Oleh:
FAIZAL ASDAR BAKRI 03.2.00.1.05.01.0071
PROGRAM PASCASARJANA KONSENTRASI TAFSIR HADIS UIN SYARIF HIDAYATULLAH
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis dengan judul “Studi Perbandingan Penafsiran antara Muhammad ‘Abduh
dan Muhammad Syahrur terhadap Ayat-Ayat Gender dalam al-Qur’an” yang
ditulis oleh Faizal Asdar Bakri, NIM. 03.2.00.1.05.01.0071, Program Studi Tafsir Hadis telah dipertanggungjawabkan pada sidang munagasyah Program Pascasarjana Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tanggal 24 Juli 2006 dan telah direvisi sesuai saran-saran tim penguji untuk selanjutnya diberikan persetujuan akhir dari tim penguji.
TIM PENGUJI
1. Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA (______________________)
Tanggal: ……….
2. Dr. Amany Umar Burhanuddin Lubis, MA (______________________)
Tanggal: ……….
3. Prof. Dr. Rif‘at Syauqi Na‘wawi, MA (______________________) Tanggal: ……….
4. Prof. Dr. Musdah Mulia, MA (______________________)
Tanggal: ……….
Perbandingan Penafsiran antara Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Syahrur
terhadap Ayat-Ayat Gender dalam al-Qur’an”, kami berpendapat bahwa tesis ini
sudah dapat diterima untuk dimunaqasakan pada Sidang Munaqasah sebagai pelengkap syarat-syarat untuk memperoleh gelar Magister (MA) dalam bidang Ilmu Agama Islam pada program pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pembimbing I Pembimbing II
KATA PENGANTAR
١
Segala puji bagi Allah Swt. yang tiada sesembahan selain-Nya. Shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad Saw., isteri-isteri, dan sahabat-sahabatnya yang senantiasa menyertainya dalam suka maupun duka, serta kepada segenap umat Islam yang meneladani jejak perjuangan mereka hingga akhir zaman.
Berkat ‘inâyah Allah Swt., akhirnya penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Karya tesis ini amat berarti bagi penulis karena dalam proses penyelesaiannya telah berhasil melewati berbagai ujian yang menyita waktu dan materi sehingga sesekali menyurutkan semangat penulis untuk menyelesaikannya. Meskipun demikian, penulis tetap menyadari bahwa usaha ini masih menyisakan banyak hal yang tidak dapat penulis hadirkan di dalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun, patut disyukuri karena banyak pengalaman berharga yang telah penulis gapai dalam penyelesaian tesis ini yang teramat menjadi bekal pengetahuan dan cakrawala berpikir.
1
Sunan Ibn Mâjah, al-Muqaddimah, Bâb Fadhl al-‘Ulâma’ wa al-Hits ‘alâ Thalab al-‘Ilm,
Oleh karena itu, penulis berkewajiban untuk menghaturkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada segenap pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Mereka di antaranya adalah:
1. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Direktur Pascasarjana UIN Jakarta, Dr. Fuad Jabali, MA selaku Asisten Direktur I Pascasarjana, dan Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku Asisten Direktur II Pascasarjana. Penulis haturkan terima kasih yang tak terhingga kepada mereka yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengecap pendidikan di bangku S2 dan telah memfasilitasi penulis hingga tesis ini dapat diselesaikan.
2. Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA selaku pembimbing pertama dan Ibu Dr. Amany Umar Burhanuddin Lubis, MA selaku pembimbing kedua. Terima kasih atas bimbingan dan saran-sarannya yang dengan penuh kesabaran dan di tengah padatnya agenda kesibukan, mereka masih sempat menyisakan waktu untuk membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini.
3. Segenap petugas Perpustakaan Utama dan Perpusatakaan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas segala bantuannya memfasilitasi penulis dalam pencarian data, baik dalam tugas akademik keseharian terlebih saat penyelesaian tesis ini.
Luthfi Fathullah, MA, Dr. Ahzami Sami'un Jazuli, MA, Dr. Sahabuddin, MA, Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA, Dr. Ahmad Dardiri, MA, Dr. Atjeng Rahmat, MA. Terima kasih atas ketulusan ilmu yang telah diberikan semoga ilmu dan pengalaman yang telah diajarkan menjadi amal jariyah bagi mereka dan senantiasa berberkah bagi masa depan penulis.
5. Teristimewa kepada Ayahanda H. Bakri tercinta (alm.), yang sayang sekali tidak sempat menyaksikan keberhasilan anaknya. Semoga keberhasilan ini dinilai Tuhan sebagai pahala untuknya. Kepada Ibunda tercinta Hj. A. Rahmatia yang dengan penuh sabar dan kasih menantikan saat-saat ini dengan segenap dukungannya hingga ke penghujung bangku pendidikan S2. Kakanda yang kubanggakan Hj. Ettysar Bakri – H. Sufu A. Upe Fotto, Adinda Arisal Bakri, Ana Aryana Bakri beserta keluarga, dan Irma Silviyana Bakri beserta keluarga. Ucapan terima kasih yang tulus penulis haturkan kepada mereka yang senantiasa memberi motivasi baik moril maupun materil demi selesainya studi penulis.
6. Ayahanda H. Muslimin Mapparenrengi dan Ibunda Hj. Nurwati Mapparenrengi, Adik Warda dan Aisya di Australia. Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan berkat doa, bantuan, dan motivasinya selama ini. You are the great parents.
7. Bibi Rosneni dan Om Jamaluddin sekeluarga. Terima kasih atas segala bantuan dan motivasinya.
Wajo-Sulawesi Selatan Bapak Purn. H. A. Asmidin, dan Ketua DPRD TK. II Kab. Wajo-Sulawesi Selatan Bapak A. Asriyadi Mayang. Terima kasih atas dukungan moril dan materil yang telah diberikan selama ini semoga menjadi amal jariyah di sisi Allah Swt.
9. Teman-teman di BBS, Syifa, Lely, Khairunnisa, Ana dan lainnya. Terima kasih telah ikut berbagi cerita baik suka maupun duka. Terkhusus buat adik Mulyanti Bungsu Mattalitti (yang baru saja meraih gelar S.Hi). Terima kasih telah membantu penulis memaknai hidup ini dengan sebuah perjuangan dan pengorbanan.
10.Teman-teman seperjuangan di Pisangan-Bungur, Mujahid, Fudhail, Kadir, Surahman, Aswad, Nasir, Burhan, Mukhlis, Asfar, Idris, Ali, Wiwin, Herman, Naharuddin, dan lainnya. Dengan corak dan ragam masing-masing, mereka telah bersama dan berbagi pengalaman yang berharga dengan penulis. Juga, teman-teman di Cempaka Putih-Semanggi Dua, Syahrullah, Syawal, Burhan, Sulaiman, Khalid, Aldi, dan Deny, serta teman-teman di IKAPERMAWA Jakarta yang telah memberi nuansa kreativitas dan keakraban.
Tak Ada Gading Yang Tak Retak. Sebagai manusia biasa yang tak luput dari kekurangan, tesis ini masih butuh saran dan kritik yang konstruktif demi kesempurnaannya. Semoga uraian tesis ini mampu menawarkan kontribusi positif bagi pengembangan dan penelitian dalam dunia Tafsir-Hadis. Âmîn!
Jakarta, 20 November 2006
ABSTRAKSI
Tesis ini berjudul, “Studi Perbandingan Penafsiran antara Muhammad
‘Abduh dan Muhammad Syahrur terhadap Ayat-Ayat Gender dalam al-Qur’an”.
Pemilihan tema studi perbandingan (muqârin) ini bermuara pada munculnya beberapa penafsir modern dalam menyikapi kompleksitas permasalahan dan kebutuhan masyarakat dewasa ini, yaitu setelah abad XIX M. sebagai awal mula munculnya tafsir modern. Salah satu topik dalam tafsir modern yang marak dibincangkan hingga kini adalah tema gender, yaitu interpretasi mental dan kultur terhadap perbedaan kalamin dan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Oleh sebab itu, mereka melakukan berbagai ijtihad yang kemudian memengaruhi cara pandang dan kesimpulan mereka dari nash-nash tersebut.
Permasalahan yang diteliti dalam tesis ini adalah ayat-ayat yang sering dipahami bias gender oleh pejuang hak-hak perempuan dalam al-Qur’an, seperti poligami, waris, mahar, pakaian antara laki-laki dan perempuan dan perilaku keduanya dalam masyarakat, interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, hak kerja dalam pentas politik dan legislatif, serta pernikahan dan talak. Kedelapan masalah ini akan dilihat pada: (a) Bagaimana penerapan metodologi tafsir modern dalam kajian ayat-ayat gender?; (b) Bagaimana pandangan penafsiran
Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Syahrur merupakan dua sosok penafsir modern yang muncul di penghujung abad XIX M. dan abad sekarang ini. Keduanya memotret keterpurukan perempuan yang terjadi di Mesir dan Suriah lewat usaha perbaikan yang dilakukan oleh keduanya.
Penelitian ini diarahkan pada dua objek utama, yaitu: Pertama, Tafsîr
al-Manâr karya ‘Abduh yang ditulis dan dilengkapi kemudian oleh Muhammad Rasyid
Ridha. Selanjutnya, Tafsîr Juz ‘Amma dan Risâlah al-Taûhid yang juga merupakan buah karya ‘Abduh yang sarat dengan pemikiran reformatif dalam bidang tafsir dan pemikiran teologi yang banyak beraliran mu‘tazilah; Kedua, karya besar Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur’an: Qirâ’ah Mu‘ashirah dan Nahwa Ushûl Jadidah li Fiqh
al-Islamî. Kedua karya ini banyak menuai kritik khususnya dari penganut paham klasik karena Syahrur dinilai tidak disiplin dengan metodologi baku tafsir yang umumnya dipegangi oleh ulama-ulama tafsir klasik. Salah satu tuduhan kekeliruan yang Syahrur utarakan tertuju pada ulama-ulama fikih klasik atas masalah-masalah perempuan.
upaya reformasi sosial untuk mengatasi taklid. ‘Abduh tidak tertarik menuangkan ide-ide pikirannya lewat tulisan karena penyampaian langsung kepada objek yang dituju lebih cepat menyentuh hati sanubari pendengar. Syahrur, dengan pendalaman dan ketertarikannya terhadap masalah-masalah agama, memilih kajian pemahaman tafsir lewat analisis kebahasaan kontemporer (linguistic modern), suatu model pemahaman tafsir baru dengan cara merangkum beberapa istilah-istilah yang dinilai perlu ditafsirkan ulang lantaran kecewa dengan pemahaman ulama-ulama salaf (tradisional). Hasil renungan Syahrur selama 20 tahun telah melahirkan karya besar (al-Kitâb wa al-Qur’an), tetapi ia tidak begitu tertarik mendokumentasi karya ini sebagai satu karya tafsir atau fikih. Hemat penulis, hal tersebut dikarenakan banyaknya kritik yang ditujukan kepada karya ini atas penyimpangan metodologi penafsiran yang dianggap baku oleh mayoritas ulama tafsir baik klasik maupun modern, termasuk kapasitas Syahrur sebagai insinyur pertanahan (muhandis al-turâbiah) yang tidak layak dikelompokkan sebagai seorang mufasir.
PEDOMAN TRANSLITERASI
Dalam penulisan tesis ini, akan dijumpai istilah teknis (technical term) yang bersal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fonem konsonan Arab, yang dalam sistem tulisan Arab seluruhnya dilambangkan
dengan huruf, dalam transliterasinya ke tulisan Latin, sebagian dilambangkan dengan huruf, sebagaian dengan tanda, dan sebagian dengan lainnya dengan huruf dan tanda sekaligus. Seperti berikut:
ARAB LATIN
Kons. Nama Kons. Nama
ﺍ
Alif Tidak dilambangakanﺏ
Ba b Beﺕ
Ta t Teﺙ
Sa ts Te dan esﺝ
Jim j Jeﺡ
Ha h Ha-dengan garis bawahﺥ
Kha kh Ka dan Haﺩ
Dal d Deﺫ
Zal dz De dan Zetﺭ
Ra r Erﺯ
Zai z Zeﺱ
Sin s Sinﺵ
Syin sy Es dan Yeﺹ
Sad sh Es dan Haﺽ
Dad dl De dan Elﻁ
Ta th Te dan Haﻅ
Za zh Zet dan Haﻉ
Ain , Komaﻑ
Fa f Efﻕ
Qaf q Kiﻙ
Kaf k Kaﻝ
Lam l Elﻡ
Mim m Emﻥ
Nun n Enﻭ
Wau w Weﻩ
Ha h Haﺀ
Hamzah ‘ Apostrofﺓ
Ta ah/t A dan Ha/Teﻯ
Ya y Ye2. Vokal tunggal atau monoftong bahasa Arab yang lambangnya hanya berupa tanda
atau harakat, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf sebagai berikut:
a. Tanda fatah dilambangkan dengan huruf a, misalnya: arba‘ ah b. Tanda kasrah dilambangakan dengan huruf i, misalnya: Tirmizî c. Tanda dhammah dilambangkan dengan huruf u, misalnya: Yûnus
3. Vocal Panjang atau maddah yang lambangnya berupa harakat dan huruf,
transliterasinya dilambagnkan dengan huruf dan tanda macron (coretan horisontal) atau tanda payung di atas huruf, misalnya:
ﺔﻋ
ﺭﺍ
ﺯ
ﻥﺎﻜﻣﺇ
= imkân – zîrâ‘ah4. Vokal Rangkap atau diftong
ﻭﺍ
dilambangakan dengan gabungan huruf a dan w(aw), misalanya:
ﱏﺎﻛﻮﺷ
Syawkânî, sementaraﻯﺍ
dilambangakan dengan gabungan huruf a dan huruf i (aî), misalnya:ﻰﻠﻴﻫﺯ
Zuhailî5. Tanda Marbutah mati atau yang dibaca seperti berharakat sukun dalam tulisan
DAFTAR SINGKATAN
Swt. : Subhânah wa Ta‘alâ
Saw. : ShallalLahu ‘Alaihi wa al-Salâm R.a. : RadhiyalLahu ‘Anh
Q.S. : Qur’an Surah h. : Halaman H. : Hijriah
M. : Milâdiyyah atau Masehi W. : Wafat
Ed. : Editor
tp. : Tanpa Penerbit
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN PENGUJI ... iii
KATA PENGANTAR... iv
ABSTRAKSI... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI... xiii
DAFTAR SINGKATAN... xv
BAB I : PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian... 12
D. Tinjauan Pustaka ... 13
E. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan ... 16
F. Sistematika Pembahasan ... 18
BAB II : SETTING SOSIAL BIOGRAFI MUHAMMAD ‘ABDUH Dan MUHAMMAD SYAHRUR ... 21
A. Biografi Muhammad ‘Abduh ... 21
‘Abduh (Tafsîr al-Manâr)... 30
3. Pendapat tentang ‘Abduh... 38
4. Karya-Karya ... 40
B. Biografi Muhammad Syahrur... 47
1. Setting Sosial Biografi Muhammad Syahrur ... 47
2. Metodologi Penafsiran dan Pemikiran Rasionalis Muhammad Syahrur (al-Kitâb wa al-Qur’an, Qirâ’ah Mu‘âshirah) ... 51
3. Pendapat tentang Syahrur ... 60
4. Karya-Karya ... 65
BAB III : STUDI GENDER Dalam PEMBAHARUAN WACANA ISLAM ... 67
A. Isu Masalah Gender ... 67
1. Landasan Teologis ... 67
a. Gerakan Gender Kaum Perempuan Masa Awal Islam ... 67
b. Gerakan Gender Kaum Perempuan Masa Modern... 72
2. Makna Studi Gender ... 77
a. Pengertian Studi Gender... 77
b. Tujuan dan Manfaat Studi Gender... 79
c. Alat Analisis Studi Gender ... 80
B. Kendala-Kendala Utama Ulama Tafsir dalam
Memaknai Ayat yang Sering Dipahami Gender ... 90
C. Perspektif dalam Memaknai Ayat yang Sering Dipahami Gender ... 95
BAB IV : AYAT-AYAT BIAS GENDER Dalam AL-QUR’AN... 98
A.Penafsiran Ayat yang Sering Dipahami Gender dalam al-Qur’an Menurut Muhammad ‘Abduh ... 98
1. Poligami ... 98
2. Waris ... 102
3. Mahar... 107
4. Pakaian antara Laki-Laki dan Perempuan serta Perilaku Keduanya dalam Masyarakat ... 110
5. Relasi antara Laki-Laki dan Perempuan dalam Keluarga ... 116
6. Hak Kerja dalam Pentas Politik dan Legislatif ... 121
7. Pernikahan... 123
8. Talak ... 128
B. Penafsiran Ayat yang Sering Dipahami Gender dalam al-Qur’an Menurut Muhammad Syahrur ... 132
1. Poligami ... 136
3. Mahar... 147
4. Pakaian antara Laki-Laki dan Perempuan serta Perilaku Keduanya dalam Masyarakat ... 150
5. Relasi antara Laki-Laki dan Perempuan dalam Keluarga ... 157
6. Hak Kerja dalam Pentas Politik dan Legislatif ... 163
7. Pernikahan... 168
8. Talak ... 170
C. Analisis Perbandingan Penafsiran Ayat yang Sering Dipahami Gender dalam al-Qur'an antara Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Syahrur ... 172
BAB V : PENUTUP ... 192
A. Kesimpulan ... 192
B. Saran-Saran ... 193
DAFTAR PUSTAKA... 195
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan yang validitas dan otentisitasnya dijamin langsung oleh Allah swt. Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Hijr
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.
Dalam pembacaan teks al-Qur’an, bacaan dan pemahaman semua orang tidak sama sehingga untuk memahami kandungannya secara benar dibutuhkan orang yang punya kapasitas untuk menawarkan pemahaman yang valid agar kitab suci ini dapat menjadi pelita hati dan pikiran. Atas dasar itu, Allah Swt. mengutus Nabi Muhammad Saw. sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Nahl [16]: 44:
Sejarah tafsir memang telah dimulai sejak masa Rasulullah Saw. dan berlanjut pada generasi sesudahnya, yakni masa sahabat, tâbi‘in, dan tâbi‘ al-tâbi‘in, atau sering disebut ulama salaf1 disusul oleh ulama khalaf2 hingga munculnya tafsir-tafsir yang ditulis oleh para mujaddid (pembaharu) pada masa sekarang.3
Universalitas isi kandungan al-Qur’an senantiasa fleksibel mengikuti perkembangan zaman dan tempat. Oleh karena itu, al-Qur’an selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasi (ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari al-Qur'an itu.
Keberagaman pendekatan dan metode tafsir yang digunakan seorang penafsir berpengaruh pada penafsiran yang dihasilkan. Tidak ada orang yang dapat dan boleh membakukan sebuah model pemahaman. Hal tersebut disebabkab karena semua model, baik berupa tafsir, ta'wil, exegese, interpretasi, ataupun terjemahan al-Qur’an masuk dalam wilayah hermeneutika yang sangat terbuka bagi setiap usaha pembaharuan.4
1
Ulama salaf atau mutaqâddimîn adalah mereka (para ulama) yang tumbuh dan berkembang sebelum abad ke-3 H. Masa ini memiliki tiga periode, yaitu: Pertama, periode awal Islam (Rasulullah
Saw. dan sahabat), yaitu abad I H. Kedua, periode tabi‘in, yaitu abad I H. sampai abad II H. Ketiga,
periode tabi‘ al-tab‘in yaitu abad II dan III H. Lihat: Sa‘id Aqil Husain al-Munawwar dan Masykuri
Hakim, I‘ jâz al-Qur’an dan Metodologi Tafsir, (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 28.
2
Ulama khâlaf atau mutaakhirîn adalah mereka (para ulama) yang hidup sesudah abad III H. yaitu abad IV sampai abad XII H.
3
al-Munawwar, I‘jâz…, h. 28.
4
Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer (Alih
bahasa oleh: Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri dari al-Kitâb wa al-Qur’an, Qirâ’ah
Senada dengan pendapat di atas, Syekh Muhammad Mutawallî al-Sya‘râwî5 mengatakan:
6
Artinya:
Penafsiran al-Qur’an merupakan hal yang senantiasa berkembang sesuai perubahan zaman hingga hari kiamat, dan selalu ada peluang untuk memberikan penafsiran al-Qur'an yang sesuai dengan permasalahan alam secara keseluruhan setiap saat.
Di antara visi dan paradigma Muhammad ‘Abduh (selanjutnya disingkat
‘Abduh)7 dalam kajian tafsirnya adalah memosisikan tafsir al-Qur’an sebagai pijakan reformasi, membangun masyarakat, dan memperbaharui (pemahaman) agama. Tendensi reformasi tersebut meskipun akar-akarnya terdapat dalam Islam, akan tetapi
5
Muhammad Mutawallî al-Sya‘râwî (ulama besar dan dai kondang Mesir), lahir pada hari
Minggu, 17 Rabi‘ul Tsânî 139 H. bertepatan dengan 16 April 1911 M. di Desa Daqadûs, Kecamatan
Mait Ghamrah, Kabupaten Dakahliyah Mesir. Wafat pada tanggal 2 Sâfar 1419 H. bertepatan dengan
17 Juni 199 M., dan dimakamkan di Desa Dagadûs Mesir (Lihat: Shalâh ‘Abd. al-Fattâh al-Khalidî,
Ta'rîf al-Dârisîn bi al-Manâhij al-Mufassirîn, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2002), h. 346. 6
Muhammad Mutawallî al-Sya‘râwi, Tafsîr al-Sya‘râwi (Cairo: Syirkah RDI kerja sama
dengan Saûth al-Qâhirah li al-Saûthiyyât wa al-Mar`iyyât, 1999), Vol. II, CD 1. 7
Muhammad ‘Abduh (1265-1323 H., 1849-1905 M), tokoh utama pejuang pembebasan
perempuan Mesir akhir abad XIX memasuki abad XX-an. Menurut Muhammad Rajab dalam
tulisannya pada jurnal pemikiran dan budaya Mesir al-Hilâl: al-Mar’ah baîna Muhammad ‘Abduh wa
Qâsim Amîn menggelar ‘Abduh sebagai A‘lâm al-Kubbâr Tsâlâtsah (Tiga Cendekiawan Utama),
‘Abduh sebagai “pelopor kebangkitan pemikiran Mesir di masanya” bersama dengan Sa‘ad Zaghlûl
“pejuang pembebasan pemikiran Timur-Tengah” dan Muhammad al-Mawilhy “penulis terkenal di
masanya”. Lihat: Muhammad Rajab al-Bayûmî, Tahrîr al-Mar’ah, baîna Muhammad ‘Abduh wa
tendensi tersebut telah terpengaruh kuat oleh konsepsi kapitalisme, baik di Mesir maupun di negara-negara Islam lain.8
‘Abduh telah membuat metodologi tafsir tersendiri dalam menafsirkan al-Qur’an karena keinginannya untuk melakukan reformasi sosial, membersihkan agama dari bid‘ah, wahm, (asumsi-asumsi keberagamaan tanpa pijakan, semacam mitos) dan khurafat. Dengan metodologi itu, pemahamannya acapkali berseberangan dengan pemahaman banyak mufassir salaf al-shâlih. Dia lebih memahami Kitab Allah Swt. tersebut sebagai tuntunan yang mengantarkan manusia pada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Ia menegaskan bahwa inilah maksud al-Qur’an yang paling puncak. Adapun pembahasan yang lain tetap menginduk pada mainstream tersebut.9
Sampai di sini, ‘Abduh menjadikan tafsir al-Qur’an sebagai sarana untuk mengantar manusia meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dan bukannya sebagai tujuan keilmuan seperti yang dipahami oleh mayoritas penafsir klasik,10 khususnya
8 ‘
Abd. al-Majîd ‘Abd. al-Salâm al-Muhtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fî al-'Asr al-Rahin, (Alih
bahasa oleh Drs. Moh. Maghfur Wachid dengan judul Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an
Kontemporer), (Bangil - Jawa Timur: AL-IZZAH, 1997), Cet. I, h.113. 9
Al-Muhtasib, Ittijahât…, h. 126. 10
Periodisasi masa tafsir klasik ini dimulai dari abad pertama hingga abad ketiga Hijriyah.
Periode ini meliputi tiga masa, yaitu masa Nabi dan sahabat, sahabat dan tâbi‘in, kemudian tâbi‘in dan
tâbi‘ tâbi‘in. Para penafsir klasik secara umum menggunakan cara yang sama dalam menafsirkan
al-Qur’an. Mereka memulai tafsir dari surah al-Fâtihah sampai ujung surah al-Nâs. Dalam menafsirkan
surah-surah al-Qur’an, mereka mengikuti urutan ayat-ayatnya. Mereka menafsirkan al-Qur’an ayat
per-ayat sesuai susunannya dalam surah. Terkadang mereka memasukkan ayat-ayat lain dalam menafsirkan ayat tertetu jika dipandang memiliki hubungan antara ayat. Pada umumnya, penafsir klasik banyak memusatkan perhatian pada aspek-aspek bahasa, gaya penuturan, komposisi, gramatika dan morfologi.
Dari penafsir kalangan Sahabat, seperti Khulafâ al-Râsyidîn, Ibn Mas‘ûd, Ibn ‘Abbâs, Ubay
bin Ka‘b, Zâid bin Tsâbit, Abû Musâ al-Asy‘ary, dan ‘Abdullah bin Zubâir. Sepeninggal Rasulullah
Saw., dan wilayah penaklukan Islam menjadi meluas. Para sahabat mulai tinggal berpencar seperti
Mekkah, Madinah, dan Irak. Para Sahabat mengajarkan tafsir kepada para tâbi‘in, tempat para sahabat
pada abad kedua dan ketiga. Hal tersebut mengakibatkan seorang ahli fiqih akan mengarahkan konsentrasinya untuk memahami ayat-ayat hukum, seorang ahli nahwu akan berusaha memahami argumentasi berbagai bacaan yang mutawâtir (populer) dan syadz (asing), dan seterusnya.
Bentuk tafsir reformasi ‘Abduh lebih menitikberatkan pada polemik-polemik sosial seperti permasalahan keluarga yang bertujuan memperjuangkan nasib kaum wanita sebagai basis utama dalam keharmonisan keluarga
,
seperti peningkatan tarap pendidikan kaum wanita, thalak, dan poligami.11‘Abduh berpandangan bahwa kemunduran perempuan Mesir diakibatkan oleh lemahnya pendidikan dan mengakarnya tradisi pemahaman agama yang sempit. Ketika ‘Abduh diangkat menjadi hakim sipil, ia berhasil mengamandemen pemberian kewenangan hakim untuk menjatuhkan thalak kepada isteri dalam tiga keadaan, yaitu: Pertama, isteri yang ditinggal pergi oleh suami tanpa alasan hukum. Kedua, isteri yang mengalami tindak kekerasan rumah tangga. Ketiga, konflik keluarga yang tak kunjung selesai. Dalam masalah poligami –yang merupakan salah satu bahasan pokok Tesis ini-, ‘Abduh memfatwakan haramnya poligami dan kebolehannya hanya
keadaan mereka. Di antara penafsir-penafsir tâbi‘in yang tergolong paling luas pengetahuannya
tentang tafsir adalah mereka para penduduk Mekkah dibandingkan dengan penduduk lain seperti penduduk Madinah dan penduduk Irak. Hal ini karena para penduduk Mekkah belajar langsung dari
pakar tafsir yaitu Ibnu ‘Abbâs, seperti Mujâhid, ‘Athâ’ bin Abi Rabâh, ‘Akramah (paman Ibn ‘Abbâs)
dan selainnya. Kemudian dari para tâbi‘ ini kemudian menurunkan ilmunya kepada generasi
sesudahnya (tâbi‘-tâbi‘in) hingga memasuki masa pembukuan tafsir dan awal mula dikenalnya
beberapa istilah metodologi penafsiran dewasa ini, seperti tafsîr bi al-ma’tsûr dan tafsîr bi al-ra‘y.
Lihat: al-Dzahabî, al-Tafsîr…, Jilid I, h. 67-110 dan al-Bannâ, Tafsîr…, h. 31-40.
11
Muhammad ‘Imârah, al-A‘mâl al-Kâmîl li al-Imâm Syeikh Muhammad ‘Abduh, (Mesir: Dâr
dalam kondisi tertentu saja. Praktek poligami telah bertolakbelakang dengan maksud utama diturunkannya al-Qur’an sebagai mashlahah li al-nas (kepentingan perbaikan umat). Pembolehan poligami oleh sebagian laki-laki telah disalahpahami sebagai lampu hijau demi pelampiasan hawa nafsu kaum laki-laki. Bagi 'Abduh, poligami hanya dibolehkan dengan alasan mencari keturunan.12
Namun demikian, tidak semua usaha yang dilakukan ‘Abduh mendapat pujian. Penulisan buku Tahrîr al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) kajian yang diprakarsai oleh Qâsîm Amîn,13 murid dari ‘Abduh, yang meminta ‘Abduh menulis tema Tahrîr al-Mar’ah dalam pandangan kacamata fiqih dan syar‘iat. Buku yang muncul di tengah-tengah perubahan sosial Mesir ini telah mengundang banyak kontroversi di kalangan ulama Mesir pada tahun 1899. Surat kabar Shaut al-Azhar memuat kritikan khusus tentang buku tersebut dengan judul Tashwîb Akhthâ’ Haul Qâsim Amîn wa Kitâbuh Tahrîr al-Mar’ah (kritik atas kesalahan Qâsim Amîn dalam bukunya “Pembebasan Perempuan”). Qâsim Amîn dinilai telah menolak pemakaian jilbab bagi wanita Mesir. Dalam penilaiannya, semangat pemakaian jilbab bertentangan dengan cita-cita modernitas tentang hak-hak ideal kaum perempuan.14 Ulama-ulama
12‘
Imârah, al-A‘mâl ..., h. 174
13
Qâsim Amîn (disingkat Amîn) adalah bekas murid Muhammad `Abduh (1849-1905; tokoh
pembaharu di Mesir) berorientasi pada pembentengan umat Islam dari kecenderungan tanzhimât
(aturan-aturan) yang sekuler dan penggugahan intelektual Islam dari ortodoksi. Menurut ‘Amîn, umat
Islam perlu kembali menemukan makna Islam yang orisinal dalam al-Qur`an dan al-Sunnah sembari
menekankan ijtihad. Lihat: P3M, Muhammad Syahrur; Metodologi Pembacaan al-Qur’an, (Jurnal
Internet, Jaringan Islam Emansipatoris, 28 Juli 2003) 14
Qâsim Amîn, Târikh al-Mar’ah 1999 dalam al-A‘mâl al-Kâmil fî Qâsim ‘Amîn, Vol. II,
Muhammad ‘Imarah ed., (Beirut: al-Mu'assasah Sahal al-‘Arabiah li al-Dirâsah wa al-Nasyr, 1976), h.
al-Azhar secara langsung tidak mengarahkan kritiknya kepada ‘Abduh sebagai penulis, tetapi yang mereka nilai adalah Amin yang dulunya berpikiran tradisional tiba-tiba menjadi berpikiran modernis dengan mengaitkan pikirannya dengan pikiran-pikiran al-Afghân dan muridnya ‘Abduh.15
Manhaj al-Wasathiyyah (metode kolektif), bentuk reformasi sosial yang dipilih ‘Abduh, merupakan metode reformasi yang memadukan antara masalah-masalah keduniaan dan masalah-masalah keagamaan, atau paduan pemikiran tradisonal dan modern. Dalam kutipan Muhammad ‘Imârah, ‘Abduh menjelaskan metode reformasi kolektifnya sebagai berikut:
16
Artinya:
Saya mengajak (umat Islam) kepada pembebasan pemikiran dari kebekuan fanatisme, kepada pemahaman agama lewat cara orang-orang dahulu -sebelum munculnya perbedaan fiqhiyah di kalangan ulama umat umat salaf- (kembali kepada sumber asli yaitu al-Qur'an dan Hadis)
15
Muhammad Rajab al-Bayûmî, Tahrîr al-Mar’ah, baîna Muhammad ‘Abduh wa Qâsim Amîn,
(Cairo, Jurnal al-Hilâl, 2000), h. 29.
16
Muhammad ‘Imârah, al-Fikr al-Islâmî al-Mu'âshir (kumpulan seminar-seminar Jam‘iyyah
Muhammad Syahrur (selanjutnya di singkat Syahrur)17 adalah tokoh reformis abad 20-an lain yang turut berjuang sebagai pembela hak-hak perempuan walaupun tak setenar dan semasyhur pendahulunya. Namun ia cukup mengundang decak kagum dari cara berpikirnya, terutama tentang ayat-ayat gender dalam al-Qur’an. Ia dinilai sebagai pejuang gender dan hak-hak wanita. Namun begitu, tidak sedikit juga dari ulama kontemporer yang mengkritik cara pemahamannya terhadap teks al-Qur’an. Muhammad Syahrur adalah tokoh pejuang hak-hak wanita dari Suriah yang mendalami Islam secara otodidak selama sepuluh tahun.
Dengan penguasaan metode linguistik, Syahrur terbantu dalam memahami teks al-Qur’an dan didukung oleh penguasaannya terhadap perkembangan ilmu linguistik modern yang ada. Di antara kesimpulan ilmu linguistik modern yang terpenting adalah penegasan bahwa setiap bahasa manusia, tidak terkecuali bahasa Arab, tidak memiliki karakter sinonim (kesamaan ungkapan). Setiap kata bisa saja lenyap seiring perkembangan sejarah atau akan memiliki kandungan makna yang baru. Ini sesuai dengan ungkapan Tsa‘lab yang sangat populer, “Apa yang dianggap bagian dari sinonimitas dalam kajian linguistik pada hakikatnya adalah asinonim
17
Nama lengkapnya Muhammad bin Dîb Syahrur, lahir tahun 1938 M., di perempatan
Shalihiyyah Damaskus. Lewat bukunya al-Kitâb wa al-Qur`ân, Qirâ’ah Mu‘ashirah (The Book and
the Qur’an: A Contemporary Reading) telah membuat namanya melejit dalam kancah pemikiran.
Renungan dalam buku ini ternyata tidak tanggung-tanggung sebab ditulisnya dalam waktu yang cukup lama yaitu 20 tahun. Buku yang ditulis dalam 800 halaman lebih dan hampir setengah dari gaji bulanan seorang profesional terpelajar di Suriah. Buku tersebut menjadi buku terlaris di seantero dunia Arab
selama publikasinya pada tahun 1990. Lihat: Muhammad Syahrur al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qirâ’ah
(berlainan).” Berdasarkan pemahaman ini, Syahrur memilih Mu‘jam Maqâyis al-Lughah (ensiklopedi standar bahasa) karya Ibnu Fâris sebagai rujukan utama dalam menentukan perbedaan-perbedaan makna lafazh-lafazh yang dikaji.18
Cara pemahaman linguistik modern di atas, kemudian mengilhami Syahrur melihat masalah poligami sebagai suatu perintah Tuhan yang wajib dilaksanakan. Pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan ‘Abduh sebelumnya yang cenderung lebih ketat. Menurut Syahrur, poligami merupakan perintah Tuhan yang wajib untuk mengatasi persoalan sosial masyarakat yang besar, tetapi tetap mengharamkan pemilihan poligami sebagai solusi untuk kepentingan selain maksud di atas. Masalah besar yang dimaksud di sini ialah masalah yang terkait erat dengan sejarah perkembangan sosial dan budaya masyarakat tertentu.
Solusi sosial dari perintah poligami di atas diarahkan kepada perintah menikahi wanita-wanita janda, bukan kepada wanita perawan atau wanita yang tertalak. Menurutnya, syarat kemampuan poligami dalam Q.S. al-Nisâ [4]: 3 adalah kemampuan laki-laki dari segi materi, bukan kemampuan membagi kasih sayang dan pemenuhan belanja kepada para isteri, sebagaimana yang banyak dipengangi mayoritas penafsir, termasuk ‘Abduh.
Perbedaan ‘Abduh dan Syahrur dalam memahami teks al-Qur’an di atas juga terlihat pada perbedaan mereka dalam memegangi hadis sebagai sumber hukum
18
Jamâl al-Banna, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm baîna al-Qudâmâ wa al-Muhadditsîn, (Alih
bahasa oleh Novriantoni Kahar dalam Evolusi Tafsir dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern),
kedua setelah al-Qur’an. ‘Abduh lebih terlihat hati-hati seperti sikapnya dalam memegangi beberapa hadis yang dinilai bertentangan dengan akal, semisal hadis shahih tentang ketentuan al-Haûl dan al-Nishâb, atau hadis tentang Nabi Saw., yang terkena sihir oleh orang Yahudi.19 Bahkan, Syahrur lebih bersemangat menilai bahwa hadis yang terinspirasi dari ucapan, perbuatan, dan takrir Nabi Saw., dinilai sebagai ijtihad mutlak seorang pemimpin agama dan tidak dikategorikan sebagai wahyu seperti yang lazim dipahami. Artinya, hadis Nabi tidak diposisikan sebagai lembaga pertimbangan hukum setelah al-Qur’an.20
Memahami perbedaan metode tafsir yang digunakan oleh kedua tokoh di atas serta pendekatan rasional dalam pemahaman hadis merupakan keharusan dalam menyikapi interpretasi dan penafsiran yang mereka tawarkan. Pasalnya, metode yang mereka gunakan dalam menalar ayat-ayat yang sering dipahami gender dalam al-Qur’an tentu sedikit banyak akan berpengaruh pada pola pikir dan turut menentukan konseptualisasi dan konklusi yang dihasilkan.
Bagaimana kedua metodologi penafsiran di atas yang berawal dari latar belakang yang berbeda bermuara pada titik fokus yang sama akan menjadi sorotan dalam bahasan tesis ini. Apakah ‘Abduh dan Syahrur memiliki persamaan dalam menafsirkan ayat-ayat yang sering dipahami gender, seperti masalah poligami, waris, mahar, pakaian antara laki-laki dan perempuan, perilaku laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, hak kerja
19
Al-Dzahabî, al-Tafsîr…, h. 176.
20
dalam pentas politik dan legislatif, pernikahan, dan thalak. Atau kalau berbeda, apakah perbedaan itu turut dipengaruhi oleh perbedaan masa dan kompleksitas permasalahan masyarakat yang mengitari mereka. Pertanyaan ini kemudian menjadi titik pokok masalah dalam tesis ini.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk mengungkapkan permasalahan di atas, cara yang ditempuh adalah dengan studi perbandingan. Bidang pemikiran yang dibandingkan adalah penafsiran
‘Abduh dan Syahrur terhadap ayat-ayat yang sering dipahami gender oleh sebagian aktivis gender abad modern seperti Qâsim Amîn, Asghar ‘Ali Engineer, dan Nawal el-Sa‘dawi.
Perbandingan penafsiran antara ‘Abduh dan Syahrur ini dibatasi pada delapan masalah seperti disebutkan sebelumnya. Alasan memilih kedelapan masalah ini adalah:
a. Kedelapan masalah ini sama-sama terdapat dalam penafsiran ‘Abduh dan Syahrur.
(linguistik modern). Keduanya merupakan bentuk penafsiran modern dalam kajian perbandingan ini.
Dengan membatasi kajian pada kedelapan masalah di atas, maka masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana penerapan metodologi tafsir modern dalam kajian gender?
b. Bagaimana pandangan penafsiran ‘Abduh dan Syahrur tentang ayat-ayat yang sering dipahami gender?
c. Apa persamaan dan perbedaan ‘Abduh dan Syahrur dalam kedelapan masalah di atas?
C. Tujuan Penelitian
Dari latar belakang di atas, terungkap bahwa baik ‘Abduh maupun Syahrur menitikberatkan pada pemaksimalan penggunaan rasionalitas akal dalam memahami teks-teks al-Qur'an dan ajakan kembali kepada pemahaman agama lewat sumber hukum yang asli, yaitu al-Qur’an sewaktu pertama kali diturunkan kepada Rasulullah Saw. tanpa terikat kepada pemahaman ulama tradisonal (salaf).
D. Tinjauan Pustaka
Banyak kajian dan penelitian yang telah dilakukan untuk mencermati pemikiran dan penafsiran ‘Abduh dan Syahrur. Kajian terhadap ‘Abduh antara lain dilakukan oleh:
1. Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt. Kitab ini berisikan tentang peran Islam dalam memajukan Mesir. Penjajahan Inggris, Prancis, Turki dan perjuangan revolusi dan reformasi yang dihembuskan oleh al-Afgânî dan
‘Abduh hingga terjadinya pertukaran budaya antara Eropa dengan Mesir lewat pengiriman pelajar-pelajar Mesir ke Eropa yang merupakan babak baru modernisasi di Mesir.
2. Sulaiman Dunya, al-Syeikh Muhammad ‘Abduh baina Falâsifah wa al-Mutakallimîn. Kitab ini berisi tentang perbedaan pendapat di antara para teolog secara mendasar dan sikap pemikiran teologi ‘Abduh yang benar dan rasional.
3. Harun Nasution, Muhammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah. Kitab ini mengkaji tentang ‘Abduh dari segi teologi rasional dan perbandingan dengan Mu‘tazilah yang pertama kali diterbitkan tahun 1987 oleh UI Press Jakarta.
memahami agama. Mesir sedikit demi sedikit kemudian mengalami kemajuan lewat perbaikan sistem pendidikan di tangan ‘Abduh.
5. Muhammad Imârah: al-'Amal al-Kâmîl al-Syeikh Muhammad ‘Abduh. Kitab ini dibagi dalam lima jilid besar dan diterbitkan tahun 1993 oleh Dâr al-Syurûq yang berisi kritik pemikiran politik dan sosial ‘Abduh terhadap revolusi dunia Arab dan usaha mereformasi undang-undang sipil dan kekeluargaan Mesir, seperti hak thalak, poligami serta perjuangan pendidikan bagi kaum perempuan Mesir.
Sementara kajian pemikiran Syahrur dapat dilihat pada beberapa karya, baik yang ditulis oleh Syahrur sendiri atau orang lain, seperti berikut:
1. Al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qirâ’ah Muâ‘shirah (Dâr al-Ahâli, 1990)
2. Dirâsâh Islâmiyah Mu‘âshirah fî al-Daulah wa al-Mujtama‘ (Dâr al-Ahâli, 1994)
3. Al-Islâm Manzhûmat al-Qiyâm (Dâr al-Ahâli, 1996).
4. Masyru‘ al-Mîtsâq al-‘Amal al-Islâmî (Dâr al-Ahâli, 1999)
Dari keempat kajian Syahrur di atas, al-Kitâb wa al-Qur’an, Qirâ’ah Muâ‘shirah adalah satu-satunya karya yang banyak mengulas masalah-masalah perempuan dan perjuangan gender. Pada kajian masalah-masalah perempuan tersebut, Syahrur terpengaruh oleh pemahaman analisis kebahasaan kontemporer (linguistik
modern) dalam memahami teks al-Qur’an. Namun pemahaman gender yang
Karya lain yang menulis pemahaman Syahrur seperti:
1. Ahmad Azhar Fitriyanto, Menggugat Diskriminisasi Gender Model Pemahaman Muhammad Syahrur atas Ayat-Ayat Gender (Skripsi, Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005)
2. Muhammad Aunul ‘Abîd Syah, Tafsir Ayat-Ayat Gender dalam al-Qur’an (Tinjauan terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur, Bacaan Kontemporer), (http://islamlib.com/id/kontak.plp,tth)
3. ‘Abd. Moqsith Ghazali, Syahrur, (http://islamlib.com/id/kontak.plp, 2005) 4. P3M, Muhammad Syahur: Metodologi Pembacaan al-Qur’an,
([email protected], 2005)
5. ‘Abd. Mustaqim, Syahrur dan Teori Limit, (http://islamlib.com/id/kontak.plp, 2004)
Berdasarkan beberapa tulisan di atas, penelitian tentang ‘Abduh dan Syahrur dalam kajian ayat-ayat gender belum penulis temukan secara khusus yang membahas perbandingan penafsiran keduanya dalam problematika gender.
D. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan
Metode penelitian dan teknik penulisan ini dibagi dalam dua bagian, yaitu metode pengumpulan data dan metode analisis data.
a. Metode Pengumpulan Data
Menimbang bahwa penelitian ini memfokuskan perhatian pada perbandingan pandangan tafsir dua tokoh mufassir antara ‘Abduh dan Syahrur21 tentang beberapa ayat dalam al-Qur’an yang sering dipahami gender, maka penelitian ini bersifat kepustakaan murni (library research) karena sumber datanya hanya diperoleh dari sumber tertulis berupa buku-buku, baik berupa karya yang ditulis langsung oleh
‘Abduh seperti Risâlah al-Tawhid yang menggambarkan pemikiran teologinya maupun Tafsîr Juz 'Amma dan Durûs min al-Qur’ân al-Karîm sebagai sumber primer dalam penelitian ini. Selain itu, terdapat tulisan lain dari para penulis yang mengurai idenya, terutama yang ditulis oleh muridnya Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, al-Syahîr bi Tafsîr al-Manâr, Sulaiman Dunya, al-Syeikh
Muhammad ‘Abduh baina al-Falâsifah wa al-Mutakallimîn, Muhammad Rajab
Bayûmî, Tahrîr al-Mar’ah baîna Muhammad ‘Abduh wa Qâsim Amîn. Selain itu
21
Syahrur termasuk penafsir modern abad XXI. Ia muncul dengan cara pandang baru dalam memahami Islam dan mengajak untuk merenungkan dan memikirkan kembali Islam karena Islam yang sekarang telah muncul dalam bentuk dan format yang demikian kaku, ekstrim, eksklusif, dan
terbelakang. Namun demikian, ia tidak mengkategorikan karya besarnya (al-Kitâb wa al-Qur’ân)
sebagai satu karya tafsir atau fiqih. Hal ini karena kritikan yang banyak ditujukan kepada karyanya ini atas penyimpangan metodologi penafsiran yang dianggap baku oleh mayoritas ulama tafsir baik klasik
maupun modern, termasuk kapasitas dia sebagai insinyur pertanahan (muhandis al-turâbiyah) yang
tidak layak dikelompokkan sebagai mufassir. Lihat: Syahrur, al-Kitâb…, (Beirut: Syirqah al-Mathbû‘ât
li al-Taûwzi‘ wa al-Nasyr, 2000), h. 45. Lih. Juga, Syahrur, Dialektika Kosmos dan Manusia (Alih
bahasa oleh M. Firdaus dari al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qira’ah Mu‘âshirah ), (Bandung: Yayasan
terdapat juga tulisan Harun Nasution, Muhammad ‘Abduh dan Teologi Rasional
Mu‘tazilah, Osman Amin, Renaissance in Egypt: Muhammad ‘Abduh and His
School, Muhammad Imârah, al-‘Amal al-Kâmîl al-Syeikh Muhammad ‘Abduh, dan beberapa tulisan lainnya.
Sementara karya yang ditulis oleh Syahrur atau orang lain tentang ide pemikirannya, seperti Namûwdzaj li al-Fiqh al-Jadîd fî Dirâsah Maûdhu‘ al-Mar’ah fî al-Islâm, dalam karya besarnya al-Kitâb wa al-Qur’ân, Qirâ’ah Muâ‘shirah, Dirâsâh Islâmiyah Mu‘âshirah fî al-Dawlah wa al-Mujtama‘, dan Nahw Ushûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmî. Karya lainnya adalah seperti Ahmad Azhar Fitriyanto yang menulis Menggugat Diskriminisasi Gender Model Pemahaman Muhammad Syahrur atas Ayat-Ayat Gender, (Skripsi, Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), Muhammad Aunul ‘Abîd Syah, Tafsir Ayat-Ayat Gender dalam al-Qur’an (tinjauan terhadap pemikiran Muhammad Syahrur, bacaan kontemporer), (http://islamlib.com/id/kontak.plp,tth.), ‘Abd. Moqsith Ghazali, Syahrur, (http://islamlib.com/id/kontak.plp, 2005), P3M, Muhammad Syahrur, Metodologi
Pembacaan al-Qur’an, ([email protected], 2005), dan ‘Abd. Mustaqim, Syahrur
dan Teori Limit, (http://islamlib.com/id/kontak.plp, 2004).
al-Lughah al-‘Arabiyah, dan beberapa kamus lain, baik yang berbahasa Inggris atau Indonesia.
b. Metode Analisis Data
Pemikiran-pemikiran yang dicetuskan dalam kitab-kitab dan sumber lain yang disebutkan di atas, kemudian dideskripsikan serta dianalisa dengan menggunakan pendekatan kategorisasi dan perbandingan. Yang dimaksud dengan pendekatan kategorisasi di sini adalah merumuskan pemikiran ‘Abduh dan Syahrur dalam bentuk kategori dan pengelompokan tema-tema tertentu seperti pada kedelapan tema bahasan geder di atas, sehingga pemikirannya pada tema-tema tersebut dapat dilihat melalui data yang telah ada. Adapun pendekatan perbandingan (comparative approach) yang digunakan adalah membandingakan pandangan penafsiran antara
‘Abduh dan Syahrur berkaitan dengan tema-tema yang telah ditentukan. Hal ini dimaksudkan untuk melihat letak persamaan dan perbedaan keduanya, termasuk metode tafsir yang mereka gunakan.
F. Sistematika Pembahasan
Masalah pokok yang disebutkan di atas dibagi ke dalam lima bab, yaitu:
tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan tehnik penulisan, serta sistematika pembahasan.
Bab II mengurai setting sosial biografi 'Abduh dan Syahrur. Biografi keduanya sengaja diangkat untuk melihat konteks sosial yang mempengaruhi pemikiran dan kehidupannya. Dua hal tersebut diperkirakan banyak mempengaruhi cara pandang tafsir gender mereka.
Bab III mengutarakan studi gender dalam pembaharuan wacana Islam, kendala-kendala utama ulama tafsir dalam memaknai ayat-ayat yang sering dipahami gender, serta perspektif dalam memaknai ayat yang sering dipahami gender. Pembahasan perbandingan ini dimulai dengan kajian pengenalan isu gender seperti landasan teologis, makna studi gender, dan ideologi gender. Persoalan studi gender dalam wacana pembaharuan Islam dimulai dengan pemaparan secara teoritis dan konseptual sehingga kata studi gender dapat dipahami dengan benar. Ini menjadi penting karena seringkali orang salah dalam mengartikan maknai studi gender yang muncul adalah sikap penolakan terhadapnya. Pemaknaan yang benar terhadap konsep ini dapat ditelusuri dari pemahaman yang benar atas teks ayat atau hadis yang bercirikan isu gender serta mengenal sisi kontroversial seorang tokoh dalam memaknainya sehingga terfragmentasi pada berbagai aliran-aliran pro dan kontra pada kajian ini.
ayat-ayat yang berkenaan dengan (a) Poligami (b) Warisan (c) Mahar (d) Pakaian antara laki-laki dan perempuan dan perilaku keduannya dalam masyarakat (e) Intraksi antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga (f) Hak kerja dalam pentas politik dan legislatif (g) Pernikahan (h) Thalak. Pembahasan berikutnya akan mengemukakan pandangan masing-masing penafsir, yaitu ‘Abduh dan Syahrur.
BAB II
SETTING SOSIAL BIOGRAFI
MUHAMMAD 'ABDUH DAN MUHAMMAD SYAHRUR
A. Biografi Muhammad ‘Abduh
Untuk melengkapi pembahasan biografi ini akan dijelaskan tentang setting sosial biografi ‘Abduh, metodologi penafsiran, pemikiran rasionalis ‘Abduh dalam Tafsîr al-Manâr, pendapat tentang ‘Abduh, serta bahasan tentang karya-karyanya.
1. Setting Sosial Biografi Muhammad ‘Abduh
Paruh kedua abad XIX adalah masa yang gemilang bagi negara-negara Timur Arab. Mesir berhasil membebaskan diri dari pemerintahan kolonial tahun 1922 M. Libanon pun berhasil keluar dari kemelut dan krisis yang terjadi di dalam negerinya, sementara Semenanjung Arab diancam perpecahan akibat penyebaran pemahaman Wahabiyah yang meluas hingga ke negeri Irak yang juga sedang bergumul dengan pemerintahan Mamluk untuk mencari solusi atas pertikaian antara kelompok Kasad dan Waba’. Pergolakan yang terjadi di Sudan, Sahra‘, dan kelompok-kelompok revolusi yang bertikai di Maroko yang masih terus bergolak hingga kini menuntut suatu kesadaran akan pentingnya sebuah usaha reformasi.
Semangat reformasi yang dihembuskan ‘Abduh, menurut Abbâs Mahmûd al-‘Aqqâd dalam bukunya ‘Abqarîyah al-Ishlâh wa al-Ta‘lîm: al-Imâm Muhammad ‘Abduh
“Bahwa sepanjang sejarah lima puluh bahkan enam puluh tahun abad XVIII yang lalu, Mesir mengalami masa kegelapan dan keterpurukan yang berkepanjangan, namun tatkala kemunculan ide revolusi dan reformasi, ‘Abduh menjadikan Mesir kembali terang-benderang memperjelas penglihatan dan membuka mata yang selama ini buta dengan keadaan sekeliling. Inilah yang membedakan antara orang cerdas di pertengahan abad XIX dengan orang bodoh yang hidup 50-60 tahun abad sebelumnya”.1
‘Abduh dilahirkan pada masa kapitalis Barat dan gaya hidup kebarat-baratan mulai dipopulerkan bersamaan dengan hadirnya para delegasi studi ke Eropa. Pada periode ini, serangan kaum orientalis dan misionaris terhadap Islam dan Nabi Muhammad Saw. semakin gencar.
Nama lengkapnya adalah Muhammad ‘Abduh Hasan Khairullâh. Lahir di Desa Mahallah Nashr, wilayah Syabrakhait, Propinsi al-Bahirah tahun 1849. ‘Abduh lahir dari latar belakang keluarga berekonomi mapan. Ia hidup di masa pemerintahan Kerajaan Utsmaniyah. Karena kekerasan dan pemerasan penguasa saat itu, sebagian anak-anak sebayanya bersama orang tua banyak yang dipenjara hingga umur dewasa.
Berikut ini penuturan ‘Abduh dalam kenangannya:
“Perbuatan fitnah terhadap warga desa saya”. Di depan hakim, mereka menuduh kami telah melakukan pemerasan dengan cara mengacungkan senjata ke hadapan orang-orang pemerintah. Satu demi satu kami kemudian dijebloskan
1
'Abbâs Mahmûd al-'Aqqâd, ‘Abqârî al-Ishlâh wa al-Ta‘lîm: al-Imâm Muhammad ‘Abduh,
ke penjara. Di antara kami ada yang meninggal dalam penjara, sementara dari keluarga, hanya nenek bersama sepupu saya yang lolos dari penangkapan itu.2
Pendidikan ‘Abduh diawali dengan pendidikan di rumah di bawah bimbingan ayahnya. ‘Abduh telah meng-khatam al-Qur’an dalam tempo dua tahun di umur tujuh tahun. Pada tahun 1862, lewat inisiatif ayahnya untuk memperdalam al-Qur’an,
‘Abduh kemudian dimasukan ke Madrasah Ahmadiah di Thantha. Selama dua tahun,
‘Abduh belajar ilmu tajwid al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an di madrasah tersebut. Namun, hal ini tidak berlangsung lama karena ‘Abduh jenuh dan bosan dengan metode pengajarannya yang kurang memuaskan sehingga ia meninggalkan madrasah itu.
Pada tahun 1865, ‘Abduh memutuskan kembali ke kampung halaman dan memilih bekerja di kebun keluarga dan menikah. Namun ayahnya menyarankan agar kembali lagi melanjutkan pendidikan di tempat semula. Saran tersebut tidak ia acuhkan. ‘Abduh dalam perjalanan pulang ke Thantha berbelok haluan ke kampung halaman keluarga Gereja “Arwin” dan memutuskan untuk tinggal di sana. Di tempat ini, ‘Abduh kemudian berkenalan dengan Syekh Darwîs3, teman dekat ayahnya. Ia banyak melakukan rihlah ilmiah ke beberapa negara Arab sehingga keilmuan dan
2 ‘
Abd al-‘Âthî Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyâsî li al-Imâm Muhammad ‘Abduh, (Mesir:
Haiah al-Mishriyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1980), h. 65.
3
Syekh Darwîs Khadar adalah guru spiritual ‘Abduh dan merupakan sosok pendidik yang
sukses. Menurut Darwîs, hal terpenting yang patut diperhatikan dalam mendidik sebelum proses belajar-mengajar berlangsung adalah pengenalan cara mendidik kepada anak asuh. Teori ini telah dipraktekkan oleh tokoh-tokoh sufi yang menanamkan perasaan cinta dalam jiwa para pengikutnya. Penyampaian pelajaran dilakukan dengan memperlihatkan keteladanan dan senantiasa memberi nasihat
yang lembut. Syekh tersebut tidak mempraktekkan teori pidato dan hafalan. ‘Abdullâh Mahmûd
Syahâtah, Manhaj al-Imâm Muhammad ‘Abduh fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, (Mesir: Rasâil
pengalamannya selama dalam perantauan itu berhasil merubah cara pandang dan arah hidupnya. Kedalaman ilmu Darwîs dalam bidang tasawuf aliran al-Wahabiyah dan al-Sunusiyah menarik minat ‘Abduh untuk berguru kepadanya. Oleh Darwîs, ‘Abduh diajarkan metode pengajaran yang baik, cepat, dan mudah sehingga semangat belajarnya bangkit kembali setelah mengalami kekecewaan akibat metode belajar yang jelek.4
Berbekal semangat belajar baru, pada tahun 1865 ‘Abduh kembali belajar ke Madrasah Ahmadiyah di Thantha. Di tempat ini, ‘Abduh tidak jarang diminta mengajar teman-teman kelasnya untuk menjelaskan pelajaran Syarh al-Zarqânî, khususnya saat guru-guru senior madrasah itu berhalangan hadir.
Tahun 1866, ‘Abduh melanjutkan pendidikan S1-nya ke Universitas al-Azhar. Untuk kedua kalinya, ‘Abduh bertemu kembali dengan guru spritualnya Syekh Darwîs 5. Tahun 1877, beliau mendapat gelar sarjana ‘Alamiah (sekarang Lc.) dengan hanya meraih predikat baik (darajah tsaniyah) lantaran kesan negatif oleh beberapa
4
Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyâsi..., h. 65-66. 5
Setiap kesempatan ‘Abduh manfaatkan untuk menanyakan hal-hal yang terkait dengan
pelajaran di kampus. ‘Abduh diarahkan untuk mendalami ilmu filsafat, ilmu logika (manthiq),
penghitungan (hisâb), dan dasar-dasar arsitektur (handasah). Pada saat itu, materi-materi tersebut
belum menjadi masuk dalam kurikulum al-Azhar seperti sekarang ini. Di bawah bimbingan Syekh
Thâwîl, ‘Abduh diajarkan kitab Ibnu Sinâ dan Manthiq Aristoteles. Usaha tersebut membuahkan hasil
karena dalam usia yang relatif muda (26 tahun), ‘Abduh telah mampu menulis resensi buku filsafat
pemeriksa ujian terkait pengaruh ide dan pemikiran pergaulannya dengan al-Afghâni6.
Setamat dari Universitas al-Azhar, ‘Abduh diangkat menjadi dosen di universitas tersebut untuk materi pelajaran seperti ilmu logika dan filsafat kalâm, ilmu yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh buku-buku dan tulisan al-Afghâni. Pada tahun 1878, ‘Abduh pindah ke Universitas Dâr al-‘Ulûm dan diangkat menjadi dosen sejarah (târikh) di tempat ini,7 di samping mengajar bahasa Arab di Madrasah al-Alsan. 8
Ketertarikan ‘Abduh dengan pemikiran bermula pada tahun 1876 dari kegemarannya mengirim tulisan artikel ke surat kabar seperti al-Ahram (surat kabar nasional Mesir). Di usianya yang kedua puluh tujuh, dia diminta menulis resensi pada surat kabar itu. Dalam setiap tulisannya, ia menekankan orientasi dakwah terhadap
6
Muhammad Jamaluddin al-Afghânî bin al-Sayyid Shaftar lahir tahun 1838 M/1254 H. di Bait
Syarif Desa As‘ad Abâd, Kâbul Afghanistan. Silsilahnya bersambung dengan Imam Husain bin ‘Ali
bin Abi Thâlib R.a. Beliau banyak melakukan perjalanan ke berbagai negara seperti India, Eropa, dan
Timur-Tengah. Beliau bertemu dengan Muhammad ‘Abduh saat kunjungannya yang kedua ke Mesir
tahun 1871. Keduanya sering bertemu di hampir semua tempat ceramah dan majlis ilmu. Al-Afghânî
melepaskan ‘Abduh dari orientasi tasawuf sempit yaitu pertapaan (durûsah), penjauhan dari perbuatan
dosa (tahannuts), dan latihan-latihan kebatinan (riyâdhah) kepada arti tasawuf yang modern seperti
revolusi, reformasi, dan perjuangan Islam, serta penajaman pikiran dan insting untuk menghadapi
serangan-serangan orientalis. Al-Afghânî meninggal tahun 1897 M. di Istanbul ketika kekerasan yang dilancarkan oleh panjajah Barat sedang berkecamuk. Pendudukan Barat di kawasan tersebut berlangsung selama 30 tahun. Kematian al-Afghânî sebagai titik awal kemajuan umat Islam lewat penyebaran pikiran-pikirannya dalam dunia Islam. Syahâtah, Manhaj….., h. 14.
7
Di sela-sela aktivitasnya sebagai dosen sejarah di Universitas tersebut, ‘Abduh menyempatkan
diri menulis buku rangkuman ilmu-ilmu sosial dan filsafat sejarah. Dalam proses penulisannya, ia banyak mengkritik pemikiran Ibnu Khaldun dan mengupas tentang ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan (thabî‘ah al-ijtimâ‘) pada masanya dengan berkaca pada teori-teori peradaban masa silam. Lihat: Syahâtah, Manhaj….., h. 24.
8
ilmu modern dan perlunya suatu pembaharuan metodologi dalam pelajaran bahasa
‘Arab.
Keterlibatan ‘Abduh dalam bidang politik dimulai saat pertemuannya dengan al-Afghâni. Keduanya bergabung dengan organisasi-organisasi radikal, seperti kelompok tragis (al-Mahâfilah al-Ma‘sûniyah). Namun keterlibatan keduanya dalam kelompok ini tidak berlangsung lama. Keduanya memutuskan keluar dari organisasi ini setelah terjadi perbedaan ideologi perjuangan. Organisasi ini dirasa tidak dapat mendatangkan manfaat dan tidak berorientasi pada kepentingan politik yang memperjuangkan masyarakat Mesir. Di samping itu, organisasi ini tidak menggaungkan prinsip kebebasan, demokrasi, dan persaudaraan.9
Pada tahun 1879, al-Afghâni diusir dari Mesir. ‘Abduh pun berhenti menjadi dosen di Dâr al-‘Ulûm dan memutuskan kembali ke kampung halaman. Selang setahun kemudian, tahun 1880, ia kembali menggeluti kegemarannya mengirim tulisan artikel ke surat-surat kabar seperti al-Waqâi‘ al-Mishriyyah. Di tempat ini,
‘Abduh diangkat menjadi pimpinan redaksi dan penanggung jawab penerbitan pada surat kabar itu.
Tahun 1881, ‘Abduh diangkat kembali menjadi Anggota Dewan Tinggi Pendidikan Publik (Majlis al-‘Alâ al-‘Ulûmiah al-‘Ammah). Keterlibatannya menjadi anggota dewan mengantarnya kembali aktif dikancah politik dan kewartawanan, Namun, keterlibatannya kali ini jauh berbeda saat bergabung dengan oraganisasi
9
radikal sebelumnya. Kali ini, pikiran-pikiran reformisnya sampai ke negara-negara sekitar Arab lainnya. Tanpa disadari, pikiran-pikiran ‘Abduh berhasil mempengaruhi masyarakat Arab dan memegang peran penting dalam pembentukan opini publik khususnya ide-ide ‘Abduh tentang kenegaraan, pendidikan, hak asasi politik, dan motivasi untuk revolusi.10
Pada tahun 1883, ‘Abduh dituduh bersekutu dengan orang-orang revolusioner. Ia dijatuhkan hukuman penjara selama tiga tahun dan diasingkan ke Suriah, sesuai negara pilihannya. Setelah setahun dalam pengasingan, ‘Abduh meninggalkan Suriah menuju ke Eropa. Setelah delapan bulan di Paris, mereka menerbitkan surat kabar al-'Urwah al-Wutsqâ. Sasaran ide penerbitan surat kabar ini adalah sebagai media dakwah bagi oraganisasi-organisasi Islam, pembelaan terhadap Timur-Tengah, penolakan terhadap penjajah, dan lebih khusus pembebasan Mesir dari penjajahan Inggris. Surat kabar al-'Urwah merupakan surat kabar Arab yang pertama kali terbit di Eropa.11
Keberpihakan ‘Abduh kepada orang miskin, sikap kritis terhadap orang kaya, serta kebenciannya terhadap pemerintah otoriter, mendapat banyak tantangan. Menjelang wafatnya pada tanggal 7 Juli 1902, ia menulis artikel berisi kecaman
10
Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyâsi…, h. 69. 11
terhadap pemerintahan Muhammad ‘Ali dan tidak pernah mengakui adanya implikasi sosial dari proyek-proyek yang dibangun rezim Muhammad ‘Ali.12
Tahun 1888, ‘Abduh kembali ke Mesir dan seperti biasanya, ‘Abduh kembali mengajar. Akan tetapi, perhatian ‘Abduh kali ini terfokus pada pelahiran fatwa yang terkait dengan kompleksitas masyarakat Mesir saat itu. Al-Khadiwîh Taufiq, lebih menginginkan ‘Abduh bekerja sebagai hakim di pengadilan negeri sipil ketimbang menjadi guru. Pilihan itu sebagai implikasi kekhawatiran yang pikiran dan jiwa konfrontasinya dapat saja ia tularkan kepada murid-muridnya. ‘Abduh kemudian diangkat sebagai hakim di Banha kemudian dipindahtugaskan ke Zaqâzîq.
Tahun 1890, ‘Abduh dilantik menjadi penasihat senior di pengadilan Apel13 (mahkamah isti‘nâf). Tahun 1312 H, ‘Abduh dilantik menjadi Anggota Dewan Pengurus (majlis idârah) Universitas al-Azhar. Dewan tersebut pertama kali dibentuk oleh al-Khadewy ‘Abbâs yang bertugas membuat perbaikan-perbaikan dalam institusi al-Azhar. Akhirnya, pada tahun 1899 keluar surat perintah pengangkatan
‘Abduh sebagai mufti di Mesir. Dalam perjalanan karirnya sebagai pegawai pengadilan dan mufti, fatwa ‘Abduh lebih cenderung kepada persoalan toleransi (tasâmuh), kebebasan berfikir (istiqlâl al-ra‘yi), dan pembebasan.
Dalam bidang keluarga, ‘Abduh memperjuangkan konsep rekonstruksi (ishlâh). Konsep ishlah-nya bertujuan memperjuangkan nasib kaum wanita sebagai
12
Muhammad ‘Abduh, ‘Ashr Muhammad ‘Alî fî Mishr, dalam Muhammad ‘Imârah (ed.),
(Mesir: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, t.th.), Jilid I, h. 726. 13
basis utama dalam keharmonisan keluarga yang kemudian menjadi ciri perjuangan dan revolusi selanjutnya. Sebagai realiasasinya, ‘Abduh menitikberatkan ishlâh-nya pada tiga pokok, yaitu: a) peningkatan tarap pendidikan kaum wanita; b) thalak; dan c) dan poligami.
Dalam pandangan ‘Abduh, sebab kemunduran wanita Mesir adalah lemahnya pendidikan dan telah mengakarnya tradisi pemahaman agama yang sempit. Saat
‘Abduh menjabat hakim sipil, ia berhasil mengamandemen kewenangan hakim untuk menjatuhkan thalak bagi isteri dalam tiga hal, yaitu: pertama, isteri ditinggal pergi oleh suami tanpa alasan hukum; kedua, isteri yang mengalami tindak kekerasan rumah tangga; dan ketiga, konflik keluarga yang tak kunjung selesai. Sementara dalam hal poligami, ‘Abduh memfatwakan pengharaman poligami, kecuali dalam kondisi darurat. Pembolehan poligami bagi suami hanya hanya jika isteri tidak dapat memberi keturunan.14
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan pribadi ‘Abduh yang mencerminkan sikap, pemikiran, dan kepekaan sosial dan politik dalam mengangkat Mesir dari keterpurukan dan keterbelakangan pendidikan tak lepas dari perhatian besar keluarga dan guru-gurunya dalam pendidikan.
14‘
2. Metodologi Penafsiran dan Pemikiran Rasionalis Muhammad ‘Abduh (Tafsîr Al-Manâr)
Menurut ‘Abduh, tafsir adalah metode pendekatan yang digunakan untuk pencapaian maksud, bukan sebagai tujuan akhir. Tafsir harus dapat menjadi media dakwah perbaikan sosial dan pemurnian agama dari bid‘ah dan keragu-keraguan serta khurafat sehingga al-Qur’an dapat dipahami secara utuh sebagai petunjuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.15 Tampilan metodologi penafsiran ‘Abduh lebih bercorak dakwah ketimbang aturan-aturan dan metode yang lebih umum seperti yang telah menjadi karakteristik para ulama tafsir klasik. Hal ini disebabkan perhatian
‘Abduh kepada tujuan penafsiran al-Qur’an sebagai obat penawar permasalahan sosial masyarakat (‘ilâj lil-amrâdh al-ijtimâ‘iyyah)16 dan menjelaskan tafsirnya dengan cara yang sesederhana mungkin dengan memilih bahasa yang bisa dipahami oleh pendengarnya dengan menyesuaikan tingkat ntelelektualitas jama'ahnya.17
Rasionalitas pemikiran tafsir ‘Abduh dapat dilihat kepada kehati-hatian beliau dalam menetapkan Sunnah sebagai sumber hukum, yaitu yang tidak bertentangan dengan akal. Menurutnya, akal dan agama tidak pernah bertentangan, tetapi saling melengkapi. Konsekuensi dari paradigma ini tak ayal 'meninggalkan' hadis, sekalipun shahih, karena dinilai bertentangan dengan akal. Sebagai contoh, 'Abduh tidak memberlakukan hadis shahih tentang ketentuan al-Haûl dan al-Nishab sebagai syarat
15
Al-Muhtasib, Ittijâhât.., h. 124.
16
Al-Dzahabî, al-Tafsîr..., h. 604.
17
wajib zakat, hadis tentang Nabi Saw. terkena sihir orang Yahudi. Hadis yang dipeganginya hanyalah yang mempunyai dalâlah (petunjuk) sesuai dengan dalâlah al-Qur’an. 18
Dalam bukunya; Risâlah Taûhid, ‘Abduh menyebut bahwa orang harus menyerahkan dirinya tanpa syarat kepada al-Qur’an dan Sunnah mutawâtirah. Seseorang hanya boleh menerima hadis-hadis ahâd yang didengarnya dan yang diyakini ke-shahih-annya.19
Menurut Husaîn al-Dzahabî dalam kitabnya al-Tafsîr wa al-Mufassîrûn, penolakan ‘Abduh kepada hadis selain hadis mutawâtîr berimplikasi terhadap corak penulisan tafsirnya. Ia sedikit sekali menyebutkan hadis, baik dalam memperkuat suatu pendapat atau tidak karena pada masanya penulisan tafsir sudah terpisah dari penulisan hadis.20
Tafsir monumental ‘Abduh dapat dilihat pada Tafsîr al-Manâr Juz 'Amma-nya yang dicetak khusus oleh al-Jam‘iyyah al-Khairiyah al-Islâmiyyah di Beirut yang selanjutnya menjadi hafalan wajib bagi siswa sekolah perkumpulan ini dengan tujuan membentuk kepribadian anak yang bermoral di kemudian hari. Cetakan buku ini selesai pada tahun 1321 H. yang diperuntukkan bagi murid-murid sekolah perkumpulan ini sekaligus sebagai buku daras utama bagi ‘Abduh dalam mengajar.21
18 ‘
Abd al-‘Âthî Muhammad Husaîn, al-Islâm wa Hadhârah al-Gharbiyah, (Beirût: Dâr
al-Irsyâd, 1973), h. 118. 19
Muhammad ‘Abduh, Risâlah al-Taûhid, dalam Muhammad Râsyid Ridha (ed.), (Cairo: tp.,
1346 ), h. 223. 20
Al-Dzahabî, al-Tafsîr…, h. 315.
21