• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Positivisme dan Problematika Pend

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Budaya Positivisme dan Problematika Pend"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

80

Budaya Positivisme dan Problematika Pendidikan

Karakter di Indonesia

i

Oleh: Arif Novianto

1

Abstak

Pendidikan dapat dianalogikan seperti dua mata pedang, artinya pendidikan di satu sisi dapat digunakan untuk membantu dan membebaskan manusia sedangkan pendidikan disisi yang lain dapat digunakan untuk mengekang dan mengancam kemerdekaan manusia. Itu semua tergantung siapa yang memegang mazhab pendidikan tersebut dan apa kepentingan yang melatarbelakanginya. Ketika ranah pendidikan terkungkum didalam dominasi Kapitalisme, maka dampak yang paling nyata dari pendidikan tersebut adalah digunakannya ”Culture Positivism” didalam mengeklusi nilai-nilai pendidikan. Yang dimana mengakibatkan Institusi pendidikan

dimetamorfosiskan menjadi Industrialisasi peserta didik yang hanya mengorientasikan para peserta didiknya untuk beradaptasi terhadap dunia Industri semata, dan

menghilangkan jiwa ktitisme dari pendidikan. Keadaan tersebut pasti akan mengakibatkan munculnya berbagai problematika didalam pembentukan Karakter setiap manusia. Sehingga dengan melakukan analisis terhadap masalah yang ditimbulkan oleh budaya Positivisme diatas, maka kita dapat mengelaborasi pengaruhnya terhadap penciptaan problematika Pendidikan Karakter di Indonesia serta didalam melihat fenomena-fenomena seperti korupsi dan maraknya Politik Uang di Indonesia sekarang ini.

Keywords: Budaya Positivisme, Kapitalisme dan Pendidikan Karakter

1

(3)

80

Pendahuluan

Sejarah telah mencatat, seiring terus berkembangnya peradaban didunia, pendidikan kini

telah bermetamorfosis menjadi suatu proses yang sangat vital bagi kehidupan setiap manusia.

Yaitu untuk menempa diri mereka didalam mengarungi dan membentuk arah geraknya dunia.

Pendidikan ini menjadi penting, karena pada hakikatnya manusia yang dilahirkan ke dunia ini,

pasti memiliki berbagai kekurangan dan kelemahan dalam diri mereka. Sehingga tujuan dari

pendidikan ini merupakan media untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan mereka dan

juga merupakan media atau alat untuk membebaskan serta memerdekakan mereka2.

Pendidikan juga dapat dipahami sebagai alat untuk membentuk karakter setiap manusia

didalam upaya untuk menciptakan penyadaran atas kemerdekaan yang dimilikinya. Namun,

seiring dengan tumbuh berkembangnya dinamika peradaban didunia, kemudian tumbuh pula lah

sebuah budaya Positivisme yang dibawa oleh masyarakat kapitalis, yang telah mengakibatkan

tereduksinya hakikat dari pendidikan itu sendiri.

Pengaruh Kapitalisme dan budaya positivisme terhadap pendidikan tersebut sangat jelas,

yaitu ilmu yang didiseminasikan kepada peserta didik adalah ilmu yang mengorientasikan

mereka untuk beradaptasi dengan dunia masyarakat Industri, dengan mengorbankan aspek

Critical Subjectivity, yaitu kemampuan untuk melihat dunia secara kritis3. Sehingga dengan pendidikan yang mengakar pada budaya positivisme ini, maka karakter yang terbentuk dari hasil

pendidikan tersebut adalah karakter-karakter manusia yang berpegang tegus pada prinsip

pragmatisme-oportunis dan meninggalkan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan bermasyarakat

dan bernegara. Yaitu prinsip demokrasi, kesadaran kritis, kepedulian sosial, bertanggung jawab

serta prinsip Kemerdekaan dan memerdekakan.

Terperasuknya dunia pendidikan didalam kungkungan budaya positivisme ini, akan

mengakibatkan semakin jauhnya dunia pendidikan kita dengan hakikat pendidikan yang

sebagaimana pernah diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantoro, yaitu pendidikan yang seharusnya

adalah “Untuk memerdekakan manusia lahir maupun batin”. Dengan logika

2

Lihat H.AR Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan: pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik (Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2009:20-43)

3

Nuryatno, Agus. 2011. Mazhab Pendidikan Kritis: Menyikapi Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan.

(4)

80

oportunis yang dibawa oleh Budaya Positivisme ini, akibat yang ditimbulkannya adalah

terciptanya para Pelajar atau murid yang berkarakter serba praktis. Hal tersebut memiliki

korelasi terhadap fenomena-fenomena yang berkembang di Indonesia dewasa ini. Seperti

fenomena maraknya tindakan Korupsi, fenomena suburnya money politik di setiap ajang kontestasi politik dan fenomena-fenomena lainnya.

Budaya Positivisme dan Indoktrinasi Pendidikan

Budaya Positivisme lahir seiring dengan tumbuh berkembangnya masyarakat

Kapitalisme didunia. Untuk dapat menciptakan efisiensi dan efektifitas kerja, agar dapat

memaksimalkan keuntungan dari sebuah pola produksi, para kapitalis menggunakan institusi

pendidikan formal sebagai alat untuk langsung melatih setiap manusia agar memiliki

kemampuan atau keahlian khusus didalam mendukung dunia Industri. Dengan cara itu para

kapitalis tidak perlu repot-repot lagi untuk melatih para buruhnya. Karena mereka telah

memiliki kemampuan dan keahlian khusus tersendiri. Sehingga dengan begitu para kapitalis

dapat menghemat biaya produksi dan dapat memaksimalisasi hasil-hasil produksinya.

Namun,pendidikan yang diharapkan oleh masyarakat kapitalis tersebut bertentangan

dengan hakikat pendidikan secara umum serta dengan hakikat pendidikan yang tercantum

didalam konstitusi Negara Indonesia. Hakikat pendidikan secara umum dapat dimaknai sebagai

sebuah media transformasi sosial dan media didalam memerdekakan setiap manusia. Sedangkan

hakikat pendidikan berdasarkan konstitusi kita adalah merupakan alat untuk “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Sedangkan hakikat pendidikan yang diharapkan oleh masyarakat kapitalis ini lebih merupakan media didalam mendapatkan kerja. Sehingga ada perbedaan yang begitu

mencolok antara ketiganya.

Mode of thought yang digunakan oleh budaya positivisme didalam mencapai hakikat pendidikan yang sebagaimana diharapkan oleh masyarakat kapitalis diatas adalah dengan

rasional teknokratik, yang mempunyai dua karakter utama, yaitu konformitas dan uniformitas4.

Konformitas mengarahkan para Pelajar atau murid untuk bersikap pasif dan adaptif terhadap

teks (buku pelajaran) dan konteks (realitas kehidupan. Sedangkan karakter Uniformitas

4

(5)

80

mengarahkan para pelajar untuk menciptakan one-dimensional man and society (manusia dan masyarakat satu dimensi).

Dengan rasional teknokratik ini, relasi yang ada dalam dunia pendidikan lebih bersifat

Indoktrinasi. Hubungan antara guru dan murid lebih bersifat Dominasi. Artinya guru adalah

subyek dan murid adalah obyek, guru mengajar dan murid diajar, guru mengetahui dan murid

tidak mengetahui, guru menerangkan dan murid mendengarkan serta guru berfikir dan murid

difikirkan.

Pendidikan tersebut menurut Paulo Freire adalah sebuah model Pendidikan Gaya Bank.

Nilai dari Pendidikan dianggap sebagai sebuah kegiatan menabung, dimana murid adalah

celengan dan guru sebagai penabungnya. Sehingga ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan

para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan5. Hasilnya pada jangka

panjang membuat murid sepenuhnya memusatkan diri untuk melanjutkan apa yang sudah

diterima dari guru tanpa mau mempertanyakan lagi. Keadaan tersebut sebagaimana dikatakan

oleh Hannah Arend6, merupakan sebuah proses pemanipulasian kesadaran.

Dengan konsep pendidikan di dalam budaya positivisme tersebut, maka

karakter-karakter yang terbentuk lebih bersifat negatif. Murid yang dimaknai hanya sebagai obyek dari

pendidikan, dikonstruksi menjadi seperti kumpulan keledai yang berkarakter penurut, patuh dan

berfikir serba praktis. Mereka teraleniasi dari kehidupannya dan terkekang didalam jiwa

sosialnya. Hal ini disebabkan apa yang ditekankan dalam proses pembelajaran adalah bagaimana

memiliki dan mengakumulasi pengetahuan, bukan bagaimana memahami, mengkritik,

memproduksi dan menggunakan pengetahuan sebagai alat untuk mengubah realitas (Paul

Allman dalam Nuryatno, 2013).

Selain itu, budaya positivisme ini juga digunakan oleh kelas kapitalis untuk dapat

mempertahankan eksistensinya. Eksistensi kapitalisme akan terus terjaga, ketika masih ada

ketimpangan-ketimpangan didalam masyarakat. Seperti ketimpangan pendapatan antara buruh

dengan pengusaha dan ketimpangan kepimilikan antara orang kaya dengan orang miskin. Lewat

5

Freire, Paulo. 2011. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, hlm. 52.

6

(6)

80

hegemoni nilai-nilai yang ada di masyarakat, para kapitalis juga berusaha untuk melakukan

produksi dan re-produksi nilai, tujuan, dan pemahaman mereka. Sehingga karakter kritis dari

seorang murid dan masyarakat berusaha untuk disingkirkan, untuk diganti dengan

karakter-karakter ber-tipe penurut, patuh dan menerima apa adanya. Dengan karakter-karakter tersebut, maka para

kapitalis akan tetap terjaga eksistensinya, karena tidak pernah ada orang-orang yang akan

dengan kritis menentang mereka dan berusaha merusak eksistensinya.

Sehingga pendidikan dibawah hegemoni kapitalisme tersebut, tidak akan pernah

menghasilkan para murid yang kritis dan sadar akan kemerdekaan yang dimilikinya serta

mengetahui makna dari dunia yang ditempatinya. Akan tetapi malahan menghasilkan para murid

dengan karakter pragmatis-oportunis yang menganggap dunia ada untuk membentunya, bukan

dia ada untuk membentuk dunia.

Logika Pragmatisme-oportunis didalam Pendidikan

Didalam cara pandang pragmatis-oportunis, hal yang terpenting dari sebuah pendidikan

adalah tentang apa hasil atau capaian yang telah atau akan didapatkan. Sedangkan proses dari

pendidikan itu sendiri, tidak begitu dianggap penting didalam budaya tersebut. Artinya perhatian

pendidikan hanya tertuju pada hasil dan tidak memperdulikan apakah untuk mencapai hasil

tersebut dengan menggunakan jalan pintas nan praktis ataupun dengan mempermalukan ilmu

pengetahuan itu sendiri.

Selain itu, bagi kaum pragmatis-oportunis pilihan bertekun dalam dunia pendidikan

adalah kekonyolan, bahkan ketololan. Dalam roh pragmatis dan oportunis tersebut juga

menganggap bahwa keterlibatan mereka dalam dunia pendidikan pertama-tama dan utama demi

kepentingan pribadi yang sesaat7. Dan cara pandang tersebutlah yang searah dengan harapan

para kapitalis untuk digunakan didalam memutar roda-roda Industrialisasi mereka.

Sehingga kemudian tidak mengherankan ketika muncul suatu paradigma baru di tengah

masyarakat, bahwa pendidikan dianggap sebagai bagian dari investasi sosial. Artinya pendidikan

dimaknai sebagai alat untuk mendapatkan pekerjaan. Alhasil pertimbangan dari setiap orang tua

7

(7)

80

didalam menyekolahkan anaknya adalah agar kelak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan

besaran investasi atau dana yang telah dikeluarkannya.

Hal tersebut terjadi tak terlepas dari pengaruh budaya positivisme yang sudah merasuk

dan mulai menyatu di dalam kehidupan masyarakat. Yaitu lewat berbagai negosiasi dan

pembenturan makna terhadap budaya dan nilai-nilai lokal di masyarakat. Yang akhirnya berhasil

didominasi oleh budaya positivisme melalui sokongan masyarakat kapitalis, dengan

mengerahkan berbagai sumber daya yang dimilikinya, seperti: institusi pendidikan, ilmu

pengetahuan, kebijakan puvlik, televisi, radio, fashion, Koran, gaya hidup, dll. Sehingga lewat

dominasi tersebut, kemudian para kapitalis dapat dengan leluasa membentuk karakter dan logika

berfikir dari sebagian besar masyarakat di Indonesia agar dapat sesuai dengan tujuan hidup dari

kelas kapitalis.

Pendidikan Karakter dan Problematika kehidupan bernegara

Melihat kenyataan sekarang ini, dimana dominasi budaya positivisme telah merasuk

kedalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tak pelak telah menimbulkan

berbagai problematika yang secara langsung telah menggoyahkan tatanan kehidupan

bernegara-bangsa itu sendiri. Budaya positivisme yang telah melahirkan manusia-manusia dengan

karakter-karakter pragmatis, pragtis, dan oportunis, juga turut andil didalam mendistorsi

proses-proses politik, ekonomi, birokrasi pelayanan publik, dan penegakan hukum.

Kita dapat melihat bagaimana dampak yang dihasilkan oleh budaya positivisme ini

didalam tataran kehidupan di pemerintahan Negara Indonesia. Penyakit korupsi serta fenomena

maraknya money politik di setiap ajang kontestasi politik merupakan sebagian dari buah budaya postivisme ini. Kasus korupsi yang selama ini telah menjadi penyakit didalam pemerintahan

kita, bila kita urai lebih dalam, itu terjadi karena disebabkan oleh lemahnya pendidikan karakter

dari setiap wakil rakyat selain juga masalah stuktur atau sistem didalamnya.

Para wakil rakyat yang sudah diarahkan untuk berkarakter pragmatis-oportunis, akan

lebih berfikir serba praktis dan lebih berfikir untuk mementingkan kepentingannya sendiri

(8)

80

dasar “apa yang akan saya dapatkan” bukan “apa yang akan saya berikan”. Sehingga secara tidak langsung mereka telah menafikan peran dan tugas yang seharusnya mereka lakukan.

Keadaan tersebutlah yang kemudian menghadirkan maraknya tindakan korupsi di

berbagai lini jenjang pemerintahan. Korupsi terjadi karena dianggap sebagai jalan pintas yang

sangat praktis didalam mengatasi masalah keuangan yang dihadapinya. Dengan karakter

pragmatis-oportunis ini, maka para koruptor tersebut tidak berfikir panjang tentang

akibat-akibat yang ditimbulkannya. Mereka lebih berfikir jangka pendek, tentang hasil yang

didapatkannya, tapi disatu sisi mereka tidak berfikir tentang bagaimana kesengsaraan ratusan

atau bahkan jutaan rakyat akibat hak-haknya yang telah mereka rampas.

Maraknya fenomena politik uang (money politic) di setiap ajang kontestasi politik di Indonesia, juga dapat diurai berdasarkan kegagalan peran Negara didalam membentuk etika dan

karakter setiap rakyatnya. Pemerintah Negara ini secara leluasa memberikan ruang bagi tumbuh

berkembangnya budaya positivisme. Itu terjadi karena frame berfikir pemerintah memang lebih

condong ke pandangan neo-liberalisme dan kapitalisme untuk sekarang ini.

Dengan karakter-karakter pragmatis-oportunis yang telah dibentuk oleh budaya

positivisme, telah menimbulkan dilematika tersendiri di setiap ajang kontestasi politik

(Pemilihan Umum). Para konstituen (Warga Negara Pemilih) yang sudah terjangkit oleh budaya

positivisme ini, memiliki kecendrungan untuk berfikir dalam jangka pendek di setiap ajang

kontestasi politik yang diikutinya. Hal tersebutlah yang menjadikan maraknya fenomena politik

uang, baik ditingkat nasional, lokal dan desa sekalipun.

Politik uang ini terjadi karena ada dua sisi magnet yang saling tarik menarik didalamnya.

Artinya ada dua kepentingan yang saling mempengaruhi, yaitu kepentingan dari pihak calon

wakil rakyat atau pemimpin dengan kepentingan dari pihak Konstituen. Dengan politik uang,

bagi pihak calon pemimpin merupakan cara yang paling praktis untuk dapat memenangkan

setiap ajang kontestasi politik. Sedangkan bagi para konstituen, politik uang tersebut adalah cara

untuk memperoleh hasil (imbalan) secara cepat dan nyata, tanpa harus menunggu

kebijakan-kebijakan dari pemimpin pemenang PEMILU yang dalam hal ini, pasti akan memakan waktu

(9)

80

Artinya politik uang terjadi karena didasari oleh logika berfikir yang serba praktis dan

dengan pertimbangan jangka pendek. Itu terjadi karena lebih dikedepankannya karakter-karakter

pragmatis-oportunis dibanding karakter-karakter kritis, bertanggung jawab, kepedulian sosial

serta karakter kedemokrasian. Sehingga dengan karakter pragmatis-oportunis ini lebih berpijak

pada kepentingan jangka pendek, tetapi melupakan dampaknya yang akan sangat berbahaya

pada jangka yang lebih panjang, seperti: kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat karena

kurangnya integritas dan kapabilitas dari pemimpin yang terpilih.

Kesimpulan & Solusi

Hadirnya budaya positivisme yang dibawa oleh kapitalisme dunia, secara tidak langsung

telah menimbulkan berbagai problematika di kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Budaya

positivisme ini dimasukkan ke dalam logika berfikir masyarakat melalui dua arah, yaitu melalui

dunia pendidikan formal dan melalui dinamika kehidupan masyarakat sehari-hari. Masyarakat

tidak dalam keadaan benar-benar sadar ketika menerima dan mengaplikasikan budaya

positivisme ini. Itulah yang dilakukan oleh para kapitalis agar hegemoninya dapat benar-benar

tertancap secara menyeluruh didalam kehidupan masyarakat.

Sehingga pendidikan kritis yang menyadarkan merupakan media yang paling utama

untuk dapat membebaskan setiap manusia dari rantai budaya positivisme ini. Pendidikan kritis

ini memiliki perbedaan dengan budaya positivisme yang cenderung mengabaikan

pengembangan sikap kritis didalam diri peserta didik. Didalam mazhab pendidikan kritis, proses

pembelajaran akan lebih diorientasikan untuk membangun sikap kritis-reflektif didalam diri

peserta didik8.

Dengan pendidikan kritis, karakter-karakter pragmatis-oportunis yang cenderung

memiliki tujuan menghamba kepada kepentingan dunia industri mulai dinomer duakan.

Sedangkan karakter-karakter demokrasi, kesadaran kritis, kepedulian sosial, bertanggung jawab,

kreatif, mandiri, disiplin, dan jujur merupakan bagian yang paling utama. Serta dengan

pendidikan kritis ini jugalah yang akan dapat membekali semangat “self-reliance” (jiwa yang

percaya kepada kekuatan sendiri) dan “self help” (jiwa berdikari) bagi para peserta didik.

8

(10)

80

Maka, dengan pendidikan kritis inilah yang merupakan salah satu media untuk dapat

mengatasi berbagai masalah yang mendera Indonesia selama ini, seperti: korupsi, money politik,

konflik sosial, dan lain sebagainya. Untuk kemudian dalam jangka panjang dapat menciptakan

karakter-karakter masyarakat yang dapat menyelaraskan diri dengan dinamika didalam

kehidupan berdemokrasi. Dan juga dapat membawa arah bangsa Indonesia ini kejalan lurus

menuju cita-cita konstitusi kita, yaitu untuk menciptakan kesejahtraan, kemakmuran dan

keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

(11)

80

Daftar Pustaka:

Buku:

- Anyon, Jean. 2011. Marx and Education. New York: Roudledge Press.

- Darmaningtyas & Edi Subkhan. 2012. Manipulasi Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta:

Resist Book.

-

Freire, Paulo. 2011. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

- Freire, Paulo. 2007. Politik Pendidikan: Kebudayaan Kekuasaan dan

Pembebasan. Yogyakarta :Pustaka Pelajar.

-

H.AR Tilaar & Riant Nugroho. 2009. Kebijakan Pendidikan: pengantar untuk memahami

kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik . Yogyakarta:

Pustakan Pelajar.

- Nuryatno, Agus. 2011. Mazhab Pendidikan Kritis: Menyikapi Relasi Pengetahuan Politik

dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book.

-

Prasetyo, eko. 2011. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogyakarta: Resist Book.

Majalah dan Surat Kabar:

- Novianto, arif. 2012. Polemik Pendidikan Nasional. Okezone[dot]com. Jakarta: 14 Mei.

- Susila, sidharta. 2011. Jangan Berbohong Untuk Pendidikan. Kompas. Jakarta: 25 November.

i

Referensi

Dokumen terkait

The changes of pH, ionic strength and suspended solids concentration and the process condition of submerged ultrafiltration (e.g. air bubbles flow rate) affect the

Pengaturan Penyelenggaraan Paket tour Sebagaimana fungsi dari BPU adalah sebagaiorganisator disamping juga sebagai perantara, maka dalam pelaksanaan paket tour yang telah

Beberapa kemungkinan pengembangan dari hasil rancangan ini adalah penambahan modul SMS, modem radio dan pengembangan menjadi sistem kendali untuk proses pengolahan limbah

Penelitian tentang pengolahan limbah cair industry penyamakan kulit dengan memanfatkan teknik fitoremediasi di dalam constructed wetland belum banyak

Dari hasil penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh profitabilitas dengan menggunakan ROE, profitabilitas dengan menggunakan ROE , interest coverage ratio, retained

FAKULTAS SYARIAH DAN DAKWAH JURUSAN.

Dengan adanya Keputusan Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor: 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha

[r]