• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memetakan Hambatan Penyelesaian Pelangga Han

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Memetakan Hambatan Penyelesaian Pelangga Han"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Memetakan Hambatan

(2)

laporan utama

5 - 14

editorial

0 4

Jalan Berliku M eraih Keadilan

mekanisme Pengadilan HAM belum mampu memberikan keadilan kepada korban, dan kini seolah mandeg tanpa kelanjutan. Sementara KKR juga belum juga terbentuk kembali. Kedua mekanisme tersebut seolah tak memberikan dampak kepada para koban, karena hak-hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan tak kunjung terpenuhi.

Kolom

Masa lalu, ibarat bara dalam sekam, tak akan mati dan akan terus menghantui. Kalau tak kelam masa lalu, kenapa selama masa lalu seperti lorong yang gelap, terlalu banyak misteri yang tak mampu juga diklarifikasi kebenarannya.

M enggali Jalan Indonesia M enghadapi M asa Lalu

Resensi buku Hak Asasi Manusia dalam Pusaran Politik Transaksional: Penilaian terhadap Kebijakan HAM dalam Produk Legislasi dan Pengawasan DPR RI Periode 2004-2009

M engurai Kembali Inisiatif Negara

dalam Penyelesaian M asa Lalu

Presiden mengatakan bahwa sejumlah peristiwa pelanggaran HAM yang berat tidak terjadi dalam masa pemerintahannya, sehingga pemerintahan saat ini hanya memiliki tanggungjawab moral untuk menyelesaikannya. Presiden malah memberikan pujian sepihak bagi pemerintahannya, klaimnya, selama tujuh tahun kekuasannya, tidak pernah terjadi peristiwa pelanggaran HAM yang serius.

resensi

2 2 -2 3

profil elsam

24

Transaksi Kepentingan

dalam Kinerja DPR

Sejauh belum ada penyelesaian yang adil, tuntutan para korban dan pembela HAM akan terus mengemuka. Saat ini, tuntutan penyelesaian tersebut tidak hanya semakin menguat, namun juga sembari menunjuk para pihak yang diidentifikasi sebagai penghambatnya.

nasional

1 5 -17

M emetakan Hambatan Penyelesaian

Pelanggaran HAM M asa Lalu

(http://www.suarapembaruan.com)

daerah

2 0 -21

M enanti Keadilan bagi

Korban Pelanggaran HAM

transisi kepemimpinan dari masa Orde Baru ke masa Reformasi pada awalnya memunculkan harapan bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM untuk mencapai sebuah keadilan. Namun kenyataannya, upaya untuk mencapai keadilan tersebut seperti menemui jalan buntu. Semua pemimpin di masa reformasi gagal mewujudkan keadilan dan pemenuhan hak-hak bagi korban dan keluarganya.

Masih ada korban yang belum mampu menghilangkan trauma akibat puluhan tahun didera konflik bersenjata. Ada juga yang ingin agar negara secara resmi mengakui kesalahan sebagaimana dilakoni negeri beradab lainnya. Sebagian masih berharap agar negara bersedia memberikan mereka keadilan dan para pelaku dihukum setimpal. Tapi umumnya korban yang tergabung dalam organisasi-organisasi masyarakat korban juga mendambakan agar peristiwa tragis dan mengenaskan yang mereka dan keluarga alami, tidak dilupakan.

Luka Lama M asih M enganga

daftar isi

Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahwa sejak tahun 2004 tidak ada pelanggaran HAM berat membuat korban dan keluarga korban pelanggaran HAM kecewa. Hal itu dinilai keliru dan tidak sesuai fakta atau realitas yang ada.

Semustinya Presiden SBY menyadari bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang lalu belum ada satu pun yang dituntaskan melalui Pengadilan HAM ad hoc karena tidak ada komitmen yang serius untuk penuntasan.

monitoring sidang

1 8 -19

Nurani, M enggapai Keadilan

Sepanjang Hidup

(3)

Redaksional

Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi: Indriaswati Dyah Saptaningrum

Redaktur Pelaksana: Widiyanto

Dewan Redaksi:

Widiyanto, Indriaswati Dyah Saptaningrum, Otto Adi Yulianto, Zainal Abidin, Wahyu Wagiman

Redaktur:

Indriaswati DS, Otto Adi Yulianto, Triana Dyah, Wahyu Wagiman,Wahyudi Djafar, Andi Muttaqien, Ester Rini Pratsnawati, Paijo

Sekretaris Redaksi: Triana Dyah

Sirkulasi/Distribusi: Khumaedy

Desain & Tata Letak: alang-alang

Penerbit:

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

Penerbitan didukung oleh:

UNI EROPA

Alamat Redaksi:

Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510,

Telepon: (021) 7972662, 79192564 Faximile: (021) 79192519

E-mail:

office@elsam.or.id, asasi@elsam.or.id

Website: www.elsam.or.id.

Redaksi senang menerima tulisan, saran, kritik dan komentar dari pembaca. Buletin ASASI bisa diperoleh secara rutin. Kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Kami juga menerima pengganti biaya cetak dan distribusi berapapun nilainya. Transfer ke rekening

ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar Minggu No. 127.00.0412864-9

w w w . e l s a m . o r . i d

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

Duka Mendalam untuk Edison Robert Giay

Keluarga Besar ELSAM mengucapkan duka yang sangat mendalam atas meninggalnya kawan, sahabat, kaka tercinta Edyson Robert Giay, dalam kecelakaan di Jayapura, Sabtu 14 Januari 2011. Semoga almarhum

senantiasa mendapat tempat terbaik di sisi-Nya. Selamat jalan, Kaka Edi..

ELSAM

Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat dikirimkan via email di bawah ini:

asasi@elsam.or.id

(4)

ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA

0 4

editorial

M enggali Jalan Indonesia

M enghadapi M asa Lalu

alam perbincangan pendek di suatu sore dengan salah seorang pelaku sejarah, saya terhenyak mendengar ungkapannya “Bangsa ini tidak memiliki kebanggaan

D

pada sejarah bangsanya, karena masa lalu yang kelam dan tak berani kita tatap”. “Ada yang mendasar yang hilang, yakni dignity, martabat sebagai bangsa yang terhormat,” lanjutnya tenang.

Selama beberapa saat, saya tercenung, mencoba menyelami kebenaran kata-kata tersebut, mencari kemungkinan adanya upaya mendramatisir d a n m e l o d r a m a t i k a t a s n y a . Ta p i m e l i h a t kesungguhan uraiannya, sulit rasanya menampik kebenarannya. Kalau tak kelam masa lalu, kenapa selama masa lalu seperti lorong yang gelap, terlalu banyak misteri yang tak mampu juga diklarifikasi kebenarannya. Apalagi jika kita merujuk pada periode 35 tahun di bawah Orde Baru. Hanya satu narasi yang kita kenal, narasi yang keluar dari kantor Departemen Penerangan. Selebihnya adalah grundelan yang beredar melalui selebaran dan leaflet yang diedarkan dari tangan ke tangan. Meski cukup banyak beredar, bahkan hanya hantu bayangan kekejaman aparatus opresif orde baru sudah cukup membuatnya tak pernah mengemuka sebagai perbincangan publik dan tersimpan dalam diam. Cerita mengenai genangan merah sepanjang Kali Brantas, atau sungai di daerah Wedhi, Klaten, terus menjadi cerita dari mulut ke mulut, yang bagi generasi di awal tahun 2000 terdengar seperti 'gugon tuhon' sesuatu yang harus dipercaya meski secara nalar sulit dibuktikan. Meski setelah lengsernya Orde Baru, semakin banyak varian narasi mengenai berbagai peristiwa di masa lalu, tetap saja, sulit mendamaikan dan mencari satu simpul yang bisa menjadi rujukan bersama. Dalam situasi ini mestinya pemerintah, sebagai representasi dari Negara turun tangan, karena cuma di tangannyalah klaim 'resmi' dan formal, yang bersifat mengikat dapat ditemukan. Sayang negara tampak terus abai dan diam, tak terlihat geliat keberanian untuk menembus kebekuan. Mengutip ungkapan seorang politikus gaek, hanya “kreativitas politik” yang bisa memecah kebuntuan, dan untuk itu perlu “kualitas kenegarawanan” tertentu yang dapat mengampunya. Sayang figur semacam itu sepertinya sulit ditemukan dalam kepemimpinan formal saat ini.

Masa lalu, ibarat bara dalam sekam, tak akan mati dan akan terus menghantui. Oleh karenanya, di tengah absennya semua asumsi yang secara logis mendukung kelayakan politik mengurai kelamnya masa lalu; dan dilingkupi kelelahan yang sangat dari para korban yang terus tumbang karena usia, inisiatif dan ikhtiar untuk menggali jalan Indonesia menemukan kembali martabat dan kebanggaan atas sejarah bangsanya tak boleh padam. Menyitir Foucault, kuasa itu ada di mana-mana bukan karena ia melingkupi semuanya, tapi karena ia dapat berasal darimana saja. Karenanya tak ada modal yang terlalu kecil, untuk menciptakan momentum dan menggali jalan menghadapi masa lalu dan merebut kembali martabat kemanusiaan …

Indriaswati D. Saptaningrum

Direktur Eksekutif ELSAM

(5)

laporan utama

setelah keluarnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. UU ini memberikan mandat kepada Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap suatu peristiwa yang di dalamnya patut diduga telah terjadi pelanggaran hak

1

asasi manusia. Berdasarkan mandat ini selanjutnya Komnas HAM membentuk sejumlah Komisi Penyelidik Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM), untuk melakukan penyelidikan atas dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia pada beberapa peristiwa, baik yang aktual maupun yang terjadi di masa lalu.

KPP-HAM Timor Timur yang dibentuk guna menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di Timor Timur, jelang dan sesudah jajak pendapat, mengawali wewenang baru Komnas HAM untuk melakukan penyeledikan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Selain KPP-HAM Timor Timur, Komnas HAM juga membentuk KPP-HAM untuk beberapa peristiwa yang lain, antara lain KPP-HAM untuk peristiwa Tanjung Priok 1984, tragedi Trisakti-Semanggi 1998, peristiwa Talang Sari 1989, peristiwa penghilangan paksa 1997-1998, dan KPP-HAM untuk peristiwa 1965.

aru-baru ini, pada sebuah pertemuan dengan sejumlah wartawan media massa, Presiden Yudhoyono memberikan sekelumit tanggapan terkait dengan

B

komitmen negara dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Tanggapan ini muncul sebagai respon atas pertanyaan seorang wartawan, yang mempertanyakan lambannya pemerintahan Yudhoyono menyikapi persoalan pelanggaran HAM masa lalu. Seperti biasa, jawaban Presiden dapat dikatakan jauh dari memuaskan. Presiden SBY tidak menjelaskan secara detail mengenai langkah atau rencana konkrit yang akan ditempuh pemerintah. Presiden justru terkesan cuci tangan.

Presiden mengatakan bahwa sejumlah peristiwa pelanggaran HAM yang berat tidak terjadi d a l a m m a s a p e m e r i n t a h a n n y a , s e h i n g g a pemerintahan saat ini hanya memiliki tanggungjawab moral untuk menyelesaikannya. Presiden malah memberikan pujian sepihak bagi pemerintahannya, klaimnya, selama tujuh tahun kekuasannya, tidak pernah terjadi peristiwa pelanggaran HAM yang serius.

Mengenai upaya penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, beberapa inisiatif sebenarnya sudah d i l a k u k a n o l e h n e g a r a . S e b a g a i a w a l a n , pemerintahan Habibie pada 1998, telah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), untuk melakukan penyelidikan atas peristiwa kerusuhan 13-1 5 M e i 13-1 9 9 8 . D a l a m l a p o r a n n y a , T G P F menyimpulkan adanya tindakan kejahatan hak asasi manusia dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998.

Presiden Habibie juga mengeluarkan Keputusan Presidan (Keppres) No. 88 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Indepeden Pengusutan Tindak Kekekarasn di Aceh. Komisi ini dibentuk untuk melakukan penyelidikan atas dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia selama penerapan daerah operasi militer (DOM), dan pembunuhan Teungku Bantaqiah.

Upaya untuk melakukan pengungkapan kembali kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu kian mendapatkan ruang

M engurai Kembali Inisiatif Negara

dalam Penyelesaian M asa Lalu

Oleh Wahyudi Djafar

(Staf Pelaksana Program Bidang Pemantauan Kebijakan ELSAM)

(6)

ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA

0 6

Menelusuri Kebijakan Penyelesaian Masa Lalu

Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, menjadi itikad pertama bangsa ini setelah tumbangnya pemerintah otoritarian, tentang pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dalam kerangka penghormatan inilah, setiap terjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia, haruslah diikuti dengan proses pertanggungjawaban yang akuntabel, termasuk terhadap kasus yang terjadi di masa lalu. Dalam rangka menjalankan mandat ketetapan MPR inilah kemudian lahir UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang salah satu bagiannya secara khusus mengatur kelembagaan dan mandat Komnas HAM.

Pemerintahan Habibie mendapat desakan internasional terkait dengan kasus pembumi hangusan Timor Timur paska jajak pendapat, merespon dengan mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, pada 8 Oktober 1999. Namun Perppu ini akhirnya ditolak DPR untuk menjadi UU. DPR menyatakan Perpu No. 1 Tahun 1999 tidak secara komprehensif menyebutkan jenis kejahatan dan bentuk tindak yang dapat dikategorikan sebagai “pelanggaran HAM yang berat”, tidak cukup rincinya pengaturan mengenai proses peradilan, dan tidak dapat diberlakukan secara retroaktif.

Sebagai pengganti Perpu No. 1 Tahun 1999, akibat kebutuhan yang mendesak, kemudian secara tergesa-gesa Pemerintah menyiapkan regulasi pengadilan HAM yang baru, yang selanjutnya disahkan oleh DPR pada 23 November 2000, menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. UU ini tidak hanya memungkinkan proses akuntabilitas hukum bagi kasus yang terjadi setelah lahirnya undang-undang ini, tetapi juga memungkinkan digelarnya peradilan bagi kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Selain menjadi pijakan bagi proses akuntabilitas hukum melalui jalur pengadilan, Pasal 47 UU ini juga memungkinkan penggunaan ruang lain dalam penyelesaian masa lalu, yakni melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pasal 47 UU Pengadilan HAM menyebutkan:

(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Khusus untuk peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, sesuai dengan ketentuan di dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hasil penyelidikan Komnas HAM selanjutnya dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilanjutkan dengan langkah penyidikan dan penuntutan. Selain itu, hasil penyelidikan juga wajib diserahkan ke DPR untuk dilakukan penelaahan, yang kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya rekomendasi DPR tentang langkah-langkah yang harus ditempuh pemerintah untuk menuntaskan kasus tersebut, khususnya perlu tidaknya pembentukan pengadilan ad hoc hak asasi manusia.

Dari beberapa kasus yang sudah dilakukan penyelidikan pro-justisia oleh Komnas HAM, dua diantaranya sudah disidangkan di Pengadilan HAM ad hoc. Kasus pelanggaran HAM di Timor Timur menjadi kasus pertama yang disidangkan di Pengadilan HAM ad hoc. Dalam persidangan kasus ini, 18 terdakwa disidangkan, yang terdiri dari 10 orang militer, 4 orang polisi, dan 4 orang sipil. Seluruh terdakwa akhirnya dibebaskan setelah melalui seluruh tingkatan proses peradilan.

Kasus kedua yang disidangkan dalam Pengadilan HAM ad hoc adalah pelanggaran HAM yang berat pada kasus Tanjung Priok 1984, yang persidangannya digelar pada 2004. Pengadilan ini menyidangkan 14 orang terdakwa, semuanya dari militer, dan akhirnya semua terdakwa bebas (di Pengadilan Tingkat I, 12 orang dinyatakan bersalah dan ada putusan tentang kompensasi korban, tingkat banding dan kasasi semua terdakwa dibebaskan).

Pada beberapa kasus yang lain yang penyelidikannya sudah dirampungkan Komnas HAM, prosesnya mandeg di Kejaksaan, seperti kasus Talangsari 1989 dan kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998. Sementara itu sejumlah kasus lainnya, nasibnya masih menggantung proses penyelesaiannya di DPR, bahkan untuk kasus Trisakti-Semanggi 1998 DPR menolak untuk m e n g e l u a r k a n r e k o m e n d a s i p e m b e n t u k a n pengadilan HAM ad hoc.

Inkonsistensi pemerintah dan DPR dalam menyikapi dan menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu, sesungguhnya menunjukkan betapa mereka belum memiliki parameter yang akuntabel untuk mempertanggung jawabkan kejahatan-kejahatan negara di masa lalu. Pertimbangan politik jelas lebih utama untuk menentukan lanjut tidaknya penyelesaian suatu kasus.

(7)

(Pansus) yang terdiri dari 50 orang dari lintas fraksi. Pembahasan memakan waktu lebih dari satu setengah tahun sebelum akhirnya disahkan menjadi UU pada 7 September 2004.

Tragisnya, belum lagi sempat terbentuk kelembagaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 7 Desember 2006, dalam perkara No. 006/PUU-IV/2006, membatalkan UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi

3

Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dalam pertimbangan hukum putusannya (ratio decidendi), MK menyatakan bahwa pasal yang dibatalkan merupakan pasal jantung dari apa yang menjadi tujuan UU KKR, sehingga dengan pembatalan pasal ini, maka KKR tidak lagi bisa menjadi tujuannya, karenanya UU KKR perlu dibatalkan secara keseluruhan.

Namun demikian, untuk tetap memastikan berlangsungnya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu, khususnya proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi, sebagai bagian dari transisi demokrasi, dalam putusannya MK menyatakan bahwa pembatalan UU KKR tidaklah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka

4

rehabilitasi dan amnesti secara umum.

Sesaat sebelum dibatalkannya UU No. 27 Ta h u n 2 0 0 4 t e n t a n g K K R , P e m e r i n t a h mengundangkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang juga mengamanatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. Di Pasal 229 ayat (1) UU Pemerintahan Aceh disebutkan, “Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh”. Mandat pembentukan KKR di Aceh ini, juga merupakan kelanjutan dari Kesepakatan Damai Helsinki, antara Pemerintah Indonesia dengan GAM. Di dalam bagian Hak Asasi Manusia, yang menjadi salah satu klausula kesepakatan damai, disebutkan bahwa KKR di Aceh akan dibentuk oleh K K R I n d o n e s i a , d e n g a n t u g a s u n t u k memformulasikan dan menetapkan

langkah-5

langkah rekonsiliasi.

(2) K o m i s i K e b e n a r a n d a n R e k o n s i l i a s i sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang.

Ketentuan dalam Pasal 47 UU Pengadilan HAM ini selaras dengan mandat reformasi yang dituangkan di dalam TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Bab V Tap MPR No. V/MPR/2000 perihal Kaidah Pelaksanakan, dalam butir 3 secara lengkap disebutkan:

Membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra-yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan dengan undang-undang. Komisi ini bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, dan melak-sanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah-langkah setelah pengungkapan kebenaran, dapat dilakukan pengakuan kesalahan, permintan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa, dengan sepenuhnya memerhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.

Sejalan dengan TAP MPR No. V/MPR/2000, mandat serupa juga ditemukan dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Di dalam Pasal 45 UU ini disebutkan perlunya pembentukan perwakilan Komnas HAM, Pengadilan HAM, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua, dalam rangka menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati hak asasi manusia di Provinsi Papua. Bahkan dalam Pasal 46 UU Otsus Papua secara tegas dimandatkan perihal pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua. Pembentukan KKR di Papua berfungsi untuk melakukan klarifikasi sejarah Papua, yang bertujuan guna pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa. Lebih jauh, KKR di Papua bertugas untuk melakukan kerja-kerja rekonsiliasi, yang mencakup pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat dan dengan

2

(8)

Menjadi pertanyaan besar kita semua, sebenarnya apa yang ada di dalam benak Presiden Yudhoyono, hingga dalam dua kali masa pemerintahannya belum mengambil langkah apapun untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu?

ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA

0 8

1. Pasal 89 ayat (3) huruf b UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyebutkan, “penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terhadap pelanggaran hak asasi manusia”. Kewenangan ini diperkuat oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang memberikan wewenang pada Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, seperti di tegaskan di dalam Pasal 18 ayat (1).

2 Lihat Penjelasan Pasal 46 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

3 Dalam permohonannya para pemohon uji materiil ini mendalilkan, bahwa sejumlah ketentuan UU KKR bertentangan dengan UUD 1945, diantaranya mengenai pemberian amnesti kepada pelaku, dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang “seolah” membiarkan terjadinya tawar menawar dengan pelaku, karena adanya prasyarat rekonsiliasi atau penyelesaian pelanggaran HAM yang berat dilakukan setelah adanya amnesti kepada para pelaku, klausul-klausul tersebut juga dianggap bertentang dengan hukum hak asasi manusia internasional, hukum humaniter, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip terkait hak-hak korban. Selengkapnya lihat: Indriaswati Dyah Saptaningrum, dkk., Menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai Hak Konstitusional: Pandangan Kritis atas Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Judicial Review UU KKR dan Implikasinya bagi Penyelesaian Pelanggaran HAM di Masa Lalu, Seri Briefing Paper ELSAM, No. 01 January 2007. 4 Lihat Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006, hal. 131.

5 Lihat Memorandum of Understanding antara Pemerintah RI dengan GAM.

6 Lihat Transkrip Dialog Presiden Republik Indonesia dengan Wartawan Istana Kepresidenan pada Acara Silaturahmi dengan Wartawan Istana Kepresidenan, di Istana Negara, 13 Februari 2012

Keterangan Mandeg Setelah Pembatalan

Setelah pembatalan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, hampir tidak ada kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, terkait dengan upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Justru yang terjadi adalah sejumlah penundaan oleh Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM, dengan melakukan proses penyidikan dan penuntutan. Terhitung sejak masa pemerintahan Yudhoyono, tidak satu pun pengadilan HAM ad hoc dibentuk untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Mandat putusan MK untuk membuat kebijakan hukum baru atau mencari inisiatif baru penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, khususnya yang melalui jalur rekonsiliasi, pun tidak dilakukan dalam lima tahun paska pembatalan. RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang kabarnya sudah disiapkan Pemerintah, pun tidak kunjung dilakukan pembahasan, dengan alasan yang sebenarnya lebih bersifat politis dari pada prinsipil.

Lebih mengherankannya lagi, merujuk pada UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, disebutkan tentang pentingnya melaksanakan rekonsiliasi nasional untuk menyelesaikan dan menuntaskan persoalan-persoalan yang masih mengganjal pada masa yang lalu, seperti pelanggaran HAM berat dan tindakan-tindakan kejahatan politik yang dilakukan atas nama negara, sebagai salah satu bagain dari konsolidasi demokrasi. Akan tetapi menjelang sewindu masa pemerintahan Yudhoyono, belum menampakan ada tanda-tanda untuk mengimple-mentasikan rencana ini.

R e k o m e n d a s i D P R t e r k a i t k a s u s penghilangan orang secara paksa 1997-1998 yang dikeluarkan pada 2009, sampai dengan saat ini pun belum ditindaklanjuti dengan langkah berarti, kecuali rencana ratifikasi konvensi anti-penghilangan paksa, yang dituangkan di dalam RAN HAM dan Prolegnas. Khusus untuk kasus penghilangan paksa, naif ketika dalam pidatonya, Presiden mengatakan, “Proses hukum itu sebetulnya sudah ada dan sudah dilakukan, bahkan mereka, nama-nama yang diduga terlibat dalam penculikan atau kasus orang hilang juga sudah dijatuhi hukuman, ada yang dipecat, ada yang diberikan hukuman apa pun. Berarti proses

6

(9)

diantaranya kasus Talangsari 1989 dan Penghilangan Orang Secara Paksa Tahun 1997-1998, dan sejumlah kasus lainnya.

Namun, mekanisme Pengadilan HAM belum mampu memberikan keadilan kepada korban, dan kini seolah mandeg tanpa kelanjutan. Sementara KKR juga belum juga terbentuk kembali. Kedua mekanisme tersebut seolah tak memberikan dampak kepada para koban, karena hak-hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan tak kunjung terpenuhi. Ditengah situasi tersebut, para korban dan masyarakat sipil, tak berhenti untuk terus melakukan upaya-upaya untuk mendorong penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

Upaya Para Korban Menggugat Hak

Situasi kemandegan mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, tidak membuat para korban juga berdiam diri. Di luar mekanisme yang “disediakan dan difasilitasi” negara tersebut, para korban terus melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan hak-hak mereka. Upaya ini diantaranya dilakukan melalui jalur gugatan dan p e r m o h o n a n h u k u m , b a i k t e r k a i t d e n g a n pengembalian hak-hak mereka atau dalam konteks menggugat kebijakan yang diskriminatif dan tidak adil. Sejumlah gugatan korban baik individu maupun kelompok korban, diantaranya menghasilkan kemenangan, memberikan pengakuan tentang terjadinya praktek pelanggaran HAM dimasa lalu, dan merehabilitasi hak-hak korban yang selama ini mengalami diskriminasi dan stigmatisasi.

Pada tahun 2003, Nani Nurani, seorang penari Istana yang dituduh menjadi anggota PKI, menggugat Camat Koja, karena tidak menerbitkan KTP seumur hidup dengan alasan eks tahanan politik. Setelah melalui proses yang cukup panjang, gugatan tersebut dimenangkan oleh pengadilan, sampai dengan putusan akhir oleh Mahkamah Agung pada 2008. Pengadilan menyatakan bahwa tindakan Camat Koja yang tidak menerbitkan KTP adalah tidak sah, merupakan tindakan yang sewenang-wenang dan perbuatan semacam itu pada saat ini adalah tidak layak diberlakukan lagi dan merupakan pelanggaran

1

hak asasi manusia.

Jalan Berliku M eraih Keadilan

Oleh Zainal Abidin

(Deputi Direktur Pengembangan Sumber Daya HAM ( PSDHAM) ELSAM)

omitmen penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu telah menjadi agenda bangsa Indonesia sejak refomasi. Sejumlah tatanan normatif dibentuk untuk menciptakan

K

mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tersebut. Ketetapan MPR No. V tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, mengakui adanya kesadaran bersama sebagai bangsa bahwa pada masa lalu telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran tersebut perlu untuk diungkapkan demi menegakkan kebenaran, dan perlunya melakukan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, rehabilitasi, atau alternatif lain y a n g b e r m a n f a a t d e n g a n s e p e n u h n y a memperhatikan rasa keadilan dalam bermasyarakat.

Pada tahun 2000, adanya UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, memberikan ruang pertanggungjawaban hukum bagi perkara-perkara pelanggaran HAM yang berat (kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan), termasuk pelanggaran HAM yang berat di masa lalu (terjadi sebelum tahun 2000). Pada tahun 2004, muncul UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kedua mekanisme tersebut pada awalnya merupakan “jalan” penyelesaian yang hendak d i t e m p u h d a l a m m e n y e l e s a i k a n b e r b a g a i pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi.

Berdasarkan dua mekanisme tersebut, para korban mengharapkan supaya hak-haknya terpenuhi, yang mencakup hak atas kebenaran (the right to know the truth), hak atas keadilan (the right to justice), maupun hak atas pemulihan (the rights to reparations). Pada tahun 2006, juga terbentuk UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang memberikan pengaturan tentang hak korban atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

Mekanisme Pengadilan HAM, kemudian m e m a n g “ s e m p a t ” m e n j a d i r u a n g pertanggungjawaban pelanggaran HAM masa lalu, dengan memeriksa 2 (dua) pelanggaran HAM masa lalu, yakni pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur pra dan paska jajak pendapat 1999 dan Tanjung Priok 1984. Mekanisme pengadilan HAM juga membuka penyelidikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan oleh Komnas HAM,

“There is no easy walk to freedom anywhere, and many of us will have to pass through the valley of the shadow of death again and again before we reach the mountaintop of our desires” (Nelson Mandela)

(10)

ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA

10

pemulihan bagi para korban. Upaya-upaya pengungkapan kebenaran tersebut, meski terbatas, memberikan dampak “pembongkaran” tentang berbagai praktik pelanggaran HAM dimasa lalu. Pengungkapan kebenaran dilakukan oleh masyarakat sipil dengan berbagai bentuk, baik berupa pendokumentasian pelanggaran HAM masa lalu, penerbitan laporan pelanggaran HAM, penerbitan buku-buku, proses public hearing dan

5

berbagai bentuk lainnya.

Untuk tetap mengingatkan publik tentang kekejaman masa lalu, masyarakat sipil di sejumlah daerah juga melakukan memorialisasi dalam berbagai bentuk. Pembuatan museum, tugu peringatan, maupun bentuk-bentuk memorialisasi lainnya, selain merupakan bentuk reparasi kepada para korban, juga memberikan pemahaman kepada publik tentang praktik-praktek kekejaman masa lalu dan memberikan pelajaran bahwa peristiwa serupa tidak boleh terulang kembali. Di Aceh, keluarga korban pelanggaran HAM di Kampung Jamboe Keupok, Bakongan, Aceh Selatan, mendirikan tugu peringatan tragedi kemanusian. Tugu peringatan dibangun di kompleks kuburan massal 16 korban pembantaian. Di tugu tersebut ditulis kronologi

6

kejadian dan daftar nama korban.

Sementara upaya pemulihan kepada para korban terus dilakukan oleh masyarakat sipil, karena negara sampai sekarang belum melakukan kewajibannya untuk memulihkan para korban secara layak. Upaya pemulihan ini, selain memfasilitasi korban untuk meringankan beban mereka, juga memberikan kekuatan kepada korban untuk terus memperjuangkan hak-haknya. Di sejumlah daerah para korban dan LSM mengorganisir diri untuk saling membantu di bidang ekonomi, akses pendidikan, dan kesehatan. Sejumlah pihak, misalnya universitas dan institusi kesehatan juga membantu akses pendidikan dan kesehatan kepada para korban dan keluarga mereka.

Upaya lainnya yang juga terus dilakukan masyarakat sipil adalah menginisiasi upaya-upaya perdamaian melalui kegiatan (rekonsiliasi) kultural. Setidaknya, upaya rekonsiliasi kultural ini terjadi diberbagai wilayah, diantaranya di beberapa daerah

7 8

di Jawa, Aceh dan Bali. Di Aceh, rekonsiliasi kultural terjadi dengan upaya untuk merekonsiliasikan tiga etnis (Jawa, Aceh dan Gayo) di Bener Meriah, yang

9

mencakup 16 Desa. Rekonsiliasi ini berupaya untuk kembali merajut ikatan sosial warga yang terkoyak akibat konflik dan perbedaan.

Pengalaman Negara Lain

Berbagai inisiatif dilakukan korban dan masyarakat sipil untuk adanya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, pada satu sisi memberikan dampak positif pencapaian keadilan. Namun demikian, mendorong negara untuk melakukan penyelesaian, baik melalui mekanisme hukum maupun mekanisme lainnya, harus tetap dilakukan. Negara harus tetap Pada tahun 2003 juga, terdapat pengajuan uji

materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Pasal 60 huruf g No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003, berisi larangan menjadi anggota D P R , D P D , D P R D P r o v i n s i , d a n D P R D Kabupaten/Kota bagi mereka yang "bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam G.30.S/PKI atau organisasi terlarang lainnya". MK menyatakan bahwa pasal tersebut merupakan pengingkaran terhadap hak asasi warga negara atau diskriminasi atas dasar keyakinan politik, dan oleh karena itu, bertentangan dengan hak asasi yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik

2

Indonesia Tahun 1945.

Pada tahun 2005, kemenangan Nani Nurani juga menginspirasi gugatan class action korban stigma kasus '65 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Para tergugat adalah Negara Republik Indonesia, Presiden dan mantan Presiden RI dengan gugatan permintaan rehabilitasi nama baik, mencabut stigmatisasi, dan menuntut kerugian material dan

3

immaterial. Sejumlah gugatan terkait dengan pelanggaran hak-hak warga negara karena dituduh terlibat partai terlarang juga muncul di berbagai daerah. Gugatan tersebut misalnya terkait dengan

4

pelanggaran atas hak sebagai pegawai negeri sipil, dan sejumlah gugatan lain terkait dengan terjadinya perampasan tanah milik orang-orang yang dituduh terlibat partai terlarang.

Berbagai gugatan/permohonan hukum para korban ini, telah menunjukkan kepada negara dan publik, bahwa di masa lalu telah berbagai praktik terjadi pelanggaran HAM dan masih berdampak kepada para korban hingga sekarang. Kegagalan kebijakan dalam tingkat makro dan tersendatnya pengadilan HAM, tidak menghentikan pencapaian keadilan melalui berbagai ruang-ruang lainnya.

Berbagai inisiatif korban, di tengah kemandekan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu oleh negara, menjadi catatan penting dalam proses meraih keadilan. Para korban, dapat terus menerus melakukan gugatan atau permohonan hukum secara individual atau berkelompok melalui berbagai saluran pengadilan yang tersedia. Pengalaman berbagai kemenangan dalam gugatan, akan menjadi preseden penting pencapaian keadilan bagi ribuan korban lainnya. Gugatan ke pengadilan dalam skala yang massif dapat menjadi gerakan alternatif melawan pengingkaran kewajiban negara untuk menyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

Upaya Pengungkapan Kebenaran dan Pemulihan

Di samping melakukan gugatan hukum, para korban d a n p e n d a m p i n g n y a , t e r m a s u k k e l o m p o k masyarakat sipil juga telah melakukan berbagai inisiatif pengungkapan kebenaran dan upaya-upaya

(11)

m e m p e r t a n g g u n g j a w a b k a n p e n y e l e s a i a n pelanggaran HAM masa lalu. Meski akan melalui jalan yang panjang dan berliku, negara masih harus bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak korban. Pengalaman di berbagai negara lain menunjukkan, akuntabilitas pelanggaran HAM masa lalu akan tetap menjadi tuntutan, bahkan setelah berpuluh-puluh

10

tahun setelah peristiwa terjadi.

Saat ini, sejumlah negara di Amerika Latin berlangsung proses akuntabilitas yang dilakukan mulai dari permintaan maaf pemerintah kepada warganya yang mengalami kekejaman di masa lalu sampai dengan upaya membawa pelaku ke pengadilan. Di El Salvador, setelah 30 tahun, pada 17 Januari 2012 Presiden El Salvador, Mauricio Funes, telah meminta maaf atas pembantaian atas pembantaian ribuan warga yang dilakukan militer pada tahun 1981 silam, dimana lebih dari 1.000 warga desa tewas selama perang sipil 1980-1992 di negara

11

Amerika Tengah itu.

Di Guatemala, mantan diktator Efraín Ríos Montt dibawa ke pengadilan dalam kasus genosida selama yang terjadi selama 17 bulan pemerintahan

12

militernya antara tahun 1982-1983. Langkah hukum ini dilakukan atas nama 12 komunitas masyarakat adat Maya dimana keluarga mereka menjadi korban pembunuhan massal pada tahun 1982 saat Efraín

13

Ríos Montt menjadi pimpinan diktator militer.

Masyarakat sipil juga sudah saatnya menyiapkan suatu proses pengungkapan kebenaran alternatif, di luar mekanisme negara. Pengungkapan kebenaran ini perlu dilakukan dengan adanya proses investigasi yang dianggap kredibel oleh masyarakat, dan mampu menunjukkan proses investigasi yang cukup imparsial dan dengan metodologi yang sistematis dan teliti. Pengalaman sejumlah negara, mekanisme pengungkapan kebenaran alternatif banyak yang berhasil dengan terbitnya sebuah laporan akhir yang disertai dengan berbagai rekomendasi, yang akhirnya diterbitkan dan

14

disebarluaskan ke publik. Meski laporan dan rekomendasi tersebut tidak merupakan pengakuan resmi, laporan tersebut berhasil atau memberikan kontribusi besar kepada upaya-upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan upaya pencapaian keadilan bagi korban.

5 Saat ini telah berlangsung proses pendokumentasian pelanggaran HAM masa lalu di berbagai wilayah baik yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil dan kelompok korban.

6 VhrMedia.com., “Tugu Pelanggaran HAM Berdiri di Jamboe Keupok”, 28 Oktober 2011 - 16:46 WIB. Sumber: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=4758

7 Rekonsiliasi kultural di beberapa daerah di Jawa diantaranya diusahakan oleh Organisasi Syarikat, yang merekonsiliasikan pihak-pihak yang terkena dampak dari peristiwa tahun 1965. 8 Di Bali, terjadi rekonsiliasi kultural yang dilakukan di Desa

Sumber Klampok, Buleleng. Rekonsiliasi dilakukan dalam bentuk ruwatan dan rekonsiliasi budaya. Ruwatan, yang telah dikenal pada banyak subkultur di Indonesia, dilakukan sebagai bagian dari ritus penyucian diri terhadap segala sesuatu yang bersifat “mengotori”. Acara ini diselenggarakan bersamas-sama antara Jaringan Informasi Kerja Alternatif (JIKA), Kesatuan Aksi Mahasiswa Seni Rupa (KAMASRA), Gerakan Mahasiswa Sosialis Bali (GMS - BALI), Aliansi

Jurnalis Independen Bali (AJI - BALI), Wahana Lingkungan Hidup Bali (WALHI - BALI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Bali ( AMAN - BALI), Kelompok Usaha Bersama (KUB) Sumber Klampok, dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

9 Pada 22 Desember 2010, terjadi deklarsi “Kampung Damai” yang diinisiasi oleh Komunitas Perempuan Cinta Damai (KPCD) di di Simpang Tiga, Redelong kabupaten Bener Meriah, yang didukung oleh berbagai elemen antara lain IPEUDA, Kontras Aceh, Redelong Institute, Jaringan Anti Korupsi Gayo (Jang-Ko), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Pos Aceh Tengah, BEM Gajah Putih, SMABEM, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia U n t u k K e a d i l a n , K 3 B M d a n R P u K . S u m b e r : http://www.theglobejournal.com/sosial/deklarasi-kampung-damai-di-bener-meriah/index.php

10 Salah satu contoh dari pertanggungjawaban kekejaman masa lalu, misalnya dalam kasus pembantaian di Rawagede oleh pasukan Belanda. Pada bulan September 2011, Pengadilan sipil di Den Haag, Belanda memenangkan gugatan korban dari warga Rawagede, atas aksi militer Belanda yang terjadi 64 tahun silam. Pemerintah Belanda diperintahkan membayar kompensasi kepada para penggugat (korban).

11 Detik.com., “Presiden El Salvador Minta Maaf Atas Pembantaian Ribuan Warganya”, Selasa, 17/01/2012 12:52 WIB. Sumber: http://www.detiknews.com/read/2012/ 01/17/125232/ 1817633/1148/presiden-el-salvador-minta-maaf-atas-pembantaian-ribuan-warganya

12 Guardian.co.uk., “Latin America confronts state atrocities of bloody past”, Wednesday 25 January 2012 15.32 GMT. Sumber: http://www.guardian.co.uk/world/2012/jan/25/latin-america-state-atrocities-violence

13 Guardian.co.uk., “Guatemalan leader faces genocide charges”, Thursday 7 June 2001 01.07 BST. Sumber: http://www.guardian.co.uk/world/2001/jun/07/duncancampbel l.jotuckman?INTCMP=SRCH

14 Sejumlah proses pengungkapan kebanaran masyarakat sipil yang mengasilkan laporan pelanggaran HAM, dianyaranya Brazil, Paraguay, Uruguay, Guatemala, Rwanda, dan berbagai negara lainnya.

Keterangan

1. Untuk memahami gugatan ini lihat buku, Nani Nurani Affandi, “Penyanyi Istana, Suara Hati Penyanyi Kebanggaan Bung Karno”, Galangpress, 2010.

2 Permohonan ini diajukan diantaranya oleh Para Pemimpin Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (DPP-LPRKROB). Lihat Putusan MK Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003.

(12)

ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA

1 2 ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2012

etelah lebih dari satu dekade reformasi, pelbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu belum juga mendapat penyelesaian yang adil. Sejauh

S

belum ada penyelesaian yang adil, tuntutan para korban dan pembela HAM akan terus mengemuka. Saat ini, tuntutan penyelesaian tersebut tidak hanya semakin menguat, namun juga sembari menunjuk para pihak yang diidentifikasi sebagai peng-hambatnya. Misalnya Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Sumatera Utara, yang secara terbuka menunjuk bahwa Presiden beserta jajarannya tidak menjalankan komitmen untuk menyelesaikan pelbagai pelanggaran berat HAM

1

yang terjadi di masa lalu.

Jelas bahwa Presiden telah mengabaikan rekomendasi DPR tahun 2009 menyangkut penyelesaian kasus Penghilangan Orang secara Paksa periode 1997-1998. Dalam rekomendasinya, DPR telah meminta agar Presiden membentuk Pengadilan HAM ad hoc, mencari para korban yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi bagi keluarga korban yang hilang, serta meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.

Sementara penyelesaian pelbagai pelanggaran HAM di masa lalu yang lain, seperti kasus Trisakti, Semanggi I dan II (1998 dan 1999), Peristiwa Mei 1998, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, serta Peristiwa Wasior dan Wamena, Papua (2001 dan 2003) dinilai mandeg di Kejaksaan Agung. Institusi ini dituding tak kunjung melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus tersebut, menindaklanjuti laporan penyelidikan yang telah diserahkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Penyelidikan Komnas HAM

Komnas HAM pun terkena imbas dan menjadi sasaran tudingan. Melalui surat terbuka, korban dan keluarga korban, bersama Kontras, menilai bahwa salah satu institusi utama bagi perlindungan HAM ini tidak mempunyai terobosan yang signifikan untuk mengatasi kebuntuan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan menyerah kepada alasan Jaksa Agung yang tidak bersedia menindaklanjuti hasil

2

penyelidikannya.

Dalam lima tahun terakhir, belum ada satu peristiwa pelanggaran berat HAM yang dinilai

berhasil diselesaikan. Sementara korban yang mendamba penyelesaian banyak yang kian renta. Kalaupun ada langkah progresif dari institusi Komnas HAM, baru sebatas mengeluarkan sertifikat status korban penghilangan paksa.

Menurut Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM saat ini, paska reformasi, institusinya setidaknya telah melakukan lebih dari lima penyelidikan pro-justisia. Laporan hasil penyelidikan tersebut telah diserahkan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan. Dari sejumlah kasus yang sudah selesai diselidiki Komnas HAM tersebut, setidaknya dua kasus telah ditindaklanjuti dan diselesaikan melalui Pengadilan HAM ad hoc, yaitu kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur paska jajak pendapat 1999 dan kasus pelanggaran HAM

M emetakan Hambatan

Penyelesaian Pelanggaran HAM M asa Lalu

Oleh Otto Adi Yulianto

(Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Organisasi ELSAM)

Lenteradiatasbukit.blogspot.com

(13)

berat Tanjung Priok 1984. Sedangkan kasus pelanggaran HAM berat di Abepura, Papua, yang terjadi paska diundangkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, telah ditindaklanjuti dan diselesaikan melalui Pengadilan HAM permanen. Sementara hasil penyelidikan yang lain belum ditindaklanjuti penyidikannya oleh Kejaksaan Agung dengan alasan belum terbentuknya Pengadilan HAM

3

ad hoc untuk masing-masing peristiwa.

Dalih Kejaksaan Agung

Domu P. Sihite, Direktur Penanganan Pelanggaran HAM Berat di Kejaksaan Agung, membenarkan bahwa saat ini setidaknya ada empat berkas kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang sudah diterima Kejaksaan Agung, yakni berkas peristiwa: (1) Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, (2) Kerusuhan Mei 1998, (3) Penghilangan Orang secara Paksa, dan (4) Talangsari, Lampung.

Namun, seperti yang diakui Sihite, Kejaksaan Agung belum dapat melakukan penyidikan karena Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengharuskan Pengadilan HAM ad hoc harus

4

dibentuk terlebih dahulu. Alasan Sihite ini tampaknya berbeda, bahkan dapat disebut bertolak belakang, dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No 18/PUU-V/2007 tentang Pengujian terhadap UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU yang sama dengan yang dirujuk oleh Sihite. Menurut Mahkamah Konstitusi, DPR dalam merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad hoc justru yang terlebih dahulu harus memperhatikan, selain hasil penyelidikan Komnas HAM, juga hasil penyidikan Kejaksaan Agung. Jadi bukan sebaliknya, seperti yang disampaikan pihak Kejaksaan Agung, di mana penyidikan baru bisa dilakukan setelah Pengadilan HAM ad hoc terbentuk. Secara lebih jelas, kutipan atas pendapat Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:

“.. untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu DPR. Akan t e t a p i , D P R d a l a m m e r e k o m e n d a s i k a n pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang untuk itu. Oleh karena itu, DPR tidak akan serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan

Undang-5

Undang Nomor 26 Tahun 2000 ..”

Rekomendasi DPR bagi Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc

Apakah benar bahwa soal belum adanya Pengadilan HAM ad hoc ini tepat sebagai alasan bagi Kejaksaan Agung untuk tidak menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM? Selain adanya perbedaan yang signifikan dengan pendapat Mahkamah Konstitusi, keraguan terhadap kesahihan alasan Kejaksaan Agung ini juga ditopang dengan bukti empirik, yakni tidak dijalankannya rekomendasi DPR oleh Presiden.

Pada 2009, DPR pernah merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM

ad hoc guna menyelesaikan kasus penculikan dan penghilangan paksa tahun 1997-1998. DPR sempat pula berkirim surat meminta Presiden agar menindaklanjuti rekomendasi tersebut. Namun rupanya surat tersebut tidak memperoleh tanggapan

6

resmi. Yang muncul justru tanggapan Menteri Hukum dan HAM waktu itu, Patrialis Akbar, melalui media massa, yang mengatakan bahwa, bila membongkar siapa yang bertanggung jawab atas kasus penghilangan paksa tersebut, tindakan ini akan

7

menimbulkan kegaduhan politik.

Dalam Pasal 43 Ayat (3) UU No 26 Tahun 2000 jelas disebut bahwa Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan K e p u t u s a n P r e s i d e n . K e w e n a n g a n u n t u k mengusulkan ini dipunyai oleh DPR dengan pertimbangan bahwa selain sebagai bagian dari fungsi pengawasan, DPR juga dinilai sebagai

8

representasi rakyat Indonesia. Benar bahwa sebagai sebuah kata, rekomendasi berarti saran atau usul. Sebagai usul, ia dapat diterima secara penuh, sebagian, atau ditolak seluruhnya. Namun dalam konteks relasi antara DPR dan Presiden, bila rekomendasi DPR diabaikan oleh Presiden tanpa ada penjelasan apa pun, hal ini mengindikasikan kurangnya wibawa DPR, yang seharusnya sebagai pengawas Presiden dan representasi rakyat Indonesia, di hadapan Presiden.

Jika Jaksa Agung serius memerankan fungsinya sebagai aparat penegak hukum, dan benar bahwa belum terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc

(14)

ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA

14 ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2012

Pangkal Kemandegan

Persoalan rekomendasi DPR belum tuntas, Presiden justru membentuk Tim Kecil di bawah koordinasi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam), yang bertugas untuk mencari format terbaik bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, pada November tahun lalu. Tim ini beranggotakan Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Mabes TNI, Mabes Polri, Kementerian Hukum dan HAM, Wakil Kemenko Politik, Hukum, dan HAM, Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, juga Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Kehutanan, Kementerian BUMN, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Kementerian Pekerjaan Umum.

Terlihat dari komposisi keanggotaannya, mandat tim ini tidak hanya mencari format penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, namun juga format penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam. Sebagaimana nasib rekomendasi DPR, efektifitas dari Tim Kecil ini diragukan oleh sejumlah pihak, terutama dari kelompok korban dan pembela HAM. Yang jelas, setelah tahun berganti, kemajuan

9

dan hasil kerja dari tim tersebut nyaris tak terdengar. Dengan mendasarkan pada paparan di atas, identifikasi dan pemetaan terhadap faktor penghambat penyelesaian pelbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu mendapat titik terang. Meski masih dinilai kurang optimal, namun setidaknya Komnas HAM telah menyelesaikan lebih dari lima laporan penyelidikan atas peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Laporan tersebut sudah diserahkan ke Jaksa Agung, yang tidak kunjung menindaklanjutinya dengan penyidikan.

Demikian juga DPR. Institusi ini setidaknya telah memberikan rekomendasi bagi pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk peristiwa penghilangan paksa 1997-1998. Surat resmi DPR tentang rekomendasi tersebut sudah diserahkan kepada Presiden pada akhir September 2009. Namun Presiden tidak memberikan respon yang berimplikasi kepada tindak lanjut ke arah penyelesaian. Sementara inisiatif Presiden dengan membentuk Tim Kecil, jangankan soal efektivitasnya, kinerjanya saja tidak terdengar. Bila saat ini upaya penyelesaian pelbagai kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu mengalami stagnasi, maka pangkal dari kemandegan itu ada pada Presiden dan jajarannya, khususnya Jaksa Agung.

Penutup

Usaha penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak sekadar merupakan persoalan hukum, namun juga politik. Tepat kiranya bila para korban dan

pembela HAM menagih penyelesaiannya kepada Presiden, yang juga atasan Jaksa Agung, pihak yang diidentifikasi paling bertanggung jawab terhadap kemandegannya selama ini. Bagi Presiden, kemandegan ini perlu dihindarkan dari kemungkinan menjadi permanen. Sudah terbukti bahwa persoalan pelanggaran HAM berat di masa lalu akan terus membayangi pemerintahannya selama penyelesaian yang adil belum terwujud.

Kemandegan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu di tangan Presiden ini seakan mengkonfirmasi sinyalemen para tokoh agama awal 2011 lalu, yang menyatakan bahwa Pemerintah telah

10

melakukan kebohongan. Dalam pelbagai forum Presiden menyampaikan komitmennya terhadap HAM, sementara secara faktual tidak terlihat adanya usaha dan hasil yang bermakna sehubungan dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu selama masa pemerintahannya.

1 Seru.com, Selasa, 24 Januari 2012, “Pelanggaran HAM Tidak Kunjung Tuntas, IKOHI Nilai SBY Langgar Komitmen” 2 Jaringnews.com, Kamis, 26 Januari 2012, “Korban

Pelanggaran HAM Kecewa dengan Kinerja Ifdhal Kasim Cs” 3 Ifdhal Kasim, Komnas HAM dan Tantangannya Dewasa Ini,

dalam Dignitas Vol VII No 1 Tahun 2011 h. 78-80, ELSAM: Jakarta

4 Domu P. Sihite, Peran Kejaksaan dalam Masalah Hak Asasi Kekinian, dalam Dignitas Vol VII No 1 Tahun 2011 h. 90, ELSAM: Jakarta

5 Putusan Mahkamah Konstitusi No 18/PUU-V/2007 tentang Pengujian terhadap UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

6 Serambi Indonesia, Kamis 29 September 2011, “Nasir Djamil: Kita Tunggu Jawaban Presiden”

7 Vivanews, Rabu, 12 Mei 2010, “Menteri HAM: Usut Orang Hilang, Politik Gaduh”

8 Lihat penjelasan Pemerintah dan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 18/PUU-V/2007 tentang Pengujian terhadap UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

9 Lihat Pesan Akhir Tahun Korban Pelanggaran HAM: Rapuhnya Pemenuhan Keadilan Substantif bagi Korban Pelanggaran HAM, disampaikan oleh Korban dan Keluarga Korban serta KKPK di Jakarta, 29 Desember 2011

10 Vivanews, Senin, 17 Januari 2011, “Pernyataan Tokoh Lintas Agama Jelang Temu SBY”

(15)

Kekecewaan dan Ketidakpercayaan Korban

Kelambanan Pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu tersebut, pada akhirnya dimaknai oleh korban dan keluarga korban sebagai bentuk ketidakseriusan Pemerintah. Mereka beranggapan bahwa Pemerintah saat ini menjadi bagian dari para pelaku pelanggar HAM. “Di luar negeri itu banyak kasus HAM berat, sama seperti di Indonesia. Tetapi kok disini sepertinya sulit sekali menyelesaikan kasus HAM. Ini hanya masalah keseriusan, kalau serius pasti tuntas,” kata Saiful Hai, salah seorang korban

1 peristiwa Tanjung Priok, 1984.

Senada dengan Saiful Hadi, Aisyah, salah seorang keluarga korban peristiwa Tanjung Priok, menyatakan bahwa Pemerintah tidak memiliki k e s e r i u s a n d a l a m p e n a n g a n a n k a s u s - k a s u s pelanggaran HAM masa lalu. Bahkan secara tegas dia menyatakan bahwa ada relasi antara pemerintahan saat ini dengan para pelaku pelanggar HAM. “Pemerintah hanya kepanjangan tangan dari militer yang melakukan

2 pelanggaran HAM di masa Orde Baru,” tegasnya.

Menurut Murtala, Ketua Komunitas Korban Pelanggaran HAM Aceh Utara (K2HAU), Pemerintah mungkin takut untuk menyelesaikan kasus masa lalu, karena jika diselesaikan kemungkinan mereka nantinya akan menjadi korban. Sementara menurut Utomo, orang tua Bimo Petrus yang hilang sejak tahun 1998, seluruh upaya yang dilakukan pemerintah dalam penanganan kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak berpengaruh terhadap penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

“ Tidak ada pengaruhnya yang dilakukan

Pemerintah dalam penuntasan pelanggaran HAM, seperti yang dilakukan oleh Menkopolhukam atau Denny Indrayana. Apalagi melalui Komnas HAM sekarang,”

3

katanya Utomo. Pernyataa Utomo tersebut merespon langkah Presiden mendorong suatu inisiatif penyelesaian kemandegan proses hukum penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, dengan membentuk Tim Kecil Penanganan Kasus Pelanggaran HAM berat di bawah

4 koordinasi Menkopolhukam, Djoko Suyanto.

Kaharuddin, salah seorang korban penahanan selama bertahun-tahun karena terkait peristiwa 1965 di Palu, juga menyangsikan keseriusan pemerintahan saat ini untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. “Pemerintah tidak melakukan apa-apa terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu,”

5 pungkasnya.

Ketidakseriusan Pemerintah tentu saja membuat harapan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM kehilangan kepercayaannya. Nurhasanah, ibunda Yadin Muhidin yang hilang sejak 14 ahun demi tahun telah berlalu tanpa ada

penyelesaian tuntas atas tuntutan keadilan dari jutaan korban pelanggaran HAM di Indonesia. Padahal transisi kepemimpinan dari masa Orde

T

Baru ke masa Reformasi pada awalnya memunculkan harapan bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM untuk mencapai sebuah keadilan. Namun kenyataannya, upaya untuk mencapai keadilan tersebut seperti menemui jalan buntu. Semua pemimpin di masa reformasi gagal mewujudkan keadilan dan pemenuhan hak-hak bagi korban dan keluarganya.

Korban dan keluarganya yang selama ini selalu mendesak penyelesaian kasus mereka, tentu juga menemui titik jenuhnya. Gurat-gurat kelelahan dan keputusasaan tampak di wajah mereka. Salah satu yang mengalaminya adalah Karsiah Sie. Orang tua Hendriawan Sie, mahasiswa Trisakti yang tewas diterjang timah panas saat berdemonstrasi 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti, ini bertahun-tahun berjuang demi mendapatkan keadilan. Namun hingga saat ini keadilan tersebut tidak pernah didapatkannya.

“Kami merasa terombang-ambing, saya lelah. Sampai sekarang, kasusnya belum tuntas-tuntas, belum ada kemajuan,” ujarnya, saat konferensi pers penuntasan kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi (TSS), Selasa 26 Februari 2008.

Sikap Karsiah Sie terbilang amat wajar. Kasus tragedi Trisakti dan Semanggi I/II (TSS) sendiri menjadi tidak jelas karena Kejaksaan Agung selalu mengembalikan berkas penyelidikan ke Komnas HAM. DPR malah menguatkan pelemahan penuntasan dengan menyatakan bahwa kasus TSS bukan pelanggaran HAM berat, pada 6 Maret 2007.

Selama ini para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM telah berupaya dengan segala kemampuan untuk mendapatkan keadilan atas peristiwa yang menimpa dirinya dan keluarganya. Berbagai institusi negara yang berwenang untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu telah mereka datangi. Sayangnya, hingga saat ini upaya tersebut sepertinya belum membuahkan hasil yang diharapkan.

Dengan kemandegan penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu, tentunya menjadi penting bila kita mendengarkan kembali bagaimana pandangan para korban dan keluarga korban pada saat ini. Pandangan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM dalam pemetaan yang dilakukan ELSAM secara umum menyatakan mereka sangat kecewa dengan sikap Pemerintah dan partai politik yang selama ini dianggap tidak serius. Penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu justru dijadikan alat tawar-menawar antara partai-partai politik dan penguasa.

M enanti Keadilan

bagi Korban Pelanggaran HAM

Oleh Ari Yurino

(Staf Pelaksana Program Bidang Informasi dan Dokumentasi ELSAM)

“Saya merasa belum ada reformasi karena korban belum dapat keadilan”

(Ruminah, keluarga korban peristiwa Mei 1998)

(16)

ANALISIS DOKUMENTA SI HAK ASASI MANUSIA

16 ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2012

Mei 1998, sepertinya juga sudah tidak memiliki sandaran harapan kepada pemerintah untuk segera menuntaskan kasus penghilangan paksa yang menimpa anaknya. “Kepada siapa lagi saya harus bertanya? Pak Presiden berjanji tuntaskan kasus penculikan, tapi sampai sekarang tak kunjung ada hasilnya,” katanya dengan kecewa.

Sikap pesimis terhadap Pemerintah pun muncul dari pernyataan korban. Ir. Djoko Sri Moelyono, yang sempat dibuang ke kamp kerja paksa Pulau Buru selama belasan tahun karena terlibat dalam Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) mengungkapkan ketidak yakinannya terhadap pemerintahan SBY karena menganggap SBY bagian dari para pelaku pelanggar HAM. “Saya tidak yakin pemerintahan SBY akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat karena dirinya termasuk bagian dari kroni Soeharto Orde Baru yang tentunya ingin melindungi kolega-koleganya. Seharusnya kalau memang mau perubahan tangkap itu

6 jenderal-jenderal penjahat HAM. Apa mau?” ujarnya.

Pernyataan serupa dilontarkan Astaman Hasibuan, korban penahanan bertahun-tahun akibat peristiwa 1965 di Sumatera Utara. Secara tegas Astaman mengungkapkan bahwa Pemerintah berupaya menutup-nutupi peristiwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi saat ini. “Pemerintah tidak mau menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM untuk menjaga kebohongan yang dibangun selama ini. Kalau dituntaskannya, nantinya akan nampak sekali kebohongannya,” kata Astaman yang saat ini menjadi Sekretaris Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia

7 (IKOHI) Sumatera Utara.

Anggapan para korban menjadi sangat wajar ketika kita melihat bahwa sudah bertahun-tahun para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berusaha untuk mendesak Pemerintah. Berbagai institusi negara terkait sebenarnya telah memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM serta memberikan pemulihan kepada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Namun hingga saat ini Pemerintah seakan tidak peduli terhadap berbagai kasus tersebut. Para korban merasa geram sekaligus curiga adanya kesengajaan Pemerintah untuk tidak menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Hal ini dilontarkan Mujayin, yang mengalami penahanan selama bertahun-tahun di Pulau Buru. “Kurang apa lagi? Lembaga Tinggi Negara seperti Mahkamah Agung, Komnas HAM dan DPR RI telah merekomendasikan kepada Presiden untuk segera menerbitkan Keppres Rehabilitasi. Namun sang Presiden

8 tidak lakukan itu. Ada apa ini?” ungkapnya.

Sikap ketidakpedulian Pemerintah SBY pada akhirnya disimpulkan oleh korban dan keluarga korban sebagai bentuk pengabaian Pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. DT Utomo Rahardjo bahkan secara tegas mengungkapkan Pemerintahan SBY sengaja melakukan pengabaian dan menghalangi keadilan, padahal DPR telah mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden terkait kasus penghilangan paksa yang terjadi pada periode 1997/1998, pada 28 September 2009.

“Pengabaian selama dua tahun adalah bentuk

obstruction of justice dari seorang kepala negara. Presiden SBY dengan sengaja mengulur waktu dan menghalangi

korban dan keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa untuk mendapatkan kebenaran, keadilan dan

9

pemulihan sesegera mungkin”, kata Utomo. Dia menambahkan bahwa pengabaian yang dilakukan oleh

10 Presiden, tidak dapat diterima oleh akal sehat.

J a n j i - j a n j i P e m e r i n t a h u n t u k s e g e r a menuntaskan kasus pelanggaran HAM memang selalu dilontarkan. Sayang janji tinggal janji. Hingga kini ini janji tersebut tidak pernah direalisasikan oleh para pejabat negara yang berwenang. “Masyarakat Aceh sudah bosan dengan janji-janji pemerintah pusat maupun lokal untuk menyelesaikan permasalahan HAM. Para korban ingin melihat bukti nyata penyelesaian dari masalah pelanggaran HAM di Aceh, ucap Basyuni korban

11 peristiwa semasa DOM di Aceh.

Hal senada juga diungkapkan oleh Peneas Lokbere yang merupakan ketua Bersatu Untuk Kebenaran (BUK), sebuah organisasi korban pelanggaran HAM di Papua. “Yang menjadi keprihatinan adalah negara tidak bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM itu dengan baik, sepertinya semua

12 ditelantarkan,” katanya.

Tarik Ulur Kepentingan Politik

Kemandegan penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu ini kemudian dicurigai oleh sebagian korban dan keluarga korban pelanggaran HAM sebagai permainan politik para elit dan partai-partai politik. Janji-janji hanya dimanfaatkan untuk menaikkan posisi tawar para elit dengan menekan para lawan-lawan politiknya. Chairuman, salah seorang mantan tahanan politik peristiwa 1965 di Sumatera Utara, mengatakan, “upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu sarat dengan kepentingan politik. Ada pergesekan di kelompok-kelompok yang berkuasa saat ini. Dengan pergesekan itu, Pemerintah tidak mau posisinya

13 semakin terjepit,” katanya.

Tarik ulur penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu pun bukan hanya terjadi di pemerintah pusat saja. Namun di tingkat pemerintah lokal, tarik ulur kepentingan politik dalam upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu juga terjadi. Bachtiar, salah seorang korban peristiwa pelanggaran HAM di Aceh, mengungkapkan bahwa tidak berjalannya upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu di Aceh dikarenakan faktor pergesekan kepentingan-kepentingan politik di tingkat lokal. “Elit-elit politik di tingkat lokal cenderung saling bertarung untuk mempertahankan kepentingan politiknya masing-masing, sementara kepentingan korban tidak pernah disentuh dan tidak pernah ada

14 perhatian khusus bagi korban,” katanya.

Pengungkapan Kebenaran dari Korban

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, nilai baki aluminium yang diperolehi akan menentukan dos optimum bahan koagulan yang akan digunakan dalam proses rawatan air di loji.. Prosedur ujian

Mengingat pentingnya bimbingan dan konseling karir sebagai pemberi arah sekaligus penerang jalan hidup, maka dalam pelaksanaannya, khususnya khususnya di persekolahan,

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan judul Strategi Pemenangan Petahana Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Sidoarjo 2015 (Saiful Illah - Nur

Sedangkan yang membedakan antara penelitian diatas dengan yang akan peneliti teliti adalah fokus penelitiannya akan lebih memfokuskan pada gambaran perilaku merokok remaja putra

Hubungan Beban dan Lendutan pada Balok Styrofoam Pada Tabel 4.11 perbandingan besarnya beban, lendutan dan yang terjadi pada kondisi awal retak, kondisi tulangan leleh dan

Seddon (1997) menyatakan bahwa dengan mengatasi kelemahan pengukuran menjadi lebih baik, kepuasan pengguna akhir dapat digunakan untuk mengukur keuntungan atau

Mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah (PLS) sebagai calon tenaga kependidikan di luar system persekolahan juga dituntut memiliki sikap mental kerja yang

bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 122/Permentan/SR.130/11/2013 tanggal 26 November 2013 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk