• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) A. Pengertian Perjanjian - Analisis Hukum tentang Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi untuk pekerjaan survey dan penyelidikan tanah SUTET 275 KV Sigli-Lhoksumawe dan SUTT 150 KV Takengon-Blang Kjeren, st

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) A. Pengertian Perjanjian - Analisis Hukum tentang Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi untuk pekerjaan survey dan penyelidikan tanah SUTET 275 KV Sigli-Lhoksumawe dan SUTT 150 KV Takengon-Blang Kjeren, st"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK)

A. Pengertian Perjanjian

Istilah perjanjian berasal dari terjemahan bahasa Belanda yang disebut

overeenkomst sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan contract. Istilah

kontrak atau perjanjian dalam sistem hukum nasional memiliki pengertian yang

sama, seperti halnya di Belanda tidak dibedakan antara pengertian contract dan

overeenkomst.9

Perjanjian dalam KUH Perdata diatur dalam Buku III tentang Perikatan.

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih. Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini tidak jelas karena di

dalam rumusan tersebut disebutkan perbuatan saja sehingga yang bukan perbuatan

hukum pun disebut dengan perjanjian selain itu tidak tampak asas konsensualisme

yang menyebutkan adanya hubungan hukum timbal balik antarpihak yang saling

mengikatkan diri.

10

9

Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Masnusia Modern, Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 43.

10

H. Salim HS, H. Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 7.

Selain itu pandangan kritis terhadap pengertian perjanjian

(2)

1. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan dan setiap

sumber perikatan, sebab apabila penafsiran dilakukan secara luas,

setiap janji adalah persetujuan;

2. Perkataan dan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas dapat

menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan (misal: perbuatan

yang menimbulkan kerugian sebagai akibat adanya perbuatan

melanggar hukum);

3. Definisi Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan

sepihak (unilateral), satu pihak sajalah yang berprestasi, sedangkan

pihak lainnya tidak berprestasi (misal: schenking atau hibah).

Seharusnya persetujuan itu berdimensi dua pihak, dimana para pihak

saling berprestasi;

4. Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan obligatoir

(melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku

bagi persetujuan jenis lainnya (misal: perjanjian liberatoir/

membebaskan; perjanjian di lapangan hukum keluarga; perjanjian

kebendaan; perjanjian pembuktian)11

Dengan demikian, definisi itu perlu dilengkapi dan disempurnakan dengan

suatu rumusan tertentu namun cukup sulit untuk menemukan rumusan tersebut

karena masing-masing sarjana mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Menurut

H. Salim HS, pengertian perjanjian adalah hubungan hukum antara subjek hukum

yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana

11

(3)

subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang

lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah

disepakatinya. Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro suatu perjanjian

diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara

dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk

melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain

berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

Menurut S.B Marsh dan J. Soulsby dalam bukunya yang dialihbahasakan

oleh Abdulkadir Muhammad menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah

semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan

kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan

transaksi dagang, seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi,

pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha, dan sebegitu jauh

menyangkut juga tenaga kerja.12

Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu:

13

a. Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak

sebagai subjek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum;

b. Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau

dalam membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk

mengadakan tawar-menawar di antara mereka;

c. Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun

oleh pihak lain, selaku subjek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai

12

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 2006, hal. 93.

13

(4)

tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak

boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban

umum;

d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian

mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya

saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi

suatu prestasi, bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya;

e. Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun

tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat

sesuai dengan ketentuan yang ada;

f. Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada

syarat-syarat tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Unsur-unsur yang terkandung dalam kontrak juga diuraikan oleh Ahamadi

Miru, yaitu:14

1. Unsur esensialia adalah unsur yang harus ada dalam suatu kontrak, karena

jika tidak tidak ada unsur ini maka kontrak tidak ada;

2. Unsur naturalia adalah unsur yang telah diatur dalam undang-undang,

sehingga jika tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, maka

undang-undang yang mengaturnya;

3. Unsur aksidentalia adalah unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak

jika para pihak memperjanjikannya. Demikian pula klausul-klausul

14

(5)

lainnya yangs ering ditentukan dalam kontrak, yang bukan merupakan

unsur esensial dalam kontrak.

Ketentuan-ketentuan dalam buku III KUH Perdata menganut sistem

terbuka, artinya memberikan kebebasan kepada para pihak (dalam hal menentuka

isi, bentuk, serta macam perjanjian) untuk mengadakan perjanjian akan tetapi

isinya selain tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan, dan

ketertiban umum, juga harus memenuhi syarat sahnya perjanjian.

Ketentuan yang terdapat dalam hukum perjanjian merupakan kaidah

hukum mengatur, artinya kaidah-kaidah hukum yang dalam kenyataannya dapat

dikesampingkan oleh para pihak dengan membuat ketentuan-ketentuan atau

aturan-aturan khusus di dalam perjanjian yang mereka adakan sendiri.

Kaidah-kaidah hukum semacam itu baru akan berlaku (dan karena itu jadi memaksa)

dalam hal para pihak tidak menetapkan peraturan-peraturan sendiri di dalam

perjanjian yang mereka adakan. Kaidah-kaidah hukum seperti semacam itu ada

yang menamakan dengan istilah hukum pelengkap atau hukum penambah

(Optional law atau aanvullendrecht). Hal ini ditegaskan pula oleh Subekti bahwa

pasal-pasal tersebut boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak

yang membuat suatu perjanjian.15

B. Syarat-syarat sahnya perjanjian

Syarat sahnya perjanjian agar mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan

mengikat harus memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang diatur dalam

15

(6)

pasal 1320 KUH Perdata. Apabila salah satu syarat atau lebih syarat tidak

terpenuhi, maka perjanjian tersebut tidak sah sehingga akibat-akibat hukumnya

pun sebagaimana dimaksudkan tidak terjadi pula.16

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Syarat-syarat tersebut adalah:

Syarat pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau

konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH

Perdata. Kesepakatan merupakan persesuaian pendapat satu sama lainnya tentang

isi perjanjian dan mencerminkan kehendak untuk mengikatkan diri. Hal yang

penting pada suatu perjanjian adalah bahwa masing-masing pihak menyatakan

persetujuannya sesuai dengan pernyataan pihak lainnya.17

1) Bahasa yang sempurna dan tertulis;

Yang sesuai itu adalah

pernyataannya karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada

lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:

2) Bahasa yang sempurna secara lisan;

3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Hal

ini mengingat dalam kenyataannya sering kali seseorang

menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti

oleh pihak lawannya;

4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; dan

5) Diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan18

16

A. Qirom Syamsuddin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Yogyakarta, Liberty, 1985, hal. 11.

17

Mohd. Syaufii Syamsuddin, Op.Cit, hal. 7.

18

(7)

Kata sepakat mereka disini harus diberikan secara bebas. Walaupun syarat

kata sepakat ini sudah dirasakan atau dianggap telah dipenuhi, mungkin terdapat

suatu kekhilafan dimana suatu perjanjian yang telah disepakati itu, pada dasarnya

ternyata bukan perjanjian, apabila kedua belah pihak beranggapan menghendaki

sesuatu yang sama akan tetapi tidak. Keadaan ini kita jumpai bilamana terjadi

kekhilafan. Perjanjian yang timbul secara demikian dalam beberapa hal dapat

dibatalkan.19

Yang menjadi persoalan adalah sejak kapan syarat kesepakatan tersebut

terpenuhi. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat sukar untuk ditentukan. Untuk

itu pada umumnya para praktisi hukum lebih cenderung berpendapat bahwa untuk

mengetahui sejak kapan syarat tersebut terpenuhi, dengan memahami proses

terjadinya kesepakatan, yang dalam praktek hukum perjanjian disebut sebagai

proses penawaran dan penerimaan. Perjanjian terjadi bila ada suatu penawaran

yang diikuti dengan penerimaan, atau sebagai ijab kabul. Untuk itu, diperlukan

adanya pihak yang menawarkan dan adanya pihak yang menerima penawaran.

Penawaran pada asasnya merupakan pernyataan kehendak, oleh karenanya harus

dinyatakan/diutarakan, penawaran adalah suatu usul yang telah dibuat sedemikian

rupa dan bila penawaran tersebut diterima, akan melahirkan perjanjian.20

Kata sepakat dapat terjadi karena beberapa hal yang tidak dibenarkan

secara hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1321 KUH Perdata yaitu

“tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau

diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Dalam praktiknya ada beberapa hal

19

A. Qirom Syamsudin Meliala, Op.Cit, hal. 9.

20

(8)

perbuatan yang tidak dibenarkan secara hukum terjadi pada proses pencapaian

kesepakatan, yaitu21

1) Penipuan (fraud)

:

Penipuan adalah dengan sengaja mengajukan gambaran atau fakta yang salah

untuk memasuki hubungan kontrak. Untuk itu pihak yang tidak bersalah harus

bersandar pada gambaran yang salah tadi dan secara finansial, pihak yang

merugikan orang lain wajib membayar ganti rugi.

2) Kesalahan (mistake)

Kesalahan adalah apabila dua pihak mengadakan perjanjian denngan fakta yang

ternyata salah, sehingga pihak tadi dapat membatalkan kontrak setelah

mengetahui fakta yang sebenarnya.

3) Paksaan (Duress)

Paksaan terjadi apabila salah satu pihak lain menyetujui kontrak dengan ancaman

penjara, jiwa, atau badan. Ancaman ini dapat saja dilakukan terhadap dirinya,

keluarganya, dan ancamannya tidak bersifat fisik, misalnya ancaman untuk

membuat bangkrut atau tidak mendapatkan kekayaan yang menjadi haknya.

4) Penyalahgunaan keadaan (undue influence)

Penyalahgunaan keadaan tidak diatur dalam KUH Perdata. Namun, ketiadaan

aturan hukum positif tidak berarti bahwa penyelahgunaan keadaan tidak dapat

diterapkan dalam penyelesaian kasus-kasus perdata di Indonesia. Buktinya, ada

dua putusan Mahkamah Agung (MA) yang dapat dianggap sebagai yurisprudensi,

yang dalam konsideransnya memuat pertimbangan terjadinya penyalahgunaan

21

(9)

keadaan oleh satu diantara dua pihak yang melaksanakan perjanjian, yaitu Putusan

Mahkamah Agung Nomor 1904K/Sip/1982 dan Putusan Mahkamah Agung

Nomor 3431K/Pdt/1985.22

Dalam KUH Perdata tidak disebutkan secara jelas tentang momentum

terjadinya perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata hanya disebutkan cukup

dengan adanya konsensus (kesepakatan) para pihak. Dalam berbagai literatur

disebutkan empat teori yang membahas momentum terjadinya perjanjian, yaitu:

Pada hakikatnya ajaran penyalahgunaan keadaan bertumpu pada dua hal

berikut, yaitu penyalahgunaan keunggulan ekonomi dan penyalahgunaan

kejiwaan. Rutinga menyebutkan inti penyalahgunaan keunggulan ekonomis

terletak pada ketidakseimbangan kekuatan dalam melakukan tawar-menawar

(inequality of bargaining power) atau perundingan antara pihak ekonomi kuat

terhadap pihak ekonomi lemah. Adapun penyalahgunaan keunggulan kejiwaan

terjadi apabila salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif atau

keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lain. Pihak yang dirugikan dibujuk untuk

melakukan perbuatan hukum yang sama sekali tidak dikehendakinya, seperti

misalnya status sosial, hubungan dokter dan pasien, pengacara dan klien, dan

lain-lain.

23

a. Teori Pernyataan (Uitingstheorie)

Menurut teori pernyataan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak

yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran

itu. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru

22

Muhammad Syaifuddin, Op.Cit. hal 120. 23

(10)

menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah

terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap

terjadinya kesepakatan secara otomatis.

b. Teori Pengiriman (verzendtheorie)

Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi apabila pihak yang

menerima penawaran mengirimkan telegram. Kritik terhadap teori ini

bagaimana hal itu bisa diketahui. Bisa saja, walau sudah dikirim tetapi

tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan. Teori ini juga sangat teoritis,

dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.

c. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)

Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak

yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie (penerimaan), tetapi

penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung).

Kritik terhadap teori ini, bagaimana ia mengetahui isi penerimaan itu

apabila ia belum menerimanya.

d. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie)

Menurut teori penerimaan bahwa kesepakatan terjadi pada saat pihak yang

menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

Didalam hukum positif Belanda, juga diikuti yurisprudensi, maupun

doktrin, teori yang dianut adalah teori pengetahuan (vernemingstheorie) dengan

sedikit koreksi dari teori penerimaan (Ontvangstheorie). Maksudnya penerapan

teori pengetahuan tidak secara mutlak, sebab lalu lintas hukum menghendaki

(11)

pengetahuan yang dianut. Diperlukan waktu yang lama jika harus menunggu

sampai mengetahui secara langsung adanya jawaban dari pihak lawan (Teori

penerimaan). 24

Logemann menyebut badan hukum sebagai suatu personifikasi atau

perwujudan (bestendigheid) hak dan kewajiban. Sedangkan R. Subekti

mengatakan badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan

yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia,

serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.

Disamping itu, Wirjono Prodjodikoro juga mengemukakan pengertian suatu

badan hukum yaitu badan, disamping manusia perseorangan yang dianggap dapat 2. Kecakapan bertindak

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan

hubungan hukum. Yang dapat melakukan suatu hubungan hukum adalah

pendukung hak dan kewajiban, baik orang (natuurlijk persoon) atau badan hukum

(rechtspersoon), yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, badan hukum

tersebut harus memenuhi syarat sebagai badan hukum yang sah. Dengan

terpenuhinya syarat tersebut, barulah badan hukum itu dapat disebut sebagai

pendukung hak dan kewajiban atau sebagai subjek hukum yang dapat melakukan

hubungan hukum.

(12)

bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, juga kewajiban-kewajiban

dan hubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.25

Perseroan Terbatas (PT) merupakan suatu bentuk organisasi yang diakui

hukum yang dijadikan sebagai subjek hukum. Sebagai subjek hukum, PT

merupakan pendukung hak dan kewajiban. Agar suatu PT dapat menjalankan

fungsinya sebagai rechtspersoon, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi

yaitu26

1. Para pendiri harus mendirikan PT berdasarkan akta notaris, akta yang

mencakup pula amggaran dasar dan keterangan lain berkaitan dengan

pendirian perseroan. :

2. Para pendiri bersama-sama mengajukan permohonan pengesahan

kepada Menteri Hukum dan HAM melalui jasa Teknologi Informasi

Sistem Administrasi Badan Hukum secara elektronik.

3. Setelah melakukan pengesahan, menteri akan melakukan pendaftaran

PT

4. Pengumuman di Tambahan Berita Negara RI oleh menteri.27

Jika para pihak yang membuat perjanjian adalah orang, orang yang

dianggap sebagai subjek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum dengan

pihak lain, adalah orang-orang tidak termasuk di dalam ketentuan Pasal 1330

KUH Perdata, yaitu28:

25

Mulhadi, Hukum Perusahaan: Bentuk-bentuk Badan Usaha di Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010, hal. 73-74.

26

Hukumonline.com. Tanya Jawab Hukum Perusahaan, Jakarta, Visimedia, 2009, hal. 6.

27

Lihat UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

28

(13)

a. Orang yang belum dewasa

Kriteria mengenai orang yang belum dewasa menurut KUH Perdata adalah

mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan sebelumnya

belum kawin. Namun masih terdapat perdebatan mengenai standar usia dewasa.

Menurut J. Satrio dengan menerapkan asas lex posteriori derogat lex priori, maka

seharusnya nalar penetapan usia dewasa yang mendasarkan Pasal 330 jo. Pasal

1330 KUH Perdata menjadi absurd dan melanggar asas hukum tersebut. Artinya,

sejak diundangkan dan berlakunya secara efektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan maka ketentuan-ketentuan mengenai kedewasaan dalam

pasal 330 jo. Pasal 1330 KUH Perdata tidak lagi dijadikan sumber hukum.

Jadi, usia dewasa yang berlaku secara umum terkait dengan kecakapan

untuk melakukan perbuatan hukum adalah 18 tahun. Hal ini juga dipertegas oleh

Mahkamah Agung RI Putusan MA No. 477K/Sip/1976, tanggal 13 Oktober 1976.

Usia 18 tahun sebagai standar usia dewasa menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974, dalam perkembangannya kemudian diadopsi secara sinkron dan

konsisten oleh aturan positif lainnya, yaitu Pasal 5 jo. Pasal 61 Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 39 Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris, dan Pasal 5 jo. Pasal 6, Pasal 9,

Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia. 29

29

(14)

b. Mereka yang berada di bawah pengampuan

Orang-orang yang diletakkan dibawah pengampuan adalah setiap orang

dewasa yang selalu berada dalam keadaan kurang akal, sakit ingatan atau boros.

Pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu

menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk

mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang berada dibawah pengampuan

mengadakan perjanjian, yang mewakilinya adalah orang tuanya atau

pengampunya.30

c. Orang perempuan yang bersuami.

Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung

jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang

ditaruh dibawah pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan

harta kekayaannya. Ia berada dibawah pengawasan pengampu. Kedudukannya

sama dengan seorang anak yang belum dewasa, kalau seorang anak yang belum

dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, seorang dewasa yang ditaruh

dibawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.

Pada awalnya, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan

suatu perjanjian memerlukan bantuan atau izin tertulis dari suaminya. Tidak

cakapnya seorang perempuan yang bersuami berdasarkan KUH Perdata itu, di

Negara Belanda sendiri sudah dicabut karena dianggap tidak sesuai lagi dengan

kemajuan zaman. Ketentuan tersebut di Indonesia sudah dihapuskan. Mahkamah

Agung menganggap Pasal 108 s/d 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang

30

(15)

istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan

pengadilan tanpa bantuan atau izin dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi.

Setelah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun

1963, maka sejak saat itu seorang perempuan yang masih mempunyai suami telah

dapat bertindak bebas dalam melakukan perbuatan hukum serta sudah

diperbolehkan menghadap di muka pengadilan tanpa seijin suami dan kemudian

setelah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963

sejak saat itu beberapa pasal dalam KUH Perdata sudah dinyatakan tidak berlaku

lagi, antara lain pasal 108, 110, 284 ayat 3 dan pasal 1238 KUH Perdata.31

d. Orang yang dilarang Undang-undang

Dalam kasus orang yang dilarang oleh undang-undang, dapat diambil contoh dari

ketentuan Pasal 1601i KUH Perdata. Dalam ketentuan itu diatur bahwa perjanjian

kerja antara suami istri adalah batal, dengan demikian undang-undang melarang

suami dan istri untuk membuat perjanjian kerja.

3. Suatu Hal tertentu

Pengertian suatu hal tertentu mengarah kepada barang yang menjadi objek

suatu perjanjian yang telah ditentukan dan disepakati. Menurut Pasal 1333 KUH

Perdata, barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu,

setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan

asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.32

31

A. Qirom Syamsudin Meliala, Op.Cit, hal. 10.

32

(16)

Objek hukum kontrak, menurut R. Setiawan, harus memenuhi beberapa

syarat tertentu agar sah, yaitu:33

1. Objeknya harus tertentu atau dapat ditentukan (Pasal 1320 sub 3 KUH

Perdata)

2. Objeknya diperkenankan oleh undang-undang (Pasal 1335 dan 1337

KUH Perdata)

3. Prestasinya dimungkinkan untuk dilaksanakan.

Lebih lanjut dijelaskan dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang

menjadi objek perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi

kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri dari

perbuatan positif dan negatif. Bersifat positif jika isi perjanjian ditentukan untuk

melakukan/berbuat sesuatu (te doen). Ini timbul misalnya dalam perjanjian kerja

seperti diatur dalam Pasal 1603 KUH Perdata, pekerja wajib sedapat mungkin

melakukan pekerjaan sebaik-baiknya sedangkan bersifat negatif jika isi perjanjian

memperjanjikan untuk tidak berbuat/melakukan sesuatu (niet te doen)34

1) memberikan sesuatu,

. Prestasi

ini terdiri atas:

2) berbuat sesuatu, dan

3) tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).

Misalnya, jual beli rumah. Yang menjadi prestasi/pokok perjanjian adalah

menyerahkan hak milik atas rumah dan menyerahkan uang harga dari pembelian

33

Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal 68

34

(17)

rumah itu dan dalam perjanjian kerja maka yang menjadi pokok perjanjian adalah

melakukan pekerjaan dan membayar upah.35

Pembentuk undang-undang berpandangan bahwa perjanjian mungkin juga

diadakan tanpa sebab atau dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang.

Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan

hukum.

4. Suatu Sebab yang Halal

Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah mengenai isi perjanjian

harus dihilangkan kemungkinan salah sangka, bahwa itu adalah sesuatu yang

menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud. Menurut

Yurisprudensi yang ditafsirkan dengan kata sebab adalah isi atau maksud dari

perjanjian. Hakim dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian itu dapat

dilaksanakan dan apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang,

ketertiban umum, dan kesusilaan.

Mengenai sebab yang halal ini diatur dalam Pasal 1336 KUH Perdata yang

menyebutkan:

“Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada sebab yang lain, dari pada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah”

36

Keempat syarat tersebut dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu37

1. Syarat Subjektif

:

35

Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori& Teknik penyusunan kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, 2003, hal. 34

36

Lihat pasal 1335 KUH Perdata

37

(18)

Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut antara pihak yang

mengikatkan diri dan syarat tentang kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

Dalam syarat subjektif, jika syarat itu tidak dipenuhi perjanjiannya bukan

batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya

perjanjian itu dibatalkan (vernietigbaar). Pihak yang dapat meminta pembatalan

itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara

tidak bebas yaitu orang tua atau walinya, atau pun dirinya sendiri apabila kelak

sudah menjadi cakap dan/atau pihak yang memberikan izin atau menyetujui

perjanjian itu secara tidak bebas.

Dalam Pasal 1446 KUH Perdata disebutkan bahwa:

semua perikatan yang dibuat oleh orang belum dewasa atau orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, adalah batal demi hukum, dan atas penuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Perikatan yang dibuat oleh orang-orang perempuan yang bersuami dan oleh orang-orang belum dewasa yang telah mendapat suatu pernyataan persamaan dengan orang dewasa, hanyalah batal demi hokum, sekedar perikatan-perikatan tersebut melampaui kekuasaan mereka.

Disini perjanjian yang telah dibuat itu tetap mengikat, selama tidak

dibatalkan oleh hakim atas tuntutan pihak yang berhak meminta pembatalan.

Dengan demikian, kelanjutan perjanjian itu seperti tidak pasti dan tergantung pada

kesediaan suatu pihak untuk mentaatinya.

Untuk menghilangkan ancaman pembatalan, oleh undang-undang

kemudian diberi jalan keluarnya, suatu perjanjian dapat dilakukan dengan

penguatan oleh orang tua, wali atau pengampu tersebut. Penguatan yang demikian

(19)

orang yang dalam suatu perjanjian telah memberikan sepakatnya secara tidak

bebas, dapat pula menguatkan perjanjian yang dibuatnya, baik secara tegas

maupun secara diam-diam. Oleh karena itu, dalam hal adanya kekurangan

mengenai syarat subjektif, undang-undang menyerahkan kepada para pihak untuk

melakukan pembatalan perjanjian atau tidak. Perjanjian demikian itu tidak batal

demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan.

2. Syarat Objektif

Syarat objektif adalah mengenai objek yang diperjanjikan, yaitu tentang

syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila yang tidak terpenuhi

dalam suatu perjanjian adalah syarat objektif, perjanjian tersebut batal demi

hukum (nietig), karenanya tujuan para pihak untuk membuat suatu perjanjian

menjadi batal. Karena objek yang diperjanjikan batal, perjanjiannya otomatis batal

demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan

hakim.

Berkaitan dengan pembahasan mengenai syarat sahnya perjanjian ini,

Asser membedakan bagian perjanjian, yaitu bagian perjanjian inti dan bagian

yang bukan inti. Bagian inti disebutkan esensialia, bagian non inti terdiri dari

naturalia dan aksidentalia. Esensialia, bagian ini merupakan sifat yang harus ada

di dalam perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian tercipta,

seperti para pihak dan objek dari perjanjian. Naturalia, bagian yang merupakan

bawaan dari perjanjian, secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti

(20)

bagian yang merupakan sifat yang melekat pada perjanjian oleh para pihak,

seperti ketentuan-ketentuan mengenai domisili para pihak.38

1. Asas kebebasan berkontrak

C. Asas-asas Hukum perjanjian

Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas, antara lain:

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1)

KUH Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan

berkontrak adalah asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

a. membuat atau tidak membuat perjanjian

b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun

c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan

d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Asas kebebasan berkontrak yang disebut di dalam Pasal 1338 ayat (1)

KUH Perdata bukan berarti bahwa tidak ada batasannya sama sekali, melainkan

kebebasan seseorang dalam membuat perjanjian tersebut hanya sejauh perjanjian

yang dibuatnya itu tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan

undang-undang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1337 KUH Perdata.39

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham

individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan

oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisance melalui

38 Ibid.

39

(21)

antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan

Rousseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh

apa yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam

“kebebasan berkontrak”. Pada akhir abad ke-9, akibat desakan paham etis dan

sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya

Perang Dunia II. Paham ini tidak mencerminkan keadilan karena paham

individualis memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat (ekonomi)

untuk menguasai golongan lemah (ekonomi). Masyarakat ingin pihak yang lemah

mendapatkan perlindungan. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum

menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.

Akibatnya asas kebebasan berkontrak ini semakin sempit dilihat dari beberapa

segi, yaitu dari segi: a) kepentingan umum, b) perjanjian baku, dan c) perjanjian

dengan pemerintah.40

2. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH

Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian

yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan

asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara

formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan

meruapakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua

belah pihak.

40

(22)

Salah satu bentuk konsensualisme suatu perjanjian yang dibuat secara

tertulis adalah adanya pembubuhan tanda tangan dari pihak yang terlibat

perjanjian dimaksud. Tanda tangan mana selain berfungsi sebagai wujud

kesepakatan/persetujuan atas tempat dan waktu serta isi perjanjian, juga

berhubungan dengan kesengajaan para pihak untuk membuat kontrak sebagai

bukti atas suatu peristiwa.41

Terhadap asas konsensualisme ini ada pengecualiannya, yaitu apabila

ditentukan suatu formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian dengan

ancaman batal apabila tidak dipenuhi formalitas tersebut, seperti misalnya

perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tidak bergerak harus dilakukan

dengan akta notaris, perjanjian harus diadakan secara tertulis. Perjanjian ini

dinamakan perjanjian formal.42

3. Asas Keseimbangan

Kata keseimbangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti

keadaan seimbang (seimbang-sama berat, setimbang, sebanding, setimpal). Dalam

hubungannya dengan kontrak, secara umum asas keseimbangan bermakna sebagai

keseimbangan posisi para pihak yang membuat kontrak.43

Menurut AB Massier & Marjanne Termorshuizen-Arts, dalam

hubungannya dengan perikatan, keseimbangan (evenwichtigheid) menunjuk dasar

bagi keseimbangan dan keserasian dalam kontrak tersurat dalam Pasal 1320 KUH

41

Adriean Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa: Dan berbagai permasalahannya, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hal. 41.

42

A. Qirom Syamsuddin Meliala, Op.Cit, hal. 21. 43

(23)

Perdata, hanya jika dalam keadaan in concreto ada keseimbangan dan keserasian,

maka tercapailah kesepakatan atau konsensus yang sah antara para pihak. Untuk

penerapannya hakim memperhatikan adanya indikasi/patokan tertentu yang

merupakan dasar bagi kesimpulan bahwa telah terjadi penyalahgunaan keadaan

yang dimungkinkan karena adanya ketidakseimbangan kedudukan para pihak.44

Asas keseimbangan menurut Herlien Budiono dilandaskan pada upaya

mencapai suatu keadaan seimbang yang sebagai akibat darinya harus

memunculkan pengalihan kekayaan secara absah. Tidak terpenuhinya

keseimbangan berpengaruh terhadap kekuatan yuridikal kontrak. Dalam

terbentuknya kontrak, ketidakseimbangan dapat muncul, karena perilaku para

pihak sendiri maupun sebagai konsekuensi dari substansi (muatan isi) kontrak

atau pelaksanaan kontrak. Pencapaian keadaan seimbang, mengimplikasikan

dalam konteks pengharapan masa depan yang objektif, upaya mencegah

dirugikannya satu diantara dua pihak dalam kontrak.45

4. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum.

Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus

menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana

layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi

terhadap substansi perjanjian uang dibuat oleh para pihak.

44 Ibid.

45

(24)

Jadi dengan demikian maka pihak ketiga tidak bisa mendapatkan kerugian

karena perbuatan mereka dan juga pihak ketiga tidak mendapatkan keuntungan

karena perbuatan mereka itu, kecuali kalau perjanjian itu dimaksudkan untuk

pihak ketiga.46

5. Asas Itikad Baik (Goede Trouw)

Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1)

KUH Perdata, yang berbunyi: “ Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang “.Menurut Subekti bahwa: “Tujuan asas pacta sunt servanda

adalah untuk memberikan perlindungan kepada para pembeli bahwa mereka tak

perlu khawatir akan hak-haknya karena perjanjian itu berlaku sebagai

undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”.

Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Pasal

1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan

itikad baik.” Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak

kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan

kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas

itikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik

mutlak. Pada itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang

nyata dari subjek. Pada itikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat

dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak

memihak) menurut norma-norma yang objektif.

46

(25)

KUH Perdata hanya mengatur prinsip itikad baik (good faith) pada saat

pelaksanaan kontrak; padahal sebenarnya dalam tahap negosiasi itupun sudah

timbul hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak demi menegakkan

prinsip itikad baik dan transaksi wajar/jujur ( good faith dan fair dealing).

Perlu kita pahami bahwa mekanisme terjadinya kontrak dalam dunia

bisnis/komersial selalu didahului oleh tahap negosiasi dimana masing-masing

pihak mengajukan letter of intent yang memuat keinginan masing-masing pihak

untuk membuat suatu kontrak. Selanjutnya setelah ada kesepahaman atas

kehendak untuk mengadakan kontrak tersebut, maka para pihak akan membuat

Memorandum of Understanding” (MOU) yang memuat keinginan

masing-masing pihak sekaligus adanya tenggang waktu pencapaian kesepakatan untuk

terjadinya kontrak. Proses inilah yang disebut sebagai proses Prakontrak.

Dalam tahap prakontrak ini masing-masing pihak harus menegakkan prinsip

itikad baik, yang oleh karena itu jika salah satu pihak beritikad buruk, maka

haruslah disediakan sarana hukum berupa hak gugat dan hak untuk menuntut

ganti rugi dalam tahap prakontrak.47

Untuk sebagai pedoman, dalam Prinsip Kontrak Komersial International

UNIDROIT terdapat prinsip yang relevan dengan penggunaan itikad baik ini,

yaitu Prinsip nomor lima, yaitu Prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk

yang terdapat pada Pasal 2.15 UPICCs (Unidroit Principles of International

Commercial Contracts). Jadi dalam prinsip UNIDROIT tanggung jawab hukum

telah lahir sejak proses negosiasi. Dan prinsip hukum tentang negosiasi yaitu :

47

(26)

1. Kebebasan negosiasi;

2. Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk;

3. Tanggung jawab atas pembatalan negosiasi dengan itikad buruk.

Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk terbatas hanya pada kerugian

yang diakibatkannya terhadap pihak lain. Penuntutan hanya dapat dilakukan

dengan menggunakan prinsip good faith dan fair dealing dari hukum UNIDROIT

tersebut; yang dapat ditafsirkan bahwa pihak yang dirugikan hanya dapat

menuntut pengembalian atas biaya yang telah dikeluarkan dan atas kehilangan

kesempatan untuk melakukan kontrak dengan pihak ketiga. Akan tetapi ia tidak

dapat menuntut ganti rugi atas keuntungan yang diharapkan dari kontrak yang

batal diadakan itu.48

Seperti di Perancis pihak yang melakukan perundingan tanpa maksud

sungguh-sungguh untuk membuat perjanjian atau pihak yang membatalkan

perjanjian tanpa alasan yang tepat akan bertanggung jawab kepada pihak lainnya

atas dasar perbuatan melawan hukum, bahkan jika perundingan sudah mencapai

tingkat yang matang untuk lahirnya suatu perjanjian, pihak yang mengundurkan

diri dari perundingan mungkin saja dibebani kewajiban berdasarkan hubungan

kontraktual.49

6. Asas Kepatutan

Asas kepatutan mengarahkan substansi atau isi kontrak yang disepakati

para pihak yang akan dicantumkan dalam kontrak harus memperhatikan perasaan

48Ibid. 49

(27)

keadilan (rechtsgevoel) dalam masyarakat. Perasaan keadilan dalam masyarakat

inilah yang akan menentukan hubungan hukum diantara para pihak itu patut atau

tidak patut, adil atau tidak adil. 50

a. Fungsi melarang, artinya suatu kontrak yang bertentangan dengan

asas kepatutan itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan. Contoh:

dilarang membuat kontrak pinjam-meminjam uang dengan bunga

yang amat tinggi, karena bertentangan dengan asas kepatutan. Pemberlakuan asas kepatutan dalam suatu kontrak mengandung dua

fungsi, yaitu:

b. Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan

atau dilaksanakan asas kepatutan untuk mengisi kekosongan dalam

pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa isian tersebut, maka tujuan

dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.

Asas kepatutan yang maknanya diuaraikan diatas terkandung secara tegas

dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa:

“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala ssuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”

7. Asas Kepribadian (Personalitas)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang

yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan

perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH

Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “ Pada umumnya seseorang tidak

50

(28)

dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti

ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk

kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya

berlaku antara pihak yang membuatnya.” Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat

oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.

Namun, ketentuan itu ada pengecualiannya sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang berbunyi:

“Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya.

Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian

untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk

orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

Disamping kelima asas itu, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang

diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen

Kehakiman dari tanggal 17-19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan

asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas itu adalah asas kepercayaan, asas

persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas

(29)

D. Bentuk-bentuk dan fungsi Perjanjian 1. Bentuk Perjanjian

Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis dan

lisan. Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam

bentuk tulisan. Adapun perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh

para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak). Ada dua bentuk

perjanjian tertulis, yaitu yang dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta

autentik. 51

Akta dibawah tangan meruapakan akta yang dibuat oleh para pihak. Akta

ini dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:52

1. Akta di bawah tangan dimana para pihak menandatangani kontrak itu di

atas materai (tanpa keterlibatan pejabat umum);

2. Akta dibawah tangan yang didaftarkan (waarmerken) oleh notaris/pejabat

yang berwenang;

3. Akta di bawah tangan dan dilegalisasi oleh notaris/pejabat yang

berwenang.

Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang jabatan Notaris, istilah yang digunakan untuk akta di bawah tangan

yang dilegalisasi adalah akta di bawah tangan yang disahkan. Akta di bawah

tangan yang disahkan merupakan akta yang harus ditandatangani dan disahkan di

depan notaris/pejabat yang berwenang. Makna dilakukan pengesahan terhadap

akta di bawah tangan adalah

51

Salim HS, H. Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, Op.Cit, hal.16-17. 52

(30)

1. Notaris menjamin bahwa benar orang yang tercantum namanya dalam

kontrak adalah orang yang menandatangani kontrak;

2. Notaris menjamin bahwa tanggal tanda tangan tersebut dilakukan

pada tanggal yang disebutkan dalam kontrak.

Sementara istilah akta dibawah tangan yang didaftarkan (waarmerken) adalah

dibukukan. Akta di bawah tangan yang dibukukan merupakan akta yang telah

ditandatangani pada hari dan tanggal yang disebut dalam akta oleh para pihak, dan

tanda tangan tersebut bukan dihadapan notaris/pejabat yang berwenang. Makna

akta dibawah tangan yang dibukukan adalah notaris menjamin akta tersebut

memang benar telah ada pada hari dan tanggal dilakukan pendaftaran/pembukuan

oleh notaris.

Perjanjian yang dibuat di hadapan dan oleh notaris dibuat dalam bentuk

akta notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di hadapan dan di muka

pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk itu adalah

notaris, camat, PPAT, dan lain-lain. Jenis dokumen ini merupakan alat bukti yang

sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga. Ada tiga

fungsi akta notariel (akta autentik), yaitu:

1. Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan

perjanjian tertentu;

2. Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian

(31)

3. Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu, kecuali

jika ditentukan sebaliknya, para pihak telah mengadakan perjanjian dan

bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.

Akta notariel merupakan bukti prima factie mengenai fakta, yaitu pernyataan atau

perjanjian yang termuat dalam kata notaris, mengingat notaris di Indonesia adalah

pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk memberikan kesaksian atau

melegalisasi suatu fakta. Jika isi dari fakta semacam itu disangkal di suatu

pengadilan, maka pengadilan harus menghormati dan mengakui isi akta notariel,

kecuali jika pihak yang menyangkal dapat membuktikan bahwa bagian tertentu

dari akta telah diganti atau bahwa hal tersebut bukanlah yang disetujui oleh para

pihak, pembuktian mana sangat berat.

2. Fungsi Perjanjian

Perjanjian merupakan bagian yang melekat dari transaksi bisnis baik

dalam skala besar maupun kecil, baik domestik maupun internasional. Fungsinya

sangat penting dalam menjamin bahwa seluruh harapan yang dibentuk dan

janji-janji para pihak dapat terlaksana dan dipenuhi. Dalam hal terjadi pelanggaran

maka terdapat kompensasi yang harus dibayar. Perjanjian dengan demikian

merupakan sarana untuk memastikan bahwa apa yang hendak dicapai oleh para

pihak dapat diwujudkan. Atiyah mengatakan bahwa isi perjanjian pada umumnya

berkaitan dengan pertukaran ekonomi (economic exchange). Hukum perjanjian

(32)

pertukaran itu dan sekaligus memberikan bentuk perlindungan bagi pihak yang

dirugikan.

Menurut Beatson terdapat dua fungsi penting dari kontrak, yaitu pertama,

untuk menjamin terciptanya harapan atas janji yang telah dipertukarkan, dan

kedua, mempunyai fungsi konstitutif untuk memfasilitasi transaksi yang

direncanakan dan memberikan aturan bagi kelanjutannya ke depan. Semakin

kompleks suatu transaksi akan semakin tinggi kebutuhan mengenai perencanaan

dan semakin rinci pula ketentuan-ketentuan (dalam perjanjian) yang dibuat.53

Menurut pendapat lain, fungsi kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu

fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Fungsi yuridis kontrak adalah dapat

memberikan kepastian hukum bagi para pihak dalam hal mengatur hak dan

kewajiban para pihak, mengamankan transaksi bisnis, dan mengatur tentang pola

penyelesaian sengketa yang timbul antara kedua belah pihak sedangkan fungsi

ekonomis adalah menggerakkan (hak milik) sumber daya dari nilai penggunaan

yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.54

Prestasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap

perikatan. Pemenuhan prestasi adalah hakekat dari suatu perikatan. Menurut

ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata, setiap perikatan adalah untuk memberikan

sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu (te geven, te

E. Prestasi dan Wanprestasi. 1. Prestasi

53

Sogar Simamora, Op.Cit, hal. 25-26.

54

(33)

doen, of niet te doen). Dengan demikian wujud prestasi itu adalah memberikan

sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.55 Prestasi yang harus

dilaksanakan para pihak haruslah benar-benar sesuatu yang mungkin dapat

dilaksanakan. Adalah sesuatu hal yang benar-benar bertentangan dengan

kepatutan untuk membebani para pihak dengan suatu prestasi yang tidak mungkin

dilaksanakan. Perjanjian yang prestasinya sama sekali tidak mungkin dilakukan

sejak dari semula membuat persetujuan, perjanjian yang demikian dengan

sendirinya dianggap tidak berharga (ongeldig) dan tidak ada kewajiban para pihak

untuk memenuhinya. Sebab ketidakmungkinan itu telah menghapuskan kewajiban

itu sendiri. Hal ini telah menajdi prinsip umum dalam kehidupan hukum yang

berbunyi: impossibilium nulla obligation est, artinya ketidakmungkinan

meniadakan kewajiban.56

Hal ini berbeda dengan apabila pada saat dibuat perjanjian prestasi semula

memang benar-benar mungkin (mogelijk), kemudian oleh karena sesuatu hal

menjadi tidak mungkin, maka perjanjian yang seperti ini tetap sah dan berharga.

Adapun masalah sampai dimana pengaruh kejadian yang menyebabkan

ketidakmungkinan melaksanakan prestasi, persoalan ini termasuk ruang lingkup

overmacht.

57

a. Perikatan untuk memberikan sesuatu

Dalam Pasal 1235 ayat 1 KUH Perdata disebutkan bahwa Kewajiban debitur

untuk menyerahkan benda yang bersangkutan. Pengertian memberikan dalam

55

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1990, hal. 17-20.

56

Yahya Harahap, Op.Cit

57

(34)

perikatan ini adalah menyerahkan kekuasaan nyata atas benda dari debitur kepada

kreditur misalnya dalam perjanjian sewa-menyewa, pinjam pakai. Selain itu juga

dapat berupa penyerahan kekuasaan nyata dan penyerahan hak milik atas benda

dari debitur kepada kreditur, misalnya dalam perjanjian jual beli, hibah, tukar

menukar. Jadi dalam pengertian memberikan itu tersimpul penyerahan nyata dan

penyerahan yuridis.

b. Perikatan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu

Berbuat sesuatu artinya melakukan perbuatan seperti yang telah ditetapkan

dalam perikatan (perjanjian). Jadi wujud prestasi disini adalah melakukan

perbuatan tertentu, misalnya melakukan perbuatan membongkar tembok,

mengosongkan rumah, membuat lukisan atau patung. Dalam melakukan

perbuatan itu debitur harus mematuhi apa yang telah ditentukan dalam perikatan

(perjanjian). Debitur bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai

dengan ketentuan yang diperjanjikan.

Tidak berbuat sesuatu artinya tidak melakukan perbuatan seperti yang

telah diperjanjikan. Jadi wujud prestasi disini adalah tidak melakukan perbuatan,

misalnya tidak melakukan persaingan yang telah diperjanjikan, tidak membuat

tembok yang lebih tinggi sehingga menghalangi pemandangan tetangganya.

Prestasi itu adalah esensi daripada perikatan. Apabila esensi ini tercapai

dalam arti dipenuhi oleh debitur, maka perikatan itu berakhir. Supaya esensi itu

dapat tercapai, artinya kewajiban itu dipenuhi oleh debitur, maka perlu diketahui

(35)

a. Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan

b. Harus mungkin

c. Harus diperbolehkan (halal)

d. Harus ada manfaatnya bagi kreditur

e. Bisa terdiri dari satu perbuatan atau serentetan perbuatan.

Jika salah satu atau semua sifat ini tidak dipenuhi pada prestasi itu, maka

perikatan itu dapat menjadi tidak berarti, dan perikatan itu menjadi batal atau

dapat dibatalkan.

2. Wanprestasi

Yang dimaksud dengan wanprestasi adalah apabila seorang debitur tidak

melakukan prestasi sama sekali atau melakukan prestasi yang keliru atau

terlambat melakukan prestasi, maka dalam hal-hal yang demikian inilah yang

disebut seorang debitur melakukan wanprestasi. Dari batasan ini dapat kita

ketahui bentuk-bentuk dari wanprestasi itu, yakni:

a. Tidak melakukan prestasi sama sekali

b. Melakukan prestasi yang keliru

c. Terlambat melakukan prestasi.

Wanprestasi atau cidera janji itu ada kalau seorang debitur itu tidak dapat

membuktikan bahwa tidak dapatnya ia melakukan prestasi adalah diluar

kesalahannya atau dengan kata lain debitur tidak dapat membuktikan adanya

overmacht, jadi dalam hal ini debitur jelas bersalah. Sejak kapankah debitur itu

(36)

otomatis, kecuali kalau memang sudah disepakati oleh para pihak, bahwa

wanprestasi itu ada sejak tanggal yang disebutkan dalam perjanjian dilewatkan

sehingga oleh karena itu untuk memastikan sejak kapan adanya wanprestasi,

diadakan upaya hukum yang dinamakan “in gebreke stelling”, yakni penentuan

mulai terjadinya wanprestasi. Istilah lain sering disebut Somasi.58

Jadi, seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan

somasi oleh kreditur atau juru sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak

tiga kali oleh kreditur atau juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya,

maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah

yanag akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak.

59

1. Perbuatan yang dilakukan debitur itu dapat disesalkan

Sedangkan

menurut Sri Soedewi Masychoen Sofwan, bahwa debitur dinyatakan melakukan

wanprestasi, harus dipenuhi tiga unsur, yaitu:

2. Akibatnya dapat diduga lebih dahulu baik dalam arti yang objektif, yaitu

orang yang normal dapat menduga bahwa keadaan itu akan timbul,

maupun dalam arti yang subjektif, yaitu sebagai orang yang ahli dapat

menduga keadaan demikian akan timbul.

3. Dapat diminta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, artinya

bukan orang gila atau lemah ingatan.60

Akibat yang timbul dari wanprestasi adalah keharusan atau kemestian bagi

debitur membayar ganti rugi (schadevergoeding) atau dengan adanya wanprestasi

58

A. Qirom, Op.Cit, hal. 27.

59

Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, 2010. hal. 99.

60

(37)

olehs alah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian

seperti yang dapat kita lihat dalam Keputusan Mahkamah Agung tanggal 21 Mei

1972 No. 70HK/Sip/1972: apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi karena

tidak melaksanakan pembayaran barnag yang dibeli, pihak yang dirugikan dapat

mnuntut pembatalan jual-beli. Sebab dengan tindakan salah satu pihak dalam

melaksanakan kewajiban tidak tepat waktu atau tidak layak, jelas merupakan

pelanggaran hak pihak lainnya. Setiap pelanggaran hak orang lain, berarti

merupakan perbuatan melawan hukum atau onrechtmatige daad seperti yang

dirumuskan dalam pasal 1365 KUH Perdata. Ada empat akibat adanya

wanprestasi, yaitu: 61

1. Perikatan tetap ada

Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi,

apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Disamping itu, kreditur berhak

menuntut ganti rugi akibat keterkambatan melaksanakan prestasinya. Hal

ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila kreditur

melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.

2. Debitur harus membayar ganti rugi kepada debitur (Pasal 1243 KUH

Perdata)

3. Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul

setelah debitur wanprestasi, kecuali ada kesengajaan atau kesalahan besar

dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk

berpegang pada keadaan memaksa.

61

(38)

4. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat

membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata tersebut, dapat ditentukan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian yaitu orang yang belum dewasa, mereka yang

“berlaku sebagai satu dan satu berlaku untuk semua”. 5) Akta in originali yang berisi kausa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu)

yang menurun setelah 24 jam, pada hari kedua ekstrak air rimpang lengkuas dengan konsentrasi 100% masih berbeda nyata dengan perlakuan kontrol dan tetap lebih efektif

Secara praktis dalam pembahasan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah, lembaga-lembaga sosial, masyarakat, maupun para orang tua dalam memberikan

Berdasarkan hasil analisa mineralgrafi yang didukung analisa x-ray mapping dan ditampilkan secara tampilan spectro electron microscpe, dapat dikatakan bahwa contoh-contoh

Untuk mengetahui suhu warna/white balance yang tepat dari sumber cahaya yang digunakan pada saat pemotretan berlangsung digunakan alat pengukur suhu warna atau

Pada kasus ini pemberi gadai telah memberikan uang untuk menebus tanah gadai tersebut tetapi penerima gadai menolaknya. Hal ini telah melanggar hukum yang mana si

Bapak Karmawan S.E., M.Sc selaku Ketua Jurusan Fakultas Ekonomi Universitas Bangka Belitung serta sebagai dosen Pembimbing pendamping yang telah berkenan