• Tidak ada hasil yang ditemukan

MUHAMMAD 'ABDUH DAN MUHAMMAD SYAHRUR

A. Biografi Muhammad ‘ Abduh

3. Pendapat tentang ‘ Abduh

Seruan ‘Abduh kepada pemahaman teks al-Qur’an dengan cara kembali kepada teks asli yang diwahyukan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. berimbas pada penolakannya kepada beberapa buku tafsir yang ada dan buku-buku produk abad sebelumnya. Menurutnya, karya itu tak lebih dari jiplakan karya-karya tafsir klasik sebelumnya yang banyak diperselisihkan di antara mereka.34 Ia menolak sikap bertaklid buta kepada mazhab tertentu karena telah menjadi salah satu penyebab kemunduran umat Islam. Untuk menyejajarkan diri dengan kemajuan yang dicapai oleh Barat, ‘Abduh menyerukan optimalisasi ijtihad sehingga ia diidentikkan sebagai penganut Mu‘tazilah.35 ‘Abduh juga dikenal sangat berhati-hati dalam menetapkan sunnah sebagai sumber hukum, yaitu jangan sampai bertentangan dengan akal. Menurutnya, akal dan agama tidak pernah bertentangan, bahkan saling melengkapi. Konsekwensi dari cara pandang ini adalah ‘Abduh tidak segan-segan meninggalkan hadis, sekalipun shahih, jika dinilai berkonfrontasi dengan akal.36

34

Al-Dzahabî, al-Tafsîr..., h. 598.

35

Syahatah, Manhâj al-Imâm..., h. 83. Lihat juga: ‘Abdul Kadir Ahmad, Studi Pemikiran

Muhammad ‘Abduh tentang Kehujjahan Sunnah, (Thesis 2003, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 15.

36

Abd al-'Âthî Muhammad Husaîn, al-Islâm wa Hadhârah al-Gharbiyah, (Beirut: Dâr

Menanggapi cara pandang ‘Abduh di atas, Muhammad al-Ghazâli dalam bukunya Kaîfa Nata‘âmal ma‘a al-Qur’ân menilainya sebagai cara pandang yang keliru. Bagi al-Ghazâli, bertaklid kepada ulama mazhab tertentu lebih baik dari keadaan seperti sekarang. Sikap menomorsatukan akal dari pendapat ulama-ulama klasik hanya mendatangkan sifat kekanak-kanakan, memusuhi para ulama, dan mendangkalkan moral, termasuk akan menyalahkan sejarah yang dilakukan hanya demi sebuah ketenaran. Pemikiran ulama-ulama klasik terbatas pada masa dan ruang yang melingkupi hidup mereka, sementara keadaan telah berubah sehingga menuntut penyesuaian pemahaman. Bukan hanya itu, tidak ada jaminan otoritas kebenaran pendapat sehingga pendapat-pendapat mereka berpeluang dibenarkan dan disalahkan.37

Syeikh Muhammad Musthafa al-Maraghi (disingkat al-Marâghi) juga berkomentar tentang ‘Abduh.38 Meskipun al-Marâghi tidak pernah duduk belajar tafsir bersama Ridha di hadapan ‘Abduh, ia mendukung pemikiran reformasi dan penolakan 'Abduh terhadap sikap taklid kepada ulama-ulama klasik. Bukan hanya itu, al-Marâghi berani mengadopsi cara pandang ‘Abduh ke dalam tafsirnya.39 Al-Marâghi sangat menyanjung ‘Abduh sebagai sosok ulama penafsir yang banyak menyentuh problematika sosial yang dianjurkan oleh al-Qur’an. Hal tersebut terbaca ketika menafsirkan ayat-ayat sosial seperti pada Q.S. al-Mâ‘ûn [107]: 3

37

Muhammad al-Ghazâlî, Kaifa Nata‘âmal ma‘a al-Qur’ân, (Virginia: al-Ma‘had al-‘Âlamî li

al-Fikr al-Islâmî), Cet. I, h. 166.

38

Syekh Muhammad Musthafâ al-Marâghî (1881-1945)

39











Artinya:

Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.40

Nama lain yang memuji beliau adalah Ahmad Amîn. Sosok ‘Abduh baginya adalah pelopor reformis (zu‘amâ al-ishlâh). Dr. Usman Amin menyebutnya sebagai pelopor kemajuan pemikir Islam. ‘Abbas Mahmûd al-‘Aqqâd menyebutnya sebagai si jenius kemajuan dan pendidikan (‘abqâr al-ishlah wa al-ta‘lîm). Muhammad Husain al-Dzahabî penulis kitab al-Tafsîr wa al-Mufassirûn juga menyebutnya sebagai

pelopor warna sastra sosial tafsir masa kini.

Kritikan dan pujian terhadap satu tokoh merupakan hal yang wajar dan dapat saja terjadi kepada siapapun. Namun demikian, ada satu hal yang perlu dicatat bahwa ide kemunculan tafsir bercorak modern yang muncul setelah abad XIX M. mengambil ide dari tafsir ‘Abduh. Tidak heran jika tafsir reformis ‘Abduh kemudian diikuti oleh sekumpulan penafsir modern berikutnya, seperti Muhammad Râsyid Ridha, Muhammad Mustafa al-Marâghi, ‘Abdul Azîz Jawisî, Jamaluddin al-Qâsimî,

‘Abdul Karîm al-Khatib, dan Muhammad al-Mubârak ‘Abdullah, dan selainnya. 4. Karya-Karya

Sebenarnya ‘Abduh tidak terlalu tertarik menuangkan pikiran-pikirannya dalam buku. Dia lebih memilih metode pidato dalam menyampaikan ide dan

pandangannya. Menurutnya, pikiran yang disampaikan lewat ucapan lebih menyentuh hati sanubari pendengar ketimbang menuangkannya dalam bentuk tulisan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena waktu yang ia miliki habis terpakai untuk mengajar ketimbang untuk menulis. Beliau mengajar di al-Azhar, Masjid Raya Beirut, Masjid Raya al-Basyurah, Dâr al-‘Ulûm, dan sebagainya. Pada umumnya, materi kuliah yang dia ajarkan di masjid-masjid tersebut adalah tafsir al-Qur’an. Berikut ini beberapa bentuk buku atau majalah yang pernah ia tulis, yaitu:

1. Al-Wâridât, kitab yang merupakan karya pertama dalam ilmu kâlam yang dihasilkannya. Sebuah karya yang membahas tentang teologi Islam dengan gaya dan metode tasawuf yang terdiri dari dua jilid dan pernah dicetak dan dipublikasi meskipun masih dalam jumlah terbatas.

2. Risâlah fî Wahdât al-Wûjûd, kitab yang menerangkan konsep Wahdat al-Wujûd, bukan konsep seperti yang diterangkan al-Jili, melainkan dengan cara khusus yang esensinya menjelaskan tingkatan-tingkatan wujud, bilangan-bilangan, keteraturan dan kesatuannya dengan wujud yang lain.

3. Târîkh Ismâ’îl Bâsyâ, kitab yang dikomentari Ridha bahwa “Aku mendapat informasi dari salah seorang muridnya yang senior yang menyebut sebagian kitab ini pernah dimuat dalam Majalah al-Thâif pada waktu timbulnya revolusi ‘Urabi Pasya. Namun demikian, menurutnya, tuan guru (Muhammad ‘Abduh) tidak pernah menyinggung-nyinggung karya yang satu ini padahal dia tidak pernah menulis sebuah risalah sekecil apapun kecuali menceritakannya kepadaku.” Oleh

karena itu, ungkap Ridha selanjutnya, aku cenderung berpendapat bahwa buku ini tidak pernah ada."

4. Falsafah al-Ijtimâ‘iyyah wa al-Târîkh, kitab yang ditulis sewaktu ‘Abduh mengajar pelajaran sejarah dengan pegangan kitab Muqadimmah karya Ibnu Khaldun di Dâr al-‘Ulûm. Sayang kitab ini hilang saat dia diusir bersama gurunya al-Afghâni oleh pemerintah Taufik Basya karena dianggap terlibat dalam masalah politik.

5. Hâsyiyâh ‘Aqâ’id al-Jalâluddîn al-Duwwânî, kitab yang merupakan kitab tertinggi dalam masalah kalam (teologi Islam). Di dalamnya termuat perbedaan pendapat di antara para teolog secara mendasar dan dijelaskan pula perbedaan yang muncul baik karena faktor bahasa maupun hakikat. Dalam beberapa pembahasannya terdapat kesan bahwa yang benar dalam akidah adalah mazhab salaf. Namun demikian, pemikiran-pemikiran para teolog mempengaruhi pola pikirnya dalam waktu yang terbilang lama. Kitab ini dijual bebas dan termasuk kitab yang laris di pasaran. Karya ini sempat diterbitkan dalam dua jilid oleh Dâr Ihyâ Kutub al-‘Arabiyah tahun 1377 H. dan disadur ulang oleh Sulaiman Dunyâ dengan judul al-Syeikh Muhammad ‘Abduh baina al-Falasifah wa al-Kalâmiyyin.

6. Syarh an-Nahj al-Balâghah, kitab yang amat populer dan dicetak di beberapa kota besar seperti di Beirut, Tripolia, dan Mesir. Kitab ini terbit berulang-ulang dan disyarah hingga sekarang. Adapun latar belakang penulisan kitab ini adalah keinginan ‘Abduh yang begitu antusias agar para siswa memiliki malakah

(kemampuan) dalam ber-balaghah (keindahan bahasa), baik dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam kegiatan keilmuan.

7. Syarh Maqâmat Badî‘ al-Zamân al-Hamdânî, kitab yang merupakan satu-satunya kitab syarah terhadap kitab Maqâmât tersebut. Kitab ini selesai dicetak pada tanggal 16 Ramadhan 1906 di Dâr al-Fikr Beirut.

8. Syarh al-Bashâir al-Hamdâniyah al-Nâshiriyyah fî al-Manthiq, kitab yang merupakan kitab syarah yang singkat tetapi sangat padat dalam bidang ilmu logika (manthiq). Kitab ini dipandang kitab terbaik dalam bidangnya yang pernah ditulis oleh para ahli. Materi pelajaran manthiq ini diajarkan penulisnya di al-Azhar, dan Ridha termasuk salah satu pesertanya.

9. Nizhâm al-Tarbîyyah wa al-Ta‘lîm bi Mishr, risalah yang membawa gagasan tentang metode yang cocok dalam pendidikan dan pengajaran di Mesir. Meskipun ditulis secara singkat, risalah ini adalah risalah ‘Abduh yang terbaik dalam bidangnya.

10. Risâlah Taûhîd, kitab yang merupakan karya ‘Abduh yang paling berharga dan monumental bahkan sempat dicetak berulang kali dan menjadi salah satu karya besarnya yang paling banyak dibaca. Kitab ini amat masyhur karena mengurai sistem teologi yang benar dan rasional. Kitab ini mendapat sambutan dan apresiasi yang antusias dari berbagai tokoh, seperti Syaikh Sa‘d Hûrî al-Syartûnî, pengarang kitab Mu‘jam. Syartuni menulis surat kepada 'Abduh yang isinya mengungkap sambutan dan kekagumannya terhadap kitab ini yang ditutup

dengan harapan dan doa. Demikian halnya Syaikh ‘Abdul Karîm al-Rafi‘i salah seorang ulama al-Azhar dari madzab Hanafi dan Farid Wajdi seorang ulama pembaharu abad XIX. Wajdi menulis:

Seandainya risalah karya ‘Abduh ini hendak disyarah, tentu butuh waktu yang lama dan akan terdiri dari berjuz-juz sebab di dalamnya memuat falsafat agama sambil mengambil pemikiran yang cocok dengan Islam dan membuang yang jauh dari Islam tanpa penjelasan yang memadai. Oleh sebab itu akan ditemui beberapa kesulitan dalam pembahasannya.

11. Taqrîr al-Mahâkim al-Syar‘îyah, kitab yang mengangkat pembahasan tentang hukum tetapi berguna tidak hanya bagi para hakim. Kitab ini amat penting bagi para cendekiawan, khususnya para peminat sastra, lebih-lebih para pecinta fiqih. 12. Al-Islâm wa al-Nasrâniyyah ma'a‘ al-‘Ilm wa al-Madaniyyah, karya yang sempat

dicetak berulang kali. Awalnya, risalah ini merupakan makalah yang dimuat dalam majalah al-Manâr kemudian diterbitkan dalam buku tersendiri setelah terlebih dahulu minta izin kepada pengarangnya, ‘Abduh. Ide terpenting yang dimuat dalam buku ini adalah memotivasi kaum Muslimin dan mengarahkan mereka agar menyadari sebab-sebab keterbelakangan mereka yang menyebabkan hilangnya harga diri dan kekuasaannya. Kitab ini amat menarik karena selain isinya mudah dimengerti, dan dibubuhi argumentasi rasional dan qur’ani. Buku ini harus dibaca berulang-ulang setiap tahunnya agar umat Islam tidak lengah. Demikian salah satu sambutan ulama al-Azhar.41

41

13. Tafsîr Surat al-‘Ashr, tafsir yang berkali-kali disampaikan dalam beberapa kuliahnya, baik di al-Azhar Cairo maupun di al-Jazâir. Tafsir ini pernah dimuat dalam majalah al-Manâr atas permintaan para pengikut pengajiannya di al-Jazâir. Dalam tafsir Juz ‘Amma, sewaktu menafsirkan surat al-‘Asr, beliau menulis:

“Tafsir surat ini sudah saya tulis tersendiri dengan pembahasan yang cukup luas dan pernah juga dimuat dalam Majalah al-Manâr dalam beberapa kali terbitan. Tafsir ini juga pernah saya sampaikan di al-Jazâir pada bulan Jumadil Awal tahun 1321 M. Dalam kitab ini (Juz ‘Amma), saya menafsirkan secara global saja. Barang siapa yang hendak melihat tafsiran yang lebih luas dan mendalam, bacalah tafsir yang ditulis sewaktu masih di al-Jazâir.

14. Tafsîr Juz ‘Amma, tafsir yang ditulis sebagai materi pelajaran yang disampaikan di Madrasah al-Khairiyah. Pada awalnya, hak penerbitan ada pada madrasah tersebut. Proses penulisannya dimulai ketika beliau di musim semi berkunjung ke Barat dan berakhir di kota Jenewa Swiss pada tahun 1321/1903 M. Cetakan pertama terbit pada tahun 1322 M.

15. Tafsîr al-Manâr, kitab yang ditulis oleh muridnya, Ridha, yang peran awalnya hanyalah sebagai sekretaris (penulis). Namun begitu, Ridha sendiri yang selanjutnya menulis dan meneruskan penafsirannya. Karya ‘Abduh yang ada dalam al-Manâr adalah Tafsir al-Fâtihah sampai surat al-Nisâ’ [4] ayat 125. Meskipun hanya sebagian kecil yang ditafsirkan –karena keburu wafat- tetapi

pola penafsirannya menjadi acuan bagi penafsiran Ridha berikutnya. Dalam beberapa hal memang ada penafsiran Ridha yang berbeda dengan sang gurunya.

Namun untuk ukuran pemikir sekaliber beliau yang berpengaruh dalam dunia intelektual keislaman, karya ‘Abduh terbilang sedikit. Meskipun demikian, ide-ide pembaharuannya baik dalam bidang syariat, akidah, maupun pendidikan begitu berpengaruh di dunia Islam. Ide-ide ‘Abduh menyebar ke dunia Islam melalui karya-karya ‘Abduh sendiri, terutama melalui karya-karya murid-murid dan pengikutnya. Karya ‘Abduh memang terasa tidak sebanding dengan nama besar ‘Abduh sendiri.42

Ide-ide pembaharuan ‘Abduh, baik yang ia tulis langsung atau melalui muridnya, membuka jalan kepada generasi pembaharu berikutnya khususnya dalam bidang tafsir dan akidah. Dalam bidang tafsir, pengaruh corak penafsian ‘Abduh banyak mempengaruhi penafsir-penafsir modern setelahnya, seperti Syekh ‘Abdul Qâdir Magribi, Syekh Muhammad Musthafa Marâghi, Syekh Jamaluddin al-Qâsimi (penulis buku Mahâsin al-Ta‘wîl), Syekh ‘Abdul Hâmid ibn Bâdîs

(intelektual al-Jazâir dan pendiri Perhimpunan Ulama), Syekh al-Thâhir ibn Asyûr (penulis tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr), Syekh Mahmûd Syaltut, dan sebagainya.

42