Poligini
Oleh Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag.
SECARA bahasa poligini adalah ikatan perkawinan di mana laki-laki mengawini
lebih dari seorang perempuan pada waktu yang bersamaan. Sebaliknya, jika
perempuan yang memiliki suami lebih dari satu pada waktu yang bersamaan disebut
poliandri. Kedua-duanya (baik poligini maupun poliandri ) disebut poligami.
Dalam Islam poligini dibolehkan maksimal sampai empat orang dalam waktu
yang bersamaan berdasarkan Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW. Dalil yang
digunakan dari Al-Qur’an untuk membolehkannya adalah Surat An-Nisa’ ayat 3:
ن
ن إإوو
م
ن تتفنخإ
للأو
اُوط
ت س
إ قنتت
ِيفإ
َىموَاتويولنا
اُوح
ت ك
إ ننَافو
َامو
ب
و َاط
و
م
ن ك
ت لو
ن
و مإ
ءإَاس
و ننلا
َىنوثنمو
ث
و لوثتوو
ع
و َابورتوو
ن
ن إإفو
م
ن تتفنخإ
للأو
اُولتدإعنتو
ةةدوحإاُووفو
ونأو
َامو
ت
ن ك
و لومو
م
ن ك
ت نتَاموينأو
ك
و لإذو
َىنودنأو
للأو
اُولتُوعتتو
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S.
An-Nisa’ 4:3)
Dalam ayat di atas, Allah SWT mengingatkan kepada para wali anak-anak
yatim, bahwa jika mereka khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak
perempuan-perempuan lain yang disenangi satu sampai empat orang. Dan jika
mereka khawatir pula tidak sanggup berlaku adil terhadap isteri-isteri mereka, maka
kawinilah satu orang saja, atau budak-budak yang dimiliki.
Menurut ath-Thabari (IV:231-5), ada beberapa penafsiran tentang maksud
khawatir dalam ayat di atas: (1) Para wali khawatir tidak dapat berlaku adil dalam
memberi mahar jika mengawini anak-anak yatim yang berada di bawah
perwaliannya dibandingkan jika mereka mengawini perempuan-perempuan lain yang
setara; (2) Jika para wali mengawini perempuan-perempuan lebih dari empat orang
dikhawatirkan mereka kesulitan memberikan nafkah kepada mereka sehingga
mengambil harta anak-anak yatim yang di bawah perwaliannya untuk memenuhi
nafkah itu sebagaimana yang pernah dilakukan oleh orang-orang Quraisy sebelum
Islam; (3) Jika mereka khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim
yang berada di bawah perwaliannya, harusnya mereka lebih khawatir lagi tidak dapat
berlaku adil terhadap isteri-isteri mereka. Oleh sebab itu jangan kawin lebih dari
empat pada waktu yang bersamaan dan kalau masih khawatir tidak dapat berlaku adil
lebih baik kawini seorang perempuan saja; dan (4) Sebagaimana mereka khawatir
tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang berada di bawa
perwaliannya, seharusnya mereka juga khawatir untuk berbuat zina terhadap
perempuan-perempuan. Oleh sebab itu kawinilah satu sampai empat perempuan yang
baik-baik bagi mereka.
Dari empat penafsiran yang disebutkan di atas, penafsiran yang pertamalah
yang paling banyak dianut oleh para mufassir lain. Az-Zamakhsyari, ar-Râzi, Ibn
mereka. Tetapi kekhawatiran tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang
berada di bawah perwalian itu tidaklah menjadi syarat dibolehkannya poligini.
Artinya tanpa ada kekhawatiran itu pun seorang laki-laki Muslim diizinkan
berpoligini asal yakin dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Satu-satunya syarat
boleh berpoligini dalam ayat ini hanyalah kemampuan untuk berlaku adil.
Sedangkan dalil dari hadits antara lain adalah riwayat berikut ini:
نإ
ِي
ي بإنللا
َىللص
و
مَّهلللا
هإينلوعو
م
و للس
و وو
ل
و َاقو
نليغل
نب
ةيمأ
ِيفقثلا
دقو
ملسأ
هتحتو
رشع
ةُوسن
رنتوخنا
ن
ل َّهتننمإ
َاعةبورنأو
قرَافو
نهرئَاس
“Sesungguhnya Nabi SAW berkata kepada Ghailan ibn Umayyah ats-Tsaqafi
dan ia telah masuk Islam sedang di bawah (tanggungannya) sepuluh orang isteri:
“Pilihlah empat orang di antara mereka, dan ceraikanlah yang lainnya”. (H.R. Malik,
an-Nasai dan ad-Daruquthni)
ن
إ ع
و
ث
إ رإَاحولنا
ن
إ بن
س
س
ينقو
ل
و َاقو
ت
ت منلوس
ن أ
و
ِيدإننعإوو
ن
ت َاموثو
ةسُووس
ن نإ
ت
ت رنك
و ذوفو
ك
و لإذو
ِي
ن بإنلللإ
َىللص
و
مَّهلللا
هإينلوعو
م
و للس
و وو
ل
و َاقوفو
ِي
ي بإنللا
َىللص
و
مَّهلللا
هإينلوعو
م
و للس
و وو
رنتوخنا
ن
ل َّهتننمإ
َاعةبورنأو
“Dari Harits ibn Qais ia berkata: “Aku masuk Islam, sedang aku mempunyai
delapan orang isteri, maka aku sebut yang demikian kepada Nabi SAW, maka beliau
bersabda: “Pilihlah empat orang di antara mereka”. (H.R. Abu Daud)
Dapat dipahami dari dua hadits di atas, bahwa sebelum Rasulullah SAW
diutus, poligini dalam masyarakat Arab dibebaskan tanpa batas. Contohnya Ghailan
orang isteri. Lalu datang Islam membatasi menjadi maksimal empat dalam waktu
bersamaan.
Satu-satunya syarat yang disebutkan dalam ayat yang dikutip di atas yang
membolehkan seorang laki-laki boleh beristeri lebih dari satu adalah apabila yakin
dapat berlaku adil memperlakukan isteri-isterinya, dan keyakinan itu tentu saja
didukung oleh realitas obyektif yang ada pada diri laki-laki itu, tidak hanya sekadar
keyakinan. Yang penulis maksud dengan realitas obektif adalah memiliki
pengetahuan dan pemahaman tentang konsep adil dalam berpoligini menurut Islam,
memiliki harta kekayaan yang dapat memenuhi kewajibannya memberi nafkah
secara adil kepada isteri-isterinya. Menurut Sayyid Sabiq (II:110), suami wajib
berlaku adil terhadap isteri-isterinya dalam masalah makanan, tempat tinggal,
pakaian dan giliran bermalam bersama masing-masing mereka dan
kewajiban-kewajiban yang bersifat materil lainnya. Jika seseorang hanya yakin dapat berlaku
adil dengan dua isteri saja, haram bagi dia kawin yang ketiga kalinya, begitu
seterusnya.
Betulkah laki-laki dapat berlaku adil kepada isteri-isterinya, bukankah ada
ayat yang menyatakan:
ن
ن لووو
اُوعتيط
إ توس
ن تو
ن
ن أو
اُولتدإعنتو
ن
و ينبو
ءإَاس
و ننلا
ُونلووو
م
ن تتص
ن روحو
لوفو
اُولتيمإتو
ل
ل ك
ت
ل
إ ينمولنا
َاهوورتذوتوفو
ةإقوللعومتلنَاكو
ن
ن إإوو
اُوح
ت لإص
ن تت
اُوقتتلتووو
ن
ل إإفو
هولللا
ن
و َاك
و
ارةُوفتغو
َامةيحإرو
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Q.S. An-Nisa’ 4:129)
Dalam ayat ini dinyatakan bahwa suami tidak akan sanggu berlaku adil
terhadap isteri-isterinya walaupun dia sangat ingin berbuat demikian. Apakah tidak
terjadi pertentangan antara antara ayat ini dengan ayat 3 sebelumnya?
Menurut para mufassir tidak ada pertentangan antara kedua ayat tersebut,
karena keadilan yang tidak akan bisa dipenuhi oleh suami adalah keadilan sampai
kepada perkara hati atau perasaan kasih sayang secara batin. Yang dituntut dari
seorang suami hanyalah keadilan secara lahir, baik yang menyangkut nafkah, giliran
bermalam atau hubungan badan yang dapat diukur dan diatur. Sedangkan perasaan,
adalah sesuatu yang tidak dapat diukur secara pasti dan tidak dapat dimiliki oleh
siapapun. Menurut Ibn Katsîr (I:688), sekalipun misalnya seorang suami dapat
berlaku adil dalam mengatur giliran hubungan sebadan malam permalam, tapi dia
tidak akan dapat membaginya secara adil sampai kepada rasa sayang, nafsu dan
kualitas hubungan seksualnya. Dalam masalah kasih sayang misalnya, ‘Aisyah lebih
disayangi Rasulullah SAW dibandingkan isteri-isteri beliau yang lainnya. Menurut
‘Aisyah RA, Rasulullah SAW membagi secara adil untuk isteri-isteri beliau
kemudian berkata:
مَّهللا
اذه
ِيمسق
َاميف
لف .كلمأ
ِينملت
َاميف
كلمت
لو
ِينعي .كلمأ
“Ya Allah, inilah pembagian dari apa-apa yang aku miliki, maka janganlah
Engkau mencelaku dalam hal yang Engkau miliki dan tidak aku miliki, yaitu hati.”
(H.R. Ahmad)
Dalam pemahaman Hamka, sekalipun beristeri lebih dari satu diizinkan
dengan syarat yang ketat, tapi beristeri satu saja lebih terpuji. Pendapat ini
didasarkan Hamka kepada pemahaman ujung ayat 3 Surat An-Nisa’ ini yaitu “Yang
demikian itulah yang lebih memungkinkan kamu terhindar dari berlaku
sewenang-wenang”. Bagi Hamka (IV:232), poligini di samping sangat berat, juga menuntut
tanggungjawab yang sangat besar dan menyita banyak waktu dan pikiran untuk
memperhatikan dan melayani keinginan beberapa isteri yang satu sama lain memiliki
watak dan keinginan yang berbeda-beda. Belum lagi tugas dan tanggung jawab
menjaga kerukunan antar sesama anak-anak yang berlainan ibu.
Sekalipun bagi Hamka, berlaku adil dalam poligini itu adalah sesuatu yang
sangat berat untuk dipikul, namun Hamka tidak sampai menafikan sama sekali
kemungkinan dapat berlaku adil itu. Penafian kemungkinan berlaku adil yang ada di
dalam Surat An-Nisa’ ayat 129 dipahami Hamka sebagai keadilan yang menyangkut
perkara hati. Dalam hal ini Hamka (V:307) menulis: “Yang tidak sanggup
mengadilkannya itu ialah hati. Belanja rumah tangga bisa diadilkan bagi yang kaya.
Pergiliran hari dan malam pun bisa diadilkan. Tetapi cinta tidaklah bisa diadilkan,
apatah lagi syahwat dan nafsu setubuh…Kecenderungan kepada yang seorang dan
kurang cenderung kepada yang lain, adalah urusan hati belaka. Siapakah yang dapat
Walaupun berlaku adil secara lahir itu masih mungkin dilakukan, tapi
memang tidak mudah mewujudkannya, sehingga Al-Qur’an mengingatkan daripada
tidak mampu berlaku adil lebih baik kawin dengan satu orang saja. Sekarang timbul
pertanyaan, kalau memang poligini itu sangat berat, kenapa Islam tidak melangnya
saja? Dalam pandangan Hamka (IV:235-8), Islam tidak melarang poligini karena
beberapa pertimbangan: (1) Untuk menyalurkan secara sah dan sehat gelora seksual
yang dimiliki oleh laki-laki. Jika poligini dilarang, bagi yang tidak sanggup menahan
nafsunya dan tidak dapat memenuhinya dengan satu orang isteri, maka dia akan
mudah terjatuh pada perzinaan. Hamka mengakui betapa beratnya perjuangan batin
tiap-tiap laki-laki yang beristeri satu orang, terutama pada zaman mudanya, sebab dia
terjadi dari darah dan daging. Hanya kekhawatiran tidak dapat berlaku adil serta
memikirkan tanggung jawab yang berat mendidik anak-anak dengan segala
resikonya yang menghalanginya menikah lagi; (2) Untuk mengatasi problem yang
muncul di masyarakat tatkala jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki karena
berbagai macam sebab, misalnya akibat peperangan, karena laki-lakilah yang lebih
banyak mati dalam peperangan, bukan perempuan. Untuk mengatasi problem ini
hanya ada tiga alternatif: (a) Perempuan yang lebih itu tidak diberi keinginannya,
biar sampai mati tetap tidak mendapatkan suami; (b) laki-laki diberi kebebasan, di
samping satu orang isteri yang sah, dibolehkan memelihara gundik atau perempuan
piaraan. Dalam ungkapan lain pintu perzinaan dibuka seluas-luasnya; (c) laki-laki
dibolehkan beristeri lebih dari satu. Masing-masing isteri mememiliki hak dan
menjadi tanggung jawab bapaknya. Menurut Hamka, dari tiga alternatif itu yang
ketigalah yang realistis dan dapat dipertanggungjawabkan.