• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lanskap dan Estetika Harimau Tjampa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Lanskap dan Estetika Harimau Tjampa"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Lanskap dan Estetika Harimau Tjampa

1

Mohamad Ariansah

Perubahan Nusantara sebagai wilayah kepulauan dengan gugusan pulau yang dikuasai

oleh kerajaan-kerajaan, menjadi sebuah negara bangsa bernama Indonesia yang dipimpin

seorang presiden menghasilkan sebuah implikasi terkait persoalan identitas. Bila sebelumnya

identitas seseorang yang tinggal di wilayah Nusantara merupakan hasil konstruksi budaya dan

kesukuan, lantas muncul konsep baru dari identitas bersama sebagai orang Indonesia. Tetapi

sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 sampai 1949, rakyat Indonesia nyaris memusatkan

seluruh perhatian menghadapi usaha Belanda yang ingin kembali melakukan penjajahan.

Karena itulah proses integrasi masyarakat di Nusantara menjadi Indonesia sedikit tertunda,

sehingga periode awal 1950-an merupakan masa paling krusial bagi pembentukan identitas

nasional dalam sejarah Indonesia.

Harimau Tjampa adalah sebuah film karya Djadoeg Djajakusuma yang lahir empat

tahun setelah berakhirnya revolusi fisik di Indonesia sebagai akibat dari agresi militer Belanda

kedua, dan dua tahun sebelum berlangsungnya konferesi Bandung yang mempertemukan

negara-negara Asia-Afrika untuk membahas kondisi global pasca-perang dunia kedua yang

melahirkan konflik perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni-Soviet.

Film yang diproduksi tahun 1953 ini menempati salah satu posisi kunci dalam

perjalanan sejarah sinema Indonesia bersama dengan karya-karya penting lainnya dari Usmar

Ismail dan Nya Abbas Akup, khususnya dalam hal penawaran estetis pada periode awal

perkembangan perfilman nasional Indonesia. Usmar Ismail berusaha mengangkat dilema yang

dihadapi individu di tengah krisis revolusi fisik dengan nilai-nilai kemanusiaan universal

melalui kecenderungan gaya realis dalam The Long March (Darah dan Doa) (1950), Enam

Djam di Djogja (1951), dan Lewat Djam Malam (1954). Lalu, Nya Abbas Akup yang berusaha

melakukan kritik sosial terhadap kondisi masyarakat pasca-revolusi dengan nuansa komedi

situasi yang khas melalui Heboh (1954) dan Tiga Buronan (1957). Sedangkan Djadoeg

Djajakusuma memberikan penawaran gaya yang lebih eklektik dan mengangkat nilai-nilai

                                                                                                                1

(2)

tradisional seperti dalam Tjambuk Api (1958), Lahirnja Gatotkatja (1960), dan juga Harimau

Tjampa.

Selain berusaha menawarkan berbagai kemungkinan estetis, para pembuat film yang

aktif di awal dekade 1950-an berada di garda depan proses integrasi dan pembentukan identitas

Indonesia pasca revolusi fisik dengan dirintisnya konsep sinema nasional dalam The Long

March (Darah dan Doa). Diskursus identitas nasional dalam perkembangan awal sinema

Indonesia berusaha direspons oleh Usmar Ismail dengan menawarkan sebuah konsep identitas

baru, di mana semua orang dapat menghayati konstruksinya melalui narasi historis yang sama

sebagai korban penjajahan dan berusaha untuk mengusir Belanda dari Nusantara. Meski

persoalan eksistensial yang menghasilkan keraguan terhadap esensi revolusi fisik kerap

dipertanyakan oleh karakter-karakter dalam film Usmar Ismail.

Sementara Djadoeg Djajakusuma melihat bahwa identitas nasional harus

mempertimbangkan berbagai aspek eksternal lain di luar persoalan internal individu sebagai

konsekuensi dari nilai kemanusian yang bersifat universal, seperti halnya kultur serta kesukuan

yang sebelumnya dihayati sebagai sebuah identitas sebelum konsep negara bangsa lahir dan

menjadi identitas nasional yang melingkupi berbagai keragaman di Nusantara. Bagi

Djajakusuma konstruksi identitas nasional Indonesia hanya dimungkinkan melalui pemahaman

terhadap keragaman tradisi, dan cara masyarakat menghayati kehidupan di berbagai wilayah

Nusantara secara khas berdasarkan konstruksi kulturalnya masing-masing. Untuk itulah, ia

mulai merintis proyek konstruksi identitas nasional Indonesia dengan menggali berbagai

kekayaan tradisi Nusantara melalui film-filmnya sejak Harimau Tjampa di periode awal

1950-an. Saat kebutuhan terhadap pembentukan identitas nasional Indonesia semakin mendesak

untuk proses integrasi, terutama menghadapi eskalasi konflik global di tengah persaingan

ideologi dua negara adidaya pemenang perang dunia kedua.

Selain persoalan identitas, proklamasi kemerdekaan juga memberikan implikasi lain

terhadap perubahan ruang secara geografis yang sebelumnya dihayati oleh berbagai

masyarakat Nusantara. Ruang sebagai hasil konstruksi budaya yang memiliki batas dan

dipahami secara khas oleh tradisi tertentu, kemudian harus berubah dan berintegrasi ke dalam

negara bangsa seperti Indonesia.

(3)

khas dan iringan musik yang identik dengan latar budaya Minangkabau. Dominasi

pemandangan alam dalam film ini dapat menjadi pintu masuk untuk memahami ruang yang

dibangun berdasarkan tradisi kultural tertentu dan relasinya dengan masyarakat yang diwakili

oleh karakter-karakter di dalamnya, di mana pada saat yang sama secara historis maupun

faktual tengah dihadapkan dengan diskursus ruang geografis budaya Minangkabau yang

mengalami perubahan dan transisi menuju proses integrasi ke Indonesia pasca revolusi fisik

sebagai akibat lahirnya identitas nasional melalui kemunculan negara bangsa.

HarimauTjampa tahun (1953) yang mengangkat kultur Minangkabau

Ruang atau lingkungan fisik di sekeliling karakter dalam film, pada prinsipnya terdiri

dari setting dan lanskap. Setting adalah sebuah tempat yang dikonstruksikan melalui desain

berdasarkan kebutuhan cerita, sedangkan lanskap lebih identik dengan lingkungan fisik yang

bersifat alamiah. Konsep setting umumnya dianggap sudah mewakili kedua prinsip dasar

lingkungan fisik dalam film tersebut, karena sangat sulit membuat pemisahan secara tegas antar

keduanya. Sebab lanskap alamiah yang kita lihat di layar pun biasanya sudah dipengaruhi oleh

manusia secara kultural. Kendati demikian, eksistensi lanskap sebagai sesuatu yang natural

(4)

Lanskap dapat dilihat sebagai sesuatu hal yang terbebas dari intervensi budaya serta

sudah terlebih dahulu hadir sebelum manusia, namun ia tidak sepenuhnya menjadi entitas yang

benar-benar terpisah dengan individu dan masyarakat. Karena lanskap bukan hanya merupakan

sebuah ruang fisik alamiah semata dan sama sekali tidak terkait dengan manusia yang tinggal

di dalamnya, tetapi berperan penting membentuk konstruksi kultural sebuah masyarakat.

Keragaman budaya antar masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan dengan yang hidup

di gurun, atau pesisir adalah pengaruh dari karakteristik lanskapnya yang khas. Cara berpikir

dan tindak-tanduk, serta relasi sosial antar individu juga lahir karena keberadaan ruang fisik

yang bersifat natural tersebut. Dengan kata lain, lanskap membentuk identitas dan budaya

manusia yang hidup di dalamnya. Sehingga sia-sia memisahkan manusia dengan lanskap yang

terdapat di sekelilingnya. Lanskap adalah sebuah fakta yang tidak mungkin dapat dihindari

oleh manusia. Walaupun reaksi dan respons terhadap lingkungan fisik yang bersifat natural

tersebut sangat bervariasi, di mana manusia berusaha untuk memahami, mengevaluasi, dan

memaknainya berdasarkan konstruksi berbagai sudut pandang kultural dan ideologi.

Sehingga untuk menangkap dinamika sejarah Indonesia terkait diskursus identitas

nasional pasca revolusi fisik, sangat menarik untuk memahami mekanisme ruang seperti

lanskap dan strategi visualisasi untuk menggambarkannya dalam sebuah film. Melalui

beberapa kemungkinan analisis seperti penawaran estetis, dan respons pembuat film terhadap

perubahan ruang secara kultural zamannya.

Lantas bagaimana dengan visualisasi ruang melalui lanskap dalam film Harimau

Tjampa? Apakah imaji lanskap alamiah mewakili ide atau kegelisahan tertentu terhadap

konsep identitas nasional? Bagaimana pula dengan visi artistik dan personal dari Djadoeg

Djajakusuma dalam memandang proses integrasi, serta diskursus identitas nasional yang

sangat hangat pada periode awal 1950-an saat itu?

Lanskap dan Posisinya dalam Film

Film selalu memperlihatkan relasi dialektis antara karakter dengan dimensi spasial dan temporal. Ruang atau dimensi spasial dalam film diperlihatkan secara visual melalui konstruksi

setting dan lanskap. Sedangkan dimensi temporal hadir melalui rangkaian aksi yang dilakukan

(5)

Lanskap merupakan salah satu prinsip ruang dalam film yang memiliki sejarah panjang,

serta sudah hadir saat perkembangan awal sinema dunia di akhir abad ke-19. Lumiere

bersaudara mulai merekam lingkungan di sekitar tempat tinggalnya dan kemudian berlanjut

mengabadikan berbagai tempat lain di seluruh dunia, lanskap sudah banyak terlihat di dalam

film-film mereka antara 1895 sampai 1903. Mulai dari bukit, sungai, laut, serta imaji

pemandangan alam lainnya secara visual. Namun pada perkembangan selanjutnya, imaji

lanskap tidak terlalu mendapatkan sambutan secara antusias dalam sejarah sinema karena

hegemoni pendekatan estetis dari teori film Bela Balazs, dominasi bentuk sinema Hollywood

dan praktik perfilman kontemporer yang mengakomodasi perkembangan teknologi komputer.

Ketika merekam lanskap sebagai wilayah dan bagian fisik dari dunia yang alamiah,

film memiliki karakteristiknya yang khas. Secara teknis, lanskap alamiah yang ditangkap oleh

kamera kemudian akan diperlihatkan ke layar secara visual dengan bingkai atau frame sebagai

batas imajinya. Namun meski memiliki batas, imaji yang ditampilkan di layar dapat lahir

melalui berbagai kemungkinan eksplorasi sinematografi. Jarak dan sudut pengambilan gambar

dari kamera, memungkinkan terciptanya objek dalam ukuran tertentu serta menghadirkan

kesan psikologis yang berbeda terhadap penonton. Untuk menghadirkan imaji dari lanskap

secara utuh di layar, maka dibutuhkan peletakan kamera dengan jarak yang jauh dari objek

melalui long shot.

Menurut David Desser, pandangan Bela Balazs yang memberikan penekanan terhadap

kekuatan close up sebagai komponen vital untuk memahami aspek magis dari sinema adalah

sesuatu hal yang sangat mengakar dalam tradisi estetika sinema.2 Keyakinan ini dibangun

melalui konsep karakterisasi medium yang dibangun pada periode film bisu, di mana tujuannya

mencari kemungkinan karakteristik agar sinema memiliki kemandirian. Sebab kemampuan

kamera mendekati objek membuat sinema berbeda dengan teater. Bahkan pandangan ini tetap

bertahan saat sejarah sinema mencatat sineas seperti James Williamson, George Albert Smith,

Edwin Porter, dan D.W. Griffith dianggap sebagai pelopor penting bahasa sinematik karena

menjadi orang pertama yang menggunakan close up.

                                                                                                               

2

(6)

Perhatian terhadap long shot dalam estetika sinema sedikit berkurang bila dibandingkan

dengan close up, terutama karena pengaruh pandangan Bela Balazs tersebut. Lanskap membuat

ukuran karakter sebagai elemen kunci dalam dramaturgi menjadi semakin kecil bahkan hilang

sama sekali. Sehingga berkembang kontestasi antara close up pada satu sisi yang lebih

menekankan karakter atau detail sebuah objek dalam ukuran yang besar di layar, dengan long

shot yang menegasikannya.

Setelah menyempurnakan cara bercerita dengan kemunculan teknologi suara pada

dekade 1930-an, dominasi Hollywood tetap bertahan hingga sekarang. Film-film naratif

Hollywood memperlihatkan bahwa karakter lebih dominan dibandingkan lanskap. Ruang

dalam bentuk setting dan lanskap umumnya hanya berfungsi untuk menerangkan lokasi

berlangsungnya aksi di sebuah adegan. Sehingga close up dan medium shot mendapatkan porsi

jauh lebih banyak serta dominan, bila dibandingkan dengan long shot pada sebagian besar

film-film yang dihasilkan saat ini.

Sebagai sebuah abstraksi sangat dimungkinkan untuk melakukan pemisahan terhadap

ruang atau lingkungan fisik menjadi setting yang identik dengan konstruksi, serta lanskap yang

bersifat natural. Namun bila dikaitkan dengan permasalahan pendekatan estetis dalam medium

visual, maka persoalannya tidak sesederhana itu. Terlebih dengan penerapan teknologi

komputer grafis dalam film yang membuat batas antara konstruksi dan alamiah menjadi

semakin kabur.

Lanskap merupakan sebuah istilah ambigu yang bias dan penuh kontestasi. Kendati

dipahami sebagai sesuatu yang alamiah dan bersifat natural, tetapi secara diam-diam terdapat

faktor interpretasi manusia di dalamnya. Dalam sejarahnya, konsep lanskap identik dengan

penemuan tempat-tempat baru yang mengagumkan dan menghasilkan kesan sangat emosional

sebagai hasil perjalanan keliling dunia dari para petualang Eropa pada abad ke-17 dan 18.

Namun Lanskap tidak harus selalu merupakan hasil penemuan, karena terkadang dapat

diciptakan. Reproduksi dan kreasi artistik pun terkadang mampu menciptakan lanskap melalui

hasil imajinasi seniman dalam lukisan, foto, dan film. Terlebih lagi dengan penggunaan

teknologi digital yang mampu menghasilkan efek imaji realistis. Sehingga semakin sulit

memisahkan dan memastikan antara imaji yang merupakan hasil manipulasi digital, dengan

imaji hasil rekaman langsung terhadap lanskap alamiah yang natural. Karena teknologi

(7)

antara keduanya.3

Akibatnya muncul pesimisme terhadap autentisitas dari imaji yang memperlihatkan

lanskap alamiah. Sehingga lanskap dalam film sebagai sebuah bentuk isolasi terhadap karakter,

tidak lagi menghasilkan sensasi yang sama seperti halnya penemuan-penemuan tempat-tempat

baru pada abad ke-17 dan 18 dahulu. Serta posisinya menjadi sedikit tidak menarik untuk

penawaran estetis dalam bercerita. Bahkan tergantikan dengan konsep lain yang lebih

mengedepankan karakter, melalui penggunaan close up wajah seseorang di layar sebagai potret

lanskap mental dalam film-film Ingmar Bergman dan Michelangelo Antonioni.

Visualisasi Ruang dan Lanskap dalam Film Harimau Tjampa

Harimau Tjampa menceritakan kedatangan seorang pemuda bernama Lukman yang

pergi merantau mencari ayahnya yang mati terbunuh. Dalam perantauannya, pemuda itu

memutuskan belajar silat untuk membalas dendam. Awalnya ia bermaksud untuk berguru pada

Datuk Langit, namun karena diminta untuk menyerahkan tiga ekor kerbau, lalu ia membatalkan

niatnya tersebut. Hingga akhirnya Lukman memutuskan berguru pada Saleh yang berhasil

mengalahkan beberapa orang dalam sebuah perkelahian. Saleh menerima Lukman sebagai

muridnya, hanya dengan syarat tidak boleh mempergunakan keahlian tersebut untuk tujuan

yang tidak baik. Tetapi Lukman berkali-kali melanggar syarat tersebut, sampai dirinya

berkonflik dan harus masuk penjara karena perbuatannya menghilangkan nyawa anak buah

Datuk Langit tanpa sengaja. Di dalam penjara, Lukman mengetahui bahwa Datuk Langit

adalah pembunuh ayahnya. Laki-laki muda itu lalu memutuskan untuk melarikan diri dari

penjara dan membalas dendam. Dalam sebuah perkelahian ia berhasil mengalahkan Datuk

Langit. Saat hendak membunuh musuh besarnya tersebut, Lukman akhirnya berhasil

mengendalikan diri dan menyerahkan diri kepada polisi. Sedangkan Datuk Langit dilaporkan

(8)

Ruang dalam film Harimau Tjampa didominasi oleh setting yang memperlihatkan

nuansa kental budaya Minangkabau melalui Rumah Gadang dan surau. Banyak adegan dalam

film yang mengambil tempat baik di dalam maupun bagian depan Rumah Gadang. Selain surau

sebagai tempat dari Saleh untuk mengajarkan Lukman dan murid-murid lainnya menimba ilmu

agama Islam dan kepandaian bela diri seperti silat. Kedua ruang ini merupakan sesuatu hal

yang identik dengan konstruksi kultural dan sistem nilai yang dianut oleh tradisi dan budaya

Minang.

Ruang atau setting lain dengan fungsi yang berbeda dari sebelumnya adalah penjara

yang merepresentasikan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, serta lanskap yang muncul

hanya pada saat tertentu di dalam film ketika Lukman mengalami konflik dengan karakter lain.

Khususnya persawahan dengan lanskap yang khas ketika Lukman dituduh mencuri air oleh

anak buah Datuk Langit hingga menyebabkan perkelahian. Serta sebuah lapangan dengan

lanskap perbukitan dan ngarai di kejauhan, saat Lukman melakukan perkelahian hidup dan

mati dengan Datuk Langit. Selain itu dimunculkan pula imaji lanskap di adegan paling akhir

film Harimau Tjampa tanpa terlihat kehadiran satu sosok karakter pun di dalamnya.

Baik dalam hal jumlah adegan maupun total durasi film, sangat jelas bahwa setting

lebih mendominasi dibandingkan dengan lanskap alamiah nagari sebagai sebuah unit wilayah

dalam tradisi Minangkabau. Sementara pendekatan visualisasi menghadirkan komposisi yang

umumnya membuat lanskap seperti tidak hadir, serta terkesan tidak begitu penting karena

pengaturan elemen visual membuat rumah gadang jauh mendominasi dibandingkan dengan

lanskap di sekelilingnya. Seandainya sebuah gambar didominasi oleh elemen-elemen visual

dari lanskap, biasanya terdapat satu atau beberapa orang karakter yang ditempatkan di bagian

depan imaji tersebut. Sehingga kesan dominan dari lanskap tersebut segera hilang, dan segera

tergantikan oleh kehadiran karakter-karakter dalam film tersebut.

Ketika diperlihatkan lanskap tanpa kehadiran seorang karakter pun, peletakannya di

bagian paling akhir film dan durasi yang singkat menyebabkan imaji tersebut tidak

menghasilkan kesan emosional penonton seperti yang seharusnya diberikan oleh impresi dari

gambar tersebut. Sementara penjara merupakan sebuah ruang yang dimiliki pemerintahan

kolonial Belanda, serta memiliki kekuasaan mengatur tatanan dan menjadi batas antara setting

(9)

Persentase, gaya visualisasi, dan logika jukstaposisi dalam membuat urutan gambar

pada film Harimau Tjampa, jelas memperlihatkan keberpihakan terhadap setting sebagai ruang

kultural dibandingkan dengan lanskap. Secara eksplisit lanskap terkesan bukan merupakan

elemen dramaturgi yang penting, bila dibandingkan dengan setting dan karakter-karakter di

dalamnya.

Lanskap dalam

Harimau Tjampa

: Sebuah Pendekatan Estetis

Lanskap menjadi sangat minim dan menghilang dalam HarimauTjampa

Pada film naratif, pemilihan ruang dan pembingkaian yang dilakukan untuk

menampilkan setting maupun lanskap lebih didasari oleh eksistensi dari karakter. Bahkan

penonton juga akan tetap lebih memberi perhatian secara ekstra kepada karakter dan

interaksinya dibandingkan dengan setting, atau lanskap yang biasanya berperan sebagai latar

belakang. Bahkan lanskap paling spektakular yang mampu memberikan kesan emosional pun

akan memberikan kontribusi sangat kecil dibandingkan plot utama naratif filmnya. Padahal

(10)

tidak hanya dapat menjadi latar belakang semata.4

Film-film seperti Ekspresionisme Jerman pada tahun 1920-an telah mampu

menampilkan setting sebagai ekspresi internal kondisi psikologis karakter-karakternya.

Bahkan sinema Swedia mampu berbuat lebih jauh lagi dengan lanskap yang berperan sebagai

karakter independen dalam beberapa adegan tertentu di film seperti Terje Vigen (1917, Victor

Sjostrom). Bahkan dalam beberapa bentuk sinema alternatif seperti film seni dan

eksperimental, lanskap sudah bertindak sebagai komponen alegoris terhadap naratif yang tidak

secara eksplisit menyampaikan konteksnya. Tetapi berperan lebih jauh menjadi lapisan makna

berikutnya yang terkait dengan kondisi sosial-politik di luar sebuah film sebagai sebuah teks

atau bahasa audio-visual.

Dalam kasus Harimau Tjampa, sekilas terlihat lanskap berada pada posisi marginal dan

hanya berperan sebagai latar dari sebuah nagari yang menerapkan tradisi dan budaya

Minangkabau. Namun pendekatan estetis terhadap lanskap dalam film ini, harus disikapi

dengan mempertimbangkan konteks zaman saat karya ini diproduksi.

Proses integrasi dan diskursus identitas nasional yang menjadi salah satu agenda utama

strategi budaya adalah sebuah persoalan maha besar dan terlalu menarik untuk diacuhkan

begitu saja oleh pembuat film sekelas Djadoeg Djajakusuma. Di mana Djajakusuma bersama

Usmar Ismail melalui film-filmnya sejak tahun 1950 mulai menjadikan persoalan jati diri dari

identitas negara bangsa menjadi tema penting, baik secara tekstual maupun subteks. Meskipun

konsisten dengan gaya dan penawaran artistik masing-masing pada periode pasca revolusi fisik

hingga memasuki dekade 1960-an, pertanyaan menjadi Indonesia dan implikasi perubahan

ruang yang dimunculkan terhadap lokus-lokus kultural di Nusantara mendasari strategi

penceritaan keduanya sebagai bapak berfilman dan pemikir identitas nasional pada masa-masa

awal konstruksinya.

Dalam karya Djadoeg Djajakusuma seperti Harimau Tjampa dan film-filmnya tentang

tradisi dan budaya lokal tertentu di Nusantara yang lain sejak 1953, beroperasi secara alegoris

persoalan integrasi menuju Indonesia, konstruksi identitas, dan perubahan ruang kultural. Jadi

                                                                                                                4

(11)

estetika film ini tidak terdapat pada penerapan semua elemen sinematik untuk menceritakan

progres naratif dari aksi-aksi karakternya semata, namun lebih pada relasinya terhadap konteks

serta situasi zaman saat karya ini dilahirkan.

Pemilihan untuk melakukan negasi terhadap ruang yang alamiah pada film Harimau

Tjampa lebih terkesan berusaha menempuh kemungkinan alternatif terhadap posisi lanskap,

dibandingkan hanya sekedar latar dan bersifat pasif dalam naratif. Pemilihan tematik dan gaya

visualisasi terhadap lanskap adalah visi Djadoeg Djajakusuma dalam melihat kondisi

sosial-politik Indonesia pada waktu itu. Meski tidak secara terang-terangan diperlihatkan layaknya

praktik estetis film-film politik Jean Luc Godard tentang kondisi dunia pasca 1968. Tetapi

keresahan personal masih memiliki kemiripan dengan Usmar Ismail terkait persoalan Identitas

yang harus dibangun dengan narasi historis yang sama terkait pengalaman kolonialisme dan

implikasinya pasca revolusi fisik. Namun Djajakusuma mundur lebih jauh lagi dalam film ini

dengan membayangkan tradisi lokal merespons penjajahan Belanda berdasarkan keunikan

budaya masing-masing tempat. Tentu saja sebagai modal untuk menjawab tantang masa itu

seperti proses integrasi dan konstruksi identitas nasional.

Perubahan ruang budaya tertentu menuju proses integrasi menjadi Indonesia dengan

identitas barunya saat itu, setidaknya harus disikapi dengan hati-hati dalam film Harimau

Tjampa. Bukankah dominasi setting sebagai sebuah konstruksi kultural adalah upaya untuk

menyarankan penguatan identitas budaya atau kesukuan terlebih dahulu, sebelum melangkah

ke bawah payung identitas yang lebih bersifat nasional. Apakah lokalitas harus mengalah

dalam identitas keIndonesiaan, atau Indonesia yang harus mengakomodasi identitas lokal yang

bersifat kultural dan kesukuan di Nusantara.

Kesimpulan

Visualisasi lanskap Djadoeg Djajakusuma dalam Harimau Tjampa adalah sebuah

contoh di mana gaya film bukan hanya berperan untuk melayani kepentingan naratif dan

karakterisasi semata. Tetapi visualisasi dan gaya film dapat bertindak sebagai visi personal

sutradara terhadap dunia yang dihadapinya.

(12)

potensi lebih jauh dari konvensi yang umumnya didominasi oleh film-film naratif Hollywood

yang memprioritaskan karakter. Baik sebagai penawaran estetis baru, perspektif lain dalam

memandang dunia, atau pun kritik sosial melalui metode alegoris yang menempatkan ruang

sebagai representasi dan kiasan tertentu.

Daftar Pustaka

Harper, Graeme and Jonathan Rayner. 2010. Cinema and Landscape. Graeme Harper dan

Jonathan Rayner (eds). Intellect: Bristol, UK.

Melbye, David. 2010. Landscape Allegory in Cinema: From Wilderness to Wasteland.

Palgrave Macmillan: New York.

Wylie, John. 2007. Landscape. Routledge: New York.

Sumber Gambar

http://www.filmwalrus.com/2014/03/film-atlas-indonesia-tiger-from-tjampa.html. Diakses

pada tanggal 6 mei 2018 Pukul 6.13 WIB.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab IV maka dapat diambil kesimpulan bahwa nilai kemampuan menulis puisi berkenaan dengan keindahan alam siswa

Penelitian yang berhubungan dilakukan oleh Mayangsari (2001) meneliti pengaruh struktur aset, tingkat pertumbuhan, besaran perusahaan, profitabilitas, operating leverage, dividen

Makalah ini menjabarkan hasil analisis dan implementasi Elliptic Curve Cryptography, yaitu salah satu algoritma kriptografi kunci publik, dan aplikasinya pada

Berdasarkan latar Belakang masalah diatas, maka diperlukan sebuah Aplikasi Multimedia yang dapat memberikan solusi pada masalah tersebut, sehingga dalam rumusan

Pemikiran komunisme Karal Marx sebagai pemikiran yang menciptakan gerakan sosial di Jerman karena, ke tidak adilan dan ketertindasan kaum buruh oleh kaum kapitalis menjadi inspirasi

Telah dijelaskan dalam Peraturan Presiden No.67 Tahun 2006 tentang Tugas dan Fungsi Lembaga Pertahanan Keamanan (Lemhannas), dan mempunyai tugas sebagai berikut: 1).

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keanekaragaman jenis tanaman, menentukan pendapatan masyarakat dari agroforestri, dan menganalisis kesejahteraan petani

Persentase pengembalian temuan keuangan Hasil Pemeriksaan Inspektorat Kota Mataram realisasi sebesar 72% yaitu Rp 1.979.028.558,10 dari Rp 2.763.758.226,44 rekomendasi