Masyarakat Petani Miskin dan Pembangunan
(Analisis Konsekuensi Pembangunan dalam bingkai Teori Perubahan Struktural dan Sosial)
Paper Pembangunan Sosial
Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester matakuliah Teori Pembangunan yang diampu; Dr. Silverius Djuni Prihatin, M.Si.;
Drs. Suparjan, M.Si.; Drs. Hendrie Adji Kusworo, M.Sc., Ph.D.
Mukhammad Fatkhullah 16/404184/PSP/05857
JURUSAN PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Petani dan kemiskinan memiliki kaitan yang sangat erat. Dalam sejarahnya, fenomena
kemiskinan tidak hanya terjadi pada masyarakat Indonesia, namun juga di belahan asia timur
yang meliputi Burma, Indocina, dan Vietnam ketika Negara barat dan kapitalis mulai
melakukan ekspansi global pada abad 19 dan 20 yang kemudian menjadi salah satu kajian
James C. Scott dan dituangkan dalam bukunya yang berjudul The Moral Economy of The
Peasant (King, 2011).
Kendati merupakan salah satu sektor utama saat itu, dan menjadi tulang punggung bagi
ketahanan nasional pada setiap bangsa-bangsa asia timur1. Praktik eksploitasi dan pencurian
nilai tambah2 kerap dilakukan guna memperbesar marjin keuntungan kapitalis. Hal ini,
kemudian dibuktikan dengan munculnya istilah tuan tanah, petani pemilik, pemilik alat
produksi, ataupun pemilik modal dalam sektor pertanian. Tidak heran, pada saat itu kemiskinan
kerap kali mengekor pada kehidupan masyarakat petani.
Di Indonesia sendiri, sektor pertanian merupakan sektor unggulan di masa pemerintahan
Orde Baru. Hal ini tercermin dari kebijakan revolusi hijau yang diterapkan oleh pemerintah
kala itu. Revolusi hijau dan segala usaha pertanian modern, yang dengan ataupun tanpa disadari
berdiri di atas ketimpangan pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria. Meskipun
dalam praktknya merupakan penjelmaan kekuatan anti reforma agraria.3 Hasilnya, Indonesia
bisa memenuhi kebutuhan pangannya dengan bertumpu pada hasil pertanian yang mandiri.
Dalam laporan Indonesia Human Development Report 2001, kebijakan pemerintah dalam
sektor pertanian pangan (padi) memiliki dampak panjang terhadap berkurangnya kemiskinan.
Pada Pelita I (1969-1974) pertanian menjadi prioritas utama pembangunan dengan sepertiga
anggaran belanja pemerintah ditujukan untuk kedua sektor itu. Upaya itu mulai memberikan
hasil pada tahun 1970-an ketika produksi beras mulai meningkat dari 23 juta ton menjadi 38
juta ton pada tahun 1984. Bila pada akhir tahun 1970-an Indonesia adalah pengimpor sepertiga
1 Jauh sebelum terjadi proses industrialisasi yang masif seperti sekarang ini.
2 Nilai tambah merupakan sebuah teori yang dikonsepsikan oleh Marx untuk menggambarkan bahwa manusia
bisa menghasilkan nilai yang lebih dari apa yang dibutuhkannya sendiri. Selisih nilai tersebut kemudian diambil oleh seorang kapitalis, yakni dengan memberikan bayaran yang lebih rendah daripada nilai yang dihasilkan oleh karyawan itu. Melalui cara inilah seorang kapitalis mendapatkan laba (Ebbighausen, 2013).
3 Reforma agraria, merupakan salah satu usaha atau program pemerintah yang dibuat untuk menghadapi ataupun
3
produk beras di pasar dunia, pada tahun 1985-1990 Indonesia tidak mengimpor beras sama
sekali. Namun, tidak bertahan lama ketika pemerintahan mulai goyah dan mulai memasuki
masa-masa krisis. Pada saat itu, sektor Industri mulai digalakkan gunak mempercepat proses
transformasi. Akibatnya, Indonesia sebagai Negara agraris terpaksa harus memenuhi
kebutuhan pangannya melalui impor beras dari Negara-negara tetangga yang jika dibandingkan
memiliki sumberdaya pertanian yang lebih minim. Setelah itu sekitar 10 persen kebutuhan
beras harus diimpor (Stalker, et al., 2001).
Dalam prosesnya kemudian, pembangunan di fokuskan untuk meningkatkan hasil
produksi pada sektor industri ketimbang pembangunan pada sektor pertanian. Padahal, sektor
pertanian saat itu4 menjadi sektor yang memiliki pengaruh yang cukup besar meskipun kurang
menjadi prioritas. Akibatnya, mimpi Indonesia sebagai Negara agraris untuk mewujudkan
swa-sembada beras dan komoditas pertanian lainnya harus pupus di tengah jalan.
Perbaikan demi perbaikan dalam bidang sosial dan infrastruktur pun kerap dilakukan.
Namun, yang menjadi pertanyaan apakah hal tersebut berpengaruh terhadap sektor pertanian
dan masyarakat petani. Investor yang lebih tertarik pada sektor industri dan pembangunan yang
difokuskan pada persoalan infrastruktur telah menyebabkan jurang kesenjangan pada
masyarakat kian melebar. Jurang tersebut, merupakan jurang yang memisahkan antara si kaya
dan si miskin; nntara mereka yang berada dalam lingkaran perputaran modal dan mereka yang
terjebak dalam jeratan lingkaran setan kemiskinan; nntara mereka yang mempersoalkan
optimasi produksi apa yang bisa dilakukan dan mereka yang setiap harinya berpikir tentang
komoditas apa yang sanggup mereka dapatkan untuk memenuhi konsumsi esok harinya.
Kesenjangan, secara sederhana merupakan ketimpangan pada distribusi sumberdaya dan
kesejahteraan antara si kaya yang terlibat dalam sektor-sektor industri, dan si miskin yang
dalam hal ini didominasi oleh masyarakat pedesaan yang kerap menggantungkan dirinya pada
sektor pertanian. Dalam sensus Penduduk yang dicatat oleh BPS pada tahun 2013, penduduk
yang tergolong dalam kategori miskin dan berada di bawah garis kemiskinan sebagian besar
adalah mereka yang berprofesi sebagai petani. Pertanian sendiri, merupakan sektor yang paling
banyak menyerap tenaga kerja, yaitu sekitar 34,6% dengan jumlah rumah tangga pertanian
sebanyak 26,14 juta (Ariyanti, 2014). Pada level ini, berbagai proses pembangunan seolah
menyisihkan masyarakat dan sektor pertanian pada level dimana sektor ini tidak lagi menjadi
4 Bahkan saat ini, sekor pertanian masih menjadi sektor yang memiliki kontribusi yang cukup signifikan pada
4
sektor unggulan pada perekonomian Indonesia sebagai Negara agraris.5 Padahal, sektor
pertanian dinilai sebagai salah satu sektor yang dapat menyerap tenaga kerja terbanyak jika
dibandingkan dengan sektor industri yang mulai menggerus tenaga manusia dengan tenaga
mesin.
1.2.Fokus Permasalahan
D.I.Y termasuk dalam salah satu dari empat provinsi yang memiliki rasio ketimpangan
terbesar di Indonesia (0.439), bahkan rasio ketimpangan tersebut lebih besar dari rasio
ketimpangan nasional (0.413) (Ruslan, 2014). Dari trend yang ditunjukkan dari tahun ke-tahun
mulai tahun 2009-2013 kondisi ketimpangan terus mengalami lonjakan yang signifikan.
Namun pada realitasnya kesenjangan tersebut bahkan bisa lebih besar dari data yang
ditunjukkan oleh angka statistik yang ditunjukkan oleh BPS. Pasalnya, kalkulasi indeks gini
saat ini hanya didasarkan atas belanja atau konsumsi, bukan pada pendapatan yang diterima
perkapita. Parahnya, dari ratusan negara yang ada Indonesia menempati posisi terburuk ketiga
dalam hal kesejahteraan dan pemerataan pendapatan (Faisal 2016 dalam (Neraca, 2016). Hal
tersebut tercermin dari angka kemiskinan di DIY yang lebih tinggi 14% di atas rata-rata angka
kemiskinan nasional (Mustaqim, 2015). Sedangkan, kemiskinan paling banyak menimpa
penduduk yang bekerja di sektor pertanian yang Ironisnya, sektor pertanian ini saat ini
digadang sebagai salah satu dari empat sektor yang memberikan sumbangan terbesar terhadap
pembangunan infrastruktur D.I.Y (BPS, 2016).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah,
a). Bagaimana pelaksanaan pembangunan di Indonesia menciptakan kesenjangan antara
si kaya dan si miskin, khususnya pada masyarakat yang terlibat pada sektor Industri
dengan masyarakat yang terlibat pada sektor pertanian?
b). Bagaimana teori pembangunan dan kesejahteraan menjelaskan fenomena tersebut?
c). Apakah pembangunan berhasil menuntun masyarakat khususnya masyarakat petani
menuju kondisi yang lebih sejahtera dibandingkan pada masa-masa sebelum
pembangunan dam industrialisasi belum digalakkan di Indonesia?
5 Pada tahun 2013, sektor Unggulan atau sektor kunci perekonomian di Indonesia dipetakan ke dalam 12 sektor
5
1.3.Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan latar belakang dan fokus permasalahan yang telah dijabarkan, maka tulisan
ini bertujuan untuk
a). Melihat bagaimana pelaksanaan pembangunan di Indonesia kemudian memberikan
jarak antara si kaya dan si miskin, khsusunya pada masyarakat pada sektor pertanian
dengan masyarakat pada sektor industri.
b). Memahami fenomena kesenjangan dan kemiskinan pada masyarakat di sektor agraris
berdasarkan salah satu atau beberapa teori perubahan dan pembangunan.
c). Melihat seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh berbagai usaha pembangunan
pada kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor agraris.
Secara akademis ataupun teoritis, tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan
sumbangsih bagi diskusi-diskusi terkait persoalan pembangunan, kesenjangan, dan kemiskinan
khusunya pada masyarakat yang hidup di sektor pertanian ataupun masyarakat lain yang
termarjinalkan karena proses pembangunan itu sendiri. Secara praktis, tulisan ini diharapkan
dapat memberikan wawasan dan digunakan sebagai referensi dalam melihat dan menimbang
berbagai dampak proses pembangunan yang kemudian dijadikan oleh pemegang kebijakan
sebagai pertimbangan dalam memutuskan setiap kebijakan pembangunan khususnya yang
6
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1.Sektor Pertanian dan Pembangunan di Indonesia
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto atau lebih dikenal sebagai orde baru orientasi
pembangunan bertumpu pada penguatan tatanan kapitalisme. Tatanan masyarakat ini dibangun
di atas pondasi eksploitasi, akumulasi dan ekspansimodal. Menurut Orde Baru, ketimpangan
pemilikan alat-alat produksi termasuk agraria serta pendapatantidak perlu dipermasalahkan.
Kelak, pertumbuhan ekonomi yang baik akan memakmurkan negara. Setelah kemakmuran
tercapai, baru berpikir untuk mendistribusikannya. Singkatnya, orde baru lebih mengutamakan
pertumbuhan ekonomi ketimbang menata ulang ketimpangan pemilikan sumber-sumber
agraria. Untuk mewujudkan tekadnya itu orde baru melakukan dua hal yaitu membuka keran
bagi investasi (termasuk asing) dan mengganti kebijakan-kebijakan lama yang dianggap
menghambat gerak pertumbuhan, termasuk landreform yang di kambing hitamkan sebagai
bagian dari kebijakan yang dibuat komunis. Juga sistempolitik yang otoriter bahkan totaliter
dijadikan pilihan sebagai jaminan untuk stabilitas politik.
Semenjak lengsernya Presiden Soeharto, Indonesia seakan mengalami disorientasi
(kehilangan arah). Pada Tanggal 28 September 2006, Menteri Pertanian Anton Apriantono dan
Menteri Kehutanan MS Kaban mengumumkan hasil rapat kabinet terbatas untuk
mendistribusikan lahan seluas 8,15 juta hektar, denganhitungan 60 persen untuk petani dan 40
persen untuk investor-investor domestik. Program tersebutmerupakan tindak lanjut dari
revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan yang sudah dicanangkansetahun sebelumnya.
Lahan-lahan tersebut berada si Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Di atas tanah tersebut akan
ditanami tanaman yang mendukung program bio energi (sawit, jarak, dan lain-lain)
sertaketahanan pangan.
Namun pada kenyataannya yang dilakukan sangat jauh dari esensi reforma agraria. Secara
konseptualhal ini justru lebih mirip corporate farming (pertanian korporasi) yang menjadikan
sektor pertanian sebagaisubordinasi sektor industri. Yang dilakukan hanyalah sebatas pelibatan
petani dalam program yang dikemasdalam bentuk PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat). Secara prinsip, dalam hal ini Departemen Kehutanan hanya berkepentingan untuk
memobilisasi tenaga kerja pedesaan (petani) untuk mau menggaraplahan terlantar di areal
kehutanan secara murah dan cepat. Akibatnya maka tidak salah bila sebagian masyarakat
memandang bahwa kebijakan tersebut belum menunjukan komitmen terhadap pembaruan
7
agraria. Selain ilusi, tidak ada lagi yang diberikan pemerintah dalam kebijakan-kebijakannya
terkait agrarian.
2.2.Petani, Kemiskinan, dan Kebijakan Sosisial
Masyarakat miskin lebih banyak berasal dari daerah pedesaan yang menggantungkan
kehidupannya pada sektor pertanian. Hal ini, tentu menjadi suatu gambaran umum bahwasanya
saat ini kemiskinan masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat petani. Apalagi, melihat
bagaimana perubahan lingkungan6 akhir-akhir ini dapat menjadi salah satu penyebab
meningkatnya kerentanan dan resiko pada masyarakat petani. Salah satu contohnya terjadi pada
masyarakat HSU (hulu sungai utara). Pada tahun 2013 saja, kegagalan panen yang disebabkan
karena anomaly cuaca memiliki kenaikan sebanyak 5,54%. Sedangkan kontribusi pertanian
mengalami penurunan drastic dari 32,6 menjadi 29,75 yang dalam prosesnya berdampak pada
penurunan pertumbuhan ekonomi menjadi hanya sekitar 3,78% (Kadri, 2015). Anomali cuaca
tersebut, bagaimanapun juga meningkatkan resiko kerentanan pada masyarakat petani.
Ditambah lagi, kondisi ekonomi nasional yang tak menentu membuat masyarakat petani
semakin tercekik. Kendati pemerintah telah menyiapkan kebijakan pupuk bersubsidi, namun
ketersediaan pupuk yang ada tidak bisa memenuhi kebutuhan petani dalam mengolah lahannya.
Bahkan tidak jarang ditemukan praktik-praktik curang untuk memaksimalkan pendapatan
dengan menjual kembali pupuk bersubsidi kepada petani kecil yang tidak memiliki relasi
khsusus kelompok tani yang diberi hak untuk mendistribusikan pupuk bersubsidi sepertihalnya
yang terjadi di Desa Ajung Kecamatan Ajung (Syah, et al., 2015). Akibatnya, lagi-lagi petani
kecil yang tidak mampu bermain dalam skala besar dan memiliki relasi yang sempit menjadi
korban dan kurang bisa menikmati hasil kebijakan yang “katanya” pro petani itu.
Pada pengertian ini, kondisi kemiskinan pada masyarakat petani menjadi sangat
memperihatinkan. Sedikit saja guncangan sosial ekonomi yang terjadi sepertihalnya gagal
panen, bencana alam, musibah kekeringan, penyakit dan hama baik yang menyerang petani
maupun hasil tani dapat menyeret masyarakat petani khususnya petani kecil ke dalam lingkaran
setan kemiskinan yang akan terus menjerat mereka.
Oleh karennya, beberapa bantuan dan kebijakan untuk menunjang dan menstabilkan
kemampuan masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari
sepertihalnya BLT atau BLSM pun dirumuskan oleh pemerintah. Namun, pendekatan
6Cuaca yang tidak menentu, musim kemarau basah dan musim hujan panas menjadi salah satu penyebab
8
kebijakan yang melihat bahwasanya kemiskinan merupakan masalah personal7 cenderung
menawarkan solusi pemberantasan kemiskinan melalui kebijakan yang personal pula dan
bukan komunal.8 Belum lagi, pada tingkat pelaksanaan dan pembagian yang dirasa mencederai
aspek-aspek “keadilan dan kemerataan”9 berakibat pada munculnya kecemburuan dan konflik
sosial terselubung yang dalam prosesnya dapat merenggangkan hubungan sosial—solidaritas
sosial— (Rosfadhila, et al., 2013) yang selama ini diyakini menjadi katup penyelamat
kemiskinan pada masyarakat pedesaan.
2.3.Kemiskinan Masyarakat Petani sebagai Konsekuensi Pembangunan
Pembangunan itu sendiri, merupakan suatu konsep yang luas dan oleh karenanya
dibutuhkan suatu prespektif atau bingkai teoritik dalam menjelaskan setiap konsekuensi dari
pembangunan. Dalam kaitannya dengan kemiskinan yang diderita oleh masyarakat petani, teori
yang akan digunakan untuk menjelaskannya kemudian adalah Teori Ekonomi Ganda
Perubahan Struktural Lewis.
Lewis melihat pergeseran sistem perekonomian dari agraris menuju industri diyakini dapat
mengakselerasi pendapatan perkapita suatu Negara. Dalam konteks ini, pembangunan yang
berfokus kepada pertumbuhan ekonomi cenderung melihat bahwa memberikan fasilitas berupa
infrastruktur pada pemilik modal dan mereka yang bermain pada sektor industri besar dirasa
lebih rasional dibandingkan memberikan fokus dan perhatian pada industri dengan modal yang
kecil terutama mereka yang berada atau bekerja pada sektor agraris. Akibatnya, pertanian
menjadi terbengkalai tanpa mendapatkan perhatian dari pemerintah dan perumus kebijakan
pembangunan di masanya. Tidak heran, kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang kemudia
juga diasosiasikan dengan mereka yang berkerja pada sektor industri padat modal dengan
mereka yang bekerja ada sektor agraris terus melebar. Hal ini dibuktikan dengan kenaikan rasio
indeks gini10 yang terus melonjak dari masa ke-masa seiring dengan pelaksanaan pembangunan
yang “katanya” terus berjalan menuju arah yang lebih baik.
Struktur ekonomi yang berubah secara drastis membuat tenaga kerja yang berasal dari desa
kemudian dilarikan untuk kemudian bekerja pada sektor industri. Dalam konteks ini, sektor
7 Sebagian masalah sosial kemiskinan merupakan masalah yang bersumber dari permasalahan structural seperti
budaya dan dominasi elit politik atau kemiskinan yang disengaja.
8 Hal ini dapat dilihat dari realitas masyarakat miskin merupakan masyarakat pedesaan yang bekerja di sektor
pertanian. Dan oleh karena itu kebijakan yang ada pun seharusnya diterapkan pada level komunal atau pada komunitas petani dengan akses terhadap teknologi dan modal yang lebih sedikit.
9 Pembagian bantuan yang ada biasanya kurang tepat sasaran, selain itu banyak masyarakat yang merasa bantuan
dari pemerintah merupakan hak setiap warga Negara merupakan salah satu penyebab munculnya kondisi tersebut.
10 Dari tahun 2000, pasca reformasi indeks gini Indonesia mulai naik dari angka 0,30 sampai dengan 0,413 pada
9
agraris seolah mulai kehilangan masa depannya. Banyaknya masyarakat yang menderita
kemiskinan pada sekor ini membuat semakin sedikit orang yang melirik sektor ini sebagai
sektor unggulan yang memiliki potensi yang besar di masa depan. Akibatnya, keberadaan
sektor agraris seolah tidak pernah mendapatkan perhatian baik dari pemerintah maupun dari
masyarakat itu sendiri. Dalam prosesnya, inovasi dan kreasi dalam dunia agraris di Indonesia
seolah tidak pernah terjadi karena memang tidak ada pihak yang benar-benar serius melirik
sektor ini sebagai sektor yang potensial.
Tidak berhenti sampai disitu, sektor pertanian yang diyakini tidak bisa lagi memberikan
“kesejahteraan” bagi masyarakat luas membuat pedesaan seolah kehilangan daya tariknya. Sedangkan, daerah perkotaan yang cenderung identik dengan industrialisasi terus dibangun
hingga menyilaukan mata. Tidak heran, urbanisasi secara besar-besaran pun terjadi. Akibatnya,
kota-kota besar mengalami kondisi overload dimana mereka menampung beban masyarakat
melebihi beban yang bisa mereka tampung. Pengangguran, kriminalitas, dan masalah sosial
lainnya pun marak di daerah perkotaan. Sedangkan, daerah pedesaan dan sektor pertanian
masih dibuntuti dengan masalah kemiskinan yang tak kunjung berakhir.
2.4.Kemiskinan Masyarakat Petani sebagai Suatu Kesenjangan Budaya
Jika dikaitkan pada salah satu teori perubahan sosial, bagaimanapun juga banyak teori
yang bisa menjelaskannya. Namun, dalam konteks ini teori yang paling relevan untuk
menjelaskan pertanyaan terkait bagaimana kemiskinan terus hadir dan mengekor pada
kehidupan masyarakat petani ialah teori cultural lag yang lahir dari pemikiran dan prespektif
fungsionalis.
Konsep kesejangan budaya digunakan untuk menjelaskan bahwa perubahan sosial tidak
lepas dari hubungan antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat. Menurut teori ini,
beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan sangat cepat sementara unsur yang
lainnya tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan unsur tersebut. Sehingga, apa yang terjadi
kemudian adalah fenomena ketertinggalan budaya.
Meskipun pembangunan sedemikian pesat dilakukan, ketika unsur-unsur budaya dalam
suatu masyarakat kurang bisa responsif terhadap berbagai rangsangan dan perubahan yang
terjadi di luar sistem yang ada, maka yang terjadi adalah ketertinggalan budaya. Dalam konteks
kemiskinan pada masyarakat petani, etika subsistensi menjadi salah satu unsur yang dapat
memperlampat proses peresapan dan responsifitas masyarakat petani terhadap proses
pembangunan dan industrialisasi. Sehingga, tidak heran masyarakat justru lebih cenderung
10
ekonominya karena mengutamakan keselamatan dibandingkan potensi ekonomi super besar
yang bisa dicapainya (safety-first).
Para penganut Teori Fungsionalis lebih menerima perubahan sosial sebagai sesuatu yang
konstan dan tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai suatu hal yang
mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan ini berhenti pada saat perubahan
itu telah diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan itu ternyata bermanfaat, maka
perubahan itu bersifat fungsional dan akhirnya diterima oleh masyarakat, tetapi apabila terbukti
disfungsional atau tidak bermanfaat, perubahan akan ditolak. Apa yang kemudian disebut
sebagai “kemajuan, kekayaan, kesejahteraan” dan berbagai terminologi lain yang mewakili
kondisi kesejahteraan agaknya berbeda dari konsep “kesejahteraan” yang dianut dan dipercayai
oleh masyarakat petani. Dan mungkin, hal inilah yang kemudian menjadi salah satu sebab
mengapa masyarakat petani cenderung fatalis alih-alih progresif dalam melihat setiap
kesempatan. Konstruksi “kesejahteraan” pada masyarakat petani yang menganut etika subsisten ialah bagaimana mereka bisa hidup dengan meminimalkan segala resiko (safety-first)
dan hidup berdampingan dengan saling memberi dan menerima—hubungan resiprokal antara
patron dan kliennya.
Sehingga, tidak heran jika masyarakat petani tidak pernah berada jauh dari masalah
kemiskinan. Karena, konsep dan konstruksi kesejahteraan yang diyakini pada masyarakat ini
bukanlah pada suatu kondisi kemapanan, kemandirian, ataupun penghapusan kemiskinan itu
sendiri. Apa yang menjadi keyakinan terhadap kesejahteraan sejati sesungguhnya ialah terletak
pada bagaimana mereka bisa saling memberi dan menerima dalam suatu kondisi yang serba
minimal—dari resiko.
2.5.Kesejahteraan Masyarakat Petani
Secara historis, kemiskinan pada masyarakat petani sebenarnya merupakan sebuah
fenomena yang tidak asing lagi. Hal tersebut bagi Scott dikarenakan ketimpangan distribusi
alat-alat produksi pada sektor pertanian. Buruh tani dan tuan tanah memiliki status yang
berbeda, dan oleh karenanya pun pembagian peran yang ada dalam masyarakat petani kala itu
berbeda. Dalam konteks kekinian, hal tersebut masih terlihat nyata pada masyarakat kita.
Dimana mereka yang memiliki alat-alat produksi berupa tanah, teknologi dan mesin, serta
relasi akan lebih memiliki kuasa terhadap mereka petani kecil atau petani buruh yang kurang
bisa memiliki bargaining position. Akibatnya, hasil-hasil yang didapatkan oleh petani kecil
ataupun petani buruh secara dramatis dapat dikatakan lebih kecil jika dibandingkan dengan
11
Selain itu, etika yang dianut oleh masyarakat petani atau yang kemudian disebut sebagai
etika subsistensi juga menjadi salah satu penyebab kemiskinan pada masyarakat petani. Dalam
pandangan penganut etika subsistensi, masyarakat hanya akan memproduksi barang-barang
atau hasil pertanian untuk kebutuhannya pangannya sendiri dan sebagian digunakan untuk
memenuhi kebutuhannya di esok hari. Kendati dalam konteks kekinian hal tersebut tidak lagi
terjadi, namun masih dapat memberikan sedikit gambaran bahwa masyarakat petani kurang
bisa melihat jauh kedepan terkait apa yang akan dilaluinya. Selain itu, etika ini juga
memandang bahwasanya kehidupan bisa terus berlangsung dengan kondisi seminimal
mungkin. Dalam kondisi-kondisi kritis karena bencana, gagal panen, ataupun kondisi lain yang
menyebabkan mereka tidak bisa mendapatkan hasil-hasil panen, mereka mengenal istilah
“mengencangkan ikat pinggang” atau meminimalisir konsumsi agar bisa bertahan hidup. Kendati kehidupan yang serba susah dan kemiskinan teramat parah bisa dilihat melalui
gambaran etika subsistensi yang seolah tidak memberi harapan bagi masyarakat petani pada
masa itu untuk bisa mendapatkan hidup yang berkecukupan. Kendati demikian, pada
masyarakat tersebut dalam sudut pandang etika subsistensi yang digagas oleh Scott,
kemiskinan bukan menjadi suatu masalah utama dan urgen dalam masyarakat petani. Pasalnya,
selalu ada jaminan sosial berbasis komunitas yang membuat mereka akan terus bisa
melangsungkan hidupnya. Konstruksi kesejahteraan dalam konteks ini kemudian tidak
dimaknai sebagai hidup yang berkecukupan dan bergelimang harta, namun lebih pada
bagaimana masyarakat petani mendapatkan jaminan untuk terus hidup baik sekarang maupun
di masa yangakan datang melalui semangat kerja keras dan menjunjung tinggi “hasrat untuk selalu berbuat baik”.
Itulah sebabnya, di masa lalu kemiskinan pada masyarakat petani merupakan suatu hal
yang biasa dan bukan menjadi masalah yang begitu urgennya sampai harus ditemukan
solusinya. Kemiskinan, pada masa itu menjadi bagian dari kehidupan yang justru dapat
menjamin keberlangsungan masyarakat petani di masa mendatang. Dengan tidak mengambil
lebih banyak dari alam, dan dengan hidup seminimalis mungkin, masyarakat percaya mereka
dapat terus hidup dan bergantung melalui alam ini. Selain itu, ketergantungan dan jaminan
tersebut tidak hanya pada alam saja, Scott juga menggambarkan bagaimana hubungan dalam
komunitas atau masyarakat petani bisa menjadi sebuah katup penyelamat kemiskinan. Apa yan
dimaksud Scott disini adalah hubungan resiprokal yang terjalin antara tuan tanah dan buruh
tani, antara majikan dan hamba, antara patron dan kliennya.
Oleh karena itu, pada dasarnya kemiskinan pada masyarakat di era Scott tidak jauh berbeda
12
berbentuk kehendak petani untuk menyediakan jaminan bagi anggota komunitasnya
dikendalikan oleh jagad moral yakni “hasrat untuk selalu berbuat baik” perlahan-lahan mulai tergerus atau bahkan hilang pada masyarakat petani. Pada pengertian ini, kondisi kemiskinan
pada masyarakat petani justru bisa dikatakan lebih memperihatinkan jika dibandingkan dengan
kondisi kemiskinan dan kemelaratan petani seperti yang di gambarkan Scott pada masanya.
Karena, di masa itu jaminan-jaminan sosial pada tingkat komunitas dapat diusahakan melalui
hubungan patron-klien.11
11 Tergerusnya nilai-nilai hubungan dalam relasi patron-klien sendiri sebenarnya sudah ditandai Scott pada
13
BAB 3 PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Masyarakat petani memilik keterkaitan yang erat dengan kemiskinan. Bahkan, keterkaitan
tersebut telah digambarkan oleh James C. Scott berpuluh-puluh tahun yang lalu. Kendati
demikian, keterkaitan yang erat antara petani dan kemiskinan kerap bisa ditemukan bahkan
hingga saat ini. Meskipun, dunia telah mengalami perubahan yang amat signifikan jika
dibandingkan dengan periode dimana Scott mendeskripsikan masyarakat petani di Asia Timur
melalui proses pembangunan dalam skala besar khususnya di Indonesia. Perubahan tersebut
tentu dapat dilihat dari teknologi yang digunakan, sistem penjualan, pengupahan, perairan, dan
hubungan-hubungan sosial serta moralitas/etika yang dijunjung oleh masyarakat petani.
Merujuk pada teori pembangunan ganda yang menitikberatkan pembangunan sebagai
sebuah perubahan struktural, fenomena kemiskinan pada masyarakat petani dapat dijelaskan
sebagai sebuah konsekuensi dari pembangunan besar-besaran yang hanya berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi. Menurut Lewis, salah satu cara untuk meningkatkan pertumbuhan
pendapatan perkapia ialah dengan merubah sistem ekonomi dari agraris menuju sistem
ekonomi industrial. Akibatnya, sektor agraris mulai terlupakan. Kesenjangan antara si kaya
yang identik dengan mereka yang terlibat dengan berbagai usaha industrial dengan si miskin
yang identik dengan mereka yang terlibat dengan sektor agraris pun melebar. Hal ini, perlahan
menjadikan sektor agraris dan daerah pedesaan menjadi kehilangan daya tariknya. Sementara
wilayah perkotaan yang padat dengan usaha industrial kerap memberikan iming-iming
lapangan pekerjaan dan kehidupan yang lebih sejahtera, urbanisasi besar-besaran pun tidak bisa
terelakkan. Sehingga, wilayah perkotaan pun tidak mampu menanggung beban kependudukan
dan permintaan kerja yang lebih dari apa yang bisa ditawarkannya. Akhirnya, kemiskinan tidak
hanya terjadi pada masyarakat pedesaan yang dekat dengan sektor agraris, namun juga
masyarakat di perkotaan.
Sedangkan, menurut salah satu teori perubahan sosial, kemiskinan pada masyarakat petani
merupakan salah satu bentuk resistensi terhadap perubahan melalui nilai-nilai moral yang
dianut oleh masyarakat petani. Teori perubahan dalam prespektif fungsional menganggap
beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan sangat cepat sementara unsur yang
lainnya tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan unsur tersebut. Sehingga, apa yang terjadi
kemudian adalah fenomena ketertinggalan budaya. Dalam konteks ini, perubahan diidentikkan
dengan pembangunan. Pada masyarakat petani, perubahan atau pembangunan dianggap
14
berhenti pada saat perubahan itu telah diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan
itu ternyata bermanfaat, maka perubahan itu bersifat fungsional dan akhirnya diterima oleh
masyarakat, tetapi apabila terbukti disfungsional atau tidak bermanfaat, perubahan akan
ditolak.
Dalam masyarakat petani yang menganut etika subsisten seperti yang digambarkan oleh
Scott, konstruksi “hidup sejahtera” kemudian diartikan pada suatu kondisi dimana mereka bisa
hidup dengan meminimalkan segala resiko (safety-first) dan hidup berdampingan dengan
saling memberi dan menerima—hubungan resiprokal antara patron dan kliennya. Tidak heran,
kemiskinan kemudian seolah bukan menjadi suatu masalah yang begitu nyata dan urgen untuk
diselesaikan pada masa itu. Justru, perubahan sosial melalui pembangunan dan berbagai
kebijakan pengentasan kemiskinan itu sendirilah yang menggerus nilai-nilai dan moralitas
yang selama ini dipercaya oleh masyarakat petani. Ditambah lagi, perubahan dan anomali
linkungan membuat masyarakat petani semakin tidak terhindarkan dari resiko-resiko yang ada.
Pada akhirnya, masyarakat petani hidup dalam kondisi kemiskinan yang lebih memilukan dan
ketidakberdayaan yang teramat sangat bahkan jika dibandingkan dengan periode Scott, yang
digambarkan hidup tanpa teknologi modern dan serba kesusahan dalam melakukan
15
Daftar Pustaka
Ariyanti, F., 2014. Sensus BPS: Penduduk Miskin RI Sebagian Besar Petani. [Online] Available at: http://bisnis.liputan6.com/read/2089809/sensus-bps-penduduk-miskin-ri-sebagian-besar-petani [Accessed 5 October 2016].
Arsyad, Lincolin. 2004. Ekonomi Pembangunan, cetakan ke-2. Yogyakarta: Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.
Budiman, Arif. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia pustaka Utama.
BPS, 2016. Pertumbuhan Ekonomi di Yogyakarta Triwulan I Tahun 2016. [Online]
Available at: http://yogyakarta.bps.go.id/Brs/view/id/417 [Accessed 02 October 2016].
Ebbighausen, R., 2013. Marx dan Perjalanan Sebuah Ide. [Online]
Available at: http://www.dw.com/id/marx-dan-perjalanan-sebuah-ide/a-16671165 [Accessed 2 October 2016].
Fakih, Mansour. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press.
Indriani, L. & Mukhyi, M. A., 2013. Sektor Unggulan Perekonomian Indonesia: Pendekatan Input-Output. Proceeding PESAT, 5(5), pp. 341-349.
Kadri, A., 2015. Perubahan Cuaca Picu Penurunan Produksi Pertanian. [Online] Available at: http://www.antarakalsel.com/berita/25699/perubahan-cuaca-picu-penurunan-produksi-pertanian [Accessed 3 October 2016].
King, V. T., 2011. Ulasan Buku: Moral Ekonomi Petani: Antara Subsistensi dan Resistensi. [Online] Available at: http://etnohistori.org/moral-ekonomi-petani-antara-subsistensi-dan-resistensi.html [Accessed 4 October 2016].
Mustaqim, A., 2015. Bandara Kulon Progo Bisa Pertajam Ketimpangan Sosial. [Online] Available at: http://jateng.metrotvnews.com/read/2015/11/21/193235/bandara-kulon-progo-bisa-pertajam-ketimpangan-sosial [Accessed Sunday October 2016].
Neraca, 2016. Kesenjangan Sangat Mengkhawatirkan: Indeks Ketimpangan (Gini Ratio)
Hanya Turun 0,01. [Online]
Available at:
http://www.neraca.co.id/article/68346/kesenjangan-sangat-mengkhawatirkan-indeks-ketimpangan-gini-ratio-hanya-turun-001 [Accessed 26 September 2016].
Pratama, A. I., n.d. Sekilas Pandang Reforma Agraria di Indonesia. Available at:
https://www.academia.edu/2359239/Sekilas_Pandang_Reforma_Agraria_di_Indonesia [Online] [Accessed 3 October 2016].
Rosfadhila, M. et al., 2013. Kajian Cepat Pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai
(BLT) 2008 dan Evaluasi Penerima Program BLT 2005 di Indonesia, Jakarta: Lembaga
16
Ruslan, K., 2014. Kesanjangan Ekonomi di Daerah Istimewa Yogyakarta Kian
Mengkhawatirkan. [Online]
Available at: http://www.kompasiana.com/kadirsaja/kesanjangan-ekonomi-di-daerah-istimewa-yogyakarta-kian-mengkhawatirkan_552964356ea8344e0b8b456f [Accessed 01 October 2016].
Stalker, P. et al., 2001. Towards a New Consensus: Democracy and Human Development in
Indonesia, Jakarta: BPS-Statistics Indonesia, Bappenas and UNDP Indonesia.