BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK)
A. Pengertian Perjanjian
Istilah perjanjian berasal dari terjemahan bahasa Belanda yang disebut
overeenkomst sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan contract. Istilah
kontrak atau perjanjian dalam sistem hukum nasional memiliki pengertian yang
sama, seperti halnya di Belanda tidak dibedakan antara pengertian contract dan
overeenkomst.9
Perjanjian dalam KUH Perdata diatur dalam Buku III tentang Perikatan.
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih. Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini tidak jelas karena di
dalam rumusan tersebut disebutkan perbuatan saja sehingga yang bukan perbuatan
hukum pun disebut dengan perjanjian selain itu tidak tampak asas konsensualisme
yang menyebutkan adanya hubungan hukum timbal balik antarpihak yang saling
mengikatkan diri.
10
9
Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Masnusia Modern, Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 43.
10
H. Salim HS, H. Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 7.
Selain itu pandangan kritis terhadap pengertian perjanjian
1. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan dan setiap
sumber perikatan, sebab apabila penafsiran dilakukan secara luas,
setiap janji adalah persetujuan;
2. Perkataan dan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas dapat
menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan (misal: perbuatan
yang menimbulkan kerugian sebagai akibat adanya perbuatan
melanggar hukum);
3. Definisi Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan
sepihak (unilateral), satu pihak sajalah yang berprestasi, sedangkan
pihak lainnya tidak berprestasi (misal: schenking atau hibah).
Seharusnya persetujuan itu berdimensi dua pihak, dimana para pihak
saling berprestasi;
4. Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan obligatoir
(melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku
bagi persetujuan jenis lainnya (misal: perjanjian liberatoir/
membebaskan; perjanjian di lapangan hukum keluarga; perjanjian
kebendaan; perjanjian pembuktian)11
Dengan demikian, definisi itu perlu dilengkapi dan disempurnakan dengan
suatu rumusan tertentu namun cukup sulit untuk menemukan rumusan tersebut
karena masing-masing sarjana mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Menurut
H. Salim HS, pengertian perjanjian adalah hubungan hukum antara subjek hukum
yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana
11
subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang
lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah
disepakatinya. Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro suatu perjanjian
diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara
dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain
berhak menuntut pelaksanaan janji itu.
Menurut S.B Marsh dan J. Soulsby dalam bukunya yang dialihbahasakan
oleh Abdulkadir Muhammad menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah
semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan
kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan
transaksi dagang, seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi,
pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha, dan sebegitu jauh
menyangkut juga tenaga kerja.12
Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu:
13
a. Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak
sebagai subjek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum;
b. Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau
dalam membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk
mengadakan tawar-menawar di antara mereka;
c. Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun
oleh pihak lain, selaku subjek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai
12
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 2006, hal. 93.
13
tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban
umum;
d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian
mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya
saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi
suatu prestasi, bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya;
e. Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun
tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat
sesuai dengan ketentuan yang ada;
f. Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada
syarat-syarat tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Unsur-unsur yang terkandung dalam kontrak juga diuraikan oleh Ahamadi
Miru, yaitu:14
1. Unsur esensialia adalah unsur yang harus ada dalam suatu kontrak, karena
jika tidak tidak ada unsur ini maka kontrak tidak ada;
2. Unsur naturalia adalah unsur yang telah diatur dalam undang-undang,
sehingga jika tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, maka
undang-undang yang mengaturnya;
3. Unsur aksidentalia adalah unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak
jika para pihak memperjanjikannya. Demikian pula klausul-klausul
14
lainnya yangs ering ditentukan dalam kontrak, yang bukan merupakan
unsur esensial dalam kontrak.
Ketentuan-ketentuan dalam buku III KUH Perdata menganut sistem
terbuka, artinya memberikan kebebasan kepada para pihak (dalam hal menentuka
isi, bentuk, serta macam perjanjian) untuk mengadakan perjanjian akan tetapi
isinya selain tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan, dan
ketertiban umum, juga harus memenuhi syarat sahnya perjanjian.
Ketentuan yang terdapat dalam hukum perjanjian merupakan kaidah
hukum mengatur, artinya kaidah-kaidah hukum yang dalam kenyataannya dapat
dikesampingkan oleh para pihak dengan membuat ketentuan-ketentuan atau
aturan-aturan khusus di dalam perjanjian yang mereka adakan sendiri.
Kaidah-kaidah hukum semacam itu baru akan berlaku (dan karena itu jadi memaksa)
dalam hal para pihak tidak menetapkan peraturan-peraturan sendiri di dalam
perjanjian yang mereka adakan. Kaidah-kaidah hukum seperti semacam itu ada
yang menamakan dengan istilah hukum pelengkap atau hukum penambah
(Optional law atau aanvullendrecht). Hal ini ditegaskan pula oleh Subekti bahwa
pasal-pasal tersebut boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak
yang membuat suatu perjanjian.15
B. Syarat-syarat sahnya perjanjian
Syarat sahnya perjanjian agar mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan
mengikat harus memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang diatur dalam
15
pasal 1320 KUH Perdata. Apabila salah satu syarat atau lebih syarat tidak
terpenuhi, maka perjanjian tersebut tidak sah sehingga akibat-akibat hukumnya
pun sebagaimana dimaksudkan tidak terjadi pula.16
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Syarat-syarat tersebut adalah:
Syarat pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau
konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH
Perdata. Kesepakatan merupakan persesuaian pendapat satu sama lainnya tentang
isi perjanjian dan mencerminkan kehendak untuk mengikatkan diri. Hal yang
penting pada suatu perjanjian adalah bahwa masing-masing pihak menyatakan
persetujuannya sesuai dengan pernyataan pihak lainnya.17
1) Bahasa yang sempurna dan tertulis;
Yang sesuai itu adalah
pernyataannya karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada
lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:
2) Bahasa yang sempurna secara lisan;
3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Hal
ini mengingat dalam kenyataannya sering kali seseorang
menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti
oleh pihak lawannya;
4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; dan
5) Diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan18
16
A. Qirom Syamsuddin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Yogyakarta, Liberty, 1985, hal. 11.
17
Mohd. Syaufii Syamsuddin, Op.Cit, hal. 7.
18
Kata sepakat mereka disini harus diberikan secara bebas. Walaupun syarat
kata sepakat ini sudah dirasakan atau dianggap telah dipenuhi, mungkin terdapat
suatu kekhilafan dimana suatu perjanjian yang telah disepakati itu, pada dasarnya
ternyata bukan perjanjian, apabila kedua belah pihak beranggapan menghendaki
sesuatu yang sama akan tetapi tidak. Keadaan ini kita jumpai bilamana terjadi
kekhilafan. Perjanjian yang timbul secara demikian dalam beberapa hal dapat
dibatalkan.19
Yang menjadi persoalan adalah sejak kapan syarat kesepakatan tersebut
terpenuhi. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat sukar untuk ditentukan. Untuk
itu pada umumnya para praktisi hukum lebih cenderung berpendapat bahwa untuk
mengetahui sejak kapan syarat tersebut terpenuhi, dengan memahami proses
terjadinya kesepakatan, yang dalam praktek hukum perjanjian disebut sebagai
proses penawaran dan penerimaan. Perjanjian terjadi bila ada suatu penawaran
yang diikuti dengan penerimaan, atau sebagai ijab kabul. Untuk itu, diperlukan
adanya pihak yang menawarkan dan adanya pihak yang menerima penawaran.
Penawaran pada asasnya merupakan pernyataan kehendak, oleh karenanya harus
dinyatakan/diutarakan, penawaran adalah suatu usul yang telah dibuat sedemikian
rupa dan bila penawaran tersebut diterima, akan melahirkan perjanjian.20
Kata sepakat dapat terjadi karena beberapa hal yang tidak dibenarkan
secara hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1321 KUH Perdata yaitu
“tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Dalam praktiknya ada beberapa hal
19
A. Qirom Syamsudin Meliala, Op.Cit, hal. 9.
20
perbuatan yang tidak dibenarkan secara hukum terjadi pada proses pencapaian
kesepakatan, yaitu21
1) Penipuan (fraud)
:
Penipuan adalah dengan sengaja mengajukan gambaran atau fakta yang salah
untuk memasuki hubungan kontrak. Untuk itu pihak yang tidak bersalah harus
bersandar pada gambaran yang salah tadi dan secara finansial, pihak yang
merugikan orang lain wajib membayar ganti rugi.
2) Kesalahan (mistake)
Kesalahan adalah apabila dua pihak mengadakan perjanjian denngan fakta yang
ternyata salah, sehingga pihak tadi dapat membatalkan kontrak setelah
mengetahui fakta yang sebenarnya.
3) Paksaan (Duress)
Paksaan terjadi apabila salah satu pihak lain menyetujui kontrak dengan ancaman
penjara, jiwa, atau badan. Ancaman ini dapat saja dilakukan terhadap dirinya,
keluarganya, dan ancamannya tidak bersifat fisik, misalnya ancaman untuk
membuat bangkrut atau tidak mendapatkan kekayaan yang menjadi haknya.
4) Penyalahgunaan keadaan (undue influence)
Penyalahgunaan keadaan tidak diatur dalam KUH Perdata. Namun, ketiadaan
aturan hukum positif tidak berarti bahwa penyelahgunaan keadaan tidak dapat
diterapkan dalam penyelesaian kasus-kasus perdata di Indonesia. Buktinya, ada
dua putusan Mahkamah Agung (MA) yang dapat dianggap sebagai yurisprudensi,
yang dalam konsideransnya memuat pertimbangan terjadinya penyalahgunaan
21
keadaan oleh satu diantara dua pihak yang melaksanakan perjanjian, yaitu Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1904K/Sip/1982 dan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 3431K/Pdt/1985.22
Dalam KUH Perdata tidak disebutkan secara jelas tentang momentum
terjadinya perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata hanya disebutkan cukup
dengan adanya konsensus (kesepakatan) para pihak. Dalam berbagai literatur
disebutkan empat teori yang membahas momentum terjadinya perjanjian, yaitu:
Pada hakikatnya ajaran penyalahgunaan keadaan bertumpu pada dua hal
berikut, yaitu penyalahgunaan keunggulan ekonomi dan penyalahgunaan
kejiwaan. Rutinga menyebutkan inti penyalahgunaan keunggulan ekonomis
terletak pada ketidakseimbangan kekuatan dalam melakukan tawar-menawar
(inequality of bargaining power) atau perundingan antara pihak ekonomi kuat
terhadap pihak ekonomi lemah. Adapun penyalahgunaan keunggulan kejiwaan
terjadi apabila salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif atau
keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lain. Pihak yang dirugikan dibujuk untuk
melakukan perbuatan hukum yang sama sekali tidak dikehendakinya, seperti
misalnya status sosial, hubungan dokter dan pasien, pengacara dan klien, dan
lain-lain.
23
a. Teori Pernyataan (Uitingstheorie)
Menurut teori pernyataan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak
yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran
itu. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru
22
Muhammad Syaifuddin, Op.Cit. hal 120. 23
menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah
terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap
terjadinya kesepakatan secara otomatis.
b. Teori Pengiriman (verzendtheorie)
Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi apabila pihak yang
menerima penawaran mengirimkan telegram. Kritik terhadap teori ini
bagaimana hal itu bisa diketahui. Bisa saja, walau sudah dikirim tetapi
tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan. Teori ini juga sangat teoritis,
dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.
c. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)
Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak
yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie (penerimaan), tetapi
penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung).
Kritik terhadap teori ini, bagaimana ia mengetahui isi penerimaan itu
apabila ia belum menerimanya.
d. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie)
Menurut teori penerimaan bahwa kesepakatan terjadi pada saat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
Didalam hukum positif Belanda, juga diikuti yurisprudensi, maupun
doktrin, teori yang dianut adalah teori pengetahuan (vernemingstheorie) dengan
sedikit koreksi dari teori penerimaan (Ontvangstheorie). Maksudnya penerapan
teori pengetahuan tidak secara mutlak, sebab lalu lintas hukum menghendaki
pengetahuan yang dianut. Diperlukan waktu yang lama jika harus menunggu
sampai mengetahui secara langsung adanya jawaban dari pihak lawan (Teori
penerimaan). 24
Logemann menyebut badan hukum sebagai suatu personifikasi atau
perwujudan (bestendigheid) hak dan kewajiban. Sedangkan R. Subekti
mengatakan badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan
yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia,
serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.
Disamping itu, Wirjono Prodjodikoro juga mengemukakan pengertian suatu
badan hukum yaitu badan, disamping manusia perseorangan yang dianggap dapat 2. Kecakapan bertindak
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan
hubungan hukum. Yang dapat melakukan suatu hubungan hukum adalah
pendukung hak dan kewajiban, baik orang (natuurlijk persoon) atau badan hukum
(rechtspersoon), yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, badan hukum
tersebut harus memenuhi syarat sebagai badan hukum yang sah. Dengan
terpenuhinya syarat tersebut, barulah badan hukum itu dapat disebut sebagai
pendukung hak dan kewajiban atau sebagai subjek hukum yang dapat melakukan
hubungan hukum.
bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, juga kewajiban-kewajiban
dan hubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.25
Perseroan Terbatas (PT) merupakan suatu bentuk organisasi yang diakui
hukum yang dijadikan sebagai subjek hukum. Sebagai subjek hukum, PT
merupakan pendukung hak dan kewajiban. Agar suatu PT dapat menjalankan
fungsinya sebagai rechtspersoon, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi
yaitu26
1. Para pendiri harus mendirikan PT berdasarkan akta notaris, akta yang
mencakup pula amggaran dasar dan keterangan lain berkaitan dengan
pendirian perseroan. :
2. Para pendiri bersama-sama mengajukan permohonan pengesahan
kepada Menteri Hukum dan HAM melalui jasa Teknologi Informasi
Sistem Administrasi Badan Hukum secara elektronik.
3. Setelah melakukan pengesahan, menteri akan melakukan pendaftaran
PT
4. Pengumuman di Tambahan Berita Negara RI oleh menteri.27
Jika para pihak yang membuat perjanjian adalah orang, orang yang
dianggap sebagai subjek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum dengan
pihak lain, adalah orang-orang tidak termasuk di dalam ketentuan Pasal 1330
KUH Perdata, yaitu28:
25
Mulhadi, Hukum Perusahaan: Bentuk-bentuk Badan Usaha di Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010, hal. 73-74.
26
Hukumonline.com. Tanya Jawab Hukum Perusahaan, Jakarta, Visimedia, 2009, hal. 6.
27
Lihat UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
28
a. Orang yang belum dewasa
Kriteria mengenai orang yang belum dewasa menurut KUH Perdata adalah
mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan sebelumnya
belum kawin. Namun masih terdapat perdebatan mengenai standar usia dewasa.
Menurut J. Satrio dengan menerapkan asas lex posteriori derogat lex priori, maka
seharusnya nalar penetapan usia dewasa yang mendasarkan Pasal 330 jo. Pasal
1330 KUH Perdata menjadi absurd dan melanggar asas hukum tersebut. Artinya,
sejak diundangkan dan berlakunya secara efektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan maka ketentuan-ketentuan mengenai kedewasaan dalam
pasal 330 jo. Pasal 1330 KUH Perdata tidak lagi dijadikan sumber hukum.
Jadi, usia dewasa yang berlaku secara umum terkait dengan kecakapan
untuk melakukan perbuatan hukum adalah 18 tahun. Hal ini juga dipertegas oleh
Mahkamah Agung RI Putusan MA No. 477K/Sip/1976, tanggal 13 Oktober 1976.
Usia 18 tahun sebagai standar usia dewasa menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, dalam perkembangannya kemudian diadopsi secara sinkron dan
konsisten oleh aturan positif lainnya, yaitu Pasal 5 jo. Pasal 61 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 39 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris, dan Pasal 5 jo. Pasal 6, Pasal 9,
Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia. 29
29
b. Mereka yang berada di bawah pengampuan
Orang-orang yang diletakkan dibawah pengampuan adalah setiap orang
dewasa yang selalu berada dalam keadaan kurang akal, sakit ingatan atau boros.
Pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu
menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk
mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang berada dibawah pengampuan
mengadakan perjanjian, yang mewakilinya adalah orang tuanya atau
pengampunya.30
c. Orang perempuan yang bersuami.
Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung
jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang
ditaruh dibawah pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan
harta kekayaannya. Ia berada dibawah pengawasan pengampu. Kedudukannya
sama dengan seorang anak yang belum dewasa, kalau seorang anak yang belum
dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, seorang dewasa yang ditaruh
dibawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.
Pada awalnya, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan
suatu perjanjian memerlukan bantuan atau izin tertulis dari suaminya. Tidak
cakapnya seorang perempuan yang bersuami berdasarkan KUH Perdata itu, di
Negara Belanda sendiri sudah dicabut karena dianggap tidak sesuai lagi dengan
kemajuan zaman. Ketentuan tersebut di Indonesia sudah dihapuskan. Mahkamah
Agung menganggap Pasal 108 s/d 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang
30
istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan
pengadilan tanpa bantuan atau izin dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi.
Setelah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
1963, maka sejak saat itu seorang perempuan yang masih mempunyai suami telah
dapat bertindak bebas dalam melakukan perbuatan hukum serta sudah
diperbolehkan menghadap di muka pengadilan tanpa seijin suami dan kemudian
setelah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963
sejak saat itu beberapa pasal dalam KUH Perdata sudah dinyatakan tidak berlaku
lagi, antara lain pasal 108, 110, 284 ayat 3 dan pasal 1238 KUH Perdata.31
d. Orang yang dilarang Undang-undang
Dalam kasus orang yang dilarang oleh undang-undang, dapat diambil contoh dari
ketentuan Pasal 1601i KUH Perdata. Dalam ketentuan itu diatur bahwa perjanjian
kerja antara suami istri adalah batal, dengan demikian undang-undang melarang
suami dan istri untuk membuat perjanjian kerja.
3. Suatu Hal tertentu
Pengertian suatu hal tertentu mengarah kepada barang yang menjadi objek
suatu perjanjian yang telah ditentukan dan disepakati. Menurut Pasal 1333 KUH
Perdata, barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu,
setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan
asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.32
31
A. Qirom Syamsudin Meliala, Op.Cit, hal. 10.
32
Objek hukum kontrak, menurut R. Setiawan, harus memenuhi beberapa
syarat tertentu agar sah, yaitu:33
1. Objeknya harus tertentu atau dapat ditentukan (Pasal 1320 sub 3 KUH
Perdata)
2. Objeknya diperkenankan oleh undang-undang (Pasal 1335 dan 1337
KUH Perdata)
3. Prestasinya dimungkinkan untuk dilaksanakan.
Lebih lanjut dijelaskan dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang
menjadi objek perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi
kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri dari
perbuatan positif dan negatif. Bersifat positif jika isi perjanjian ditentukan untuk
melakukan/berbuat sesuatu (te doen). Ini timbul misalnya dalam perjanjian kerja
seperti diatur dalam Pasal 1603 KUH Perdata, pekerja wajib sedapat mungkin
melakukan pekerjaan sebaik-baiknya sedangkan bersifat negatif jika isi perjanjian
memperjanjikan untuk tidak berbuat/melakukan sesuatu (niet te doen)34
1) memberikan sesuatu,
. Prestasi
ini terdiri atas:
2) berbuat sesuatu, dan
3) tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).
Misalnya, jual beli rumah. Yang menjadi prestasi/pokok perjanjian adalah
menyerahkan hak milik atas rumah dan menyerahkan uang harga dari pembelian
33
Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal 68
34
rumah itu dan dalam perjanjian kerja maka yang menjadi pokok perjanjian adalah
melakukan pekerjaan dan membayar upah.35
Pembentuk undang-undang berpandangan bahwa perjanjian mungkin juga
diadakan tanpa sebab atau dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang.
Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan
hukum.
4. Suatu Sebab yang Halal
Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah mengenai isi perjanjian
harus dihilangkan kemungkinan salah sangka, bahwa itu adalah sesuatu yang
menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud. Menurut
Yurisprudensi yang ditafsirkan dengan kata sebab adalah isi atau maksud dari
perjanjian. Hakim dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian itu dapat
dilaksanakan dan apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan.
Mengenai sebab yang halal ini diatur dalam Pasal 1336 KUH Perdata yang
menyebutkan:
“Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada sebab yang lain, dari pada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah”
36
Keempat syarat tersebut dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu37
1. Syarat Subjektif
:
35
Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori& Teknik penyusunan kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, 2003, hal. 34
36
Lihat pasal 1335 KUH Perdata
37
Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut antara pihak yang
mengikatkan diri dan syarat tentang kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Dalam syarat subjektif, jika syarat itu tidak dipenuhi perjanjiannya bukan
batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya
perjanjian itu dibatalkan (vernietigbaar). Pihak yang dapat meminta pembatalan
itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara
tidak bebas yaitu orang tua atau walinya, atau pun dirinya sendiri apabila kelak
sudah menjadi cakap dan/atau pihak yang memberikan izin atau menyetujui
perjanjian itu secara tidak bebas.
Dalam Pasal 1446 KUH Perdata disebutkan bahwa:
semua perikatan yang dibuat oleh orang belum dewasa atau orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, adalah batal demi hukum, dan atas penuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Perikatan yang dibuat oleh orang-orang perempuan yang bersuami dan oleh orang-orang belum dewasa yang telah mendapat suatu pernyataan persamaan dengan orang dewasa, hanyalah batal demi hokum, sekedar perikatan-perikatan tersebut melampaui kekuasaan mereka.
Disini perjanjian yang telah dibuat itu tetap mengikat, selama tidak
dibatalkan oleh hakim atas tuntutan pihak yang berhak meminta pembatalan.
Dengan demikian, kelanjutan perjanjian itu seperti tidak pasti dan tergantung pada
kesediaan suatu pihak untuk mentaatinya.
Untuk menghilangkan ancaman pembatalan, oleh undang-undang
kemudian diberi jalan keluarnya, suatu perjanjian dapat dilakukan dengan
penguatan oleh orang tua, wali atau pengampu tersebut. Penguatan yang demikian
orang yang dalam suatu perjanjian telah memberikan sepakatnya secara tidak
bebas, dapat pula menguatkan perjanjian yang dibuatnya, baik secara tegas
maupun secara diam-diam. Oleh karena itu, dalam hal adanya kekurangan
mengenai syarat subjektif, undang-undang menyerahkan kepada para pihak untuk
melakukan pembatalan perjanjian atau tidak. Perjanjian demikian itu tidak batal
demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan.
2. Syarat Objektif
Syarat objektif adalah mengenai objek yang diperjanjikan, yaitu tentang
syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila yang tidak terpenuhi
dalam suatu perjanjian adalah syarat objektif, perjanjian tersebut batal demi
hukum (nietig), karenanya tujuan para pihak untuk membuat suatu perjanjian
menjadi batal. Karena objek yang diperjanjikan batal, perjanjiannya otomatis batal
demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan
hakim.
Berkaitan dengan pembahasan mengenai syarat sahnya perjanjian ini,
Asser membedakan bagian perjanjian, yaitu bagian perjanjian inti dan bagian
yang bukan inti. Bagian inti disebutkan esensialia, bagian non inti terdiri dari
naturalia dan aksidentalia. Esensialia, bagian ini merupakan sifat yang harus ada
di dalam perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian tercipta,
seperti para pihak dan objek dari perjanjian. Naturalia, bagian yang merupakan
bawaan dari perjanjian, secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti
bagian yang merupakan sifat yang melekat pada perjanjian oleh para pihak,
seperti ketentuan-ketentuan mengenai domisili para pihak.38
1. Asas kebebasan berkontrak
C. Asas-asas Hukum perjanjian
Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas, antara lain:
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan
berkontrak adalah asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a. membuat atau tidak membuat perjanjian
b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun
c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Asas kebebasan berkontrak yang disebut di dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata bukan berarti bahwa tidak ada batasannya sama sekali, melainkan
kebebasan seseorang dalam membuat perjanjian tersebut hanya sejauh perjanjian
yang dibuatnya itu tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan
undang-undang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1337 KUH Perdata.39
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham
individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan
oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisance melalui
38 Ibid.
39
antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan
Rousseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh
apa yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam
“kebebasan berkontrak”. Pada akhir abad ke-9, akibat desakan paham etis dan
sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya
Perang Dunia II. Paham ini tidak mencerminkan keadilan karena paham
individualis memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat (ekonomi)
untuk menguasai golongan lemah (ekonomi). Masyarakat ingin pihak yang lemah
mendapatkan perlindungan. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum
menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
Akibatnya asas kebebasan berkontrak ini semakin sempit dilihat dari beberapa
segi, yaitu dari segi: a) kepentingan umum, b) perjanjian baku, dan c) perjanjian
dengan pemerintah.40
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH
Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian
yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan
asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan
meruapakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua
belah pihak.
40
Salah satu bentuk konsensualisme suatu perjanjian yang dibuat secara
tertulis adalah adanya pembubuhan tanda tangan dari pihak yang terlibat
perjanjian dimaksud. Tanda tangan mana selain berfungsi sebagai wujud
kesepakatan/persetujuan atas tempat dan waktu serta isi perjanjian, juga
berhubungan dengan kesengajaan para pihak untuk membuat kontrak sebagai
bukti atas suatu peristiwa.41
Terhadap asas konsensualisme ini ada pengecualiannya, yaitu apabila
ditentukan suatu formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian dengan
ancaman batal apabila tidak dipenuhi formalitas tersebut, seperti misalnya
perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tidak bergerak harus dilakukan
dengan akta notaris, perjanjian harus diadakan secara tertulis. Perjanjian ini
dinamakan perjanjian formal.42
3. Asas Keseimbangan
Kata keseimbangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti
keadaan seimbang (seimbang-sama berat, setimbang, sebanding, setimpal). Dalam
hubungannya dengan kontrak, secara umum asas keseimbangan bermakna sebagai
keseimbangan posisi para pihak yang membuat kontrak.43
Menurut AB Massier & Marjanne Termorshuizen-Arts, dalam
hubungannya dengan perikatan, keseimbangan (evenwichtigheid) menunjuk dasar
bagi keseimbangan dan keserasian dalam kontrak tersurat dalam Pasal 1320 KUH
41
Adriean Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa: Dan berbagai permasalahannya, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hal. 41.
42
A. Qirom Syamsuddin Meliala, Op.Cit, hal. 21. 43
Perdata, hanya jika dalam keadaan in concreto ada keseimbangan dan keserasian,
maka tercapailah kesepakatan atau konsensus yang sah antara para pihak. Untuk
penerapannya hakim memperhatikan adanya indikasi/patokan tertentu yang
merupakan dasar bagi kesimpulan bahwa telah terjadi penyalahgunaan keadaan
yang dimungkinkan karena adanya ketidakseimbangan kedudukan para pihak.44
Asas keseimbangan menurut Herlien Budiono dilandaskan pada upaya
mencapai suatu keadaan seimbang yang sebagai akibat darinya harus
memunculkan pengalihan kekayaan secara absah. Tidak terpenuhinya
keseimbangan berpengaruh terhadap kekuatan yuridikal kontrak. Dalam
terbentuknya kontrak, ketidakseimbangan dapat muncul, karena perilaku para
pihak sendiri maupun sebagai konsekuensi dari substansi (muatan isi) kontrak
atau pelaksanaan kontrak. Pencapaian keadaan seimbang, mengimplikasikan
dalam konteks pengharapan masa depan yang objektif, upaya mencegah
dirugikannya satu diantara dua pihak dalam kontrak.45
4. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum.
Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana
layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi
terhadap substansi perjanjian uang dibuat oleh para pihak.
44 Ibid.
45
Jadi dengan demikian maka pihak ketiga tidak bisa mendapatkan kerugian
karena perbuatan mereka dan juga pihak ketiga tidak mendapatkan keuntungan
karena perbuatan mereka itu, kecuali kalau perjanjian itu dimaksudkan untuk
pihak ketiga.46
5. Asas Itikad Baik (Goede Trouw)
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata, yang berbunyi: “ Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang “.Menurut Subekti bahwa: “Tujuan asas pacta sunt servanda
adalah untuk memberikan perlindungan kepada para pembeli bahwa mereka tak
perlu khawatir akan hak-haknya karena perjanjian itu berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”.
Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Pasal
1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik.” Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak
kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas
itikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik
mutlak. Pada itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang
nyata dari subjek. Pada itikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat
dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak
memihak) menurut norma-norma yang objektif.
46
KUH Perdata hanya mengatur prinsip itikad baik (good faith) pada saat
pelaksanaan kontrak; padahal sebenarnya dalam tahap negosiasi itupun sudah
timbul hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak demi menegakkan
prinsip itikad baik dan transaksi wajar/jujur ( good faith dan fair dealing).
Perlu kita pahami bahwa mekanisme terjadinya kontrak dalam dunia
bisnis/komersial selalu didahului oleh tahap negosiasi dimana masing-masing
pihak mengajukan letter of intent yang memuat keinginan masing-masing pihak
untuk membuat suatu kontrak. Selanjutnya setelah ada kesepahaman atas
kehendak untuk mengadakan kontrak tersebut, maka para pihak akan membuat
”Memorandum of Understanding” (MOU) yang memuat keinginan
masing-masing pihak sekaligus adanya tenggang waktu pencapaian kesepakatan untuk
terjadinya kontrak. Proses inilah yang disebut sebagai proses Prakontrak.
Dalam tahap prakontrak ini masing-masing pihak harus menegakkan prinsip
itikad baik, yang oleh karena itu jika salah satu pihak beritikad buruk, maka
haruslah disediakan sarana hukum berupa hak gugat dan hak untuk menuntut
ganti rugi dalam tahap prakontrak.47
Untuk sebagai pedoman, dalam Prinsip Kontrak Komersial International
UNIDROIT terdapat prinsip yang relevan dengan penggunaan itikad baik ini,
yaitu Prinsip nomor lima, yaitu Prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk
yang terdapat pada Pasal 2.15 UPICCs (Unidroit Principles of International
Commercial Contracts). Jadi dalam prinsip UNIDROIT tanggung jawab hukum
telah lahir sejak proses negosiasi. Dan prinsip hukum tentang negosiasi yaitu :
47
1. Kebebasan negosiasi;
2. Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk;
3. Tanggung jawab atas pembatalan negosiasi dengan itikad buruk.
Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk terbatas hanya pada kerugian
yang diakibatkannya terhadap pihak lain. Penuntutan hanya dapat dilakukan
dengan menggunakan prinsip good faith dan fair dealing dari hukum UNIDROIT
tersebut; yang dapat ditafsirkan bahwa pihak yang dirugikan hanya dapat
menuntut pengembalian atas biaya yang telah dikeluarkan dan atas kehilangan
kesempatan untuk melakukan kontrak dengan pihak ketiga. Akan tetapi ia tidak
dapat menuntut ganti rugi atas keuntungan yang diharapkan dari kontrak yang
batal diadakan itu.48
Seperti di Perancis pihak yang melakukan perundingan tanpa maksud
sungguh-sungguh untuk membuat perjanjian atau pihak yang membatalkan
perjanjian tanpa alasan yang tepat akan bertanggung jawab kepada pihak lainnya
atas dasar perbuatan melawan hukum, bahkan jika perundingan sudah mencapai
tingkat yang matang untuk lahirnya suatu perjanjian, pihak yang mengundurkan
diri dari perundingan mungkin saja dibebani kewajiban berdasarkan hubungan
kontraktual.49
6. Asas Kepatutan
Asas kepatutan mengarahkan substansi atau isi kontrak yang disepakati
para pihak yang akan dicantumkan dalam kontrak harus memperhatikan perasaan
48Ibid. 49
keadilan (rechtsgevoel) dalam masyarakat. Perasaan keadilan dalam masyarakat
inilah yang akan menentukan hubungan hukum diantara para pihak itu patut atau
tidak patut, adil atau tidak adil. 50
a. Fungsi melarang, artinya suatu kontrak yang bertentangan dengan
asas kepatutan itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan. Contoh:
dilarang membuat kontrak pinjam-meminjam uang dengan bunga
yang amat tinggi, karena bertentangan dengan asas kepatutan. Pemberlakuan asas kepatutan dalam suatu kontrak mengandung dua
fungsi, yaitu:
b. Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan
atau dilaksanakan asas kepatutan untuk mengisi kekosongan dalam
pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa isian tersebut, maka tujuan
dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.
Asas kepatutan yang maknanya diuaraikan diatas terkandung secara tegas
dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa:
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala ssuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”
7. Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang
yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH
Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “ Pada umumnya seseorang tidak
50
dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti
ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk
kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya
berlaku antara pihak yang membuatnya.” Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat
oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
Namun, ketentuan itu ada pengecualiannya sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang berbunyi:
“Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya.
Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian
untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk
orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.
Disamping kelima asas itu, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen
Kehakiman dari tanggal 17-19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan
asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas itu adalah asas kepercayaan, asas
persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas
D. Bentuk-bentuk dan fungsi Perjanjian 1. Bentuk Perjanjian
Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis dan
lisan. Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam
bentuk tulisan. Adapun perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh
para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak). Ada dua bentuk
perjanjian tertulis, yaitu yang dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta
autentik. 51
Akta dibawah tangan meruapakan akta yang dibuat oleh para pihak. Akta
ini dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:52
1. Akta di bawah tangan dimana para pihak menandatangani kontrak itu di
atas materai (tanpa keterlibatan pejabat umum);
2. Akta dibawah tangan yang didaftarkan (waarmerken) oleh notaris/pejabat
yang berwenang;
3. Akta di bawah tangan dan dilegalisasi oleh notaris/pejabat yang
berwenang.
Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang jabatan Notaris, istilah yang digunakan untuk akta di bawah tangan
yang dilegalisasi adalah akta di bawah tangan yang disahkan. Akta di bawah
tangan yang disahkan merupakan akta yang harus ditandatangani dan disahkan di
depan notaris/pejabat yang berwenang. Makna dilakukan pengesahan terhadap
akta di bawah tangan adalah
51
Salim HS, H. Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, Op.Cit, hal.16-17. 52
1. Notaris menjamin bahwa benar orang yang tercantum namanya dalam
kontrak adalah orang yang menandatangani kontrak;
2. Notaris menjamin bahwa tanggal tanda tangan tersebut dilakukan
pada tanggal yang disebutkan dalam kontrak.
Sementara istilah akta dibawah tangan yang didaftarkan (waarmerken) adalah
dibukukan. Akta di bawah tangan yang dibukukan merupakan akta yang telah
ditandatangani pada hari dan tanggal yang disebut dalam akta oleh para pihak, dan
tanda tangan tersebut bukan dihadapan notaris/pejabat yang berwenang. Makna
akta dibawah tangan yang dibukukan adalah notaris menjamin akta tersebut
memang benar telah ada pada hari dan tanggal dilakukan pendaftaran/pembukuan
oleh notaris.
Perjanjian yang dibuat di hadapan dan oleh notaris dibuat dalam bentuk
akta notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di hadapan dan di muka
pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk itu adalah
notaris, camat, PPAT, dan lain-lain. Jenis dokumen ini merupakan alat bukti yang
sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga. Ada tiga
fungsi akta notariel (akta autentik), yaitu:
1. Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan
perjanjian tertentu;
2. Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian
3. Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu, kecuali
jika ditentukan sebaliknya, para pihak telah mengadakan perjanjian dan
bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.
Akta notariel merupakan bukti prima factie mengenai fakta, yaitu pernyataan atau
perjanjian yang termuat dalam kata notaris, mengingat notaris di Indonesia adalah
pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk memberikan kesaksian atau
melegalisasi suatu fakta. Jika isi dari fakta semacam itu disangkal di suatu
pengadilan, maka pengadilan harus menghormati dan mengakui isi akta notariel,
kecuali jika pihak yang menyangkal dapat membuktikan bahwa bagian tertentu
dari akta telah diganti atau bahwa hal tersebut bukanlah yang disetujui oleh para
pihak, pembuktian mana sangat berat.
2. Fungsi Perjanjian
Perjanjian merupakan bagian yang melekat dari transaksi bisnis baik
dalam skala besar maupun kecil, baik domestik maupun internasional. Fungsinya
sangat penting dalam menjamin bahwa seluruh harapan yang dibentuk dan
janji-janji para pihak dapat terlaksana dan dipenuhi. Dalam hal terjadi pelanggaran
maka terdapat kompensasi yang harus dibayar. Perjanjian dengan demikian
merupakan sarana untuk memastikan bahwa apa yang hendak dicapai oleh para
pihak dapat diwujudkan. Atiyah mengatakan bahwa isi perjanjian pada umumnya
berkaitan dengan pertukaran ekonomi (economic exchange). Hukum perjanjian
pertukaran itu dan sekaligus memberikan bentuk perlindungan bagi pihak yang
dirugikan.
Menurut Beatson terdapat dua fungsi penting dari kontrak, yaitu pertama,
untuk menjamin terciptanya harapan atas janji yang telah dipertukarkan, dan
kedua, mempunyai fungsi konstitutif untuk memfasilitasi transaksi yang
direncanakan dan memberikan aturan bagi kelanjutannya ke depan. Semakin
kompleks suatu transaksi akan semakin tinggi kebutuhan mengenai perencanaan
dan semakin rinci pula ketentuan-ketentuan (dalam perjanjian) yang dibuat.53
Menurut pendapat lain, fungsi kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Fungsi yuridis kontrak adalah dapat
memberikan kepastian hukum bagi para pihak dalam hal mengatur hak dan
kewajiban para pihak, mengamankan transaksi bisnis, dan mengatur tentang pola
penyelesaian sengketa yang timbul antara kedua belah pihak sedangkan fungsi
ekonomis adalah menggerakkan (hak milik) sumber daya dari nilai penggunaan
yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.54
Prestasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap
perikatan. Pemenuhan prestasi adalah hakekat dari suatu perikatan. Menurut
ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata, setiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu (te geven, te
E. Prestasi dan Wanprestasi. 1. Prestasi
53
Sogar Simamora, Op.Cit, hal. 25-26.
54
doen, of niet te doen). Dengan demikian wujud prestasi itu adalah memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.55 Prestasi yang harus
dilaksanakan para pihak haruslah benar-benar sesuatu yang mungkin dapat
dilaksanakan. Adalah sesuatu hal yang benar-benar bertentangan dengan
kepatutan untuk membebani para pihak dengan suatu prestasi yang tidak mungkin
dilaksanakan. Perjanjian yang prestasinya sama sekali tidak mungkin dilakukan
sejak dari semula membuat persetujuan, perjanjian yang demikian dengan
sendirinya dianggap tidak berharga (ongeldig) dan tidak ada kewajiban para pihak
untuk memenuhinya. Sebab ketidakmungkinan itu telah menghapuskan kewajiban
itu sendiri. Hal ini telah menajdi prinsip umum dalam kehidupan hukum yang
berbunyi: impossibilium nulla obligation est, artinya ketidakmungkinan
meniadakan kewajiban.56
Hal ini berbeda dengan apabila pada saat dibuat perjanjian prestasi semula
memang benar-benar mungkin (mogelijk), kemudian oleh karena sesuatu hal
menjadi tidak mungkin, maka perjanjian yang seperti ini tetap sah dan berharga.
Adapun masalah sampai dimana pengaruh kejadian yang menyebabkan
ketidakmungkinan melaksanakan prestasi, persoalan ini termasuk ruang lingkup
overmacht.
57
a. Perikatan untuk memberikan sesuatu
Dalam Pasal 1235 ayat 1 KUH Perdata disebutkan bahwa Kewajiban debitur
untuk menyerahkan benda yang bersangkutan. Pengertian memberikan dalam
55
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1990, hal. 17-20.
56
Yahya Harahap, Op.Cit
57
perikatan ini adalah menyerahkan kekuasaan nyata atas benda dari debitur kepada
kreditur misalnya dalam perjanjian sewa-menyewa, pinjam pakai. Selain itu juga
dapat berupa penyerahan kekuasaan nyata dan penyerahan hak milik atas benda
dari debitur kepada kreditur, misalnya dalam perjanjian jual beli, hibah, tukar
menukar. Jadi dalam pengertian memberikan itu tersimpul penyerahan nyata dan
penyerahan yuridis.
b. Perikatan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
Berbuat sesuatu artinya melakukan perbuatan seperti yang telah ditetapkan
dalam perikatan (perjanjian). Jadi wujud prestasi disini adalah melakukan
perbuatan tertentu, misalnya melakukan perbuatan membongkar tembok,
mengosongkan rumah, membuat lukisan atau patung. Dalam melakukan
perbuatan itu debitur harus mematuhi apa yang telah ditentukan dalam perikatan
(perjanjian). Debitur bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai
dengan ketentuan yang diperjanjikan.
Tidak berbuat sesuatu artinya tidak melakukan perbuatan seperti yang
telah diperjanjikan. Jadi wujud prestasi disini adalah tidak melakukan perbuatan,
misalnya tidak melakukan persaingan yang telah diperjanjikan, tidak membuat
tembok yang lebih tinggi sehingga menghalangi pemandangan tetangganya.
Prestasi itu adalah esensi daripada perikatan. Apabila esensi ini tercapai
dalam arti dipenuhi oleh debitur, maka perikatan itu berakhir. Supaya esensi itu
dapat tercapai, artinya kewajiban itu dipenuhi oleh debitur, maka perlu diketahui
a. Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan
b. Harus mungkin
c. Harus diperbolehkan (halal)
d. Harus ada manfaatnya bagi kreditur
e. Bisa terdiri dari satu perbuatan atau serentetan perbuatan.
Jika salah satu atau semua sifat ini tidak dipenuhi pada prestasi itu, maka
perikatan itu dapat menjadi tidak berarti, dan perikatan itu menjadi batal atau
dapat dibatalkan.
2. Wanprestasi
Yang dimaksud dengan wanprestasi adalah apabila seorang debitur tidak
melakukan prestasi sama sekali atau melakukan prestasi yang keliru atau
terlambat melakukan prestasi, maka dalam hal-hal yang demikian inilah yang
disebut seorang debitur melakukan wanprestasi. Dari batasan ini dapat kita
ketahui bentuk-bentuk dari wanprestasi itu, yakni:
a. Tidak melakukan prestasi sama sekali
b. Melakukan prestasi yang keliru
c. Terlambat melakukan prestasi.
Wanprestasi atau cidera janji itu ada kalau seorang debitur itu tidak dapat
membuktikan bahwa tidak dapatnya ia melakukan prestasi adalah diluar
kesalahannya atau dengan kata lain debitur tidak dapat membuktikan adanya
overmacht, jadi dalam hal ini debitur jelas bersalah. Sejak kapankah debitur itu
otomatis, kecuali kalau memang sudah disepakati oleh para pihak, bahwa
wanprestasi itu ada sejak tanggal yang disebutkan dalam perjanjian dilewatkan
sehingga oleh karena itu untuk memastikan sejak kapan adanya wanprestasi,
diadakan upaya hukum yang dinamakan “in gebreke stelling”, yakni penentuan
mulai terjadinya wanprestasi. Istilah lain sering disebut Somasi.58
Jadi, seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan
somasi oleh kreditur atau juru sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak
tiga kali oleh kreditur atau juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya,
maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah
yanag akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak.
59
1. Perbuatan yang dilakukan debitur itu dapat disesalkan
Sedangkan
menurut Sri Soedewi Masychoen Sofwan, bahwa debitur dinyatakan melakukan
wanprestasi, harus dipenuhi tiga unsur, yaitu:
2. Akibatnya dapat diduga lebih dahulu baik dalam arti yang objektif, yaitu
orang yang normal dapat menduga bahwa keadaan itu akan timbul,
maupun dalam arti yang subjektif, yaitu sebagai orang yang ahli dapat
menduga keadaan demikian akan timbul.
3. Dapat diminta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, artinya
bukan orang gila atau lemah ingatan.60
Akibat yang timbul dari wanprestasi adalah keharusan atau kemestian bagi
debitur membayar ganti rugi (schadevergoeding) atau dengan adanya wanprestasi
58
A. Qirom, Op.Cit, hal. 27.
59
Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, 2010. hal. 99.
60
olehs alah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian
seperti yang dapat kita lihat dalam Keputusan Mahkamah Agung tanggal 21 Mei
1972 No. 70HK/Sip/1972: apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi karena
tidak melaksanakan pembayaran barnag yang dibeli, pihak yang dirugikan dapat
mnuntut pembatalan jual-beli. Sebab dengan tindakan salah satu pihak dalam
melaksanakan kewajiban tidak tepat waktu atau tidak layak, jelas merupakan
pelanggaran hak pihak lainnya. Setiap pelanggaran hak orang lain, berarti
merupakan perbuatan melawan hukum atau onrechtmatige daad seperti yang
dirumuskan dalam pasal 1365 KUH Perdata. Ada empat akibat adanya
wanprestasi, yaitu: 61
1. Perikatan tetap ada
Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi,
apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Disamping itu, kreditur berhak
menuntut ganti rugi akibat keterkambatan melaksanakan prestasinya. Hal
ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila kreditur
melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.
2. Debitur harus membayar ganti rugi kepada debitur (Pasal 1243 KUH
Perdata)
3. Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul
setelah debitur wanprestasi, kecuali ada kesengajaan atau kesalahan besar
dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk
berpegang pada keadaan memaksa.
61
4. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat
membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan