• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP NARAPIDANA YANG MELAKUKAN PENGANIAYAAN DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Bandarlampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP NARAPIDANA YANG MELAKUKAN PENGANIAYAAN DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Bandarlampung)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP NARAPIDANA YANG MELAKUKAN PENGANIAYAAN DI DALAM LEMBAGA

PEMASYARAKATAN

(Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Bandarlampung)

(Jurnal)

Oleh

SENNA T.C PAMUNGKAS

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP NARAPIDANA YANG MELAKUKAN PENGANIAYAAN DI DALAM LEMBAGA

PEMASYARAKATAN

(Study Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung) Oleh

Senna T.C. Pamungkas, Diah Gustiniati, Eko Raharjo (E-mail : justsenna09@gmail.com)

Narapidana adalah subjek hukum yang kebebasannya terpenjarakan untuk sementara waktu dalam penempatan ruang isolasi jauh dari lingkup masyarakat, oleh karena itulah mereka juga perlu diperhatikan kesejahteraannya di dalam sel tersebut. Tindak pidana yang kerapkali menimpa narapidana di dalam penjara adalah tindak pidana yang melibatkan unsur-unsur kekerasan di dalamnya, baik yang dilakukan oleh sesama narapidana, maupun oleh Petugas Lapas. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah : Bagaimanakah proses penegakan hukum terhadap narapidana yang melakukan penganiayaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan Apakah yang menjadi faktor penghambat penegakan hukum terhadap narapidana yang melakukan penganiayaan di dalam lapas?. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.. Adapun sumber data dalam penelitian ini menggunakan data primer, sekunder dan tersier. Data primer diperoleh dari objek penelitian lapangan. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Data tersier diperoleh dari kamus yang relevan dalam memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder dengan materi penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: Penegakan hukum bagi narapidana yang melakukan tindak pidana penganiayaan adalah dengan tiga tahap yakni Tahap Formulasi, Tahap Aplikasi, dan Tahap Eksekusi. Faktor penghambat bagi narapidana yang melakukan tindak pidana penganiayaan di dalam lapas disebabkan oleh faktor penegak hukumnya sendiri, Faktor Sarana dan Fasilitas yakni melebihi kapasitas narapidana di dalam lapas, dan Faktor Masyarakat. Berdasarkan kesimpulan di atas saran penulis adalah: Sebaiknya perlu menambah personil serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada, selain itu menambah daya tampung dan membangun suasana keakraban dan kasih sayang kepada sesama narapidana sehingga terminimalisirnya keributan di dalam lapas.

(3)

ABSTRACT

LAW ENFORCEMENT AGAINST INMATES COMMITTED VIOLENCE IN CORRECTIONAL FACILITY

(A Study In Correctional Facility Class I Bandar Lampung) By

Senna T.C. Pamungkas, Diah Gustiniati, Eko Raharjo (E-mail : justsenna09@gmail.com)

Inmates are subject of law in which their freedom are imprisoned in the isolated room away from the public sphere, which is why their well-being need to be considered. The possible criminal acts committed by inmates is in a form of criminal offense involving elements whether committed by fellow inmates, or by prison's officer. The problem in this research are formulated as follows: How is the implementation of law enforcement against inmates committed violence in correctional facility? and What are the inhibiting factors in the enforcement of inmates committed violence in correctional facility? This research used normative and empirical approaches. The data sources consisted of primary, secondary and tertiary data. The primary data were obtained from objects of field study (observation). The secondary data were obtained through literature study. While the tertiary data sources were obtained from relevant dictionary in search of the instructions and explanations of the primary and secondary legal materials. Based on the results and discussions of the research, it can be concluded that: The implementation of law enforcement against inmates committed violence has been done through three phases, namely: Formulation Phase, Application Phase, and Execution Phase. The inhibiting factors against the inmates committed violence in prison has been caused by its own law enforcement factor, factor of infrastructure and facility that exceeded the capacity of inmates in prisons, and community factors. Based on the above conclusion, it can be suggested that: It is necessary to add personnel and improve the quality of human resources, as well as improving the capacity and establishing an atmosphere of intimacy and compassion among fellow inmates so it can minimalize the occurence of violence happen inside the prison.

(4)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Narapidana adalah subjek hukum yang kebebasannya terpenjarakan untuk sementara waktu dalam penempatan ruang isolasi jauh dari lingkup masyarakat, oleh karena itulah mereka juga perlu diperhatikan kesejahteraan-nya di dalam sel tersebut terlebih lagi seorang napi yang hidupnya terisolisasi oleh umum.

Tindak pidana yang kerapkali menimpa narapidana di dalam penjara adalah tindak pidana yang melibatkan unsur-unsur kekerasan di dalamnya, baik yang dilakukan oleh sesama narapidana, maupun oleh petugas Lapas.

Declaration Against Torture and Other Cruel in Human Degrading Treatment or Punishment (adopted by the general assembly, 9 Desember 1975), dengan tegas melarang semua bentuk:1 “penganiayaan atau tindakan kejam lain, perlakuan dan pidana yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia dan merupakan pelanggaran hak-hak dasar manusia”.

Pembinaan narapidana mengandung makna memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera

1Declaration Against Torture and Other Cruel

in Human Degrading Treatment or Punishment,

dalam bukum karangan Nyoman Serikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, , hlm 36

dalam masyarakat, dan selanjutnya berpotensi luhur dan bermoral tinggi.2 Dalam menghindari tindakan yang mengandung penyiksaan atau bentuk kekerasan lainnya, maka pembinaan narapidana harus didasarkan atas pedoman-pedoman yang telah diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor

12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, yaitu:3

1) Pengayoman;

2) Persamaan perlakuan dan

pelayanan; 3) Pendidikan; 4) Pembimbingan;

5) Penghormatan harkat dan martabat manusia;

6) Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Menurut Muladi, Pemasyarakatan merupakan suatu proses pembinaan narapidana yang sering disebut

theurapetics proccess, yakni membina narapidana dalam arti menyembuhkan seseorang yang tersesat hidupnya karena kelemahan-kelemahan tertentu.4

Bertolak dari pemikiran Muladi di atas, jika narapidana dianggap sebagai orang yang sedang sakit atau tersesat, maka pembinaan yang dikenakan terhadapnya harus benar-benar arif dan bijaksana. Bila dianalogikan sebagai orang sakit, tentunya masing-masing narapidana mempunyai penyakit yang berbeda-beda, dan proses penyembuhannya dan obatnya pun berbeda juga, demikian pula halnya dengan pembinaan narapidana, petugas Lapas seharusnya

2 Bambang Purnomo, Pelaksanaan Pidana

Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan,

Penerbit Liberty, 1986, hlm.187

3 Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan

4 Muladi, HAM, Politik , dan Sistem Peradilan

Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang,

(5)

memberikan pembinaan yang juga disesuaikan dengan kondisi dari narapidana itu sendiri, tanpa adanya tindakan-tindakan pembinaan di luar kewajaran.

Tindakan kekerasan apapun tidak dibenarkan sebagai salah satu metode pembinaan narapidana. Konsep ini harus dipahami oleh setiap narapidana. Menurut Pasal 5 Code of Conduct for Law Enforcement Officials menegaskan bahwa: “Tak seorang petugas penegak hukum pun boleh menimbulkan, mendorong atau mentoleransi tindakan penyiksan. juga tidak dapat mengemukakan perintah atasan atau keadaan luar biasa sebagai pembenaran penyiksaan”.5 Ketentuan tersebut

mengisyaratkan bahwa kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan yang dikenakan terhadap narapidana.

Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Dalam rangka mencapai tujuan pembinaan narapidana, sistem kepenjaraan ini memberi pedoman yang disebut “Sepuluh prinsip pemasyarakatan”, ialah:6

1) Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara

5 C. De Rover, To Serve and To Protect, PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000, hal 272

6 Nyoman Jaya Serikat Putra, Kapita Selekta

Hukum Pidana, Badan Penerbit UNDIP,

Semarang, 2001, hlm 39

yang baik dan berguna dalam masyarakat;

2) penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara; 3) rasa tobat tidaklah dapat dicapai

dengan menyiksa, melainkan dengan bimbingan;

4) negara tidak berhak membuat seorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga;

5) selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat;

6) pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara;

7) bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila;

8) tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat; 9) narapidana itu hanya dijatuhi pidana

hilang kemerdekaan;

10)Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.

(6)

Seperti contoh kasus lima narapidana menjadi tersangka pembunuhan napi lainnya bernama Sirajudin. Para narapidana itu baru akan menjalani proses hukumnya setelah menjalani hukuman tindak pidana sebelumnya. Lima tersangka adalah Rahman, Anwar, Kusnadi, Asep dan Rojali. Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Bandar Lampung Komisaris Dery Agung Wijaya mengatakan, kelima napi ini dijerat pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan.“Mereka baru bisa diproses setelah selesai menjalani hukumannya di Lapas Rajabasa,”. Para napi yang menjadi tersangka adalah napi yang terlibat kasus pembunuhan berencana dan perampokan.7

Penganiayaan berujung tewasnya narapidana Sirajudin, disebabkan masalah gadai handphone (HP) antarnapi. Dery menerangkan, awalnya permasalahan gadai HP ini antara narapidana bernama Anwar dengan

Sirajudin. Mengetahui ada

permasalahan, rekan napi lain dari blok C2 coba menengahi dengan memanggil Sirajudin, napi dari blok B2, ke blok C2.

Saat mediasi berlangsung, situasi malah tambah panas. “Terjadi cekcok mulut antara korban dengan napi lainnya,” ujar Dery,. Dery mengatakan, Sirajudin lalu tarik menarik dengan napi lainnya keluar kamar. Ini diikuti oleh narapidana lain. Disitulah lalu terjadi pengeroyokan terhadap Sirajudin. Kepala Sirajudin dilempar pot dan rak sepatu plastik. Para narapidana memukuli Sirajudin. Kusnadi dan

7

http://lampung.tribunnews.com/2016/03/20/ini- kronologi-pembunuhan-napi-di-lapas-rajabasa-kepala-korban-dilempar-pot, diakses Pada Tanggal 27 September 2016

Rahman lalu menusuk Sirajudin menggunakan senjata tajam.8

Penyidik Satuan Reserse

Kriminal Polresta Bandar Lampung menetapkan lima narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung (Lapas Rajabasa) sebagai tersangka pembunuhan napi bernama Sirajudin. Lima tersangka ikut dalam pengeroyokan hingga mengakibatkan Sirajudin meninggal dunia. Kelima tersangka adalah Rahman, Anwar, Kusnadi, Asep dan Rojali.9

Menjadi fokus utama adalah ketika narapidana yang sudah mendapatkan vonis hakim berupa pidana penjara kemudian di bina di Lembaga Pemasyarakatan kemudian narapidana tersebut melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap sesama narapidana apakah dalam hal ini narapidana tesebut akan diadili ulang apakah cukup ditambah masa tahanannya/hukumannya.

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka penulis akan melakukan penelitian dan menuangkannya ke dalam skripsi berjudul : “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Narapidana Yang Melakukan Penganiayaan di Dalam Lembaga Pemasyarakatan”

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah proses penegakan

hukum terhadap narapidana yang melakukan penganiayaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan?

b. Apakah yang menjadi faktor penghambat penegakan hukum terhadap narapidana yang

(7)

melakukan penganiayaan di dalam lapas?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.. sumber data dalam penelitian ini menggunakan data primer, sekunder dan tersier. Data primer diperoleh langsung dari objek penelitian lapangan. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Data tersier diperoleh dari kamus yang relevan dalam memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder dengan materi penelitian ini. Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif

II. PEMBAHASAN

A. Proses Penegakan Hukum Terhadap Narapidana Yang Melakukan Penganiayaan Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan

Berkenaan dengan penegakan hukum terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana padahal narapidana tersebut sedang menjalani hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan hal ini sudah diatur di dalam Pasal 65 ayat (1) KUHP yaitu: “Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.”

Narapidana yang melanggar peraturan dan telah di tindak sesuai kesalahannya dan mengakui dan sadar atas kesalahannya kembali dibina sesuai dengan program pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan yakni dengan pembinaan mental spritual, pendidikan agama, dan budi pekerti. Sarana dan prasarana pembinaan agama salah satu

hal yang dianggap penting dalam pembinaan karena dengan meyakini kepercayaan dari agama masing-masing maka akan mendapatkan hikmah yaitu ketenangan hati.

Pembinaan mental narapidana ditujukan untuk meningkatkan mental narapidana sehingga dapat mempunyai mental yang lebih baik setelah dilaksanakan pembinaan. Dengan demikian selama menjalani masa pidananya narapidana dapat melakukan suatu kegiatan yang bermanfaat sekaligus mengatasi rasa bosan selama berada di dalam lembaga pemasyarakatan, dan ditujukan agar selama masa pembinaan dan sesudah selesai menjalankan masa pidananya narapidana berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap optimis terhadap masa depannya.

Tindakan yang dilakukan lapas tersebut adalah suatu implementasi dari usaha penanggulangan kejahatan pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana) yang dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana, yang terdiri dari subsistem Kepolisian, subsistem Kejaksaan, subsistem Kehakiman dan subsistem Lembaga Pemasyarakatan.

Menurut Giyono selaku Kepala Bidang Pembinaan Napi pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung bahwa agar tidak terulang lagi kejadian serupa yakni narapidana berkelahi dan melakukan penganiayaan terhadap narapidana lain dibutuhkan langkah-langkah seperti berikut:10

10 Hasil Wawancara dengan Giyono di Lembaga

(8)

Dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana dibutuhkan suatu metode pembinaan. Dengan menerapkan metode-metode tertentu diharapkan pembinaan yang dilakukan dapat efektif dan efisien. Selain itu diharapkan pula tercapainya tujuan-tujuan pembinaan seperti misalnya menyadarkan narapidana sehingga menjadi baik dalam hidup bermasyarakat.

Menurut Giyono selaku Kepala Bidang Pembinaan Napi pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung. Metode-metode yang digunakan adalah melalui pendekatan keatas dan kebawah Pembinaan ini diterapkan oleh petugas Lapas terhadap narapidana sesuai dengan kemampuan dan kepribadian narapidana. Pembinaan tersebut merupakan pendekatan yang memperbolehkan narapidana untuk memilih atau menentukan wujud pembinaan yang diinginkan dan sesuai dengan bakatnya.11

a. Metode pembinaan dari atas kebawah

dapat kita ketahui pada waktu petugas menghimbau narapidana untuk menjalankan wujud pembinaan kepribadian yang disediakan Lapas tanpa terkecuali misalnya ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Seluruh narapidana yang beragama Islam dihimbau mengikuti pengajian setiap hari Rabu dan sholat berjamaah, sedangkan umat Kristen dihimbau mengikuti kebaktian di Gereja. Tujuan dari metode ini untuk meningkatkan iman kepercayaan narapidana sesuai dengan agama yang dianutnya dan menyadarkan pribadi narapidana agar mengakui kesalahannya dan tidak mengulangi tindak pidana lagi.

11 Hasil Wawancara dengan Giyono di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung, Pada Tanggal 24 November 2016 pukul 10.05

b. Pembinaan dilakukan dengan menggabungkan metode perorangan dan metode kelompok.

Pembinaan dengan mempergunakan metode gabungan ini diterapkan dengan

menyesuaikan kemampuan dan

kepribadian narapidana. Setiap narapidana memiliki latar belakang pendidikan, latar belakang kehidupan masyarakat, sikap dan tingkah laku serta bakat dan minat yang berbeda-beda, sehingga mempengaruhi kemampuan serta kepribadian narapidana masing-masing. Berdasarkan hal tersebut, pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana tidak sama satu dengan yang lain. Metode ini diterapkan pada saat petugas memberi bimbingan konseling terhadap narapidana. Untuk melakukan efisiensi waktu, petugas mengelompok-kan narapidana-narapidana yang melakukan suatu kejahatan yang sama dengan jumlah narapidana dalam satu kelompok terdiri kurang lebih 10 (sepuluh) orang.

c. Pembinaan yang diberikan bersifat persuasif edukatif

Pembinaan yang dilakukan oleh petugas bertujuan untuk mengubah perilaku narapidana melalui keteladanan dan memperlakukan mereka secara adil. Dengan pembinaan semacam itu, diharapkan narapidana dapat menunjukkan sikapnya yang terpuji. Disamping itu petugas lapas juga menganggap bahwa narapidana merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki harga diri dan martabat seperti manusia yang lainnya.

(9)

sehingga narapidana dapat sedikit demi sedikit mengerti mengenai materi yang disampaikan. Penyampaian materi oleh petugas disampaikan sesuai dengan kemampuan masing-masing narapidana.

e. Pembinaan dilakukan dengan narapidana bersifat kekeluargaan. Pembinaan ini dilakukan misalnya pada saat petugas memberi bimbingan konseling pada narapidana. Dalam memberikan bimbingan, petugas tidak memandang narapidana sebagai seorang yang bersalah, tetapi ia menganggap narapidana sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki Hak asasi dan harus dihargai. Petugas menganggap narapidana sebagai bagian dari anggota keluarga. Dengan adanya metode ini narapidana dapat menyampaikan keluhan dan masalah yang dihadapi pada petugas dengan terbuka.

f. Ada pembedaaan pembinaan kepribadian antar narapidana yang satu dengan yang lain.

Meskipun petugas memperlakukan secara adil terhadap narapidana, bukan berarti pembinaan kepribadian antara narapidana yang satu dengan yang lain sama. Ada pembedaaan pembinaan kepribadian antara narapidana yang satu dengan yang lain. Pembedaaan didasarkan pada jenis kejahatan yang dilakukan misalnya pengelompokan narapidana yang melakukan kejahatan dengan ancaman hukuman yang ringan (pidana kurungan, pidana penjara dalam jangka waktu kurang dari 3 bulan), kejahatan dengan ancaman hukuman yang berat (pidana penjara seumur hidup, pidana penjara lebih dari tiga bulan), recidive, berdasarkan kemampuan dan kepribadian narapidana masing-masing. Intensitas Pembinaan kepribadian antara narapidana recidive

dengan narapidana yang lain juga tidak sama.

Pembinaan terhadap recidive dilakukan secara intensif daripada narapidana-narapidana yang lain. Pembinaan

dilakukan dengan melakukan

bimbingan konseling, pemberian materi tentang pengenalan kepribadian, pemberian motivasi terhadap narapidana dan sebagainya. Hal ini dilakukan agar narapidana recidive

dapat benar-benar mengenal dirinya sendiri, memiliki tingkat kesadaran yang tinggi dan tidak mengulangi perbuatannya.

g. Dalam penyampaian materi pembinaan, petugas di lapas menjunjung etos kerja yang tinggi. Dalam menyampaikan sebuah materi, selain dibutuhkan metode-metode pembinaan, juga dibutuhkan rasa kesungguhan dan etos kerja yang tinggi dalam diri petugas. Apabila tidak ada rasa ikhlas, tanggung jawab dalam menanamkan kesetiaan, ketaatan dan keteladanan dalam diri narapidana, penyampaian materi tidak dapat diterima secara maksimal bagi narapidana.

Upaya penanggulangan pencegahan larinya warga binaan dari lembaga pemasyarakatan dilakukan sebagai berikut:

(1) Peningkatan disiplin kerja petugas Lembaga Pemasyarakatan dengan cara absen setiap pagi begitu pula dengan warga binaan dilakukan absen setiap pagi disel-sel warga binaan;

(10)

wargabinaan menerima kunjungan dari keluarga, atau sahabat;

(3) Membuka dialog kepada warga binaan sehingga wargabinaan dapat menerima pembinaan Lembaga Pemasyarakatan kepada warga binaan;

(4) Diadakan penggeledahan badan dan pemeriksaan barang-barang atau alat-alat kerja setiap pagi, bagi mereka yang bekerja diluar tembok Lembaga Pemasyarakatan, baik sebelum keluar maupun saat akan masuk. Pemeriksaan dilakukan oleh dua orang petugas penjaga gerbang Lembaga Pemasyarakatan;

(5) Memfungsikan sarana dan prasarana seperti tempat olahraga yaitu lapangan bola, bulu tangkis dan membuat kerajinan tangan seperti menjahit, membuat bingkai dan lain-lain.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada Rizal Effendi selaku Kepala Bidang Administrasi Keamanan dan Ketertiban pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung. Penanggulangan Kejahatan terhadap warga binaan yang melarikan diri dari dalam Lembaga Pemasyarakatan dapat ditempuh dengan 2 cara yaitu penal dan non penal sebagai berikut:12

(1) Penerapan Hukum Pidana (Penal) Lebih menitikberatkan pada sifat penindasan/pemberantasan/penumpasan apabila terjadi tindak pidana maka mereka akan mendapat hukuman yang sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya dan mereka yang melakukan tindak pidana akan dibina dilembaga pemasyarakatan dibimbing dengan pola pembinaan yang sesuai

12 Hasil Wawancara dengan Rizal Effendi di

Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung, Pada Tanggal 24 November 2016 pukul 09.35

dengan mereka, yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan terhadap warga binaan yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan apabila warga binaan tersebut tertangkap kembali maka ia akan mendapatkan tambahan masa hukuman sesuai degnan berapa lama ia melarikan.

Apabila ia melakukan tindak pidana selama ia melarikan diri maka ia akan disidang kembali di pengadilan dan masa tahanannya akan ditambah sesuai dengan perbuatan tindak pidana yang dilakukannya. Setelah ia dijatuhi hukuman kembali maka tingkat penjagaan pada dirinya akan diperketat dan warga binaan tersebut tidak boleh menerima kunjungan dari keluarga atau sahabat selama waktu yang telah ditentukan dan wargabinaan tersebut tidak mendapatkan remisi dan cuti menjelang bebas akan dicabut.

(2) Pencegahan Tanpa Pidana dan

Mempengaruhi Pandangan

Masyarakat Mengenai Kejahatan dan Pemidanaan (Non Penal)

Lebih menitikberatkan kepada pencegahan/penangkalan/pengendalian hal ini dilakukan sebelum kejahatan terjadi, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif itu antara lain bepusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau

menumbuhsuburkan kejahatan.

(11)

binaan sehingga wargabinaan dapat menerima pembinaan yang diberikan

petugas pembinaan Lembaga

Pemasyarakatan kepada warga binaan.

Memfungsikan sarana dan prasarana seperti tempat olahraga dan membuat kerajinan tangan seperti menjahit, membuat bingkai dan lain-lain. Bagian pengamanan juga meningkatkan keamanan seperti pemeriksaan terhadap barang bawaan yang dibawa keluarga warga binaan pada saat warga binaan menerima kunjungan dari keluarga dan sahabat.

Kemudian diadakan penggeladahan badan dan pemeriksaan barang-barang atau alat-alat kerja setiap pagi, bagi mereka yang bekerja diluar tembok lembaga pemasyarakatan, baik sebelum keluar maupun saat akan masuk.

Pemeriksaan dilakukan oleh dua orang petugas penjaga gerbang lembaga pemasyarakatan, hal itu dilakukan untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan seperti warga binaan yang ingin melarikan diri, warga binaan yang

melawan petugas lembaga

pemasyarakatan yang menyebabkan perkelahian, perkelahian sesama warga binaan yang ada di lembaga pemasyarakatan, selain itu juga warga binaan yang berada di lembaga pemasyarakatan diharapkan apabila telah usai menjalani hukuman keterampilan yang didapat di lembaga pemasyarakatan diharapkan apabila telah usai menjalani hukuman keterampilan yang didapat di lembaga pemasyarakatan diharapkan berguna dan bermanfaat bagi dirinya untuk mencari pekerjaan setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan dan dapat diterima kembali keberadaannya ditengah lingkungan masyarakat.

Menurut peneliti bahwa penerapan sanksi pidana bagi narapidana saja tidak cukup sebagai wujud pembinaan akan lebih efektif lagi agar keamanan kenyamanan di dalam Lembaga Pemasyarakatan agar lebih ditingkatkan mengingat hal tersebut guna untuk menjaga suasana ketertiban di dalam Lembaga Pemasyarakatan hal ini justru sering diabaikan oleh pengelola Lembaga Pemasyarakatan sendiri yang mana suasana di dalam Lembaga Pemasyarakatan sering kali dibuat tidak bersahabat antara penghuni satu dengan lainnya, oleh karena itu tak ayal apabila narapidana berkelahi antara satu dengan yang lainnya.

B. Faktor Penghambat Penegakan Hukum Terhadap Narapidana Yang Melakukan Penganiayaan Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan

Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga "rumah penjara" secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar Narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya. Sistem pemidanaan seharusnya berlandaskan pada filsafat pemidanaan yang sesuai dengan falsafah masyarakat dan bangsanya. Bagi masyarakat dan bangsa Indonesia yang berdasarkan Falsafah Pancasila sudah seharusnya sistem pemidanaan juga berlandaskan nilai-nilai Pancasila.

(12)

ditunjukkan dengan terjadinya berbagai masalah dalam pelaksanaan sanksi pemidanaan tersebut pada lembaga pemasyarakatan. Salah satunya, yakni dengan maraknya perkelahian antara narapidana yang satu dengan yang lainnya, kerusuhan sampai pembakaran serta narapidana melarikan diri yang dilakukan oleh para narapidana terhadap lembaga pemasyarakatan, ini memberikan rasa was-was bagi aparat penegak hukum khususnya bagi petugas lembaga pemasyarakatan, hal ini dikarenakan bukan hanya permasalahan sepele seperti kerusakan listrik dan air. Kerusuhan ini juga menjadi puncak protes narapidana akibat dari perlakuan yang tidak adil dari petugas lapas.

Pelaksanaan penerapan sanksi pemidanaan pada lembaga pemas-yarakatan terutama bagi narapidana yang melakukan tindak pidana penganiayaan sangat ditentukan dengan jenis kasus yang terjadi. Dengan sifat ideal yang menghendaki adanya pembinaan pada narapidana, maka penerapan sanksi pemidanaan tersebut haruslah merujuk pada jenis kasus yang narapidana tersebut lakukan, sehingga pembinaan tersebut akan berjalan secara efektif dan efisien.

Berdasarkan Pasal 5 huruf a terhadap penjelasan atas undang-undang republik indonesia nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan yang dimaksud dengan "pengayoman" adalah perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak

pidana oleh Warga Binaan

Pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat.

Menurut Giyono selaku Kepala Bidang Pembinaan Napi pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar

Lampung. menyikapi faktor

penghambat penegakan hukum terhadap

narapidana yang melakukan

penganiayaan di dalam Lapas dan dikaitkan dengan keberhasilan penegakan hukum dipengaruhi oleh 5 faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu:13

a. Faktor penegak hukum, yaitu pihak

yang membentuk maupun

menetapkan hukum;

Jumlah petugas pengamanan

pemasyarakatan di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas I Rajabasa belum mencukupi sehingga perbandingan jumlah petugas pemasyarakatan dengan narapidana menjadi tidak ideal dan lagi jumlah pembimbing pemasyarakatan dari luar lembaga pemasyarakatan juga perlu ditingkatkan selama ini pembimbing pemasyarakatan masing kurang jumlahnya. Jumlah Petugas Pemasyarakatan yang relatif kurang, relatif kurangnya keikutsertaan petugas pemasyarakatan dalam pelatihan atau

pertemuan ilmiah tentang

pemasyarakatan.

b. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; Telah overkapasitas narapidana yang ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Rajabasa dimana daya tampung narapidana telah melebihi daya tampung lapas sehingga mengakibatkan penanganan pembinaan narapidana dalam lembaga pemasyarakatan tidak maksimal karena tidak seimbangnnya peningkatan kualitas dan kuantitas lembaga pemasyarakatan antara pembimbing pemasyarakatan dengan

13 Hasil Wawancara dengan Giyono di Lembaga

(13)

jumlah narapidana. Overkapasitas tersebut mengakibatkan narapidana antara satu dan yang lain saling berdesak-desakan sehingga mereka rentan terpicu pertengkaran dan situasi dan kondisi lembaga pemasyarakatan masih jauh dari harapan dikarenakan gedung bangunan masih belum layak dan terstandarisasi dan juga kendala yang dihadapi oleh lembaga pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana terkendala jumlah narapidana melebihi kapasitas sehingga kesulitan dalam menindaknya.

Dana merupakan faktor utama yang menjadi penunjang untuk pelaksanaan pembinaan anak didik pemasyarakatan dalam pelaksanaan maka dibutuhkan peralatan dan bahan-bahan. Sebab program pembinaan tidak hanya satu macam saja melainkan banyak macamnya sesuai dengan bidangnya maupun pekerjaannya atau keterampilan yang mungkin diperlukan untuk kebutuhan dan kepentingan bagi mereka setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Kurang atau tidak adanya dana akan berakibat tidak berjalan dan tidak terealisasinya semua program pembinaan bagi anak didik pemasyarakatan karena sangat minimnya dana yang tersedia.

c. Faktor masyarakat yakni, lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan;

Warga binaan di Lembaga

Pemasyarakatan Rajabasa bervariasi, baik ditinjau dari tingkat pendidikan, lama pidana, jenis pidana, kondisi ekonomi warga binaan, asal daerah, suku agama, maupun tingkat residivis. Hal ini dapat menjadi kendala dalam pembinaan warga binaan, karena warga binaan mempunyai karakter berbeda-beda.

Narapidana yang sudah merasa jenuh dan bosan, ada perselisihan antara sesama narapidana disel tahanan, berada

dilembaga pemasyarakatan

menyebabkan narapidana menjadi tertekan dan stress yang dapat mengakibatkan dampak yang lebih buruk yaitu lari dari Lembaga Pemasyarakatan.

Nama Lembaga Pemasyarakatan secara ideal mengandung makna berperan “memasyarakatkan kembali” para warga binaan yang telah melanggar aturan hukum dan norma-norma yang dianut masyarakat. Tujuan lembaga adalah perubahan sifat, cara berfikir dan serta perilaku, proses interaksi edukatif harus dibangun dengan kata lain, jenis dan proses interaksi yang harus bersifat di bangun dengan kata lain, jenis dan proses interaksi yang dikembangkan, baik yang dilakukan antara sesama sipir, warga binaan dan petugas lain, harus bersifat mendidik, memenuhi prinsip kejujuran, keadilan, dan kemanusiaan.

Interaksi edukatif yang intensif sangat diperlukan agar secara kolektif tumbuh kesadaran dari para warga binaan tentang prilaku yang seharusnya dilakukan. begitulah setidaknya fungsi Lembaga Pemasyarakatan dalam tataran ideal. Kendati demikian, tataran ideal seringkali berbeda dengan realitas. Keadaan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia umumnya masih jauh seperti yang kita harapkan. Saat ini kehidupan dalam Lembaga Pemasyarakatan justru masih banyak kehidupan sebaliknya. Lembaga Pemasyarakatan masih dikotori praktik dengan tidak terpuji, sperti perlakuan diksriminatif, penyuapan, pemerasan, dan tindak kekerasan.

(14)

Atmasasmita terbukti menjadi faktor penyebab tindak pidana penganiayaan antara narapidana satu dengan yang lainnya dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung adalah sebagai berikut:

1. Teori Sosialisasi Diferensial

Bahwa didalam Lembaga

Pemasyarakatan terjadi hubungan berinteraksi antar narapidana dengan narapidana, narapidana dengan petugas lembaga pemasyarakatan, narapidana dengan keluarganya. Hubungan ini yang menjadi faktor apabila narapidana tersebut salah bergaul dengan orang yang berprilaku buruk itu dapat menjadi pengaruh tidak baik seperti melawan petugas lembaga pemasyarakatan, berkelahi antar sesama warga binaan atau petugas lembaga pemasyarakatan, dan itu semua dapat mengakibatkan hal yang lebih buruk apabila warga binaan tersebut mempunyai rencana untuk melarikan diri dari lembaga pemasyarakatan. Narapidana tersebut tidak mendapat hak remisi, penjagaan disekitarnya diperketat, pembebasan bersyarat, tidak mendapat kunjungan. Apabila narapidana tersebut berkelakuan baik maka ia bisa mendapat remisi, maka diperlukan kerjasama dan dukungan antar narapidana dengan narapidana, narapidana dengan petugas lembaga pemasyarakatan, narapidana dengan keluarganya. Hal ini supaya dapat berpeilaku dengan baik supaya jika narapidana tersebut telah selesai

menjalani masa hukumannya

narapidana tersebut dapat diterima kembali keberadaannya ditengah masyarakat.

2. Teori Subkultur

Dalam kultur penjara ada dua kelompok yaitu penjaga dan yang dijaga. Hal itu kemudian akan menciptakan lingkungan dimana narapidana memertentangkan

keadaan status quo rejim petugas dan menciptakan standar-standar dan norma-norma yang menurut mereka sah dan bermanfaat bagi mereka. Juga menunjuk perbedaan kekuasaan yang besar antara petugas dan narapidana yang sebagai penyebab kekerasan didalam penjara. narapidana menghadapi suatu dunia baru dan dalam rangka penyesuaian akan saling berhubungan diantara mereka untuk memikirkan strategi guna menghadapi persoalan-persoalan yang ada. narapidana tidak selalu menggunakan kekerasan, tetapi melakukannya jika hal itu dianggap sesuai atau diperlukan untuk memelihara suatu citra atau melindungi kehidupannya. narapidana yang membentuk dan menjadi anggota geng memerlukan suatu program intervensi yang dapat memutuskan keterkaitan mereka dengan subkultur penjahat.

III. PENUTUP A. Simpulan

1. Penegakan hukum pidana terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana penganiayaan di dalam lapas berdasarkan tahapan yang berlaku dibedakan menjadi 3 yaitu:

a. Tahap formulasi. Tahap ini mengacu pada peraturan yang terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun

1995 tentang Lembaga

(15)

disiplin. Dimulai dari disiplin ringan, sedang, sampai yang berat. b. Tahap Aplikasi. Tahap ini pihak Lapas mengamankan terlebih dahulu para narapidana yang melakukan tindakan penganiayaan di dalam lapas dengan memberi sanksi disiplin sesuai dengan ketentuan peraturan di dalam lapas. Lalu para narapidana diserahkan ke aparat penegak hukum yang terdiri dari Polisi dan Jaksa, untuk kemudian dilakukan proses upaya penyelidikan dan penyidikan terhadap narapidana

yang melakukan tindak

penganiayaan berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2013. Kemudian setelah para pihak kepolisian dan kejaksaan mendapatkan bukti-bukti yang cukup dari hasil penyelidikan dan penyidikan terkait narapidana yang melakukan penganiayaan lalu dilanjutkan pada tahap sidang di pengadilan.

c. Tahap Eksekusi. Tahap ini pihak

Lembaga Pemasyarakatan

melaksanakan fungsinya yaitu dengan menjalankan eksekusi terhadap narapidana di dalam penjara berdasarkan peraturan yang berlaku pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun

1995 tentang Lembaga

Pemasyarakatan dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lapas dan Rutan. Dimana di dalam sebuah lapas narapidana memiliki hak dan kewajiban yang mesti dilaksanakan. Aturan tersebut harus dilaksanakan demi membina narapidana untuk menjadi

manusia yang lebih baik ketika nanti akan kembali ke dalam lingkup masyarakat.

Berdasarkan kasus pada Narapidana yang melakukan penganiayaan di dalam lapas terhadap narapidana lain dimana mereka melanggar hukuman disiplin tingkat berat maka kesepuluh narapidana tersebut harus diasingkan ke dalam sel pengasingan ruangan sempit, kemudian dihilangkannya hak mendapatkan remisi, asimilasi, cuti bersyarat, dan pembebasan bersyarat selama tahun berjalan demi kepentingan keamanan dan efek jera.

Sedangkan proses penjatuhan pidana terhadap narapidana yang melakukan penganiayaan di dalam lapas saat ini kasus tersebut prosesnya masih berada pada tingkat pengadilan dan belum pemberian penjatuhan putusan.

2. Faktor penghambat untuk terciptanya penegakan hukum pidana bagi narapidana yang melakukan penganiayaan yang terjadi di dalam lapas terdiri beberapa faktor yaitu: faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, dan faktor masyarakat. Rincian beberapa faktor diatas dijelaskan sebagai berikut:

Faktor Penegak Hukum:

a. Terbatasnya Petugas

Pemasyarakatan yang berada di dalam lapas. Akan sangat sulit menangani dan mengawasi para narapidana bagi para petugas apabila perbandingan jumlah antara narapidana dengan petugas sangat timpang dan jauh berbeda. b. Sistem Pemasyarakatan. Di dalam

lapas Rajabasa pada praktiknya masih terdapat beberapa praktek kotor yang dilakukan oleh beberapa oknum seperti

(16)

diskriminatif, dan bahkan tindak kekerasan.

Faktor sarana atau fasilitas:

a. Situasi di dalam Lapas. Bahwa masih terdapat sebagian gedung bangunan yang belum layak dan terstandarisasi dalam menampung para narapidana.

b. Terbatasnya Dana. Keterbatasan dana yang ada di dalam lapas Rajabasa sangat berpengaruh terhadap program-program yang akan dijalankan kedepannya. c. Narapidana yang melebihi

kapasitas. Di dalam sebuah ruangan sel penjara bahwa di dalam kamar diisi oleh lebih dari 10 orang Narapidana.

Faktor Masyarakat:

a. Narapidana. Di dalam lapas Rajabasa terdapat banyak macam perbedaan karakteristik dari para Narapidana baik dalam perbedaan Agama, ekonomi, tingkatan residivis, tingkatan pendidikan, dan lamanya hukuman kurungan. b. Mentalitas Narapidana. Masih

banyak terdapat Narapidana yang

melakukan

pelanggaran-pelanggaran dengan mengabaikan peraturan-peraturan yang telah diatur di dalam lapas Rajabasa, baik itu pelanggaran ringan bahkan mungkin pelanggaran berat.

DAFTAR PUSTAKA

C. De Rover. 2000To Serve and To Protect. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Muladi, HAM. 2002. Politik, dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.

Purnomo, Bambang. 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan. Penerbit Liberty

Putra, Nyoman Jaya Serikat. 2001.

Kapita Selekta Hukum Pidana.

Semarang: Badan Penerbit UNDIP.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1985 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan;

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

Sumber lain

Declaration Against Torture and Other Cruel in Human Degrading Treatment or Punishment, dalam bukum karangan Nyoman Serikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, , hlm 36

Referensi

Dokumen terkait

PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN SEBAGAI SUB SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM DAN PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ASASI TAHANAN DAN NARAPIDANA ...24..

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mendiskripsikan profil narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen, 2) Mendiskripsikan bentuk-bentuk pembinaan narapidana

PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (STUDI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A SRAGEN). Jurusan Hukum Pidana Program Studi S1

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NARAPIDANA BARU ATAS TINDAK KEKERASAN YANG DILAKUKAN NARAPIDANA LAMA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIB SLEMAN YOGYAKARTA..

Menurut Pasal 1 ayat (3) UU Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

Instrumen hukum berupa sanksi pidana terhadap kasus pelarian narapidana saat ini hanya untuk petugas pemasyarakatan, sebagaimana diatur dalam KUHP dalam pasal 223 dan

“fungsi dan tugas pembinaan pemasyarakatan terhadap warga binaan pemasyarakatan (narapidana, anak negara, klien pemasyarakatan, dan tahanan) dilaksanakan secara terpadu

Untuk menjaga kondisi narapidana, Pasal 16 PP Nomor 28 Atas Perubahan PP Nomor 32 Tahun 1999 menentukan pemeriksaan dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam satu bulan