• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMPLEKSITAS HUKUM KELUARGA ISLAM DI REP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KOMPLEKSITAS HUKUM KELUARGA ISLAM DI REP"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPLEKSITAS HUKUM KELUARGA ISLAM DI REPUBLIK TUNISIA

Aulia Rahmat1

A. SEKILAS TENTANG REPUBLIK TUNISIA

Di antara negara-negara yang berada di daerah maghrib di Afrika Utara–daerah paling barat dari dunia Arab—yaitu Maroko dan Aljazair, Tunisa merupakan Negara yang paling kecil.2 Sebelah barat berbatasan dengan Aljazair, bagian utara dan timur berbatasan dengan Mediterania dan bagian selatan berbatasan dengan Libya.

Ibukota Tunisia adalah Tunis dengan luas wilayah 163.610 km2. Tunisia termasuk dalam kepulauan Karkuana untuk daerah timur, sementara di bagian tenggara termasuk kepulauan Djerba.3 Jumlah penduduknya mencapai 9.593.402 jiwa (berdasarkan sensus tahun 2000). Dari jumlah tersebut, 98% beragama Islam, sisanya Kristen 1% dan Yahudi 1%4 sehingga dalam perkembangan selanjutnya, di Negara ini syariat Islam bisa diterapkan secara menyeluruh.

Negara Tunisia terdiri dari 23 propinsi. Pada awalnya, Negara Tunisia merupakan propinsi otonom pada masa pemerintahan Turki Utsmani semenjak tahun 1574.5 Pada tahun 1880-an,6 negara ini menjadi anggota persemakmuran Perancis berdasarkan perjanjian La Marsa. Negara Tunisia merdeka secara penuh pada tanggal 20 Maret 1956.

Langkah nasionalisme bangsa Tunisia dipelopori gerakan kalangan elit intelektual yang dikenal dengan Young Tunisans, yang bertujuan mengasimilasi (memadukan) peradaban Perancis sampai akhirnya mereka dapat mengatur negara mereka sendiri. Mereka menggerakkan semangat egalitarisme, namun Perancis tidak menanggapinya secara serius. Langkah yang lebih serius dalam gerakan dasar nasionalis yang terjadi hanya sesaat sebelum dan sesudah Perang Dunia I dalam sebuah gerakan yang dipimpin oleh Abd al-Aziz Thalabi. Langkah ketiga datang pada tahun 1930-an saat

1 Penulis adalah tenaga pengajar pada Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang dan STAI Solok Nan

Indah.

2 Grolier International Incorporated, Negara dan Bangsa Afrika (Jakarta: Widyadara, 1990), 86.

3 Larry A. Barry, “Tunisia”, Encyclopaedia of Modern Middle East, ed. Reeva S. Simon dkk. (New York:

Simon and Schuster Mac Millan, 1996), vol-IV, 1794.

4 Sarmidi Husna, Hukum Islam di Tunisia dalam http://sarmidihusna.blogspot.com/ 2008/11/28/Menjadi-Akademisi-Bersendikan-Tradisi-HUKUM-KELUARGA-DI-TUNISIA.html akses tanggal 23 Maret 2011 – 07.33. Apabila dibandingkan dengan hasil sensus yang dilakukan pada tahun sebelumnya, seperti yang dijelaskan Tahir Mahmood dalam bukunya dinyatakan bahwa penduduk Tunisia berjumlah kurang lebih 7 juta jiwa dengan komposisi 97% beragama Islam. Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi: Academy of Law dan Religion, 1987), 151. Dalam literatur lain, lebih spesifik dinyatakan bahwa jumlah penduduk Tunisia pada tahun 1986 adalah 7.424.000 jiwa dengan kompisisi 97% beragama Islam. Gary L. Flower, “Tunisia”, Barnes & Noble New American Encyclopaedia (t.tp., Glorier Incorporated, 1991), vol-19, 335. Sebagaimana yang dimuat dalam Zudi Rahmanto, “Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, ed. M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 83. Pertumbuhan penduduk Tunisia meningkat drastis dalam 14 tahun dengan komposisi muslim yang juga meningkat dari 97% menjadi 98%. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan hukum keluarganya.

5 Abdullahi A. an-Na’im (ed), Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London:

Zed Books Ltd., 2003), 182.

6 Penulis sengaja hanya mencantumkan tahun 1880-an sebagai jalan tengah dari perbedaan yang

penulis temukan dalam beberapa literatur. Pada sebuah literatur, penulis menemukan bahwa Tunisia menjadi Negara persemakmuran Perancis pada tahun 1881, seperti yang dijelaskan dalam Abdullahi A. an-Na’im (ed),

Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed Books Ltd., 2003), 182. Sementara dalam literatur lain, disebutkan bahwa Tunisia menjadi Negara persemakmuran Perancis pada Tahun 1883. Lihat: John P. Entelis, “Tunisia”, The Oxford Encyclopaedia of Modern World, ed. John L. Esposito dkk (New York: Oxford University Press, 1995), ed-IV, 236. Lihat juga dalam Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World

(2)

seorang pengacara muda, Habib Bourguiba, memutuskan hubungan dengan Destour Party dan memproklamasikan Neo-Destour.

Bentuk pemerintahan Negara Tunisia adalah Republik7 yang dipimpin oleh seorang presiden dengan presiden pertamanya Habib Bourguiba8. Undang-undang Dasarnya disahkan pada tanggal 1 Juni 1959, yang secara tegas dalam pasal 1 menyebutkan bahwa Tunisia adalah Negara yang berdasarkan agama Islam. Bahkan lebih jauh lagi, dalam pasal 38 dinyatakan bahwa presiden Republik Tunisia haruslah seorang muslim.9

B. REFORMASI DAN KODIFIKASI HUKUM KELUARGA ISLAM

Presiden Habib Bourgiba yang memerintah selama 31 tahun, memberikan hak-hak lebih banyak kepada perempuan dibanding negara-negara Arab lain.10 Beberapa bulan setelah kemerdekaannya, pemerintah Tunisia langsung memberlakukan hukum keluarga, yang oleh banyak pengamat dianggap cukup maju dalam menginterpretasikan syariat Islam, terutama dalam membela hak-hak perempuan. Namun, bagi kalangan tertentu, hukum keluarga itu dianggap menyalahi bahkan menentang syariat.11 Aturan-aturan baru ini tidak hanya tidak hanya menentang praktek muslim tradisional bahkan menyatakan konfrontasi dengannya, sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh bangsa Perancis.12

Sejak masuk dan berkembangnya Islam di Tunisia, mayoritas penduduknya menganut mazhab Maliki. Namun demikian, Tunisia juga dipengaruhi oleh mazhab Hanafi13 sebagai konsekuensi dari posisinya yang merupakan salah satu daerah otonom dinasti Usmaniyah (sejak tahun 1574).14 Ketika bangsa Prancis menguasai Tunisia, mereka memberikan otoritas berimbang kepada hakim-hakim kedua mazhab tersebut untuk menyelesaikan kasus-kasus perkawinan, perceraian, warisan, dan kepemilikan tanah.

Dalam perjalanannya, secara perlahan-lahan mereka juga mengadopsi prinsip-prinsip hukum Prancis. Sehingga output sistem hukum yang dihasilkan merupakan

7 Hal ini disebutkan secara jelas bahwa Tunisia adalah Negara Republik Demokratis. Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi: Academy of Law dan Religion, 1987), 151. Lihat juga Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: NM Tripathi PVT Ltd., 1973), 99.

8“Tunisia” The New Encyclopaedia Britannica (USA: Encyclopaedia Britannica Inc., 1979). Sebagaimana

yang dimuat dalam Zudi Rahmanto, “Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, ed. M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 83.

9 Abdullahi A. an-Na’im (ed), Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London:

Zed Books Ltd., 2003), 182.

10 Musdah Mulia, Menghukum Pelaku Poligami dalam http://majalah.tempointeraktif.com/

id/arsip/2010/04/26/KL/mbm.20100426.KL133345.id.html# akses 23 Maret 2011 – 07.33 WIB.

11 Sarmidi Husna, Hukum Islam di Tunisia dalam http://sarmidihusna.blogspot.com/

2008/11/28/Menjadi-Akademisi-Bersendikan-Tradisi-HUKUM-KELUARGA-DI-TUNISIA.html akses 23 Maret 2011 –

07.33 WIB.

12 John P. Entelis, “Tunisia”, The Oxford Encyclopaedia of Modern World, ed. John L. Esposito dkk (New

York: Oxford University Press, 1995), ed-IV, 236

13 Abdullahi A. an-Na’im (ed), Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London:

Zed Books Ltd., 2003), 182.

14 Namun banyak di antara berbagai dinasti yang pernah berkuasa di Tunisia baik asing maupun asli

(3)

perpaduan sinergis antara prinsip hukum Islam (Maliki dan Hanafi) dan prinsip-prinsip hukum sipil Prancis (French civil law).15

Pada tanggal 20 Maret 1956, Tunisia resmi merdeka. Sesaat setelah itu, pemerintah Tunisia memberlakukan undang-undang hukum keluarga yang disesuaikan dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Tunisia. Upaya pembaharuan ini didasarkan kepada penafsiran liberal terhadap syari’ah terutama yang berkaitan dengan hukum keluarga.16 Undang-undang tersebut bernama Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyah17 Nomor 66 tahun 1956. Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyah (Code of Personal Status) itu sendiri berisi 170 pasal 10 buku mencakup materi hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak yang berbeda dengan ketetapan hukum Islam Klasik.

Undang-undang ini mengalami kodifikasi dan perubahan (amandemen) beberapa kali, yaitu melalui Undang-undang Nomor 70 Tahun 1958, Undang-undang Nomor 77 Tahun 1959, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1962, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964, Undang-undang Nomor 17 Tahun 1964, Undang-undang Nomor 49 Tahun 1966 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1981.

Untuk lebih rincinya, penulis mencoba memetakan ulang kronologis amandemen ini sebagai berikut :

Tahun Materi Amandemen

1958 Pasal 18 tentang Poligami

1959 Penambahan pasal 143A tentang prinsip-prinsip radd ke Buku IX (Waris) dan Buku XI (Wasiat)

1961 Pasal 32 tentang Perceraian

1964 Pasal 5 tentang Batasan usia perkawinan

1964 Penambahan Buku XII (Hadiah/Hibah)

1966 Pasal 57, 64 dan 67 tentang Hadhanah

Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut, sebagai berikut18:

15 Perlu dicatat, bahwa walaupun secara umum berlandaskan mazhab Maliki, akan tetapi regulasi di

Tunisia memasukkan pula beberapa prinsip yang berasal dari mazhab-mazhab yang lain. Lagipula, jika dibanding dengan negara-negara Arab lain, reformasi di bidang hukum di Tunisia lebih revolusioner

16 Cipto Sembodo, Dari Sosialisme Hingga Sekulerisasi: Anak Angkat dalam Reformasi Hukum Islam di Negara-negara Muslim: Sebuah Studi Perbandingan.

17Tunisia melakukan reformasi dan kodifikasi hukum keluarga pada saat setelah negara itu memperoleh

kemerdekaan. Pada akhir tahun empat puluhan, beberapa ahli hukum terkemuka Tunisia berpikir bahwa dengan melakukan fusi terhadap mazhab Maliki dan mazhab Hanafi, maka sebuah ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga dapat dikembangkan yang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial di Tunisia. Sekelompok ahli hukum mengajukan catatan perbandingan antara dua sistem hukum, Hanafi dan Maliki, dan dipublikasikan di bawah judul Laiha>t Majalla>t al-Ah{ka>m al-Sar’iyyah (Draf Undang-undang Hukum Islam). Akhirnya, pemerintah membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh Islam, Muhammad al-Jait, guna merancang Undang-undang resmi. Berdasarkan sumber-sumber yang berasal dari Laihat dan Undang-undang Hukum Keluarga Mesir, Jordan, Syiria dan Turki, panitia tersebut mengajukan Rancangan Undang-undang Hukum Keluarga kepada pemerintah. Rancangan tersebut akhirnya diundangkan di bawah judul Majallat Ahwal al-Syakhshiyyah (Code of Personal Status) tahun 1956, berisi 170 pasal 10 buku dan diundangkan ke seluruh Tuisia pada tanggal 1 Januari 1957. Nur Avik, Reformasi Hukum Keluarga Tunisia dalam http://nuravik.wordpress.com/2010/08/24/ reformasi-hukum-keluarga-tunisia/ akses 31 Maret 2011 – 11:22

18 J.N.D. Anderson, “The Tunisian Law of Personal Status”, International and Comparative Law Quarterly

(4)

1. Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki;

2. Untuk penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri;

3. Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;

4. Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik;

5. Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas;

Dari sekian banyak pembaharuan terhadap Undang-undang Status Personal 1956 ini, ada dua hal yang mendapat respon negatif dari sejumlah orang yakni tentang keharusan perceraian di pengadilan dan larangan poligami. Ketentuan hukum ini memicu perdebatan serius di kalangan ulama negara-negara Arab. Mayoritas ulama menolak ketentuan ini. Meskipun demikian, reformasi hukum keluarga di Tunisia tetap dilakukan dengan berpegang pada prinsip pembelaan dan pemberdayaan kaum perempuan.19

C. TINJAUAN FIQIH TERHADAP UNDANG-UNDANG HUKUM KELUARGA TUNISIA 1. Hukum Perkawinan

a. Usia Perkawinan20

Laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melakukan perkawinan jika telah berusia minimal 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang merubah isi pasal 5 UU 1956 yang mana sebelum diubah, ketentuannya adalah 17 tahun bagi perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki. Berdasarkan ketentuan tersebut, untuk dapat melangsungkan perkawinan, pasangan yang berusia di bawah 20 tahun harus mendapat izin dari wali. Jika wali tidak memberikan izin, perkara tersebut dapat diputus oleh pengadilan (pasal 5).

Akan tetapi, pada Tahun 1981, ketentuan pasal ini berubah bahwa untuk dapat melakukan perkawinan, laki-laki harus berusia 20 tahun dan perempuan harus berusia minimal 17 tahun (pasal 5 [2]). Sehingga bagi mereka yang berusia di bawah 20 tahun harus mendapatkan izin dari pengadilan (pasal 5 [3]). Izin tidak dapat diberikan jika tidak ada alasan yang kuat dan keinginan yang jelas dari masing-masing pihak. Di samping itu, perwakilan di bawah umur tergantung pada izin wali. Jika wali menolak untuk memberikan izin, padahal para pihak telah berkeinginan kuat untuk menikah, perkara dapat diputus oleh pengadilan. Ini merupakan langkah maju jika dilihat dari ketentuan kitab mazhab Maliki. Sebab tidak ada batasan yang jelas mengenai batasan usia menikah dalam kitab-kitab tersebut.21

Penentuan batasan usia minimal dalam perkawinan tidak disebutkan dalam ayat Alquran secara jelas. Demikian juga halnya dengan hadits Nabi SAW yang tidak pernah merincikan batasan usia minimal dalam perkawinan. Bahkan Nabi SAW sendiri menikahi ‘Aisyah saat pada usia 6 tahun dan menggaulinya pada usia 9 tahun. Dasar permikiran tidak adanya batasan umur mengenai perkawinan, kiranya sesuai dengan pandangan umat Islam pada masa itu tentang hakikat perkawinan. Menurut mereka, perkawinan itu tidak dilihat dari segi hubungan kelamin, namun lebih dititik-beratkan dalam usaha menciptakan hubungan mushaharah.22

19 Musdah Mulia, Menghukum Pelaku Poligami http://majalah.tempointeraktif.com/

id/arsip/2010/04/26/KL/mbm.20100426.KL133345.id.html# akses 23 Maret 2011 – 07.33 WIB.

20 Fiqih dan Undang-undang selalu mencantumkan bahasan mengenai batasan usia dalam penikahan

guna memenuhi persyaratan mumayyiz sebagai salah satu syarat dalam perkawinan. Muhammad Amin Suma,

Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Rajawali Grafindo, 2005), 54.

21 Lihat misalnya dalam Sayyid Muhammad al-Zarqa’, Syarh al-Muwatta al-Imam Malik dan Imam

Alauddin, Bada’i Sana’i.

(5)

Meskipun secara terang-terangan Alquran23 dan hadits Nabi tidak memberikan batasan yang jelas, namun dari isyarat secara tidak langsung sudah ada di dalamnya. Ikatan perkawinan24 akan menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik. Adanya hak dan kewajiban tersebut mengindikasikan bahwa pelakunya diharuskan sudah dewasa. Untuk menetapkan konteks “dewasa” ini, terdapat perbedaan. Terlepas dari konsep yang diberikan oleh para ulama, perbedaan ini juga dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan, kebudayaan, tingkat kecerdasan suatu komunitas dan beberapa faktor pendukung lainnya25.

b. Perjanjian Perkawinan

Undang-undang Tunisia 1956 memberi peluang adanya khiyar al-syart

dalam perkawinan. Jika ada isi perjanjian yang terlanggar, pihak yang dirugikan oleh pelanggaran tersebut dapat mengajukan permohonan pembubaran perkawinan. Pembubaran perkawinan tersebut tidak bisa melahirkan hak ganti rugi jika hal tersebut terjadi sebelum perkawinan terlaksana secara sempurna (ba’da al-dukhul) (pasal 11).

Sebagian besar literatur fiqih klasik tidak memberikan pembahasan inten terhadap perjanjian perkawinan. Pembahasan fiqih cenderung pada persyaratan dalam perkawinan. Perjanjian merupakan bahagian yang terpisah dari akad perkawinan itu sendiri. Hal ini berarti bahwa apabila perjanjian perkawinan dilalaikan oleh salah satu pihak, tidak berarti akad perkawinan batal. Pada dasarnya, kedua belah pihak wajib menepati janji perkawinan kendatipun materinya tidak dituliskan dalam materi-materi akad. Oleh karena itu, kealpaan salah satu pihak untuk menunaikannya, baik secara menyeluruh ataupun prsial, mengakibatkan adanya tuntutan perceraian.26 Namun, pihak yang dirugikan mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan perkawinannya.27

c. Poligami

Pasal 18 Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia menyatakan bahwa beristri lebih dari satu orang adalah perbuatan yang dilarang.28 Demikian pula, Undang-undang ini secara tegas menerangkan bahwa seseorang pria dilarang berpoligami dapat diancam hukuman penjara satu tahun atau denda setinggi-tingginya 240.000,- malim.

Adapun dasar larangan poligami yang dipergunakan oleh Pemerintah Tunisia menurut John L. Esposito, adalah:

1) Bahwa poligami, sebagaimana perbudakan, merupakan institusi yang tidak dapat diterima mayoritas umat manusia di mana pun;

2) Ideal Alquran tentang perkawinan adalah monogami.29

Di sini, menurut Esposito, pandangan Muhammad ‘Abduh tentang ayat poligami dirujuk oleh pemerintah Tunisia. Menurut Muhammad ‘Abduh, keizinan berpoligami sebagaimana yang dijelaskan dalam Alquran surat al-Nisa [4] ayat 3

23 Lihat al-Qur’an surat al-Nisa [4] ayat 6. Berdasarkan ayat tersebut, dapat dipahami bahwa untuk kawin

itu ada batasan umur. Batasan umur tersebut adalah baligh.

24 Dalam konteks ini penulis ingin mengajak kita semua kembali merujuk kepada defenisi perkawinan.

Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah dalam al-Ahwal al-Syakhshiyyah, disebutkan bahwa perkawinan adalah akad yang membolehkan hubungan kelamin , bersenang-senang, saling tolong menolong dan di antara laki-laki dan perempuan, dan diantara mereka terdapat hak-hak dan kewajiban tertentu.

25 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 68.

26 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), 439. 27 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 146.

28 Di bawah kepemimpinan Presiden Habib Bourguiba Tunisia menjadi negara Arab pertama yang

melarang poligami. Larry A. Barry, “Tunisia”, Encyclopaedia of Modern Middle East, ed. Reeva S. Simon dkk. (New York: Simon and Schuster Mac Millan, 1996), vol-IV, 235-239.

(6)

telah dibatasi dengan penjelasan dalam Alquran itu sendiri, surat al-Nisa [4] ayat 129. Dengan demikian, ideal sebuah perkawinan Berdasarkan Alquran adalah menggunakan asas monogami. Lebih dari itu, syarat yang diajukan kepada suami agar sanggup untuk berlaku adil terhadap para istri adalah suatu kondisi yang sangat sulit, bahkan tidak mungkin dapat terealisasikan sepenuhnya.30

Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqaha’ salaf, dengan alasan cukup masuk akal, menyatakan bahwa Alquran tidak dapat begitu saja dianggap bertentangan dengan diri sendiri; dan, karena itu, keadilan yang dituntut oleh “ayat poligami” tersebut harus ditafsirkan sebagai hal-hal yang dapat dilakukan oleh suami, dan bukan perasaan batin (cinta)nya.

Ada dua alasan yang dikemukakan Tunisia melarang poligami: pertama, bahwa institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan atau masa transisi umat Islam, tetapi dilarang pada masa perkembangan atau masyarakat berbudaya; dan kedua, bahwa syarat mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil31 pada istri, sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi SAW yang mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.32 Presiden Bourguiba secara terang-terangan menyatakan bahwa “ide-ide yang berlaku di masa lampau, pada saat sekarang ternyata bertentangan dengan hati nurani manusia—misalnya tentang poligami dan perceraian yang sekarang diatur dengan hukum baru itu, dan juga semua masalah yang muncul dalam kehidupan moderin saat ini.” Ia menyatakan bahwa Islam telah membebaskan jiwa dan menyuruh manusia untuk meninjau kembali hukum-hukum agama sehingga mereka dapat menyesuaikannya dengan kemajuan yang dicapai manusia. Pernyataan ini jelas jauh berbeda dengan pandangan-pandangan dari kalangan Salaf.

Selain itu, para reformis di Tunisia menegaskan bahwa di samping seorang suami harus memiliki kemampuan finansial untuk menghidupi para istri, Alquran juga mensyaratkan pelaku poligami harus dapat berlaku adil kepada mereka. Aturan Alquran ini juga harus ditafsirkan, tidak hanya sekedar sebuah desakan moral, namun merupakan preseden kondisi hukum bagi poligami, dalam artian bahwa tidak satupun perkawinan kedua dapat diizinkan kecuali dan sampai terbukti dapat berlaku sama (egaliter) di mana para istri diperlakukan dengan adil. Namun melihat kondisi sosial dan ekonomi modern sepertinya sikap adil merupakan suatu hal yang mustahil. Ketika kondisi dasar poligami tidak dapat terpenuhi hukum Tunisia secara singkat menyatakan “poligami adalah dilarang”.33

30 John L. Esposito, Women in Muslim Family Law (New York: Syracus University Preess, 1982), 93. 31 Ukuran kekhawatiran di sini adalah jika tingkat kemungkinan dirinya tidak dapat berlaku adil mencapai

setidaknya 50% - 50% (syakk ), malah pada tingkat wahm (25 %) sekalipun dapat menjadi ukuran, meskipun untuk yang terakhir ini masih dapat ditoleran. Sedangkan perasaan dapat berlaku adil harus didasari dengan keyakinan atau paling tidak mencapai zhann (dugaan kuat). Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar (Dar Kutub

al-‘Ilmiyyah: Beirut, 1999), juz IV, 284.

32 Norman Anderson, Law Reform in the Muslim World (The Athlone Press: London, 1976), 63.Sebelum

kehadiran hukum ini para qadi di Tunisia terdiri dari kadi-kadi bermazhab Hanafi dan bermazhab Maliki, meskipun rakyat pada umumnya menganut mazhab Maliki. Namun sekarang hukum baru yang bercorak eklektik ini justru dinyatakan berlaku bagi semua orang Islam (dan lebih lanjut telah diterima oleh dan dinyatakan berlaku bagi orang-orang Yahudi), sehingga semua mahkamah dijadikan satu jenis dan semua jurisdiksi peradilan berada di tangan pengadilan-pengadilan nasional. Bhara Centrum, Kriminalisasi Praktik Poligami dalam Hukum Keluarga Negara-negara Muslim dalam http://developmentcountry.blogspot.com/2010/05/01/kriminalisasi-praktik-poligami-dalam_05.html akses 24 Maret 2011 – 08.26

33 Ilan Yeshua (CEO), “Islam” The New Encylopaedia Britannica (Encylopaedia Britannica Inc.: Chicago,

(7)

d. Pernikahan Yang Tidak Sah

Undang-undang Hukum keluarga Tunisia mengenal beberapa bentuk perkawinan yang tidak sah, sebagai berikut :

1) Perkawinan yang bertentangan dengan dasar-dasar perkawinan (pasal 21); 2) Perkawinan yang dilakukan tanpa ada izin dari salah satu pihak, baik suami

atau istri (pasal 3) ;

3) Perkawinan yang dilakukan sebelum usia pubertas atau di antara pasangan mempelai terdapat halangan hukum lainnya (pasal 5) ;

4) Perkawinan yang di dalamnya terdapat halangan perkawinan (pasal 15-17) ; 5) Perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang laki-laki dengan seorang

perempuan yang sedang berada dalam masa iddah (pasal 20).

Perkawinan yang tidak sah (fasid, invalid) dapat segera dibatalkan. Apabila perkawinan itu telah terlaksana dengan sempurna, maka beberapa akibat hukum yang ditimbulkan adalah istri berhak untuk menerima maharnya dan berkewajiban melalui masa iddah. Namun, apabila perceraian terjadi qabla al-dukhul, maka istri berhak untuk menerima mahar musamma. Anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan ini, maka nasabnya disandarkan kepada suami, akan tetapi di antara mereka tidak ada hak untuk saling mewarisi dalam warisan.34

e. Perceraian

Dalam Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia, sebuah perceraian yang dilakukan secara sepihak tidak mengakibatkan jatuhnya talak. Perceraian hanya dapat kekuatan hukum dan berlaku efektif apabila diputuskan oleh pengadilan.

Demikian juga sebaliknya, pengadilan dapat memutuskan perkawinan yang diajukan oleh istri dengan alasan suami telah gagal dalam memenuhi nafkah rumah tangga, atau karena kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan perceraian. Pengadilan juga dapat memutuskan perkawinan yang diajukan sepihak, dengan ketentuan pihak tersebut wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya. Putusan perceraian hanya akan diberikan, dalam segala kondisi apabila upaya damai yang telah diusahakan oleh pihak suami dan istri dalam dicapai (pasal 30-31).

Regulasi mengenai ini menunjukkan keseriusan pemerintahan Tunisia dalam mengakomodir dan melindungi hak-hak perempuan. Di sini dapat terlihat betapa pentingnya dilaksanakan urgensi untuk mencatatkan perkawinan yang bukan hanya sekedar formalitas belaka. Ketentuan ini sudah jelas diberlakukan bagi semua warga Negara. Selain berfungsi sebagai tertib administrasi dan perlindungan hukum bagi warga Negara, adanya asas legalitas ini juga mempermudah pihak-pihak terkait –dalam hal ini pemerintah-- dalam melakukan pengawasan dalam pelaksanaan undang-undang perkawinan.35

f. Talak tiga

Pasal 19 undang-undang 1956 Tunisia menegaskan bahwa seorang pria dilarang untuk merujuki mantan istrinya yang dijatuhkan talak tiga (talaq ba’in

kubra). Sebelumnya, telah disebutkan dalam pasal 14 bahwa talak tiga menjadi halangan yang bersifat permanen untuk pernikahan.36 Ketentuan pasal ini sesuai dengan pendapat-pendapat yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh.

34 Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: NM Tripathi PVT Ltd., 1973), 101. 35 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Rajawali Grafindo, 2005), 188. 36 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:

Academy of Law dan Religion, 1987), 157, lihat juga Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World

(8)

g. Nafkah Bagi Istri

Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia menggunakan prinsip-prinsip mazhab Maliki dalam hal nafkah istri. Hal ini telah diatur secara rinci dalam pasal 37-42. Lebih jauh lagi, pasal 41 menyatakan bahwa istri diizinkan membelanjakan harta pribadinya yang digunakan sebagai biaya hidup dengan maksud untuk dimintakan gantinya kepada istrinya. Adapun besarnya jumlah nafkah, tergantung pada kemampuan suami dan status istri, serta biaya hidup yang wajar (pasal 52). Lebih menariknya, suami yang menghindar dari kewajiban memberi nafkah atau kompensasi selama 1 bulan dapat dikenakan hukuman penjara 3 hingga 12 bulan dan denda antara 100 hingga 1000 dinar (pasal 53A).37

Kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya yang berlaku dalam fiqh didasarkan kepada adanya pemisahan harta antara suami dan istri.

Fiqh mazhab Maliki yang banyak dijadikan rujukan dalam regulasi ini kewajiban orang tua dan wali (guardian) terhadap pemeliharaan anak (hadhanah). Ketentuan yang berkaitan dengan hadhanah secara umum bersumber dari prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam mazhab Maliki. Dalam mazhab Maliki, apabila seorang laki-laki mentalak istrinya, maka pemeliharaan anak adalah hak ibunya, dengan alasan sorang ibu lebih besar kasih sayangnya dan memahami kemashlahatan serta kebutuhan anak dibanding seorang ayah atau keluarga lainnya.41

Formulasi fiqh juga menyatakan bahwa hak hadhanah ibu menjadi terputus apabila ibu melangsungkan perkawinan. Hal disebabkan karena adanya dugaan bahwa hal tersebut bisa membuat ibu menjadi lalai dalam mengurusi meninggal dunia sementara perkawinannya telah berakhir, maka hak hadhanah anak tersebut berpindah kepada orang tua yang masih hidup. Sedangkan apabila

37 Muhammad Zaki Saleh, Trend Kriminalisasi dalam Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim (2006).

Dipresentasikan pada forum Annual Conference Kajian Islam di Lembang, Bandung, 26-30 Nopember 2006

38 Sumber perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh mengenai kewajiban nafkah ini adalah perbedaan

prespektif dalam melihat: apakah nafkah itu menjadi wajib karena akad nikah atau karena usaha dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 168.

39Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa suami yang belum dewasa wajib member nafkah

apabila istri telah dewasa. Tetapi, apabila suami telah dewasa sementara istri belum, Imam Syafi’i mempunyai dua

pendapat dalam hal ini. Pertama, sama dengan pendapat Malik, kedua, istri berhak mendapat nafkah betapapun juga keadaanya. Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqh Para Mujtahid (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 519.

40 Abdul Wahab al-Baghdadi, al-Ma’unah ‘ala Mazhab ‘Alim al-Madinah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz II,

782.

41 Abdul Wahab al-Baghdadi, al-Ma’unah ‘ala Mazhab ‘Alim al-Madinah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz II,

940.

42 Abdul Wahab al-Baghdadi, al-Ma’unah ‘ala Mazhab ‘Alim al-Madinah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz II,

(9)

pernikahan berakhir dan kedua belah pihak masih hidup, maka pemeliharaan anak boleh dilakukan oleh salah satu dari kedua pihak atau boleh juga dilakukan oleh pihak ketiga. Pengadilan berhak memutuskan batas waktu pemeliharaan anak dengan mempertimbangkan kondisi anak yang bersangkutan sepenuhnya (pasal 67).

Formulasi fiqh menyatakan bahwa batas berakhirnya hadhanah adalah jika anak laki-laki telah mencapai batas usia baligh dan anak perempuan telah menikah. Hal ini memang berbeda dengan pendapat imam Syaf’i yang menyatakan bahwa batas hadhanah anak perempuan adalah ketika ia juga sudah baligh.43

2. Hukum Waris

Pembahasan warisan dalam Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia merupakan bentuk kodifikasi “tidak murni” ketentuan-ketentuan waris yang dimuat dalam kitab fiqih imam Maliki. Hal ini dikarenakan ada beberapa pembahasan materi hukum yang juga diadopsi dari pendapat pakar hukum dari mazhab lain di luar mazhab Maliki.

Sebagai contoh adalah pasal 88 yang menyatakan bahwa seorang ahli waris yang dengan sengaja menyebabkan kematian pewaris, baik sebagai pelaku utama atau hanya sebagai pelaku pendukung, atau mengungkapkan kesaksian palsu terhadap kematian pewaris, maka ia tidak berhak mendapatkan warisan dari pewaris yang meninggal.

Contoh lain adalah seorang anak perempuan dan anaknya dapat menjadi ’asabah dalam warisan, walaupun ada ahli waris dari pihak laki-laki seperti laki-laki dan paman (pasal 143 A). Dengan ketentuan ini, maka posisi anak perempuan dan putranya menjadi lebih baik dalam skema ahli waris yang sudah ditentukan dalam mazhab Maliki.

Waris adalah hukum yang tertutup, baik dari sisi pewaris harta, dengan pengertian bahwa tidak pihak lain yang berhak menerima selain yang telah disebutkan di dalam ayat-ayat waris. Waris juga tertutup dari segi prosentase, dengan pengertian tidak boleh menambah atau mengurangi prosentase harta sehingga kurang atau lenih dari 100%.44

3. Wasiat (Bequest)

a. Perbedaan Agama dan Kewarganegaraan

Regulasi yang berkaitan dengan wasiat yang paling menonjol adalah adanya legitimasi wasiat yang terjadi antara dua orang yang berbeda agama. Demikian pula halnya dengan keabsahan wasiat yang terjadi antara dua orang yang berbeda warga Negara (pasal 174-175).

Mayoritas doktrin dalam fiqh klasik menyebutkan bahwa tidak ada kemungkinan untuk saling mewarisi di antara muslim dan non muslim.45 Di sisi lain, dalam pendekatan kontemporer, pembahasan wasiat tidak memberikan batasan bagian tertentu yang harus diikuti oleh pewasiat. Prosentase pemberian wasiat adalah hak penuh pewasiat yang kadarnya berdasarkan pertimbangannya sendiri. Wasiat merupakan undang-undang khusus yang berada pada wilayah

43 Abdul Wahab al-Baghdadi, al-Ma’unah ‘ala Mazhab ‘Alim al-Madinah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz II,

941.

44 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), 418. 45 Untuk mengetahui perdebatan lebih jauh, lihat Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab

(10)

umum. Contohnya, seseorang yang di daerah Damaskus boleh mewasiatkan hartanya untuk anak-anak yatim yang berada di Somalia.46

Sedangkan bukti yang menunjukkan bahwa telah terjadi wasiat adalah adanya bukti otentik tertulis yang bertanggal dan ditanda-tangani oleh pihak yang berwasiat, sehingga keberadaan bukti yang disampaikan melalui ucapan/oral tidak dianggap sebagai bukti dalam wasiat (pasal 176).

Ketentuan ini memang sangat jauh berbeda dengan pendapat-pendapat ulama zaman klasik –terlepas dari perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan mereka-- yang menyatakan bahwa tidak ada redaksi yang baku untuk berwasiat. Wasiat dianggap sah diucapkan dengan redaksi yang bagaimanapun, yang bisa dianggap menyatakan pemberian hak kepemilikan secara sukarela setelah wafat.47

Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia tidak mengakui wasiat yang maksudnya sebagian dari warisan. Ketentuan ini memang sangat jauh berbeda dengan hukum yang berlaku di Mesir dan Sudan48.

b. Wasiat Wajibah

Ketentuan mengenai wasiat wajibah telah diperkenalkan pada Undang-undang Mesir Tahun 1946, dengan adanya pembentukan suatu ketentuan yang berkaitan dengan perihal kewajiban adanya wasiat bagi susu yang yatim dari pewaris. Hal ini kemudian diikuti oleh Syiria dan Tunisia.

Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia menyatakan bahwa ketentuan mengenai wasiat wajibah hanya diperuntukkan bagi cucu yatim dari generasi Pertama, baik laki-laki ataupun perempuan (pasal 192), dengan catatan bahwa cucu laki-laki mendapat bagian dua kali lipat lebih besar dari bagian cucu perempuan.

4. Adopsi

Adopsi atau anak angkat diperkenalkan dalam hukum keluarga Tunisia melalui Undang-undang Perwalian dan Adopsi Tahun 1958.49 Undang-undang ini terdiri dari 60 pasal yang dibagi dalam 3 bab, maisng-masing mengenai perwalian umum, kafalah dan anak angkat atau adopsi. Akan tetapi, satu tahun kemudian, ketentuan mengenai anak angkat diamademen. Tata cara, ketentuan dan syarat pengangkatan anak itu secara detail disebutkan dalam pasal 9-16.50

Pihak yang diperbolehkan melakukan pengangkatan anak adalah laki-laki dana perempuan, namun disyaratkan haruslah sudah dewasa, telah menikah dan mempunyai hak sipil secara penuh, berkarakter moral yang baik, sehat jasmani maupun rohani dan secara finansial mampu memenuhi kebutuhan seorang anak yang diangkat. Pihak pengadilan juga bisa memberikan izin kepada seorang janda atau duda untuk (karena kematian pasangannya), atau orang yang telah bercerai untuk mengangkat seorang anak (pasal 9). Dalam hal ini, pengadilan mewajibkan orang-orang tersebut untuk memenuhi semua aspek adopsi yang diusulkan sebagai keperluan anak yang hendak diadopsi. Izin dari pasangan (suami/istri) disyaratkan untuk menentukan sah atau tidaknya praktek adopsi yang dilakukan oleh seseorang (pasal 11).

46 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), 415. 47 Untuk mengetahui lebih lanjut tentang perbedaan pendapat dalam hal ini, lihat Muhammad Jawad

Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab (Jakarta: Lentera, 1999), 504-510.

48 Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: NM Tripathi PVT Ltd., 1973), 105 49 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:

Academy of Law dan Religion, 1987), 154.

50 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:

(11)

Beda atau selisih usia antara pihak yang akan melakukan adopsi dengan anak yang hendak diadopsi minimal 15 tahun. Seorang warga Negara Tunisia juga boleh melakukan adopsi terhadap seorang anak yang bukan dari warga Negara Tunisia (pasal 10).

Praktek adopsi berakibat pada diperolehnya nama baru (nasab) bagi si anak dari orang tua angkatnya, nama aslinya juga bisa dirubah. Jika diinginkan oleh oleh pihak yang melakukan adopsi, maka nama baru anak yang diadopsi itu bisa dicatatkan pada surat adopsi tersebut (pasal 14). Dalam keluarga angkatnya, anak angkat memperoleh hak dan kewajiban yang sama sebagaimana layaknya anak kandung, demikian juga halnya dengan orang tua angkatnya. Akan tetapi, bagi anak tersebut masih berlaku larangan-larangan kawin dengan keluarga kandungnya (pasal 15), seperti yang ditetapkan dalam Undang-undang Status Personalia Tunisia 1956.

Selanjutnya, pengadilan –melalui jaksa penuntut umumnya—bisa mengambil alih anak angkat dari orang tua angkatnya apabila terjadi kesalahan dan kelalaian dalam pemenuhan kewajibannya, dan haknya dipindahkan kepada orang lain. Hal ini dilakukan demi menjaga kepentingan anak tersebut (pasal 16).

D. KESIMPULAN

Kecenderungan pembentukan dan pembangunan hukum keluarga di Tunisia sangat signifikan. Bahkan berdasarkan beberapa literatur yang penulis temukan, perkembangan hukum keluarga di Tunisia dinilai paling revolusioner di antara semua Negara Muslim yang memberlakukan hukum pada wilayahnya. Pembaharuan paling menonjol adalah dalam masalah pelarangan poligami dan keharusan mencatatkan perceraian di lembaga peradilan.

Hal ini didasari oleh latar belakang historis terbentuknya Negara Rebuplik Tunisia. Komparasi fiqih klasik (intradoctrinal reform)–yang didominasi oleh mazhab Maliki dan

beberapa mazhab lainnya—yang kemudian disinergikan dengan warisan hukum Prancis (extradoctrinal reform) di Negara ini ternyata menghasilkan hukum baru yang senderung lebih “menghargai” perempuan dan anak-anak serta melindungi haknya.

(12)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

al-Baghdadi, Abdul Wahab, al-Ma’unah ‘ala Mazhab ‘Alim al-Madinah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz II

Anderson, J.N.D., “The Tunisian Law of Personal Status”, International and Comparative Law Quarterly (7 April 1985)

Anderson, Norman, Law Reform in the Muslim World (The Athlone Press: London, 1976)

Avik, Nur, Reformasi Hukum Keluarga Tunisia dalam http://nuravik.wordpress. com/2010/08/24/ reformasi-hukum-keluarga-tunisia/

Barry, Larry A., “Tunisia”, Encyclopaedia of Modern Middle East, ed. Reeva S. Simon dkk. (New York: Simon and Schuster Mac Millan, 1996), vol-IV, 1794.

Entelis, John P., “Tunisia”, The Oxford Encyclopaedia of Modern World, ed. John L. Esposito dkk (New York: Oxford University Press, 1995), ed-IV

Esposito, John L., Women in Muslim Family Law (New York: Syracus University Preess, 1982)

Flower, Gary L., “Tunisia”, Barnes & Noble New American Encyclopaedia (t.tp., Glorier Incorporated, 1991), vol-19

Grolier International Incorporated, Negara dan Bangsa Afrika (Jakarta: Widyadara, 1990)

Husna, Sarmidi, Hukum Islam di Tunisia dalam http://sarmidihusna.blogspot.com

/2008/11/28/Menjadi-Akademisi-Bersendikan-Tradisi-HUKUM-KELUARGA-DI-TUNISIA.html

Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqh Para Mujtahid (Jakarta: Pustaka Amani, 2007)

Lewis, B., C.H. Pellat dan Joseph Schaht (ed). “Dustur”, The Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1983), vol-II, edisi terbaru.

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab (Jakarta: Lentera, 1999)

Mahmood, Tahir, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: NM Tripathi PVT Ltd., 1973)

---, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi: Academy of Law dan Religion, 1987)

Mulia, Musdah, Menghukum Pelaku Poligami dalam

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/04/26/KL/mbm.20100426.KL133 345.id.html

an-Na’im, Abdullahi A. (ed), Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book

(London: Zed Books Ltd., 2003)

(13)

Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, 1999), juz IV

Saleh, Muhammad Zaki, Trend Kriminalisasi dalam Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim

(2006). Dipresentasikan pada forum Annual Conference Kajian Islam di Lembang, Bandung, 26-30 Nopember 2006

Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Rajawali Grafindo, 2005)

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007)

Shahrur, Muhammad, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004)

Referensi

Dokumen terkait

Tanah yang menjadi sampel dalam penelitian ini diambil dari desa sukajawa, Lampung tengah. Tanah tersebut kemudian dicampur dengan pasir yang selanjutnya dipadatkan dengan

Dari  uraian  di  atas  pendekatan  pembelajaran  adalah  upaya  penyederhanaan  yang  digunakan  oleh  pendidik  secara  terprogram  dalam  desain  intruksional 

Perinteisemmän näkemyksen (esim. Itkonen 2002: 62) mukaan akkusatiiviksi kutsutaan sellaista objektia, joka ei ole partitiivissa, tai eksistenti- aalilauseen subjektia, joka ei

Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) Gaya kepemimpinan transformasional ketua yayasan pondok pesantren terhadap kinerja guru madrasah tsanawiyah dilihat dari nilai

Pada keterlaksanaan penerapan LKS scientific approach materi perubahan lingkungan diperlukan pengelolaan yang baik terhadap alokasi waktu pembelajaran sehingga

Herman, Danny Z, 2005, melakukan Pendataan Sebaran Unsur Merkuri pada Wilayah Pertam- bangan Ciberang dan Sekitarnya Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Pusat Sumber Daya

apanya yang bagus, karena setelah jenuh dengan istrinya yang memang lebih tua darinya, mulyono mulai berubah haluan. Rasinem yang dalam usia aBG mulai nampak melek berisi,

Simulasi dan Latihan • Buat skala bobot jabatan untuk industri yang telah ditentukan/dipilih. • Evaluasi jabatan yang ada dengan skala yang