• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktik Kapitalisme Kroni Pada Era Orde

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Praktik Kapitalisme Kroni Pada Era Orde"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Praktik Kapitalisme Kroni Pada Era Orde Baru

Studi Kasus: Grup Salim

Oleh

Eka Prasetya

I. Pendahuluan

Pengaruh negara memainkan peran sangat penting dalam pembentukan dan perkembangan kapitalisme di Indonesia. Pengaruhnya bersifat menentukan, tidak hanya dalam memberikan kondisi politik bagi tumbuh dan berkembangnya kelas kapitalis, tetapi juga menyediakan kerangka fiskal, investasi yang besar, serta serangkaian kebijakan yang tak jarang mengintervensi pasar.Sebagaimana yang dikemukakan oleh Yoshihara Kunio yang menilai perkembangan kapitalisme yang terjadi di Asia Tenggara pada umumnya bersifat semu (ersatz capitalism).Hal tersebut menimbulkan pencari rente di kalangan birokrat pemerintah, serta memunculkan kekuatan ekonomi pengusaha-pengusaha keturunan Cina, yang melalui koneksinya dengan para birokrasi negara berhasil memperoleh fasilitas-fasilitas khusus bagi usahanya.1

Interpretasi konservatif yang dominan dalam melihat Orde Baru ialah sebagai negara teknokratik, dimana kebijakan ekonomi dibentuk atas dasar kriteria yang ‘rasional,’ objektif dan universal melebihi kepentingan politik dan sosial.2 Hal ini terutama terjadi pada era awal reorientasi kebijakan ekonomi Orde Baru pada masa konsolidasi mengingat Indonesia membutuhkan modal asing untuk melakukan mobilisasi sumber-sumber kekayaan dalam rangka rehabilitasi perekonomian. Akan tetapi ketika nasionalisme ekonomi dan intervensi pemerintah mulai dihidupkan kembali pada pertengahan 1970-an, dimana pada masa itu terjadi pertumbuhan yang didukung oleh produksi ekstraktif dan bahan mentah,3 maka Orde Baru sesungguhnya telah kehilangan legitimasi teknokratik-nya.

Pada era dimana pemerintah menerima pemasukan yang luar biasa besar dari sektor ekstraktif (terutama minyak), dimulailah suatu fase dimana kebijakan perekonomian dan intervensi pemerintah dalam pasar tidak hanya mengikuti logika kepentingan nasional, dimana akumulasi kapital dilakukan oleh sejumlah perusahaan negara, melainkan juga sarat 1 Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 2

2 Posisi demikian timbul mengingat kenyataan bahwa kekuatan penting pembuat

keputusan berada di tangan sekelompok ekonom didikan Amerika yang terutama berpusat di Bappenas. Lihat: Richard Robison (1986), hal. 85

(2)

dengan agenda “bagi-bagi jatah” kepada kapital swasta domestik tertentu. Pada era inilah sejumlah grup bisnis dan keluarga yang dekat dengan kekuasaan (kroni) memperoleh keuntungan besar dengan memanfaatkan serangkaian kebijakan negara berupa proteksi, kredit, dan insentif yang berasal dari fiskal.

Salah satu grup bisnis milik golongan kapital swasta domestik yang terbesar ialah Grup Liem (Salim Group) yang akibat kedekatannya dengan penguasa secara langsung, memperoleh bagian terbesar dalam lisensi, konsesi, dan kontrak yang diberikan oleh negara. Liem berhasil memanfaatkan kebijakan proteksi negara terhadap perusahaan berbasis industri manufaktur substitusi impor, sehingga melalui keagenan tunggal yang dimilikinya untuk sejumlah barang otomotif, serta lisensi monopoli atas sejumlah komoditas seperti cengkih dan terigu, kerajaan bisnisnya memperoleh kejayaan yang pesat.

Liem juga melakukan ekspansi bisnisnya dalam bidang keuangan sebagai sumber pendanaan untuk beragam bisnisnya meskipun ia juga membangun integrasi kapital dengan investor asing, terutama pebisnis Cina perantauan yang berasal dari sejumlah negara Asia. Ia juga membangun kemitraan dengan kapital domestik terutama yang memiliki kedekatan dengan sumber-sumber perlindungan politik seperti keluarga istana maupun yayasan milik angkatan bersenjata.

II. Perumusan Masalah

Intervensi negara dalam kegiatan perekonomian sejatinya merupakan agenda bagi terwujudnya keadilan sosial, dimana untuk mengatasi persoalan-persoalan yang timbul sebagai ekses negatif dalam lingkungan persaingan pasar yang terbuka, negara dituntut hadir memberikan sejumlah kebijakan yang mengarah pada terciptanya pemerataan kesejahteraan. Akan tetapi, praktik intervensi negara yang dilakukan pada era Orde Baru dengan memberikan sejumlah fasilitas dan hak monopoli pada keluarga dan grup bisnis tertentu menunjukkan bahwa agenda terbesar yang sesungguhnya hendak diwujudkan ialah dalam rangka memenuhi kepentingan akumulasi kapitalkroni.

(3)

III. LandasanTeoritis

Hal yang perlu diketahui tentang kapitalisme terkait hubungan diantara negara dengan pengusaha adalah adanya pola kapitalisme kroni. Kapitalisme kroni sendiri pada dasarnya kapitalisme yang berdasarkan hubungan antara negara dan juga pengusaha yang dianggap tidak sehat, dimana terjadi kong-kali-kong atau kerjasama antara keduanya yang bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi masing-masing pihak.4Adam Smith menjelaskan kapitalisme kroni sebagai hubungan yang dibangun oleh dua pihak yang saling bertemu untuk melakukan konspirasi atau kerjasama untuk kepentingan mereka sendiri dan cenderung mengabaikan kepentingan orang lain atau publik. Smith menulis:

People of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices. It is impossible indeed to prevent such meetings, by any law which either could be executed, or would be consistent with liberty and justice. But though the law cannot hinder people of the same trade from sometimes assembling together, it ought to do nothing to facilitate such assemblies; much less to render them necessary.5

Menurut Ahmad Taufan Damanik, peran intervensi negara sesungguhnya dapat diterima. Apabila liberalisme klasik memandang negara hanya memiliki peran minimal, maka liberalisme modern mengakui peran intervensi negara di dalam mencapai kesejahteraan sosial. Negara dengan demikian berperan didalam distribusi sumber-sumber ekonomi maupun kesejahteraan serta melindungi kemerdekaan individu dan kemungkinan kejahatan yang merusaknya. Akan tetapi, masih terdapat ‘para pecundang’yang mendapatkan perlindungan dan redistribusi melalui negara. ‘Para Pecundang’ yang dimaksud dalam pandangan Damanik tersebut ialah para kroni atau pengusaha yang mendapatkan proteksinegara. Dengan adanya andil negara, mereka dapat berkomplot atau bekerjasama dengan negara untuk menguasai pasar demi mendapatkan keuntungan secara pribadi.6

Praktik kroni kapitalisme juga dapat dijelaskan berdasarkan teori patronase dan klientalisme. Patronase (patronage) merupakan konsep yang menjelaskan adanya hubungan antara patron dan klien melalui suatu pertukaran yang saling menguntungkan. Secara harfiah,

4 A White Paper by the Committee for Economic Development of The Conference Board,

Crony Capitalism: Unhealthy Relations Between Business and Government. 2015

5Ibid, hlm. 29.

6 Ahmad Taufan Damanik. Ekonomi Politik Pancasila: Negara dan Keadilan Sosial.(Jakarta:

(4)

patron berasal dari bahasa latin yaitu “patronas” atau yang kita kenal dengan arti bangsawan, sedangkan klien berasal dari kata “cliens” yang berarti pengikut. Dalam bahasa Spanyol, istilah “patron” secara etimologis berarti seseorang yang memiliki kekuasaan, status, wewenang dan pengaruh besar. Sedangkan “klien” berarti bawahan atau orang yang diperintah.7

Setidaknya ada tiga ciri-ciri dari hubungan patronase yang disepakati, yakni: adanya ketimpangan dalam pertukaran (posisi patron lebih kuat dari klien); bersikap tatap muka (saling mengenal, percaya); serta luwes dan meluas. Patronase secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang bersifat asimetris.

Perbedaan ‘derajat’ antara patron dan klien dapat berupa status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (subordinat) dan patron menempati kedudukan lebih tinggi. Dalam patronase, terdapat hubungan timbal-balik yang bersifat saling menguntungkan. Patron biasanya mengumpulkan kekuasaan dan pengaruhnya melalui dukungan umum dan bantuan yang diberikan oleh klien, setelah itu patron pun memberikan perlindungan atau keuntungan-keuntungan tertentu berdasarkan otoritas atau kekuasaan yang dimilikinya kepada klien sebagai imbalannya.

Dalam konteks Indonesia, teori yang juga patut untuk dikemukakan ialah teori Oligarki dari Jeffrey Winters. Winters mengkatagorikan Soeharto denganapa yang diistilahkan sebagai ‘Oligarki Sultanisme.’ Selama berkuasanya rezim Orde Baru seluruh perangkat institusional yang semula memiliki kewenangan yang otonom, dibongkar dan ditata-ulang semata-mata untuk memastikan ketertiban dan efesiensi untuk mengabdi sepenuhnya pada kepentingan sang penguasa sendiri.8 Dengan demikian Soeharto menjadi penentu segala hal yang berkaitan dengan pengaturan ‘bagi-bagi’ jatah, untuk mengelola ketertiban para oligark (pemilik jaringan dan grup bisnis) yang menjadi klien-nya.

IV. Pembahasan

Liem Sioe Liong (Sudono Salim) lahir di Fukkian, daratan Tiongkok pada 1916. Kemudian ia datang ke Kota Kudus, Jawa Tengah pada 1936 pada usia 20 tahun untuk berdagang minyak kacang tanah bersama kakak lelakinya, Liem Sioe Hie.9 Setelah itu ia memperluas bisnis ke perdagangan cengkih sebagai pemasok pabrik-pabrik rokok kretek setempat. Karena kedekatannya dengan kekuatan-kekuatan republik pada 1945, bisnisnya 7James C. Scott (1972), hal.92

8 Jeffrey A. Winters (2011)

(5)

berkembang baik. Ia menjadi pemasok bahan makanan, pakaian, obat-obatan, dan bahkan senjata.10Kedekatan antara Liem dan Soeharto sudah terjalin, sejak 1950, ketika Soeharto menjabat Panglima Divisi Diponegoro dan Soedjono Hoemardani menjabat Asisten Keuangan. Pada permulaan 1950-an, ia mendirikan Bank Windu Kencana, kemudian pada 1957, ia membeli Bank Central Asia. Ketika Soeharto naik ke tampuk kekuasaan 1965, Liem sudah menjadi salah satu pemilik grup bisnis dengan bidang usaha yang beragam.

Pada awal rezim Orde Baru, Liem berhasil memanfaatkan kesempatan kebijakan pemerintah untuk melindungi kapitalis domestik, terutama pada manufaktur barang substitusi impor. Liem mengukuhkan kekuatan bisnisnya berdasarkan kedekatannya terhadap akses kekuasaan, kemitran yang luas dengan perusahaan swasta domestik, serta integrasi dengan kapital internasional. Dalam industri besar seperti pabrik semen dan pabrik mesin mobil, serta jenis usaha seperti properti, konstruksi, dan keuangan, Liem membangun integrasi dengan pemodal asing. Grup Liem juga mengandalkan dana internasional dalam proyek-proyek skala besar yang dikerjakan korporasinya. Ia juga mengandalkan manajemen asing dalam masalah teknik dan operasi.11

Selain itu Liem juga mengembangkan kemitraan yang luas dengan perusahaan swasta domestik seperti grup Ciputra (PT Metropolitan) dalam bidang konstruksi dan manufaktur, grup Sahid milik Sukamdani dan perakitan mobil yang merosot, National Motors yang dimiliki Mochtar Lubis. Kemitraan juga dibangun dengan grup perusahaan publik milik negara, Krakatau Steel. Terakhir, kemitraan yang strategis untuk memperoleh perlindungan dan dukungan politik penguasa juga dibangun antara grup Liem dengan keluarga Cendana. Seperti misalnya dalam kepemilikan Waringin, Indocement, dan Bogasari yang mengikutsertakan Sudwikatmono (adik tiri Presiden Soeharto), serta dalam kepemilikan saham di Bank Central Asia yang melibatkan putra-putri Soeharto, yakni Sigit dan Tutut.

Secara tradisional, grup bisnis domestik di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat jika memperoleh hak monopoli dalam perdagangan. Grup Liem merupakan salah satu yang memperoleh hak monopoli tersebut pada masa-masa awal berkuasanya Presiden Soeharto. Bersama Sudwikatmono dan Bambang Tirtomuljono dalam grup Waringin Kencana, Liem mendapatkan lisensi untuk melakukan ekspansi. Waringin berkembang pesat, terutama dalam perdagangan ekspor kopi dan karet dengan dukungan kredit bank pemerintah yang besar serta lisensi kuota ekspor yang melebihi angka resmi. Monopoli yang paling menguntungkan bagi Liem ialah dalam perdagangan cengkih (melalui 10 Richard Robison (1986), hal. 235

11 Misalnya: Indocement dikelola oleh Nihon Cement dan Taiwan Cement; Krakatau Cold

(6)

PT Mega).12 Dengan adanya industri rokok kretek yang besar di Indonesia, perdagangan cengkih menjadi strategis dengan nilai 60,9 juta dolar AS pada 1980 dan 120,1 juta dolar AS pada 1981. Dari kegiatan Waringin dan Mega inilah basis kapital grup Liem mulai dibangun.

Setelah itu, Liem merambah dunia otomotif yang sedang berkembang karena pengusaha domestik yang memiliki lisensi keagenan tunggal untuk impor dan distribusi kendaraan pabrikan asing mendapatkan proteksi dari pemerintah. Kebijakan pemerintah ialah untuk mendorong para pemegang lisensi agar dapat berkembang menjadi perakit dan kemudian meningkat lagi menjadi pabrikan komponen dan mesin. Meskipun grup Liem terlambat masuk ke bidang otomotif, akan tetapi ia berhasil memastikan kedudukannya sebagai perakit dan agen tunggal untuk Hino, Mazda, Suzuki, dan Volvo. Ia juga menyerap perusahaan National Motors yang sedang diambang kejatuhan.

Dalam bidang manufaktur, diakibatkan kebijakan pemerintah untuk melindungi dan memberikan subsidi serta dana dalam negeri untuk mendorong industrialisasi barang-barang manufaktur substitusi impor, grup Liem memperoleh kemajuan yang luar biasa. PT Tarumatex, perusaan yang bergerak di bidang tekstil milik Liem misalnya mengalami kemajuan yang bagus pada 1960-an dan permulaan 1970-an, serta memperoleh tambahan kontrak dari pemerintah untuk memasoknya. Saat pemerintah memutuskan untuk mendirikan pabrik tepung terigu untuk memasok kebutuhan di Indonesia pada 1969/1970, grup Liem mendirikan PT Bogasari yang kemudian akan menjadi jantung kerajaan manufaktur grup Liem. PT Bogasari membukukan pasokan terigu sebesar Rp. 400 juta dolar pada 1983 karena monopoli lisensi yang diperolehnya akibat persekutuannya dengan keluarga cendana dan Kostrad.13

Pada mulanya, lisensi pertama diberikan kepada kapital asing, yakni PT Prima yang berasal dari Singapura. Setelah didirikannya PT Bogasari oleh grup Liem yang dalam akta perusahaannya, disebutkan 26% keuntungannya disisihkan untuk sumbangan kepada Yayasan Harapan Kita yang dipimpin oleh Tien Soeharto dan Yayasan Dharma Putra Kostrad, Bulog kemudian mengalihkan lisensi pengolahan dan pemasaran produk terigu untuk wilayah Indonesia Barat kepada PT Bogasari. Sedangkan PT Prima memperoleh lisensi untuk wilayah pemasaran yang kurang menguntungkan, yakni Indonesia bagian timur.

12 Pada 1968 pemerintah memutuskan untuk membatasi impor cengkih hanya pada dua

perusahaan, PT Mercu Buana milik Probosutedjo dan PT Mega milik Liem. Baca: Wawancara dengan Probosutedjo pada Kompas 29.9.76 dalam R. Robison (1986), hal. 239

(7)

PT Prima membangun pabriknya di Ujung Pandang dengan investasi senilai 13 juta dolar AS dengan izin operasi selama 30 tahun. Bandingkan dengan PT Bogasari yang hanya bermodalkan Rp.100 juta, tetapi kemudian memperoleh kredit bank sebesar Rp. 2,8 miliar dari pemerintah. Keberpihakan pemerintah pada Bogasari tidak hanya sampai di situ, sejak 1972 hingga akhir 1980, alokasi gandum yang diberikan Bulog kepada PT Prima hanya cukup untuk produksi setengah dari kapasitanya. Sedangkan pabrik PT Bogasari di Jakarta dan Surabaya selalu mendapatkan pasokan yang cukup.14Disamping itu, Bogasari juga selalu mendapatkan kualitas yang lebih baik untuk produksi penuh.

Saat hendak melakukan divestasi pada 1980, PT Prima tidak diperkenankan menjual sahamnya sebesar 25% kepada pelaku bisnis swasta, Wirontono. Alasannya, pabrik terigu merupakan salah satu industri nasional yang strategis, karen itu PT Prima hendaknya menjual sahamnya hanya kepada perusahaan milik negara. Selain itu, penjualan semacam itu mustinya sebesar 50% dan bukannya 25% saja. Bulog kemudian mencabut lisensi PT Prima untuk melayani pasar Kalimantan, sehingga praktis hanya diizinkan melayani pasar Sulawesi. Pasokan gandum pun dikurangi hanya sebatas kapasitas 20% produksi.15 Terakhir, saat hendak hengkang dari Indonesia secara keseluruhan, PT Prima diberikan opsi untuk menjual 45% saham kepada Bogasari, 30% kepada perusahaan dagang negara di bawah Bulog, Berdikari, 20% kepada Sigit Soeharto, dan 5% kepada dirinya sendiri. Akhirnya Prima menjual 100% sahamnya kepada berdikari seharga 31,5 juta dolar AS.

Liem juga berjaya membangun bisnis semen melalui PT Indocement yang bersekutu dengan keluarga Djuhar, Sudwikatmono, dan Risjad. Indocement mengoperasikan lima perusahaan semen yang memasok 30% semen di seluruh Indonesia pada tahun 1980. Indocement juga melakukan usaha patungan dengan grup Sahid (Sukamdani) dan grup Metropolitan (Ciputra) untuk membangun pabrik semen sebesar 290 juta dolar AS, yaitu PT Tridaya Manunggal Perkasa.16 Belakangan grup ini juga mengambil 60% saham PT Semen Madura yang awalnya dimiliki oleh negara dan dipindahkan ke swasta. Dominasi Liem dalam industri semen tidak mungkin terjadi tanpa adanya perlindungan politik dan integrasi dengan kapital internasional. Pada masa permulaan PT Distinct Cement dimiliki sahamnya oleh Hongkong sebesar 44%, sedangkan PT Tridaya Manunggal Perkasa dibangun atas 97

14 Op Cit, R. Robison (1986), hal. 182

15 J.P Manguno & S.K. Witcher, “Soeharto Relatives, Ofcials Gain Control of Indonesian

Flour Trade,” AWSJ, 23.11.80: 2-3; Tempo, 20.3.82 dalam Op Cit, R. Robison (1986), hal. 182

(8)

juta dolar investasi domestik dan 193 juta dolar pinjaman yang terutama berasal dari sumber pendanan asing.

Tabel.1 Investasi dan Produksi Grup Indocement 198017

Kapasitas (ton/tahun)

Investasi (dalam juta dolar AS) PT Distinct Indonesia Cement 1.000.000 115

PT Perkasa Indonesia 2.000.000 188

PT Perkasa Agung Utama 1.500.000 219

PT Perkasa Indah Cement Putih 200.000 40

PT Perkasa Inti Abadi 1.500.000 258

Bisnis industri grup Liem telah menunjukkan kapasitasnya untuk menghimpun sumber-sumber kapital, mendapatkan dana di pasar internasional dan mengerjakan proyek yang rumit. Bersama dengan negara dan grup Metropolitan milik Ciputra, Liem membangun pabrik baja batangan seharga 800 juta dolar AS, Krakatau Steel.18 Grup Liem merupakan perusahaan swasta domestik pertama yang mengembangkan kapasitas untuk bergerak ke bidang manufaktur yang besar dan rumit seperti semen dan baja. Sebelumnya bidang-bidang semacam itu hanya mungkin dilakukan oleh kapital negara dengan memanfaatkan mobilisasi sumber daya untuk investasi. Dengan demikian negara sudah memberikan peluang masuknya investasi swasta yang telah memiliki basis kapital dan struktur korporasi yang kuat.

Dalam bidang properti dan konstruksi, grup bisnis Liem melalui sejumlah perusahaannya, terutama PT Perwick Agung dan PT Kabele Asia Nusantara berhasil membangun sejumlah proyek, dua diantara yang terkenal ialah Wisma Metropolitian dan Hotel Mandarin. Dalam bidang ini, Liem cenderung mengintegrasikan modalnya kepada sejumlah mitra swasta domestik, termasuk Ciputra (Metropolitan) yang juga mengepalai grup perusahaan milik Pemerintah DKI Jakarta, PT Jaya yang memiliki otoritas untuk membagi wilayah properti dan lisensi proyek-proyek pembangunan gedung di Jakarta.

Adapun dalam bidang perbankan, keluarga Liem mula-mula masuk dengan mendirikan Bank Windu Kencana pada 1954. Pada 1957 muncul Bank Central Asia yang di

17 Sumber: ICN 166, 26.1.81 dalam Op Cit, R. Robison (1986), hal 241

18 Perincian dana tersebut adalah 218 juta dolar dari pinjaman bank-bank internasional,

(9)

kemudian hari menjadi pelopor bidang keuangan grup Liem. Pasca 1965, terjadi reorganisasi yang menjadikan kepemilikan Bank Windu Kencana berada di tangan sejumlah Jenderal Kostrad, meskipun tetap dikelola oleh Liem dalam kapasitas bank yang tetap relatif kecil. Grup Liem kemudian fokus menjadikan BCA sebagai bank swasta dengan aset terbesar. Hal ini memungkinkan karena BCA terintegrasi dengan jaringan industri swasta dan keuangan terbesar di Indonesia dengan anak perusahaan yang terkait, termasuk perusahaan asuransi dan institusi keuangan PT Multicor dalam kerjasamanya dengan kepentingan asing. BCA dimiliki sahamnya pula oleh Mochtar Riady sebesar 17,5% serta 32% di tangan Sigit dan Tutut Soeharto (digabung).19

Meskipun merupakan perbankan swasta dengan aset terbesar di Indonesia, BCA tidak cukup untuk mendukung kebutuhan keuangan bisnis grup Liem. Dalam seluruh kegiatannya, grup Liem memperoleh dananya dari empat sumber: menggunakan BCA dalam kebutuhan perbankan sehari-hari yang menyangkut distribusi terigu dan semen; menggunakan dana keuntungan besar dari monopoli terigu dan cengkih serta dari keuntungan investasi lainnya; menarik kredir besar dari bank-bank internasional untuk proyek industi besar, kadang dalam bentuk kredit ekspor; serta jaringan kredit informal grup bisnis Cina perantauan di Asia Tenggara.20

Selain melakukan bisnisnya di Indonesia, grup Liem juga melakukan ekspansi ke luar negeri. Akan tetapi hingga 1980-an, usaha grup Liem di luar negeri tidak berkompetisi dalam sektor manufaktur, melainkan perdagangan dan keuangan melalui First Pacific Holdings Ltd. dan First Pacific Finance. Melalui kedua perusahaannya ini, grup Liem membeli sejumlah saham perusahaan Eropa dan Amerika yang berada dalam proses mapan. Investasi grup Liem ke luar negeri didorong oleh pandangan ke depan, mengingat resiko politik yang besar apabila kapital dalam jumlah besar dikonsentrasikan di Indonesia. Prospek turunnya Soeharto dalam beberapa tahun berikutnya, akan berdampak pada berjalannya bisnis grup Liem. Kematian tokoh politik yang menjadi patron, biasanya berarti hilangnya akses lisensi, konsesi, dan kontrak dari grup bisnis yang menjadi kliennya.

Perlu diingat bahwa Liem adalah seorang kapitalis Indonesia keturunan Cina. Dengan demikian ia menjadi sasaran berbagai tekanan dan kemarahan dari golongan pribumi, terutama elemen kapitalis dagang dan manufaktur Pribumi yang sedang merosot. Masalah ras

19 Liem sendiri memiliki 24% saham pada BCA, lihat tabel 2

20 Boonchu Rojanastien, Chief Executive Bangkok Bank dalam wawancaranya dengan

(10)

yang mudah meledak menunjukkan dengan jelas faktor resiko yang cukup tinggi akibat aksi kekerasan anti-Cina. Sebagaimana yang akan terjadi kemudian, pada akhir era Soeharto terjadi kerusuhan massal di kota-kota besar di Indonesia yang mengarah pada perusakan dan penjarahan properti dan kegiatan bisnis golongan Cina.

Posisi Liem dan hubungannya dengan Soeharto, Kostrad, dan pusat kekuasaan lainnya merupakan topik yang terlarang untuk diperdebatkan secara terbuka sejak 1974. Ironisnya, Probosutedjo (adik tiri Presiden Soeharto) yang secara samar mengkritik melalui korannya, Ekuin yang kemudian dilarang terbit oleh Presiden Soeharto sendiri. Dalam koran Ekuin, Liem dikritik karena luasnya grup yang dikuasainya, rendahnya pajak yang dibayarkannya, serta lebih jelasnya lagi ialah hengkangnya kapital Liem secara perlahan dari Indonesia.21 Pada akhir 1980-an Liem mulai memperluas kepemilikan basis kerajaan bisnisnya. Ia mengumumkan bahwa 30%-35% saham di Indocement, perusahaan dengan laporan asetnya sebesar 2,5 miliar dolar AS, akan dijual bertahap kepada publik. Dalam istilah politik, kepemilikanpublik akan mencairkan perasaan anti-Cina dan kritik anticukong yang ditujukan kepada dirinya.

(11)

Tabel.2 Grup Liem (Perusahaan yang Berbasis di Indonesia)22

22 Sumber dihimpun dari: BNPT; Insight (HK); ICN; Tempo; Rowley; Habir & Rowley; dan FEER dalam R.Robison (1986), hal. 236-237 23 BNPT 275-1970 dalam R. Robison (1986), hal. 236

(12)
(13)

Grup Liem Grup Sahid Grup Jaya

PT KRAKATAU COLD ROLLING MILL

Liem 40%

Krakatau Steel 40%

Grup Jaya 20%

PT NUGRAHA KENCANA JAYA PT CAHAYA TUGU KENCANA

PT CENTRAL SALIM BUILDERS

PT RIMBA KENCANA

Liem 25%

(14)

V. Kesimpulan

Bangkit dan berkembangnya satu kelas borjuasi konglomerat di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh negara. Orde Baru sebagai satu fase bangkitnya kapitalisme di Indonesia, dimana terjadi proses akumulasi kekayaan secara ekstrim di tangan sejumlah keluarga dan grup bisnis dalam waktu yang singkat, menjalankan praktik kapitalisme kroni dimana Presiden Soeharto sendiri menjadi patron-nya. Penguasa pada era orde baru memegang kendali untuk mengalokasikan pembagian hak monopoli dalam bentuk lisensi, maupun kontrak dan konsesi. Seringkali prosesnya tidak mengikuti alur resmi sesuai dengan kerangka legal-institusional, melainkan sarat dengan kepentingan bisnis grup atau keluarga tertentu.

Liem Sioe Liong (Grup Salim) merupakan salah satu contoh pengusaha perantauan asal Tiongkok yang sukses membangun relasi bisnisnya dengan kekuasaan Orde Baru sehingga ia memperoleh keuntungan yang tinggi dari bekerjanya struktur kapitalisme kroni yang dibangun oleh Soeharto. Dihidupkannya kembali kebijakan intervensi negara pada era pertengahan 1970-an sebagai akibat melonjaknya pendapatan negara dalam sektor ekstratif, memungkinkan kelompok-kelompok bisnis kroni di sekitar penguasa Orde Baru berkembang pesat karena memperoleh proteksi dan insentif fiskal yang diberikan oleh negara.

Praktik kapitalisme kroni yang berlangsung selama periode pertengahan Orde Baru, memberikan satu interpretasi baru dalam memahami dan menafsirkan kebijakan perekonomian negara pada waktu itu yang ternyata tidak semata-mata dibentuk atas kriteria yang rasional, objektif, dan universal demi kepentingan nasional, akan tetapi juga sarat dengan kepentingan kelompok bisnis, yayasan, dan keluarga tertentu yang dekat dengan kekuasaan. Hal ini tetap berlangsung hingga menurunnya kemampuan fiskal pemerintah akibat turunnya harga minyak dunia, sehingga memaksa Orde Baru mengambil sejumlah langkah penyesuaian struktural dan deregulasi pada pertengahan 1980-an.

VI. Daftar Pustaka

Buku

Ahmad Taufan Damanik. 2010. Ekonomi Politik Pancasila: Negara dan Keadilan Sosial. Jakarta: Kalam Nusantara

(15)

Richard Robison. 1986. Indonesia: The Rise of Capital. New South Wales: Allen & Unwin Pty Ltd.

Yoshihara Kunio. 1990.Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES

Publikasi& Media

A White Paper by the Committee for Economic Development of The Conference Board, Crony Capitalism: Unhealthy Relations Between Business and Government. 2015

Business News Paper Today No. 258-1970 Business News Paper TodayNo. 275-1970 Business News Paper TodayNo. 678-1973 Business News Paper TodayNo. 273-1974 Harian Kompas, Edisi 29 September 1976

Indonesian Commercial Newsletter (Eksekutif) No.166, 26 Januari 1981 Indonesian Commercial Newsletter (Eksekutif) No.201, 5 Juli 1982

James C. Scott, Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia, American Political Science Review, 66 (Maret 1972)

J.P Manguno & S.K. Witcher, Soeharto Relatives, Officials Gain Control of Indonesian Flour Trade,dalam Asian Wall Street Journal, Edisi 23 November 1980

Koran Ekuin, Edisi 28 Februari 1983 Koran Ekuin, Edisi 29 Januari 1983

R. Salamon, Chin Sophonpanich, the Bangkok Connection,dalam Insight, Edisi Juni 1978

Referensi

Dokumen terkait

b) laksanakan sejauh mungkin kegiatan kegiatan inkuri untuk semua topik sehingga pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh pesertadidik bukan sekedar hasil

Keterbatasan lahan ini menyebabkan pengolahan lahan di Kejajar menjadi sangat intensif, bahkan menurut beberapa sumber yang diwawancara, kondisi seperti ini yang pada masa lalu

Pasien mengatakan nyeri perut karena luka Post Section Caesarea.. Dokter menyarankan SC untuk menyelamatkan ibu dan janin. Pada tanggal 15 April 2015 pukul 10.00 pasien telah

Sedang posisi bumi terhadap lintasannya (falaknya) tidak berada tegak lurus, tetapi membentuk sudut 23°30’. Untuk semua daerah di Bumi, siang dan malamnya sama

Maka dikeluarkanlah suatu kebijakan mengenai pengelolaan dan pembinaan pendidikan Islam yang dikenal dengan SKB 2 Menteri yakni Menteri Agama dan Menteri Pendidikan

Dalam penelitian ini pada 5 titik pengujian di ruas jalan Wori-Likupang Kabupaten Minahasa Utara, hubungan antara kuat geser lapangan yang dihasilkan dari

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran beberapa bahan silikat dan pupuk P dalam memperbaiki sifat kimia tanah Andisol dan pertumbuhan tanaman. Bahan tanah

Kista akan masuk ke tubuh manusia, jika makan daging yang tidak dimasak sempurna (setengah matang), sedangkan ookista akan masuk ke tubuh manusia melalui makan sayuran, buah, air