasticity, gravelly clays, silty clays,lean clays
OL : Organic silts and organic silty clays of low plasticity
MH : Inorganic silts, micaceous or diatomaceous fine sands or silts, plastic Silts
CH : Inorganic clays or high plasticity, fat clays
OH : Organic clays ofmedium to high plasticity
PT : Peat, muck, and other highly organic soil II.6.1.2 Tes CBR
terhadap penetrasi tersebut, dinyatakan sebagai persentase dari standard crushed limestone, adalah nilai CBR untuk tanah. Dengan demikian, CBR 50 berarti bahwa tegangan yang diperlukan piston untuk menembus sampel tanah jarak tertentu adalah setengah yang diperlukan piston untuk menembus jarak yang sama pada standard crushed limestone. Hubungan ini biasanya didasarkan pada penetrasi piston 0.1 dengan 1000 lb/in2 digunakan sebagai tegangan yang diperlukan untuk penetrasi menembus serpihan batu kapur sedalam 0.1 inch. Seperti digambarkan dalam Tabel 2.27, rentang nilai CBR dari tanah berbutir halus dan sangat kaya kandungan organiknya relatif lemah dengan nilai 70 CBR sekitar 3, sampai tanah berbutir kasar dengan nilai-nilai CBR sekitar 80 (meskipun pengujian CBR telah dinyatakan agak tidak akurat untuk tanah yang sangat berbatu, dan untuk aplikasi nilai CBR harus diterapkan tidak lebih tinggi 50).
II.6.2 Metode Desain Perkerasan FAA
FAA telah memberikan aturan mengenai spesifikasi pesawat terbang yang beroperasi di suatu bandara agar agar beban ekivalen per roda pesawat tidak lebih dari 350.000 lb
II.6.2.1 Metode Pesawat Ekicalen
rutin seluruh pesawat selain pesawat kritis menjadi jumlah ekivalen dari kedatangan rutin dengan menggunakan pengali pada tabel II.20
Tabel II.21 Faktor pengali untuk keberangkatan tahunan ekivalen
Keberangkatan tahunan ekivalen dapat ditentukan dengan menjumlahkan keberangkatan tahunan ekivalen dari setiap pesawat, berdasarkan persamaan
W2/W1
R1 = Ekivalen kedatangan rutin berdasarkan pesawat kritis
R2 = Jumlah kedatangan rutin pesawat dalam pengaturan landinggear pesawat kritis
W1 = Beban roda dari pesawat kritis
W2 = Beban roda pesawat yang akan dikonversi
II.6.2.2 Metode Cumulative Damage Failure
Metode dari perencanaan perkerasan bandara dan evaluasi yang dipakai sekarang mempertimbangkan setiap jenis pesawat yang menggunakan perkerasan secara langsung. Konsep “pesawat kritis” diganti dengan perencanaan untuk kegagalan
Berdasarkan Hukum Miner, teori tradisional yang mengestimasi jumlah penggunaan sampai dengan perkerasan gagal, CDF untuk armada kapal ditentukan oleh persamaan berikut :
CDF=
∑
( niNi
) II-13
Dimana ni adalah jumlah ekspektasi kedatangan pesawat rutin i dan Ni adalah jumlah kedatangan rutin pesawat i yang bisa menyebabkan kegagalan perkerasan untuk setiap pesawat i di dalam armada.
Ketika CDF mencapai atau melebihi 1, jumlah operasi kumulatif yang diprediksi untuk masing-masing pesawat dalam campuran akan menyebabkan kegagalan pada sistem perkerasan. Setiap nilai kurang dari 1 mewakili fraksi umur perkerasan yang telah "dihabiskan" denegan efektif. Sebagai contoh, CDF 0,75 akan menunjukkan bahwa perkerasan telah menggunakan 75 persen dari umur rencananya, dan memiliki 25 persen dari umur rencana tersisa di bawah penggunaan perkiraan lalu lintas sebelum mencapai kegagalan lelah.
Untuk desain perkerasan lentur dan kaku, metode desain perkerasan FAA yang sekarang diaplikasikan pada model perangkat lunak komputer untuk memperkirakan ketebalan lapisan perkerasan yang dirancang, dengan diberikan nilai modulus Young E subgrade dan kombinasi armada pesawat yang diprediksi, nilai CDF perkerasan akan bernilai 1 setelah 20 tahun umur rencana perkerasan terlampaui.
Gambar II.27 Jendela program FAARFIELD
II.6.3 Desain Perkerasan Lentur
Perkerasan lentur terdiri dari permukaan bituminous yang ditempatkan di atas
base course dan subbase jika diperlukan karena kondisi subgrade. Seluruh struktur perkerasan lentur pada akhirnya ditopang oleh subgrade. Surface course
mencegah masuknya air ke base course, menyediakan permukaan yang halus, terikat dengan baik, tanpa partikel yang longgar, menahan gaya geser yang disebabkan oleh beban pesawat, membentuk lapisan kesat yang tidak menyebabkan keausan ban. Surface course juga harus tahan terhadap tumpahan bahan bakar dan pelarut lainnya di tempat di mana dilakukan pemeliharaan pesawat.
Base course adalah elemen struktural utama perkerasan, memiliki fungsi mendistribusikan beban roda ke subbase dan subgrade. Lapisan ini harus dirancang untuk mencegah kegagalan subgrade, menahan tekanan yang diproduksi dalam base course, menahan tekanan vertikal yang cenderung menghasilkan konsolidasi dan deformasi wearing course dan menahan perubahan volume yang disebabkan oleh fluktuasi kelembaban.
Item P-208—Aggregate Base Course
Item P-209—CrushedAggregateBaseCourse
Item P-211—Lime Rock Base Course
Item P-304—Cement Treated Base Course
Item P-306—Econocrete Subbase Course
Item P-401—Plant Mix Bituminous Pavements
Item P-403—HMA Base Course
P-211, P-304, P-306, P-401, dan P-403 dianggap sebagai base course yang stabil.
Fungsi subbase, bila diperlukan, mirip dengan base course, tetapi karena subbase
untuk selanjutnya dihapus dari area aplikasi beban, lapisan ini menjadi subjek intensitas beban yang lebih rendah. Subbase biasanya diperlukan ketika perkerasan lentur akan ditopang oleh tanah dengan nilai CBR kurang dari 20.
Subbase course untuk perkerasan lentur tersedia dalam berbagai jenis, termasuk:
Item P-154—Subbase Course
Item P-210—Caliche Base Course
Item P-212—Shell Base Course
Item P-213—Sand Clay BaseCourse
Item P-301—Soil Cement Base Course
Tanah subgrade menjadi subjek dari intensitas pembebanan yang paling rendah, dan pengontrolan tegangan biasanya pada bagian atas subgrade karena tegangan semakin berkurang terhadap kedalaman tanah. Namun, kondisi subgrade yang tidak biasa seperti material subgrade yang berlapis, bisa memindahkan lokasi pesawat dengan berat lebih dari 30.000 lb di tahun 2008.
maupun horizontal, seperti digambarkan dalam Gambar II.37. Untuk mengakomodasi tegangan, perkerasan akan berdefleksi dengan berlalunya beban. Besarnya defleksi perkerasan yang diberikan adalah fungsi yang elastisitas, E, yang diukur dengan modulus Young. Selain itu, rasio dari defleksi horizontal dan vertikal dari lapisan perkerasan, dikenal sebagai Poisson's ratio, μ, juga diperhitungkan.
Gambar II.28 Visualisasi teori desain lapisan plastis
Gambar II.29 Contoh output software FAARFIELD
II.6.4 Desain Perkerasan Kaku
Perkerasan kaku terdiri dari pelat PCC ditempatkan pada subbase yang didukung oleh subgrade yang dipadatkan. Seperti pada perkerasan lentur, perkerasan kaku dirancang untuk menyediakan permukaan yang kesat dan mencegah infiltrasi air ke subgrade, sambil mendukung secara struktural untuk pesawat yang menggunakan perkerasan.
Subbase di bawah perkerasan kaku menyediakan penopang yang seragam dan stabil untuk pelat beton bertulang. Sebagai aturan, ketebalan minimum 4 inch diperlukan untuk semua subbase di bawah perkerasan kaku. Ada berbagai jenis campuran yang dapat diterima untuk subbase perkerasan kaku termasuk:
Item P-154—Subbase Course
Item P-208—Aggregate Base Course
Item P-209—Crushed Aggregate Base Course
Item P-211—Lime Rock Base Course
Item P-301—Soil Cement Base
Item P-304—Cement Treated Base Course
Item P-306—Econocrete Subbase Course
Item P-401—Plant Mix Bituminous Pavements
Untuk perkerasan kaku yang mengakomodasi pesawat dengan berat bruto maksimum lebih dari 100.000 lb diperlukan stabilisasi subgrade, yang juga termasuk item P-304, P-306, P-401 dan P-403 di atas.
II.6.4.1 Teori Finite Element
Mirip dengan desain perkerasan lentur, proses pada FAARFIELD melibatkan penetapan kombinasi armada dan nilai E subgrade untuk menentukan persyaratan ketebalan minimum permukaan PCC. FAARFIELD merekomendasikan tebal awal untuk lapisan subbase sebesar 6 inch. Subbase yang terdiri dari banyak lapisan-lapisan dianjurkan untuk subgrade dengan nilai modulus E yang rendah. Gambar II.39 mengilustrasikan contoh output desain struktur perkerasan kaku dari FAARFIELD.
Gambar II.30 Output software FAARFIELD untuk perkerasan kaku
FAARFIELD menerapkan teori finite element untuk memperkirakan ketebalan permukaan PCC dan subbase course yang diperlukan. Teori desain finite element
tiga-dimensi (3D-FE) serupa dengan teori desain lapisan elastik yang memperhitungkan modulus Young subgrade serta material-material yang digunakan dalam slab dan subbase course, dan juga mempertimbangkan faktor
Perspektif ini memungkinkan untuk melakukan estimasi yang lebih akurat dari tegangan dan regangan di tepi pelat perkerasan kaku, yang dibandingkan dengan tegangan melintang dekat pusat slab, yang lebih penting pada perkerasan kaku.
II.6.5 Sambungan dan Jarak Antar Sambungan
Pelat PCC pada perkerasan kaku saling dihubungkan dengan sambungan untuk mengizinkan ekspansi dan kontraksi pada perkerasan, sehingga menghilangkan momen lentur karena pembengkokan dan gesekan dan untuk memfasilitasi proses konstruksi.
Gambar II.31 Sambungan pada perkerasan kaku
Fungsi isolasi tipe A adalah untuk mengisolasi pelat perkerasan kaku yang berdekatan dan menyediakan ruang untuk ekspansi perkerasan, sehingga mencegah berkembangnya tegangan tekan yang sangat tinggi yang dapat menyebabkan membengkoknya perkerasan.
Kontraksi sambungan disediakan untuk mengurangi tegangan tarik karena suhu, kelembaban, dan gesekan, sehingga mengendalikan keretakan. Jika sambungan kontraksi tidak dipasang, keretakan acak akan terjadi pada permukaan perkerasan kaku. Jarak antara sambungan kontraksi tergantung pada ketebalan pelat, karakter agregat, dan apakah pelat polos atau diberi tulangan. Berdasarkan pengalaman, telah ditemukan bahwa untuk pelat polos dengan tebal 8 sampai 10 inch, spasi harus dalam kisaran 15 sampai 20 ft. Untuk pelat yang lebih tebal tebal, spasi dapat meningkat menjadi 25 ft. Sambungan kontraksi dapat berengsel (jenis B),
dowel (tipe C) atau dianggap bsebuah sambungan "dummy” (tipe D).
Sambungan konstruksi diperlukan untuk memfasilitasi pembangunan ketika dua pelat abutting ditempatkan pada waktu yang berbeda.
Dowel adalah perangkat transfer beban yang memungkinkan sambungan untuk terbuka agar mencegah terjadinya perbedaan perpindahan vertikal. Biasanya
dowel kokoh, terbuat dari baja berpenampang lingkaran, meskipun pipa juga dapat digunakan. Beberapa analisis berbeda telah diajukan untuk desain dowel. Jarak dari dowel tergantung pada ketebalan perkerasan, modulus reaksi subgrade dan ukuran dowel. Tabel II.21 berisi rekomendasi untuk ukuran dan spasi dowel.
Gambar II.32 Detail sambungan
II.6.6 Perkerrasan Beton Bertulang Menerus
Perkerasan beton bertulang menerus (CRCP) adalah ketika sambungan melintang telah dieliminasi (kecuali mana perkerasan berpotongan atau berbatasan langsung dengan perkerasan atau struktur eksisting) dan baja tulangan longitudinal menerus di seluruh perkerasan. Selain desain baja yang tertanam di sepanjang perkerasan, desain ketebalan CRCP identik dengan perkerasan kaku lainnya.
Keuntungan untuk menempatkan baja di perkerasan PCC meliputi mengurangi jumlah sambungan yang diperlukan antara pelat, mengakibatkan biaya pemeliharaan yang menurun, memperpanjang umur layanan ketika perkerasan mengalami kelebihan beban, mengurangi defleksi perkerasan
Jumlah baja tulangan yang diperlukan untuk mengontrol perubahan volume bergantung terutama pada ketebalan pelat, kekuatan tarik beton, dan kekuatan leleh baja. Sementara beberapa prosedur telah diajukan untuk memperkirakan jumlah baja tulangan yang diperlukan, jumlah itu seharusnya sekitar 0,6 persen luas penampang melintang kotor dengan kekuatan leleh harus setidaknya 60.000 lb/in2. Jumlah minimum bisa dihitung dengan persamaan berikut,
Ps( )=(1.3−0.2F)ft
fs
II-14
Dimana,
Ps : Persentase baja yang dipasang
ft : Kuat tarik beton, lb/in2
fs : Tegangan tarik ijin baja, lb/in2
F : Koefisien friksi subgrade
FAA merekomendasikan bahwa luas penampang dapat diperoleh dengan persamaan II.17.
As=(3.7)L√¿