Dalam surah al-Baqarah, perempuan disebut sebagai sawah ladang (al-harts)
Ayat ini di mulai dengan redaksi berita (khabar). Kata pemimpin
C. Analisis Perbandingan Penafsiran Ayat yang Sering Dipahami Gender dalam al-Qur ’an antara Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Syahrur dalam al-Qur’an antara Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Syahrur
Pemaparan analisis perbandingan antara ‘Abduh dan Syahrur ini dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: pertama, sisi keilmuan antara ‘Abduh dan Syahrur; kedua, metodologi penafsiran; dan ketiga, kajian ayat gender.
a. Keilmuan
‘Abduh adalah pelopor kebangkitan pemikiran Islam dan seorang sastrawan. Karya tafsirnya (Tafsîr al-Manâr) menjadi media dakwah perbaikan sosial dan pemurnian agama dari bid‘ah dan keragua-raguan serta khurafat. Berlatar belakang sebagai aktivis politik dan penggerak reformis, ‘Abduh sangat paham maksud dan tujuan pokok al-Qur’an, yaitu pengamalan yang dinamis.85
Adapun Syahrur adalah seorang insinyur pertanahan dan teknik pondasi yang tertarik mendalami masalah-masalah keislaman. Dari hasil perenungannya secara otodidak selama dua puluh tahun, ia berhasil mewujudkan sebuah karya besar, al-Kitâb wa alQur’ân: Qirâ’ah Mu‘âshirah yang kemudian mendapat banyak sorotan karena dinilai terlalu berani membongkar pemahaman-pemahaman yang sudah dianggap baku oleh banyak kalangan khususnya oleh ulama salaf dengan alasan perlunya membuka keterbukaan wacana epistemilogi.86
85
Al-Dzahabî, al-Tafsîr…, h. 604.
86
b. Metodologi Tafsir
‘Abduh berangkat dari pemikiran tafsirnya bahwa al-Qur’an adalah agama yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendapat ini dipeganggi sebagai tujuan al-Qur’an yang Maha Mulia. Mengenai pembahasan-pembahasan yang lain, pada esensinya hanya menginduk pada mainstream tersebut, atau hanya sekedar menjadi media untuk mewujudkannya.87
Adapun prinsip-prinsip dasar metodologi tafsir ‘Abduh, yaitu:
(1) Menghindari mitos dan unsur-unsur isrâ‘iliyât; (2) Menghindari hadis-hadis maudhû‘î; (3) Menghindari uraian tata bahasa ayat; (4) Mengindari khilafiyât-khilafiyât ulama-ulama kalam dan ‘ushûl; (5) Menghindari tarik ulur para pakar tradisional fiqhi, ramalan-ramalan sufi, dan fanatisme kelompok tertentu serta riwayat-riwayat dan hitung-hitungan ilmu kalâm.88
Secara metodologis, ‘Abduh tertarik memilih kajian tafsirnya secara tahlîlî (deskriptif-analitis), yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan sedikit-banyak melakukan analisis di dalamnya. Sementara corak penafsirannya dikategorikan dalam tafsir modern. Menurut Muhammad Husain al-Dzahabî, tafsir ‘Abduh menganut tafsir pembebasan dari belenggu kefanatikan dan pembebasan akal (al-tahrîr min quyûd al-taqlîd wa hurriyah al-fikr).89
87
Al-Muhtasib, Ittijâhât…, h. 126.
88
Al-Bannâ, Tafsîr al-Qur'ân al-Karîm baina al-Qudamâ' wa al-Muhadditsîn, h. 126.
89
Keberhasilan tafsir reformis ‘Abduh di atas membawa berkah bagi penafsir-penafsir modern sesudahnya. Mereka banyak mengikuti bentuk-bentuk tafsir ‘Abduh yang sarat dengan nuansa-nuansa sastra dan pesan-pesan sosial, seperti Muhammad Râsyid Ridha, Muhammad Musthafâ al-Marâghî, ‘Abdul 'Azîz Jawisy, Jamaluddin
al-Qâsimî, ‘Abdul Karîm al-Khâtib, dan Muhammad al-Mubârak ‘Abdullah, dan selainnya.90
Syahrur memulai tafsirnya dari cara pandang bahwa pemahaman terhadap Islam harus didasarkan pada prinsip-prinsip epistemologis yang kuat. Untuk memahami Islam tidak cukup hanya dengan mengandalkan emosi keagamaan dan semangat primordial sempit, karena Islam adalah agama yang didasarkan pada prinsip kesadaran dan menjungjung tinggi rasionalitas. Islam menempatkan akal dalam posisi yang istimewa yaitu sebagai media dan instrumen untuk memahami agama, Tuhan, dan rahasia kehidupan.91
Adapun prinsip-prinsip dasar metodologi tafsir Syahrur, yaitu:
(1) Menggunakan analisis dari kajian bahasa Arab kontemporer yang diambil dari metode kebahasaan Abu ‘Ali al-Fârîsî, Ibnu al-Jinnî dan ‘Abd al-Qâhir al-Jurjânî dengan berdasarkan pada sya‘ir-sya‘ir Jahilîyah;92 (2) Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain seperti materi penafsiran, kode hukum, karya
90
Al-Muhtasib, Ittijâhat…, h. x.
91
Syahrur, Dialektika Kosmos dan Manusia, Dasar-Dasar Epistemologi Qurani, (Alih
Bahasa oleh M. Firdaus dari al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qirâ’ah Mu’âshirah), (Bandung: Yayasan
Nuansa Cendekia, 2004), Cet. I, h. 19-20. 92
sastra, teks filosofis, dokumen sejarah, dan sebagainya. Artinya, al-Qur’an tidak memiliki kedudukan istimewa secara metodologis. Semua teks, sakral atau profan, termasuk al-Qur’an, ditafsirkan berdasarkan aturan-aturan yang sama; (3) Tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks tetapi pluralitas penafsiran disebabkan oleh perbedaan pemahaman para penafsir. Teks hanya alat dan punya bentuk, penafsirlah yang memberinya isi sesuai ruang dan waktu dalam masa mereka.93
Syahrur lebih tertarik menggunakan metodologi tafsir dengan cara merangkum beberapa istilah yang dinilai perlu penafsiran ulang akibat kesalahpahaman ulama-ulama salaf. Sebuah pemahaman lebih dekat kepada pemahaman analisis kebahasaan kontemporer (linguistik modern). Namun Syahrur tidak mengkategorikan karya besarnya (al-Kitâb wa al-Qur’an) sebagai satu karya tafsir atau fiqh. Hemat penulis, hal tersebut karena kritikan yang banyak ditujukan kepada karyanya ini atas penyimpangan terhadap metodologi penafsiran yang telah dianggap baku oleh mayoritas ulama tafsir baik klasik maupun modern, termasuk kapasitas dia sebagai insinyur pertanahan (muhandis al-turâbiyah) yang tidak layak dikelompokkan sebagai mufassir.
Antara ‘Abduh dan Syahrur sama-sama muncul sebagai penafsir modern dan masing-masing menawarkan ide-ide perbaikan sosial pada ruang dan waktu yang berbeda dengan landasan bahwa al-Qur’an selalu sejalan dengan perkembangan waktu dan zaman dan senantiasa menjadi media perbaikan sosial. Hal ini didukung
93
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur’an Menurut
oleh pendapat al-Dzahabî bahwa tafsir modern sarat dengan nuansa-nuansa sastra dan sosial yang akan melahirkan keindahan al-Qur’an, menguak sasaran dan tujuannya yang mulia, serta memadukan nilai-nilai konkrit al-Qur’an dengan teori-teori keilmuan yang benar. Usaha ini ditujukan kepada orang Islam dan non Islam untuk memperkenalkan al-Qur’an kepada mereka sebagai Kitab yang abadi, sejalan dengan perkembangan zaman.94
c. Kajian Ayat Gender
Dalam kajian ayat-ayat gender ini, penulis membandingkan pemikiran tafsir antara ‘Abduh dan Syahrur dengan melihat sisi persamaan dan perbedaan keduannya, termasuk sebab-sebab yang membedakan atau yang mereka perselisihkan. Tentunya, ini tak lepas dari tinjauan kelayakan metodologi mereka dalam memahami ayat-ayat yang sering dinilai bias gender. Masalah-maslah yang diperbandingkan di sini ada delapan masalah. Kedelapan masalah ini adalah poligami, waris, mahar, pakaian antara laki-laki dan perempuan dan perilaku keduanya dalam masyarakat, interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, hak kerja dalam pentas politik dan legislatif, pernikahan, dan thalak.
94
1. Poligami
Adil adalah keseimbangan dua sisi (al-musâwâh). Dalam hal tertentu, keadilan terkadang diukur lewat penglihatan seperti putusan hukum namun juga terkadang lewat perasaan seperti berat timbangan, jumlah bilangan, dan selainnya.
al-Qur’an menerangkan tentang ketentuan balasan yang serupa, sebagaimana dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 194
Artinya:
Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah dia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.
Keadilan dalam putusan hukum akan berbeda dengan tuntuan keadilan dalam poligami. Tuntutan keadilan dalam poligami adalah kemampuan suami membagi hak nafkah kepada isteri secara merata dan seimbang, bukan dalam hal perasaan kasih sayang dan cinta karena sifat manusia tidak akan pernah mampu berlaku adil dalam soal perasaan, seperti yang dinyatakan dalam Q.S. al-Nisâ' [4]: 129
Artinya:Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.95
95
Al-Râghib al-Ashfahânî, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, 1999),
Dalam persoalan keadilan inilah pandangan ‘Abduh dan Syahrur sedikit berbeda. Perbedaan keduanya terletak pada pemaknaan keadilan. Keadilan bagi
‘Abduh adalah sesuatu yang mutlak dan tidak dapat dihermeneutikkan96 dengan arti lain. Perpecahan keluarga yang berpoligami banyak diakibatkan oleh suami yang tidak mampu memberi perlakuan adil secara materi sehingga memicu permusuhan antara anggota keluarga, sementara dari segi keadilan biologis sudah tentu akan berlainan antara satu isteri dengan isteri yang lain. Dasar konsep dharâr wa al-dhirâr (bahaya dan membahayakan) menjadi ilham penolakan ‘Abduh terhadap poligami karena telah bertolak belakang dengan maksud utama diturunkannya al-Qur’an sebagai mashlahah li al-nâs (kepentingan perbaikan umat).97
Sementara dalam pandangan Syahrur, kata ‘âdil yang dimaksudkan dalam ayat poligami ini adalah perlakuan adil suami (orang tua) kepada anak-anaknya dalam dua pihak, yaitu anak-anak kandung sendiri dan anak-anak yatim dari perempuan-perempuan yang ditinggal mati oleh suami mereka. Pandangan Syahrur ini diambil dari hasil teori batas (hudûd) yang ia pahami dalam menafsirkan ayat poligami. Teori batas ini adalah: Pertama, teori batas kadar minimal maksimal (al-kam), bahwa
96 Hermeneutika al-Qur’an merupakan istilah yang masih asing dalam wacana pemikiran
Islam. Diskursus penafsiran al-Qur’an tradisional lebih banyak mengenal istilah tafsîr, ta‘wîl, dan
bayân. Hal tersebut tidak mengherankan sebab istilah hermeneutika merupakan kosakata filsafat Barat yang digunakan belakangan oleh beberapa pemikir Muslim kontemporer dalam merumuskan metodologi baru penafsiran al-Qur’an. Istilah tersebut diintrodusir secara definitif antara lain oleh Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, Arkoun, Abû Zayd, Amina Wadud Muhsin, Asghar Ali Engineer, dan Farid Esack. Metodologi hermeneutika tersebut digunakan untuk menjelaskan metodologi penafsiran
al-Qur’an yang lebih kontemporer dan sistematis. Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, h.
47. 97
laki dibolehkan berpoligami dengan menikahi satu perempuan sebagai batas minimal, atau menikahi mereka lebih dari satu hingga empat orang sebagai batas maksimal. Kedua, batasan al-Kayf, yaitu menikahi perempuan-perempuan yang ditinggal mati oleh suami mereka (arâmîl), dan bukan menikahi perempuan-perempuan perawan atau janda yang tertalak oleh suami mereka. Menurutnya, hal tersebut bertentangan dengan kaidah syarth (syarat) dan jawâb syarth (jawaban syarat) yang menitikberatkan kepada perintah berlaku adil kepada anak-anak yatim.
Menurut Syahrur, kata wâhidah dalam ayat poligami ini dimaknai dua, bukan satu seperti yang umum dipahami. Artinya, anjuran berpoligami yang disyari‘atkan adalah menikahi perempuan yang ditinggal mati suaminya yang memiliki anak sekurang-kurangnya satu.98
Namun, ‘Abduh dan Syahrur sama-sama menolak praktek poligami yang hanya memanfaatkannya sebagai ajang pelampiasan hawa nafsu dan penelantaran hak-hak wanita yang seharusnya dimiliki oleh wanita.
2. Waris
Menurut ‘Abduh, pernilaian keadilan dalam waris tidak bisa dilihat secara kasatmata dalam pembagian ini dengan dua alasan, yaitu: pertama, laki-laki dituntut memberi mahar saat menikah dan tidak ada tuntuan bagi perempuan; kedua; setelah menikah, perempuan tidak dibebankan kewajiban hak nafkah kepada suami dan
98
keluarganya, bahkan pendapatan isteri ia bisa gunakan sendiri. Akan tetapi, hak nafkah hanya dibebankan kepada laki-laki (suami). Tambah ‘Abduh, Islam mengangkat derajat perempuan lebih tinggi. Sebelum datangnya Islam, para perempuan tidak memiliki hak waris dari keluarganya karena penilaian waris saat itu dinilai dari keperkasaan dalam mengangkat senjata melawan musuh dalam medan peperangan.99
Sementara menurut Syahrur, prinsip-prinsip yang ditetapkan Tuhan untuk menegakkan keadilan dalam pembagian harta warisan adalah didasarkan atas prinsip keadilan (al-‘adl) dan kesetaraan atau persamaan (al-musâwâh) antara komunitas-komunitas sosial yang beragam. Maka dengan memperhatikan aturan-aturan (pembagian harta warisan) ini melalui perspektif individu, akan ditemukan bahwa aturan-aturan tersebut tidak menetapkan persamaan antara kelompok laki-laki dan perempuan, tetapi wasiat menetapkan persamaan antara kelompok laki-laki dan kelompok perempuan (majmû'ah al-dzukûr wa majmû'ah al-inâts).100
Kelompok yang dimaksud Syahrur di atas adalah seluruh pewarisnya yang terdiri dari anak laki-laki tanpa perempuan atau perempuan tanpa laki-laki. Menurut Syahrur, karena kasus ini sangat sederhana, maka tidak butuh penjelasan teks al-Qur’an.101 Sementara menurut ‘Abduh, al-Qur’an sengaja meninggalkan pembagian mereka tanpa penegasan hukum apa-apa. Menurut Ridha, pembagian mereka dapat di
99
Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid IV, h. 404-406.
100
Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, h. 336.
101
kelompokkan dalam pembagian anak perempuan lebih dari dua orang dengan merujuk kepada akhir surah ini.102
Hemat penulis, pembagian kedua kelompok di atas tidak dijelaskan dalam al-Qur’an. Syahrur memilih pendapat Ridha di atas bahwa masing-masing kelompok mendapatkan 1/3 sesuai jumlah anak yang ada berdasarkan pada redaksi ayat:
Artinya:Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.
Dari sini jelas bahwa tuduhan kepada Islam yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan dan sarat dengan pemahaman bias dalam konteks ayat dengan berkaca kepada pembagian waris di atas sepenuhnya tidak benar.
3. Pakaian antara Laki-Laki dan Perempuan
Pembahasan pakaian di sini lebih diarahkan kepada perintah pemakaian jilbab. Jilbab merupakan salah satu di antara bentuk pakaian untuk menutup dan menjaga aurat103 perempuan dari pandangan orang asing (bukan muhrim).
102
Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid IV, h. 415.
103'Aurat secara bahasa adalah kekurangan. Adapun secara istilah berarti sesuatu yang wajib
ditutup dan diharamkan untuk dilihat. Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, (Damaskus: