• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memahami Hukum yang Bergerak dalam Kelas (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Memahami Hukum yang Bergerak dalam Kelas (1)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Mahasiswa Hukum, Hukum, Masyarakat dan Perubahan Sosial

Herni Sri Nurbayanti1

Pengantar

Tujuan pendidikan tinggi pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), yaitu menghasilkan sarjana hukum yang menguasai hukum Indonesia, menguasai dasar-dasar ilmiah dan dasar-dasar kemahiran kerja untuk mengembangkan ilmu hukum dan hukum, mengenal dan peka akan masalah-masalah kemasyarakatan, mampu menganalisis masalah-masalah hukum dalam masyarakat, dan mampu menggunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan masalah-masalah di masyarakat dengan kebijakan dan tetap berdasar pada prinsip hukum.2

Konsekuensinya, Fakultas Hukum diharapkan mampu menghasilkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak saja memahami konsep dan gagasan hukum namun juga memahami bagaimana hukum itu bergerak dalam masyarakat dan relasinya dengan perubahan sosial. Dalam konteks Indonesia yang telah memulai reformasi hukum sejak tahun 1998, kemampuan ini menjadi penting, terlebih citra kampus Universitas Indonesia sebagai “kampus perjuangan”. Tantangan terbesar dari fakultas hukum adalah bagaimana menyusun suatu kurikulum dan metode pengajaran yang membuat mahasiswa hukum tidak berjarak dengan realitas bagaimana hukum berinteraksi dengan masyarakat dalam konteks perubahan sosial.

Tulisan ini dimulai dengan elaborasi perkembangan pemikiran mengenai hukum dan masyarakat dalam kajian hukum secara umum, memasukkan konteks pentingnya mahasiswa hukum memahami hukum, masyarakat dan perubahan sosial dalam konteks reformasi hukum terutama dalam menganalisis peraturan perundang-undangan. Pada bagian akhir, tulisan ini memperkenalkan bagaimana melihat dua dimensi hukum, teks

1 Peneliti pada Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK). 2Situs Universitas Indonesia: http://law.ui.ac.id/index.php?

(2)

dan konteks, dengan menggunakan context-based methodology sebagai salah satu metode perkuliahan yang diajarkan di fakultas hukum.

Mahasiswa Hukum, Peraturan Perundang-undangan dan Perubahan Sosial

Kajian Sosiologi Hukum membuka jalan bagi cara pandang baru dalam melihat hukum dan masyarakat dalam konteks perubahan sosial. Soetandyo Wignjosoebroto3

menguraikan perkembangan pemikiran hukum dan masyarakat ini secara kronologis. Pada awalnya, hukum dilihat sebagai asas-asas moral dan keadilan yang implisit dan diklaim berlaku secara universal oleh para penganut aliran filsafat tentang hukum alam. Gagasan ini berangkat dari konsep monisme bahwa “hukum adalah tertib kehidupan yang sesungguhnya adalah tertib moral, tanpa ada pemisahan mengenai apa yang normatif, positif dan empiris.

Pemikiran ini kemudian dikaji ulang dan melahirkan pemahaman konsep masyarakat sebagai tertib moral positif yang manifestasinya terwujud dalam bentuk kaidah perundang-undangan nasional yang bulat, utuh dan tuntas. Sehingga, konsep masyarakat masih berupa suatu model yang normatif, tanpa mempersoalkan moral lagi. Dalam konteks ini, ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan sebagai tertib moral positif merupakan suatu keharusan.

Di tataran ini, hukum adalah sama dan sebangun dengan deskripsi sosialnya yang empiris. Sehingga bila ada ketidaksamaan di level empiris dengan gagasan hukumnya, maka yang deskriptif di level empiris lah yang harus dikoreksi dengan berbagai kebijakan, sekalipun dengan cara yang koersif. Sehingga, hukum digunakan sebagai alat paksa bagi masyarakat untuk berubah ke arah tatanan yang dianggap ideal.

Kemudian, para perintis pemikiran Sosiologi hukum memberikan kontribusi dalam melihat hukum dan masyarakat. Pada dasarnya, mereka memasukkan perspektif sosial dalam kajian-kajian hukum yang kemudian membuka cara pandang baru terhadap hukum

(3)

dan masyarakat. Pada intinya, hukum dalam konsepnya sebagai hukum positif dilihat sebagai norma-norma baku yang terumus secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan nasional, maka hukum mulai dilihat sebagai bagian dari kompleks variable sosial yang empiris. Selanjutnya, lahir kajian-kajian sosiologi hukum yang melihat hukum dan masyarakat sebagai entitas yang dependen dan interdependen. Sederhananya, pemikiran itu bergerak dari perdebatan hukum adalah masyarakat (law is society) dan hukum bukan masyarakat (law is not society) ke arah hukum di dalam masyarakat (law is in society).

Cara pandang baru ini melihat hukum dalam masyarakat dalam konteks perubahan sosial bukan lagi sebagai sesuatu yang netral dan tanpa kepentingan. Hal yang paling gamblang untuk melihat ini adalah dalam proses legislasi, dimana peraturan perundang-undangan dihasilkan. Mengapa area ini penting, karena sejak reformasi hukum bergulir, hukum dijadikan alat yang dianggap ampuh dan efektif dalam mendorong perubahan-perubahan dalam proses demokratisasi di Indonesia. Lewat pendekatan kerangka hukumlah, nilai-nilai demokrasi diintegrasikan.

Dalam hal ini, negara dianggap memiliki peran yang besar dalam menyediakan kerangka hukum yang mengintegrasikan prinsip-prinsip demokrasi mulai dari penataan serta relasi kelembagaan antara institusi-institusi negara, penegakan rule of law hingga pemenuhan kewajiban negara dalam memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia kepada warganya. Sehingga, reformasi hukum ditandai dengan perubahan besar-besaran di tingkat peraturan perundang-undangan. Dan peraturan perundang-undangan ini diajarkan sebagai hukum positif yang harus dikuasai oleh mahasiswa fakultas hukum.

(4)

menunjukkan bahwa banyak faktor-faktor yang sifatnya non-hukum yang melatarbelakangi lahir atau dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan untuk perubahan sosial. Tantangannya kemudian adalah bagaimana metode pengajaran di fakultas hukum mampu memfasilitasi mahasiswanya untuk mengenali baik kesemua faktor tersebut.

Melihat Dua Dimensi Hukum dengan Context-Based Methodology

Ada pemahaman yang umum berkembang bahwa peraturan perundang-undangan dilihat sebagai suatu norma-norma yang saklek, baku serta yang seharusnya. Bila ada permasalahan dalam implementasinya, maka yang seringkali diutarakan adalah, “peraturannya sudah baik, hanya pelaksanaannya yang tidak efektif”. Oleh karenanya, proses reformasi hukum yang dinilai kurang berhasil dilihat sebagai kekurangan dalam kerangka hukum atau peraturan perundang-undangannya saja.

Context-based methodology adalah metode yang dikembangkan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) yang dapat digunakan dalam perancangan maupun penilaian peraturan perundang-undangan. Metode ini berangkat dari asumsi bahwa masyarakat selalu berubah dan peraturan perundang-undangan merupakan sedimentasi dari berbagai praktek sosial, baik di ruang debat di parlemen, ruang formal maupun informal dari pelaksanaan peraturan itu sendiri.4 Sehingga, ada dua dimensi dari

peraturan perundang-undangan yaitu tekstual5 dan kontekstual,6 dimana dimensi tekstual

tidak dilihat sebagai dokumen hidup dan dimensi kontekstual ditempatkan sebagai arahan atau visi dalam melakukan pembaruan. Dengan pemikiran bahwa hukum dibentuk untuk melakukan perubahan sosial, maka fokus utama ditempatkan untuk memahami realitas sosial yang ada dan arah dari perubahan sosial itu. Sehingga, Context-Based

4 Erni Setyowati, dkk. Amalia Puri Handayani, ed. Merancang Peraturan untuk Perubahan (Jakarta: PSHK, 2010).

5 Dimensi tekstual, dimana hukum berwujud dalam teks-teks dan kelembagaan forma yan eksplisit, seperti undang-undang, peraturan kebijakan, putusan hakim, rambu-rambu lalu lintas, aturan-aturan prosedural, polisi, pengadilan atau penjara.

(5)

Methodology adalah metode yang melihat visi yang memperjelas orientasi pembentukan peraturan perundang-undangan dan pengumpulan bukti-bukti dan pemahaman yang lebih dalam terhadap masalah sosial.

Metode ini melihat bahwa peraturan adalah sebuah solusi untuk mengubah perilaku bermasalah --yang berkontribusi terhadap munculnya masalah tertentu-- dari pemegang peran maupun lembaga pelaksana ke arah visi yang diharapkan dengan menggali dan menggunakan potensi-potensi yang dimiliki. Ada empat tahap penting dalam metode ini yang dapat diaplikasikan dalam perkuliahan untuk secara mudah memahami dimensi tekstual dan kontekstual suatu peraturan perundang-undangan, yaitu mengenali masalah sosial yang hendak diselesaikan oleh peraturan, mencari penyebab perilaku bermasalah yang hendak diubah oleh peraturan, menciptakan visi melalui potensi yang adalah dalam pengajuan alternatif solusi serta bagaimana hal tersebut dirumuskan dalam kalimat peraturan perundang-undangan. Keempatnya dibahas di bawah ini:

1. Identifikasi Perilaku Bermasalah

Karena peraturan hanya dapat mengatur perilaku, maka perlu mengidentifikasi perilaku apa dan siapa pelakunya yang menimbulkan masalah sosial. Identifikasi ini dilakukan terhadap dua aktor, yaitu pengemban peran atau individu, organisasi dan kelompok individu serta pelaksana peraturan. Hal ini seharusnya secara jelas terefleksikan dalam peraturan perundang-undangan. Atau sebaliknya, hal ini merupakan pertanyaan kunci pertama dalam menilai suatu peraturan, perilaku seperti apa (baik dari pengemban peran dan pelaksana peraturan) yang hendak diatur oleh suatu peraturan perundang-undangan?

2. ROCCIPI sebagai Alat Analisa Penyebab Perilaku Bermasalah

(6)

a. Rule (Peraturan), yaitu dimana peraturan justru menjadi penyebab munculnya perilaku bermasalah misalnya karena kalimatnya yang rancu, adanya beberapa peraturan yang tumpang-tindih dan bahkan bertolak belakang, atau memberikan kewenangan berlebihan kepada pelaksana peraturan.

b. Opportunity (Kesempatan), yaitu faktor-faktor lingkungan sekeliling yang mendorong atau mengkondisikan aktor melakukan perilaku bermasalah tadi. Misalnya, seseorang melakukan korupsi karena kondisi sekelilingnya yang juga melakukan tindakan tersebut.

c. Capacity (Kemampuan), yaitu kondisi-kondisi dalam diri aktor yang menyulitkannya menaati peraturan, sehingga perilakunya dikatakan bermasalah, misalnya kemampuan ekonomi, kapasitas politik, dan kapasitas sosial budaya. d. Communication (Komunikasi), yaitu hal-hal yang menyebabkan ketidaktahuan

aktor terhadap peraturan, misalnya pihak-pihak berwenang belum mengkomunikasikan peraturan secara memadai atau media komunikasi yang dipakai sudah efektif.

e. Interest (Kepentingan), yaitu manfaat yang diperoleh oleh aktor dari setiap perilaku bermasalah yang dilakukannya. Manfaat ini bisa berupa material maupun non-material dan umumnya terdiri dari kepentingan ekonomis, kepentingan politik, kepentingan sosial budaya, dll.

f. Process (Proses), yaitu mekanisme proses dalam aktor yang berupa lembaga dalam empat tahap penting yaitu: (i) pengumpulan input: siapa saja yang dimintai masukan untuk mengambil keputusan? Dengan cara apa masukan dikumpulkan? (ii) konversi: siapa yang akan menyaring dan mengolah masukan untuk jadi dasar keputusan? Dengan cara apa? (iii) output: Siapa yang akan mengambil keputusan akhir? Dengan cara apa keputusan akhir dibuat? dan; (iv) umpan balik: Siapa saja yang dimintai umpan balik? Dengan cara apa umpan balik diolah untuk memperbaiki keputusan?

(7)

biasanya terbentuk secara kolektif sehingga dianut pula secara kolektif, dan berproses dalam waktu yang cukup lama, bahkan beregenerasi

3. Menggali Potensi dalam Pengajuan Alternatif Solusi

Pada dasarnya, peraturan perundang-undangan adalah kumpulan solusi untuk mengubah perilaku bermasalah yang dianggap berkontribusi dalam munculnya masalah sosial. Pada titik inilah yang menentukan apakah peraturan digunakan sebagai alat koersif dan bahkan represif atau sebaliknya, restitutif. Solusi yang ditawarkan oleh peraturan perundang-undangan juga memiliki pelbagai aspek, misalnya sejarah pengaturan masalah sosial yang serupa, studi komparasi di wilayah lain yang memiliki permasalahan yang sama, pemanfaatan berbagai sumber dan potensi yang ada, hingga pertimbangan dampak dari solusi yang ditawarkan, utamanya kepada prinsip-prinsip dasar, konstitusi, kelompok rentan dan marjinal serta anggaran. Selain itu, persoalan sanksi dan insentif juga menjadi pertimbangan dalam menyusun solusi.

4. Perumusan Norma Peraturan

Langkah terakhir adalah bagaimana solusi-solusi tersebut dirumuskan dalam bentuk kalimat peraturan perundangan-undangan. Hal ini menyangkut kemampuan teknis, yaitu bagaimana kalimat yang dirumuskan tidak menimbulkan masalah baru, misalnya membuka celah adanya multi-interpretasi, rancu dan membingungkan dan hal-hal lain yang membuat aktor tetap melakukan atau bahkan melahirkan perilaku bermasalah baru.

Dengan metode ini, mahasiswa fakultas hukum diberi stimulus untuk mengumpulkan data dan memahami dimensi kontekstual dari suatu peraturan perundang-undangan sehingga menjadikannya tidak berjarak dengan realitas sosial yang ada.

(8)

Setyowati Erni, dkk. Amalia Puri Handayani, ed. Merancang Peraturan untuk Perubahan. Jakarta: PSHK, 2010.

Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Ifdhal Kasim. Ed. Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa logam berat Pb tidak ada hubungan dengan kepadatan cacing tanah, namun secara deskriptif dapat dilihat dari berat dan rata-rata panjang

Seminar terakhir kedatangan Islam ke Aceh dan Asia Tenggara yang berlangsung di Rantau Kuala Simpang Aceh Tamiang tahun 1981 menyatakan bahawa kerajaan Islam yang pertama

Homozigot berlebihan pada populasi F0 dan F1 lebih disebabkan oleh penggunaan tetua dengan keragaman genetik yang relatif rendah bukan dampak dari kegiatan seleksi yang

Beberapa artefak yang ditemukan baik dari hasil penggalian maupun yang sudah berada di permukaan tanah yaitu batu-batu berbentuk kala; makara; batu berelief guirlande, gapa, pilar

Implikasi Hukum Internasional pada Flight Information Region (FIR) Singapura atas Wilayah Udara Indonesia Terhadap Kedaulatan Negara Kesatuan Republik

Individu dengan kategori tigkat optimisme yang cukup pesimis, dan pesimis menurut Seligman (2006, hlm. Pertama, merkea akan mudah mengalami depresi. Kedua, individu

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang memiliki percaya diri tinggi memperoleh keterampilan proses sains biologi siswa lebih baik dengan skor 118,3

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi Kebijakan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 Tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah