• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia

LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK

DALAM PERSPEKTIF

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Oleh:

YULIYANTO & YUL ERNIS

LE MBA GA PE MBINAAN KHUSUS ANAK D ALAM PE RSPE KTIF SIS TE M PE RADILAN PID ANA ANAK

LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK

DALAM PERSPEKTIF

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Penelitian ini mencoba menggambarkan kondisi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; dan bagaimana pelaksanaan pembinaan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan dalam upaya mengatasi masalah di Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan pembinaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan pendekatan yuridis-empiris. Jenis penelitiannya adalah deskriptif karena dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan cara pembinaannya. Hasil penelitian merekomendasikan: (a) perlu menyiapkan petugas dari berbagai disiplin ilmu yang terampil dan menguasai bidang psikolog, krimonolog; (b) petugas LPKA harus mampu menjadi pembimbing atau pendidik bagi anak yang berkonflik dengan hukum; (c) penambahan kuantitas pelatihan terkait pembinaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum bagi petugas LPKA; dan (d) perlu kerjasama dengan Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta kementerian terkait agar anak yang berhadapan dengan hukum yang sudah mendapatkan keterampilan selama di LPKA dapat disalurkan untuk bekerja atau melanjutkan pendidikan setelah keluar dari LPKA

ISBN:978-602-6952-36-3

ISBN 602695236-5

(2)
(3)

LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK

DALAM PERSPEKTIF SISTEM

PERADILAN PIDANA ANAK

(4)
(5)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA

Pasal 1

(1) Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 113

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

(6)

LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK

DALAM PERSPEKTIF SISTEM

PERADILAN PIDANA ANAK

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia

2016

(7)

LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK

DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK copyright©

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI

Jl. HR Rasuna Said Kav. 4-5 Kuningan, Jakarta Selatan Website: www.balitbangham.go.id

Tim Penyusun:

Yuliyanto, S.H., M.H.

Yul Ernis, S.H., M.H.

Cetakan Pertama – Desember 2016 Penata Letak: Panjibudi Desain Sampul: Panjibudi

Sumber Gambar Sampul: www.thetimes.co.uk ISBN: 978-602-6952-36-3

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.

Pracetak oleh:

Tim Pohon Cahaya Dicetak oleh:

Percetakan Pohon Cahaya

(8)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menggambarkan kondisi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) setelah berlakunya Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; dan bagaimana pelaksanaan pembinaan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan dalam upaya mengatasi masalah di Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan pembinaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan pendekatan yuridis-empiris. Jenis penelitiannya adalah deskriptif karena dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan cara pembinaannya. Hasil penelitian merekomendasikan: (a) perlu menyiapkan petugas dari berbagai disiplin ilmu yang terampil dan menguasai bidang psikolog, krimonolog; (b) petugas LPKA harus mampu menjadi pembimbing atau pendidik bagi anak yang berkonflik dengan hukum; (c) penambahan kuantitas pelatihan terkait pembinaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum bagi

(9)

petugas LPKA; dan (d) perlu kerjasama dengan Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta kementerian terkait agar anak yang berhadapan dengan hukum yang sudah mendapatkan keterampilan selama di LPKA dapat disalurkan untuk bekerja atau melanjutkan pendidikan setelah keluar dari LPKA.

Kata Kunci: Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Sistem Peradilan Pidana Anak.

(10)

SAMBUTAN

Puji dan syukur, Saya haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kekuatan lahir dan bathin kepada tim peneliti, sehingga mampu menyelesaikan penelitian yang berjudul Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Anak.

Secara yuridis Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak telah merubah paradigma dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan seluruh proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Substansi yang paling mendasar dalam Undang- Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi, yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mengamanatkan bahwa anak yang yang berkonflik dengan hukum harus

(11)

ditempatkan dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan harus mendapatkan pembinaan yang layak dan ramah anak.

Oleh sebab itu, penelitian ini memiliki dua tujuan yakni, pertama untuk mendapatkan gambaran kondisi Lembaga Pembinaan Khusus Anak setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;

kedua pembinaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak sesuai dengan amanat Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Sebagai layaknya suatu penelitian tentu tidak terlepas dari kekurangan, namun saya sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada tim peneliti yang tetap semangat menunaikan tugas untuk menyelesaikan penelitian ini, termasuk juga kepada semua pihak yang telah membantu. Akhirnya, saya berharap hasil penelitian ini dapat berguna bagi semua pihak, khususnya stakeholder terkait yang terlibat pembinaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

Jakarta, Desember 2016 Kepala Badan

Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM,

Y. Ambeg Paramarta, SH., M.Si NIP. 19650322 198703 1 002

(12)

KATA PENGANTAR

Sebagai umat beragama kami menghaturkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas perlindungan dan kemudahan-Nya, penelitian yang berjudul Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Anak telah selesai dan sesuai dengan apa yang direncanakan.

Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan setelah dua tahun diberlakukannya undang-undang tersebut, berubahlah semua nomenklatur Lembaga Pemasyarakatan Anak menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Pada tanggal 5 Agustus 2015 Menteri Hukum dan HAM meresmikan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di Jalan Arcamanik Kota Bandung, yang juga diikuti provinsi lainnya. Hal ini merupakan wujud kesiapan Kementerian Hukum dan HAM dalam mengemban amanat dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012.

Beranjak dari pemahaman tersebut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum menganggap perlu untuk melaksanakan kegiatan penelitian terkait kondisi Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan bagaimana pembinaan terhadap

(13)

anak yang berhadapan dengan hukum. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebuah bahan rekomendasi bagi pengambil kebijakan terkait upaya pembinaan anak yang berhadapan dengan hukum dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang tepat sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Kami menyadari bahwa penelitian ini belum sepenuhnya sempurna, sehingga tetap membutuhkan kritik dan saran dari berbagai pihak. Namun demikian, muatan substansi dan rekomendasi dalam penelitian ini kami nilai layak untuk dijadikan rujukan dalam melakukan pembinaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, mengingat penelitian ini telah dilakukan sesuai dengan pedoman yang berlaku.

Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada pihak- pihak yang telah membantu tim peneliti hingga tersusun buku penelitian ini.

Jakarta, Desember 2016 Kepala Pusat

Penelitian dan Pengembangan Hukum

RR. Risma Indriyani, S.H., M.Hum.

NIP. 19601027 198703 2 001

(14)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...v

SAMBUTAN ... vii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Tujuan dan Manfaat ... 8

E. Keluaran Penelitian ... 9

F. Ruang Lingkup ... 9

G. Metode Penelitian ...10

H. Kerangka Pemikiran ...16

I. Kerangka Teori ... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 23

A. Lembaga Pembinaan Khusus Anak ...23

B. Anak yang Berkonflik dengan Hukum/Narapidana Anak/Anak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak ... 30

(15)

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS ... 47

A. Hasil Penelitian ... 47

1. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ... 47

2. Provinsi Jawa Barat ... 67

B. Analisis Data dan Pembahasan ... 87

BAB IV PENUTUP ... 95

A. Kesimpulan ... 95

B. Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ...99

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) disahkan oleh DPR RI pada tanggal 30 Juli 2012 dan mulai diberlakukan dua tahun setelah tanggal pengundangannya, yaitu berlaku sejak tanggal 31 Juli 2014,1 yang bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. UU SPPA ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak), karena UU Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.

1 Lihat Pasal 108 UU SPPA tentang Ketentuan Penutup.

(17)

Secara yuridis Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak telah merubah paradigma dalam penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan seluruh proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Substansi yang paling mendasar dalam Undang- Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.

Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Bagi Anak yang menjalani proses peradilan (menjalani masa pidananya/Anak yang dijatuhi pidana penjara) ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Hal ini sesuai dengan pasal 85 UU SPPA yang berbunyi:

(1) Anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan di LPKA;

(2) Anak sebagaimana dimaksut pada ayat (1) berhak memperoleh pembinaan, pembimbingan, pengawasan,

(18)

pendampingan, pendidikan dan pelatihan, serta hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

(3) UU SPPA yang menyatakan LPKA wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, keterampilan, pembinaan dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(4) Pembimbing kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program pendidikan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);

(5) Balai Pemasyarakatan (Bapas) wajib melakukan penga- wasan terhadap pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

Jumlah kasus anak berhadapan dengan hukum setiap tahun mengalami peningkatan, dari sembilan klaster pengaduan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus anak berhadapan dengan hukum menempati posisi tertinggi.

Hingga April 2015, ada 6.006 kasus anak berhadapan dengan hokum antara lain masalah pengasuhan mencapai 3.160 kasus, pendidikan 1.764 kasus, kesehatan dan napza 1.366 kasus dan cybercrime atau pornografi mencapai 1.032 kasus.2

Mas’ud (Kepala Sub Seksi Registrasi LPKA Kelas I Medan) mengemukakan bahwa di LPKA Kelas I Medan masih terdapat penggabungan nara pidana anak dengan nara pidana remaja

2 http://news.metrotvnews.com/read/2015/07/22/149693/kpai-ada-6-006- kasus-anak-berhadapan-dengan-hukum, diakses pada tanggal 14 Juni 2016.

(19)

dalam satu blok, hal ini dikhawatirkan terjadinya pengaruh negatif kepada nara pidana anak. Lebih lanjut Mas’ud menambahkan bahwa di LPKA Kelas I Medan masih terbatas sarana pendidikan bagi nara pidana anak, terutama pendidikan formal.

Menurut Priyadi (Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan), catatan kriminalitas di Indonesia pada tahun 2015 ini, anak- anak yang berada di lingkungan rutan dan lapas jumlahnya 3.812 orang. Anak-anak yang dilakukan diversi ada 5.229 orang, dan total ada sekitar 10 ribu termasuk mereka yang sedang asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti jelang bebas.3

Permasalahan over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) merupakan masalah klasik yang dihadapi Kementerian Hukum dan HAM. Over kapasitas penghuni LPKA juga terjadi di LPKA Tanjung Rema, Kalimantan Selatan, menurut Kepala LPKA Tanjung Rema Lenggono Budi (yang menjabat pada saat itu) mengatakan bahwa di LPKA Tanjung Rema terdapat 47 tahanan anak dan 600 tahanan dewasa, serta 300 tahanan perempuan. Totalnya 967 tahanan, sedangkan kapasitas LPKA hanya 210 orang.4

Pada tanggal 5 Agustus 2015 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan meresmikan Lembaga Pembinaan Khusus

3 http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2015/08/04/337054/sepuluh- ribu-anak-kini-berhadapan-dengan-hukum, diakses pada tanggal 14 Juni 2016.

4 http://mediakalimantan.com/artikel-7194-lapas-anak-tanjung-rema- berganti-nama.html diakses pada tanggal 15 Juni 2016.

(20)

Anak (LPKA) di Jalan Arcamanik Kota Bandung, yang juga dilaksanakan di 32 propinsi lainnya. Adapun LPKA yang diresmikan terdiri dari tujuh LPKA Klas I dan 26 LPKA Klas II B dan sebanyak 18 diantaranya merupakan perubahan nomenklatur dari 18 Lapas Anak yang telah ada selama ini.

Pendidikan di LPKA akan berlangsung pendidikan formal yang terdiri dari pendidikan wajib belajar sembilan tahun dan SMA/

SMK serta pendidikan non formal yang mencakup Kejar Paket A untuk tingkat SD, Paket B untuk tingkat SMP dan Paket C untuk tingkat SMA.5

Terjadi perubahan nomenklatur, Lembaga Pemasyarakatan Anak yang dulu kita kenal berubah nama menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak, perubahan nomenklatur ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan instruksi lisan Presiden Joko Widodo kepada Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly. Diharapkan perubahan nama ini tak sekedar perubahan nomenklatur atau pembentukan organisasi baru, namun pada perwujudan transformasi penangangan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), termasuk mengganti kesan hukuman menjadi pendekatan berbasis HAM utamanya tentang budi pekerti, dan yang juga akan dihilangkan kesan angker Lapas yang tak dipungkiri masih melekat hingga sekarang.

5 Diakses pada situs: http://www.antaranews.com/berita/510679/

menkumham-resmikan-lembaga-pembinaan-khusus-anak-bandung

(21)

Dengan perubahan nomenklatur tersebut, diharapkan ada semangat positif yang diusung Pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan HAM, yaitu perubahan sistem perlakuan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum yang ramah anak berbasis budi pekerti. Saat ini anak yang berkonflik dengan hukum tidak lagi menempati bilik jeruji besi, karena sudah dibongkar. Beberapa gerbang penghubung antara gerbang utama dan blok tahanan juga sudah dibongkar, sehingga mereka sudah lebih bebas beraktivitas. Selain itu, LPKA yang belum menyediakan tempat untuk bermain dan berolahraga harus segera memfasilitasi sarana tersebut. Karena dunia anak-anak adalah dunia bermain, jadi meskipun mereka berada dalam LPKA, mereka harus tetap mendapatkan hak tersebut.

Terkait pendidikan formal bagi anak nara pidana, juga disebutkan bahwa dalam Pasal 4, 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (“UU Sisdiknas”) dapat disimpulkan bahwa anak yang ditempatkan dalam LPKA juga berhak mendapatkan pendidikan tanpa dibeda-bedakan dan pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan tersebut. Pendidikan yang diberikan pada anak dapat berupa pendidikan formal, informal maupun non formal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, hasil pemetaan Lapas Anak tahun 2011 dan 2012 mengungkap bahwa tidak semua Lapas

(22)

Anak dapat menyelenggarakan pendidikan formal, dengan beberapa alasan, yaitu:

a. Terbatasnya jumlah Anak yang memenuhi persyaratan mengikuti pendidikan, khususnya lama pidana;

b. Minat anak yang rendah terhadap pendidikan;

c. Fasilitas dan sarana pendukung yang minim dan hampir tidak ada;

d. Rendahnya dukungan dari sekolah Anak sebelumnya.6

Lebih lanjut dalam laporan itu dikemukakan bahwa saat ini penyelenggaraan pendidikan formal yang masih berjalan cukup baik adalah di Lapas Anak Pria Tangerang dan Lapas Anak Medan. Pendidikan formal yang diselenggarakan di Lapas Anak Pria Tangerang adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan 49 (empat puluh sembilan) murid.

Akses dan kerjasama yang baik dengan pihak terkait (diknas setempat) membuat program pendidikan formal ini dapat diselenggarakan.

Dari beberapa uraian di atas, terkait hak Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) dalam menjalani proses pidana maupun penempatan setelah ABH tersebut dijatuhi pidana penjara, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam hal ini LPKA dan Bapas berkewajiban untuk memenuhi hak-hak ABH tersebut. Oleh sebab itu, penulis menganggap penting untuk melakukan penelitian yang berjudul Lembaga

6 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt56bd545ec1d07/pendidikan- bagi-anak-di-lembaga-pembinaan-khusus-anak-lpka diakses pada tanggal 30 Juni 2016

(23)

Pembinaan Khusus Anak dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Anak.

B. Identifikasi Masalah

1. Masih terdapatnya over kapasitas pada LPKA;

2. Masih terdapatnya Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang tidak mendapatkan pembinaan secara baik dan benar;

3. Masih terdapatnya penggabungan dalam satu blok antara anak dengan remaja sehingga dikhawatirkan ada pengaruh negatif.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kondisi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

2. Bagaimana pembinaan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak?

D. Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan

Untuk mendapatkan gambaran kondisi Lembaga Pembinaan Khusus Anak setelah berlakunya Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan pembinaan terhadap Anak yang berkonflik dengan hukum di Lembaga Pembinaan Khusus

(24)

Anak sesuai dengan amanat Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

2. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan dalam upaya mengatasi masalah di Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan pembinaan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak.

Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat dijadikan dasar pertimbangan atau acuan dalam perumusan kebijakan dan implementasi yang terkait dengan LPKA khususnya mengenai pembinaan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak.

E. Keluaran Penelitian

Hasil dari penelitian diharapkan dapat dijadikan sebuah bahan rekomendasi yang akan dituangkan dalam Risalah kebijakan (policy brief) yang ditujukan pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengenai upaya pembinaan Anak yang berhadapan dengan hukum dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang tepat sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

F. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kondisi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

(25)

2. Pembinaan terhadap Anak yang berkonflik dengan hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian ini, antara lain adalah:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis yaitu penelitian deskriptif karena dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan pembinaan terhadap Anak yang berkonflik dengan hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas IIA Jakarta dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung yang kaitannya dengan tujuan pemidanaan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Bukunya J. Supranto disebutkan bahwa, riset/penelitian deskriptif, bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang suatu keadaan pada suatu waktu tertentu atau perkembangan tentang sesuatu7.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang akan digunakan penulis untuk melakukan penelitian adalah yuridis-empiris. Menurut

7 J. Supranto, 2003, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, Jakarta: PT Rineka Cipta, hal. 14.

(26)

Hilman Hadikusuma, pendekatan yuridis empiris adalah mempelajari pasal-pasal perundangan, pandangan pendapat para ahli dan menguraikannya dalam karya penelitian ilmiah, serta juga menggunakan bahan-bahan yang sifatnya normatif itu dalam rangka mengolah dan menganalisis data-data dari lapangan yang disajikan sebagai pembahasan.8

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih untuk melakukan penelitian adalah di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II A Jakarta, hal ini dikarenakan masih terdapatnya anak yang berkonflik dengan hukum yang tidak mendapatkan pembinaan secara baik dan benar, dan masih terdapatnya penggabungan dalam satu blok antara anak dengan dewasa/remaja sehingga di khawatirkan ada pengaruh negatif; dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung, hal ini karena banyaknya kasus anak yang ada di Jawa Barat dan mendapat putusan pidana sehingga berpengaruh pada penempatan terpidana anak di LPKA.

4. Sumber Data

Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

8 Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, hal. 63

(27)

a. Data Primer

adalah data yang lansung diperoleh dari masyarakat9 data-data tentang pembinaan anak yang berkonflik dengan hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).

b. Data Sekunder

Data Sekunder terdiri dari:

1) Bahan Hukum Primer yang berupa:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasayarakatan.

c) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

d) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

e) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

f) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang

9 Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 52.

(28)

Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

g) PP No. 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas PP 32 Tahun 1999.

h) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1999 Tentang Kerjasam Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

i) Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH- 03.OT.02.02 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberlakuan Anak Di Balai Pemasyarakatan (BAPAS), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan Menteri Kehakiman Republik Indonesia.

j) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH- 05.OT.01.01 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01-PR.07.03 Tahun 1985 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan.

k) Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No.

21 Tahun 2016 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat .

l) Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.02-PR.07.03 Tahun 2007 tanggal

(29)

23 Pebruari 2007 tentang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Salemba, Cibinong, Pasir Putih Nusakambangan, dan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB di Way Kanan, Slawi, Nunukan, Boalemo, dan Jailolo.

m)Surat Keputusan Menteri Hukum Dan HAM RI No. M.HH-09.OT.01.02 tanggal 23 Desember 2014 tentang penetapan sementara Lapas dan Rutan di Indonesia sebagai Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS).

2) Bahan Hukum Sekunder meliputi:

a) Buku-buku yang terkait.

b) Artikel.

c) Literatur karya ilmiah yang ada kaitannya dengan hal-hal yang akan diteliti.

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang mem- berikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, kamus ilmiah, dan kamus bahasa.

5. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang akan digunakan penulis nantinya antara lain sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah cara untuk memperoleh data atau informasi dengan cara membaca buku-buku,

(30)

literatur-literatur, peraturan perundang-undangan dan dokumen-dokumen lain yang ada kaitannya dengan penelitian.

b. Wawancara

Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada yang diwawancarai.10 Selain dengan studi kepustakaan atau studi dokumen, penulis juga akan mengumpulkan data dengan metode wawancara. Penulis akan mewawancarai narasumber, yaitu Petugas dan Anak yang berkonflik dengan hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Ditjen Pemasyarakatan, BAPAS, Lembaga Swadaya Masyarakat (P2TP2A/Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak dan mantan Anak yang berkonflik dengan hukum.

6. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Pendekatan kualitatif sebenarnya merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata.11

10 Ronny Hanitijo Soemitro, Ibid, hal. 57

11 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, hal. 32.

(31)

H. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran, berikut ini digambarkan alur pikir penelitian:

(32)

I. Kerangka Teori

Untuk menganalisis permasalahan di atas, maka penelitian ini digunakan teori “sistem hukum” yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman yang membagi sistem hukum menjadi 3 (tiga) elemen, yaitu:

1. Elemen Substansi Hukum

Elemen substansi hukum berupa peraturan perundang- undangan yang memuat ketentuan mengenai hak asasi manusia.12

2. Elemen Struktur

Elemen Struktur berupa lembaga-lembaga atau instansi berikut sumber daya manusianya yang berfungsi melakukan penegakan hak asasi manusia itu baik dalam hal terjadi pelanggaran hak asasi manusia maupun di luar terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

3. Elemen Budaya Hukum

Elemen budaya hukum yakni nilai-nilai sosial budaya yang berlaku di masyarakat dan membentuk pola pikir serta mempengaruhi perilaku baik warga masyarakat maupun aparatur penegak hak asasi manusia itu.

Berkaitan dengan Lembaga Pemasyarakatan Anak atau yang sekarang disebut dengan Lembaga Pembinaan

12 Natangsa Surbakti, 2012, Filsafat Hukum: Perkembangan Pemikiran dan Relevansinya dengan Reformasi Hukum Indonesia, Surakarta: BP-FKIP UMS, hal. 152.

(33)

Khusus Anak (LPKA), dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan memberikan pengertian mengenai Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak yang berkonflik dengan hukum. Lembaga Pemasyarakatan mempunyai tujuan yang diharapkan dapat direalisasikan yaitu berdasarkan Pasal 2 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, untuk membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.13 Tujuan hukum pidana pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan orang perorangan (individu) atau hak-hak asasi manusia dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara dengan perimbangan yang serasi dari perbuatan-perbuatan yang merugikan di satu pihak dan dari tindakan penguasa yang yang sewenang-wenang di lain pihak.14

Pembinaan bagi Anak yang berkonflik dengan hukum pada dasarnya dijalankan atas konsep pemasyarakatan. Pembinaan

13 Pasal 2 UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

14 Sudaryono dan Natangsa Surbakti, Op.Cit, hal. 319.

(34)

difokuskan pada tiga hal utama, yaitu pembinaan fisik, mental dan sosial. Ada empat komponen penting dalam prinsip pembinaan narapidana, diantaranya:

1. Diri sendiri

Pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Anak harus dilaksanakan atas dasar kemauan dari anak didik lembaga pemasyarakatan untuk melakukan suatu perubahan terhadap dirinya kearah yang lebih positif . Beberapa hal yang perlu dimiliki oleh seseorang jika ingin melakukan perubahan diantaranya, kemauan kepercayaan diri, berani mengambil keputusan, berani menanggung resiko, dan termotivasi untuk merubah dirinya.

Hal tersebut adalah penting mengingat anak didik lembaga pemasyarakatan sedang menjalani masa pembinaan dengan konsep pemasyarakatan, sehingga upaya untuk mengenal diri sendiri sebagai langkah awal perubahan dapat terlaksana atas dasar pengambilan keputusan dirinya sendiri.

2. Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan primer bagi anak didik lembaga pemasyarakatan. Hubungan yang harmonis dengan keluarga diteliti dan dapat mengurangi jumlah kenakalan remaja15. Sehingga dalam hal ini keluarga memiliki peran penting bagi proses perubahan diri bagi

15 Gultom, Maidin, 2008, Perlindungan Hukum terhadap anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, hal. 359.

(35)

anak didik lembaga pemasyarakatan. Kunjungan keluarga merupakan salah satu upaya mencegah adanya penolakan dari lingkungan sosial dirinya, salah satunya keluarga.

3. Masyarakat

Tujuan dari pembinaan yang didasarkan atas konsep pemasyarakatan adalah untuk memberikan bimbingan kepada anak didik lembaga pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki sikap, tidak mengulangi tindak kejahatan lagi sihingga diharapkan dapat diterima kembali dalam masyarakat. Menurut Alexander 16 mengemukakan bahwa mantan narapidana akan menghadapi kemungkinan kurang berhasilnya untuk masuk kembali dalam kehidupan bermasyarakat oleh karena aksebilitas yang rendah dalam bidang pendidikan, pelatihan, dan dukungan moral dari keberadaan keluarga dan kerabat.

4. Petugas

Petugas lembaga pemasyarakatan anak memiliki peran yang penting dalam upaya membina anak didik lembaga pemasyarakatan sesuai dengan tujuan dari setiap tahap pembinaan. Petugas diharapkan dapat mengetahui perkembangan setiap anak didik lembaga pemasyarakatan untuk setiap bagian tahap pembinaan berdasarkan hasil peninjauan dari catatan di kartu pembinaan oleh

16 Alexander, Michelle, 2013, A. Second Chance: Charting a New Course for Re entri Criminal Justice Reform. The Leadership Conference Education Fund.

(36)

wali pemasyarakatan anak. Hasil pada pencatatan di kartu pembinaan dapat menjadi dasar dari perencanaan pembinaan pada tahap selanjutnya sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan anak yang ada.

Menurut Gultom17 pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Anak difokuskan pada pembinaan fisik, mental, dan sosial. Berbagai pengalaman diri akan membentuk pandangan dirinya terhadap lingkungan fisik dan sosial disekitarnya. Mantan narapidana anak sebagai seorang remaja memiliki hak akan pemenuhan kebutuhan di tengah kehidupan masyarakat.

17 Op.cit. Gultom, hal. 361.

(37)
(38)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Lembaga Pembinaan Khusus Anak

Penjara tidak lagi menakutkan dan membosankan bagi anak-anak. Pemerintah telah merubah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Perubahan ini dilakukan seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada 31 Juli 2014. Menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 merupakan tonggak awal dimulainya sistem perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Sebagai bentuk kelanjutan pelaksanaan dari Undang- Undang tersebut adalah dengan membuat sistem baru yang lebih baik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

Beralihnya sistem perlakuan anak dari Lapas Anak menjadi LPKA merupakan perwujudan kepedulian nyata negara untuk melindungi dan menghargai hak-hak anak.

Harapannya, mereka menjadi generasi yang selalu optimis, menggapai asa dan menapaki masa depan. Pemerintah pun

(39)

menempatkan anak dalam prioritas pembangunan, sehingga perlindungan anak menjadi salah satu tugas wajib pemerintah sebagai penyelenggara negara. Kementerian Hukum dan HAM memiliki tugas dan kewenangan di dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Tugas dan kewenangan Kementerian Hukum dan HAM antara lain dengan menyiapkan fasilitas dan prasarana bagi pembinaan, pembimbingan, perawatan bagi anak yang terdapat di Lembaga Pembinaan Khusus Anak.

Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap, dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani anak baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana. Tujuan pembinaan bagi Narapidana dan Anak yang berkonflik dengan hukum, berkaitan erat dengan tujuan pemidanaan. Dalam Rancangan KUHP Nasional telah diatur penjatuhan pidana yaitu:

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

b. Mengadakan koreksi terhadap terpidana, dengan demikian menjadikannya orang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat.

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (Andi Hamzah, 1993: 33)

Secara luas pembinaan dapat diartikan sebagai rangkaian upaya pengendalian secara profesional terhadap semua

(40)

unsur organisasi agar unsur-unsur tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya sehingga rencana untuk mencapai tujuan dapat terlaksana secara berdaya guna dan berhasil guna.

(Sudjana 2000: 223).

Dalam lingkup hukum, apabila seseorang melakukan tindak pidana maka seseorang itu harus patuh mengikuti prosedur hukum positif. Antisipasi atas kejahatan tersebut diantaranya dengan mengfungsikan instrumen hukum secara efektif melalui penegakan hukum. Melalui instrumen, diupayakan perilaku yang melanggar hukum ditanggulangi secara preventif maupun represif, mengajukan ke depan pengadilan dan selanjutnya penjatuhan pidana bagi anggota masyarakat yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan tindakan yang represif.

Selama berada di LPKA anak diwajibkan mengikuti program pembinaan yang diadakan oleh LPKA. Adapun pembinaan yang diadakan di LPKA meliputi pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Khusus mengenai pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan yang tergolong Anak Pidana telah diatur didalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, bahwa dalam rangka pembinaan anak pelaku tindak pidana dilakukan atas dasar penggolongan usia, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan dan kriteria lainnya.

Pembinaan terhadap anak pelaku tindak pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak dilaksanakan berdasarkan asas-asas pembinaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yaitu:

(41)

a. Asas Pengayoman, bahwa perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan adalah dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan. Dan juga memberikan bekal kehidupan kepada warga binaan pemasyarakatan, agar menjadi warga yang berguna dalam masyarakat.

b. Asas Persamaan Perlakuan dan Pelayanan, bahwa warga binaan pemasyarakatan mendapat perlakuan dan pelayanan yang sama di dalam Lembaga Pemasyarakatan, tanpa membedakan orangnya.

c. Asas Pendidikan, bahwa di dalam Lembaga Pemasyarakatan warga binaan pemasyarakatan mendapat pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain dengan menanamkan jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian dan kesempatan menunaikan ibadah sesuai agamanya masing-masing.

d. Asas Pembinaan, bahwa warga binaan pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan juga mendapat pembinaan yang diselenggarakan berdasarkan Pancasila dengan menanamkan jiwa, kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian.

e. Asas Penghormatan Harkat dan Martabat Manusia, bahwa warga binaan pemasyarakatan tetap diperlakukan sebagai manusia dengan menghormati harkat dan martabatnya.

f. Asas Kehilangan Kemerdekaan Satu-satunya Penderitaan, bahwa warga binaan permasyarakatan harus berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan untuk jangka waktu tertentu sesuai keputusan/penetapan hakim. Maksud dari penempatan itu adalah untuk memberi kesempatan

(42)

kepada negara guna memperbaikinya, melalui pendidikan dan pembinaan. Selama dalam Lembaga Pemasyarakatan warga binaan pemasyarakatan tetap memperoleh hak- haknya yang lain sebagaimana layaknya manusia, atau dengan kata lain hak-hak perdatanya tetap dilindungi, seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olahraga, atau rekreasi. Warga binaan tidak boleh diperlakukan di luar ketentuan undang-undang, seperti dianiaya, disiksa, dan sebagainya. Akan tetapi penderitaan satu-satunya dikenakan kepadanya hanyalah kehilangan kemerdekaan.

g. Asas Berhubungan dengan Keluarga atau Orang-orang Tertentu, bahwa warga binaan pemasyarakatan harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat serta tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Untuk itu anak pidana harus tetap dapat berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan dari anggota masyarakat yang bebas dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga.

Pelaksanaan program pembinaan dilakukan melalui beberapa tahap dan dapat diberikan kepada masing-masing anak sesuai dengan kebutuhan. Adapun tahap-tahap tersebut, meliputi: pertama, yaitu pembinaan tahap awal yang dimulai dari 0 – 1/3 masa pidana. Pada masa ini anak masih belum diperbolehkan untuk mengikuti proses reintegrasi yang diadakan diluar LPKA. Kedua, pembinaan tahap lanjutan I,

(43)

yaitu masa 1/3 hingga ½ masa pidana. Dalam tahap ini anak sudah diperbolehkan mengikuti kegiatan yang diadakan di luar LPKA sebagai bentuk reintegrasi dan anak sudah diperbolehkan mengajukan pembebasan bersyarat apabila sudah memenuhi persyaratan tertentu. Ketiga, pembinaan tahap lanjutan 2, meliputi ½ hingga 2/3 masa pidana. Pada tahap ini anak masih berada di LPKA sampai SK PB keluar dan selama itu anak harus mengikuti kegiatan seperti biasanya.

Keempat, pembinaan akhir, setelah masa 2/3 tiba, maka anak diperbolehkan melaksanakan PB dan tinggal bersama orang tua atau penjaminnya dengan catatan tidak ada subside yang harus dijalani, yaitu untuk subsidair kurungan, sedangkan untuk subside latihan kerja, maka latihan kerja akan dilakukan di Bapas.18

Unsur-unsur organisasi itu mencakup peraturan, kebijakan, tenaga penyelenggara, staf dan pelaksana, bahan dan alat dan biaya. Dengan perkataan lain, pembinaan mempunyai arah untuk mendayagunakan semua sumber sesuai dengan rencana dalam rangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Dalam lingkup hukum, apabila seseorang melakukan tindak pidana maka seseorang itu harus patuh mengikuti prosedur hukum positif. Antisipasi atas kejahatan tersebut diantaranya dengan mengfungsikan instrumen hukum secara efektif melalui penegakan hukum. Melalui instrumen,

18 Center for Detention Studies, Model Reintegrasi Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Center for Detention Studies: Jakarta, 2015, hlm. 107.

(44)

diupayakan perilaku yang melanggar hukum ditanggulangi secara preventif maupun represif, mengajukan ke depan pengadilan dan selanjutnya penjatuhan pidana bagi anggota masyarakat yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan tindakan yang represif.

Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam, yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman tersebut sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana sendiri agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik.

Demikianlah konsepsi baru fungsi pemidanaan yang bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun juga sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsepsi itu di Indonesia di sebut Pemasyarakatan (Waluyo, 2004: 3).

Khusus mengenai pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan yang tergolong Anak Pidana telah diatur didalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, bahwa dalam rangka pembinaan anak pelaku tindak pidana dilakukan atas dasar penggolongan usia, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan dan kriteria lainnya.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa, setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak:

a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;

b. dipisahkan dari orang dewasa;

c. memperoleh bantuan _ocia dan bantuan lain secara efektif;

d. melakukan kegiatan rekreasional;

(45)

e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;

f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

h. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam _ocial yang tertutup untuk umum;

i. tidak dipublikasikan identitasnya;

j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;

k. memperoleh advokasi _ocial;

l. memperoleh kehidupan pribadi;

m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;

n. memperoleh pendidikan;

o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan

p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

B. Anak yang Berkonflik dengan Hukum/

Narapidana Anak/Anak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

1. Pengertian dan Batas Usia Anak

Anak dengan segala pengertian dan difinisinya memiliki perbedaan karakteristik dengan orang dewasa.

Hal ini merupakan titik tolak dalam memandang hak dan kewajiban bagi seorang yang akan mempengaruhi pula

(46)

kedudukannya dihadapan hukum. Dalam hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur (minderjarigheid/

infernority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali (minderjarige ondervoordiij).19 Hal ini menunjukan hukum positif (ius constitutum/

ius operatum) tidak mengatur ada unifikasi hukum yang berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan usia bagi seorang anak.20 Dalam hal ini dapat dilihat dari beberapa peraturan hukum yang berlaku, yaitu:

e. Dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21(dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin, dalam penjelasan pasal dijelaskan bahwa, “Batas umur 21 (dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Batas umur 21 (dua puluh satu) tahun tidak mengurangi ketentuan batas umur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan

19 Lilik Mulyadi, “Pengadilan Anak di Indonesia Teori Pratek dan Permasalahannya”, Bandung: CV. Mandar Maju, 2005, hlm.3-4.

20 Ibid., hlm.1.

(47)

anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku.”

f. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan.

g. Pasal 1 angka 1 Undang- Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

h. Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak atau Convention On The Rights of The Child (KHA) sebagaimana yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990, yang disebut dengan anak adalah setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya.

Batas usia anak sangat penting berkaitan dengan upaya perumusan batasan upaya pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) terhadap seorang anak yang melakukan tindak kriminal, dalam tingkat usia berapakah seorang anak yang berlaku kriminal dapat dipertanggung

(48)

jawabkan secara pidana.21 Sebelum berlakunya Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak pengertian anak yang dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana mengacu pada Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 angka 1 dari undang-undang ini menyebutkan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Dalam Pasal 1 angka 2 undang- undang tersebut bahwa yang dimaksud dengan anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana; atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pengertian Anak dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak diperluas dan mempersempit batasan usia anak yang dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana, serta cenderung pada penggunaan anak pada sistem peradilan, yaitu anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.

Pada Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan bahwa pengertian dan batas usia anak yaitu:

21 Paulus Hadisuprapto, “Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya”, Malang: Selaras, 2010, hal. 1

(49)

1) Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan yang menjadi saksi tindak pidana (Pasal 1 angka 2 UU SPPA).

2) Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas ) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA).

3) Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak korban adalah Anak yang belum berumur 18 (delapan belas)tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana (Pasal 1 angka 4 UU SPPA).

4) Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan atau dialaminya sendiri.

Anak yang berkonflik dengan hukum dapat dikatakan anak yang harus mengikuti prosedur hukum akibat kenakalan yang telah dilakukannya. Kata konflik menunjukkan adanya suatu peristiwa yang tidak selaras atau terdapat pertentangan dalam suatu peristiwa, sehingga dapat dikatakan sebagai permasalahan. Oleh

(50)

karena itu pengertian anak yang berkonflik dengan hukum dapat juga diartikan dengan anak yang mempunyai permasalahan karena suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum.22

Mengacu pada peraturan Internasional, Majelis Umum PBB dalam United Nations Standard Minimum Rules For the Adminstration of juvenile Justice(SMRJJ) atau The Beijing Rules membedakan mengenai istilah a juvenile, an offence, dan a juvenile offence, dan a juvenile offender: Di jelaskan dalam The Beijing Rules bahwa:

“Ajuvenile is a child or young person who, under the respective legal systems, may be dealt with for an offence in a manner which is different from an adult (Terjemahan bebas: Anak nakal adalah seorang anak atau orang muda yang menurut sistem hukum yang berlaku di negara masing-masing, dapat diperlakukan atas suatu pelanggaran hukum dengan cara yang berbeda dengan perlakuan orang dewasa).23 An offence is any behaviour (act or omission) that is punishable by law under the respective legal syistem. (terjemahan bebas:

suatu pelanggran hukum adalah perilaku apapun (tindakan atau kelalaian yang dapat di hukum oleh hukum menurut sistem hukum masing-

22 Herlin Herawatiningsih & Putri Sartika Preme natura, “Model Reintegrasi Anak Yang Berkonflik dengan Hukum” Jakarta: Center for Detention Studies, 2015, hal. 23.

23 Ibid, hal. 23, lihat article 2.2 (a) The Beijing Rules.

(51)

masing).24Ajuvenile offender is achild or young person who is alleged to have committed or who has been found to have committed an offence.

(Terjemahan Bebas: seorang pelanggar hukum berusia remaja adalah seorang anak atau orang muda yang diduga telah melakukan atau yang telah ditemukan telah melakukan suatu pelanggaran hukum).”25

Menurut Romli Atmasasmita, juvenile deliquency adalah setiap perbuatan tingkah laku seorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi sianak yang bersangkutan.26 Tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak di usia muda, tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kejahatan anak melainkan kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang tidak seimbang dan sipelaku belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukannya.27

24 Lihat article 2.2 (b) The Beijing Rules.

25 Lihat article 2.2 (c) The Beijing Rules.

26 Romli Atmasasmita, “Problem Kenakalan Anak-anak Remaja”, Bandung:

Armico, 1983, hal .40.

27 Wagiati Soetodjo, “Hukum Pidana Anak”, Bandung: Refika Aditama, 2010, hal.

12.

(52)

Perilaku Anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum ada 2 (dua) kategori, yaitu:

a. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah.28

b. Junevile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.29

2. Anak yang Berkonflik dengan Hukum/

Narapidana Anak/Anak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Pemakaian istilah Anak didik Pemasyarakatan (Andik Pas) terdapat dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan peraturan pelaksanaannya.

Istilah Andik Pas pada saat ini sudah tidak digunakan dalam UU SPPA. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang SPPA yaitu pada pasal 1 huruf 3 yang berbunyi, “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak

28 Harry e. Allen dan Clifford E. Simmonsen, “Correction In America: An Introduction”, dalam:Purnianti(et.al.), “Analisa situasi Sistem Peradilan Pidana Anak(Juvenile Justice System) di Indonesia”, Jakarta: UNICEF Indonesia, 2003, hal. 3

29 Ibid.

(53)

pidana”. Sehingga sesuai dengan ketentuan tersebut istilah Anak yang Berkonflik dengan hukum yang menjalani pembinaan yang biasanya disebut dengan Anak yang berkonflik dengan hukum, dengan berlakunya Undang- Undang SPPA disebut sebagai Anak (diawali dengan huruf Kapital).

Dalam pasal 1 butir ke 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Andik Pas adalah:

a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Anak Negara dan Anak Sipil sebagaimana yang dimaksud dalam huruf b dan c tersebut diatas berdasarkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mereka dikembalikan ke orang tua dan Lembaga Kesejahteraan Sosial (LPKS).

Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Andi Pas atau Anak yang berkonflik dengan hukum sebagai Anak Pidana yang ditempatkan di Lapas (Pasal 18 ayat

(54)

(1) ayat (1) wajib didaftar. Dalam Pasal 19 nya dikatakan bahwa pendaftaran sebagaimana dimaksud Pasal18 ayat (2) meliputi:

a. pencatatan:

1). putusan pengadilan;

2). jati diri; dan

3). barang dan uang yang dibawa;

b. pemeriksaan kesehatan;

c. pembuatan pasfoto;

d. pengambilan sidik jari; dan

e. pembuatan berita acara serah terima Anak Pidana.

Dalam Pasal 22 UU Pemasyarakatan disebutkan bahwa Anak Pidana memperoleh hak-hak-nya sebagai- mana dimaksud dalam Pasal 14 kecuali huruf g, yaitu

“mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan”.

Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Anak Pidana sebagaimana dimaksud diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan pada Pasal 23 disebutkan bahwa Anak Pidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu.

Ketentuan mengenai program pembinaan dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah. Anak Pidana dapat dipindahkan dari satu LAPAS Anak ke LAPAS Anak lain untuk kepentingan:

(55)

a. pembinaan;

b. keamanan dan ketertiban;

c. pendidikan;

d. proses peradilan; dan

e. lainnya yang dianggap perlu.

Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pemindahan Anak Pidana diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Kemudian mengenai Anak Negara diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 dikatakan bahwa anak negara ditempatkan di Lapas Anak. Anak Negara yang ditempatkan di LAPAS Anak wajib didaftarkan.

Pendaftaran dimaksud meliputi:

a. pencatatan:

1. putusan pengadilan;

2. jati diri; dan

3. barang dan uang yang dibawa;

b. pemeriksaan kesehatan;

c. pembuatan pasfoto;

d. pengambilan sidik jari; dan

e. pembuatan berita acara serah terima Anak Negara.

Dalam rangka pembinaan terhadap Anak Negara di LAPAS Anak dilakukan penggolongan atas dasar:

a. umur;

b. jenis kelamin;

c. lamanya pembinaan; dan

(56)

d. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau per- kembangan pembinaan.

Ketentuan mengenai pendaftaran dan penggolongan Anak Negara diatur dengan Keputusan Menteri. Dalam Pasal 29 ditegaskan bahwa: Anak Negara memperoleh hak- hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, kecuali huruf g dan i. Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Anak Negara diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Anak Negara wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu. Ketentuan mengenai program pembinaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Anak Negara dapat dipindahkan dari satu LAPAS Anak ke LAPAS Anak lain untuk kepentingan:

a. pembinaan;

b. keamanan dan ketertiban;

c. pendidikan; dan

d. lainnya yang dianggap perlu.

Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pemindahan Anak Negara diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Mengenai Anak Sipil diatur dalam Pasal 32 disebutkan bahwa Anak Sipil ditempatkan di LAPAS Anak. Anak Sipil yang ditempatkan di LAPAS Anak dimaksud wajib didaftar.

Penempatan Anak Sipil di LAPAS Anak paling lama 6 (enam) bulan bagi mereka yang belum berumur 14 (empat belas) tahun, dan paling lama 1 (satu) tahun bagi mereka

(57)

yang pada saat penetapan pengadilan berumur 14 (empat belas) tahun dan setiap kali dapat diperpanjang 1 (satu) tahun dengan ketentuan paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) meliputi:

a. pencatatan:

1. penetapan pengadilan;

2. jati diri; dan

3. barang dan uang yang dibawa;

b. pemeriksaan kesehatan;

c. pembuatan pasfoto;

d. pengambilan sidik jari; dan

e. pembuatan berita acara serah terima Anak Sipil.

Dalam rangka pembinaan terhadap Anak Sipil di LAPAS Anak dilakukan penggolongan atas dasar:

a. umur;

b. jenis kelamin;

c. lamanya pembinaan; dan

d. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

Ketentuan mengenai pendaftaran dan penggolongan Anak Sipil diatur dalam Keputusan Menteri. Anak Sipil memperoleh hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, kecuali huruf g, i, k, dan huruf l.

Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Anak Sipil dimaksud diatur dalam

(58)

Peraturan Pemerintah. Anak Sipil wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu.

Anak Sipil dapat dipindahkan dari satu LAPAS Anak ke LAPAS Anak lain untuk kepentingan:

a. pembinaan;

b. keamanan dan ketertiban;

c. pendidikan; dan

d. lainnya yang dianggap perlu.

Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pemindahan Anak Sipil diatur Peraturan Pemerintah.

3. Pidana dan Tindakan

Undang-Undang 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dibentuk salah satunya karena Anak merupakan amanah dan Karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan, bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Disadari bahwa walaupun kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat, namun hal tersebut diakui sebagai suatu gejala umum yang harus

(59)

diterima sebagai fakta sosial. Oleh karenanya perlakuan terhadap tindak pidana anak seyogyanya berbeda dengan perlakuan terhadap tindak pidana pada umumnya yang dilakukan orang dewasa.30

Perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana anak adalah setiap perbuatan baik berupa kejahatan maupun pelanggaran sebagaimana diatur dalam perundang-undangan hukum pidana. Bahkan berdasarkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak diperluas lagi, bukan hanya perbuatan yang dilarang oleh perundang- undangan hukum pidana melainkan termasuk perbuatan yang dilarang menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan lain yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Mengenai sanksi hukumnya secara garis besar saksi tersebut ada 2 (dua) macam, dalam Pasal 69 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dikatakan bahwa:

(1) Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan dalam ketentuan UU ini.

(2) Anak yang belum berusia 14(empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan.

30 https//wisuda.unud.ac.id/pdf/1116051025-3-Bab%20 II.pdf, di akses 20 Okt 2016.

(60)

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang- undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana (Nawawi Arief 2002: 81).

Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana: (Hamzah 1994: 31):

1. Teori absolut atau pembalasan (vergeldings theorien) Penganut teori ini yaitu Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak. Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis.

Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur- unsur untuk dijatuhkan pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu.

Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana adalah pembalasan.

2. Teori relatif atau tujuan (doeltheorien)

Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan.

Wujud pidana ini berbeda-beda: menakutkan, memperbaiki, atau membinasakan. Lalu dibedakan prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik. Sedangkan prevensi khusus yang

(61)

dianut oleh van Hamel dan von Liszt mengatakan bahwa tujuan prevensi khusus ialah mencegah niat buruk pelaku bertujuan mencegah pelanggar mengulangi perbuatannya atau mencegah bakal pelanggar melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakannya.

3. Teori gabungan (verenigingstheorien)

Teori gabungan yang dikemukakan oleh Pompe, menitik beratkan pada unsur pembalasan. Orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan.

Memang, pidana dapat dibedakan dengan sanksi- sanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya. Tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi- sanksi itu. Dan karena itu hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum.”

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan yaitu Kondisi pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Lapas Klas II A

Dengan demikian menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut mengenai tema “Interaksi Sosial Keagamaan Anak Didik Permasyarakatan (Andikpas) di Lembaga

salahssatunyasuntuksmenyajikansinformasis tentangsadministrasi warga binaan di lembaga pemasyarakatan.. Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Sungailiat yang terletak di Jalan

Pedoman Perawatan Kesehatan Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, 2004, Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jendral

Pemasyarakatan adalah suatu proses, proses therapeuntie dimana si warga binaan pada waktu masuk Lembaga Pemasyarakatan berada dalam keadaan tidak harmonis dengan

Orang yang berada didalam lembaga permasyarakatran atau lapas dapat disebut dengan Warga binaan permasyarakatan WBP atau disebut Tahanan mereka yang statusnya masih narapidana,

PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Strata S1 Sarjana Hukum Pada

Metode Pengabdian dilakukan dengan menggunakan metode penyuluhan yang bertujuan mengenalkan konsep kesehatan mental kepada anak binaan di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak LPKA Kelas