• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Ulayat di Tanah Papua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hak Ulayat di Tanah Papua"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

HAK ULAYAT DI TANAH PAPUA

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Agraria yang dibimbing oleh Bapak Heru Supriyanto, BEM, MSi

Disusun oleh :

Ach. Febry Priyono (02) 143030005207 Fikri Fardian Lazuardi (10) 143030005193 Moch Prabowo Sudibyo (19) 143030005197

Nasher Huwel (25) 143030005208

Rizki Harni Manurung (32) 143030005194

Rohman Juani (33) 143030005180

PROGRAM DIPLOMA III KEUANGAN SPESIALISASI PENILAI SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat ilmu dan nikmat sehat kepada kami sehingga kami dapat meyelesaikan penulisan makalah ini tepat waktu. Makalah kami yang berjudul “Hak Ulayat di Papua” membahas tentang hak ulayat dan permasalah permasalahannya di daerah Papua.

Dalam penulisan ini kami mendapat banyak bantuan. Oleh karna itu sudah selayaknya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam penulisan makalah kami, khususnya kepada Bapak Heru Supriyanto, BEM, MSi selaku dosen mata kuliah hukum agraria yang telah membimbing kami dalam penulisan makalah ini.

Kami sadar dalam makalah ini masih banyak kekurangan oleh karna itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, sehingga kedepannya kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.

Bintaro, 27 Juli 2015

(3)

DAFTAR ISI

C. Tinjauan Umum tentang Hak Ulayat di Papua...11

1. Pengertian Hak Ulayat, Tanah Ulayat, Masyarakat Hukum Adat, dan Daerah...11

2. Profil Singkat dan Sejarah Hak Ulayat di Papua...12

3. Subyek dan Obyek Hak Ulayat serta Cara terjadinya...13

4. Kedudukan Hak Ulayat setelah berlakunya Peraturan Menteri Agraria/Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat 15 5. Hak Membuka Hutan sebagai Faktor Penyebab Konflik Pertanahan adat ...17

6. Pengaruh dan Hubungan Hak Ulayat terhadap Penilaian Properti di Papua...25

7. Pelepasan Hak Atas Tanah...28

8. Sengketa Perkara Tanah di Papua dan Cara Penyelesaiannya...29

BAB III PENUTUP...34

(4)
(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsep hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat, sehingga mengakui adanya hak ulayat masyarakat hukum adat di berbagai wilayah di Indonesia yang telah lebih dulu ada dan mendiami tanah-tanah di Indonesia, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Walaupun tidak dijelaskan secara detail mengenai pengertian hak ulayat, namun Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) memberikan pengakuan terhadap adanya hak ulayat dalam hukum pertanahan nasional. Hak ulayat merupakan hak penguasaan tertinggi dalam masyarakat hukum adat tertentu atas tanah yang merupakan kepunyaan bersama para warganya. Meskipun demikian, ketentuan dalam UUPA juga memberikan batasan terkait dengan eksistensi dari hak ulayat masyarakat hukum adat. Adapun batasan tersebut adalah sepanjang menurut kenyataannya masih ada, sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

G. Kertasapoetra (1985:88) menyatakan bahwa “Hak ulayat adalah hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Masyarakat memiliki hak untuk menguasai tanah dimana pelaksanaannya diatur oleh kepala suku atau kepala desa.”

Hak ulayat memiliki wewenang untuk:

(6)

2. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dan tanah; dan 3. Menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan hukum

yang berkenaan dengan tanah (jual beli, warisan).

Penguasaan dan pengaturan serta penyelenggaraan penggunaan tanah oleh Negara diarahkan pemanfaatannya dengan mempertahankan Hak Atas Tanah Ulayat, Tanah Rakyat dan fungsi sosial untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang berbunyi: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Penguasaan terhadap tanah hak ulayat termasuk di Papua seharusnya mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960 dan peraturan pelaksanaan lainnya.

(7)

kepastian hukum kepada pengusaha. Pasal 43 UU Otsus juga memberikan legitimasi adanya pengakuan dari Pemerintah Provinsi Papua terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat di Papua dimana pada pasal tersebut membahas mengenai perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat.

Akan tetapi, pada pelaksanaannya acap kali terjadi konflik antara masyarakat hukum adat Papua dengan pemerintah, baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten terkait dengan hak-hak masyarakat adat Papua, khususnya hak ulayat. B. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa saja faktor yang menyebabkan konflik antara masyarakat hukum adat Papua dengan pemerintah terkait hak ulayat

2. Mencari penyelesaian hukum terhadap sengketa Tanah Hak Ulayat. C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan konflik antara masyarakat hukum adat Papua dengan pemerintah terkait hak ulayat?

2. Bagaimana penyelesaian hukumnya terhadap sengketa Tanah Hak Ulayat yang sudah didaftarkan dan telah terbit sertifikatnya?

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Adat

(8)

perundangan yang dibentuk oleh penguasa pemerintahan. Beberapa definisi hukum adat yang dikemukakan para ahli hukum, antara lain sebagai berikut:

1. Prof.Van Vallenhoven, yang pertama kali menyebut hukum adat memberikan definisi hukum adat sebagai : “ Himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada satu pihak yang mempunyai sanksi (karena bersifat hukum) dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat).Abdulrahman , SH menegaskan rumusan Van Vallenhoven dimaksud memang cocok untuk mendeskripsikan apa yang dinamakan Adat Recht pada jaman tersebut bukan untuk Hukum Adat pada masa kini.

2. Prof. Soepomo, merumuskan Hukum Adat: Hukum adat adalah synomim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative (statuary law), hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa.

3. Prof. Soekanto, merumuskan hukum adat: Komplek adat adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai sanksi (dari itu hukum), jadi mempunyai akibat hukum, komplek ini disebut Hukum Adat

(9)

kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-aturan/ peraturan itu harus dipertahankan oleh petugas hukum dan petugas masyarakat dengan upaya paksa atau ancaman hukuman (sanksi).

5. Hardjito Notopuro: Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata kedilan dan kesejahteran masyarakat dan bersifat kekeluargaan.

6. Suroyo Wignjodipuro: Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber apada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkat laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).

7. Seminar Hukum Adat dan pembinaan Hukum Nasional: Hukum adat diartikan sebagai Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang disana sini mengandung unsur agama. 8. Sudjito Sastrodiharjo menegaskan: Ilmu hukum bukan hanya mempelajari apa

(10)

Dengan kata lain memahami hukum adat harus dilakukan secara dinamik, dan selaras antara atas – yang memutuskan – dan bawah yang menggunakan - agar dapat diketahui dan dipahami perkembangannya.

Menurut Soepomo, Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Dalam berbagai seminar, maka berkembang kemudian hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) yang lazim dipergunakan untuk, menunjukkan berbagai macam hukum yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di dalam masyarakat, yang menurut Satjipto Raharjo, akan tetap ada sebagai kelengkapan dari Hukum Nasional. Penyebutan Hukum Adat untuk hukum yang tidak tertulis tidak mengurangi peranannya dalam memberikan penyaluran dari kebiasaan, kepentingan-kepentingan yang tidak terucapkan dalam hukum tertulis.

B. Hukum Adat dalam Perundang-undangan

Pada tahun 2000 MPR melakukan amandemen II terhadap UUD 1945 dan pengaturan tentang keberadaan MHA (Masyarakat Hukum Adat) yang keberadaannya diatur di dalam Pasal 18 B ayat (2) dalam bab tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 28 l ayat (3) dalam bab tentang Hak Asasi Manusia. Adapun bunyi lengkap kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 18 B ayat (2) :

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

(11)

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Keratuan Republik Indonesia,

yang diatur dalam undang-undang”.

Pasal 28 l ayat (3):

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan

perkembangan zaman dan peradaban”.

Berbeda dengan perumusan Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama, dalam perumusan Pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 hasil amandemen tersebut dicantumkan sejumlah persyaratan terhadap pengakuan dan penghormatan atas keberadaan kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat tersebut. Asal-usul dan kedudukan istimewa yang dimiliki daerah-daerah tersebut sebagaimana diakui oleh Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama tidak lagi diakui, sehingga harus dihapuskan dengan tidak dicantumkannya kembali dalam U.U.D 1945 amandemen II.

Pengakuan terhadap hukum adat atau hak-hak adat khususnya dalam bidang pertanahan salh satunya diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan peraturan di bawahnya. Dalam Penjelasan Umum angka III Undang-Undang Pokok Agraria dinyatakan, bahwa : “Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum

aripada rakyat banyak, oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada

hukum adat, maka hukum agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada

ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan

(12)

hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme

Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka Hukum Adat dalampertumbuhannya tidak

terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan

masyarakat swapraja yang feodal”.

Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan Negara diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya didalam alam bernegara dewasa ini. Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum-agraria yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula didalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi didalam Undang-Undang, dengan akibat bahwa didalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu sering kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat didalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya didalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna-usaha) masyarakat hukum yang bersangkuatan. sebelumnya akan didengar pendapatanya dan akan diberi “recognitie“, yang memang ia berhak menerimanya selaku pegang hak ulayat itu.

(13)

sedangkan pemberian hak tersebut didaerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua dari pada ketentuan dari padal 3 tersebut diatas. Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan, jika didalam alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan- akan ia terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat- masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya didalam lingkungan Negara sebagai kesatuan.

Sikap yang demikian terang bertentangan dengan azas pokok yang tercantum dalam pasal 2 dan dalam prakteknya pun akan membawa akibat terhambatnya usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran Rakyat seluruhnya. Tetapi sebagaimana telah jelas dari uraian diatas, ini tidak berarti, bahwa kepentingan masyarakat hukum yang bersangkutan tidak akan diperhatikan sama sekali.

Dalam pasal 5 dinyatakan bahwa, “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan

(14)

sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam

undang-undang ini (UUPA) dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu

mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Selanjutnyadalam penjelasan pasal 16 dinyatakan bahwa, Pasal ini adalah pelaksanaan daripada ketentuan dalam pasal 4. Sesuai dengan asas yang diletakkan dalam pasal 5, bahwa Hukum Pertanahan yang Nasional didasarkan atas Hukum Adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari Hukum Adat. Dalam pada itu hak guna usaha dan hak guna usaha bangunan diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modern dewasa ini, perlu kiranya ditegaskan bahwa hak guna usaha bukan hak erepacht dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan hak guna bangunan bukan hak opstal. Lembaga erepacht dan opstal ditiadakan dengan dicabutnya ketentuan-ketentuan dalam buku ke II Kitab Undang-undang Hukum Perdata.Dalam pada itu, hak-hak adat yang bersifat bertentangan dengan Undang-undang ini tetapi berhubungan dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum dapat dihapuskan, diberi sifat sementara dan akan diatur.Pasal 56 juga menjelaskan bahwa, Selama undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan Hukum Adat setempat. Sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini (UUPA).

C. Tinjauan Umum tentang Hak Ulayat di Papua

(15)

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1

Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :

1. Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenagan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahirian dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangjitan.

2. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.

3. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal atauopun atas dasar keturunan.

4. Daerah adalah daerah otonom yang berwenang melaksanakan urusan pertanahan sebagaiman dimaksud dalam undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Subyek dan obyek hak ulayat serta cara terjadinya

(16)

1. Masyarakat hukum adat teritorial disebabkan para warganya bertempat tinggal di tempat yang sama.

2. Masyarakat hukum adat geneologik, disebabkan para warganya terikat oleh pertalian darah.

Selanjutnya, Bushar Muhamad mengemukakan obyek Hak Ulayat meliputi: a. Tanah (daratan)

b. Air (perairan seperti : kali, danau, pantai, serta perairannya)

c. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar dan sebagainya).

d. Binatang liar yang hidup bebas didalam hutan.

3. Profil Singkat dan Sejarah Hak Ulayat di Papua

a. Profil Papua

Pulau Papua atau Guinea Baru (Bahasa Inggris: New Guinea, diindonesiakan menjadi Nugini) atau yang dulu disebut denganPulau Irian, adalah pulau terbesar kedua (setelah Tanah Hijau) di dunia yang terletak di sebelah utara Australia. Pulau ini dibagi menjadi dua wilayah yang bagian baratnya dikuasai oleh Indonesia dan bagian timurnya merupakan negara Papua Nugini. Di pulau yang bentuknya menyerupai burung cendrawasih ini terletak gunung tertinggi di Indonesia, yaitu Puncak Jaya (4.884 m).

(17)

sampai tahun 2001 dimana pulau beserta provinsinya kembali dinamakan Papua. Nama Irian yang awalnya disukai oleh penduduk asli Papua, sekarang dianggap sebagai nama yang diberikan oleh Jakarta.

Istilah "Papua" digunakan untuk merujuk kepada pulau ini secara keseluruhan. Istilah "Papua" sekarang juga digunakan untuk merujuk kepada dua provinsi di Papua bagian barat yang termasuk dalam wilayah pemerintahan negara Indonesia, yaitu Papua danPapua Barat. Namun beberapa publikasi (lihat misalnya Kartikasari et al. 2007) membatasi penggunaan nama "Papua" untuk bagian barat Pulau Nugini.

b. Sejarah Hak Ulayat di Papua

Pola Penguasaan lahan pada Masyarakat Papua Tanah dan hutan bagi masyarakat adat Papua dan juga masyarakat adat pada umumnya bukan saja merupakan sumber kehidupan ekonomi semata, namun juga merupakan sentral kebutuhan spiritual. Terdapat konsep kunci dalam tradisi masyarakat adat Papua, bahwa tanah adalah “ibu”. Hingga kini sesungguhnya bagi masyarakat adat Papua, tanah tidak bisa diperjualbelikan (Rahman 2007).

(18)

kelompok marga, maka secara ulayat lahan tersebut adalah milik marga yang bersangkutan (hak ulayat ) dan penguasaan ini dapat diwariskan kepada keturunannya, terutama keturunan laki-laki (hak waris) (Tokede,eta1.,2005 dalam Wiliam, et al.,2005). Seringkali pertumpahan darah dan perang tanding (raha) menjadi lumrah ketika penyelesaian sengketa tanah melalui lembaga tradisional telah tereduksi badan peradilan umum. Keputusan hakim yangtidak memenuhi rasa keadilan masyarakat mefasilitasi perang berkepanjangan. Kasus tertikamnya hakim diRuteng karena mengabaikan kearifan tradisional dalam pertimbangan pengambilan keputusan adalahcontoh menarik, betapa harga untuk suatu proses peradilan yang tidak bersih sangatlah mahal. Protessporadis masyarakat Amungme terhadap kehadiran Freeport merupakan contoh lain ketika banyak pihak mengabaikan peran tokoh adat tradisional sebagai pemangku hukum adat.Dari tinjauan dilapangan yang kami lakukan baik dari beberapa tulisan dan diskusi langsung denganMasyarakat Papua pada penelitian yang kami lakukan di Taman Nasional Teluk Cendrawasih, bahwa hampirseluruh masyarakat Papua mempunyai cara pandang yang sama dalam memaknai sumberdaya alam yangmereka miliki, bahwa menurut mereka alam adalah Mama/Ibu bagi masyarakat Papua. (Kristiantoet al. 2004).

4. Kedudukan hak ulayat setelah berlakunya peraturan menteri agraria/badan pertanahan nasional no.5 tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat

(19)

mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut yang bersangkutan.

Pasal 2 ayat (1) pelaksanaan Hak Ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat. Pasal 2 ayat (2) Hak Ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :

1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.

2. Terdapat tanah Ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.

3. Terdapat tatanan hukum adat menguasai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlau dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Dalam Pasal 4 ayat (1) penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk Tanah Ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan :

(20)

2. Oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan UUPA berdasarkan pemberian hak dari negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.

Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah Hak Ulayat masyarakat adat yang nyata-nyata masih ada didaerah yang bersangkutan. Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap Hak Ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat, sebagaimana dimaksud dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Kebijaksanaan tersebut meliputi :

a. Penyamaan persepsi mengenai Hak Ulayat (Pasal 1)

b. Kriteria dan penentuan masih adanya Hak Ulayat hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan Pasal 5).

c. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah Ulayatnya ( Pasal 2 dan Pasal 4 )

5. Hak Membuka Tanah sebagai Faktor Penyebab Konflik Pertanahan Adat

(21)

laki-laki sulung dari pendiri klan mempunyai kekuasaan untuk mengatur pemanfaatan tanah, dan kekuasaan tersebut dapat diwariskan. Klan merupakan persekutuan hukum terkecil secara geneologis patrilineal yang memiliki kesamaan hubungan darah dan mendiami suatu wilayah hukum adat tertentu.

Dalam hak kepemilikan komunal yang berdasarkan gabungan klan, kepala Ondoafi mempunyai kekuasaan untuk mengatur hak tersebut dibantu oleh sejumlah orang (khoselo). Kawasan ulayat yang dimiliki kelompok-kelompok suku ini sangat luas dan membutuhkan beberapa hari untuk dapat melintasinya. Seringkali ketika kita melintasi kawasan tersebut tidak dijumpai pemukiman atau bahkan manusia. Walaupun demikian, mereka mengenal batas-batas hak ulayat, misalnya dalam bentuk pohon besar, gunung, sungai, rawa, batu besar dan sebagainya. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa kawasan demikian tidak bertuan adalah tidak tepat. Hukum adat sudah mengatur kepemilikan tanah, hutan, gunung dan segala yang ada di dalamnya di seluruh tanah Papua.

(22)

UU Otsus Papua mengatur segala persoalan pembangunan dalam segala bidang, seperti ekonomi, sosial, politik, dan budaya, sehingga secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa UU Otsus Papua mengembalikan hak-hak dasar orang asli Papua. Dalam penjelasan UU Otsus Papua juga diberikan kewenangan kepada Provinsi Papua dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian diharapkan Pemerintah Provinsi Papua dapat lebih memanfaatkan kekayaan di Papua, termasuk dengan memberdayakan potensi sosial budaya yang terdapat di Papua. Pemerintah Provinsi Papua sangat diharapkan untuk memberikan peran yang lebih penting kepada masyarakat hukum adat yang ada di Papua.

Bertitik tolak dari landasan yuridis di atas, maka masyarakat adat Papua mendapat tempat yang sentral khusus di dalam pembangunan Provinsi Papua. Selama ini pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat adat, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dengan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua. Hak-hak dasar dimaksud antara lain hak memperoleh kehidupan yang layak dan hak untuk memperoleh pekerjaan dan hak untuk menyampaikan pendapat. Hak dasar ini berkorelasi dengan hak kepemilikan masyarakat hukum adat terhadap sumber daya alam, termasuk di dalamnya hak ulayat.

(23)

Otsus Papua menjelaskan bahwa Pemerintah Provinsi Papua wajib melindungi sumber daya alam, baik hayati ataupun non hayati, dengan tetap memperhatikan hak ulayat milik masyarakat adat Papua. Selain itu Pemerintah Provinsi Papua juga harus mengkaji apakah pemanfaatan sumber daya alam tersebut sudah memperhatikan kesejahteraan penduduk atau belum.

Menindaklanjuti perlindungan terhadap hak-hak masyarakat asli Papua, UU Otsus mengeamanatkan untuk dibentuk Majelis Rakyat Papua (MRP). Salah satu kewenangan dan tugas dari MRP yang berkaitan dengan perlindungan hak ulayat masyarakat adat Papua adalah memberikan saran, pertimbangan, dan persetujuan terhadap rencanana kerjasama antara Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga di wilayah Papua, khususnya yang menyangkut dengan perlindungan hak-hak asli orang Papua. Selain itu, MRP juga bertugas untuk menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan, dan masyarakat pada umumnya yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat asli Papua dan memfasilitasi tindak lanjutnya.

(24)

Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.)

Akan tetapi, pada kenyataannya isi dari Perda Hak Ulayat ini memiliki banyak kejanggalan terkait dengan eksistensi masyarakat adat Papua dan keberadaan hak ulayat masyarakat tersebut. Beberapa pasal di dalam Perda Hak Ulayat cenderung merugikan keberadaan hak ulayat masyarakat adat Papua. Ketentuan di dalam Perda Hak Ulayat seakan-akan memposisikan eksistensi masyarakat adat Papua dan hakhaknya sebagai sesuatu yang harus mendapat pengakuan dari Pemerintah Provinsi Papua. Aturan dalam Perda Hak Ulayat mengharuskan keberadaan hak ulayat masyarakat adat Papua didasarkan pada hasil penelitian.

(25)

Selain itu, dalam praktiknya pemerintah sering bersikap tidak adil kepada masyarakat hukum adat dengan cara mengambil tanah adat, tanpa melakukan pelepasan secara adat. Pemerintah sering melakukan ini untuk memberikan kewenangan kepada perusahaan-perusahaan untuk mengelola tanah ulayat. Padahal, hak ulayat itu diberikan kepada masyarakat adat setempat agar dapat mengelola tanah yang mereka tempati untuk kesejahteraan masyarakat adat itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat adat yang menggantungkan penghidupannya dari tanah tersebut menjadi kehilangan sumber penghidupannya. Pemerintah juga sering menggunakan alasan “demi kepentingan umum” sebagai alasan untuk menggunakan tanah ulayat masyarakat hukum adat di Papua. Hal ini bertentangan dengan aturan dalam Pasal 43 UU Otsus Papua yang menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui hak-hak masyarakat adat Papua serta mengembangkannya. Pemerintah juga tidak jarang enggan melakukan ganti rugi adat kepada masyarakat hukum adat terkait pemanfaatan tanah ulayat.

(26)

melakukan pendekatan secara baik. Pemerintah dan pihak ketiga yang diberikan kewenangan untuk memanfaatkan tanah ulayat di Papua sering menganggap ketika kompensasi atas pembebasan tanah sudah diberikan kepada masyarakat hukum adat, maka permasalahan sudah dianggap selesai. Pemerintah sering kali lalai memperhatikan kesejahteraan dan masa depan dari masyarakat hukum adat tersebut.

Kasus PT Freeport dengan masyarakat Suku Amungme adalah salah satu contoh kasus sengketa hak ulayat di Papua yang masih belum menemui jalan keluar. Suku Amungme selaku pemegang hak ulayat di daerah Mimika, tempat PT Freeport beroperasi, mengaku belum pernah menerima ganti rugi penguasaan tanah ulayat oleh PT Freeport sejak tahun 1967. Selain itu, suku-suku yang masih tinggal di sekitar daerah PT Freeport juga tidak mendapatkan kesejahteraan yang layak. Akibatnya, terjadi kesenjangan antara penduduk asli dengan pendatang. Permasalahan ini belum lagi ditambah adanya kasus kekerasan terhadap masyarakat adat Papua yang dilakukan oleh pemerintah, serta kasus penembakan yang dilakukan kelompok bersenjata terhadap karyawan PT Freeport.

(27)

orang-orang yang duduk di MRP adalah orang-orang yang tidak memiliki kedudukan penting dalam struktur masyarakat adat, sehingga ketika MRP harus berhadapan dengan kepala-kepala suku atau tetua adat, MRP tidak dapat berbuat banyak karena posisi mereka yang tidak tinggi di dalam struktur masyarakat adat.

Namun pada kasus tertentu, ditemukan juga ketidakpastian dari masyarakat hukum adat itu sendiri terkait kepemilikan hak ulayat atas tanah. Pada kasus tanah ulayat yang dijadikan Bandara Wamena, pemerintah sudah melakukan ganti rugi terhadap tanah ulayat milik Suku Wamena. Akan tetapi, ketika satu suku sudah diberikan ganti rugi oleh pemerintah, suku yang lain juga meminta ganti rugi kepada pemerintah karena mengklaim memiliki hak ulayat pada tanah yang sama. Banyaknya jumlah suku di Papua memiliki potensi bagi masing-masing suku untuk mengakui hak ulayatnya. Kondisi ini menyebabkan batas wilayah hak ulayat menjadi tumpang tindih dan menjadi kabur.

Keterkaitan hukum dan tanah adat di Indonesia

Menurut hukum adat di Indonesia, ada 2 (dua) macam hak yang timbul atas tanah, antara lain yaitu:

1. Hak persekutuan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh sekelompok manusia yang hidup dalam suatu wilayah tertentu yang disebut dengan masyarakat hukum (persekutuan hukum). Lebih lanjut, hak persekutuan ini sering disebut dengan hak ulayat, hak dipertuan, hak purba, hak komunal, atau beschikingsrecht.

(28)

Hukum Tanah Adat sebelum berlakunya UUPA Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari suatu persekutuan dan perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuai dengan kebutuhan mereka dalam

memanfaatkan dan mengolah tanah itu, para anggita persekutuan berlangsung secara tertulis. Selain itu dalam melakukan tindakan untuk menggunakan tanah adat, harus terlebih dahulu diketahui atau meminta izin dari kepala adat. Dengan demikian sebelum berlakunya UUPA ini tanah adat masih tetap milik anggota persekutuan hukum, yang mempunyai hak untuk mengolahnya tanpa adanya pihak yang melarang. 6. Pengaruh dan Hubungan Hak Ulayat terhadap Penilain Properti di Papua

Berikut ini merupakan sebuah kasus nyata pertanahan di Papua yang berhubungan dengan nilai properti.

Kantor Transmigrasi didatangi oleh seorang putra daerah di sekitar Distrik Muara Tami, Koya Barat. Dia minta uang pelepasan adat atas tanah yang sudah dipergunakan oleh sub-unit pelaksana perusahaan kami sejak lama (lebih dari 20 tahunan).

Tanah itu didapat dari Dinas Transmigrasi. Memang dulunya lokasi itu adalah lokasi transmigrasi. Dinas Transmigrasi pun dulu pernah melakukan pembayaran ganti-rugi dan pelepasan hak atas tanah adat kepada masyarakat setempat.

Lalu, bagaimana ceritanya masyarakat masih menuntut uang pelepasan adat kepada perusahaan kami? Ini memang sulit diterima logika orang-orang melayu. Keliatannya ada perbedaan logika hukum antara orang asli Papua dengan orang Indonesia ras melayu (tanpa bermaksud membeda-bedakan ras).

(29)

Jika A membeli tanah kepada pihak masyarakat adat, maka masyarakat akan

melepaskannya untuk A. Setelah A mendapat pelepasan, maka bisa dijadikan

pelepasan itu untuk sertifikat hak atas tanah. Setelah jadi sertifikat, kalau A mau jual

kepada pihak B maka itu adalah urusan A dan B sepenuhnya. Jual beli hanya

dilakukan antara A dengan B. Selesai.

Namun demikian, logika Papua mengatakan:

Jika A membeli tanah dari masyarakat adat, maka masyarakat akan membuat

pelepasan adat untuk A. Tanah itu boleh A sertifikatkan dengan dasar ada pelepasan

adat. Jika Å mau menjual kembali tanah itu, maka urusan A memang selesai. A dan B

jual-beli secara biasa. Tapi, B akan berurusan dengan adat karena adat berpikiran

bahwa pelepasan dulu dilakukan oleh adat kepada A, bukan kepada B. Oleh karena

itu, B harus membayar uang pelepasan adat kepada pihak adat. Jadi B harus

membayar dua kali, bahkan mungkin lebih.

Selidik punya selidik, setelah berbicara dalam rapat bersama di kantor Walikota Jayapura, ternyata karakteristik logika hukum seperti itu memang telah menjadi common law di Papua. Dari penelitian di sejumlah tempat di Papua, kasusnya sama: logika hukum yang berbeda dengan hukum positif Indonesia.

Ada sisi positif dan negatif dari keadaan ini. Positifnya, tanah tidak mudah dimiliki oleh pihak asing. Selamanya tanah bisa menjadi milik masyarakat adat asli. Ini dimungkinkan karena mereka berpikiran bahwa tanah selamanya adalah milik adat. Jika mau memakai diperbolehkan, tapi jika sudah tidak dipakai maka harus dikembalikan kepada adat.

(30)

Untung saja perusahaan kami perusahaan besar yang mengelola objek vital nasional dan didukung Pangdam dan Kapolda. Lalu, bagaimana dengan masyarakat biasa?. Sampai saat ini Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) pun masih menggodok Perda tentang Tanah Adat di Papua, sudah lama sekali belum selesai. Pasti mereka juga mencari titik temu antara hukum adat positif dengan hukum positif agraria nasional.

Bila masalah pelepasan tanah di Papua dikaitkan dengan penilaian properti maka properti yang ada di Papua akan jauh berbeda dengan properti yang ada di daerah lain. Nilai dari properti di Papua lebih rendah, hal ini terjadi karena sistem pelepasan tanah adat di Papua berbeda dengan pelepasan tanah di daerah lain. Hak Ulayat terikat dengan hukum adat yang berlaku dimana masyarakat adat seperti memiliki kuasa penuuh terhadap tanah adat tersebut.

7. Pelepasan Hak Atas Tanah

(31)

Adapun mengenai syarat-syarat Pelepasan Hak atas Tanah menurut Pasal 2 Perpres ini disebutkan bahwa Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Selain pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Gubernur untuk pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih, sedangkan untuk pengadaan tanah di wilayah kabupaten/kota, panita pengadaan tanah dibentuk oleh Bupati/Walikota.

Prosesnya sebagai berikut :

a. Panitia mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan

b. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya.

c. Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan.

(32)

e. Mengadakan musyarawah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi

f. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemgegan hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada diatas tanah. g. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

8. Sengketa Perkara Tanah dan Cara Penyelesaiannya

Pada umumnya permasalahan tanah yang ditangani oleh Kantor Pertanahan Kota Jayapura dibagi menjadi 2, yaitu : dengan musyawarah dan melalui pengadilan

a. Sengketa tanah diselesaikan melalui musyawarah adat

Sengketa masalah tanah yang diselesaikan dengan musyawarah adat antara para pihak yang bersengketa Di Kantor Pertanahan Kota Jayapura terdapat 22 kasus dengan cara membayar kerugian kepada masyarakat adat.

(33)

Nasional Republik Indonesia, penyelesaiannya harus cepat dan tanggap agar tidak ada konflik.

Dalam konteks ini, menurut catatan KPA, ada 6 corak sengketa tanah yang terjadi di Indonesia yang semuanya berhubungan dengan model pembangunan. Keenam corak itu adalah :

1. Sengketa tanah karena penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumi serta beragam tanaman dan hasil diatasnya sebagai sumbersumber yang akan dieksploitasi secara massif.

2. Sengketa tanah akibat program swasembada beras yang pada prakteknya mengakibatkan penguasaan tanah terkonsentrasi di satu tangan dan membengkaknya jumlah petani tak bertanah.

3. Sengketa tanah di areal perkebunan, baik karena pembangunan perusahaan inti rakyat /PIR.

4. Sengketa akibat penggusuran tanah untuk industri pariwisata, real estate, kawasan industri, pergudangan, pembangunan pabrik dansebagainya.

5. Sengketa tanah akibat penggusuran-penggusuran dan pengambialihan tanah-tanah rakyat untuk pembangunan saranasarana yang dinyatakan sebagai kepentingan umum maupun kepentingan keamanan.

(34)

menegakkan stabilitas sosial, politik dan keamanan agar proses pembangunan bangsa bisa berlangsung terus. Sedangkan upaya-upaya rakyat untuk mempertahankan haknya akan segera diklaim sebagai upaya-upaya yang menghambat pembangunan dan dijadikan pembenaran oleh negara dan aparatusnya. Dari berbagai kasus sengketa tanah yang terjadi, kita bisa lihat bahwa dalam proses penaklukan dan penindasan ini seringkali terjadi pengabaian prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Dari beberapa masalah yang masuk, ada sejumlah masalah yang dapat diselesaikan, tetapi juga banyak yang tidak dapat ditangani lebih lanjut antara lain karena data-datanya tidak jelas atau tidak lengkap. Pengaduan masalah atas umumnya menyangkut masalah penguasaan dan pemilikan tanah antara pihak yang memiliki bukti sertifikat dengan pihak yang masih memiliki bukti pelepasan adat atau ada pula masalah tumpang tindih overlap sertifikat dan sertifikat ganda.

Konflik adat dapat digolongkan kedalam konflik hukum yang memerlukan penyelesaian berdasarkan pada aturan Hukum Adat, dalam penyelesaian konflik adat harus terlebih dahulu aturan hukum mana yang dilanggar yang dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikannya oleh karena itu, dalam menangani konflik adat harus dipahami substansinya hukum yang dilanggar dan bagaimana proses penyelesaiannya. Timbulnya konflik karena adanya peraturan hukum adat yang dilanggar dan harus dikembalikan agar terjadi keseimbangan dalam masyarakat adat yang dilanggar sehingga harus diadakan kajian yang dapat meyakinkan masyarakat hukum adat.

(35)

Melihat kenyataan diatas, ada beberapa faktor penting yang menyulut konflik pertanahan. Diantaranya, aturan hukum pertanahan yang tidak pendukung penyelesaian konflik sebagai contoh akta perdamaian yang dibuat oleh pihak-pihak yang berseteru tidak bisa dijadikan akta peralihan hak, mekanisme penyelesaian yang tak memadai, registrasi tanah yang tidak optimal, dan perlindungan terhadap hak rakyat atas tanah yang dinilai masih belum memadai. Oleh karena itu laju masalah pertanahan di masa depan diperkirakan akan terus meningkat dan semakin kompleks.

Dua cara yang ditempuh Kantor Pertanahan dalam menyelesaikan sengketa tanah yaitu melalui musyawarah dan penyelesaian melalui Pengadilan. Penyelesaian sengketa tanah tersebut dilaksanakan oleh Seksi Sengketa, Konflik dan perkara sesuai tugas, pokok dan fungsinya berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia nomor 4 tahun 2006 yaitu mempunyai tugas menyiapkan bahan dan melakukan kegiatan penanganan sengketa konflik dan perkara pertanahan.

Tugas Seksi Sengketa, konflik dan perkara di Kantor Pertanahan Kota Jayapura adalah melaksanakan penanganan sengketa konflik dan perkara pertanahan, pengkajian masalah, sengketa dan konflk pertanahan secara hukum dan non hukum, penanganan dan penyelesaian perkara, pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi dan lainnya, usulan dan rekomendasi pelaksanaan putusan-putusan lembaga peradilan serta usulan rekomendasi pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah, dan pengkoordinasian penanganan.

(36)

Penyelesaian konflik sengketa perkara pertanahan ada yang bisa diselesaikan melalui musyawarah, tetapi ada pula yang berujung diselesaikan melalui perkara di pengadilan. Dibawah ini dipaparkan contoh kasus pertanahan yang diputus melalui keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap inkracht van gewijsde. Putusan Mahkamah Agung Reg No. 2057 K/Pdt/2006 perkara kasasi perdata antara Hengki Darwin kepala suku Tobatdji Enj’ros dengan Handoyo Tjondro Kusumo. Sengketa, konflik dan perkara pertanahan serta pelaporan penanganan dan penyelesaian konflik, sengketa dan perkara pertanahan. Dalam penyelesaian masalah apabila usaha musyawarah tidak dapat diselesaikan maka kepada pihak yang bersengketa dianjurkan untuk mengajukannya ke pengadilan.

Meskipun faktor utama dari konflik semacam diatas sudah jelas, sebagian ahli hukum adat membagi menjadi tiga faktor yaitu :

1. Pemerintah tidak tegas mendefinisikan dan menentukan kedudukan tanah ulayat di dalam sistim hukum nasional, khususnya dalam undang-undang pokok Agraria No. 5 tahun 1960,

2. Pemerintah bahkan telah mengingkari atau sekurang-kurangnya mengkerdilkan keberlakuan dan pelaksanaan hak tanah ulayat milik penduduk lokal. Hal ini khususnya dapat dilihat dalam undang-undang pokok kehutanan no. 5 tahun 1967, selanjutnya disebut UUPK 1967, dengan PP No. 21/1970, 3. dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 251/Kepres-II/1993.99

(37)

mengganggu berbagai aktivitas masyarakat kota Jayapura. Pemalangan terjadi karena tidak ada penyelesaian secara musyawarah adat.

Perkara tanah dalam tahun 2009 cukup besar terdapat 15 kasus yang masuk ke pengadilan di Jayapura. Masalah perkara tanah diajukan pada sidang pengadilan guna mendapat putusan hakim yang tetap, sehingga para pihak menempuh jalur hukum dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi sampai Tingkat Kasasi di Mahkamah Agung.

Sengketa hukum atas tanah tidak dapat dilepaskan dalam kaitannya dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia kita yaitu Negara Hukum yang berorientasi kepada kesejahteraan umum sebagaimana tersurat dan tersirat di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Negara Indonesia berdasarkan atas sistem konstitusi/hukum dasar, tidak bersifat absolutisme / kekuasaan yang tidak terbatas.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja; Negara hukum, kekuasaan itu tidak tanpa batas, artinya kekuasaan itu tunduk pada hukum. Secara populer dikatakan bahwa negara hukum adalah negara berdasarkan hukum, dan kekuasaan harus Tunduk pada hukum.

Perlindungan hukum, penegakan hukum dan HAM, kesadaran hukum serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib dan teratur sehingga penyelenggaraan pembangunan nasional akan makin lancar.

Suatu negara disebut negara hukum dapat dilihat dari beberapa hal. Menurut Kaelan, ciri-ciri suatu negara hukum adalah:

(38)

b. Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak.

c. Jaminan kepastian hukum, yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami, dapat dilaksanakan dan aman dalam melaksanakannya.

Konsekuensi negara Indonesia suatu negara hukum, yang terpenting adalah semua warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) menyebutkan: “Segala warga negara persamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya”. Disamping adanya persamaan setiap orang di hadapan hukum, masalah penegakan hukum.

Penyimpang dari yang ditentukan dalam Undang-Undang atau lain-lain peraturan negara. Ketentuan-ketentuan yang tersebut itu dapat dipaksakan dengan adanya ancaman hukum terhadap mereka yang melanggar, satu dan lain diatur dalam peraturan negara yang tertentu. Negara yang demikian itu disebut Negara Hukum Rechtsstaat. Tekanan pada hukum Recht dihadapkan sebagai lawan dari kekuasaan Macht. Hal ini juga memberikan penegasan bahwa sistem pemerintahan dikendalikan dan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi.

(39)

keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan tidak ada diskriminasi di antara warga negara baik mengenai haknya maupun mengenai kewajibannya.

(40)

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan

Hak ulayat merupakan hak penguasaan tertinggi dalam masyarakat hukum adat tertentu atas tanah yang merupakan kepunyaan bersama para warganya. Meskipun demikian, ketentuan dalam UUPA juga memberikan batasan terkait dengan eksistensi dari hak ulayat masyarakat hukum adat.

Papua merupakan salah satu daerah di Indonesia yang sampai saat ini masih menerapkan Hak Ulayat dalam status Hak Atas Tanah. Dalam penerapannya terdapat berbagai masalah yang timbul disebabkan beberapa hal, seperti ketidakadilan pemerintah dan adanya kejanggalan pada perda Hak Ulayat terkait dengan eksistensi masyarakat adat Papua dan keberadaan hak ulayat masyarakat tersebut.

(41)

hutan, gunung dan segala yang ada di dalamnya di seluruh tanah Papua, tapi itu kurang efektif untuk menentukan batas tanah ulayat.

Dalam praktik pemindahan hak atas tanah pemerintah juga sering bersikap tidak adil kepada masyarakat hukum adat dengan cara mengambil tanah adat, tanpa melakukan pelepasan secara adat. Pemerintah sering melakukan ini untuk memberikan kewenangan kepada perusahaan-perusahaan untuk mengelola tanah ulayat. Padahal, hak ulayat itu diberikan kepada masyarakat adat setempat agar dapat mengelola tanah yang mereka tempati untuk kesejahteraan masyarakat adat itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat adat yang menggantungkan penghidupannya dari tanah tersebut menjadi kehilangan sumber penghidupannya.

Penyelesaian sengketa tanah hak ulayat di Papua ada dua cara yaitu dengan cara melalui musyawarah adat dan melalui pengadilan. Sengketa masalah tanah yang diselesaikan dengan musyawarah adat antara para pihak yang bersengketa Di Kantor Pertanahan Kota Jayapura dengan cara membayar kerugian kepada masyarakat adat. Penyelesaian konflik sengketa perkara pertanahan ada yang bisa diselesaikan melalui musyawarah, tetapi ada pula yang berujung diselesaikan melalui perkara di pengadilan. Dalam penyelesaian masalah apabila usaha musyawarah tidak dapat diselesaikan maka kepada pihak yang bersengketa dianjurkan untuk mengajukannya ke pengadilan.

2. Saran

(42)

b) Adanya sosialisasi dari Pemerintah kepada masyarakat Papua tentang pendaftaran tanah hak ulayat agar kepastian hukum tercapai.

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar 1945;

Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; http://tesishukum.com/pengertian-hukum-adat-menurut-para-ahli/

http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2009/01/hukum-adat-dalam-perkembangan.html

https://zalirais.wordpress.com/2013/09/12/eksistensi-hukum-adat-dalam-bidang-pertanahan/

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat http://edhoniedo.blogspot.com/2015/01/makalah-tanah-adat.html

http://www.ilhamarisaputra.com/?p=82

Referensi

Dokumen terkait

perangkat lunak tanpa harus mengetahui bagaimana struktur di dalam perangkat lunak tersebut. Sebuah perangkat lunak yang diuji menggunakan metode black-box dikatakan berhasil

38 | Jejak Seribu Pena, Langkah Cerdas Menuju Olimpiade Matematika SDe SOLUSI SOAL-SOAL LATIHAN

Bila setiap unit sampling dalam populasi dilengkapi dengan informasi tambahan (auxiliary information) yang sering disebut sebagai size, maka informasi tersebut

Praktik Pengalaman Lapangan II (PPL II) digunakan sebagai ajang latihan bagi mahasiswa agar memperoleh bekal dan pengalaman sejak dini untuk dapat menciptakan

[r]

Dari hasil pengujian, terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara umur dengan kecemasan anggota keluarga terhadap penularan TB Paru, yang dibuktikan oleh nilai

Keberadaan UUPA merupakan landasan yuridis yang sangat kuat bagi Aceh untuk menerapkan Syariat Islam baik itu bidang pendidikan atau yang lainnya dengan

(3) Siswa dan guru memberikan respon terhadap sistem berdasarkan kriteria penilaian yang dilakukan melalui instrumen penelitian. 4) Analisis dan revisi produk. Kegiatan