ASAS ASAS
RUKUN DAN SYARAT
HUKUM PERKAWINAN
ISLAM
ASAS-ASAS
HUKUM PERKAWINAN ISLAM
1.
Asas kesukarelaan
2.
Asas persetujuan
3.
Asas kebebasan
4.
Asas kemitraan suami-isteri
5.
Asas untuk selama-lamanya
6.
Asas kebolehan atau mubah
7.
Asas kemaslahatan hidup
8.
Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat
9.
Asas kepastian hukum
10.
Asas personalitas keislaman
1. Asas kesukarelaan
Merupakan asas terpenting
perkawinan Islam.
Kesukarelaan antara kedua calon
2. Asas persetujuan
Asas persetujuan
kedua belah pihak merupakan
konsekuensi logis asas kesukarelaan.
Tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan
perkawinan.
Pasal 16-17 KHI:
Perkawinan atas persetujuan calon mempelai.
Dapat berupa: pernyataan tegas dan nyata. dgn tulisan,
lisan atau isyarat yg mudah dimengerti atau diam.
Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai
Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan
calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
Bila tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai
3. Asas kebebasan
Asas kebebasan memilih pasangan
dengan tetap memperhatikan
larangan perkawinan.
Pasal 18 (tidak terdapat halangan
4. Asas kemitraan suami-isteri
Merupakan asas kekeluargaan atau kebersamaan
yang sederajat
hak dan kewajiban Suami Isteri:
(Pasal 77 KHI)
Suami-isteri dengan tugas dan fungsi yang berbeda
karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan).
(Q.S. an-Nisa (4) : 43 dan al-Baqarah (2) ayat 187.
Kemitraan menyebabkan kedudukan suami-isteri
dalam beberapa hal sama, dan dalam hal yang lain
berbeda.
5. Asas untuk selama-lamanya.
Menunjukkan bahwa perkawinan
dilaksanakan untuk melangsungkan
keturunan dan membina cinta serta kasih
sayang selama hidup (Q.S. ar-Rum (30) :
21).
Pasal 2 KHI
akad yang sangat kuat
6. Asas kebolehan atau mubah
•
Asal hukum melakukan perkawinan jika di
hubungkan dengan
al-ahkam al-khamsah
adalah kebolehan atau
ibahah.
•
Q.S.
An-Nisa
(4): Ayat (1) Ayat (3): Ayat (24)
•
Namun kebolehan ini dapat berubah menjadi
sunnah, meningkat menjadi wajib atau dapat
juga turun menjadi makruh ataupun haram.
Perubahan ini dapat terjadi karena
7. Asas kemaslahatan hidup
Tujuan perkawinan adalah untuk
mewujudkan suatu keluarga dalam rumah
tangga yang
ma’ruf
(baik),
sakinah
(tentram),
mawaddah
(saling mencintai),
dan
rahmah
(saling mengasihi).
Q.S An Nisa:1
Pasal 3 KHI: Perkawinan bertujuan untuk
8. Asas menolak mudharat dan
mengambil manfaat
Tujuan perkawinan adalah mencegah
melakukan perbuatan yang keji dan
munkar.
Ada pencegahan perkawinan (Pasal 60-69
9. Asas Kepastian Hukum
Hadits Rasul: Perkawinan harus diumumkan
dengan mengadakan walimah
Pasal 5-10 KHI
Perkawinan harus dicatat dan dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah
Isbath Nikah di Pengadilan Agama
Rujuk dibuktikan dgn kutipan Buku Pendaftaran
Rujuk dari Pegawai Pencatat Nikah.
Putusnya perkawinan karena perceraian
10. Asas Personalitas Keislaman
Q.II : 221 Q. V : 5
Larangan Perkawinan
KHI Pasal 40 huruf c
wanita
non-muslim dilarang dinikahi oleh laki-laki
muslim
KHI Pasal 44: Wanita Muslim dilarang
11. Asas monogami terbuka
Q.S.an-Nisa’ (4) ayat 3: “Dan jika kamu khawatir tidak akan
mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu menikahinya) maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat tapi jika kamu khawatir tidak akan berlaku adil maka nikahilah seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.
Q.S. 4:127:”Dan mereka meminta fatwa kepadamu ttg
perempuan. Katakanlah, Allah memberi fatwa kepadamu ttg
mereka dan apa yg dibacakan kepadamu dalam al Qur’an (juga memfatwakan) ttg para perempuan yatim yg tidak kamu
memberikan sesuatu (mas kawin) yg ditetapkan utk mereka, sedang kamu ingin menikahi mereka dan (ttg) anak2 yg masih dipandang lemah. Dan Allah menyuruh kamu agar mengurus
Asas monogami terbuka…
Q.S. An Nisa 129: “Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri2 mu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yg kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu melakukan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan maka sungguh Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.
Pasal 55-59 KHI: Syarat poligami:
terbatas hanya sampai empat isteri.
suami harus mampu berlaku adil
mendapat izin dari Pengadilan Agama, krn isteri :
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan
tidak dapat melahirkan keturunan.
Persyaratan dan pembatasan Poligami:
1.Jumlah wanita yang boleh dikawini tidak boleh lebih dari empat orang (Q.S. 4 : 3 dan hadits nabi riwayat An-Nasai): nabi menyuruh Gailan bin Salamah al Tasqafi, seorang musyrik Mekah yang baru masuk Islam dan
beristeri sepuluh orang, agar menceraikan isteri-isterinya yang lebih dari empat orang dan hanya boleh meneruskan hubungan perkawinannya dengan empat orang saja.
2.Sanggup berlaku adil terhadap semua isteri-isterinya. Barangsiapa belum mampu berbuat adil, dia tidak boleh mengawini wanita lebih dari satu orang (Q.S. 4:129).
Keadilan yang diisyaratkan dalam ayat ini mencakup
Persyaratan dan pembatasan Poligami:
3. Wanita yang akan dikawini lagi seyogyanya perempuan yang ada hubungannya dengan pemeliharaan anak yatim, yaitu wanita yang mempunyai anak yatim, agar anak yatim itu berada di bawah pengawasan laki-laki yang akan
berpoligami tersebut dan supaya ia dapat berlaku adil
terhadap anak yatim dan harta anak yatim tersebut (Q.S. 4:3 jo Q.S. 4:127).
4. Tidak boleh dengan wanita yang mempunyai hubungan saudara atau dengan wanita yang mempunyai hubungan sepersusuan dengan isteri (Q.S. 4:23).
5. Tidak bermaksud hendak mempermainkan atau
Poligami dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975
Pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan Indonesia
menganut asas Monogami (Pasal 3 ayat 1).
Namun seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang
asal memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan
dalam Undang-Undang Perkawinan ini.
Syarat-syarat berpoligami
Pasal 3 ayat (2) beserta
penjelasannya :
a)
Harus ada izin dari Pengadilan Agama,
b)
Bila dikehendaki oleh yang bersangkutan, dan
Poligami dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975
Izin dari pengadilan, khusus bagi yang beragama Islam wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan tertulis kepada
Pengadilan Agama di daerah tempat tinggal pemohon (Pasal 4 ayat (1) UUP jo. Pasal 40 PP No. 9/1975).
Harus dipenuhi syarat dan alasan tertentu yang dapat
dibenarkan Undang-Undang Perkawinan Pasal 4 ayat (2) UUP jo. Pasal 41a PP No. 9/1975 yang ditentukan secara limitatif, :
a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,
b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
Poligami dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975
Ketika memajukan permohonan izin berpoligami,
harus pula memenuhi seluruh syarat yang telah
ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) UUP, yaitu:
a)
Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri
terdahulu,
b)
Adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak mereka,
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL JO PP NO 45 TAHUN 1990 TTG
PERUBAHAN PP 10/1983
Perkawinan pertama wajib diberitahukan secara tertulis kepada Pejabat di atasnya: Pasal 2(1).
Perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dulu dari Pejabat: Pasal 3 (1) PP 45/1990
PNS pria yang akan beristeri lebih dari seorang wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat. Pasal 4(1) PP 45/1990
PNS wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri
kedua/ketiga/keempat dari PNS: Pasal 4 (2) PP 45/1990
Poligami dalam Kompilasi Hukum Islam
(INPRES NO. 1 Tahun 1991)
Bab IX Pasal 55- 59.
Isi dari pasal-pasal ini sesuai dengan UUP dan PP No. 9/1975.
Syarat berpoligami:
1. Jumlah isteri maksimal 4 orang isteri;
2. Suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. Merupakan syarat utama yang wajib dipenuhi;
3. Suami harus mendapat ijin dari PA.
4. Apabila isteri tidak setuju, maka PA dapat menetapkan pemberian izin poligami setelah mendengar dan
Asas-asas Perkawinan menurut
UU No. 1 Thn 1974 (penjelasan butir 4)
a.
Tujuan perkawinan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal
b.
Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan,
perkawinan harus (wajib) dicatat menurut
peraturan perUUan yg berlaku.
Asas-asas Perkawinan menurut
UU No. 1 Th 1974 (penjelasan butir 4)
d.
Suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk
melangsungkan perkawinan.
e.
Mempersukar perceraian.
f.
Hak dan kedudukan istri seimbang dgn hak dan
kedudukan suami dlm kehidupan rumah tangga,
dalam pergaulan masyarakat
RUKUN DAN SYARAT
PERKAWINAN
Perkawinan
Dalam melaksanakan perkawinan harus
memenuhi ketentuan rukun dan syarat
perkawinan
Tidak terpenuhinya ketentuan rukun dan
syarat perkawinan mengakibatkan tidak
sahnya suatu perkawinan
Rukun Perkawinan
Rukun ialah unsur pokok (tiang)
Syarat merupakan unsur pelengkap
dalam setiap perbuatan hukum.
Rukun nikah merupakan bagian dari
Rukun Perkawinan
Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI):
Calon suami dan isteri
Wali
Saksi
Syarat Perkawinan
Menurut hukum Islam rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dinyatakan sah.
Syarat Perkawinan terdiri dari dua bagian yaitu Syarat Umum dan Syarat Khusus.
A. Syarat Umum
Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan
larangan perkawinan dalam al-Qur’an yang termuat dalam Q.S. al-Baqarah (2) : 221 tentang larangan
SYARAT KHUSUS
1. Calon Suami dan Isteri
Beragama Islam
Menyetujui perkawinan tersebut. Calon mempelai harus bebas dalam menyatakan persetujuannya, tidak dipaksa
oleh pihak lain. Persetujuan menyatakan kehendak ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah mampu berfikir,
dewasa atau akil baligh. (Pasal 16-17 KHI)
Dewasa jasmani dan rohani dalam melangsungkan perkawinan (Pasal 15 KHI)
Tidak terdapat halangan dan larangan perkawinan:
Bukan mahram pasangannya
Syarat Calon Suami dan Isteri
Syarat bagi calon suami:
a. Terang laki-lakinya (bukan banci)
b. Sekurang-kurangnya berusia 19 tahun
c. Tidak beristeri lebih dari empat.
d. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan bakal isterinya.
e. Mengetahui bakal isterinya tidak haram dinikahinya.
Syarat bagi calon isteri:
a. Terang perempuannya (bukan banci).
b. Sekurang-kurangnya berusia 16 tahun
c. Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya.
d. Tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah.
2. Syarat Perkawinan: Wali
Hadis Rasulullah
“Barangsiapa di antara perempuan yang menikah
tidak dengan izin walinya, maka pernikahannya batal”
Hadis riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni
“Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain, dan jangan pula seorang perempuan
Syarat Perkawinan: Wali
Mazhab Syafi’i berdasarkan hadits Rasul yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Siti Aisyah, bahwa Rasul pernah mengatakan tidak ada kawin tanpa wali.
Mazhab Hanafi: wanita dewasa tidak perlu wali bila akan menikah.
Calon isteri harus mempunyai wali yang bertindak untuk menikahkannya (Pasal 19 KHI)
Syarat-syarat wali adalah (Ps 20 ayat (1) KHI):
Muslim
Aqil
Baligh
Tidak tuli, bisu, atau uzur (Ps 22 KHI)
Laki-laki,
Adil
Macam-macam Wali
1. Wali Nasab
(Ps 21 KHI)
Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yaitu ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya
Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka
Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka
Kelompok saudara laki-laki kandung kakek,
Macam-macam Wali
2. Wali Hakim
(Pasal 23 KHI)
Wali hakim adalah penguasa atau wakil penguasa
yang berwenang dalam bidang perkawinan,
biasanya penghulu atau petugas lain dari
Departemen Agama.
Wali hakim baru dapat menjadi wali nikah apabila
wali nasab tidak ada atau tidak mungkin
menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau adlal (enggan)
Macam-macam Wali
3.Hakam
Hakam
adalah seseorang yang masih termasuk
anggota keluarga calon mempelai perempuan namun
bukan wali
nasab
dan mempunyai pengetahuan
agama sebagai wali yang cukup.
4. Muhakam
Muhakam
ialah seorang laki-laki bukan keluarga calon
mempelai perempuan dan bukan dari penguasa,
3. Syarat Perkawinan: Saksi
Hadis riwayat Ahmad
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil”
Syarat-syarat menjadi saksi (Ps 25 KHI)
Laki-laki
Muslim
Adil
Aqil Baligh
Tidak terganggu ingatan
Tidak tuli
Tidak menjadi wali.
Dua saksi laki-laki (Pasal 25 KHI). Apabila tidak ada laki-laki maka seorang laki-laki digantikan dengan dua orang
4. Syarat Perkawinan: Ijab Qabul
Ijab :
penegasan kehendak mengikatkan diri dalam bentuk perkawinan dan dilakukan oleh pihak perempuan
ditujukan kepada laki-laki calon suami
suatu pernyataan penyerahan dilakukan oleh wali nikah (Pasal 28 KHI)
Qabul:
penegasan penerimaan mengikatkan diri sebagai suami isteri yang dilakukan pihak laki-laki.
suatu pernyataan penerimaan dilakukan oleh calon suami (Pasal 29 ayat 1 KHI)
Dapat diwakilkan kpd pria lain adal calon mempelai pria memberi kuasa yg tegas dan tertulis dan mempelai
4. Syarat Perkawinan: Ijab Qabul
Pelaksanaan antara pengucapan
ijab
dan
kabul
tidak boleh ada antara waktu, harus segera
dijawab. (Pasal 27 KHI)
Hadis riwayat Muslim:
“Takutlah kepada Allah dalam urusan
Mahar
Dalam perkawinan harus ada Mahar atau sadaq. Dasar Hukum: An Nisa ayat 4:
“Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”
An Nisa ayat 20:
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara
mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambilnya kembali.”
An Nisa ayat 25:
“Dan barangsiapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman maka dihalalkan
Mahar wajib diberikan oleh calon suami kepada calon isteri (Pasal 30 KHI)
Jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua pihak dengan anjuran kesederhanaan dan kemudahan dalam mewujudkannya (Pasal 31 KHI)
Biasanya diberikan pada waktu akad nikah
dilangsungkan, sebagai perlambang suami dengan sukarela mengorbankan hartanya untuk menafkahi isterinya
Mahar boleh dibayar tunai atau ditangguhkan sebagian atau seluruhnya asal disetujui oleh calon isteri dan
menjadi utang calon suami (Pasal 33 KHI)
Kewajiban menyerahkan mahar bukan rukun perkawinan. Kelalaian menyebut jumlah dan jenis mahar tidak
Macam Mahar
Mahar Musamma
Mahar yang telah disepakati oleh calon suami
dan calon istri
Mahar Mitsil
Mahar yang belum ditentukan jumlah dan
Ketentuan pembayaran mahar
Al Baqarah ayat 237 “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu
bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya itu, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu”
Pasal 35 KHI
Suami yang mentalak isterinya dalam keadaan qobla dukhul, ia wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah
Suami yang meninggal dunia dalam keadaan qobla dukhul, seluruh mahar menjadi hak isterinya
Syarat sahnya perkawinan menurut
Undang-Undang No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan
Pasal 2 ayat (1): perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Penjelasan Pasal 2: tidak ada perkawinan di
luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaanya itu.
Berarti untuk Orang Islam maka yg berlaku
Syarat sahnya perkawinan menurut
Undang-Undang No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan
1.
Persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6).
2.
Harus berusia 16 (enam belas) tahun bagi wanita
dan berusia 19 (sembilan belas) tahun bagi pria
(Pasal 7).
3.
Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain
kecuali dalam hal yang diizinkan (Pasal 9).
4.
Bagi yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun
harus mendapat izin kedua orang tua (Pasal 6 ayat
(2)).
Tidak ada ketentuan yang jelas di al Qur’an dan
Hadits Rasul tentang pencatatan perkawinan
Tidak diatur secara tegas kewajiban mencatat
perkawinan (nikah) dalam kitab fikih;
Q.S. al-Baqarah (2): 282 menjelaskan tentang
bermuamalah secara : “….Jika kamu
bermuamalah, maka catat dan hadirkan 2
orang saksi…..”
Menurut M. Idris Ramulyo bukti autentik terjadinya
perkawinan sesuai dengan analogi (
qiyas
)
ketentuan dalam Q. S. 2: 282.
Namun sebagian ahli berpendapat bahwa ayat ini
hanya untuk utang piutang.
Perjanjian utang piutang yang bersifat sementara
saja diatur apalagi akad nikah yang seumur hidup.
Menurut hukum Islam pencatatan perkawinan
hanya proses administrasi saja, tidak
mempengaruhi sahnya perkawinan.
Hadits Rasul, yang diriwayatkan oleh al-
Tirmidzy berasal dari Siti Aisyah: “
I’lanun
nikaaha wadhribu alaihi bil gaarbaali”
,
artinya: “umumkanlah perkawinan itu dan
pukullah gendang dalam hubungan
dengan pengumuman itu”
Manfaatnya untuk memberi tahu
masyarakat bahwa telah terjadi
perkawinan sehingga dapat terhindar dari
fitnah.
UU No. 22 tahun 1946 yang mulai berlaku di
seluruh Indonesia pada tanggal 2 Nov. 1954
melalui UU No. 32 tahun 1954:
Pasal 1 ayat (1): nikah yang dilakukan menurut
agama Islam diawasi oleh Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) yang diangkat oleh menteri agama
atau pegawai yang ditunjuk olehnya.
Pasal 3 ayat (1): yang melakukan akad nikah
dengan seorang perempuan tidak di bawah
pengawasan PPN atau wakilnya, dihukum
denda.
Bila rukun nikah telah lengkap, tetapi tidak
didaftar maka nikah tersebut adalah sah,
sedang yang bersangkutan dikenakan
denda karena nikah tidak didaftar
Pasal 2 ayat( 2):
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan Umum UU Perkawinan:
Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan perkawinan adalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang