• Tidak ada hasil yang ditemukan

CATATAN PELANGGARAN HAM DI PAPUA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "CATATAN PELANGGARAN HAM DI PAPUA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

CATATAN KONDISI HAK ASASI MANUSIA DI PAPUA

Briefing Paper

Selama reformasi berlangsung kondisi hak asasi manusia tidak menjadi lebih baik dibandingkan ketika rejim Suharto berkuasa. Aksi-aksi kekerasan dan bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia terus berlangsung dan memprihatinkan. Hampir semua peristiwa pelanggaran hak asasi manusia itu berkaitan erat dengan operasi-operasi militer penumpasan separatisme yang dilancarkan. Terbukanya ruang berekspresi dan penyampaian pendapat ketika reformasi bergulir memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat Papua untuk menyampaikan aspirasinya. Namun, ekspresi masyarakat Papua ditanggapi dengan tindakan represif aparat keamanan, apalagi ketika aspirasi merdeka terus didengungkan. Menjaga keutuhan NKRI menjadi legitimasi aparat keamanan untuk terus melakukan pengejaran dan penumpasan Operasi Papua. Akibatnya aksi kekerasan kerap dialami masyarakat biasa.

Beroperasinya perusahaan-perusahaan besar di Papua tetap mengambil peran atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Eksploitasi besar-besaran, kerusakan lingkungan dan penyerobotan hak adat terus berlangsung. Tuntutan masyarakat atas perlakuan tidak adil dijawab dengan kehadiran aparat keamanan dan operasi-operasi penumpasan separatisme.

Sementara itu, berlakunya otonomi khusus belum menjadikan kondisi hak asasi manusia lebih baik dari sebelumnya. Ketidaksiapan pemda dan campur tangan pusat menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Sementara itu, dinamika politik local, praktik-praktik korupsi menjadikan Papua terus dalam keterpurukan. Sehingga berbagai bentuk hak ekonomi, sosial dan budaya terabaikan.

A. Catatan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Papua Pra-1998: Operasi Militer Papua dan Penetrasi Modal

Lahirnya Orde Baru di tahun 1965 berakibat buruk pula bagi Papua. Milter Indonesia di bawah sandi Operasi Wisnumurti I dan II1 semakin meningkatkan serangannya untuk memaksa orang Papua berintegrasi dengan NKRI. Sejak itu pula rangkaian kekerasan oleh militer terus meningkat. Pada tahun-tahun sebelum Soeharto berkuasa, tercatat 23 orang ditembak mati di Kebar dan Manokwari dalam kurun waktu Juli hingga Agustus 1965. Sementara itu, di awal-awal orde baru, pada bulan Agustus 1966 hingga 1967 sekitar 500

1

(2)

orang ditahan dan 3 orang masyarakat Papua dieksekusi oleh TNI di Teminabuan.2 Hingga akhirnya tiba penyelenggaraan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969, di mana sekitar seribu orang Papua dipaksa memilih integrasi dengan Indonesia.3

Pelaksanaan Pepera yang bermasalah dan hasilnya yang manipulatif memunculkan aksi penentangan oleh masyarakat Papua yang tidak terlibat dalam proses tersebut. Aksi penentangan ini mulai mengadakan perlawanan di bawah Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun, perlawanan ini justru meningkatkan operasi-operasi militer di Papua untuk menumpas separatisme. Di antaranya tahun 1970-1985 dilaksanakan Operasi Tumpas oleh TNI dengan target menggempur daerah yang dianggap basis OPM. Tahun 1977 dikerahkan pesawat pembom, helicopter dan pasukan darat ke wilayah Jayawijaya yang menghancurkan 17 desa.4

Dalam kaitannya dengan operasi militer, di tahun 1990-an pembunuhan dan pembantaian terus berlanjut dan korban terus berjatuhan. Di antaranya tahun 1994 TNI-AD menangkap 4 orang warga Timika yang kemudian dinyatakan hilang. TNI-AD juga menangkap dan menyiksa 3 orang laki-laki dan 2 orang perempuan pada tahun 1994, di antaranya Mama Yosepha Alomang.

Pada bulan Mei 1995 pasukan Yonif 752 kembali melakukan pembunuhan kilat terhadap 11 warga, termasuk pendeta, di kampong Hoea. Sementara pada tahun 1996 terjadi penyanderaan oleh kelompok sipil bersenjata terhadap warga sipil Indonesia, Belanda, Inggris, dan Jerman. Operasi pembebasan sandera tersebut telah mengakibatkan 60 orang warga sipil terbunuh dan 7 wanita menjadi korban perkosaan.

Akibat penerapan operasi militer, selama kurun waktu di bawah rejim orde baru, setidaknya telah 100 ribu lebih penduduk asli Papua terbunuh.5 Sasaran pembunuhan tidak saja pada orang-orang yang dianggap sebagai tokoh OPM, tetapi juga terhadap masyarakat Papua yang dianggap sebagai basis kekuatan OPM.

Penetrasi modal di Papua memberi warna bagi bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Di antaranya kehadiran perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang eksploitasi sumber daya alam. Dua tahun sebelum Pepera dilaksanakan, Pemerintah Indonesia telah memberikan ijin kepada P.T. Freeport Indonesia untuk mengeksploitasi tembaga dan emas di Papua. Freeport mulai beroperasi di Papua di saat status Papua belum resmi bergabung dengan NKRI atas dasar kontrak karya dengan Pemerintah Indonesia. Lokasi tambang Freeport sebenarnya merupakan tempat berburu dan hal-hal sakral lainnya bagi suku Amungme. Wilayah itu kemudian dijadikan kota perusahaan yang bernama Tembagapura. Sejak beroperasinya Freeport di wilayah itu, tujuh suku di sekitar areal tambang,6 khususnya suku Amungme dan suku Kamoro, menjadi korban. Begitu pula dengan kehadiran perusahaan-perusahaan kayu di Papua yang sebagian besar milik keluarga dan kroni Soeharto dan petinggi-petinggi militer. Pemain terbesar adalah

2

Ibid

3

Lihat: Hilmar Farid dan Rikardo Simarmata, Transitional Justice di Indonesia: Sebuah Laporan Pemetaan, draft final April 2003.

4

Lihat: Sampari, edisi 02 Februari 2006 “Menapaki Jejak Pelanggaran HAM di Papua”, hlm 9

5

Sampari, edisi 02 Februari 2006 “Menapaki Jejak Pelanggaran HAM di Papua”

6

(3)

Djajanti Group, yang pemegang sahamnya termasuk keluarga Suharto serta mantan pejabat-pejabat tinggi dan petinggi-petinggi milter. Perusahaan lainnya adalah Barito Pacific Timber dan Hanurata.7 Aktivitas-aktivitas penebangan hutan tersebut sebagian dilakukan di wilayah hutan-hutan adat. Akibatnya menimbulkan konflik dengan masyarakat adat di sekitarnya. Terkadang, perusahaan-perusahaan yang memiliki ijin HPH kebanyakan tidak mengindahkan batas-batas wilayah HPH dengan hutan adat yang dikeramatkan dan tempat berburu. Selain itu, besaran ganti rugi sering lebih kecil dari yang diharapkan oleh masyarakat.

Kehadiran perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam Papua telah menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Baik itu berupa perampasan tanah, kehilangan akses ekonomi, kerusakan lingkungan maupun maupun pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat lainnya. Protes-protes masyarakat merupakan ancaman bagi keberlangsungan perusahaan-perusahaan di sana sehingga tenaga keamanan sangat dibutuhkan. Aparat keamanan dan perusahaan-perusahaan bersimbiosis untuk menghadapi perlawanan-perlawanan masyarakat Papua. Pos-pos pengamanan didirikan berdampingan dengan perusahaan. Bahkan, Perusahan-perusahaan besar di Papua menyediakan dana khusus untuk operasi-operasi pengamanan. Sementara itu, pos-pos militer dan polisi sengaja ditempatkan lokasi konsesi, dan warga yang membuat ulah dituding sebagai separatis.8 Gangguan keamanan melegitimasi penempatan-penempatan sejumlah pasukan di areal-areal eksploitasi.

Akibatnya, kekerasan-kekerasan di Papua terjadi pula atas dukungan perusahaan-perusahaan besar di Papua. Protes-protes masyarakat terhadap perlakukan perusahaan-perusahaan dihadapi dengan operasi militer, bahkan protes masyarakat dianggap sebagai bagian dari gerakan separatisme. Sehingga kekerasan, intimidasi, penculikan, pembunuhan dan bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia kerap dialami bagi mereka yang menuntut keadilan kepada perusahaan.

Beberapa peristiwa yang berkaitan dengan hal ini di antaranya penangkapan dan penyiksaan yang dilakukan TNI-AD terhadap 3 orang laki-laki dan 2 orang perempuan pada tahun 1994. Perlakuan tersebut terkait erat dengan tuntutan masyarakat terhadap aktivitas Freeport di Papua. Begitu pula dengan peristiwa pembunuhan pada bulan Mei 1995 dan Peristiwa penyanderaan pada tahun 1996.

B. Catatan Kondisi Hak Asasi Manusia Di Papua Periode 1998-2006

Perubahan politik negera yang terjadi pada tahun 1998 belum membawa perubahan yang cukup berarti pada kondisi hak asasi manusia di Papua. Aksi demonstrasi dan tuntutan kemerdekaan serta pengibaran Bintang Kejora melegitimasi keberlanjutan operasi-operasi penumpasan separatisme di tahun-tahun sebelum era reformasi. Sehingga pengerahan dan penambahan pasukan diamini Jakarta. Akibatnya, operasi pembunuhan, penyisiran, penculikan, penyergapan ke kampung-kampung dan asrama mahasiswa serta bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya masih kerap terjadi dalam kurun waktu 1998-2006.

7

Lihat: Laporan ICG Asia, hlm 17

8

(4)

Sementara itu, aktivitas perusahaan-perusahaan eksploitasi masih menunjukkan perannya dalam berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Selain perusahaan lama, pada kurun waktu 1999-2006 hadir pula pemain baru yang melakukan eksploitasi. Peristiwa berdarah dan kekerasan lain masih muncul berkaitan dengan akitivitas perusahaan-perusahaan ini. Laju eksploitasi terlihat semakin menggila dengan adanya prakti-praktik illegal logging. Akibatnya, perampasan tanah dan hutan adat, perusakan lingkungan terus berlangsung di Papua. Tuntutan masyarakat Papua terhadap aktivitas perusahaan berujung pada bentuk-bentuk kekerasan oleh aparat keamanan.

Adanya perubahan status Papua ke pemerintahan otonomi khusus belum juga mampu menunjukkan perubahan yang signifikan. Ketidaksiapan pemerintah daerah dalam menjalankan otonomi khusus telah menimbulkan persoalan baru dalam generasi pelanggaran hak asasi manusia. Penyakit menular terus mewabah dan tak terkendali, bencana kelaparan kerap terjadi, dan pemenuhan hak-hak dasar lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan, terus terlantar. Pemerintah daerah turut menjadi ancaman yang serius bagi pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia di Papua. Tidak terbukanya Jakarta dan permainan politik elit lokal menambah runyam kondisi Papua. Kerusuhan massal dan bentrok massa kerap terjadi berkaitan dengan isu pemekaran wilayah Papua menjadi tiga provinsi. Sehingga kondisi Papua bukan semakin baik malah semakin pelik. Secara umum, kondisi hak asasi manusia di Papua dalam kurun waktu 1998-2006 dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu: pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan dengan rangkaian pelaksanaan operasi-operasi militer dan intelijen; pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan dengan beroperasinya perusahaan-perusahaan besar di Papua; kondisi hak asasi manusia yang berupa berupa peristiwa-peristiwa kelaparan, serangan penyakit dan gagal panen yang mengakibatkan kematian atau ancaman kematian.

1. Operasi Penumpasan Separatisme dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua

Runtuhnya rejim orde baru menimbulkan harapan baru di kalangan masyarakat Papua bahwa ketidakadilan di masa lalu dapat terungkap. Masyarakat sipil dan mahasiswa menggelar berbagai aksi dan protes menuntut agar pemerintah menyelidiki kasus-kasus kekerasan Soeharto; pengendalian perampasan sumber daya alam; persoalan transmigrasi; penarikan mundur pasukan militer di Papua; dll. Ruang gerak masyarakat sipil makin terbuka lebar bahkan masyarakat Papua mulai berani secara terbuka mengibarkan Bintang Kejora. Penyaluran aspirasi masyarakat yang dinilai sebagai ancaman terhadap keutuhan NKRI dan bahaya separatisme telah mengundang aparat keamanan untuk bertindak represif, walaupun saat itu era reformasi telah berlangsung. Tindakan refresif aparat keamanan di antaranya adalah penanganan masalah pengibaran Bintang Kejora di Sorong dan Biak pada bulan Juli 1998. Dalam peristiwa itu dilaporkan puluhan orang terbunuh oleh aparat militer dan polisi.

(5)

antaranya sejumlah pemimpin gereja, tokoh politik, intelektual dan aktivis LSM membentuk Forum Rekonsiliasi Masyarakat Irian Jaya (FORERI).

Arus reformasi yang sampai ke Papua mengharuskan aparat keamanan menahan diri. Sementara itu aspirasi merdeka terus meluas di daerah-daerah Papua. Hingga akhirnya terjadi dialog masyarakat Papua yang diwakili Tim 100 dengan Presiden Habibie pada tanggal 22 Februari 1999. Dialog tersebut diselenggarakan untuk menyampaikan aspirasi Papua merdeka.

Dialog yang berjalan lancar dan tanggapan Jakarta yang terlihat simpati melambungkan mimpi untuk merdeka. Sehingga respon masyarakat Papua setelah pertemuan dengan Presiden Habibie dijawab sangat antusias sehingga persiapan-persiapan menyambut merdeka dilakukan. Di seluruh wilayah Papua didirikan pos-pos komando tempat bertemunya masyarakat Papua setempat sambil menunggu pengakuan kemerdekaan dari Pusat.9 Tentu saja hal ini menjadi kekhawatiran aparat keamanan tentang keberlangsungan Papua dalam NKRI. Sampai akhirnya Kapolda Papua pada tanggal 17 April 1999 mengeluarkan maklumat yang berisi instruksi untuk membubarkan segala posko dalam jangka waktu beberapa hari saja.10 Maklumat ini menyinggung perasaan aspirasi merdeka dan masyarakat Papua berang. Maklumat itu sebenarnya merupakan salah satu pintu masuk aparat keamanan untuk mengendalikan perjuangan masyarakat Papua. Pengibaran Bintang Kejora di Sorong tanggal 5 Juli 1999 dijadikan alasan oleh aparat keamanan untuk menghentikan aktivitas posko di Sorong. 11

Sementara itu, Jakarta sibuk sendiri untuk membelah Papua menjadi tiga propinsi tanpa melibatkan masyarakat Papua. Tindakan ini disinyalir untuk memecah belah masyarakat Papua yang mulai menyimpul dalam satu wadah perjuangannya. Bahkan pemerintah sempat melantik dua gubernur baru pada tanggal 11 Oktober 1999. Tentu saja usaha pemerintah mendapat kecaman dan penolakan dari masyarakat Papua sehingga demonstrasi kembali terjadi dari tanggal 11 sampai 17 Oktober 1999 di depan Kantor Gubernur. 12 Sikap Jakarta ini dianggap masyarakat Papua sebagai tindakan sepihak tanpa mendengarkan aspirasi masyarakat.

Kekuatan masyarakat sipil Papua terus menggumpal ketika diadakan rapat akbar pada tanggal 12 November 1999 di Sentani. Dari pertemuan itu keluar himbauan untuk mengibarkan Kejora di seluruh Papau mulai tanggal 1 Desember 1999 hingga 1 Mei 2000 sebagai batas waktu yang ditetapkan untuk merdeka.13 Dari rapat itu diangkat Theys Hiyo Eluay sebagai pemimpin besar rakyat Papua sedangkan Yorris diangkat sebagai pimpinan masyarakat Papua di luar tanah Papua.14 Tuntutan merdeka ditambah pula tuntutan untuk mengganti nama Irian Jaya dengan Papua.

Situasi Papua yang terus berkembang mengharuskan Presiden terpilih pada Pemilu 1999, Gus Dur, mengadakan kunjungan ke Papua untuk mengadakan dialog pada tanggal 31

9

Lihat: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, “Memoria Passionis: Aspirasi Merdeka Masyarakat Tanah Papua dan Perjuangan Demokrasi Bangsa Indonesia Awal Tahun 2000”, hlm. 15.

10

Lihat: Ibid

11

Lihat: Ibid

12

Lihat Ibid, hlm 15

13

Lihat: Ibid

14

(6)

Desember 1999. Secara resmi Gus Dur menyampaikan maaf atas terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia selama ini kepada masyarakat Papua. Ia juga menentramkan masyarakat Papua melalui sikapnya yang setuju tentang perubahan Irian Jaya menjadi Papua. Di sisi lain, secara tegas Gus Dur tidak akan memberikan kesempatan terjadinya pemisahan Papua dari NKRI. Pernyataan Gus Dur tersebut dimanfaatkan oleh aparat keamanan untuk meredam aspirasi merdeka, pernyataan itu secara diam-diam dimaknai sebagai restu terus berlanjutnya operasi militer dan intelijen di tanah Papua. Di awal tahun 2000 setelah rapat akbar tahun 1999 dibentuk Dewan Presidum Papua (DPP). Theys Hiyo Eluay terpilih sebagai ketua, sementara wakilnya adalah Tom Beanal yang juga Ketua Lembaga Masyarakat Adat (Lemasa) Suku Amungme, di Timika. Sementara Sekjen Presidium DPP ditunjuk Thaha Mohamad Alhamid. DPP dilengkapi pula dengan Satuan Tugas Papua yang komandannya adalah Boy Eluai.

Aspirasi merdeka semakin kencang didengungkan dan mendapat dukungan luas sampai ke pelosok-pelosok Papua. Perekrutan-perekrutan anggota Satgas terus dilakukan di berbagai daerah di Papua. Dukungan luas masyarakat Papua tampak nyata ketika diadakan Kongres Papua II pada tanggal 29 Mei-4 Juni 2000.15 Ribuan massa berdatangan dan berkumpul -- dengan pakaian khas mereka dan dilengkapi persenjataan tradisional -- di sekitar gedung tempat Kongres berlangsung. Mereka ingin memastikan aspirasi merdeka menjadi agenda utama kongres tersebut. Kongres ini berjalan tertib walaupun hanya dijaga satgas Papua bentukan DPP. Bahkan Kapolda sempat memuji Satgas Papua terhadap suksesnya menjaga keamanan kongres.

Dalam Kongres II Rakyat Papua yang dihadiri sekitar tiga ribu peserta itu dihasilkan salah satu resolusi yang menyatakan rakyat Papua menolak bersatu dalam NKRI. Aparat keamanan -- yang selama kepemimpinan Gus Dur terlihat menahan diri -- menganggap hal tersebut sebagai ancaman keutuhan NKRI. Begitu pula DPR RI periode 1999-2004 yang secara resmi menyatakan sikap menolak keras keputusan Kongres Rakyat Papua II. DPR RI melalui ketua DPR Akbar Tanjung dan seluruh wakil ketua DPR dan Sekjen DPR, menyatakan bahwa hasil kongres merupakan tindakan separatisme dan tindakan makar. DPR juga mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tegas dalam usaha mencegah meluasnya gerakan separatisme tersebut dengan mengedepankan cara-cara persuasif.16 DPR RI juga meminta TNI dan Polri menunjukkan kesungguhan bertindak tegas dalam menyikapi ancaman keutuhan NKRI tersebut.17 Sementara itu TNI, melalui KSAD Jenderal, Tyasno Sudarto secara tegas mengatakan bahwa bentuk NKRI mencakup wilayah Sabang-Merauke adalah final. Sehingga setiap upaya yang mengarah pada disintegrasi bangsa tidak akan ditolerir. TNI AD mengimbau kepada segenap komponen bangsa untuk mengutuk dengan keras upaya pihak-pihak yang telah mengarah pada disintegrasi bangsa.18

15

Kongres Papua I dianggap telah dilaksanakan pada tahun 196. Kongres II tersebut mendapat dukungan dari Presiden Gus Dur bahkan untuk membiayai kongres tersebut pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden Abdurrahman Wahid, membantu Panitia dengan dana milyaran rupiah dan acara yang dihadiri sekitar 3.000 peserta itu. Lihat: KOMPAS - Rabu, 25 Apr 2001 Theys Eluay: Saya Siap Disidangkan

16

KOMPAS - Kamis, 08 Jun 2000, “Pemerintah Tetap Utamakan Tindakan Persuasif di Papua”

17

Ibid

18

(7)

Setelah kongres tersebut, Polda Papua menunjukkan sikapnya dengan memanggil dan memeriksa tiga orang anggota PDP.19 Selain itu, beberapa orang PDP juga diperiksa oleh Polda, termasuk Pendeta Herman Awom. Akhirnya lima orang ditetapkan sebagai tersangka Makar, yaitu: Theys Hiyo Eluay sebagai Ketua Umum PDP, Thaha Alhamid sebagai Sekretaris Jenderal PDP, Pdt Herman Awom sebagai moderator, John Mambor dan Don Flassy sebagai anggota PDP.20

Sementara itu, aparat keamanan juga mendesak kepada PDP untuk segera menghimbau massanya agar menurunkan dan menghentikan pengibaran Bendara Bintang Kejora yang berlangsung selama ini. Akhirnya terjadi dialog antara PDP, Kapolda Papua – yang saat itu dijabat oleh Brigjen (Pol) SY Wenas, Panglima Kodam dan Pemda pada tanggal 3 Oktober 2000 yang menyepakati bahwa batas waktu penurunan Bendera Bintang Kejora adalah tanggal 19 Oktober 2000 yang akan dilaksanakan secara damai.21 Namun, pada tanggal 6 Oktober 2000 aparat keamanan menurunkan secara paksa bendera Bintang Kejora di Wamena. Operasi ini akhirnya memuncak dalam suatu kontak senjata aparat keamanan dan masyarakat setempat. Akibatnya puluhan orang meninggal dunia dan terjadi gelombang pengungsian secara besar-besaran, lebih-lebih penduduk non-Papua.22 Penurunan bendera secara paksa juga terjadi di berbagai daerah lain, di antaranya di Merauke, Wamena, Sorong, Nabire, dan Manokwari.23 Aksi penurunan ini merupakan perintah langsung dari Kapolri sebagai realisasi dari hasil Sidang Tahun MPR 2000.24 Aparat keamanan telah secara terang-terangan menganggap bahwa hasil kongres dan pengibaran Bintang Kejora sebagai tindakan makar dan ancaman penuh terhadap kedaulatan NKRI. Sehingga aparat keamanan berniat membubarkan PDP sebagaimana diungkapkan Menko Polsoskam Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan agar PDP segera dibubarkan dan menurunkan bendera bintang kejora di Irja.25

Hingga bulan November 2000, setelah peristiwa Wamena, situasi keamanan Papua semakin memanas. Ribuan warga pendatang di Merauke masih mengungsi di Markas Kodim, Polres, Lanal Merauke pada malam harinya, karena sering terjadi penculikan.26 Rasa takut juga menyebar ke daerah lain, penduduk di Jayapura baik pendatang maupun penduduk lokal hidup dalam suasana ketakutan dan kewaspadaan tinggi.27 Di sisi lain, Jepang dan Uni Eropa. Lihat: KOMPAS - Sabtu, 10 Jun 2000, “Tokoh Papua Hanya Bersedia Berdialog Dengan Presiden”

19

Mereka yang dipanggil yaitu: Thaha M Alhamid sebagai Sekretaris Umum Kongres II Rakyat Papua, Theys Eluay sebagai Ketua PDP, dan Agus A Alua sebagai Ketua Panitia Kongres II Rakyat Papua. Lihat: Ibid

20

Setelah ditetapkan sebagai tersangka mereka juga sempat menjadi tahanan dalam proses hukum tersebut. Namun, sejak tanggal 15 Maret 2001 penahanan mereka ditangguhkan setelah sempat mendekam selama 104 hari. Lihat: KOMPAS - Sabtu, 17 Mar 2001 DAERAH SEKILAS.

21

KOMPAS - Selasa, 10 Oct 2000, Theys Akan Menghadap Presiden: Akbar Tandjung Sesalkan Kasus Wamena. Lihat juga: KOMPAS - Rabu, 11 Oct 2000, Theys Imbau Warga Pendatang Tetap Tenang

22

Lihat: Laporan Awal Kasus Wamena, 4 April 2003, Oleh Koalisi LSM untuk Perlindungan Dan Penegakan Ham Di Papua Jayapura, 6 Mei 2003

23

KOMPAS - Kamis, 09 Nov 2000, Dansatgas Port Numbay Ditangkap

24

KOMPAS - Selasa, 10 Oct 2000, Theys Akan Menghadap Presiden: Akbar Tandjung Sesalkan Kasus Wamena

25

Lihat: KOMPAS - Rabu, 11 Oct 2000, Theys Imbau Warga Pendatang Tetap Tenang

26

KOMPAS - Kamis, 09 Nov 2000, Dansatgas Port Numbay Ditangkap

27

(8)

masyarakat Papua sibuk mempersiapkan diri untuk memperingati hari jadi Papua pada tanggal 1 Desember 2000. Pada tanggal tersebut akan dikibarkan Bendera Bintang Kejora sesuai amanat Kongres II.28 Untuk menghindari konflik yang terjadi, pada bulan Desember 2000 Muspida Irja berdialog dengan PDP. Muspida berjanji untuk memberdayakan sekitar 620.000 anggota Satgas Papua ke dalam berbagai bidang, misalnya sebagai polisi, atau terjun di bidang bisnis, sopir, dan bidang lain sesuai kemampuan mereka.29

Situasi mencekam di Papua mencapai puncak ketika tanggal 7 Desember 2000 terjadi penyerangan terhadap Polsek Abepura dan pembakaran beberapa bangunan di sana. Beberapa jam setelah peristiwa itu, Polres Abepura memerintahkan operasi pengejaran dan penyisiran terhadap pelaku yang tak dikenal itu. Dalam pelaksanaannya, operasi tersebut telah mengakibatkan terjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia yang dialami masyarakat Papua.

Kondisi keamanan di Papua terus memburuk di tahun-tahun berikutnya. Di awal tahun 2001, tepatnya di bulan Maret, terjadi peristiwa pembunuhan terhadap empat karyawan PT Darma Mukti Persada di Desa Ambumi Kecamatan Wasior. Meski pelakunya tidak dikenal, warga meyakini aparat polisi yang melakukannya.30 Setelah itu pada bulan April 2001, pasukan Brimob melakukan penganiayaan terhadap pasukan koteka di Desa Rasiei. Dua orang luka terkena peluru, 15 orang ditahan Polres Manokwari dan enam orang hilang. Dua kejadian tersebut semakin membuat warga membenci polisi. Hingga akhirnya tanggal 12 Juni 2001 puluhan warga menyerang lima anggota Brimob di Base Camp PT Prima Jaya Sukses Lestari (PJSL) di Desa Wondiboi, Kecamatan Wasior. Lima anggota Brimob itu tewas, lima senjata api dan dua peti peluru di base camp dibawa kabur.31 Aparat keamanan terus meningkatkan operasi pengejaran hingga terjadi tindak kekerasan yang terus dilakukan aparat kepolisian terhadap warga Kecamatan Wasior sejak Juni sampai September 2001. Akibatnya seorang guru SD meninggal secara tragis, puluhan orang luka-luka dianiaya, diperlakukan secara tidak manusiawi, sementara ribuan warga yang ketakutan terpaksa mengungsi ke hutan-hutan dan daerah aman lainnya. Rangkaian peristiwa ini dikenal sebagai peristiwa Wasior.

Operasi-operasi anti separatisme terus berlanjut dan terus menimbulkan korban jiwa. Di antaranya pada bulan September 2001 tokoh OPM Merauke, Willem Onde, ditemukan tewas berlumurah darah di salah satu sungai di Asiki, pedalaman Merauke.32 Selain itu, tanggal 23 September 2001 dua anggota OPM tewas ditembak anggota TNI di Pos 511 Kostrad, Bonggo, Jayapura. Penembakan terjadi setelah ratusan anggota OPM dengan senjata tradisional berusaha menyerang pos tersebut.33

Pada bulan Oktober 2001 OPM melancarkan aksinya Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya dengan membakar sejumlah faslitias umum,34 dan menyerang Koramil.35 Sebelumnya,

28

Ibid

29

KOMPAS - Jumat, 08 Dec 2000 DAERAH SEKILAS

30

Lihat: Kompas, Selasa, 18 September 2001, “Komnas HAM Dituntut Bentuk Tim Independen Kasus Wasior”

31

Lihat: Ibid

32

Lihat: Kompas, Selasa, 25 September 2001 “Tokoh OPM Merauke Willem Onde Terbunuh”

33

Lihat: Ibid

34

Lihat: Kompas, Selasa, 2 Oktober 2001, “ DPRD Irja Kutuk Tindakan OPM di Ilaga”.

35

(9)

OPM menguasai Lapangan Terbang Ilaga sejak tanggal 28 September 2001.36 Setelah peristiwa itu, Kodam XVII/Trikora mengirimkan pasukan ke Ilaga.37 Tanggal 04 Oktober 2001 TNI berhasil merebut Lapangan Terbang Ilaga38 dan memulihkan keamanan di Ilaga tanpa ada perlawan dari pihak OPM yang telah melarikan diri. Walaupun demikian, aparat keamanan terus melakukan pengejaran.39 Dalam melakukan operasi ini aparat keamanan melakukan tindakan-tindakan kekeraran pula terhadap masyakat.

Operasi pengejaran dan penumpasan terhadap OPM di Papua terus berlanjut, pada tanggal 10 Oktober 2001 Markas Besar Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Hans Youweni di sekitar Desa Marwei Kecamatan Pantai Timur, Bonggo, Irian Jaya, dikuasai pasukan Batalyon Infantri 611.40 Tanggal 16 Oktober, Tim Gabungan TNI-Polri yang dipimpin Mayor Inf Isak dari Satgas Tribuana berhasil menyergap tujuh anggota Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) di sekitar Kali Kopi, Kecamatan Mimika Baru, Kabupaten Mimika.41 Mereka ditangkap dan ditahan di Polres Mimika.42 Di bulan November 2001, sebanyak 18 anggota OPM, yang dianggap sebagai pelaku pembakaran KM Jala Perkasa di Kecamatan Kimaam, Merauke, ditangkap aparat Polres Merauke.43 Sementara itu, pada tanggal 16 November 2001 Polsek Waropen Atas, Yapen Waropen, diserang sekitar 100 anggota OPM. Selanjutnya, pengejaran dan penyisiran dilakukan aparat Polsek.44

Puncak dari operasi militer di tahun 2001 adalah penculikan dan penangkapan terhadap, Ketua Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay, pada bulan November 2001. Awalnya militer menyangkal bahwa Kopassus sebagai pelakunya. Pembunuhan Theys ini telah membuat suasana tegang di Papua semakin meningkat. Demostrasi dan kerusuhan berlangsung di beberapa daerah di Papua.

Pada tahun 2001 aparat keamanan juga membentuk para-militer (milisi), di antaranya pada bulan Oktober 2001 Kodim 1702 Jayawijaya membentuk Satgas dengan jumlah anggota 170 orang.45 Pada awal 2002 tercatat pula pembentukan Barisan Merah Putih (BMP) oleh sejumlah tokoh Papua di Jakarta (termasuk mantan wakil Gubernur, J. Djopari). Tujuannya untuk menjaga keintegrasian Papua dalam NKRI, dan menghilangkan segala Lihat: Media Indonesia - Nusantara (03/10/2001 01:24 WIB), “ Aparat Berusaha Kuasai Lapangan Terbang Ilaga”. Lihat juga: Media Indonesia - Nusantara (02/10/2001 00:35 WIB), “Setelah Menyerang Koramil Ilaga, DPM masih Kuasai Lapangan Terbang”

38

Lihat: Kompas, Jumat, 5 Oktober 2001, “TNI Ambil Alih Lapangan Terbang Ilaga”.

39

Media Indonesia - Nusantara (05/10/2001 00:08 WIB), “Aparat Rebut Kembali Lapangan Terbang Ilaga Delapan Pamen Dicopot”

40

Lihat: Kompas, Kamis, 11 Oktober 2001, “Markas Besar OPM Dikuasai TNI”.

41

Republika, Kamis 18 Oktober 2001, “TNI/Polri Sergab Tujuh Anggota OPM”

42

Lihat: Ibid

43

Lihat: Kompas, Jumat, 9 November 2001, “18 Anggota OPM Ditangkap”

44

Lihat: Kompas, Sabtu, 17 November 2001, “Polsek Waropen Atas Diserang OPM: Dua Warga Sipil Luka Berat”

45

(10)

kegiatan yang beraspirasi kemerdekaan. Dalam kerangka inipun Kodim membentuk Satgas Merah Putih pada awal 2002.46 Sementara itu, Eurico Guterres juga melakukan aktivitas membentuk barisan milisi di Timika. Namun, aktivitasnya kemudian dihentikan atas permintaan unsur pimpinan daerah Mimika dan Provinsi Papua.47

Kebijakan Presiden Megawati tampak berbeda dengan Gus Dur dalam menangani masalah Papua. Tahun 2002 operasi militer memburu separatisme terus berlanjut bahkan terjadi penambahan pasukan di Papua. Pada tanggal 28 Mei 2002 satu kompi Pasukan Tempur Kodam I Bukit Barisan dikirim ke Papua, bergabung dengan satuan lainnya untuk membasmi gerakan separatisme di daerah tersebut.48 Situasi di Papua terus tak menentu sementara aparat keamanan semakin arogan. Pada tanggal 4 Agustus 2002 sedikitnya 20 anggota Polda Papua menganiaya Frengky Rengrenggulu di Jayapura.49 Tindakan main hakim sendiri 20 anggota penegak hukum itu mengakibatkan wajah Frengky babak belur, 8 buah gigi rontok dan lengan kirinya ditikam dengan sangkur.50

Papua semakin bergolak setelah terjadi peristiwa penembakan terhadap konvoi kendaraan karyawan P.T. Freeport di kilometer 62-63 dari Tembagapura ke arah Timika pada tanggal 13 Agustus 2002. Dalam peristiwa tersebut 3 karyawan P.T. Freeport tewas, termasuk 2 orang warga AS, dan 12 orang lainnya luka-luka.51 Pengerahan pasukan digelar untuk memburu para pelaku penembakan. Diduga keras pelakunya adalah militer dalam kaitannya dengan bisnis pengamanan Freeport. Sementara pihak militer menyatakan bahwa pelakunya adalah OPM sehingga operasi penumpasan OPM kembali mendapat legitimasinya. Pada bulan Desember, tim gabungan Polsek Demta dan Satgas TNI yang bertugas di daerah itu mengklaim telah menggerebek pusat logistik di Jayapura, dan menangkap dua orang anggota OPM.52 Sementara itu, pada tanggal 17 Desember telah terjadi kontak senjata antara OPM pimpinan Matias Wenda dengan TNI di perbatasan Jayapura-Papua Niugini (PNG). Peristiwa ini berawal dari penyerangan terhadap mobil pejabat provinsi yang sedang menjemput Duta Besar RI di PNG di perbatasan.53

Di penghujung 2002 kembali lagi terjadi peristiwa penembakan, istri dan anak Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua, serta Ny Yeni Ireuw Meraudje ditembak oleh orang tak dikenal di perbatasan Jayapura-Papua Niugini (PNG) saat dalam perjalanan dari Jayapura menuju Vanimo (PNG).54 Aksi penembakan diperbatasan tersebut terus terjadi di tahun 2003. Di antaranya di awal 2003 Konvoi tim olah TKP Mabes Polri yang akan menyelidiki kasus penembakan istri direktur ELSHAM diberondong peluru oleh sejumlah orang bersenjata di perbatasan RI-PNG.55 Akibat insiden ini Danrem 172/Praja Wira Yakti Letkol Inf Agus Mulyadi mengeluarkan perintah pengejaran dan pengepungan terhadap OPM pimpinan Matias Wenda.56

46

Lihat: Ibid

47

Lihat: Media Indonesia, Rabu, 03 Desember 2003, “Aparat Hentikan Kegiatan Guterres di Timika”

48

Lihat: Detik Rabu, 29/5/2002, “Satu Kompi Pasukan Tempur Kodam I/BB Dikirim ke Papua”.

49

Lihat: Kompas, Minggu, 1 September 2002, “Karyawan Freeport Tewas Ditembak”.

52

Kompas, Selasa, 10 Desember 2002, “Pusat Logistik OPM di Jayapura Digerebek”

53

Kompas, Rabu, 18 Desember 2002, “Kontak Senjata di Perbatasan Jayapura-PNG”

54

Lihat: Kompas, Minggu, 29 Desember 2002 Istri Direktur Elsham Papua Ditembak di Perbatasan RI-PNG

55

Media Indonesia, Kamis, 2 Januari 2003, “Tim Olah TKP Polri Ditembak di Papua”

56

(11)

Sementara itu, OPM terus meningkatkan serangannya dengan menyerang Kodim 1702 Wamena pada tanggal 4 April 2003. Serangan itu mengakibatkan dua anggota TNI tewas.57 Berikutnya, TNI melakukan pengejaran dan penyisiran. Sejumlah orang ditahan dan disiksi di Markas Kodim 1702. Bahkan salah seorang di antaranya meninggal ditahanan karena disiksa.58 Amnesty Internasional melaporkan bahwa TNI telah melakukan penyiksaan terhadap sejumlah penduduk desa, ketika memburu penyerang Kodim 1702/Jayawijaya di Wamena, Papua.59 Pengejaran dilakukan oleh pasukan gabungan dari Kopasus, Batalyon 413 Kostrad, dan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat Kostrad. Pasukan. Dalam pengejaran tersebut, aparat keamanan membakar puluhan rumah penduduk, sekolah, puskesmas dan perumahan guru serta ternak yang jumpai di kampung-kampung sekitar Kuyawage.60 Akibatnya telah terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia di Wamena. Rangkaian kejadian ini dikenal dengan peristiwa Wamena.

Di samping itu, kebijakan pemerintah pusat yang membagi Provinsi Papua menjadi tiga bagian telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pelaksanaan kebijakan tersebut ditandai diresmikannya Provinsi Irjabar tanggal 6 Februari 2003. Kebijakan pemekaran Papua ini telah menyebabkan situasi Papua semakin buruk akibat pro dan kontra pemekaran. Misalnya di Provinsi Irian Jaya Tengah telah terjadi konflik antar kelompok pro dan anti pemekaran, konflik ini kemudian menjadi perang adat di Timika pada tanggal 23-27 Agustus 2003. dalam peristiwa itu 5 orang meninggal dan 108 orang luka-luka. Berikutnya pada tanggal 31 Agustus, terjadi pula pembunuhan terhadap 2 orang dan melukai 4 orang warga non-Papua di Timika.61

Pada bulan Juli 2003, Polres Jayawijaya menahan dua orang yang dituduh mengibarkan bendera Melanesia “Bintang 14” di halaman gedung DPRD Wamena.62 Pengibaran “bendera 14” ini tampak sebagai penanda adanya aspirasi lain yang tumbuh di kalangan masyarakat Papua, yaitu: Melanesia merdeka. Bendera ini kembali dikibarkan pada bulan November 2003 di Manowari. Kemudian 50 orang yang dianggap pelaku ditangkap aparat kepolisian.63 Di daerah lain, pada tanggal 4 November 2003 sebuah operasi penyerangan oleh satuan gabungan TNI di Pegunungan Jayawijaya menewaskan gembong OPM Yustinus Murib, selain itu satuan TNI menewaskan sekitar 10 anggota OPM yang bergerak di Pegunungan Jayawijaya Tengah.64

Di tahun 2004, tepatnya bulan Maret seorang pempinan OPM, Leo Wresman tewas dalam kontak senjata antara pasukan TPM/OPM dengan Satgas Kompi Rajawali Yonif 753 AFT di Desa Kamenawari 40 km arah barat Kota Sarmi.65 Aparat keamanan, Satgas Kompi Rajawali Yonif 753 BKO Korem 172 PWY, terus meningkatkan operasi penyisiran di tempat-tempat yang diduga menjadi persembunyian empat anggota kelompok GPK yang meloloskan diri saat terjadi kontak senjata antara TNI dengan GPK. Berkaitan dengan

57

Suara Pembaruan, Jumat 04 Maret 2003, “Kodim Wamena Diserang, Dua Tentara Tewas”

58

Suara Pembaruan, Selasa 15 April 2003, “Satu Tahanan Kasus Wamena Meninggal”

59

Koran Tempo, Rabu, 16 April 2003, “Amnesti: Ada Penyiksaan di Wamena”

60

Koran Tempo, Kamis, 24 April 2003, “Elsham: 5 Kampung di Wamena Dibakar”

61

Elsham News Report, 1 September 2003, “Timika Diprovokasi, Dua Meninggal, Empat Luka-Luka”

62

KCM, Senin, 07 Juli 2003, 11:49 WIB, “Polisi Tahan Dua Pengibar Bendera "Bintang 14" di Wamena”

63

Suara Pembaruan, Kamis 27 November 200, “Polisi Tahan 50 Pengibar Bendera Melanesia Barat di Manokwari”

64

Koran Tempo, Kamis, 6 November 2003, “Gembong Organisasi Papua Merdeka Yustinus Murib Tewas”

65

(12)

operasi tersebut, seorang ibu-ibu, bernama Fransina Sawen (27), diamankan anggota TNI di Koramil Sarmi.66 Sementara itu, dalam kaitannya dengan pelaksanaan Pemilu tahun 2004, pada bulan April, sekelompok orang tak dikenal yang jumlah sekitar 20 orang dengan bersenjatakan panah, tombak, kapak dan parang menghadang petugas Pengamanan (PAM) Pemilu dan petugas Panwalu yang akan melaksanakan pendistribusian logistik di Kampung Yowit Distrik Okaba Kabupaten Merauke.67

Tanggal 20 April, Aparat Kepolisian bentrok dengan kelompok orang tak dikenal bersenjata kelewang dan panah di desa Mariendi, Distrik Purwata, Kabupaten Bintuni, Irian Jaya Barat. Akibatnya beberapa orang dari kelompok tersebut tewas.68 Di Manokwari, terjadi penahanan terhadap tiga orang anggota OPM, menyusul insiden berdarah di hutan belantara distrik Babo, Kabupaten Teluk Bintuni, Irian Jaya Barat tanggal 20 April. Dalam insiden tersebut satu orang anggota OPM tewas ditembak pasukan Brimob.69 Sementara di daerah Garade Kampung Munia, perbatasan Distrik Mulia dengan Distrik Ilu, Kabupaten Puncak Jaya, pada tanggal 17 Agustus 2004, dua anggota kelompok sipil bersenjata pimpinan Guliat Tabuni tewas tertembak dalam kontak senjata lawan TNI selama dua jam di daerah Garage Kampung Munia.70

Di bulan Oktober, 6 orang tewas dalam aksi penghadangan dan penembakan yang dilakukan kelompok sipil bersenjata (KSB) terhadap iring-iringan kendaraan PT Modern di Kampung Munia, Distrik Ilu, Kabupaten Puncak Jaya, Papua.71 Sementara di Kabupaten Puncak Jaya, terjadi pembunuhan warga sipil non-Papua pada tanggal 12 Oktober 2004 menyusul dilakukannya operasi militer gabungan pasukan Kopasus, TNI AD, Polisi dan Brimob yang memburu Goliat Tabuni.72 Militer menuding kelompok Goliat Tabuni sebagai pelakunya. Sebelumnya, pada bulan September aparat militer telah menangkap dan akhirnya menembak mati pendeta Elisa Tabuni dalam keadaan tangan terikat tali. Sedangkan anaknya berhasil melarikan diri dalam keadaan tangan terikat karena tidak mengetahui keberadaan Goliat Tabuni.73 Berikutnya, dalam rangka operasi tersebut, militer menangkap dan mengintimidasi pendeta Yason Kogoya. Tanggal 17 Oktober, pasukan militer melancarkan operasi darat dan udara terhadap penduduk sipil. Helikopter TNI menembak dan meluncurkan bom-bom ke perkampungan penduduk sipil. Walaupun bom tersebut tidak meledak, menyebabkan sekitar 5000-an penduduk mengunsi ke hutan.74

Bergantinya Presiden setelah Pemilu 2004 belum merubah kondisi Papua. Rangkaian kekerasan masih terjadi, di antaranya pada bulan Desember 2004 aparat kepolisian membubarkan aksi ratusan warga Papua -- yang menamakan diri Parlemen Jalanan Rakyat Sipil untuk Politik di Papua -- saat mengibarkan bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora, Jayapura. Beberapa hari sebelumnya, aparat kepolisian telah mengeluarkan

66

Harian Cenderawasih Post, 15 Maret 2004 (Headline), “Istri GPK Diamankan TNI”

67

Harian Cenderawasih Post, 06 April 2004 (Headline), “Di Merauke, Pam Pemilu Diserang”

68

Suara Pembaruan, Rabu 21 April 2004, “Polisi Diserang di Papua, Empat Tewas”

69

Media Indonesia, Jum'at, 23 April 2004, “Polres Manokwari Tahan Tiga Anggota OPM”

70

Kompas, Kamis, 19 Agustus 2004, “Dua Anggota OPM Tewas dalam Kontak Senjata “

71

Media Indonesia, Kamis, 14 Oktober 2004, “OPM Tembaki Kendaraan Sipil Enam Orang Dikabarkan Tewas”

72

Elsham News Service, 3 November, 2004, “Pdt. Socrates Sofyan Yoman, MA: Kasus Puncak Jaya Murni Rekayasa Militer Mulia, Puncak Jaya”

73

Ibid

74

(13)

larangan resmi.75 Operasi penumpasan terus terjadi sepanjang tahun 2005 dan awal 2006. Situasi yang buruk selama reformasi menjadi alasan bagi 43 warga Papua meminta suaka di Australia di awal bulan Januari 2006. Berikutnya di bulan Januari 2006 telah terjadi penembakan di Distrik Waghete, Kabupaten Paniai yang mengakibatkan 1 orang meninggal dan tiga warga sipil lainnya terluka. Di bulan Februari 2006, terjadi penembakan terhadap 3 orang pendulang emas di tepi Sungai Aikwa dalam operasi penertiban penambangan liar di Distrik Tembagapura. Sementara pada bulan Maret 2006, demostrasi yang menuntut penutupan P.T. Freeport berlangsung, yang diakhiri dengan terbunuhnya beberapa aparat keamanan di depan kampus Universitas Cendrawasih. Kekerasan sepanjang reformasi tersebut menunjukkan bahwa situasi Papua belum menjadi baik. Begitu pula pelaksanaan Otsus belum mampu meredam gelombang kekerasan di Papua. Rangkaian kekerasan tersebut berakibat buruk pada kondisi hak asasi manusia bagi warga Papua. Di bawah ini disajikan beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sepanjang reformasi.

a. Peristiwa (Abepura 2000)

Pada tanggal 7 Desember 2000 terjadi penyerangan kantor Polsek Abepura oleh sekelompok orang bersenjata golok dan parang. Dalam peristiwa itu satu orang anggota polisi tewas dan sejumlah lainnya luka-luka. Beberapa jam setelah penyerangan itu Polres Jayapura menggelar operasi penyisiran dan pengejaran. Dalam operasi tersebut telah terjadi rangkaian kekerasan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Peristiwa ini telah diselidiki oleh Komnas HAM dengan membentuk KPP HAM. Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Kesimpulan ini dijadikan dasar oleh kejaksaan agung untuk mendakwa dua orang anggota kepolisian yang dianggap bertanggung jawab pada Pengadilan HAM di Makassar. Tapi, akibat proses persidangan, terutama kesaksian, yang masih di bawah standar, dua orang terdakwa tidak dapat dibuktikan kesalahannya. Akibatnya dua terdakwa tersebut diputus bebas oleh hakim pengadilan HAM Makassar.

b. Peristiwa Wasior (2001)

Peristiwa ini bermula dari penyerangan oleh sekelompok orang bersenjata terhadap PT Darma Mukti Persada (DMP) di Kecamatan Wasior pada tanggal 31 Maret 2001. Dalam peristiwa tersebut tiga orang pegawai PT DMP menjadi korban. Pada tanggal 13 Juni 2001 terjadi lagi penyerangan terhadap basecamp CV Vatika Papuana Perkasa (VPP) di desa Wondiboi. Dalam peristiwa ini 5 orang anggota Brimob tewas dan 1 orang warga sipil tewas. Setelah peristiwa tersebut, Polda Papua melakukan pengejaran dan penyisiran terhadap pelaku penyerangan ke berbagai desa dan kecamatan di sekitar Wasior. Dalam proses pengejaran tersebut diduga telah terjadi pula pelanggaran berat hak asasi manusia. Sehingga Komnas HAM melakukan penyelidikan terhadap peristiwa ini. Kesimpulan hasil penyelidikan dan semua berkasnya telah diserahkan Komnas HAM ke kejaksaan agung untuk dilakukan

75

(14)

penyidikan. Tetapi, sampai sekarang hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut belum ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung.

c. Peristiwa Pembunuhan Theys (November 2001)

Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay hari Sabtu, 10 November 2001 diculik. Esok harinya, ia ditemukan telah tewas di di Koya Tengah, Kecamatan Muara Tami, Kabupaten Jayapura. Jenazah Theys ditemukan tertelungkup di jok mobil Toyota Kijang dengan wajah babak belur dan luka di pelipis, dahi, dan leher.76 Peristiwa ini menyulut kemarahan masyarakat Sentani, daerah asal Theys. Ratusan warga Sentani membakar dua rumah toko, dua bank (BRI dan BPD Irja), dan 12 bangunan lainnya,77 situasi pun mencekam78 sampai ke hari-hari berikutnya.

Penculikan yang berakhir pembunuhan ini diduga terkait erat dengan aktivitas politik Theys dan kawan-kawannya.79 Saat ia dibunuh, Theys berstatus sebagai tahanan luar dan sedang diadili di Pengadilan Negeri Jayapura dengan dakwaan melakukan sejumlah kegiatan makar dengan tujuan memisahkan Irian Jaya dari NKRI. Banyak pihak berpendapat bahwa pembunuhan Theys adalah upaya terakhir untuk membungkam keinginan rakyat Papua untuk merdeka.

Desakan dari berbagai pihak mengharuskan Pemerintah membentuk Komisi Penyelidik Nasional (KPN) untuk menyelidik kasus pembunuhan Theys. KPN menemukan adanya keterlibatan Kopassus dalam pembunuhan Theys.

Menyikapi temuan tersebut, pada tanggal 03 Januari 2003, tujuh anggota Kopassus80 didakwa dalam pengadilan militer di Surabaya. Dakwaannya adalah secara bersama-sama atau sendiri sengaja melakukan penganiayaan sehingga menyebabkan hilangnya nyawa Theys. Pemeriksaan kasus Theys melalui pengadilan militer ini ditolak oleh sejumlah pihak, alasan utamanya adalah karena kasus Theys adalah pelanggaran hak asasi manusia.

Setelah beberapa kali sidang akhirnya pada bulan April 2003 pengadilan militer memutuskan bahwa ketujuh terdakwa terbukti bersalah dan dihukum 2-3,5 tahun penjara. Putusan ini sangat mengecewakan masyarakat Papua karena dinilai tidak memenuhi rasa keadilan.

d. Peristiwa Wamena (2003)

Pada bulan April 2003 telah terjadi pembobolan gudang senjata api milik Kodim Wamena. Setelah peristiwa ini TNI melakukan operasi pengejaran dan penyisiran di sekitar kota Wamena. Dalam operasi ini telah terjadi berbagai bentuk kekerasan.

76

Lihat: “Theys Meninggal, Irian Berduka” Kompas, Senin, 12 November 2001

77

Lihat: Ibid

78

Lihat: “Masyarakat Jayapura Mulai Panik” Republlika, Minggu, 11 Nopember 2001

79

Sejak Juli 1999, ia mulai mengadakan satu kegiatan deklarasi kemerdekaan Irja, di kediamannya. Kegiatan berikut dilancarkan 1 Desember 1999 berkait dengan peringatan Hari Ulang Tahun Irja, disertai pengibaran bendera bintang kejora dan menyanyikan lagu Hai Tanahku Papua

80

(15)

Komnas HAM telah melakukan penyelidikan dalam peristiwa ini dan menyimpulkan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Namun, walaupun hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut telah disampaikan kepada penyidik Jaksa Agung, sampai sekarang kasus tersebut belum ada tindak lanjutnya.

2. Penetrasi Modal dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua

Saat ini setidaknya terdapat tiga situs utama sumber daya alam yang menjadi sasaran eksploitasi di Papua, yaitu: pertambangan, kayu (hutan) dan gas alam. Tiga situ situ dikeruk oleh perusahaan-perusahaan besar. Pertambangan diwakili oleh P.T. Freeport Indonesia, penebangan kayu oleh perusahaan-perusahaan HPH, dan gas alam oleh P.T. LNG Tangguh.81 Beroperasinya ketiga perusahaan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung turut menyumbang praktik-praktik pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di antaranya praktik-praktik diskriminasi dan pelarangan atau pembatasan aktivitas ekonomi oleh pihak perusahaan, perebutan tanah, perusakan lingkungan, dan praktik-praktik represif aparat keamanan yang berkolaborasi dengan perusahaan.

a.Freeport

Sebelum Papua bergabung dengan NKRI, P.T. Freeport Indonesia sudah melakukan kegiatan produksi tidak lama setelah menandatangani kontrak karya dengan Indonesia. Gunung Ertsberg yang mengandung banyak mineral dieksploitasi. Padahal, daerah tersebut merupakan tempat masyarakat sekitar menggantungkan hidupnya. Berdasarkan kontraknya dengan pemerintah Indonesia, Freeport membangun istana tempat berlangsungnya penambangan. Kota Tembagapura dibangun, masyarakat sekitar diusir, lahan luas tempat berburu dicaplok tanpa ganti rugi. Perlakuan seperti ini mengundang perlawanan dari masyarakat setempat, protes masyarakat kerap mengganggu aktivitas perusahaan sehingga diperlukan pengamanan. Ancaman dari OPM menjadi legitimasi bagi kehadiran aparat keamanan di sekitar wilayah tambang.

Gunung Rrasberg yang bersebelahan dengan Ertberg, pada tahun 1988 ditemukan mengandung cadangan mineral yang sangat besar. Sejak mengeksploitasi gunung tersebut, Freeport menjadi penghasil tembaga dan emas terbesar di dunia, dan mendongkrak pentingnya Papua bagi Indonesia.82 Kekayaan melimpah yang dihasilkan Freeport menarik minat keluarga/kroni Soeharto dan petinggi-petinggi militer untuk ikut menikmati kekayaan yang dihasilkan Freeport.83 Di sisi lain, masyarakat sekitar tidak diperhatikan dan tetap miskin. Dalam kondisi ini kecemburuan sosial dapat saja terjadi, terutama pada masyarakat pendatang yang terlihat berlimpah setelah ikut menikmati recehan Freeport.

81

Selain itu, terdapat pula perusahaan lain yang memperoleh ijin, terutama pertambangan di hutan lindung setelah berlakunya Perpu Nomor 1/2004, di antaranya adalah P.T. Gag Nickel yang mendapat jatah seluas 13.138 ha di Papua, Lihat: Bisnis Indonesia, 18 Mei 2004

82

Laporan ICG Asia, Indonesia: sumber Daya dan Konflik Papua, 13 September 2002, hlm. 21

83

(16)

Kekerasan makin meningkat di Timika setelah terjadi penembakan karyawan Freeport pada tahun 1994 oleh orang tak dikenal. Freeport meminta bantuan pengamanan dari tentara sehingga AD mengirimkan pasukan tambahan. Operasi militer digelar dan akibatnya 37 orang warga Papua telah dibunuh oleh pasukan tentara. Freeport dan militer membawa bencana bagi kondisi hak asasi manusia di Papua. Perlakuan tidak adil Freeport terhadap masyarakat sekitar telah pula menyebabkan konflik antara suku Amungme dan suku Dani sehingga sebelas orang tewas pada tahun 1997.

Arus reformasi di tahun 1998 menjadikan Freeport sebagai salah satu sasaran reformasi. Terutama berkaitan dengan aktivitasnya terhadap lingkungan, pembagian keuntungan, dan perlakuan adil kepada masyarakat sekitar sehingga ada tuntutan peninjauan kembali terhadap ketentuan-ketentuan kontraknya dengan pemerintah. Di sisi lain, walaupun Freeport telah menyadari kesalahannya – di antaranya pada tahun 2000 dan 2001 telah menandatangani kesepakatan dengan masyarakat Kamoro dan Amungme mengenai serangkaian proyek ekonomi dan sosial84 -- gangguan keamanan terus meningkat di wilayah Freeport sehingga kehadiran aparat keamanan terus dibutuhkan. Serangan-serangan terhadap Freeport kerap terjadi, misalnya pada tanggal 25 Mei 2002 sekitar 20 orang mendobrak gedung-gedung Freeport di kota perusahaan Kuala Kencana.

Selain itu, kebijakan Freeport telah mengakibatkan terjadinya penembakan pada tahun 2006 di Distrik Tembagapura. Berawal dari adanya penambangan liar di sepanjang Sungai Aikwa sebagai tempat pembuangan limbah tambang berupa tailing. Limbah tersebut ternyata masih mengandung emas sehingga mengundang kegiatan mendulang emas bagi masyarakat masyarakat sekitarnya, di antaranya penduduk Kampung Wa’a dan Banti, Distrik Tembagapura. Mereka berduyun melakukan penambangan liar dan hasilnya dijual di Kota Timika dengan harga Rp 80.000 hingga 130.000 per gram.85 Bagi Freeport, aktivitas tersebut dinilai mengganggu sehingga diperlukan penertiban oleh aparat gabungan petugas satuan pengamanan Freeport. Akibatnya pada bulan Februari 2006, terjadi pengusiran dan berakhir dengan kerusuhan yang menimbulkan korban. Di antaranya dua satpam Freeport mengalami luka-luka akibat dipanah oleh pendulang, sementara itu 3 orang pendulang mengalami luka tembak.

Peristiwa ini menambah kebencian masyarakat terhadap Freeport semakin meninggkat sehingga aksi penutupan satu-satunya jalan menuju lokasi penambangan Grasberg dari pemukiman karyawan dilakukan keesokan harinya. Aksi ini memaksa Freeport menghentikan kegiatan penambangan selama beberapa hari. Aksi penutupan tersebut mengundang pula aksi massa berupa unjuk rasa mahasiswa yang dilakukan di Jakarta, Manado, dan Jayapura pada tanggal 26 Februari 2006. Aksi berikutnya di Jakarta (27 Februari 2006) berakhir dengan bentrokan. Aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut hingga bulan Maret 2006 yang menuntut penutupan P.T. Freeport. Namun, aksi ini berakhir setelah terjadi insiden berdarah di depan Universitas Cedrawasih yang menewaskan beberapa aparat keamanan.

84

Lihat: Ibid hlm 24

85

(17)

b.Perusahaan-perusahaan Kayu

Selain tambang, penebangan kayu merupakan sumber kekayaan yang cepat mendatangkan kekayaan di Papua. Beberapa perusahaan yang beroperasi di Papua dikuasai kalayangan dari zaman Suharto. Pemain terbesar adalah Djajanti Group, yang pemegang sahamnya termasuk keluarga Suharto serta mantan pejabat-pejabat tinggi dan petinggi-petinggi milter. Perusahaan lainnya adalah Barito Pacific Timber dan Hanurata.86 Setelah Suharto jatuh, monopoli industri hutan menghadapi tantangan dari baru dari daerah. Misalnya pada kawasan bagian barat Sorong, hutan-hutan tengah ditebang oleh pengusahan yang bekerjasama dengan Bupati Sorong serta perwira-periwira aparat keamanan.87 Eksploitasi besar-besaran terjadi di daerah Sorong yang menyimpan banyak pohon merbau. Aktivitas-aktivitas illegal logging banyak terjadi di daerah ini yang melakukan penyelundupan kayu gelondongan. Selain itu di Bintuni juga terjadi kasus penyelundupan dan penebangan kayu ilegal besar-besaran. Di Bintuni beroperasi P.T. Djajanti Gorup selama puluhan tahun.88 iduga, para pelakunya di-backing orang-orang kuat.

Dalam melakukan aktivitasnya, perusahaan ini sering tidak mengindahkan batas-batas wilayah adat. Terkadang pula ganti rugi yang diberikan tidak setimpal dengan kerugian yang dialami masyarakat. Tuntutan dari masyarakat dianggap mengganggu aktivitas perusahaan. Sehingga perusahaan. Sehingga melegitimasi pendirian-pendirian pos pengamanan di sekitar perusahaan-perusahaan tersebut. Lagipula, di indikasikan bahwa aparat keamanan di sana melakukan bisnis kayu. Protes masyarakat sering dihadapi dengan operasi-operasi aparat keamanan yang berakibat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Misalnya pada tanggal 31 Maret telah terjadi penembakan oleh sekelompok orang bersenjata terhadap tiga orang karyawan perusahaan kayu di Wasior. Akibat peristiwa ini dikerahkan pasukan Brimob untuk memburu para pelaku dan melindungi perusahaan kayu yang lainnya. Aksi ini menimbulkan ketakutan luar biasa bagi masyarakat sekitar. Apalagi pada tanggal 3 Mei pasukan tersebut menyerang penduduk sipil, 6 orang dinyatakan tewas.

Sementara itu, pada tanggal 21 April 2004 telah terjadi penghadangan terhadap aparat kepolisian yang mengawal uang ganti P.T. Djayanti Group untuk warga Babo dari Kampung Meried ke Babo, Kabupaten Bintuni, Irian Jaya Barat. Uang Rp 150 juta rupiah dinilai tidak sepadan untuk mengganti hak ulayat seluas 250 hektar, padahal masyarakat menuntut ganti rugi sebesar Rp 300 juta. Akibat penghadangan itu, 2 orang penghadang tewas oleh aparat kepolisian.89

Walaupun telah ada pelarangan illegal logging pada tahun 2001, aktivitas tersebut terus berlangsung. Banyak pelaku illegal logging tertangkap namun proses hukumnya terlihat mandeg. Berdasarkan siaran pers LBH Papua dan ELSHAM pada tanggal 2004, sepanjang 2001-2004 telah terjadi lima kasus illegal logging, namun kasus-kasus tersebut belum ditindaklanjuti pihak berwenang. Di antaranya:

• Pada tahun 2001 terdapat 8 kasus ilegal loging dengan 8 pelaku yang semuanya warga Indonesia dengan kerugian negara 1.122 batang kayu olahan jenis merbau;

86

Lihat: Laporan ICG Asia, hlm 17

87

Lihat: Ibid

88

Kompas, Kamis, 22 April 2004, “Dua Anggota OPM Tewas Tertembak di Bintuni “

89

(18)

• Pada tahun 2002 tendapat 7 kasus ilegal loging dengan pelaku 10 orang WNI dengan kerugiarkan negara 2145 batang kayu log jenis merbau, 34 unit alat berat serta 1000 M3 kayu olahan jenis merbau;

• Pada tahun 2003 terdapat 2 kasus di Desa Mayado dan desa Barma Kecamatan Merdey Kabupaten Manokwari yang dilakukan oleh PIT Arta Mas dan PT Trilyon Abadi Perkasa melibatkan 17 WNA asal Malaysia dan 3 WNI serta menggunakan 77 alat berat dan 840 batang kayu log jenis merbau yang saat ini masih disidangkan di Pengadilan Negeri Manokwari;

• Pada bulan Januari 2004 pihak TNI AL telah menangkap kapal asing berbendera Vietnam yang mengangkut ribuan kubik kayu dari Sorong yang ditaksir kerugian negara sekitar 17 milyar namun kasus ini tidak jelas penyelesaiannya;

• Pada Januari 2004 terdapat I kasus di distrik Bintuni Kabupaten Teluk Bintuni yang dilakukan oleh PT.Marindo Utarma Jaya yang berkedudukan di Jakarta dengan direktur Yudi Firmansyah dan melibatkan 15 WNA asal Malaysia dengan menggunakan 117 unit alat berat, 3 tongkang, 4 unit tug boat dan 3 unit crane serta menghasilkan 10.000 batang kayu log.

c. LNG Tangguh: Potensi Konflik dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Sumber gas bumi yang kaya di Papua mengundang perusahaan asing yang besar untuk beroperasi di sana. Di antaranya adalah proyek LNG Tangguh yang dilaksanakan BP. Proyek ini akan mengambil gas bumi di Teluk Berau-Bintuni di bagian barat Papua. Sebagian besar ladangnya merupakan daerah lepas pantai, dan menyalurkannya melalui jalur pipa menuju pabrik di daratan. Rencananya proyek ini pada tahun 2006 sudah mulai mengeskpor gas bumi tersebut.

Proyek LNG Tangguh ini akan menggunakan lahan seluas 3.000 hektar. Di areal itu akan terjadi pemindahan penduduk. Pada bulan Juli 2004, sekitar 101 KK dari 127 KK yang berada di Kampung Tanah Merah Lama (TML) Distrik Babo, Kabupaten Teluk Bintuni telah memilih untuk dipindahkan ke Kampung Tanah Merah Baru (TMB) dan 26 KK ke Kampung Onar.

Walaupun telah ada pendekatan yang sangat berbeda dengan Freeport, proyek ini akan berakibat sangat besar terhadap petani dan nelayan yang menghuni teluk, selain terhadap ekonomi dan masyarakat pedalaman, termasuk kota-kota Sorong, Manokwari, dan fakfak.90 Pencemaran lingkungan akibat aktivitas LNG Tangguh merupakan ancaman utama bagi masyarakat Papua. Perselisihan-perselihan dengan masyarakat setempat dapat terjadi, terutama mengenai hak atas tanah yang dijadikan areal LNG Tangguh. Selain itu, ancaman juga datang dari aparat keamanan walaupun masyarakat telah secara tegas menolak kehadiran aparat keamanan di lokasi proyek.

3. Otonomi Khusus dan Kondisi Hak Asasi Manusia

Sejak 1 Januari 2002 secara resmi diberlakukan otonomi khusus (Otsus) bagi Papua, sejak itu pula nama Irian Jaya diganti dengan Papua. Namun, pemberlakuan Otsus ini belum

90

(19)

disertai dengan perangkat peraturan perundang-undangan lainnya. Aktivitas pemprov pada tahun pertama disibukkan dengan sosialisasi dan edukasi UU Otsus Papua tersebut ke birokrasi di seluruh Papua sembari menyiapkan perangkat-perangkat pendukung, di antaranya MRP. Dalam tahun pertama, perangkat yang paling penting, yaitu Majelis Rakyat Papua, juga belum terbentuk akibat pemerintah pusat begitu lamban menyusun peraturan pemerintahnya. Di sisi lain, belum siapnya Otonomi khusus, pemerintah pusat berencana untuk melaksanakan pemekaran Papua menjadi tiga Provinsi. Rencana tersebut telah menimbulkan pro-kontra di antara elit politik local dan masyarakat Papua. Masing-masing mendesak pemerintah untuk menjalankan pemekaran dan menghentikan pemekaran. Sampai tahun 2003, isu politik di Papua dipanaskan dengan pro-kontra pencabutan UU Nomor 45 Tahun 1999 dan Inpres nomor 1 tahun 2001 tentang pemekaran wilayah Papua.

Ketidaksiapan pemeritah daerah dan pro-kontra pemekaran Papua mengakibatkan kondisi hak asasi manusia memburuk di dua ranah sekaligus. Praktik-praktik korupsi, eksploitasi sumber daya alam untuk mengejar pendapatan daerah, kebijakan penataan kota, dan arus investasi yang dibuka lebar telah menambah persoalan bagi pemenuhan hak asasi manusia di Papua. Konflik horizontal yang berujung pada kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia serta kondisi Hak ekosob yang belum tertangani yang menyebabkan peristiwa-peristiwa kelaparan, serangan dan wabah penyakit, gagal panen kerap terjadi di tahun-tahun berikutnya. Konflik yang terjadi akibat pro-kontra pemekaran adalah Peristiwa Timika yang terjadi pada tanggal 23 Agustus 2003. Pasca pendeklarasian propinsi Irian Jaya Tengah, telah berakibat 8 orang meninggal dunia, 112 orang luka-luka, aksi pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya serta beberapa individu mendapat teror dan intimidasi.

Di Papua setidaknya terdapat tiga wabah penyakit yang belum tertangani dengan baik, di antaranya adalah HIV/AIDS, Muntaber, dan TBC. Dalam kasus penyebaran HIV/AIDS, Provinsi Papua yang berpenduduk 2,3 juta jiwa dikategorikan siaga satu plus. Sampai Desember 2002, terdapat 1.263 kasus dari 724 1.263, terdiri dari 724 HIV dan 539 AIDS. Kasus besar di Merauke, yakni 527 kasus terdiri 307 AIDS dan 220 HIV. Pada bulan maret saja di Merauke terdapat lebih dari 600 kasus HIV/AIDS.91 Laju penyebaran virus ini hampir 95% ditularkan melalui hubungan seksual.92 Sementara itu, pada tahun 2003, data yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Papua sampai akhir Agustus 2003 terdapat 1018 kasus yang terdiri dari 382 AIDS dan 636 HIV.93

Dalam kasus muntaber, di awal tahun 2004 diberitakan sebanyak 38 warga Distrik Borme, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, meninggal dunia akibat terserang diare. Kasus diare ini mewabah di 10 desa di Kecamatan Borme. Kesepuluh desa tersebut adalah Desa Sigipur, Arima, Orban, Taramlu, Nongge, Palur, Weime, Humharu, Werde, dan Desa Borme. Saat itu jumlah penderita diare sebanyak 1.857 orang, kasus terbesar terdapat di Desa Taramlu, yakni sekitar 270 orang.94 Sementara itu di tahun 2006 diberitakan pula sekitar 100 warga Kabupaten Jayawijaya dilaporkan meninggal dunia akibat muntah berak yang melanda daerah itu sepanjang 13 Maret-24 April 2006. Wabah ini menyerang sekitar 630 orang. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Jayawijaya, jumlah korban meninggal

91

Kompas, Selasa 27 May 2003, Papua Masuk Kategori Siaga Satu dalam Kasus HIV/AIDS

92

Kompas, Selasa 27 May 2003, Papua Masuk Kategori Siaga Satu dalam Kasus HIV/AIDS

93

Harian Papua Pos, 25 september 2003, “Berdasarkan data Dinkes di Papua 1.018 Kasus HIV/AIDS”

94

(20)

akibat wabah muntah berak (muntaber) sejak 13 Maret-23 April 2006 mencapai 90 orang. Sementara korban meninggal di RSUD Wamena per 24 April 2006 sebanyak 10 orang sehingga total korban meninggal dunia sebanyak 100 orang. Kebanyakan para korban berasal dari Kota Wamena dan distrik di sekitar Wamena.95 Wabah muntaber ini terus menyebar ke beberapa wilayah di Kabupaten Jayawijaya, tercatat 9 distrik terserang, di antaranya Kurulu, Hom-Hom, Musatfak, Wamena, Pugima, Assolokobal, Bolakme, Asologaima, dan Hubikosi. Korban terus meningkat hingga pada akhir April 2006 tercatat total korban mencapai 2.090 orang dan 141 orang meninggal dunia.96

Sementara itu, terdapat juga penyakit TBC yang belum tertangani di Papua. Tercatat setidaknya sebanyak 200 orang lebih di Pegunungan Bintang menderita.97 Ancaman lainnya adalah gizi buruk dan kelaparan. Pada tahun 2003 tercatat sekitar Sekitar 27,3 persen balita masih menderita kekurangan gizi.

Ancaman kelaparan terus menghantui Papua, pada tahun 2000 telah terjadi kelaparan di Bonggo, sebelah timur Jayapura, yang mengakibatkan 17 Transmigran mati kelaparan. Sebagian besar disebabkan kekurangan makan dan kondisi hidup yang sangat buruk. Pada tahun 2006 kelaparan terjadi di Yahukimo.

PENUTUP

Permasalahan di Papua yang terjadi selama ini telah berakibat serius terhadap kondisi hak asasi manusia di Papua. Situasi seperti ini tidak pernah disikapi oleh pemerintah Indonesia secara bijaksana, tetapi malah sebaliknya sebaliknya menerapkan kebijakan-kebijakan instan secara sepihak yang makin menambah persoalan di Papua.

Rangkaian peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, baik semasa orde baru maupun peristiwa yang terjadi semasa reformasi belum diselesaikan secara baik. Penyelesaian yang ada, misalnya kasus Pembunuhan Theys dan kasus Abepura Desember 2000 sangat mengecewakan masyarakat Papua. begitu pula dengan kasus-kasus lainnya, seperti kasus Wasior dan Wamena hingga kini belum kelihatan hasilnya. Ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia telah menambah rasa kekecewaan masyarakat Papua terhadap pemerintah Indonesia.

95

Kompas, Rabu 26 April 2006, “Muntaber Renggut Jiwa 100 Warga Jayawijaya”. 96

Suara Pembaruan, Sabtu 29 April 2006 Wabah Muntaber Serang Jayawijaya,153 Meninggal

97

Referensi

Dokumen terkait

Arsitektur sistem Tracking Pos PT Pos Indonesia Kantor Pos Pemeriksa Surabaya Selatan ini terbagi atas tiga bagian utama, yaitu: MyProject MIDlet untuk user

Pada 28 hari pertama fermentasi moromi, moromi hasil pre-inkubasi selama 12 jam dan 24 jam, baik pre-inkubasi tanpa garam maupun dengan 10% garam, mempunyai jumlah bakteri

Tulisan ini berisi analisis permasalahan budidaya tanaman cabai kaitannya dengan PHT di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut yang dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu: (1)

Pada pasien dengan jenis kelamin perempuan kelompok umur 30-49 tahun memperlihatkan ada hubungan yang bermakna antara asupan niasin dengan kolesterol total darah,

1) Ciri Fisik dan Bahasa.. Ciri lain dari Asimilasi tersebut adalah ciri biologis yang khas misalnya bentuk wajah, hidung, warna kulit yang membedakan dengan

Regenerasi pucuk dari eksplan tunas aksilar mahkota buah nenas dapat dipacu dengan pemberian zat pengatur tumbuh 2,4-D dan BAP ke dalam medium tumbuh,.. Regenerasi

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kepadatan kandang tidak menurunkan dan tidak meningkatkan bobot relatif organ limfoid terdiri bursa fabrisius,

Tujuan umum penyusunan Rencana Aksi Kegiatan ini adalah menyediakan peta jalan implementasi kegiatan peningkatan pelayanan kefarmasian dengan upaya mendukung