TIM KOMPENDIUM BIDANG HUKUM TENTANG LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA
PERPAJAKAN
Disusun Oleh Tim Kerja Di bawah Pimpinan Dr. Tjip Ismail, S.H., M.H., MBA
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
JAKARTA 2011
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan hukum merupakan suatu kebutuhan mutlak dalam
rangka pembangunan suatu negara, untuk itu berhasilnya suatu
pembangunan di pengaruhi produk peraturan yang mengaturnya. Hukum
berfungsi memberi kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan
(zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).1 Di samping itu juga hukum sebagai alat untuk mengatur tata tertib masyarakat. Peraturan yang
tumpang tindih atau bertentangan antara undang-undang yang satu dengan
undang-undang yang lain sangat merugikan masyarakat dan negara,
karena menimbulkan “ambiguitas” dan ketidakpastian hukum. Untuk itu,
hukum sebagai sarana kontrol sosial dapat memberikan solusi dalam
rangka memenuhi tuntutan tersebut. Dalam suatu masyarakat yang sedang
membangun peranan hukum memegang arti penting, fungsi peranan itu
dilakukan dengan memanfaatkan hukum yang telah dipercaya untuk
1
mengembangkan misinya yang paling baru, yaitu sebagai sarana
perubahan sosial (social engineering) dan sarana pembinaan hukum di
masyarakat (social control and dispute settlement). Kepercayaan ini
didasarkan pada hakikat dan potensi hukum sebagai inti kehidupan
masyarakat.
Negara kita berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (maachtsstaat), hal ini ditemukan pada
beberapa ketentuan yakni:2 (a) penjelasan UUD 1945 mengenai sistem pemerintahan, (b) penegasan penolakan terhadap kekuasaan yang bersifat
absolutisme, (c) negara hukum di Indonesia dalam arti materiil, (d) sejalan
dengan negara demokrasi, (e) kekuasaan kepala negara terbatas bukan tak
terbatas, (f) dan dalam batang tubuh mengatur rumusan tentang hak-hak
kemanusiaan. Dalam negara hukum yang bertujuan mensejahterakan
seluruh warga negaranya (walfare state), pemungutan pajak negara harus
didasarkan pada undang-undang.3 Politik hukum nasional di bidang perpajakan tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VII B
Pasal 23A, yang menyatakan bahwa “pajak dan pungutan lain yang
2
Marbun, 2003, hlm. 11-13.
3
Soemitro, 2004, hlm. 16.
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Demikian pula di negara-negara maju berlaku slogan dalam pemungutan
pajak: “no taxation without representation” bahwa tidak ada pajak tanpa
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau “taxation without
representation is robbery” bahwa pemungutan pajak tanpa persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat berarti pencurian. Untuk itu fungsi pajak
sangat vital dan strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan umum,
pengaturan ekonomi, pemerataan pendapat dan peningkatan
pembangunan menyebabkan setiap negara menghendaki agar pemungutan
pajak dapat terlaksana dengan baik. Apalagi penerimaan negara dari
sektor pajak menjadi salah satu indikator kunci keberhasilan pemerintah.
Jika ditarik lebih lanjut, apapun sistem pajak yang dilaksanakan maka
ukuran keberhasilan akan berpulang pada jumlah setoran pajak pada kas
negara.4 Hal tersebut bukan pekerjaan mudah untuk seluruh aparatur Dirjen Pajak, mengingat perubahan tingkat kepatuhan wajib pajak (tax
payer) belum signifikan, sedangkan target perorehan pajak dari tahun ke
tahun diharapkan selalu meningkat.
4
Keberhasilan dalam pemungutan pajak dipengaruhi oleh sistem
perpajakan5 yang mana dalam Undang-Undang Perpajakan Indonesia berlandaskan pada ajaran The Four Maxims. Adam Smith (1723-1970)
dalam bukunya yang berjudul An Inquire into the Nature and Cause of the
Wealth of Nations yang diterbitkan 1776 menyatakan asas the four
maxims itu terdiri dari: equity (keadilan), certainty (kepastian), ekonomis
dan efisien (convenience of payment).6 Akan tetapi akan prakteknya sukar dipahami dan tidak sederhana dalam implementasinya yang pada akhirnya
berujung pada terusiknya rasa keadilan masyarakat pada umumnya dan
wajib pajak pada khususnya. Dalam pemungutan pajak patut diperhatikan
mengenai ketelitian dan kebenaran administrasi dan fiskus. Hal ini
berkaitan dengan munculnya ketidakpuasan dari wajib pajak yang tidak
mau menerima tindakan fiskus sehingga menimbulkan adanya sengketa
antara wajib pajak dan fiskus. Sengketa pajak sangat terbuka mengingat
wajib pajak sering berpendapat untuk membayar pajak itu harus sekecil
mungkin bahkan kalau perlu menghindarkan diri dari kewajiban
5
Muqodim, 1999, hlm. 24.
6
Hadi Irawan, 2003, hlm. 10. dan Moh. Zain, 1990, hlm. 33-35.
membayar pajak, sedang fiskus sebagai pemungut dibebani pemasukan
negara dari pajak yang sangat besar.
Dalam bagian menimbang pada Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak LNRI 2002 Nomor 27 TLNR
14189 menyebutkan: ... diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai
dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu
menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa
pajak. Hanya saja dalam realitas sekarang apakah keberadaan pengadilan
pajak itu sudah mencerminkan sistem kekuasaan kehakiman seraya
dengan perubahan beberapa ketentuan undang-undang baik
Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang sudah diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan diubah menjadi Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta beberapa
peraturan lainnya.
Keberadaan pengadilan pajak diatur secara khusus dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yang
sengketa pajak.7 Sengketa pajak dimaksud adalah antara lain adalah banding atas keberatan wajib pajak terhadap keputusan kepala daerah.8 Permohonan banding diajukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak
keputusan keberatan diterima.
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan
mempunyai kekuatan hukum tetap.9 Namun demikian pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauankembali atas putusan
7
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 menyatakan bahwa: (1) WP dapat mengajukan keberatan hanya kepada kepala
daerah/pejabat yang ditunjuk atas: a. Surat ketetapan pajak daerah;
b. Surat ketetapan pajak daerah kurang bayar;
c. Surat ketetapan pajak daerah kurang bayar tambahan; d. Surat ketetapan pajak daerah lebih bayar;
e. Surat ketetapan pajak daerah nihil;
f. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan di daerah yang berlaku;
(2) Keberatan diajukan tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas;
(3) Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak secara jabatan, wajib pajak harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
8
Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 menyatakan bahwa Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9
Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002.
pengadilan pajak Mahkamah Agung. Permohonan peninjauan kembali
tersebut hanya dapat diajukan satu kali kepada Mahkamah Agung melalui
pengadilan pajak dengan tidak menangguhkan atau menghentikan
pelaksanaan putusan pengadilan pajak.
Disamping permohonan banding, wajib pajak dapat mengajukan
gugatan atas pelaksanaan penagihan kepada Pengadilan Pajak. Dalam hal
wajib pajak merasa keberatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak oleh
pemerintah daerah, wajib pajak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Pajak. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan pelaksanaan pengadilan
pajak daerah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak menyatakan sengketa pajak sebagai sengketa yang timbul dalam
bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dan pejabat
pajak yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang
dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan pajak
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan
dengan Surat Paksa.10 Menurut R. Santoso Brotodiharjo, sengketa pajak terjadi karenan penghindaran pajak (tax avoidance), pengelakan/
penyulundupan (tax evasion), dan pelalaian pajak.11 Sebenarnya yang merupakan sengketa pajak adalah hanya pengelakan/penyulundupan dan
pelalaian pajak saja, sedangkan penghindaran pajak pada dasarnya dapat
dilakukan oleh wajib pajak karena tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Perpajakan.12
Saat ini Indonesia telah memiliki empat lingkup peradilan, yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, dan
Peradilan Agama. Amademen terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 hingga pada
perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tidak
merubah ketentuan apapun mengenai hal ini. Amandemen tersebut
menimbulkan permasalahan tersendiri pada saat Pengadilan Pajak
dibentuk. Keberadaan Pengadilan Pajak, sekilas dapat diketahui bahwa
10
Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. LN Nomor 27 Tahun 2002 dan TLN Nomor 4189 Tahun 2002.
11
R. Santoso Brotodiharjo, Ilmi Hukum Pajak, PT. Eresco, Bandung, 1987, hlm. 14.
12
Mardiasmo, perpajakan,
pengadilan ini tidak mungkin masuk dalam lingkup Peradilan Umum
karena Pengadilan Pajak menyelesaikan sengketa negara yang tidak puas
dengan keputusan yang diberikan oleh Negara, khususnya Kantor
Perpajakan baik itu di daerah dan/atau di pusat. Secara singkat dapat
dinyatakan obyek gugatan dalam pengadilan Pajak adalah putusan dari
pejabat Negara. Sehingga dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
Pengadilan Pajak memiliki kemiripan dengan Pengadilan Tata Usaha
Negara. Dalam ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 ayat 1 dan ayat 5 menyatakan sebagai berikut :
Ayat 1 menyatakan:
Badan pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi
badan peradilan dalam lingkup peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara.
Ayat 5 menyatakan:
Peradilan tata usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tata usaha Negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pengadilan Pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya
peningkatan penerimaan pajak pusat dan daerah, bea masuk dan cukai,
dan pajak daerah, dalam prakteknya, terkadang dilakukan tanpa adanya
peningkatan keadailan terhadap para wajib pajak itu sendiri. Karenanya
masyarakat, dalam hal ini para wajib pajak, seringkali merasakan bahwa
peningkatan kewajiban,perpajakan/ bea tidak memenuhi asas keadilan,
sehingga menimbulkan berbagai sengketa antara instansi perpajakan dan
pihak Wajib Pajak. Untuk mempermudah penyelesaian sengketa
perpajakan, dirasakan adanya suatu kebutuhan untuk mendirikan suatu
badan peradilan khusus untuk menanganinya.
Walaupun sebelumnya telah didirikan lembaga khusus
penyelesai sengketa pajak yang dikenal dengan nama Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (BPSP) sejak Tahun 1998, namun kebutuhan untuk
membentuk badan peradilan seperti Pengadilan Pajak yang sekarang,
ternyata tetap ada. Dalam butir-butir pertimbangan pada Undang-undang
Pengadilan Pajak Nomor 14 Tahun 2002 dikatakan bahwa Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang
berpuncak di Mahkamah Agung, karena itulah diperlukan suatu
pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di
Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum di
Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam
penyelesaian sengketa pajak.4
Kehadiran Pengadilan Pajak diharapkan dapat Iebih memberikan
keadilan dan kepastian hukum yang tidak didapatkan dari institusi
penyelesai sengketa pajak sebelumnya. Ekspektasi inilah yang hendak
dicoba untuk dijawab oleh Pengadilan Pajak. Sejak awal pendiriannya,
Pengadilan Pajak cukup diminati oleh para pihak yang bersengketa pajak
dan dianggap cukup menjanjikan sebagai suatu badan peradilan yang baru
dibentuk dalam hal kepastian hukum.
Undang Undang Pengadilan Pajak memberikan pengertian
mengenai yang dimaksud dengan sengketa pajak yang terdapat dalam
pasal 1 angka 5 yang berbunyi:
Pengadilan Pajak berdasarkan Peraturan Perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang penagihan pajak dengan Surat Paksa."
Adapun yang menjadi Keputusan dijelaskan lebih lanjut dalam
pasal 1 angka 4 undang undang Pengadilan Pajak, yaitu:
"Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan
yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka
pelaksanaan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa."
Dalam Undang Undang Pengadilan Pajak ini juga memberi
pengertian mengenai pajak dalam pasal 1 angka 2, yaitu:
"Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah
Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dart pajak yang dipungut
oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku."
Pengertian pajak di atas memberikan pemahaman bahwa tidak
ada satu jenis sengketa pajak pun yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang dikecualikan untuk dapat diperiksa di
Pengadilan Pajak setelah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah
tertera dalam Undang-undang. Wajib pajak menurut Ketentuan
Perpajakan, dapat terdiri dari: (1) orang pribadi (2) badan (termasuk
badan hukum dan badan-badan usaha lainnya), (3) bentuk usaha tetap.
Dengan demikian ketiga wajib pajak tersebut dapat menyelesaikan
sengketa pajaknya di Pengadilan Pajak.
Hal unik pada Pengadilan pajak ini adalah adanya 2 (dua) jenis
upaya hukum yang dapat diajukan, yaitu pengajuan banding dan gugatan.
Banding adalah upaya yang dilakukan wajib pajak bila ia merasa tidak
puas dengan keputusan atas Keberatan yang diajukan. Gugatan adalah
upaya hukum yang dapat diajukan wajib pajak bila ia merasa tidak puas
dengan prosedur penagihan pajak atau keputusan lain di bidang
perpajakan/bea dan cukai. Upaya hukum banding dapat mengakomodasi
ketidakpuasan terhadap penyelesaian sengketa pajak yang dicoba
Pajak dan Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan (out of court
settlement).13
Namun tidak seperti halnya pengadilan lain, Pengadilan Pajak
tidak mengenal upaya hukum banding ke pengadilan tinggi maupun
kasasi. Hanya ada satu upaya hukum terhadap putusan Pengadilan pajak
yaitu Peninjauan Kembali yang dapat diajukan pada Mahkamah Agung.
Mahkamah Konstitusi dalarn putusan atas permohonan judicial review
yang diajukan oleh Cornelius Moningka Vega atas pasal 33 ayat (1) jo.
Pasal 77 ayat (1) Unndang Undang Pengadilan Pajak yang mengeliminasi
upaya hukum banding maupun kasasi, lebih lanjut mengatakan bahwa
proses pengadilan pajak berdasarkan Undang Undang Nomor 14 Tahun
2002 sama dengan proses pemeriksaan pada Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara karena tersedianya upaya banding administratif bagi
pencari keadilan. Penulis tidak sepenuhnya setuju terhadap hal ini karena
selain dari banding ada upaya hukum lain yang dapat diajukan ke
Pengadilan Pajak yaitu upaya hukum gugatan.14
13
Desita Sari. Sistem Peradilan Pajak. Jurnal Teropong Vol.III No. 12 Desember 2004., hlm. 126.
14
Ibid., hlm. 127.
Sama halnya dengan subyek pada Peradilan Tata Usaha Negara,
subyek pada Pengadilan Pajak dalam keadaan yang tidak seimbang,
antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang
berwenang. Hakim yang independen akan mengambil peranan untuk
membuat keadaan ini mejadi lebih seimbang. Hakim pada Pengadilan
Pajak diharuskan memiliki tenaga-tenaga Hakim khusus yang
mempunyai keahlian khusus di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana
Hukum atau Sarjana lain. Secara praktek, hakim pada pengadilan pajak
sebagian besar adalah mantan pejabat pada Departemen Keuangan pada
khususnya Direktorat Jenderal Pajak dan bukan hakim karir yang berasal
dari sistem pembinaan karir pada umumnya. Selain itu pembinaan
terhadap hakim pengadilan pajak memang bukan di bawah Mahkamah
Agung namun dibawah Departemen Keuangan. Banyak kaiangan yang
mengkhawatirkan bahwa keadaan ini akan mempengaruhi independensi
hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Pada dasarnya Pengadilan Pajak memang mempunyai
karakteristik yang hampir menyerupai Peradilan TUN dilihat dari jenis
sengketa terdapat sedikit perbedaan dikarenakan Peradilan TUN hanya
mengakui orang dan badan hukum perdata saja yang dapat mengajukan
perkaranya untuk diperiksa.
Pengadilan Pajak mengakui Bentuk Usaha Tetap sebagai salah
satu subyek yang dapat mengajukan perkara untuk diperiksa di
Pengadilan Pajak. Hal ini bagi sebagian akademisi tidak sesuai sehingga
tidak sepantasnyalah apabila Pengadilan Pajak berada di bawah Peradilan
Tata Usaha Negara. Sebagian kalangan kemudian mengartikan Pengadilan
Pajak sebagai pengadilan tersendiri yang terpisah dari 4 lingkup Peradilan
di Indonesia. Namun hal ini tidaklah terlalu tepat dikarenakan tidak ada
satupun pasal di Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 yang
menyiratkan bahwa Pengadilan Pajak adalah Pengadilan tersendiri. Salah
satu penjelasan Umum alinea terakhir pada Undang-undang tersebut
hanya menyebutkan:
"...bahwa ada kekhususan-kekhususan yang terdapat pada
Pengadilan Pajak karenanya dalam Undang-undang ini diatur
hukum acara tersendiri untuk menyelenggarakan Pengadilan
Pajak."
Selain itu, bukanlah hal yang tabu bila kita merubah 4 Iingkup
peradilan seperti sekarang ini bila kondisi sosial masyarakat menuntut hal
ini. Keempat lingkup peradilan yang kita anut bukan bentuk baku namun
hal ini memang akan merombak peraturan perundang-undangan yang
menjadi payung pada sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kesiapan
infrastruktur, sosiologis, dan sumber daya manusia harus diperhitungkan
dalam hal ini.
Diberlakukannya amandemen undang-undang Kekuasaan
Kehakiman seharusnya dapat menghilangkan kesimpangsiuran yang ada.
Selain itu tidak ada suatu aturan khusus apapun yang mengatur batasan
kekhususan suatu pengadilan khusus yang berada di bawah 4 lingkup
peradilan yang telah ada. Mencontoh kepada pengadilan khusus yang
telah berjalan sekian lama selama ini seperti Pengadilan Anak, Pengadilan
Niaga, Pengadilan HAM yang berada di dalam lingkup Peradilan Umum,
maka kekhususan-kekhususan itu diperbolehkan untuk ada sebagai ciri
khas dari Pengadilan tersebut agar penyelesaian sengketa dapat
Pengadilan Pajak ini memberi warna baru dalam sistem peradilan
di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 yang sudah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Dimana dalam ketentuan peraturan
tersebut terlihat sekali terjadi ketidaksinkronan dari pasal-pasal yang ada
antar peraturannya melahirkan ketidakpastian hukum. Ketentuan
Undang-Undang di atas saling tarik ulur untuk menempatkan peradilan pajak
dalam lingkup kompetensinya sebagaimana amanah dalam
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, akan tetapi di pihak lain Undang-Undang-Undang-Undang
tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang
Pengadilan Pajak mendapatkan dirinya dalam peradilan “istimewa” yang
kita analisa ketentuan ini tidak mau menundukkan dalam sistem peradilan
yang ada sesuai dengan ketentuan Kekuasaan Kehakiman.
Undang Nomor 9 Tahun 1994 yang sudah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 merupakan “lex post prior” jika dibanding dengan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
merupakan “lex prior”.
Dengan demikian eksistensi pengadilan pajak menurut Pasal 27
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 dan Pasal 33 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994
dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tidak konsisten
dengan sistem peradilan yang berlaku sebagai ketentuan dalam
Undang Nomor 44 Tahun 2004 yang sudah diubah dalam
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal
18 mengenal empat lembaga peradilan yaitu: lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Idealnya pengadilan pajak yang menyelenggarakan peradilan
pajak kedudukannya berada dalam sistem peradilan di Indonesia sesuai
ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002, dan juga
peradilan pajak seharusnya dapat memberikan perlindungan hukum
terhadap pencari keadilan yaitu wajib pajak, sehingga dapat tercapai
supremasi hukum (rechtmatigheid) dalam sistem peradilan (unity court
Pembina Hakim di Pengadilan Pajak
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang pengadilan
pajak pada bagian keempat tentang pembinaan Pasal 5 ayat (1)
menyatakan bahwa: “pembinaan teknis peradilan bagi pengadilan pajak
dilakukan oleh Mahkamah Agung” dan ayat (2) menyatakan: “pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi pengadilan pajak dilakukan
oleh Kementerian Keuangan. Rumusan ini menunjukkan bahwa
pengadilan pajak adalah bentuk penggabungan kekuasaan yudikatif dan
eksekutif. Dari ketentuan kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa hakim
pengadilan pajak “berkepala dua atau satu kapal bernahkoda dua” yaitu Mahkamah Agung dan Kementerian Keuangan “Jika ditilik dari sisi
Mahkamah Agung pembinaan teknis tersebut tentunya tidak menjadi
masalah artinya tidak terlalu menimbulkan kekhawatiran akan kebebasan
dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Akan tetapi pembinaan
organisasi, administrasi dan keuangan oleh Kementerian Keuangan akan
menjadi polemik dan akan memunculkan keraguan bagi wajib pajak
pencari keadilan. Sehingga dapat dirasakan adanya ketergantungan
hakim-hakim pengadilan pajak kepada Menteri Keuangan sehingga akan
mempengaruhi setiap keputusan dalam sengketa pajak yang melibatkan
pihak yang membinanya dari segi organisasi, administrasi dan keuangan,
semua ini akan berpengaruh terhadap independensi dari putusan sengketa
pajak. Apabila ada sengketa maka permohonan atau wajib pajak mustahil
mendapatkan keadilan di pengadilan pajak karena hakim-hakimnya
digaji/tunjangan oleh eksekutif (Menteri Keuangan) serta tempat
persidangan bertempat di gedung keuangan (eksekutif) sehingga akan
dirasa setiap keputusan cenderung tidak independensi. Keberadaan
ketentuan pasal tersebut dirasa bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di
bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan
Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 yang sudah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dengan perubahan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang KUP menyatakan:
eksistensi pengadilan pajak dalam sistem pengadilan di Indonesia.
Mengingat ketetapan yang dikeluarkan Dirjen Pajak merupakan tata usaha
negara sehingga upaya hukumnya melalui pengadilan tata usaha negara
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 yang berbunyi: keputusan tata usaha negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, dan
final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
Semula badan-badan peradilan itu secara organisasi, administrasi
dan finansial ada di bawah kekuasaan masing-masing kementerian yang
bersangkutan kemudian secara tegas beralih di bawah kekuasaan
kehakiman (yudikatif) sehingga terjadi pemisahan secara tegas kekuasaan
yudikatif dan kekuasaan eksekutif. Adapun pengalihan tersebut diatur
dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004
tentang pengalihan organisasi, administrasi dan finansial di lingkungan
peradilan umum dan peradilan tata usaha negara dan peradilan agama ke
Mahkamah Agung pada bagian menimbang menyatakan: bahwa untuk
melaksanakan Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman perlu menetapkan peralihan
organisasi, administrasi dan finansial di lingkungan peradilan umum,
peradilan tata usaha negara dan peradilan agama di Mahkamah Agung
dengan Keputusan Presiden (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal
42). Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 diatur dalam Pasal 21
yaitu: Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung. Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan
finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai
dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing. Dengan
ketidakjelasan status pengadilan pajak dalam sistem kekuasaan
kehakiman menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 serta
pembinaan para hakimnya maka akan mengusik tujuan hukum dalam
Sampai saat ini penanganan terhadap penyelesaian sengketa
pajak masih mengalami kerancuan, untuk itu perlu diadakan
pemberdayaan peradilan pajak melalui penyempurnaan peraturan
perundang-undangan yang memberikan kewenangan justicial kepada
peradilan pajak yang bebas dari campur tangan eksekutif atau pihak lain,
peningkatan sumber daya manusia pada peradilan pajak, serta sosialisasi
masalah perpajakan kepada seluruh lapisan masyarakat.
Sesuai dengan asas legalitas dan hukum positif yang berlaku,
Badan Peradilan Pajak di Indonesia saat ini adalah Pengadilan Pajak,
sebagai diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 dan
peraturan pelaksanaannya. Kedudukan Pengadilan Pajak sebagai badan
peradilan khusus juga dimungkinkan berdasarkan Pasal 13
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan sesuai dengan asas
hukum lex specialis derogat lex generalis. Berdasarkan hal tersebut,
sebenarnya tidak ada kerancuan, dualisme, atau pertentangan antara
Pengadilan Pajak dengan PTUN, karena PTUN sebagai badan peradilan
administrasi negara (lex generalis), sedangkan Pengadilan Pajak sebagai
peradilan khusus bidang perpajakan (lex specialis).
Selain itu, sesuai dengan asas lex posteriori derogat lex
anteriori, apabila terdapat perbedaan-perbedaan pengaturan dalam
Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (dalam hal ini penjelasan
Pasal 48) dengan Undang-Undang Pengadilan Pajak, maka yang berlaku
haruslah aturan dalam Undang Pengadilan Pajak karena
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 terbit lebih akhir dari Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Sedangkan cara beracara dalam sidang Peradilan Pajak, maka
sesuai dengan tuntutan reformasi dalam bidang hukum dan tranparansi
kebijaksanaan perpajakan oleh fiskus, pemeriksaan sengketa pajak yang
dilakukan secara terbuka untuk umum pada Pengadilan Pajak harus lebih
diusahakan lebih memungkinkan keikutsertaan masyarakat, sehingga
kebenaran materiil dalam putusan peradilan pajak tersebut dapat diikuti
dan dinilai oleh masyarakat. Apabila Wajib Pajak mengajukan banding
atau gugatan ke Pengadilan Pajak maka kewajiban fiskus untuk menjaga
tidak berlaku lagi karena Wajib Pajak sendiri lebih dahulu mengekpos
data perpajakannya kepada pengadilan.
Dalam hal Wajib Pajak akan mengajukan perkara pajak, agar
Pengadilan Pajak tersebut dapat memenuhi tuntutan pencari keadilan
sebagai peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan maka
pengajuan gugatan atau banding ke pengadilan pajak dapat ditetapkan
atau dimungkinkan tanpa melunasi dahulu utang pajaknya. Namun untuk
mencegah jangan sampai Wajib Pajak atau pihak ketiga mengajukan
gugatan hanya sebagai upaya untuk menunda atau mengelak pembayaran
pajak, hakim peradilan pajak diberi kewenangan untuk memberikan
sanksi kepada Wajib Pajak yang nakal tersebut. Hukum acara tersebut
ditetapkan pada pengadilan pajak di Amerika Serikat sebagai diatur dalam
Pasal 6673 ayat (1) Internal Revenue Code (ICR) ... Procedures instituted
primarily for delay, etc. Whenever it appears to the Tax Court that:
Proceedings before it have been institute or maintained by the taxpayer
primarily for delay; The Taxpayer’s positon in such proceeding is
frivolour or groundless, or; The Taxpayer unreasonally failed to pursue
available administrative remedies. The Tax Court, in its decision, may
require the Taxpayer to pay to the United States a penalty not in excess of
US $ 25.000.
Sanksi denda terhadap Wajib Pajak yang menggugat ke
pengadilan di luar pengadilan pajak di Amerika Serikat juga dapat
dijatuhkan terhadap wajib pajak yang tidak mempunyai dasar hukum yang
kuat dan hanya mencoba-coba untuk menghindari pembayaran pajak
dengan denda maksimum US $ 10.000.
Mengingat pentingnya peran pajak di Indonesia pada saat ini dan
masa yang akan datang, maka sanksi atau hukuman denda bagi wajib
pajak atau penanggung pajak yang berusaha mengajukan sengketa pajak
dengan maksud untuk menunda pembayaran hutang pajak tersebut dapat
dikenakan denda sebesar 200 % (dua ratus persen) dari hutang pajak yang
belum dibayar.
B. Perumusan Masalah
Dalam penulisan Kompendium mengenai LEMBAGA
PENYELESAIAN SENGKETA PERPAJAKAN proses masalah secara
sendiri mempunyai arti adalah “kumpulan pendapat dari para pakar”. Dengan demikian, maka jika judul telah ditentukan dalam suatu topik
untuk penulisan akan diberikan kepada setiap anggota untuk dapat
menuangkan pemikirannya mengingat judul mengenai Lembaga
Penyelesaian Sengketa Perpajakan disebut tulisan ilmiah.
C. Metode Penelitian
Seperti halnya dalam proses masalah, maka dalam Metode
Penelitian ini akan ditentukan oleh anggota yang akan melakukan
penulisan/penelitian terhadap maksud sesuai dengan judul compendium
atau terkait dengan judul compendium, dan anggotalah yang menentukan
metode sesuai dengan kehendaknya.
D. Jangka Waktu Penelitian
Kegiatan Kompendium Tentang Lembaga Penyelesaian
Sengketa Perpajakan dilaksanakan selama 6 (enam) bulan terhitung mulai
bulan April sampai dengan September 2011, Pembiayaan kegiatan ini
berasal dari anggaran Badan Pembinaan Hukum Nasional Tahun 2011.
E. Personalia Tim
Ketua : Dr. Tjip Ismail, S.H., M.H., MBA
Sekretaris : Artiningsih, S.H., M.H.
Anggota : 1. Noor M. Aziz, S.H., M.H., M.M.
2. Syprianus Aristeus, S.H., M.H.
3. Drs. Ulang Mangun Sosiawan, M.H., APM
4. Dr. Hari Djatmiko, S.H.
5. Dr. Machfud Sidik, S.E., M.Sc
6. Revosia EP Sinaga, SE., Ak., M.Si
7. Dr. Ali Kadir, S.H., M.Si
BAB III
TINJAUAN LPSP DARI BERBAGAI ASPEK
A. Pajak dan Keadilan
Keberadaan pajak terutama berlangsung sejak lahirnya
pemerintahan civil, dan dapat dikatakan bahwa pajak merupakan harga
yang harus dibayar oleh kehidupan masyarakat civil yang demokratis,
bebas dan terorganisir. Pajak tidak hanya mengandung arti berpindahnya
dana masyarakat ke pemerintah untuk menyediakan barang publik dan
melaksanakan pelayanan publik yang diinginkan masyarakat, namun
pajak juga dimaksudkan sebagai refleksi nilai sosial-budaya dan
merealisasikan prioritas permintaan masyarakat dalam pelayanan publik
dalam rangka mencapai kemakmuran masyarakat (social and economic
welfare). Sistem perpajakan harus dimaknai sebagai bagian dari model
sosial ekonomi, yang merepresentasikan masyarakat sosial, politik dan
kebutuhan ekonomi masyarakat pada periode tertentu, yang berarti bahwa
perubahan cita-cita bernegara suatu masyarakat bangsa akan memberikan
implikasi terhadap perubahan sistem perpajakan. Karakteristik sistem
perpajakan yang harus mengikuti sistem pemerintahan dan tujuan
bernegara tersebut, menjelaskan bahwa kenapa pada dasarnya sistem
perpajakan antar negara berbeda, dan kenapa sistem perpajakan selalu
berubah dari waktu ke waktu. Salah satu aspek dari suatu sistem
perpajakan adalah keadilan di bidang perpajakan. Tidak ada sistem
perpajakan yang sempurna di berbagai Negara termasuk Negara-negara
OECD ( Organization of Economic Cooperation and Development), tetapi
idealnya sistem perpajakan yang modern seharusnya memenuhi
prinsip-prinsip sistem perpajakan yang baik terutama sistem perpajakan
seharusnya meminimalkan dampai negatif terhadap kehidupan masyarakat
dalam berbagai aspek sosial ekonomi, politik dan keadilan.
Konsep kesetaraan dan keadilan di bidang perpajakan merupakan
urat nadi sistem perpajakan yang baik. Pemimpin politik memberi
penghargaan kepada cita-cita di hampir setiap bidang pembuatan
undang-undang dan peraturan perpajakan. Warganegara, apalagi, amat peka
terhadap argumen tentang keadilan di hampir setiap debat kebijakan
perpajakan. Namun, semua kontroversi yang bersifat populis tersebut,
sejalan dengan sistem perpajakan yang baik. Konsep keadilan di bidang
perpajakan ini sekurang-kurangnya terdiri dari tiga dimensi yang berbeda
yaitu: keadilan horizontal, vertikal, dan keadilan individu. Penerapan di
antara komponen-komponen ini mempersulit upaya untuk mencari
kebijakan pajak yang baik, mendorong debat politik yang lebih banyak
menyita retorika keadilan di bidang perpajakan tanpa menyentuh
substansinya. Argumen yang paling gencar tentang keadilan di bidang
perpajakan adalah pada hubungan yang tidak simetris antara keadilan
vertikal yang paling sering diwujudkan pada penerapan pajak progresif
dan struktur pengeluaran dan tuntutan keadilan individu, di mana individu
bebas melakukan transaksi yang mereka pilih sendiri. Sementara
dukungan untuk beberapa aplikasi keadilan vertikal tampak jelas, dalam
penentuan tingkat progesivitas`yang tepat, dalam hal ini aspek progresif
dalam perpajakan telah terbukti sulit untuk diterapkan.
Berbagai upaya secara teknis untuk mengimplementasikan ketiga
komponen keadilan di bidang perpajakan tersebut, sulit untuk
dilaksanakan secara simultan. Progresivitas dalam pengenaan pajak tetap
menjadi batu ujian dalam perdebatan kebijakan perpajakan. Untuk itu,
banyak ahli menyarankan bahwa ketika keadilan di bidang perpajakan
tidak dapat diterapkan, maka melalui kebijakan fiskal secara utuh koreksi
atas kelemahan sistem perpajakan sebaiknya dapat dilakukan terutama
melalui kebijakan belanja Negara dan daerah. Selain itu, kebijakan pajak
yang adil semakin dirancukan dengan pemikiran konvensional tentang
pajak yang sesuai dengan dasar pengenaan pajak berdasarkan
penghasilan, konsumsi, kekayaan atau dasar pengenaan pajak yang lain.
Suatu basis pajak tertentu sering kali memiliki prinsip-prinsip dan ukuran
keadilan dan kesetaraan yang unik, berbeda dengan prinsip-prinsip
keadilan dan kesetaraan sistem perpajakan secara umum. Kontroversi dan
kompleksitas masalah keadilan di bidang perpajakan ini, memunculkan
banyak teori yang memperkuat argumentasi masing-masing. Banyak
ekonom, khususnya, sering beranggapan bahwa keadilan lebih
merupakan masalah estetika dari pada analisis. Salah satu argumen
tentang keadilan di bidang perpajakan adalah sudut pandang efisiensi
1. Kriteria Pajak Yang Baik
Para peneliti di bidang perpajakan telah menaruh perhatian
besar pada pemikiran klasik tentang keadilan di bidang perpajakan
antara lain dipengaruhi oleh pemikiran Adam Smith di abad ke-18
dan Richard Musgrave di abad 20.
Adam Smith dalam bukunya An Inquiry Into The Nature and
Causes of The Wealth of Nations (1776) antara lain menyatakan
suatu sistem perpajakan yang baik harus memenuhi kriteria yang
dikenal sebagai Canons of Taxation, yang terdiri dari empat kriteria
yang dikenal sebagai Four Criteria for a "good tax" yaitu :
a. Equality – equal treatment of similarly situated taxpayers. Horizontal equity: all purchasers of the same equity pay the same
tax vertical equity: unequally situated taxpayers being taxed on
their ability to pay as per progressive taxation philosophies. For
mining industry – natural conflicts. Mining goal is the maximization of resource utilization; Taxing authority goal is the
maximization of social economic benefits to the individual state
of taxing power. It is most important canon of taxation which
embodies the principle of equity or justice. It provides the
concept of the equality of sacrifice. The amount of the tax paid is
to be in portion to the respective abilities of the tax payers. It is
not very unreasonable that the rich should contribute to the
public expense not only in proportion to their revenue but some
thing more than that proportion. Canon of equality or ability:
Canon of equality, or ability is considered to be a very important
canon of taxation. By equality we do not mean that people
should pay equal amount by way of taxes to the government. By
equality is meant equality of sacrifice, that is people should pay
taxes in proportion to their incomes. This principle points to
progressive taxation. It states that the rate or percentage of
taxation should increase with the increase in income and
decrease with the decrease in income. In the words of "The
subject of every state ought to contribute towards the support of
the government as early as possible in proportion to their
respective abilities that is in proportion to the revenue which they
b. Convenient – a tax that can be readily and easily assessed, collected, and administered. Canon of convenience: By this
canon, means that the tax should be levied at the time and the
manner which is most convenient for the contributor to pay it.
For instance, if the tax on agricultural land is collected in
installments after the crop is harvested, it will be very convenient
for the agriculturists to pay it. Similarly, property tax, house tax,
income tax, etc., etc., should be realized at a time when the
taxpayer is expected to receive income. The manner of payment
of tax should also be .convenient. If the tax is payable by
cheques, the contributor will be saved from much inconvenience.
In the Words of "Every tax ought to be levied at the time or in
the manner in which it is most likely to be convenient for the
contributor to pay it".
c. Certainty – the consistency & stability in the prediction of taxpayers' bills and the amount of revenue collected over
time.Canon of Certainly: The tax paid by each individual should
be certain but not arbitrary. The time of payment, the manner of
payment, the quantity to pay, should all to be clear and plain to
the contributor. Canon of certainty: The Canon of certainty
implies that there should be certainty with regard to the amount
which taxpayer is called upon to pay during the financial year. If
the taxpayer is definite and certain about the amount of the tax
and its time of payment, he can adjust his income to his
expenditure. The state also benefits from this principle, because
it will be able to know roughly in advance the total amount
which it is going to obtain and the time when it will be at its
disposal. If there is an element of arbitrariness in a tax, it will
then encourage misuse of power and corruption in this
connection remarks: "The tax which each individual is bound to
pay ought to be certain and not arbitrary. The time of payment,
the manner of payment, the quantity to be paid all ought to be
clear and plain to the contributor and to every other person".
d. Economy – compliance and administration of a tax should be minimal in terms of cost. Canon of Economy: The canon of
not be excessive. They should be kept as little as possible,
consistent with administration efficiency. If the government
appoints highly salaried, staff and absorbs major portion of the
yield, the tax will be considered uneconomical. Tax will also to
regarded as uneconomical if it checks the growth of capital or
causes it to emigrate to other countries, In the words of "Every
tax is to be so contrived as both to take out and keep out of the
pockets of the people as little as possible over and above what it
brings into the public treasury of the state".
Beberapa prinsip sistem perpajakan yang baik yang
dikemukakan para ahli yang lain selain Canons of Taxation Adam
Smith, antara lain Musgrave (1959), Samuelson and Nordhaus
(2005), Stiglitz (2000) secara garis besarnya dapat dikemukakan
berikut ini :
a. Canon of productivity: The canon of productivity indicates that
a tax when levied should produce sufficient revenue to the
government. If a few taxes imposed yield a sufficient fund for
the state, then they should be preferred over a large number of
small taxes which produce less revenue and are expensive in
collection.
b. Canon of elasticity: Canon of elasticity states that the tax
system should be fairly elastic so that if at any time the
government is in need of more funds, it should increase its
financial resources without incurring any additional cost of
collection. Income tax, railway fares, postal rates, etc., are very
good examples of elastic tax. The government by raising these
rates a little, can easily meet its rising demand for revenue.
c. Canon of simplicity: Canon of simplicity implies that the tax
system should be fairly simple, plain and intelligible to the tax
payer. If it is complicated and difficult to understand, then it wilt
lead to oppression and corruption.
d. Canon of diversity: Canon of diversity says that the system of
taxation should include a large number of taxes whish are
economical. The government should collect revenue from its
citizens by levying direct and indirect taxes. Variety in taxation
Dari kutipan tersebut di atas, menurut Adam Smith
pengenaan pajak harus memenuhi prinsip-prinsip yang baik yang
disebut dengan the four canons of taxation, yaitu, (James dan Nobes,
1992: 13) sebagai berikut.
a. Prinsip keadilan (equality), artinya bahwa beban pajak harus
sesuai dengan kemampuan relatif dari setiap wajib pajak.
Perbedaan dalam tingkat penghasilan harus digunakan sebagai
dasar dalam distribusi beban pajak itu sehingga bukan beban
pajak dalam arti uang, tetapi beban riil dalam arti kepuasan yang
hilang.
b. Prinsip kepastian (certainty), pajak hendaknya tegas, jelas, dan
menjamin kepastian bagi setiap wajib pajak sehingga mudah
dimengerti oleh wajib pajak dan juga akan memudahkan
administrasi pemerintah sendiri.
c. Prinsip kecocokan (convenience), pajak jangan sampai terlalu
menekan wajib pajak sehingga wajib pajak akan dengan senang
hati melakukan pembayaran pajak kepada pemerintah.
d. Prinsip efisiensi (efficiency), pajak hendaknya menimbulkan
kerugian yang minimal dalam arti jangan sampai biaya
pemungutannya lebih besar dari jumlah penerimaan pajaknya
dan pajak hendaknya mampu menghilangkan distorsi terhadap
tingkah laku wajib pajak (prinsip netralitas).
Berbeda dengan Smith, Stiglitz (2000) berpendapat bahwa
sistem perpajakan yang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a. Efisiensi ekonomi (economic efficiency) : sistem perpajakan
sedapat mungkin tidak mempengaruhi alokasi sumber daya
ekonomi yang efisien
b. Kesederhanaan dalam pengadministrasian (administrative
simplicity) : sistem perpajakan harus mudah, sederhana dan
relatif murah dalam pengadministrasiannya
c. Fleksibilitas (flexibility) : sistem perpajakan harus sedemikian
fleksibel untuk menyesuaikan dengan kondisi ekonomi suatu
negara
d. Diterima secara politis (political responsibility) : sistem
kepastian tentang seberapa besar masing-masing jenis pajak yang
harus ditanggung oleh seseorang yang merefleksikan keinginan
masing-masing individu dalam masyarakat
e. Kejujuran (Fairness):sistem perpajakan harus mencerminkan
keadilan terhadap masing-masing individu dalam masyarakat
Prinsip perpajakan yang baik menurut Break (1957) harus
memenuhi uji standar sebagai berikut.
a. Aspek Teori
1) Keadilan (equality), mencakup keadilan horizontal dan
keadilan vertikal.
2) Efisiensi (efficiency), meliputi efisiensi fiskal dan efisiensi
ekonomi.
b. Praktikal
1) Netralitas (neutrality)
2) Kesederhanaan (simplicity)
3) Kepastian (certainty)
4) Likuiditas (liquidity)
Prinsip keadilan sebagaimana dikemukakan baik oleh
Smith, Stiglitz, maupun Break, tersebut di atas, pada dasarnya dapat
dilihat dari empat aspek. Pertama, kejujuran (fairness) yang dikenal
sebagai prinsip kemampuan membayar (ability to pay) yang pertama
kali diperkenalkan oleh Adam Smith lebih dari 200 tahun yang lalu.
Dalam hal ini Smith berpendapat bahwa pada dasarnya pajak
dikenakan tidak atas dasar kriteria penerimaan maslahat (the benefit
received criterion), tetapi lebih kepada kemampuan membayar
(ability to pay). Secara sederhana suatu sistem perpajakan yang adil
dalam pelaksanaannya seharusnya tidak memerlukan biaya dan waktu
yang berlebihan dan tidak mengganggu tujuan masyarakat untuk
mencapai penggunaan sumber ekonomi yang optimal. Ada 3 ukuran
yang biasanya dipergunakan untuk mengukur kemampuan seseorang
membayar pajak, yaitu: penghasilan konsumsi dan kekayaan.
Ketiga-tiganya merupakan ukuran kemakmuran seseorang, tetapi pada
umumnya ukuran yang dipakai adalah penghasilan sehingga prinsip
kemampuan membayar pajak pada akhirnya diukur dengan suatu
dipergunakan untuk membayar pajak. Ilustrasi di bawah ini
memberikan gambaran tentang tidak adanya kesepakatan secara utuh
tentang basis pengenaan pajak yang paling baik yang dikaitkan
dengan prinsip kemampuan membayar. Dalam prinsip kemampuan
membayar, seseorang yang mempunyai kemampuan lebih harus
membayar pajak lebih besar dari yang lainnya. Misalnya dua orang
masing-masing bernama Sugianto dan Sugiarto, keduanya memiliki
kemampuan yang identik, latar belakang pendidikan yang sama dan
potensi penghasilan yang sama. Sugianto memilih untuk menjadi
konsultan ekonomi dan setiap minggunya bekerja selama 42 jam,
sedangkan Sugiarto memilih menjadi dosen yang dalam satu
minggunya bekerja selama 30 jam dan sisa waktunya dipergunakan
untuk olahraga dan menyalurkan hobi lainnya, keduanya menyenangi
masing-masing pekerjaannya. Sudah barang tentu Sugianto akan
memperoleh penghasilan yang lebih besar daripada Sugiarto.
Apakah adil bila Sugianto dikenakan pajak penghasilan yang lebih
tinggi daripada Sugiarto? Berdasarkan prinsip kemampuan
membayar, masih perlu dipertanyakan apakah ukuran penghasilan riil
atau potensi penghasilan yang menjadi dasar pengenaan pajak. Dalam
praktek tentunya tidak mungkin mengenakan pajak penghasilan atas
dasar potensi penghasilan seseorang. Persoalan lain yang muncul
mengenai prinsip kejujuran, apakah penghasilan atau konsumsi
sebagai pilihan yang paling baik sebagai dasar pengenaan pajak?
Penghasilan yang diterima seseorang secara luas menjadi ukuran
untuk menentukan dasar pengenaan pajak, yang dikenal sebagai
pajak penghasilan. Banyak ahli ekonomi juga berpendapat bahwa
konsumsi merupakan pilihan yang lebih baik sebagai dasar
pengenaan pajak, yang dikenal dengan cukai, pajak penjualan, atau
Pajak Pertambahan Nilai. Dilihat dari segi keadilan horizontal, jenis
pajak atas konsumsi dianggap cukup adil jika indeks keadilan
tersebut dinyatakan dari segi konsumsi. Demikian pula dilihat dari
segi keadilan vertikal, pajak atas konsumsi akan bersifat
proporsional terhadap konsumsi. Akan terlihat tidak adil jika
indeksnya dinyatakan dari segi penghasilan. Pengenaan pajak
sebagai persentase penghasilan akan menurun jika skala penghasilan
mengalami kenaikan.
Kedua, prinsip keadilan di bidang perpajakan dikenal
dengan keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Keadilan horizontal
mengandung arti bahwa mereka yang mempunyai kemampuan yang
sama harus membayar pajak dengan jumlah yang sama (equals
treated equals), sedangkan keadilan vertikal mengandung arti bahwa
mereka yang mempunyai kemampuan lebih besar harus membayar
pajak yang lebih besar pula. Penerapan kedua kaidah tersebut
memerlukan ukuran kuantitatif mengenai kemampuan membayar.
Idealnya, ukuran ini disesuaikan dengan tingkat kesejahteraan secara
menyeluruh yang dapat diperoleh seseorang yang meliputi
penghasilan, konsumsi, tabungan, pemilikan kekayaan, waktu yang
luang untuk rekreasi, dan kenikmatan lainnya. Sayangnya, ukuran
yang bersifat komprehensif ini tidak mudah untuk diperoleh,
sehingga keadilan dalam pengenaan pajak menurut kaidah ini juga
mengandung beberapa kelemahan.
Ketiga, beban pajak (tax incidence), ialah keadilan yang
dikaitkan dengan bukan hanya pada titik-titik mana pajak tersebut
harus dibebankan, tetapi siapa sebenarnya yang pada akhirnya
menanggung beban pajak tersebut. Keempat, keadilan atas dasar
manfaat yang diterima oleh wajib pajak (the benefit-received
criterion) adalah prinsip pengenaan pajak berdasarkan atas manfaat
yang diterima oleh wajib pajak atas pelayanan barang publik yang
disediakan oleh pemerintah. Namun, setiap orang mempunyai
pilihan utama atau preferensi terhadap barang publik yang
berbeda-beda sehingga formula pengenaan pajak berdasarkan prinsip ini akan
tergantung pada elastisitas pendapatan dan harga terhadap permintaan
barang publik. Menurut prinsip ini, beban akhir suatu pajak dapat
dilihat dari keseimbangan anggaran pemerintah untuk menyediakan
barang-barang publik. Karena setiap orang mempunyai preferensi
yang berbeda-beda, maka orang yang berkepentingan dengan
penyediaan suatu barang publik akan bersedia membayar sejumlah
tertentu sesuai dengan skala permintaannya, sehingga tercapai suatu
Keseimbangan anggaran dan preferensi masyarakat terhadap barang
publik ini dikenal dengan model pertukaran suka-rela (voluntary
exchange model). Namun, banyak pula penyediaan pelayanan
pemerintah seperti pertahanan, keamanan, dan pelestarian lingkungan
hidup, serta model pertukaran suka-rela tidak dapat digunakan untuk
menetapkan besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak
karena tidak ada seorangpun yang secara suka-rela bersedia untuk
menanggung penyediaan barang publik jenis ini.
Selanjutnya, prinsip kepastian dan likuiditas mengandung
arti bahwa pengenaan pajak harus tegas, jelas, dan memiliki unsur
kepastian khususnya atas objek, subjek, dan jumlah pajak yang
terutang yang harus ditanggung oleh wajib pajak sehingga mudah
dimengerti oleh wajib pajak dan juga akan memudahkan
administrasi pemerintah sendiri. Prinsip kepastian dalam pelaksanaan
pengenaan pajak secara implisit harus melindungi wajib pajak untuk
dibebani pajak melebihi yang seharusnya dibayar. Prinsip kepastian
dan kesederhanaan seringkali mengabaikan prinsip keadilan dan
efisiensi. Dengan kata lain, suatu peraturan perundangan perpajakan
kadang-kadang lebih mengutamakan kepastian dan kesederhanaan
untuk menghindari kecanggihan dan kompleksitas perhitungan yang
pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian. Pertimbangan likuiditas
muncul pada saat kewajiban perpajakan harus dipenuhi dengan
pembayaran pajak yang terutang dalam bentuk uang daripada dalam
bentuk natura.
Prinsip kecocokan mengandung arti bahwa dalam
pengenaan pajak harus memperhatikan saat yang tepat kapan
kewajiban perpajakan tersebut harus ditunaikan oleh wajib pajak
sedemikian rupa sehingga wajib pajak dengan sukarela akan
memenuhi kewajiban perpajakannya kepada pemerintah. Untuk itu,
setiap pajak harus dipungut pada waktu dan dengan cara yang paling
menyenangkan bagi wajib pajak. Misalnya pemungutan PBB di
daerah pertanian, seyogyanya dilaksanakan setelah para wajib pajak
menjual hasil pertaniannya.
Prinsip efisiensi mengandung arti bahwa pengenaan pajak
harus benar-benar memperhatikan biaya pemungutan yang
pemungutan pajak tersebut, dampak distorsi terhadap keputusan
wajib pajak dalam produksi, konsumsi serta mekanisme harga harus
dapat diminimalkan. Menurut James dan Nobes (1992: 33-34), dan
Ontario Fair Tax Commission (1993), biaya pemungutan yang relatif
kecil, pada umumnya berkaitan dengan biaya administrasi
pemungutan pajak dan biaya wajib pajak untuk melaksanakan
kewajiban perpajakannya harus murah dan sesederhana mungkin (on
the grounds of efficiency on administrative costs and compliance
cost). Prinsip efisiensi yang dikaitkan dengan dampak distorsi yang
minimal, atau pengenaan pajak sedapat mungkin netral terhadap
mekanisme harga, keputusan wajib pajak dalam memproduksi dan
konsumsi. Hampir semua ahli berpendapat bahwa sangat sulit untuk
mendapatkan jenis pajak yang sama sekali tidak memberikan dampak
negatif terhadap alokasi sumber daya ekonomi.
Pengenaan suatu pajak yang bersifat lump-sum terhadap
setiap orang yang dikenal sebagai poll-tax, barangkali tidak
memberikan distorsi yang berarti karena pajak ini tidak membedakan
tingkah laku ekonomi dari wajib pajak sehingga tidak menimbulkan
ketidakefisienan atau excess burden yang berarti.
Kenetralan pengenaan poll-tax terhadap alokasi sumber
daya ekonomi dapat berlangsung sepanjang wajib pajak tidak
mengubah keputusannya untuk memperkecil jumlah keluarganya
misalnya melalui keluarga berencana sehingga pengenaan poll-tax
pun masih mungkin memberikan dampak distorsi. Pemerintah
kerajaan Inggeris pada tahun 1990 memberlakukan poll-tax ini,
tetapi negara tersebut kurang memperhatikan aspek lainnya dari
prinsip perpajakan yang baik, yaitu keadilan. Poll-tax dikenal sebagai
suatu jenis pajak yang tidak adil dan memberatkan keluarga
berpenghasilan rendah.Kisah poll-tax di Inggeris ini menggambarkan
secara jelas suatu dilema penting di masyarakat modern mengenai
pilihan antara efisiensi dan keadilan dalam menentukan kebijakan
ekonomi khususnya di bidang perpajakan (Stiglitz, 2000).
3. Teori Ekonomi Perpajakan
Ekonom menempatkan teori perpajakan sebagai bagian dari
perpajakan yang baik terutama harus memenuhi keadilan di bidang
perpajakan yang pada dasarnya dapat dikutip berikut ini.
a. Benefit Theory, According to this theory, the state should levy
taxes on individuals according to the benefit conferred on them.
The more benefits a person derives from the activities of the
state, the more he should pay to the government. This principle
has been subjected to severe criticism on the following grounds:
Firstly, If the state maintains a certain connection between the benefits conferred and the benefits derived. It will be against the
basic principle of the tax. A tax, as we know, is compulsory
contribution made to the public authorities to meet the expenses
of the government and the provisions of general benefit. There is
no direct quid pro quo in the case of a tax. Secondly, most of the
expenditure incurred by the slate is for the general benefit of its
citizens, It is not possible to estimate the benefit enjoyed by a
particular individual every year. Thirdly, if we apply this
principle in practice, then the poor will have to pay the heaviest
taxes, because they benefit more from the services of the state. If
we get more from the poor by way of taxes, it is against the
principle of justice?
b. The Cost of Service Theory; Some economists were of the
opinion that if the state charges actual cost of the service
rendered from the people, it will satisfy the idea of equity or
justice in taxation. The cost of service principle can no doubt be
applied to some extent in those cases where the services are
rendered out of prices and are a bit easy to determine, e.g.,
postal, railway services, supply of electricity, etc., etc. But most
of the expenditure incurred by the state cannot be fixed for each
individual because it cannot be exactly determined. For instance,
how can we measure the cost of service of the police, armed
forces, judiciary, etc., to different individuals? Dalton has also
rejected this theory on the ground that there s no quid pro qua in
a tax.
c. Ability to Pay Theory; The most popular and commonly
accepted principle of equity or justice in taxation is that citizens
with their ability to pay. It appears very reasonable and just that
taxes should be levied on the basis of the taxable capacity of an
individual. For instance, if the taxable capacity of a person A is
greater than the person B, the former should be asked to pay
more taxes than the latter.It seems that if the taxes are levied on
this principle as stated above, then justice can be achieved. But
our difficulties do not end here. The fact is that when we put this
theory in practice, our difficulties actually begin. The trouble
arises with the definition of ability to pay. The economists are
not unanimous as to what should be the exact measure of a
person's ability or faculty to pay. The main view points advanced
in this connection are as follows: (a) Ownership of Property:
Some economists are of the opinion that ownership of the
property is a very good basis of measuring one's ability to pay.
This idea is out rightly rejected on the ground that if a persons
earns a large income but does not spend on buying any property,
he will then escape taxation. On the other hand, another person
earning income buys property, he will be subjected to taxation. Is
this not absurd and unjustifiable that a person, earning large
income is exempted from taxes and another person with small
income is taxed? (b) Tax on the Basis of Expenditure: It is also
asserted by some economists that the ability or faculty to pay tax
should be judged by the expenditure which a person incurs. The
greater the expenditure, the higher should be the tax and vice
versa. The viewpoint is unsound and unfair in every respect. A
person having a large family to support has to spend more than a
person having a small family. If we make expenditure. as the test
of one's ability to pay, the former person who is already
burdened with many dependents will have to' pay more taxes
than the latter who has a small family. So this is unjustifiable. (c)
Income as the Basics: Most of the economists are of the opinion that income should be the basis of measuring a man's ability to
pay. It appears very just and fair that if the income of a person is
greater than that of another, the former should be asked to pay
more towards the support of the government than the latter. That
income has been accepted as the best test for measuring the
ability to pay of a person.
Selanjutnya menurut ekonom klasik, pengenaan pajak harus
proporsional terhadap penghasilan individu wajib pajak, hal ini
berarti bahwa pengenaan pajak sejalan dengan pengorbanan yang
proporsional bagi individu wajib pajak. Pendapat ini berbeda dengan
ekonom modern yang menyatakan bahwa pengorbanan yang adil
hanya dapat dicapai melalui pengenaan pajak yang bersifat progresif,
yaitu makin tinggi tingkat penghasilan akan dibebani tarif pajak yang
lebih tinggi. Esensi sistem perpajakan yang baik ditengarai oleh
prinsip-prinsip berikut ini (Nightingle, 2000) :
a. First, a good tax system should lead to fair and equal distribution
of wealth in the community.
b. Second, it should be composed in such a way that it yields
sufficient revenue to the government.
c. Third, the cost on collection of taxes should not be excessive.
d. Fourth, the burden of taxes should be distributed in proportion
to the ability of the tax-payer, i.e., it should be progressive in
character.
e. Fifth, taxes should he levied at such a time or in the manner
which is most likely to be convenient for the tax-payer to pay it.
f. Sixth, tax system should be fairly elastic.
g. Seventh, there should be certainty with regard to the time and
the amount to be paid to the government.
h. Eighth, the system of taxation should be fairly simple, It should
also be easy to administer.
4. Pragmatisme Implementasi Keadilan Pajak
Dalam kurun waktu akhir abad 20 dan menginjak abad ke
21, konsepsi keadilan di bidang perpajakan secara gradual mulai
ditinggalkan, kecenderungan pergeseran ini jelas salah arah, yang
berasal dari kesalah pahaman dari kontribusi pemikiran yang
dimunculkan oleh para ekonom dan otoritas pajak di berbagai
Negara yang berpandangan pragmatis. Mereka berpendapat bahwa
bernuansa politik dan populis daripada aspek ekonomi perpajakan
dan prinsip-prinsip perpajakan sebagai sumber keuangan Negara dan
daerah. Para ekonom dan otoritas pajak memiliki peran penting
dalam mengembangkan pemikiran tentang keadilan di bidang
perpajakan yang seharusnya konsisten dengan prinsip-prinsip sistem
perpajakan yang baik (canon of equality). Mereka mungkin tidak
selalu dapat menentukan jawaban yang "benar" dalam hal keadilan,
tetapi mereka sering mengidentifikasi pendekatan keadilan di bidang
perpajakan yang sulit untuk diimplementasikan khususnya atas dasar
argumen kesederhanaan administrasi perpajakan. Solusi ketidak
adilan ini, diharapkan dapat dikoreksi melalui kebijakan belanja
Negara dan daerah yang lebih konsisten dan efisien dalam
penyelengaraan pelayanan publik. Namun, ironisnya justru kebijakan
belanja Negara dan daerah dalam banyak hal ternyata kurang
mencerminkan keadilan. Hal ini dapat dilihat dari masih besarnya
kontribusi belanja Negara dan daerah yang dialokasikan hanya untuk
memenuhi kebutuhan aparat dan berbagai belanja yang non-produktif
lainnya. Tidak ada yang lebih mendasar dengan karakter demokrasi
yang sukses daripada kepercayaan warga negaranya dalam proses
peradilan dan legislatif yang melindungi hak asasi manusia dan
memberikan keadilan yang sama terutama dalam kaitannya dengan
beban akhir pajak (tax incidence) berdasarkan hukum yang berlaku.
Hak-hak asasi manusia untuk memperoleh perlakuan yang adil dari
Negara termasuk perlakuan yang adil di bidang perpajakan harus
mendapat perhatian secara inklusif dengan mempertimbangkan
berbagai aspek lainnya termasuk kebutuhan keuangan Negara dan
daerah. Berbagai deklarasi dan konvensi, seperti Deklarasi Universal
PBB tahun 1948 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa
hak-hak tertentu yang berasal dari kondisi manusia, termasuk
preferensi budaya harus dilindungi terutama di negara yang
demokratis dan menghargai kebebasan individu. Memang, sulit untuk
mengidentifikasi tindakan pemerintah yang kurang memberikan
perlakuan kesetaraan dan keadilan termasuk di bidang perpajakan.
Status keadilan sebagai prinsip politik adalah unik, tetapi tidak selalu
kekuatan pendorong dan check and balance mampu mengontrol