• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Mengelola radio di dan Informasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Strategi Mengelola radio di dan Informasi"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Prinsip Pengelolaan Informasi 

Organisasi   pada  hakekatnya  merupakan  suatu  ‘kumpulan  manusia  yang  distrukturkan’  untuk  menjalankan  tugas  tertentu,  sehingga  pada  akhirnya  �ngkat  efek�vitas   pengelolaan  dan  manajemen  informasi  akan  sangat  tergantung  pada   model  pendekatan  struktur  organisasi yang  diadopsi.  Dalam  kaitannya  dengan  pemilihan,  perancangan,  dan  penerapan  struktur  yang  sesuai   dengan  kebutuhan  pengelolaan  terhadap  informasi,  terdapat  sejumlah  prinsip  dan  paradigma  yang  perlu  dipegang  secara  teguh, yaitu (Mullins, 2008):

Struktur  mengiku�  proses,  dalam  ar�  kata  bahwa  desain  atau  adopsi   terhadap  struktur  yang  akan  dipergunakan  harus   menjamin  terselenggaranya  proses  pengelolaan  informasi   secara  efek�f, efisien, dan terkontrol dengan baik;

Budaya  mengakselerasi  proses,  mengandung  ar�  bahwa  semakin  ‘terbiasa’  seorang  individu  atau  unit  dalam  melakukan  pengeloaan  terhadap  informasi,  akan  semakin  mempercepat dan meningkatkan kualitas manajemen informasi dimaksud;

Paradigma berbagi menentukan sukses, yang mengandung ar� bahwa pola pikir dan pola  �ndak (kematangan) seseorang yang berkeinginan dan berkemampuan    (willingness and  ability) untuk saling berbagi informasi merupakan kunci efek�vitas pengelolaan informasi;

Poli�k organisasi  (potensi konflik)  harus dikelola, karena  walau bagaimanapun, informasi 

memiliki  karakteris�k  yang  berdampak  langsung  maupun  �dak  langsung  terhadap  dinamika individu (atau sekelompok individu) dalam berorganisasi; dan

Kepemimpinan dan komunikasi adalah kunci, mengingat ‘musuh’ dari diterapkannya suatu 

inisia�f  baru  dalam  berorganisasi  adalah  masalah  asumsi   dan/atau  persepsi  yang  cenderung  keliru  (nega�f)  sehingga harus  ada  komitmen  yang  teguh  dari pimpinan  di  berbagai lini dan konsistensi interaksi serta komunikasi yang terus‐menerus.

Oleh karena itulah �dak ada rumusan baku mengenai  struktur organisasi seper� apa yang paling  tepat  dalam  mengelola informasi di perusahaan  selain  mencoba  mencari suatu  keseimbangan  antara  target  yang  ingin  dicapai  dengan  potensi   serta  situasi   dan  kondisi  organisasi  yang  bersangkutan.  Dengan  berbekal pada kelima prinsip tersebut, se�ap organisasi berusaha untuk  mencari jalan ‘op�mum’  dalam merancang struktur  organisasi yang berkaitan langsung  maupun  �dak  langsung  dengan  manajemen  informasi  yang  ada  (Narain,  1981).  Sebelum  memulai 

Strategi Mengelola Informasi

oleh Prof. Richardus Eko Indrajit - indrajit@post.harvard.edu

EKOJI

999

Nomor 377, 20 September 2013

Artikel ini merupakan satu dari 999 bunga rampai pemikiran Prof. Richardus Eko Indrajit di bidang sistem dan

(2)

merancang  struktur  dimaksud,  ada  baiknya  dipelajari  terlebih  dahulu  beberapa  konsep  dasar  mengenai struktur dan budaya organisasi.

Ragam Model Struktur Organisasi

Dinamika perubahan yang sedemikian cepat  dalam era  globalisasi ini membuat se�ap organisasi  berusaha  membuat  struktur  yang  sedemikian  rupa sehingga  senan�asa dapat  adap�f  dengan  perubahan  yang  terjadi.  Terkait  dengan  unit  atau  divisi   yang  bertanggung  jawab  terhadap  ekosistem pengelolaan informasi, berdasarkan �ngkat ‘kelekatan keterhubungan’ antar unit dalam  organisasi, dikenal klasifikasi struktur sebagai berikut (Shtub, 2005):

Func�onal Hierarchy  –  bersifat kaku dan ketat,  menekankan budaya kontrol berdasarkan hirarki  yang jelas, dibagi atas pulau‐pulau fungsi, dan sangat cocok untuk organisasi semacam militer dan  pemerintah (birokrasi). Unit yang bertanggung jawab terhadap manajemen, sistem, dan teknologi  informasi  merupakan  salah  satu  pulau  fungsi  (baca:  silos)  yang  berinteraksi  dengan  unit‐unit  organisasi lainnya berdasarkan  kebijakan  dan  aturan main  yang  jelas (SOP‐Standard Opera�ng  Procedure). Mereka yang memiliki kompetensi dan keahlian di bidang terkait dengan manajemen,  sistem,  dan  teknologi informasi  pun  dikumpulkan  dalam  unit  ini  sebagai  sebuah ‘talent  pool’.  Jenjang karir bersifat ver�kal dan berada dalam ruang lingkup internal unit dimaksud.

Weak  Matrix  –  bersifat  �dak  terlampau kaku karena  memiliki ruang  untuk  berinteraksi di luar  batasan  fungsi  atau  silos   yang  ada,  memiliki   fungsi  ganda  berdasarkan  kebutuhan  akan  kompetensi  tertentu, diatur melalui mekanisme ‘kelompok kerja’ berbasis penugasan khusus yang  ru�n maupun beorientasi program/proyek, dan sangat sesuai dengan organisasi semacam BUMN  atau partai  maupun organisasi kemasyarakatan.  Dalam konteks  ini,  sebuah unit  terkait  dengan  fungsi  manajemen, sistem, dan teknologi informasi  tetap ada, dimana sebagian anggotanya yang  berada  dalam struktur  unit terkait dialokasikan secara khusus (paruh waktu) sebagai bagian dari  kelompok kerja (ru�n maupun program/proyek) tertentu dimana di  dalamnya terdapat sejumlah  individu dari beragam unit  organisasi  untuk  saling  bekerjasama di bawah  pimpinan  salah satu  atasan  tertentu.  Diibatkannya  individu  terkait  karena  dibutuhkannya  mereka   yang  ahli  dan  memiliki kompetensi manajemen, sistem, dan teknologi  informasi dalam menuntaskan pekerjaan  dimaksud.

Strong Matrix – bersifat sangat terbuka  dan interak�f, memiliki tugas  ganda yang seimbang antara  fungsional dan berbasis kerjasama intensif, dipetakan berbasis misi utama  organisasi, dan cocok  untuk  perusahaan berbasis produk  dan/atau  jasa komersial.  Dalam  konteks  ini  se�ap  individu  memiliki  dua  domain  kerja  resmi,  yaitu  struktural  dan  fungsional.  Secara  struktural,  individu  dimaksud merupakan bagian dari satuan kerja atau unit  yang  terkait dengan sistem,  teknologi,  atau  manajemen  informasi,  sementara secara fungsional,  berdasarkan  misi  dan  jenis  produk/ pelayanan organisasi,  merupakan bagian dari satu atau lebih kelompok kerja  baik yang berbasis  ru�n  maupun  proyek.  Biasanya,  domain  struktural  dibutuhkan  untuk  keperluan  administrasi,  pelaporan,  dan  karir;  sementara  domain  fungsional  (berbasis  proses)  dibutuhkan  untuk  memas�kan  terjadinya  proses  penciptaan  produk  dan/atau  jasa  (pelayanan)  internal  maupun  eksternal yang cepat, murah, da berkualitas baik.

(3)

firma  hukum,  konsultan  industri,  pusat  medika,  dan  lembaga  pendidikan  non  formal.  Dalam  konteks   manajemen  informasi,  unit  terkait  hanya   sebagai  domain  administra�f  belaka   yang  merupakan sebuah “talent pool” yang terdiri  dari kumpulan ahli di bidang sistem, manajemen, dan  teknologi informasi  yang siap di‐“deploy” dalam berbagai  penugasan apa pun di wilayan internal  maupun eksternal organisasi.

Keempat  jenis  model   ini  pada   dasarnya  merupakan  suatu  pengelompokkan  berdasarkan  kenyataan  di  lapangan  yang  ada.  Masing‐masing  model   tentu  saja  memiliki  kelebihan  dan  kekurangan masing‐masing. Sebuah organisasi  dapat menggunakan model  unik, yang merupakan  kombinasi dari dua atau lebih model yang disampaikan di atas.  Prinsipnya adalah bahwa model  yang  diadopsi  dirancang  sedemikian  rupa  untuk  mempermudah  proses  pencapaian  visi,  misi,  tujuan, dan obyek�f dari organisasi terkait.

Aneka Budaya Manajemen Informasi Organisasi

Struktur  dan  proses    pengelolaan  informasi   yang  diins�tu�onalisasikan  dan  diadopsi   oleh  organisasi,  secara  lambat  laun  akan  membentuk  sebuah  budaya  manajemen  informasi  dalam  organisasi. Budaya yang berasal dari kebiasaan ini  pada dasarnya merupakan hasil dari interaksi  antara struktur dan proses  dengan komponen lain yang ada dalam ekosistem organisasi, seper�  sejarah,  jenis   produk/pelayanan,  karakteris�k  SDM,  teknologi,  kebijakan,  tuntutan  pelanggan  (internal dan eksternal), dan lain sebagainya. Dari berbagai  variasi  budaya yang ada, paling �dak  dikenal 4 (empat) buah pengelompokkan sebagai berikut (Boisot, 2007):

Technocra�c  Utopianism  –  merupakan  budaya   yang  sangat  kaku  dalam  mengelola  informasi di  organisasi.  Biasanya organisasi terkait memiliki aturan yang jelas, ketat,  dan  rinci mengenai bagaimana  informasi harus dikelompokkan, disimpan, diatur, diperlakukan,  dan  dikelola  oleh  seluruh  individu  yang  berada  dalam  organisasi  terkait.  Seluruh  manajemen pegelolaan informasi harus  berdasarkan aturan yang  telah disepaka� (baca:  “by  the book”),  baik yang diins�tu�onalisasikan melalui  kebijakan,  mekanisme,  maupun  prosedur  yang berlaku.  Organisasi semacam NASA, DOD (Department  of Defense),  Bursa  Saham, merupakan contoh yang biasa menerapkan budaya ini.

Anarchy  –  merupakan kebalikan dari Technocra�c  Utopianism,  dimana dalam budaya ini  �dak ada aturan sama  sekali mengenai manajemen  atau pengelolaan informasi,  karena  semuanya  secara   bebas  dan  terbuka  (cenderung  “chao�c”)  diserahkan  kepada  se�ap  individu dan/atau unit  yang ada  dalam organisasi.  Contoh budaya ini kerap terlihat pada  organisasi semacam konsultan, kemitraan, firma hukum, dan pendidikan. 

Feudalism – merupakan suatu kondisi dimana  se�ap unit  organisasi menentukan sendiri‐ sendiri  mekanisme  baku  penanganan  dan  pengelolaan  informasinya   sesuai   dengan  kebutuhan  individu  atau  kelompok  individu  yang  berada dalam  unit  tersebut.  Adapun  informasi yang dibagi kepada pihak lain di  luar  unit terkait sifatnya  sangat  terbatas, alias  hanya yang dianggap perlu saja.

(4)

ada ke seluruh unit terkait yang ada  di bawahnya. Budaya  ini  jelas mirip dengan organisasi  semacam militer atau pemerintahan (birokrasi).

Federalism – merupakan bentuk budaya yang bersandar pada prinsip “demokrasi” dimana  tata kelola atau manajemen informasi  yang  diadopsi adalah berdasarkan konsensus dan  kesepakatan  bersama  antara  seluruh  pemangku  kepen�ngan  dalam  organisasi.  Kesepakatan  yang  ada   dituangkan  dalam  berbagai  bentuk  seper�  standar,  prosedur,  mekanisme, proses, klasifikasi, dan hal‐hal  terkait lainnya. Organisasi semacam perseroan  terbatas, partai atau ormas, maupun asosiasi merupakan contoh pengadopsi budaya ini.

Seper� telah disampaikan sebelumnya, budaya berasal dari kebiasaan pola pikir dan pola  �ndak  yang  sudah  sedemikian  lama  terjadi  dan  berlaku  di  organisasi,  sehingga   cukup  sulit  untuk  mengubahnya (namun hal ini bukan berar� mustahil). Jika  ingin melakukan perubahan terhadap  budaya  mengelola  informasi,  harus  dilakukan  pekerjaan  ekstra  keras  seper�  menggunakan  pendekatan manajemen perubahan yang berbasis pergeseran paradigma.

Tingkat Kematangan dan Literasi Pengguna Informasi

Setelah  struktur  dan  budaya,  hal  lain  yang  harus   mendapatkan  perha�an  dalam  proses  pengelolaan informasi adalah �ngkat kesiapan atau kematangan dari masing‐masing individu dan/ atau unit organisasi terkait dengan kompetensi serta  keahlian (kogni�f, afek�f, dan psiko‐motorik)  dalam melakukan pengelolaan terhadap informasi. Seper� halnya orang yang terbebas  dari ‘buta  huruf’, literasi informasi adalah mereka yang telah ‘melek’ atau paham benar mengapa  informasi  sangat  pen�ng  bagi  organisasi  dan  bagaimana  seharusnya   bersikap  dan  ber�ndak  untuk  mengelola aset strategis organisasi tersebut untuk membantu pencapaian visi dan misi yang telah  dicanangkan.  Seseorang  dikatakan telah ‘matang’  dan memiliki ‘literasi’  yang cukup  jika  paling  �dak memiliki kemauan dan kemampuan (willingness and ability) dalam mengelola informasi yang  ada di dalam organisasi.  Kumpulan dari individu dalam  organisasi  ini akan  menentukan �ngkat  kematangan  sebuah organisasi dalam  mengelola informasi yang  dimilikinya.  Contohnya adalah  dengan  menggunakan  indikator  IMM  (Informa�on  Maturity  Model),  sebuah  organisasi  dapat  dibagi menjadi 6 (enam) �ngkat kematangan (Baskarada, 2009):

Tingkat  0  –  jika  organisasi  sama  sekali  �dak  perduli akan  berbagai  seluk  beluk  terkait  dengan perlunya informasi dikelola.

Tingkat  1  –  jika  organisasi �dak  memiliki panduan  mengenai cara mengelola informasi; 

dalam situasi ini  hanya ada  sejumlah individu saja yang  tahu cara  yang baik dan  benar  dalam mengelola informasi organisasi.

Tingkat  2  –  jika  paling  �dak  sebagian  unit  dalam  organisasi   telah  sadar  dan  memiliki 

panduan yang  baik mengenai  tata  cara mengelola  informasi;  di tengah‐tengan sejumlah  unit atau divisi  organisasi lain yang masih belum memiliki pola pikir dan pola �ndak baku  yang dibutuhkan untuk mengelola informasi.

Tingkat 3 – jika organisasi telah memiliki aturan dan panduan yang jelas dalam mengelola 

(5)

dan  standar  lain yang  terkait  dengan  manajemen pengelolaan informasi yang  baik  dan  benar.

Tingkat  4  –  jika  organisasi  telah  benar‐benar  mengganggap  informasi  yang  dimilikinya 

sebagai  aset  dan  sumber  daya strategis  yang  harus  dikelola dengan  sungguh‐sungguh,  dimana  dalam situasi ini kualitas dari informasi yang  dimiliki  benar‐benar  dijaga  melalui  pengembangan sejumlah indikator dan instrumen sebagai pengukur kinerja dimaksud.

Tingkat 5 – jika  organisasi benar‐benar telah menerapkan atau mengadopsi  praktek terbaik 

(baca: best prac�ces) dalam mengelola informasi yang telah dinyatakan sebagai aset dan  sumber  daya  organisasi  yang  memiliki  nilai  tambah  baik  yang  bersifat  tangible  (dapat  dinyatakan  dalam  ukuran  kuan�ta�f  finansial)  maupun  intangible  (�dak  dapat  diukur  secara kuan�ta�f namun dapat dirasakan manfaatnya). 

Tingkat kematangan dan literasi individu (vis‐a‐vis  organisasi) serta manajemen organisasi ini akan  sangat  menentukan  dalam  pemilihan  strategi  dan  pendekatan  yang  cocok  dalam  mengelola  informasi dalam sebuah organisasi. Bagi  organisasi  yang disparitas antara mereka yang memiliki  �ngkat kematangan dan literasi cukup dengan yang rendah (atau bahkan �dak perduli sama sekali)  akan memberikan tantangan yang lebih besar dibandingkan organisasi yang rata‐rata individunya  memiliki �ngkat kematangan dan literasi yang rela�f sama.

Tingkat Kematangan Manajemen Informasi dalam Organisasi

Hal  terakhir  yang  perlu  diperha�kan  dan  diper�mbangkan  sungguh‐sungguh  adalah  ‘�ngkat  kematangan’  dari informasi yang  ada dalam  organisasi itu sendiri.  Menurut  konsep  Enterprise  Content Management Maturity Model  (ECM3), ada 5 (lima) �ngkat kematangan informasi dalam  organisasi  dipandang  dari  segi  seberapa  besar  penerapan  konsep  tata  kelola  informasi  dan  teknologi  informasi  diadopsi   oleh  sumber  daya  manusia  terkait,  melipu�  �ga   belas  dimensi  kematangan yang dibagi mejadi �ga domain, yaitu: 

(i) Domain Manusia – melipu� 

a. business exper�se  –  �ngkat  edukasi  dan  pemahaman  pimpinan  serta  karyawan  terhadap tata kelola informasi; 

b. informa�on  technology  exper�se  –  kemampuan  dalam  memanfaatkan  dan  mengoperasikan sistem teknologi; 

c. process  –  tahapan  dimana  organisasi  telah  melakukan  pemetaan  proses   bisnis  terkait dengan alur informasi; dan

d. alignment – �ngkat kolaborasi dan sinkronisasi dalam pengeloaan informasi untuk  kepen�ngan organisasi.

(ii) Domain Informasi – melipu� 

(6)

b. depth – kelengkapan akan pelaksanaan proses  siklus hidup informasi dari tercipta  hingga pemusnahan;

c. governance – keberadaan kelengkapan kebijakan, peraturan, standar, dan prosedur  tata kelola informasi; 

d. re‐use –  kemungkinan dipergunakannya kembali obyek informasi dalam sejumlah  kesempatan di masa depan; dan 

e. findability  –  kemampuan menemukan informasi yang dibutuhkan pada saat  yang  tepat.

(iii) Domain Sistem – melipu� 

a. scope – rentang atau spektrum fitur dan kapabilitas yang dapat diimplementasikan  (diadopsi); 

b. breadth  –  �ngkat  jangkauan  pemanfaatan  piran�  dalam  konteks  ruang  lingkup  organisasi; 

c. security  –  kemampuan  mengelola aset  informasi sesuai  dengan ragam hak  akses  yang berlaku; dan 

d. usability – kesesuaian aplikasi dengan beraneka  ragam kebutuhan organisasi dalam  mengelola informasi.

Adapun kelima �ngkatan yang dimaksud adalah sebagai berikut :

Tingkat 1 (Unmanaged) – organisasi �dak secara  formal melakukan manajemen informasi, 

terlihat dari berserakannya informasi yang tersimpan dalam berbagai format dan bentuk  pada  unit‐unit  organisasi  yang  ada,  sehingga  sangat  sulit  untuk  melakukan  pencarian  informasi yang dibutuhkan. Media penyimpan seper� tape, disket, hard disk, compact disc,  dan lain‐lain berada dimana‐mana dan �dak terawat.

Tingkat  2  (Incipent)  –  organisasi memiliki satu unit  atau kelompok kerja organisasi yang 

ditugaskan  untuk  mengelola  sebagian  besar  dari   informasi  yang  dimiliki   dengan  menggunakan beragam teknologi yang  ada,  paling �dak diperuntukkan untuk mengelola  informasi  yang  dianggap  pen�ng  (core).  Sub‐organisasi  atau  �m  kerja  ini  mulai  menggunakan teknologi informasi seper� document management, collabora�on so�ware,  digital asset management, web content management, dan enterprise informa�on portal.

Tingkat  3  (Forma�ve)  –  organisasi  telah  melakukan  penataan  yang  cukup  terhadap  informasi yang dimilikinya, karena  telah dimilikinya prosedur  baku dalam merencanakan,  mengadakan,  menyimpan,  mengolah,  mensintesa,  dan  mendistribusikan  informasi  yang  dimiliki melalui penerapan teknologi informasi yang maksimum. 

(7)

atau  direpresentasikan  oleh  berkas  digital  (elektronik),  sehingga  peranan  teknologi  informasi menjadi sangat krusial.

Tingkat  5  (Pro‐Ac�ve)  –  organisasi   telah  menerapkan  berbagai  model   dan  metode 

manajemen  informasi  dan  sistem  teknologi  informasinya  secara  op�mum,  misalnya  dengan  mengadopsi  kerangka  konsep  berbagai  pakai   (baca:  sharing)  atau  pendekatan  ‘informa�on  on  demand’.  Pemahaman  yang  solit  dan  utuh  mengenai  pen�ngnya  melakukan manajemen informasi oleh seluruh lapisan SDM  organisasi merupakan kunci  keberhasilan inisia�f terkait.

Kesimpulannya adalah,  bahwa  dalam  rangka mendesain manajemen pengelolaan informasi dan  sistem  teknologi  yang  terkait  dengannya dalam  sebuah  mekanisme  proses dan  struktur  yang  tepat, sebuah organisasi harus  dapat  menganalisa atau mengkaji terlebih dahulu kondisi saat ini  dipandang  dari  aspek:  struktur  organisasi,  budaya organisasi,  �ngkat  kematangan  dan  literasi  SDM/organisasi, dan �ngkat kematangan dalam mengelola atau manajemen informasi itu sendiri.

Keberhasilan inisia�f manajemen informasi  sangat bergantung pada kemampuan organisasi dalam  meramu berbagai aspek yang dimiliki,  untuk menjadi sebuah resep yang  cocok bagi kebutuhan  organisasi dimaksud.  Tahap  analisa atau  pengkajian  ini sangatlah  perlu,  sebagaimana seorang  dokter melakukan diagnosa penyakit pasiennya sebelum menetapkan �ndakan yang harus diambil  agar pasiennya sembuh. Paling �dak, diagnosa yang benar dan berkualitas, akan menentukan baik  atau �daknya kualitas �ndakan yang akan diambil. 

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan Kabupaten Bogor dengan wilayah yang sangat luas ternyata tidak hanya memilih PJJ, namun juga memilih perguruan tinggi swasta (PTS) setempat yang menjadi alternatif

Diharapkan penelitian ini akan dapat memberikan masukan berguna bagi investor muda Surabaya mengenai sejauh mana.. motivasi berinvestasi individu mempengaruhi

Pada data testing untuk debit aliran gadang hasil RMSE terkecil adalah 7 PC dan 5 kluster dengan RMSE yang dihasilkan adalah 2,6953 sedangkan untuk debit

Dengan mengucap puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas karunia dan berkat-Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

Untuk elektrolit-elektrolit kuat konduktivitas molar naik selagi keenceran dinaikkan, tetapi ini nampak mendekati suatu nilai batas yang disebut sebagai konduktivitas molar

Untuk mengetahui derajat hubungan antar variabel motivasi kerja (X 1 ) dan pendidikan dan pelatihan (X 2 ) terhadap kinerja manjerial kepala sekolah (Y) dilakukan

Hasil pengujian menunjukkan bahwa titrator semi otomatis memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat membaca nilai potensial setiap detik, larutan yang dibutuhkan untuk

Hasil yang disajikan pada tabel 4 tersebut menunjukkan bahwa hasil evaluasi peresepan antibiotika dengan kriteria tepat yaitu katagori 0 sebanyak 6 pasien (18%) adalah