• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Unsur-Unsur Tanggung Jawab Komando di Dalam Hukum Pidana Internasional: Studi Putusan The Prosecutor V. Jean-Pierre Bemba Gombo/ICC-0

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KERANGKA KONSEPTUAL, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Unsur-Unsur Tanggung Jawab Komando di Dalam Hukum Pidana Internasional: Studi Putusan The Prosecutor V. Jean-Pierre Bemba Gombo/ICC-0"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

9

BAB II

KERANGKA KONSEPTUAL, HASIL PENELITIAN DAN

ANALISIS

Bab ini berisi uraian hasil penelitian yang kemudian dianalisis sesuai dengan permasalahan penelitian yang telah dikemukakan dalam Bab I. Sebelum hasil penelitian dan analisis dikemukakan terlebih dahulu pada bagian awal Bab II ini tentang konsep-konsep yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

A.

Kerangka Konseptual

1. Pengertian Kejahatan Internasional

Sampai sekarang belum ada definisi baku mengenai apa yang dimaksud dengan kejahatan internasional (international crimes). M. Cherif Bassiouni dalam bukunya International Criminal Law memberi definisi kejahatan internasional sebagai setiap tindakan yang ditetapkan di dalam konvensi-konvensi multilateral dan diikuti oleh sejumlah negara dan di dalamnya terdapat salah satu dari kesepuluh karakteristik pidana.1 Sedangkan menurut Bryan A. Garner kejahatan internasional yaitu: pertama, suatu tindakan sebagai kejahatan berdasarkan perjanjian (treaty crime) di bawah hukum internasional atau hukum kebiasaan internasional dan mengikat individu secara langsung tanpa diatur dalam hukum nasional. Kedua, ketentuan dalam hukum internasional yang mengharuskan penuntutan terhadap tindakan-tindakan yang dapat dipidana berdasarkan prinsip yurisdiksi universal.2

1 M. Cherif Bassiouni dalam Eddy O.S Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional (selanjutnya

disingkat Eddy O.S Hiariej I), Jakarta, Erlangga, 2009, hlm. 46.

(2)

10 Berikut jenis-jenis kejahatan yang secara umum dianggap sebagai kejahatan internasional:

a. Genosida

Istilah Genosida terdiri atas dua kata, yaitu ‘geno’ yang diambil dari bahasa

Yunani yang artinya ‘ras’ dan ‘cidium’ yang diambil dari bahasa Latin yang

bermakna ‘membunuh’. Sehingga secara harafiah genosida dapat diartikan

sebagai pembunuhan ras. Istilah ini diperkenalkan oleh Raphael Lemkin pada tahun 1944. Lemkin adalah seorang Yahudi kelahiran Polandia yang bermigrasi ke Amerika pada tahun 1930. Ia mulai menggunakan istilah genosida dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe. Lemkin mencatat bahwa istilah yang sama artinya dengan genocide adalah ethochide yang

berasal dari kata Yunani ‘ethnos’ yang berarti ‘bangsa’ dan kata Latin ‘cide’.

Istilah genocide ini semakin dikenal karena Amerika mengajukan tuntutan terhadap para penjahat perang NAZI Jerman saat Nuremberg Trial (Pengadilan Nuremberg) digelar,3

Oleh Raphael Lemkin genocide didefinisikan secara lengkap sebagai:

Intentional coordinated plan of different actions aiming at the destruction of essential foundations of the life of national groups with the aim of annihilating the groups themselves. The objectives of such a plan would be disintegration of the political and social institutions of culture, language, national feelings, religion, economic existence, of national groups and the destruction of the personal security, liberty, health, dignity and even the lives of the individuals belonging to such groups, ... The actions involved are directed against individuals, not in their individual capacity, but as members of the national group.”

(Terjemahan bebas: Rencana terkoordinasi yang disengaja dari berbagai tindakan yang bertujuan menghancurkan dasar-dasar penting kehidupan kelompok nasional dengan tujuan untuk memusnahkan kelompok itu sendiri. Tujuan dari rencana semacam itu adalah memporak-porandakan institusi politik dan eksistensi sosial budaya, bahasa, perasaan nasional,

3 Eddy O.S Hiariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius terhadap Hak Asasi Manusia

(3)

11 agama, ekonomi dari kelompok kebangsaan tertentu serta penghancuran keamanan pribadi, kebebasan, kesehatan, martabat dan bahkan kehidupan individu yang tergabung dalam kelompok tersebut ... Tindakan yang dilakukan diarahkan terhadap individu, bukan dalam kapasitas sebagai pribadi, tetapi sebagai anggota kelompok kebangsaan).

b. Kejahatan terhadap Kemanusiaan

Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali dikenal dalam Deklarasi bersama pemerintah Prancis, Inggris dan Rusia tanggal 24 Mei 1915 yang mengutuk tindakan Turki atas kekejaman yang dilakukannya selama perang terhadap populasi Armenia. Dalam deklarasi bersama, tindakan itu diberi

nama “crimes against civilization and humanity”. Definisi lebih rinci terhadap

istilah ‘crimes against humanity’ dapat ditemukan dalam Piagam London yang

melahirkan Nuremberg Trial. Dalam Pasal 6 (c) London Charter of The International Military Tribunal secara lengkap dinyatakan:

“Crimes Against Humanity: Namely, murder, extermination, enslavement,

deportation, and other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war; or persecutions on political, racial or religious grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of the tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrated.”

(Terjemahan bebas: Kejahatan terhadap Kemanusiaan: Yaitu, pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil manapun, sebelum atau selama perang; Atau penganiayaan atas dasar-dasar politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau sehubungan dengan kejahatan di dalam yurisdiksi pengadilan, melanggar atau tidak secara hukum negara dalam negeri yang melakukan pelanggaran).

Demikian pula dalam Charter of the International Military Tribunal for the Far East yang membentuk Tokyo Trial. Definisi kejahatan terhadap

kemanusiaan terdapat dalam Pasal 5 (c) lengkapnya berbunyi:

“Crimes Against Humanity: Namely, murder, extermination, enslavement,

(4)

12 the jurisdiction of the tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrated. Leaders, organizers, instigators and accomplices participating in the formulation or execution of a common plan or conspiracy to commit any of the foregoing crimes are responsible for all acts performed by any person in execution of such plan.”

(Terjemahan bebas: Kejahatan terhadap kemanusiaan: yaitu, pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil manapun, sebelum atau selama perang; Atau penganiayaan atas dasar-dasar politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau sehubungan dengan kejahatan di dalam yurisdiksi pengadilan, apakah melanggar undang-undang nasional negara tempat dilakukan atau tidak. Pemimpin, penyelenggara, penghasut dan kaki tangan yang berpartisipasi dalam perumusan atau pelaksanaan rencana bersama atau persekongkolan untuk melakukan kejahatan di atas bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukan oleh setiap orang dalam pelaksanaan rencana tersebut.)

Istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan” dalam Konvensi mengenai

Ketidakberlakuan Daluwarsa4 untuk Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Resolusi Majelis Umum PBB 2391 (XXIII), 26 November 1968 tercantum dalam Pasal 1 (b). Secara eksplisit dalam pasal tersebut dikatakan:

Kejahatan-kejahatan kemanusiaan apakah dilakukan dalam waktu perang atau dalam waktu damai seperti yang didefinisikan dalam Piagam Nuremberg, 8 Agustus 1945 dan yang dikuatkan dengan resolusi-resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, 3 (I) 13 Februari 1946 dan 95 (I) 11 Desember 1946 pengusiran dengan bersenjata, atau pendudukan dan perbuatan-perbuatan tidak manusiawi, yang diakibatkan dari apartheid, dan kejahatan genosida, seperti yang didefinisikan dalam Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida, sekalipun

4 Berdasarkan prinsip daluwarsa hak negara untuk mengenakan pidana terhadap pelaku tindak pidana

(5)

13 perbuatan-perbuatan tersebut tidak merupakan kejahatan terhadap hukum domestik dari negara tempat kejahatan-kejahatan itu dilakukan.5

c. Kejahatan Perang

Perang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan permusuhan antara dua negara (bangsa, agama, suku) ataupun pertempuran besar bersenjata antara dua pasukan atau lebih.6 Hukum perang (Hukum Humaniter Internasional) adalah sekumpulan norma-norma yang mengatur perihal perang. Secara substansial hukum perang dibedakan menjadi dua kategori yaitu ius ad bellum dan ius in bello.7 Ius ad bellum adalah norma-norma yang mengatur tentang kapan dan dalam keadaan bagaimana sebuah perang yang sah dapat dilancarkan Ius in bello adalah norma-norma yang mengatur hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang terlibat dalam perang. Hukum perang dalam arti luas mencakup baik normaius ad bellum maupun norma ius in bello, sedangkan hukum perang dalam arti sempit hanya mencakup norma ius in bello.

Secara sederhana, kejahatan perang berpangkal dari segala tindakan yang melanggar hukum dan kebiasaan dalam konflik bersenjata namun tidak setiap pelanggaran terhadap norma hukum dan kebiasaan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang. Cryer (et al.), mengatakan bahwa,

“[w]ar crimes law deals with the criminal responsibility of individuals for

serious violations of international humanitarian law.”8

5

Eddy O.S Hiariej I, Op.Cit., hlm. 62.

6

https://kbbi.web.id/perang, dikunjungi pada 25 Agustus 2017, pukul 10.20.

7 Arie Siswanto, Op.Cit., hlm. 148. 8

(6)

14 Pengertian kejahatan perang dalam London Charter termuat dalam Pasal 6 (b) yang secara tegas menyatakan:

War Crimes: Namely, violations of the laws or customs of war. Such violations shall include, but not be limited to, murder, ill-treatment or deportation to slave labour or for any other purpose of civilian population of or in occupied territory, murder or ill-treatment of prisoners of war or persons on the seas, killing of hostages, plunder of public or private property, wanton destruction of cities, towns or villages, or devastation not justified by military necessity.”9

(Terjemahan bebas: Kejahatan perang: yaitu, melanggar hukum atau kebiasaan perang. Pelanggaran tersebut harus mencakup, namun tidak terbatas pada, pembunuhan, penganiayaan atau deportasi untuk kerja paksa atau untuk tujuan lain penduduk sipil atau di wilayah yang diduduki, pembunuhan atau penganiayaan terhadap tahanan perang atau orang-orang di laut, pembunuhan sandera, perampasan harta benda publik atau pribadi, penghancuran kota, kota atau desa yang tidak disukai, atau kehancuran yang tidak dibenarkan oleh kebutuhan militer).

d. Kejahatan Agresi

Hingga detik ini belum ada kesepakatan mengenai definisi tentang kejahatan agresi. Namun tidak berarti konsep tentang kejahatan agresi tidak ada.Konsep kejahatan agresi ditemukan pada Piagam Mahkamah Militer Internasional

Nurenmberg dalam wujud kejahatan terhadap perdamaian (“crimes against

peace”). Pasal 6(a) dari Piagam tersebut memuat defenisi kejahatan terhadap

perdamaian sebagai berikut:

“Crimes against Peace: namely, planning, preparation, initiation or

waging of a war of aggression, or a war in violation of international

treaties, agreements or assurances…”

(Terjemahan bebas: Kejahatan terhadap Perdamaian: yaitu, perencanaan, persiapan, inisiasi atau pelaksanaan perang agresi, atau perang yang melanggar perjanjian internasional, kesepakatan atau jaminan ...).

Selain itu pada tahun 2002 ICC membentuk Kelompok Kerja Khusus dan

berhasil menyusun draft tentang definisi “kejahatan agresi” yang akan

diakomodasikan dalam amandemen Statuta Roma 1998. Berikut definisi tentang kejahatan agresi yang dimuat dalam Artikel 8 bis:

(7)

15

For the purpose of this Statute, “crime of aggression” means the planning, preparation, initiation or execution, by a person in a position effectively to exercise control over or to direct the political or military action of a State, of an act of aggression which, by its character, gravity and scale,

constitutes a manifest violation of the Charter of the United Nations.”

Ketentuan tersebut mempertegas gagasan bahwa istilah kejahatan agresi secara khusus menunjuk pada tindakan perseorangan sebagaimana dapat disimpulkan

dari frasa “by a person” dalam definisi di atas. Di dalam rumusan definisi

tersebut juga dapat ditemukan istilah “act of aggression”, yang dipahami sebagai tindakan negara (act of a state). Oleh karena itu dengan melihat definisi di atas keberadaan kejahatan agresi akan sangat tergantung pada keberadaan act of aggression. Selanjutnya untuk menguraikan “act of aggression” Artikel bis 8 merukuk pada definisi dan cakupan yang terdapat di dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 3314 (XXIX)/1974.

Pengaturan lebih lanjut kejahatan agresi mengenai prinsip tanggung jawab individu, pidana, dan lain-lain sama dengan pengaturan yang juga berlaku untuk jenis tindak pidana yang menjadi jurisdiksi ICC, yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.

2. Pengaturan Kejahatan Internasional

Berikut pengaturan kejahatan internasional sebagaimana dimaksud dalam uraian sebelumnya, khususnya mengenai tanggung jawab pidana secara individual dan tanggung jawab komando yang menjadi fokus skripsi ini.

a. Statuta Roma 1998

Gagasan pertanggungjawaban pidana secara individual yang sudah mulai dikemukakan dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional Nurenberg juga ditegaskan dalam Artikel 25 Statuta Roma 1998. Paragraf 1 artikel tersebut menegaskan bahwa ICC memiliki jurisdiksi atas orang pribadi (natural person). Melengkapi paragraf 1, paragraf 2 menyatakan bahwa:

“a person who commits a crime within the jurisdiction of the Court shall

be individually responsible and liable for punishment in accordance with

this Statute.”

(8)

16 karena instruksi dari pemerintah atau atasannya, baik sipil maupun militer namun ada pembatasan terhadap prinsip ini.10 Seseorang yang diinstruksikan untuk melakukan perintah atasan tidak dipidana kalau syarat berikut terpenuhi:

- Orang tersebut terikat kewajiban hukum untuk mematuhi instruksi dari pemerintah atau atasannya;

- Orang tersebut tidak mengetahui bahwa instruksi yang diterimanya tidak sah; dan

- Perintah yang diberikan tidak tampak sebagai perintah yang tidak sah. 1) Kriminalisasi

Setiap orang yang melakukan genosida, baik secara sendiri maupun bersama-sama, atau yang menyuruhmelakukan (Artikel 25 (3)(a) Statuta Roma 1998), setiap orang yang memerintahkan, mendorong, atau menyebabkan terjadinya genosida atau percobaan genosida (Artikel 25(3)(c) Statuta Roma 1998), setiap orang yang sengaja mengambil peran dalam pelaksanaan genosida, dengan cara mendorong perbuatan melibatkan genosida, atau dengan mengetahui tujuan kelompok pelaku genosida (Artikel 25 (3)(d) Statuta Roma 19980, setiap orang yang secara langsung dan terbuka menghasut orang lain untuk melakukan genosida (Artikel 25 (3)(e) Statuta Roma 1998), dan setiap orang yang melakukan percobaan genosida.11

2) Pidana

Sama seperti Statuta ICTY dan ICTR, Statuta Roma 1998 secara implisit juga mengesampingkan dijatuhkannya hukuman pidana mati

(9)

17 kepada pelaku genosida dan kejahatan lain yang berada dalam cakupan jurisdiksi ICC.

Artikel 77 Statuta Roma tersebut secara tegas menyatakan:

1. Subject to article 110, the Court may impose one of the following penalties on a person convicted of a crime referred to in article 5 of this Statute:

(a) Imprisonment for a specified number of years, which may not exceed a maximum of 30 years; or

(b) A term of life imprisonment when justified by the extreme gravity of the crime and the individual circumstances of the convicted person.

2. In addition to imprisonment, the Court may order: (a) A fine under the criteria provided for in the Rules of Procedure and Evidence; (b) A forfeiture of proceeds, property and assets derived directly or indirectly from that crime, without prejudice to the rights of bona fide third parties.

( Terjemahan bebas:

1. Tunduk pada artikel 110, Mahkamah dapat mengenakan satu di antara hukuman-hukuman berikut ini kepada seseorang yang dihukum atas suatu kejahatan berdasarkan artikel 5 Statuta ini: (a) Hukuman penjara selama tahun-tahun tertentu, yang tidak melebihi batas tertinggi 30 tahun; atau

b) Hukuman penjara seumur hidup apabila dibenarkan oleh gawatnya kejahatan dan keadaan-keadaan pribadi dari orang yang dihukum.

2. Di samping hukuman penjara, Mahkamah dapat memutuskan: 51 (a) Denda berdasarkan kriteria yang ditetapkan dalam Hukum Acara dan Pembuktian; (b) Penebusan hasil, kekayaan dan aset yang berasal langsung atau tidak langsung dari kejahatan itu, tanpa merugikan hak-hak pihak ketiga yang bona fide.)

Dapat kita ketahui bahwa ada dua jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku genosida dan kejahatan internasional lain dalam yurisdiksi ICC yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.

(10)

18 mendorong, menyuruhlakukan, membantu serta memfasilitasi kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sedangkan prinsip tanggung jawab komando (atasan bertanggung jawab atas tindakan bawahannya) yaitu seorang komandan militer atau seorang atasan dapat dianggap ikut memikul tanggung jawab pidana atas tindakan yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kendali dan pengawasannya.

a) Perintah atasan dan perintah hukum tidak menghilangkan tanggung jawab pidana pelaku

Tanggung jawab pidananya dapat dihapuskan jika:

- Ia terikat pada kewajiban hukum untuk mematuhi perintah atasannya itu;

- Ia tidak mengetahui bahwa perintah atasannya itu bertentangan dengan hukum; dan

b) Perintah atasannya tidak serta-merta bersifat melawan hukum Jika perintah yang diberikan kepada pelaku itu adalah perintah untuk melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, perintah itu dikategorikan sebagai perintah yang nyata-nyata melawan hukum, sehingga ketika dilakukan oleh seorang bawahan ia tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab pidananya dengan alasan apapun.

(11)

19 b. Sumber hukum lain

1) Konvensi Genosida 1948

Pada 9 Desember 1948 istilah genosida didefinisikan dalam Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of

Genocide yang diterima oleh Resolusi Majelis Umum PBB 260 (III).

Dalam Pasal 1 Konvensi tersebut dinyatakan bahwa genosida yang dilakukan pada waktu damai atau pada waktu perang adalah kejahatan menurut hukum internasional (... genocide, whether committed in time of peace or in time of war, is a crime under international law...).

Sedangkan pengertian genosida dirumuskan secara lengkap dalam Pasal 2 yang didahului dengan unsur umum sebelum uraian jenis-jenis perbuatan genosida. Unsur umum dalam Pasal 2 berbunyi:

“In the present convention, genocide means any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group.”

(Terjemahan bebas: Dalam Konvensi ini, genosida diartikan sebagai perbuatan-perbuatan berikut, yang dilakukan dengan tujuan merusak begitu saja, keseluruhan ataupun sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, rasial atau agama.)

Sementara Pasal 3 Konvensi Genosida 1948 menyebutkan bahwa perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum adalah genosida, persekongkolan untuk melakukan genosida (conspiracy to commit genocide), hasutan langsung dan di depan umum untuk melakukan

(12)

20 2) Piagam Mahkamah Internasional Nuremberg

Setelah Perang Dunia II berakhir, empat negara sekutu yaitu Amerika, Inggris, Prancis dan Uni Soviet menyatakan dalam Perjanjian London (London Agreement) pada 8 Agustus 1945 akan berupaya untuk mengadili para penjahat perang. Hal tersebut diwujudkan melalui terbentuknya dua pengadilan yaitu Pengadilan Militer Internasional (International Military Tribunal) di Nuremberg (Nürnberg) pada tahun 1945 dan pada tahun 1946 di Tokyo untuk mengadili para penjahat perang yang utama.

Menurut Piagam Mahkamah Internasional Nuremberg, ada beberapa prinsip-prinsip hukum internasional yang terkandung dalam piagam tersebut yaitu:12

(1) Setiap orang bertanggung jawab dan harus dijatuhi hukuman atas tindakan kejahatan yang dilakukannya menurut hukum internasional.

(2) Adanya kenyataan bahwa hukum nasional (internal law) tidak menerapkan hukuman bagi tindakan yang merupakan kejahatan menurut hukum internasional tidak melepaskan pelaku dari tanggung jawab menurut hukum internasional.

(3) Seorang kepala negara atau pejabat pemerintah yang bertanggung jawab yang melakukan suatu kejahatan menurut hukum internasional tidak menyebabkan mereka lepas dari tanggung jawab menurut hukum internasional.

12 Natsri Anshari, Tanggung Jawab Komando menurut Hukum Internasional dan Hukum Nasional

(13)

21 (4) Seseorang yang melakukan tindakan kejahatan menurut hukum internasional sesuai dengan perintah pemerintahnya atau atasannya tidak melepaskan dirinya dari tanggung jawab menurut hukum internasional.

(5) Setiap orang yang didakwa melakukan suatu kejahatan menurut hukum internasional berhak atas pengadilan yang adil mengenai faktanya atau hukumnya.

(6) Kejahatan yang dihukum sebagai kejahatan menurut hukum internasional, yaitu kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah suatu kejahatan menurut hukum internasional.

3) Statuta ICTY

(14)

22 pada 11 Mei 1998, kemudian diamandemen lagi dengan Resolusi Nomor 1329 pada tanggal 30 November 2000.13

Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) adalah sebuah badan PBB yang didirikan untuk mengadili para penjahat perang di Yugoslavia. Pengadilan atau tribunal ini berfungsi sebagai sebuah pengadilan ad-hoc yang merdeka dan terletak di Den Haag, Belanda. Sedangkan Statuta ICTY adalah instrument hukum internasional yang menjadi landasan pembentukan ICTY.

Berikut yurisdiksi yang dimiliki ICTY:

- Yurisdiksi Personal, yaitu kewenangan untuk mengadili individu (bersifat individual), artinya bahwa pertanggungjawaban diberikan secara individu dengan tidak memandang status ataupun kedudukan di dalam Negara Yugoslavia. Perbuatan yang termasuk dalam hal ini dapat berupa suatu perencanaan, memerintahkan, melaksanakan ataupun sebagai orang yang bertindak melaksanakan perintah yang diberikan oleh atasannya (komando).

- Yurisdiksi Teritorial, yaitu kewenangan untuk mengadili berkaitan dengan wilayah Bekas Yugoslavia dan berdasarkan Artikel 8 ICTY, yurisdiksi Mahkamah meluas dari wilayah bekas Republik Federasi Yugoslavia termasuk permukaan daratan, ruang udara dan perairan teritorialnya. Namun jika ditinjau dari segi tempat atau teritorialnya, peristiwa kriminal tersebut tidak dapat dipisahkan

13

(15)

23 sehingga peristiwa tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan yang terjadi di dalam wilayah Bekas Yugoslavia.

- Yurisdiksi Temporal, yaitu kewenangan yang terkait waktu berlakunya dari peristiwa kejahatan yang terjadi di Bekas Yugoslavia, yang terjadi mulai 1 Januari 1991 dengan tidak menegaskan batas akhir (Artikel 8 ICTY). Ketentuan tidak menegaskan batas akhir ini membuat Mahkamah tidak terikat oleh batas waktu terakhirnya sehingga Mahkamah dapat bertindak dengan fleksibel dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

- Yurisdiksi Kriminal, yaitu kewenangan Mahkamah dalam melakukan tindakan untuk menangkap, menahan dan mengadili para pelaku berkaitan dengan kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam kewenangan Mahkamah yaitu atas pelanggaran serius hukum humaniter internasional (serious violations of international humanitarian law). Yurisdiksi kriminal yang dimiliki Mahkamah yaitu

pelanggaran berat atas Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 (grave breaches of the Geneva Conventions of 1949), pelanggaran atas hukum

atau kebiasaan perang (violations of laws of customs of war), genosida (genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).

Artikel 7(3) Statuta ICTY tentang pertanggungjawaban pidana individu menyatakan bahwa:

“The fact that any of the acts referred to in articles 2 to 5 of the

(16)

24 (Terjemahan bebas: Fakta bahwa tindakan yang disebutkan dalam Artikel 2 hingga 5 dari Statuta ini dilakukan oleh bawahan dan tidak membebaskan atasannya dari tanggung jawab pidana jika dia mengetahui atau memiliki alasan untuk mengetahui bahwa bawahannya tersebut akan melakukan tindakan atau telah melakukan tindakan tersebut dan atasannya gagal mengambil tindakan yang diperlukan dan masuk akal untuk mencegah tindakan tersebut atau untuk menghukum bawahannya

(pelakunya).”

Dari kutipan tersebut kita mengetahui bahwa Statuta ICTY juga mengatur tentang tanggung jawab komando dan memiliki pernyataan yang sama seperti Statuta Roma.

4) Statuta ICTR

Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda) adalah pengadilan internasional yang

didirikan pada November 1994 oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan Resolusi 955 tanggal 9 November 1994 dengan tujuan untuk mengadili orang yang bertanggung jawab atas terjadinya Genosida Rwanda dan pelanggaran hukum internasional lain di Rwanda dari 1 Januari hingga 31 Desember 1994.14 Tempat kedudukan Mahkamah ini di Arusha, Tanzania.

Berikut yurisdiksi yang dimiliki Mahkamah ICTR:

- Yurisdiksi Personal, yaitu kewenangan yang terbatas pada individu bukan pada badan hukum lain seperti negara, organisasi internasional maupun badan hukum publik maupun privat. Sebagaimana yang diatur Artikel 2 ICTR yaitu individu-individu yang

14 https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Kriminal_Internasional_untuk_Rwanda, dikunjungi pada

(17)

25 merencanakan, memerintahkan, melakukan, memberikan bantuan atau turut serta dalam perencanaan, persiapan atau pelaksanaan kejahatan-kejahatan yang ditentukan dalam Artikel 2-4 ICTR, yang mereka itu bertanggungjawab secara individual atas kejahatan yang dilakukan.15 - Yurisdiksi Teritorial, berdasarkan Artikel 7 ICTR yurisdiksi territorial Mahkamah ini yaitu wilayah Rwanda yang meliputi permukaan daratan, ruang, udara termasuk wilayah negara tetangga yang berkenaan dengan pelanggaran serius yang dilakukan oleh warga negara Rwanda.

- Yurisdiksi Temporal, ditegaskan dalam Artikel 7 ICTR dan yang menjadi kewenangan Mahkamah dalam menangani perkara yang berlangsung antara tanggal 1 Januari 1994 sampai 31 Desember 1994. Berbeda dengan yurisdiksi temporal Mahkamah ICTY yang tidak memiliki batas waktu, yurisdiksi Mahkamah ICTR memiliki rentang waktu yang dalam ketentuan ini telah dijelaskan secara jelas.

- Yurisdiksi Kriminal

Berikut yang termasuk dalam yurisdiksi kriminal Mahkamah Rwanda yaitu pelanggaran serius (the most serious crimer) atas hukum humaniter internasional yang meliputi genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), pelanggaran atas Artikel 3 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II (violations of Article 3 common to the Genewa Conventions and of Additional Protocol II).

(18)

26 Statuta ICTR juga sama-sama mengatur tentang tanggung jawab komando. Artikel 6(3) Statuta ICTR menyatakan bahwa:

“The fact that any of the acts referred to in Articles 2 to 4 of the

present Statute was committed by a subordinate does not relieve his or her superior of criminal responsibility if he or she knew or had reason to know that the subordinate was about to commit such acts or had done so and the superior failed to take the necessary and reasonable measures to prevent such acts or to punish the perpetrators thereof.”

(Terjemahan bebas: Fakta bahwa setiap tindakan sebagaimana yang diatur Artikel 2 hingga 4 dari Statuta ini adalah yang dilakukan oleh bawahan dan tidak membebaskan atasannya dari tanggung jawab pidana jika dia tahu atau punya alasan untuk mengetahui bahwa bawahannya akan melakukan tindakan atau telah melakukan tindakan kejahatan serta atasan tersebut gagal mengambil tindakan yang diperlukan dan masuk akal untuk mencegah tindakan tersebut ataupun menghukum para pelakunya.) 3. Penegakan Hukum terhadap Kejahatan Internasional

a. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) 1) Pembentukan dan Dasar Hukum ICC

Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) adalah pengadilan pidana internasional yang bersifat permanen yang bertujuan untuk menuntut setiap individual yang melakukan kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Lembaga ini menjadi pengadilan pidana internasional permanen yang pertama karena pengadilan pidana internasional sebelumnya bersifat ad hoc. ICC merupakan mahkamah yang didirikan oleh suatu keputusan Dewan Keamanan PBB yang bertindak di bawah Bab VII Piagam PBB berkenaan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.

(19)
(20)

28

ICC merupakan pelengkap dari yurisdiksi pidana nasional. Berdasarkan prinsip ini, ICC hanya bersifat pelengkap terhadap yurisdiksi pidana suatu negara. Dimuatnya prinsip ini, sekaligus merupakan pengakuan terhadap prinsip kedaulatan negara dan harapan masyarakat internasional agar sistem hukum nasional memuat pengaturan hukum untuk mengatur dan menghukum tindak-tindak pidana yang menjadi keprihatinan dunia.

2. Penerimaan, Pasal 17 Statuta Roma 1998

ICC dapat menentukan bahwa suatu kasus dinyatakan tidak dapat diterima apabila:

a. Kasusnya sedang diperiksa atau diadili oleh negara setempat;

b. Perkaranya telah diselidiki oleh negara setempat dan negara tersebut memutuskan untuk tidak melakukan tuntutan terhadap orang yang bersangkutan;

c. Orang yang bersangkutan telah diadili untuk perbuatan yang sama dengan perbuatan yang menjadi dasar tuntutan ICC seperti disebut dalam Pasal 20 ayat 3 Statuta;

Pelaksanaan yurisdiksi ICC atas tindak- tindak pidana yang tercantum dalam Statuta tidak memerlukan persetujuan sebelumnya dari negara pihak. Selanjutnya atas dasar Pasal 12 ayat (2) Statuta, ICC dapat melaksanakan yurisdiksinya, apabila

a. Kejahatan terjadi di wilayah negara pihak Statuta b. Orang yang melakukan kejahatan tersebut adalah warga negara dari negara pihak tersebut.

4. Ratio Temporis (Yurisdiksi Temporal) Pasal 24Statuta Roma 1998

ICC tidak boleh melaksanakan yurisdiksinya atas kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelum berlakunya Statuta.

5. Prinsip Nullum Crimen Sine Lege Pasal 22 dan Pasal 23Statuta Roma 1998

Pasal 22 Statuta menjelaskan bahwa tidak seorangpun dapat bertanggung jawab secara pidana berdasarkan Statuta, kecuali tindakan tersebut waktu dilakukan merupakan suatu tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi ICC. Pasal 23 menegaskan bahwa seseorang yang telah didakwa ICC hanya dapat dijatuhi pidana sesuai dengan Statuta.

16 Boer Mauna dalam Denny Ramdhany, Hukum Humaniter Internasional dalam studi hubungan

(21)

29 6. Prinsip Neb is idem

Pasal 20Statuta Roma 1998

Seseorang tidak dapat dituntut lagi di ICC atas tindak pidana yang sama yang telah diputuskan atau dibebaskan oleh ICC.

7. Prinsip Ratio Loctie (Yurisdiksi Teritorial) Pasal 12 ayat (2)Statuta Roma 1998

ICC mempunyai yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan di wilayah negara-negara pihak tanpa memandang kewarganegaraan dari pelaku.

Seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dalam wilayah yurisdiksi ICC bertanggung jawab secara pribadi dan dapat dihukum sesuai Statuta.

Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah di depan ICC sesuai hukum yang berlaku.

10. Prinsip Hak Veto melaksanakan yurisdiksinya sesuai Pasal 16 yang berbunyi tidak ada penyidikan atau penuntutan yang dapat dimulai atau dilaksanakan sesuai Statuta untuk jangka waktu 12 bulan, setelah DK dalam resolusinya yang dibuat menurut Bab VII, meminta ICC untuk menangguhkan penyidikan atau tuntutan.

2) Kewenangan ICC

ICC menganut prinsip complementarity, yang artinya ICC hanya sebagai pelengkap pengadilan nasional suatu negara karena negara tersebut sudah mempunyai kewajiban berdasar hukum internasional untuk mengadili individu yang bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi. Mahkamah ICC hanya akan mengadili apabila negara tersebut: - Tidak mampu (unable) atau tidak bersedia (unwilling) atau - Hanya menjalankan pengadilan pura-pura untuk membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban pidana;

(22)

30 - Tidak menjalankan pengadilan secara independen (mandiri) dan imparsial (tidak memihak).

ICC tidak akan mengadili suatu kasus jika kasus sedang diselidiki atau tituntut oleh suatu negara yang mempunyai yurisdiksi atau kasus tersebut, kecuali jika:

- Negara tersebut tidak bersedia atau benar-benar tidak dapat melakukan penyelidikan atau penuntutan;

- Langkah-langkah hukum sudah atau sedang dilakukan atau keputusan nasional yang diambil untuk tujuan melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab pidana atas kejahatan;

- Ada suatu penangguhan (proses,penundaan) yang tidak dapat dibenarkan dalam langkah-langkah hukum yang tidak sesuai dengan maksud untuk membawa orang yang bersangkutan ke depan mahkamah atau

- Langkah-langkah hukum dulu atau sekarang tidak dilakukan secara mandiri atau memihak.

3) Organ-organ ICC

(23)

31 dan kebenaran. Untuk mewujudkan tujuan dari ICC tersebut diperlukan organ-organ di dalamnya. Berikut organ-organ di dalam ICC:

- Presidency

Pada dasarnya menurut Artikel 38 paragraf (1) Statuta Roma 1998, ICC memiliki 18 Pre-Trial Division hakim. Lembaga Kepresidenan ICC terdiri atas 3 hakim (1 ketua dan 2 wakil ketua) yang dipilih oleh seluruh hakim ICC. Lembaga Kepresidenan ini bertugas dalam pelaksanaan fungsi ICC kecuali fungsi penuntutan yang ada di tangan Prosecutor.

- Divisions

Ada 3 divisi judisial yang terdapat dalam ICC. Pertama Pre-Trial Division, Trial Division dan Appeals Division. Appeals Division

beranggotakan Presiden ICC dan 4 hakim lainnya, dan Trial Division sekurang-kurangnya beranggotakan 6 hakim ICC. Hakim yang menjadi anggota Appeals Division hanya bertugas pada divisi tersebut sepanjang masa jabatannya.

Kedelapan belas hakim ICC membentuk Chambers yang secara fungsional menjalankan persidangan sesuai dengan tahapan pemeriksaan suatu perkara. Sehingga ICC terdiri atas 3 Chambers yaitu Pre-Trial Chamber, Trial Chambers dan Appeals Chamber. Seluruh

(24)

32 meskipun pula dimungkinkan pula untuk menunjuk hakim tunggal dalam hal-hal tertentu.

- The Office of the Prosecutor

Memiliki fungsi untuk melakukan penyelidikan atas dugaan terjadinya kejahatan internasional dan melakukan penuntutan terhadap pelakunya. Office of the Prosecutor dikepalai oleh seorang Prosecutor (Jaksa) yang dibantu oleh seorang Deputy Prosecutor. Office of the Prosecutor terdiri atas dua divisi yaitu pertama Jurisdiction,

Complementary dan kedua Investigation Division. Prosecutor dipilih oleh Majelis Negara-Negara Pihak (Assembly of State Parties) untuk masa jabatan 9 tahun.

- The Registery (Panitera)

Kepaniteraan memiliki tugas dalam bidang nonyudisial, administratif dan pelayanan di bawah Presiden Mahkamah.Anggota dari kepaniteraan ini berasal dari negara peserta yang mendapat rekomendasi dari Mahkamah.Panitera bekerja secara penuh waktu dengan masa jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilih lagi dengan kesempatan satu kali saja. Kepaniteraan Mahkamah sendiri terdiri atas unit korban dan unit saksi yang berguna untuk membantu Mahkamah (hakim) melaksanakan tugasnya untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional.

b. Prosedur Pemeriksaan dan Penanganan Perkara di ICC

(25)

33 peradilan Mahkamah, hukum acara dan pembuktian tersebut juga telah disahkan oleh Majelis Negara Peserta berdasarkan suara mayoritas 2/3 dari seluruh anggota negara peserta. Pada dasarnya ketentuan yang diatur Statuta Roma 1998 hanyalah ketentuan dasar dan pedoman di dalam menerapkan dan menjalankan persidangan yang berhubungan dengan hukum acara dan proses pembuktian yang akan dilakukan. Artikel 5 Statuta Roma 1998 menerangkan apabila terjadi pertentangan antara ketentuan hukum acara dan pembuktian maka yang akan diutamakan yaitu ketentuan dasar yang diatur dalam Statuta Roma 1998. Jadi, kedudukan Statuta Roma 1998 lebih tinggi kedudukannya jika dibandingkan dengan hukum acara dan pembuktian. Ini merupakan

penerapan dari salah satu adagium hukum “lex superior derogat lex inferiori

yaitu undang-undang yang lebih tinggi mengenyampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatannya.

Artikel 1 Statuta Roma 1998 juga menyebutkan bahwa ICC merupakan pelengkap bagi yurisdiksi hukum pidana nasional, sehingga harus mendahulukan sistem nasional. Kecuali jika sistem nasional yang ada benar-benar tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling) untuk melakukan penyelidikan atau menuntut tidak pidana yang terjadi. Dalam hal ini ada beberapa alasan dari suatu tindak pidana yang tidak dapat diterima atau disidangkan oleh ICC yaitu sebagaimana diatur di dalam Artikel 17 Statuta Roma 1998 yaitu sebagai berikut.

(26)

34 b) Kasusnya telah disidik oleh suatu negara yang mempunyai yurisdiksi atas perkara tersebut dan negara itu telah memutuskan untuk tidak menuntut orang yang bersangkutan, kecuali apabila keputusan itu diambil karena ketidakmauan (unwilling) atau ketidakmampuan (unable) untuk melakukan penuntutan;

c) Tersangka telah diadili atas perbuatan yang diadukan atau pengadilan tidak berwenang mengadili berdasarkan Artikel 20 ayat (3) Statuta Roma 1998;

d) Kasusnya tidak cukup berat untuk diperiksa dan diadili oleh ICC. 2) Dalam rangka menentukan ketidaksediaan negara tertentu untuk menuntut yang bersalah, ICC mempertimbangkan dengan mengacu pada prinsip-prinsip hukum internasional, yaitu mengenai hal-hal sebagai berikut. a) Tampak adanya upaya hukum dan sikap nasional suatu negara untuk melindungi atau menutupi perbuatan si pelaku dari tanggung jawab yurisdiksi ICC sebagaimana diatur dalam Artikel 15 Statuta Roma 1998.

b) Tindakan penangguhan yang tidak dapat dibenarkan yang bersifat tidak rela membawa orang yang bersalah ke pengadilan untuk diadili.

c) Tampak adanya upaya hukum yang mencerminkan tindakan yang tidak sesuai dengan maksud untuk membawa orang yang bersalah ke pengadilan untuk diadili.

(27)

35 Terdapat beberapa tahap di dalam prosedur pemeriksaan perkara terhadap kasus-kasus kejahatan internasional yang diadili oleh ICC, yaitu sebagai berikut.

1) Pemeriksaan pendahuluan (pra persidangan), merupakan pemeriksaan kepada pelaku kejahatan beserta administrasi (surat perintah) penahanan sebelum akan disidangkan. Dalam persidangan ini hakim (bagian pra peradilan) harus meninjau keputusan mengenai penahanan atau pelepasan sementara terhadap orang yang bersangkutan yaitu pelaku selain itu dalam persidangan ini juga Jaksa Penuntut berperan dalam surat dakwaan dan alat-alat bukti untuk memperkuat alasan-alasan berkenaan dengan tersangka (tertuduh) telah melakukan kejahatan.

2) Persidangan dan pengambilan putusan oleh ICC

(28)

36 menyakinkan bahwa peradilan dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan memperhatikan bukti-bukti dari ketentuan-ketentuan dalam Statuta tersebut. Setelah proses persidangan berlangsung maka selanjutnya hakim Mahkamah akan mengambil putusan yang dapat berupa putusan bebas dari segala tuntutan dan hukuman pidana (sanksi pidana). Hal tersebut sesuai dengan bukti-bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut. Putusan yang akan dikeluarkan oleh Mahkamah harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Artikel 74 Statuta Roma 1998, yaitu:

1) All the judges of the Trial Chamber shall be present at each stage of the trial and throughout their deliberations. The Presidency may, on a case-by-case basis, designate, as available, one or more alternate judges to be present at each stage of the trial and to replace a member of the Trial Chamber if that member is unable to continue attending.

(Terjemahan bebas: Semua hakim dari peradilan harus hadir pada setiap tahapan pemeriksaan dan pada seluruh persidangannya. Apabila selama tahap pemeriksaan ataupun tahap persidangan ada hakim yang tidak bisa hadir, Kepresidenan dapat menugaskan hakim lain (hakim pengganti) untuk menggantikan hakim dari kantor Peradilan yang tidak bisa hadir.)

2) The Trial Chamber’s decision shall be based on its evaluation of the evidence and the entire proceedings. The decision shall not exceed the facts and circumstances described in the charges and any amendments to the charges. The Court may base its decision only on evidence submitted and disccussed before it at the trial.

(Terjemahan bebas: Putusan yang diambil Peradilan harus didasarkan atas evaluasinya terhadap alat bukti yang diajukan dalam seluruh proses persidangan. Putusannya itu tidak boleh melebihi dari fakta dan keadaan sebagaimana dipaparkan dalam surat dakwaan serta setiap amandemen yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut atas surat dakwaannya itu. Mahkamah hanya dapat mendasarkan putusannya pada alat bukti yang diajukan dan yang dibahas dalam persidangan.)

3) The judges shall attempt to achieve unanimity in their decision, failing which the decision shall be taken by a majority of the judges.

(29)

37 4) The deliberations of the Trial Chamber shall remain secret.

(Terjemahan bebas: Persidangan yang dilakukan di Kantor Peradilan harus bersifat rahasia.)

5) The decision shall be in writing and shall contain a full and reasoned

statement of the Trial Chamber’s on the evidence and conclusions. The Trial

Chamber shall issue one decision. When there is no unanimity, the Trial

Chamber’s decision shall contain the views of the majority and the minority.

The decision or a summary thereof shall be delivered in open court.

(Terjemahan bebas: Putusan harus dirumuskan dalam bentuk tertulis dan harus mengandung suatu pernyataan yang lengkap disertai dengan argumentasi yang didasarkan atas temuan dari kantor Peradilan mengenai alat bukti dan kesimpulannya. Kantor Peradilan hanya mengeluarkan satu putusan saja. Apabila tidak tercapai kesepakatan pendapat, maka putusan kantor Peradilan harus berisi pandangan dari mayoritas maupun minoritas hakim. Putusan itu maupun ikhtisarnya harus disampaikan di dalam sidang terbuka.)

4. Tanggung Jawab Pidana secara Individual dalam Kejahatan Internasional

a. Pengertian Tanggung Jawab Pidana

Hukum pidana dapat dikatakan mengandung sanksi yang bersifat tegas karena sanksi hukum pidana merupakan tindakan yang berakibat nestapa atau penderitaan bagi pelaku tindak pidana. Dalam hal terjadi pelanggaran suatu norma pidana perlu dijatuhkan suatu hukuman yang menimbulkan derita atau

nestapa, berupa pemidanaan sebagai suatu upaya “Pengobatan Terakhir”

(Ultimum Remidium) terhadap pelaku yang ditempuh untuk melindungi kepentingan umum.18

18

(30)

38 Hukum pidana menurut Simons yang merupakan seorang ahli pidana dari Belanda dalam bukunya berjudul Leerboek van het Nederlands Strafrect yaitu sejumlah peraturan baik perintah dan larangan, yang pelanggarannya diancam

dengan suatu nestapa khusus berupa “pidana” oleh negara atau suatu

masyarakat hukum publik lain, keseluruhan peraturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu, dan keseluruhan ketentuan untuk mengenakan dan menjalankan pidana tersebut.19

Di dalam hukum pidana terdapat prinsip tanggung jawab pidana. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , tanggung jawab (nomina, kata benda) adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya. Dan tanggung jawab hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berfungsi menerima pembebanan, sebagai akibat sikap pihak sendiri atau pihak lain. Dalam bahasa

asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai “toerekenbaarheid”,

criminal responsibility”, dan “criminal liability”. Bahwa

pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela tertutuh menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.

19

(31)

39 Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggung jawabkan perbuatan yang tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah si pembuatnya tidak dicela. Pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana. Kesalahan dalam arti seluas-luasnya dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, apabila dikatakan bahwa orang itu bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya.

Roeslan Saleh mengatakan bahwa “Dalam pengertian perbuatan pidana tidak

termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal apakah dia dalam melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana.20

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-unang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut

20

(32)

40 kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang “mampu bertanggung-jawab” yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan unsur-unsur mampu bertanggungjawab mencakup:

a) Keadaan jiwanya:

1. Tidak terganggu oleh penyakit dan terus-menerus atau sementara (temporair);

2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile dan sebagainya);

3. Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe bewenging, melindur/slaapwandel, menganggu karena demam/koorts, nyidam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.

b) Kemampuan jiwanya:

1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;

2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak;

3. Dapat mengentahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Lebih lanjut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa kemampuan bertanggungjawab seseorang didasarkan kepada keadaan dan kemampuan jiwa dan bukan kepada keadaan dan kemampuan berpikir seseorang.

b. Tanggung Jawab Komando 1) Pengertian

(33)

41 kemiliteran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu memberi perintah dan memimpin gerakan tentara dan sebagainya.

Istilah “military commander” mengacu pada seseorang yang secara

formal atau disahkan secara hukum menjalankan tugas dan fungsinya sebagai seorang komandan militer. Pada umumnya, komandan militer dan pasukannya akan menjadi bagian dari pasukan angkatan bersenjata suatu negara dan beberapa komandan akan ditunjuk oleh negara untuk mengoperasikan pasukannya berdasarkan hukum nasional negara sehingga prosedur maupun praktiknya (de jure commanders) harus sesuai dengan hukum nasional negara tersebut. Selain itu, istilah

military commander” pada Artikel 28(a) Statuta Roma juga berlaku

pada individu yang ditunjuk sebagai komandan militer dalam pasukan pemerintah yang tidak resmi, sesuai dengan praktik atau aturan organisasi mereka baik tertulis maupun tidak tertulis.

Setiap orang yang diangkat menjadi komandan militer memiliki tanggung jawab komando terhadap pasukan (bawahannya) sehingga sebagai seorang komandan haruslah bertindak dengan tepat dan bijaksana terhadap pasukannya khususnya dalam hal memberi pelatihan dan perintah agar pasukannya tidak melakukan kesalahan ketika menjalankan suatu operasi militer.

(34)

42 berkembang secara progresif dalam hukum pidana internasional. Melalui prinsip ini pertanggungjawaban pidana menjadi diperluas, bukan hanya mencakup pelaku kejahatan internasional melainkan -dalam keadaan tertentu-, menjangkau pula komandan atau atasan si pelaku. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip tanggung jawab komando/atasan menghubungkan suatu perbuatan (kejahatan internasional) yang dilakukan oleh seseorang dengan atasan/komando si pelaku yang dalam kondisi tertentu dianggap ikut memikul pertanggungjawaban pidana atas apa yang dilakukan oleh bawahan/anak buahnya.21

2) Pengaturan

a. Kodifikasi Hukum Perancis 1439

Prinsip tanggung jawab komando ini sudah sangat lama dikenal sejak Raja Charles VII dari Perancis mengeluarkan perintah di Orleans yang disebut sebagai Kodifikasi Hukum Perancis (French Code) pada tahun 1439 yaitu menyatakan sebagai berikut:

“The King orders that each captain or lieutenant be held

responsible for the abuses, ills and offences committed by members of his company, and that as soon as he receives any complaint concerning any such misdeed or abuse, he bring the offender to justice so that the said offender be punished in a manner commensurate with his offence, according to these ordinances. If he fails to do so or covers up the misdeed or delays taking action, or if, because of his negligence or otherwise, the offender escapes and thus evades punishment, the captain shall be deemed responsible for the offence as if he had committed it himself and be punished in the same way as the offender would have been.”22

(Terjemahan bebas: Raja memerintahkan agar setiap kapten atau letnan bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh anggota bawahannya, dan setelah dia menerima

21

Arie Siswanto, Op.Cit., hlm. 266.

22

(35)

43 keluhan tentang kesalahan atau penyalahgunaan yang dilakukan bawahannya, dia harus membawa pelaku ke pengadilan sehingga pelaku tersebut dihukum dengan cara yang sepadan dengan pelanggarannya, sesuai dengan peraturan ini. Jika dia gagal melakukannya atau menutupi kesalahan atau penundaan penghukuman atas tindakan pelaku (bawahannya) tersebut, atau jika, karena kelalaiannya atau sebaliknya, pelaku lolos dan dengan demikian menghindar dari hukuman, kapten dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut seolah-olah dia telah melakukannya sendiri dan dihukum dengan cara yang sama seperti yang seharusnya dilakukan pada pelaku.)

b. Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977

Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977 (Additional Protocol I to the Geneva Conventions 1977 (AP I)), mengatur dengan tegas mengenai doktrin tanggung jawab komando pada Artikel 86 dan 87

yang berjudul “Failure Act”.23 Artikel 86 (2) AP I menyatakan:

“The fact a breach of the conventions or of this Protokol was

committed by a subordinate does not absolve his superiors from penal or disciplinary responsibility, as the case may be, if they knew, or had information which should have enabled them to conclude in the circumstances at the time, that he was committing or was going to commit such a breach and if they did not all feasible measures within their power to prevent or repress the

breach”.

(Terjemahan bebas: Kenyataan bahwa pelanggaran terhadap konvensi atau protokol ini dilakukan oleh bawahan tidak membebaskan atasannya dari tanggung jawab pidana atau tindakan disipliner, jika memang demikian, jika mereka mengetahui, atau memiliki informasi yang seharusnya memungkinkan mereka untuk menyimpulkan dalam keadaan pada saat itu, bahwa dia melakukan atau akan melakukan pelanggaran semacam itu dan jika mereka tidak melakukan tindakan yang semaksimal mungkin dalam mencegah atau menekan pelanggaran tersebut. Artikel 86 ini menetapkan bahwa seorang komandan memiliki tanggung jawab untuk melakukan intervensi dengan cara mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mencegah atau menindak pelanggaran yang dilakukan bawahannya.)

23

(36)

44 Artikel 87 (1) Protokol Tambahan I 1977 menegaskan bahwa Komandan wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran yang dilakukan angkatan bersenjata yang berada di bawah komandonya atau orang lain yang berada di dalam pengendaliannya dan melaporkan hal itu kepada penguasa yang berwenang. Artikel 87 (2) AP I memberikan tugas kepada komandan sesuai dengan tingkatan tanggung jawabnya untuk menjamin bahwa semua anggota militer yang berada di bawah komandonya menyadari kewajibannya menurut konvensi dan protokol. Artikel 87 (3) AP I mewajibkan setiap komandan yang menyadari bahwa bawahannya atau orang lain yang berada di bawah kendalinya yang akan melakukan atau telah melakukan kejahatan harus melakukan tindakan atau upaya untuk mencegah terjadinya pelanggaran tersebut dan jika dipandang tepat, mengadakan tindakan disiplin atau pidana terhadap pelaku pelanggaran.

Artikel 28 ICC jo. Artikel 86 par. 2 Protokol Tambahan I 1977 juga menegaskan bahwa Komandan bertanggung jawab secara pidana terhadap kejahatan yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengawasan efektifnya atau yang disebabkan oleh kegagalannya dalam melakukan pengawasan yang patut.

c. Tanggung Jawab Komando menurut International Criminal Court yang didasarkan pada Statuta Roma 1998

Artikel 28(a) Statuta Roma 1998 berbunyi:

(37)

45 may be, as a result of his or her failure to exercise control properly over such forces, where:

(i) That military commander or person either knew or, owing to the circumstances at the time, should have known that the forces were committing or about to commit such crimes; and

(ii) That military commander or person failed to take all necessary and reasonable measures within his or her power to prevent or repress their commission or to submit the matter to the competent authorities for investigation and prosecution.”

(Terjemahan bebas:

Seorang komandan militer atau orang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer bertanggung jawab secara pidana atas kejahatan di dalam yurisdiksi pengadilan yang dilakukan oleh pasukan di bawah komando dan penguasaannya (kendalinya) secara efektif, atau wewenang dan penguasaan yang efektif atas kasus tersebut, sebagai akibat dari kegagalannya untuk melakukan kontrol dan pengendalian dengan benar atas pasukan tersebut, di mana:

(i) komandan militer mengetahui secara sadar atau berdasarkan keadaan yang berlangsung saat itu, bahwa bawahannya akan melakukan atau telah melakukan kejahatan; dan

(ii) komandan militer tersebut gagal mengambil semua tindakan dan upaya yang diperlukan sesuai kewenangannya untuk mencegah atau menindak bawahannya atau mengajukan pelanggaran tersebut kepada lembaga yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan.)

Karena Artikel 28(a) tidak menjelaskan dengan jelas hubungan komando tersebut maka Artikel 28(b) menyatakan bahwa:

“Berkenaan dengan hubungan atasan dan bawahan yang tidak digambarkan

dalam ayat 1, seorang atasan secara pidana bertanggung jawab atas kejahatan yang termasuk dalam jurisdiksi Mahkamah yang dilakukan oleh bawahan yang berada di bawah kewenangannya dan pengendaliannya secara efektif, sebagai akibat dari kegagalannya untuk melaksanakan pengendalian dengan semestinya atas bawahan tersebut, di mana:

(38)

46 (ii) kejahatan itu menyangkut kegiatan yang berada dalam tanggung jawab efektif dan pengendalian atasan tersebut; dan

(iii) atasan gagal mengambil semua tindakan yang perlu dan masuk akal di dalam kekuasaannya untuk mencegah atau menekan perbuatan mereka atau mengajukan masalahnya kepada pejabat yang berwenang untuk penyelidikan dan penuntutan).

Prinsip tanggung jawab komando ini dapat memunculkan dua kategori pidana yaitu pertama, tanggung jawab muncul karena adanya tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan komandan atas perintah dan perencanaan yang mengakibatkan bawahannya melakukan pelanggaran hukum dan ini disebut dengan tanggung jawab komando secara langsung (vicarious atau direct command liability) dan yang kedua yaitu komandan bertanggung jawab secara

pidana karena tidak melakukan tindakan sehingga pelanggaran hukum yang dilakukan bawahannya tersebut terjadi dan ini disebut dengan tanggung jawab komando yang bersifat tidak langsung (indirect command responsibility atau imputed liability). Dapat kita simpulkan bahwa pertanggungjawaban komando

adalah suatu mekanisme untuk menghukum para atasan (komando) sebagai akibat pembiaran yang dilakukan atas tindakan kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya, dimana atasan tersebut mengetahui atau seharusnya mengetahui kejahatan yang dilakukan bawahannya dimana atasan mempunyai kendali efektif (kesalahan dari atasan ataupun komandan tersebut). Komando bersalah karena ia mengetahui atau sepatutnya mengetahui tetapi tidak mengambil tindakan-tindakan hukum berupa pencegahan, penanganan dan tidak melaporkannya.

(39)

47 Seperti yang dipaparkan sebelumnya oleh Penulis di Bab I, dari Artikel 28(a) Statuta Roma 1998 dapat diketahui bahwa tanggung jawab komando harus memenuhi unsur-unsur utama24 sebagai berikut:

- Ada hubungan komando antara komandan dengan bawahan yang melakukan kejahatan

Hubungan yang dimaksud di sini yaitu komandan dan bawahan sama-sama memiliki tugas dan hubungan kerjasama di dalam suatu lingkungan militer. Namun Komandan adalah pemimpin pasukan (bawahannya) dengan kata lain Komandan adalah seniornya dan bawahannya adalah juniornya di dalam lingkungan militer tersebut.

- Ada komando atau pengawasan efektif dari komandan terhadap bawahan yang melakukan kejahatan

Pengawasan efektif dari komandan terhadap bawahannya yaitu komandan memiliki kemampuan material untuk mencegah atau menekan anak buah (pasukan bawahannya) ketika melakukan kejahatan atau untuk menyerahkan ataupun menyampaikan masalah tersebut kepada pihak yang berwenang. - Komandan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa bawahannya akan melakukan atau sudah melakukan kejahatan

Menurut ICC pengetahuan sebenarnya dari komandan tidak dapat diduga (ditentukan) namun harus ditetapkan dengan adanya bukti baik secara langsung maupun tidak langsung dengan bukti yang dapat mengungkapkan komandan mengetahui mengenai kejahatan tersebut. Berdasarkan Regulation 5525 mengakui bahwa fakta-fakta mengenai komando memiliki kontrol yang

24

Arie Siswanto, Op.Cit., hlm. 270.

25

(40)

48 efektif atas bawahannya dapat mengubah pertimbangan hukum namun ICC menyatakan bahwa hal tersebut tidak perlu dijadikan sebagai bahan pertimbangan yang paling penting seharusnya tahu tentang hal-hal standar yang ditentukan Artikel 28 (a)(i) Statuta Roma.

(41)

49

B.

Hasil Penelitian dan Hasil Analisis

1. Hasil Penelitian terhadap Putusan The Prosecutor V. Jean-Pierre Bemba Gombo/ICC-01/05-01/08 tentang Unsur-Unsur Tanggung Jawab

Komando

a) Posisi Kasus

Penulis mengkaji unsur-unsur tanggung jawab komando pada studi kasus putusan The Prosecutor v. Jean-Pierre Bemba Gombo/ICC-01/05-01/08. Berikut kronologi kasusnya:

1. Pierre Bemba Gombo merupakan seorang warga Negara Republik Demokratik Kongo (RDK), merupakan Presiden Pergerakan Pemberontak/Pembebasan Kongo (Movement for the Liberation of the Congo), sebuah partai yang didirikannya dan merupakan Komandan

(Panglima) Tertinggi dari sayap militer Armee de Liberation du Congo (ALC). 2. Pada 15 Juni 2009, Mahkamah Pra-Peradilan II menyatakan bahwa ada cukup bukti untuk landasan dasar yang menetapkan bahwa Bemba bertanggung jawab sebagai Komandan militer yang aktif yang dimaksud dalam Artikel 28(a) atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang diduga dilakukan di wilayah Republik Afrika Tengah (CAR) sejak atau sekitar 26 Oktober 2002 sampai 15 Maret 2003.26

3. Sebagai Presiden dan Komandan Tertinggi dari MLC dan ALC, Bemba memiliki wewenang seperti memberikan keputusan militer seperti memerintahkan suatu operasi militer, mendistribusikan senjata dan amunisi dalam ALC, sumber dana dan keuangan MLC dan ALC serta wewenang atas

26

(42)

50 keputusan yang berhubungan dengan makanan, bahan bakar, obat-obatan dan pakaian dalam MLC dan ALC.

4. Bemba mengkomunikasikan setiap perintah atau instruksi langgsung kepada komandan di lapangan dengan beberapa alat. Pertama menggunakan sistem jaringan “phonie”27 , kedua telepon satelit thuraya28 untuk melakukan panggilan di wilayah yang tidak dijangkau jaringan. Sedangkan alat komunikasi yang dimiliki sendiri oleh Bemba di kediamannya di Gbadolite (ibukota Provinsi Ubangi Utara, Republik Demokratik Kongo) yaitu telepon seluler dan walkie talkie29 Motorola yang terhubung ke jaringan lokal Gbadolite. Dengan bantuan seorang operator Bemba bisa langsung menghubungi komandan di lapangan dengan menggunakan “phonie” di Demokratic Republic Congo (Republik Demokratik Kongo) di kediamannya

atau di pusat transmisi di samping kediamannya. Bemba dapat menghubungi komandan di lapangan dengan satelit atau perangkat thuraya tanpa melalui pusat transmisi.30

27 Jaringan “phonie” adalah jaringan yang dibuat staff umum MLC dengan pusat transmisi di Gbadolit

yang mengelola jaringan dan unit di lapangan. Sistem phonie mengizinkan komunikasi lisan ataupun nonlisan antara Gbadolite dan komandan di lapangan namun tidak bisa digunakan jika cuaca sedang buruk ataupun peralatan radionya rusak. Situation in The Central African Republic in The Case of The Prosecutor v. Jean-Pierre Bemba Gombo No. ICC-01/05-01/08 Public with annexes I, II, and A to F Judgment pursuant to Article 74 of the Statute, date 21 March 2016, number 394 page 178.

28 Thuraya adalah perusahaan penyedia telepon satelit yang didirikan dan berbasis di Uni Emirat Arab

(Arab Saudi). Thuraya memberikan fasilitas panggilan suara, data, fax, pesan singkat dan GPS untuk berbagai perusahaan, militer, maritime, pemerintah dan organisasi non pemerintah dalam wilayah cakupan mereka. Dikutip dari: http://rentalhtsurabaya.com/sekilas-tentang-telepon-satelit-thuraya/, dikunjungi pada 28 Oktober 2017, pukul 12.19.

29 Walkie talkie adalah sebuah alat komunikasi genggam yang dapat mengkomunikasikan dua orang

atau lebih dengan menggunakan gelombang radio. Dikutip dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Walkie_talkie, dikunjungi pada 28 Oktober 2017, pukul 12.20.

30 Transmisi (telekomunikasi) merupakan sebuah pemancar (Transmitter) telekomunikasi yang

(43)

51 5. Pada tahun 2002, Ange-Felix Patasse yang merupakan Presiden dari Central Afrika Republik (Republik Afrika Tengah) menghadapi pemberontakan yang dipimpin oleh Francois Bozize. Untuk melindungi rezimnya dan mengalahkan kudeta tersebut Patasse meminta Bemba untuk membantunya sehingga MLC terlibat dalam perang sipil di CAR. Selama periode inilah MLC diduga melakukan penyiksaan, pemerkosaan dan serangan serta merendahkan martabat manusia. Mereka juga diduga terlibat dalam penjarahan terutama di kota Mongoumba dan Bossangoa.

6. Bemba selaku presiden dan komandan kepala MLC dan ALC diduga mengetahui kejahatan yang dilakukan oleh pasukannya karena memiliki wewenang di dalam pengambil keputusan di dalam organisasi tersebut. 7. Jaksa Penuntut v. Jean-Pierre Bemba Gombo (ICC-01/05-01/08) merupakan nomor pengadilan Bemba. Berdasarkan Artikel 28 Statuta Roma 1998 Bemba memiliki tanggung jawab komando. Mahkamah Pra Peradilan II ICC mengkonfirmasi lima tuduhan atas Bemba yaitu:

- Murder constituting a crime against humanity within the meaning of

article 7(1)(a) of the Rome Statute;

- Rape constituting a crime against humanity within the meaning of the

article 7(1)(g) of the Rome Statute;

- Murder constituting a war crime within the meaning of article

8(2)(c)(i) of the Rome Statute;

- Rape constituting a war crime within the meaning of article 8(2)(e)(vi)

(44)

52 - Pillaging constituting a war crime within the meaning of article

8(2)(e)(v) of the Rome Statute.31

8. Persidangan Bemba dimulai pada 22 November 2010 dan ia mengaku tidak bersalah atas semua dakwaan. Pada 21 Maret 2016, Mahkamah Peradilan menemukan Bemba bersalah atas pembunuhan dan pemerkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan serta pembunuhan, pemerkosaan dan penjarahan sebagai kejahatan perang dilakukan di CAR antara Oktober 2002 dan Maret 2003. Mahkamah menyimpulkan bahwa Bemba adalah komandan di MLC dan memiliki kontrol efektif atas organisasi tersebut. Bemba mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa MLC melakukan kejahatan dan seharusnya melakukan tindakan yang wajar untuk mencegah dan menghentikan tindakan tersebut.

9. Pada 21 Juni 2016, Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) menjatuhi hukuman 18 tahun penjara pada Bemba.

Mahkamah menekankan hukuman berat yang dijatuhi atas kejatan serius yaitu pembunuhan, pemerkosaan dan penjarahan.

10. Berikut bukti-bukti yang menerangkan pembunuhan (murder) yang dilakukan pasukan MLC kepada penduduk sipil di Republik Afrika Tengah daari atau sekitar 26 Oktober 2002 sampai 15 Maret 2003 menurut angka 622-630 Situation in The Central African Republic in The Case of The Prosecutor v. Jean-Pierre Bemba Gombo No. ICC-01/05-01/08 Public with annexes I, II,

and A to F Judgment pursuant to Article 74 of the Statute, date 21 March 2016,

yaitu sebagai berikut.

31 Dikutip dari: https://trialinternational.org/latest-post/jean-pierre-bemba-gombo/, dikunjungi pada 28

Gambar

tabel sebagai
PRINSIP-PRISIP DASAR INTERNATIONAL CRIMINAL COURTTABEL 1 16

Referensi

Dokumen terkait