• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Konsumen Muslim Dalam Menyo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perlindungan Konsumen Muslim Dalam Menyo"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM DALAM

MENYONGSONG ERA PASAR BEBAS

Oleh :

Hanum Rahmaniar Helmi*

Universitas Airlangga Surabaya

(2)

ABSTRAK

Perlindungan konsumen muslim terhadap hal-hal yang dilarang oleh agamanya, merupakan hal yang sangat krusial khususnya bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, maupun masyarakat muslim di negara-negara ASEAN lainnya. Maraknya produk-produk makanan yang belum bersertifikat halal yang beredar di masyarakat kini menjadi polemik tersendiri bagi para konsumen muslim. Tidak hanya mengenai produk makanan, tetapi juga banyak produk non halal lainnya seperti kosmetik dan bahan makanan non halal yang berasal dari dalam maupun luar negara Indonesia. Hal ini mengakibatkan keresahan konsumen muslim atas produk-produk non halal yang masuk ke dalam dunia perekonomian Indonesia. Terkait dengan lembaga penjamin produk halal pun, banyak menuai protes.Terlebih mengenai proses penerbitan sertifikat halal yang harus melalui proses yang berbelit. Ada dua lembaga yang berbeda yaitu instansi pemerintah dan non-pemerintah yang harus dilalui produsen untuk mendapatkan pengakuan secara resmi bahwa produknya halal. Selain proses yang berbelit, permasalahan juga timbul mengenai pengawasan yang belum dilakukan secara maksimal oleh lembaga-lembaga tersebut. Pemerintah Indonesia sendiri belum mempunyai solusi yang tepat dalam mengahadapi permasalahan tersebut di atas. Dalam paper ini nantinya penulis selain akan membahas mengenai permasalahan-permasalahan tersebut di atas, juga akan memberikan saran dan masukan yang sekiranya bermanfaat untuk dunia peradilan di Indonesia.

(3)

PENDAHULUAN

Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai berbagai macam suku, ras dan agama. Tak hanya itu, negara kita juga mempunyai sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya alam tersebut dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan, sumberdaya alam yang dibagi menjadi sumberdaya nabati dan hewani tersebut diolah untuk dijadikan sumber bahan baku yang kemudian bisa dimanfaatkan oleh manusia. Dalam hal bahan baku yang diproses menjadi setengah jadi lalu menjadi barang jadi yang siap dikonsumsi oleh manusia, maka manusia berhak menentukan mana produk yang baik untuk dikonsumsi dan mana yang tidak baik untuk dikonsumsi.

Masyarakat Indonesia termasuk masyarakat bertipikal konsumtif dalam pemenuhan kebutuhan primer, sekunder maupun tersiernya. Kebutuhan primer manusia yaitu meliputi sandang, pangan dan papan. Untuk memenuhi kebutuhan fisik manusia yaitu pangan, mereka kadang tidak mengolah atau memasak bahan makanan sendiri, tetapi mereka memilih membeli produk siap santap. Untuk bisa mengonsumsi produk makanan siap santap itulah mereka dapat membelinya di restoran, warung bahkan di Pedagang Kaki Lima (PKL). Sebagai konsumen makanan siap saji, seringkali konsumen tidak puas dengan pelayananan, cita rasa atau bahkan tentang bahan makanan yang digunakan oleh restoran tersebut.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang mempunyai latar belakang agama yang berbeda. Dalam hal mengonsumsi makanan yang mereka beli pun, harus selektif dalam memilihnya. Bagi konsumen muslim, ada beberapa bahan makanan yang tidak diperbolehkan oleh agamanya untuk dikonsumsi dan masuk ke dalam tubuhnya. Dalam ajarannya, konsumen muslim dilarang mengonsumsi makanan yang tidak jelas kehalalannya. Mengenai bahan makanan non halal, akhir-akhir ini masyarakat digencarkan dengan broadcast message melalui Blackberry Messanger (BBM). Dalam

broadcast message tersebut memberitakan beberapa restoran-restoran yang mempunyai sertifikat halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan restoran-restoran yang tidak mempunya sertifikat halal MUI. Salah satu restoran yang tidak mempunyai sertifikat halal MUI dalam broadcast message tersebut adalah Solaria. Solaria disebut-sebut memasukkan minyak babi dalam memasak makanan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat muslim maupun non muslim. Tentu hal ini sangat menarik perhatian bagi masyarakat muslim. Solaria adalah restoran waralaba yang keberadaannya di setiap kota-kota besar di Indonesia. Sebagian besar konsumen muslim yang pernah makan di Solaria menyesali apa yang telah dikonsumsinya. Sebenarnya, tidak hanya Solaria restoran yang memasukkan minyak babi dalam masakan produksinya. Banyak restoran lain yang belum mempunyai sertifikat halal MUI dan nyatanya sampai sekarang restoran-restoran itu tetap beroperasi. Dalam hal ini, masyarakat muslim sebagai konsumen restoran-restoran non halal tersebut sangat merasa dirugikan. Tetapi mereka tidak tahu kemana harus berlindung dari makanan-makanan non halal yang tersebar luas di sekitarnya. Padahal terkait kehalalan suatu produk, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah memberikan perlindungan bagi umat muslim. Pasal 8 ayat (1) huruf h UUPK diatur bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana diatur pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.

(4)

penduduknya memeluk agama islam, pemerintah mengatur mengenai label produk halal melalui UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Ilklan Pangan. Pasal 30 UU No. 7 tahun 1996 menyebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau dikemasan pangan. Dan label tersebut setidaknya mencantumkan keterangan halal. Selanjutnya dalam Pasal 10 PP 69/1999 mengenai kewajiban produsen produk pangan untuk mencantumkan label halal pada makanan yang dikemas yaitu : setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat muslim, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label.

(5)

Konsep Perlindungan Konsumen

Dalam konteks permasalahan yang telah diuraikan pada bab pendahuluan, timbul suatu pertanyaan kemanakah konsumen muslim harus berlindung dari makanan-makanan non halal yang telah diproduksi oleh produsen yang belum mendapatkan sertifikat halal dari MUI. Di lain sisi, produsen yang telah mendapatkan sertifikat halalpun tidak bisa dijamin bahwa produknya selamanya halal. Sebagai contoh, restoran yang telah mendapatkan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI. Restoran itu beroperasi setiap hari. Bahan makanan yang dimasukkan pun bisa jadi berubah. Apakah dalam hal ini lembaga yang telah ditunjuk oleh pemerintah untuk melakukan pengawasan bisa menjamin bahwa restoran itu setiap harinya selalu memasukkan bahan-bahan makanan yang halal ataukah bisa jadi ada perubahan bahan makanan yang dipakai. Hal inilah yang diresahkan oleh konsumen muslim di negara kita. Mereka para konsumen muslim yang seharusnya merasa tenang, tidak terancam terhadap apa yang dikonsumsinya. Tetapi hal ini sangatlah berbanding terbalik dengan adanya produk non halal yang beredar di pasaran Indonesia. Padahal Undang-Undang negara kita telah jelas mengatur mengenai hak-hak konsumen seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Di Indonesia telah banyak dikeluarkan peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan konsumen, mulai dari tingkat undang-undang sampai pada peraturan-peraturan tingkat menteri dan peraturan-peraturan instansi di bawahnya. Akan tetapi, peraturan-peraturan mengenai perlindungan konsumen dibuat dalam satu undang-undang tersendiri, barulah terealisasi pada tahun 1999 melalui Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Menurut Business English Dictionary, perlindungan konsumen adalah protecting consumers against unfair or illegal traders.1 Undang- Undang Perlindungan konsumen menyatakan bahwa, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.2

Perlindungan konsumen harus mendapat perhatian yang lebih, karena investasi asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomi Indonesia, dimana ekonomi Indonesia juga berkaitan dengan ekonomi dunia. Persaingan internasional dapat membawa implikasi negatif bagi konsumen. 3

UUPK memuat aturan-aturan hukum tentang perlindungan kepada konsumen yang berupa payung bagi perundang-undangan lainnya yang menyangkut konsumen sekaligus mengintegrasikan perundang-undangan itu sehingga memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen. Ada sejumlah asas yang terkandung di dalam usaha memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak yang terkait masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah berdasarkan lima asas yang menurut Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 ini adalah :

a. Asas manfaat

1 Peter Colin, Business English Dictionary, (London: Linguaphone Institute Limited), hal.61 2 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

3 Erman Rajagukguk, Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen dalam Era Perdagangan Bebas, dalam Husni

(6)

Dalam upaya penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

b. Asas keadilan

Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

c. Asas keseimbangan

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.4 Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha (produsen), dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen.

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketenteraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.

e. Asas kepastian hukum

Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta menjamin kepastian hukum. Artinya, dengan dibentuknya undang-undang ini mengharapkan aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam undang-undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan.5

Dengan adanya asas-asas yang tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, secara umum bisa ditarik suatu pemahaman bahwa konsumen dan pelaku usaha mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Dalam pemenuhan hak dan kewajiban tersebut oleh konsumen maupun pelaku usaha, diharapkan kedua belah pihak dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen ini mematuhi asas-asas tersebut sehingga bermanfaat bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Dalam UUPK juga diatur mengenai hak-hak konsumen. Dalam pengertian hukum, umumnya yang dimaksud dengan hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakikatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya.6

Dalam pasal 4 UPPK disebutkan juga sejumlah hak konsumen yang mendapat jaminan dan perlindungan dari hukum, yaitu :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;

4 Asas keseimbangan ini juga dianut oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tetntang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, lihat Pasal 2: ....keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum

(7)

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Konsep Halal

Di antara hal yang harus diwaspadai oleh kaum muslimin sekarang adalah apa yang disebut dengan “Terorisme Pangan” (Food Terorism). Sebuah istilah yang mengungkapkan sebuah upaya nyata yang dilakukan oleh musuh-musuh islam untuk merusak dan menyakiti kaum muslimin. Upaya tersebut berupa produksi bahan-bahan oangan yang dibuat dengan bahan baku yang membahayakan tubuh dan akal pikiran. Bahan-bahan makanan ini kemudian diekspor ke negara-negara Islam untuk dikonsumsi oleh kaum muslimin. Sehingga ketika secara luasnterus menerus mereka memakannya, maka lambat laun bahayanya akan menyerang kondisi tubuh dan akal mereka.7

Dalil kehalalan dalam al-Qur’an, yaitu sebagai berikut :

Firman Allah Swt dalam Surah al-A’raf:157 : “ (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka didapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma”ruf dan melarang mereka yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segla yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka, maka orang-orang yang beriman kepadanya. Memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang dan diturunkan kepadanya (al-Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Selain ayat di atas, terdapat pula firman Allah Swt tentang dalil kehalalan, yaitu : “ Pada hari itu dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan amkanan kamu yang halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mahar mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. Siapa yang kafir seudah beriman (tidak menerima hukum-hukum islam) maka amalannya hancur dan ia di hari kiamat termasuk prang-orang rugi.”

7 Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika menurut

(8)

Mengingat bahwa bahaya-bahaya makanan non halal yang dikonsumsi oleh konsumen muslim dalam korelasinya dengan ibadah dan amalan kaum muslimin supaya diterima oleh Allah Swt, maka setiap konsumen muslim wajib dan berhak mengetahui produk-produk yang diharamkan dalam makanan. Pengetahuan akan hal tersebut harus disertai dengan kriteria-kriteria dan ketentuan-ketentuan yang ada, sehingga setiap konsumen muslim terhindar dari produk-produk yang diharamkan.

Makanan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan dan minuman.8

Kata halal berasal dari bahasa Arab yang berarti “melepaskan” dan “tidak terikat”, secara etimologi halal berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya.9 Atau diartikan sebagai sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya dunia dan ukhrawi. Sedangkan

thayyib berarti makanan yang tidak kotor atau rusak dari segi zatnya, atau tercampur benda najis dengan pengertian baik. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan yang mengundang selera konsumennya dan tidak membahayakan fisik serta akalnya, yang secara luas dapat diartikan dengan makanan yang menyehatkan. 10

Pengaturan penggunaan produk halal di Indonesia, memiliki dua hal yang saling terkait, yaitu sertifikasi halal dan labelisasi halal. Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai syariat islam melalui pemeriksaan yang terperinci oleh LPPOM MUI. Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan izin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang (Badan POM). 11

Adapun lebelisasi halal adalah perizinan pemasangan kata “HALAL” pada kemasan produk dari suatu perusahaan oleh Badan POM. Izin pencantuman label halal pada kemasan produk makanan yang dikeluarkan oleh Badan POM didasarkan rekomendasi MUI dalam bentuk sertifikat halal MUI. Sertifikat halal MUI dikeluarkan oleh MUI berdasarkan hasil pemeriksaan LP POM MUI. 12

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumentelah

memberikan perlindungan bagi umat Muslim. Dalam Pasal 8 Ayat (1) diatur bahwa:

pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label.

Selanjutnya dalam Pasal 10 PP 69/1999 mengenai kewajiban produsen produk pangan untuk mencantumkan label halal pada makanan yang dikemas yaitu : setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat muslim, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label. Penjelasan dari Pasal 10 PP Nomor 69/1999 :

8 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan

9 Lois Ma’luf, Al-Munjid, (Beirut-Lebanon: Dar El-Machreq Sarl Publisher, 1986), h.146 10 Aisjah Girindra, Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal, (Jakarta: LP POM MUI,2005), h.20. 11Ibid., h. 69.

(9)

Pencantuman keterangan halal atau tulisan “halal” pada label pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam. Penggunaan bahasa atau huruf selain bahasa Indonesia dan huruf Latin harus digunakan bersamaan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin. Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai arti yang sangat penting dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat yang beragama Islam agar terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram). Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi harus pula dapat dibuktikan dalam proses produksinya.

Prosedur dan Pengawasan Penggunaan Sertifikat Halal

Setiap produsen yang berkeinginan mecantumkan label halal pada produknya, harus mengisi formulir melalui Departemen Kesehatan. Hal ini terkait dengan Piagam Kerja Sama Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan Majelis Ulama Indonesia Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada Makanan yang menyebutkan bahwa pelaksanaan pencantuman label halal lebih lanjut diatur oleh Departemen Kesehatan yang didasarkan atas hasil pembahasan bersama antara Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan Majelis Ulama Indonesia.

MUI dalam melaksanakan tugasnya membentuk Lembaga Pengkajian Pangan,Obat, dan Kosmetika (LP POM). Lembaga ini tidak ada hubungannya dengan pemerintah dan merupakan badan otonomi ( autonomy body) dibawah MUI. Kendati begitu, Menteri Agama Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, dan Ketua Majelis Ulama Indonesia, masuk dalam jajaran Dewan Penasehat Lembaga. Tugas LP POM adalah hanya melakukan pengkajian secara ilmiah terhadap bahan-bahan pangan, dan tidak berwenang dalam mengeluarkan fatwa.

Berdasarkan Piagam Kerja Sama Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan Majelis Ulama Indonesia tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada Makanan, disepakati bahwa produk makanan dan minuman yang beredar dapat dinyatakan halal atas dasar Fatwa dari MUI, setelah melalui serangkaian pemeriksaan (audit) di lokasi produsen dan pengujian laboratorium dengan secara seksama.13 Berdasarkan Piagam Kerja Sama tersebut MUI memiliki kewenangan secara yuridis untuk menerbitkan Fatwa MUI tentang kehalalan suatu produk makanan atau disebut dengan Sertifikat Halal MUI.

Terkait dengan keselamatan konsumen muslim baik secara akidah, rohaniah maupun jasmaniah, dalam mengonsumsi produk makanan sangat bergantung pada informasi produk makanan tersebut. Maka informasi yang menyesatkan konsumen muslim tentang kehalalan produk makanan akan merusak keselamatan akidah, rohaniah, dan jasmaniah konsumen muslim tersebut. Hal ini pulalah yang mengharuskan produk makanan memiliki label, untuk mementukan apakah produk tersebut halal atau haram untuk dikonsumsi umat islam. Karena sesungguhnya antara halal dan haram harus jelas,

(10)

maka produk makanan juga harus memiliki kepastian hukum apakah produk makanan tersebut halal atau haram untuk dikonsumsi umat islam.

(11)
(12)

Setiap produsen mendaftarkan seluruh produknya yang yang diproduksi dalam satu lokasi dan mendaftarkan seluruh pabrik pada lokasi yang berbeda yang menghasilkan produk dengan merek yang sama.15 Tim Auditor LP POM MUI akan melakukan pemeriksaan/ audit ke lokasi produsen setelah formulir beserta lampirannya dipeiksa oleh LP POM MUI. Hasil pemeriksaan/audit dan hasil laboratprium dievaluasi dalam Rapat Auditor LP POM MUI. Jika telah memenuhi persyaratan, maka dibuat hasil audit untuk diajukan kepada Sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputus kehalalannya. 16

Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi persyaratan yang ditentukan. Sertifikat halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia setelah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI. Sertifikat halal berlaku selama dua tahun sejak diterbitkan dan harus mengikuti prosedur perpanjangan sertifikat halal untuk mendapatkan sertifikat halal yang baru.17Sertifikasi halal yang diterbitkan oleh MUI berdasarkan Sidang Komisi Fatwa telah mendapatkan legitimasi yang kuat, menjadi landasan dan pijakan kewenangan Departemen Kesehatan cq. Direktorat Jenderak POM untuk menerbitkan izin pencantuman label halal pada kemasan suatu produk makanan.18 Terkait dengan perpanjangan sertifikat halal, produsen harus memulainya dari awal dengan mengisi formulir pendaftaran yang disediakan LP POM MUI. Pengisian formulir disesuaikan dengan perkembangan terakhir produk, perubahan bahan baku, bahan tambahan dan penolong, serta jenis pengelompokan produk harus diinformasikan kepada LP POM MUI. Prosedur pemeriksaan sertifikat halal akan dilakukan seperti pendafaran produk baru.19

Dalam melaksanakan tugasnya, seperti yang telah disebutkan di atas, LP POM tidak berhak menetapkan halal untuk produk-produk yang dikajinya, karena penetapan halal tersebut adalah wewenang penuh dari Komisi Fatwa MUI. Para ahli teknologi pangan melakukan pengkajian terhadap produk-produk pangan. Sedangkan yang berhak menetapkan kehalalan atas produk tersebut hanya para ulama saja. Para ahli teknologi pangan adalah para pakar dalam bidang pangan, sedangkan para ulama adalah para pakar dalam bidang halal-haram.

Pemerintah Indonesia sendiri tidak mempunyai standar khusus mengenai halal-haramnya suatu produk. Hal ini sangat berbeda dengan negara lain yang telah mempunyai standar halal. Sebagai contoh, Lembaga Sertifikasi Halal di Malaysia merupakan badan pemerintah yang resmi. Lembaga yang disebut JAKIM ini melaksanakan dan mengaplikasikan Malaysian standard yang dibuat oleh pemerintah Malaysia. Berbeda halnya dengan di Indonesia. Lembaga Sertifikasi Halal di Indonesia merupakan organisasi non pemerintah ( Non-Governmental Organization atau NGO).

Memang benar, sebagaimana telah disebutkan di depan ketika membahas tentang Lembaga Sertifikasi Halal di Indonesia, Pemerintah Indonesia mensyaratkan daging yang diimpor dari luar negeri harus halal dan disembelih berdasarkan syarat Islam, karena

14 http://www.ukmkecil.com/sertifikat-halal/alur-prosedur-sertifikasi-halal-mui diakses pada 17 Mei 2014 15 Aisjah Girindra, Op. cit., h.125

16 Aisjah Girindra, Op. cit., h.126 17 Ibid.

(13)

mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Meskipun demikian, dalam hal standar syariah tentang daging impor tersebut, pemerintah menyerahkan mekanismenya kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI). 20

Dalam pengawasan sertifikat halal LP POM MUI hanya mensyaratkan perusahaan wajib menandatangani perjanjian untuk menerima Tim Inspeksi Mendadak LP POM MUI sewaktu-waktu dan perusahaan berkewajiban menyerahkan laporan audit internal setiap enam bulan setelah terbitnya sertifikat halal. Padahal banyak produk yang beredar di tengah-tengah masyarakat dengan menggunakan label halal namun tidak memiliki sertifikat halal. Bukankah hal tersebut juga harus ditekan dan diawasi perkembangannya, karena penggunaan label halal secara illegal merupakan tindak pidana.21

Hal lain yang perlu menjadi sorotan yaitu pengawasan terhadap restoran-restoran yang beroperasi setiap hari. Meski diantara mereka sudah mengantongi sertifikat halal MUI, tetapi apakah masyarakat, pemerintah dan lembaga yang berhak melakukan pengawasan bisa menjamin bahwa makanan yang dimasak aman untuk dikonsumsi, dalam hal ini kehalalan tersebut bisa jadi mengalami perubahan karena telah dicampuri oleh bahan makanan tambahan non halal.

Pemerintah melalui menteri atau menteri teknis sesuai dengan ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam melaksanakan pengawasan melibatkan peran masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Tetapi dalam substansi pasal ini pemerintah menitikberatkan peran pengawasan kepada masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dibanding dengan peran pemerintah sendiri. Terkait dengan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga tersebut di atas atas barang dan/jasa yang beredar di pasar, dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan/survey. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang resiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik bidang usaha.22 Namun pada prakteknya upaya pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut tidak mudah untuk dilakukan karena kondisi masyarakat yang cenderung apatis dengan permasalahan yang sedang berkembang, yang hanya melaporkan kepada pihak yang berwenang tanpa melakukan upaya lebih lanjut.

KESIMPULAN

Pemerintah negara kita sampai saat ini belum menetapkan standar halal atau Standar Syariah Indonesia. Pemerintah menunjuk LP POM untuk melakukan penelitian dan pengkajian terhadap produk makanan. Lembaga di bawah naungan MUI ini hanya mengkaji hasil penelitian yang selanjutnya MUI lah yang berhak mengeluarkan fatwa melalui sidang Komisi Fatwa MUI. Anggota Komisi Fatwa MUI yang sejumlah 44 orang, ketika menetapkan dan mengeluarkan fatwa halal tidak menggunakan standar syariah terhadap produk-produk pangan dan sembelihan

20 Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika menurut

Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2013) hal.43

21 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(14)

tersebut. Karena tidak adanya standar, mereka hanya berijtihad dari teks-teks agama. Di luar konteks sertifikasi halal, produsen dalam hal untuk mendapatkan pengakuan bahwa produk makanan halal untuk dikonsumsi, harus melewati tahap pelabelan. Karena yang berwenang untuk melakukan sertifikasi halal dan label halal adalah dua institusi yang berbeda, maka pelaksanaan dua proses tersebut terkesan rumit. Pemerintah Indonesia seharusnya segera menetapkan institusi yang berwenang dalam melakukan sertifikasi halal dan label halal agar tidak menyulitkan para pelaku bisnis. Mengingat kompleksitas yang timbul, masyarakat berharap segera disahkannya Rancangan Undang (RUU) Jaminan Produk Halal menjadi Undang-Undang. Hal ini diharapkan menjawab problema-problema yang ada pada negara kita.

Untuk memelihara kepentingan konsumen muslim dunia dan memperkenalkan kepada non-muslim tentang urgensi kehalalan dalam masalah pangan, Lembaga-lembaga Sertifikasi Halal di berbagai negara telah menetapkan produk-produk halal bagi kaum muslimin. Untuk melakukan tugas tersebut, pengelola lembaga-lembaga telah membuat standar syariah yang dipakai. Seperti di negara-negara Eropa, Amerika, Asia dan dan juga di Afrika mempunyai standar halal yang berbeda. Maka perlulah dibuat standar halal yang bersifat internasional atau halal yang mendunia untuk masalah ini.

DAFTAR BACAAN

Al-Munjid, M , (Beirut-Lebanon: Dar El-Machreq Sarl Publisher, 1986)

Colin, P, Business English Dictionary, (London: Linguaphone Institute Limited)

Girindra, A, Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal, (Jakarta: LP POM MUI,2005)

Mertokusumo, S, Mengenal Hukum: suatu pengantar, (Liberty,Yogyakarta,198).

Rajagukguk, E, Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen dalam Era Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati (Pentunting), Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, (Bandung,2000)

Sidabalok, J, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Citra Aditya Bakti, Bandung,2006) Yaqub Mustafa, A,, Kriteria Halal Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika menurut Al Qur’an dan Hadis, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2013)

UNDANG-UNDANG

Referensi

Dokumen terkait

Teknik analisa data yang digunakan adalah Structural Equation Modeling (SEM). Secara parsial didapatkan hasil bahwa ada pengaruh yang signifikan dan positif Product,

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (a) Bagi penulis, hasil penelitian ini berguna untuk dapat mengetahui efektivitas penerapan sistem e-filing

Kewajiban yang diberikan oleh negara kepada MK dalam bentuk memberikan putusan dalam proses pemakzulan Presiden dan atau Wakil Presiden merupakan kewajiban istimewa,

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi kebutuhan ilmiah dalam pengembangan pemanfaatan daun Sukun (Artocarpus altilis) sebagai

neuroeconomics adalah mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perilaku pelaku ekonomi di pasar dengan mengidentifikasi bias-bias psikologi yang mempengaruhi perilaku

Makeda, Libna, Lakhis, Gezer, Eglon, Heb- ron dan Debir, seluruh negeri itu, Pegunungan, Tanah Negeb, Daerah Bukit dan Lereng Gunung, beserta semua raja mereka,

Perbedaan kehilangan energi dari dua rangkaian eksperimen klasik dan perbedaan termperatur permukaan media pemanas, keduanya dapat dijelaskan oleh isolasi yang baik dari