• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kiprah Politik Perempuan serta Upaya Men

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kiprah Politik Perempuan serta Upaya Men"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. 1 Negara demokrasi sangat mengakui kedaulatan rakyat, dan rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara. Selain itu negara demokrasi menjamin semua warga negara untuk bersuara mengemukakan pendapat serta terlibat dan terjun dalam dunia politik. Negara membuka ruang yang seluas-luasnya bagi rakyat untuk mendapatkan akses, ruang kebebasan, dan menjamin ruang kebebasan tersebut untuk menyampaikan aspirasi, baik melalui media maupun secara langsung. Kebebasan berpolitik sangat dijunjung tinggi dalam suatu negara demokrasi seperti halnya Indonesia.

Salah satu sendi utama negara demokrasi yaitu menjamin hak kebebasan bagi setiap warga negara baik laki-laki maupun perempuan untuk sama-sama berkiprah dalam mengakses kedaulatan rakyat. Kegagalan dalam mencapai cita-cita demokrasi, seringkali dipicu oleh ketidakadilan dalam mengemban kekuasaan negara khususnya kedudukan dalam bidang politik, dalam hal ini adalah perempuan. Belakangan ini, representasi perempuan Indonesia dalam ranah politik kurang diperhatikan. Sering kali perempuan kurang mendapat tempat dalam ranah politik praktis, sehingga tidak jarang terlihat dominasi kaum laki-laki yang menduduki kursi terpenting dalam birokrasi pemerintah sangat signifikan. Selain itu partai politik sebagai salah satu sarana politik kurang mengakomodasi perempuan untuk terjun dalam dunia politik.

Melihat realitas tersebut di atas, maka penulis dengan tulisan kiprah politik perempuan Indonesia serta upaya meningkatkan partisipasinya dalam dunia politik di Indonesia mau meneguhkan kembali akan pentingnya peran dan partisipasi perempuan dalam bidang politik serta berupaya sedapat mungkin meningkatkan representasi mereka ke dalam ranah politik melalui kekuatan hukum dan Undang-Undang serta sistem perpolitikan. Semoga tulisan ini dapat berguna bagi sistem perpolitikan di Indonesia terutama partai politik sebagai salah satu kelengkapan politik dalam menjaring kader-kader politik mampu menjamin stabilitas politik khususnya keseimbangan politik baik laki-laki maupun perempuan.

2.1. Kiprah Politik Perempuan di Indonesia

(2)

Perjalanan bangsa Indonesia hingga saat ini tidak terlepas dari keterlibatan kaum perempuan. Kaum perempuan memiliki sumbangsih yang besar dalam setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu kiprah perempuan yang sangat menarik untuk ditelusuri adalah keterlibatannya dalam dunia politik. Perpolitikan di Indonesia seperti halnya di negara-negara Eropa, tidak terlepas dari peran serta kaum perempuan. Keterlibatan kaum perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah bukti nyata partisipasi aktif mereka dalam bidang politik.

Namun sejarah tidak banyak mencatat peranan perempuan. Padahal, pada masa revolusi gerakan perempuan sepenuhnya dikerahkan untuk mendukung agenda nasionalis. Perempuan bekerja di dapur-dapur umum yang secara vital menentukan ketahanan para gerilyawan. Mereka menyusup dan menyamar untuk menyelundupkan informasi strategis, menjadi mata-mata, merawat pejuang. Tak kurang perempuan yang mengangkat senjata.2 Keterlibatan perempuan ini dalam ranah perjuangan kemerdekaan menjadi titik awal keterlibatan perempuan dalam dunia politik. Perempuan ternyata bukan hanya aktif dalam kegiatan domestik rumah tangga, tetapi berani tampil dalam kancah politik.

Keterlibatan wanita di kancah politik bukanlah sebagai hal yang baru. Dalam sejarah perjuangan kaum perempuan, partisipasi perempuan dalam pembangunan telah banyak dicapai terutama dalam bidang pendidikan, ekonomi, lembaga kenegaraan dan pemerintahan. Khusunya dalam lemabaga pemerintahan, sejarah mencatatkan bahwa delapan abad sebelum Kartini3 lahir, di kerajaan Aceh Darusalam ada 4 (empat) orang yang pernah menjadi Sultanah (sultan perempuan). Mereka adalah Sultanah Syaflatuddin Syah (1641-1675), Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1675-1678), Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (1677-1688) dan Ratu Kamalat Zainatuddin Syah (1688-1699).4 Selain itu, fakta sejarah yang ada menyebutkan bahwa ada sejumlah pejuang wanita Aceh yang memimpin perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah Belanda seperti: Cut Nyak Dhien (1848-1908), Cut Nyak Meutia (1870-1910).5 Dari beberapa fakta sejarah ini, jelas merupakan bukti bahwa sebenarnya perempuan telah jauh-jauh hari memperjuangkan nasibnya bahkan lebih dari pada itu mereka berjuang melawan penindasan, penjajahan yang tidak hanya kepada kaumnya sendiri tetapi juga menyeluruh kepada seluruh rakyat yang ada pada saat itu.

Selain itu perempuan Indonesia juga aktif berorganisasi dan melakukan aksi-aksi. Organisasi-organisasi perempuan yang pernah ada misalnya; Organisasi Putri Merdoko di

2 (t.p.), Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), hlm. 128.

3 Kartini dengan nama lengkap Raden Ajeng Kartini adalah seorang perempuan kelahiran Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879. Ia adalah sosok perempuan yang sangat fenomenal dan sangat berjasa dalam sejarah bangsa Indonesia terutama dalam hal mengangkat derajat kaum perempuan Indonesia yang kerap disebut sebagai gerakan emansipasi wanita. Bdk. Joan Domaiko Udu, Melampaui Kegelisahan (Klaten: Penerbit Dito Color, 2012), hlm. 152.

4 MDGs (Millenium Development Goals) Sebentar Lagi. Sanggupkah kita Menghapus Kemiskinan di Dunia? (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm. 291.

(3)

Batavia 1912 yang bertujuan untuk mendorong emansipasi perempuan dengan cara memberikan beasiswa kepada anak bumiputra agar mereka bisa melanjutkan sekolah.6 Selain itu di luar Batavia (Jakarta) perempuan mengambil inisiatif untuk mendudukan organisasi misalnya, Organisasi Pawiyata Wanita (1915) di Magelang, Wanita Hado (1915) di Jepara, Wanita Soesila (1918) di Palembang, dan Putri Sejati di Surabaya. Adapun puncak perjuangan perempuan saat itu adalah diselenggarakannya Kongres Wanita Indonesia I pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Salah satu hasilnya adalah membentuk PPI (Perserikatan Perempuan Indonesia). Kongres II diadakan di Jakarta (1929) dan salah satu hasilnya adalah mengubah nama PPI menjadi PPII (Perserikatan Perhimpoenan Istri Indonesia).7

Perjuangan perempuan untuk menembus dunia perpolitikan Indonesia terus mengalami peningkatan. Setelah kemerdekaan, saat sistem Demokrasi Parlementer berjalan (1950-1957), perempuan-perempuan yang tergabung di partai-partai Islam cukup signifikan dan memiliki peran, serta pengaruh yang kuat. Namun pada zaman Orde Baru dengan Demokrasi Pancasilanya, terutama pada akhir tahun 1970-an dan tahun-tahun sesudahnya pergerakan perempuan untuk menembus dunia politik mengalami penyurutan yang drastis akibat sistem politik yang represif dan otoriter yang diterapkan.8 Namun kiprah politik perempuan tidak hanya berhenti disini, terobosan partisipasi mereka mulai nampak dan bangkit kembali setelah rezim Orde Baru berakhir. Partisipasi mereka kini semakin terdorong ketika Megawati Soekarno Putri terpilih sebagai presiden perempuan RI yang pertama dalam sejarah perpolitikan Indonesia pada Pemilihan Umum 2004.

2.2. Kendala Kiprah Politik Perempuan9

Harapan akan keterlibatan perempuan dalam ranah politik belum mencapai hasil yang signifikan. Hal ini karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menghambat partisipasi mereka terutama untuk mengisi jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintahan. Beberapa faktor yang yang sangat berpengaruh terhadap kiprah mereka yaitu:

2.2.1. Faktor Institusional

6 Saparinah Sadli, Berbeda tetapi Setara. Pemikiran tentang Kajian Perempuan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm. 106.

7 Ibid.

8 Ibid., hlm. 107-108.

9 Memeperkuat Partisipasi Perempuan dalam Politik di Indonesia (online),

(4)

Kurangnya kinerja dari partai-partai politik dalam mengakomodir kaderisasi perempuan untuk terlibat langsung dalam dunia politik di Indonesia. Secara spesifik, dalam tubuh parpol (partai politik) terdapat beberapa kenadala atau rintangan yang menghadang perempuan Indonesia yang berusaha memajukan diri serta meningkatkan keefektifannya di dalam sistem kepartaian. Pertama; tingkat sosialisasi politik terhadap perempuan demikian rendah; tak banyak perempuan aktif berkiprah sebagai kader partai. Kedua; kepemimpian partai politik cendrung didominasi kaum laki-laki, dan pada gilirannya mereka cendrung hanya menominasikan kandidat-kandidat lelaki yang mereka yakini berpotensi besar memenangkan pemilihan. Sangat jelas terlihat disini, peran partai politik sangat bias gender. Partai politik hanya mementingkan kaum patriarkat dibandingkan dengan kaum matriarkat. Ketiga, ada kecendrungan untuk menyeleksi kandidat perempuan yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa parpol. Sangat jelas terlihat disini, sistem oligarki politik yang dilakukan oleh kepemimpinan parpol tengah membudaya tiap-tiap partai politik. Keempat, adanya persepsi bahwa pemilu (pemilihan umum) adalah perhelatan yang mahal yang memakan biaya yang sangat besar. Persepsi politik demikian meeminimkan modus perempuan dengan menggunakan dana secara independen untuk membiayai proses pemilu, karena tidak adanya dispensasi dana dari partai politik.

2.2.2. Faktor ideologi

Adanya persepsi bahwa dunia politik adalah dunianya laki-laki, sedangkan perempuan hanya mengurus segala pekerjaan domestik rumah tangga. Perempuan tidak pantas berpolitik karena tidak bisa berpikir rasional, dan kurang berani mengambil resiko. Perempuan itu tercipta dari tulang rusuk laki-laki, sehingga posisinya dalam berelasi dengan laki-laki selalu tidak seimbang, karena laki-laki lebih superior dalam memutuskan segala sesuatu. Tentu pandangan seperti ini semakin menghambat langkah perempuan dalam dunia perpolitikan, bahkan perempuan sama sekali mengrungkan niatnya untuk berkiprah dalam dunia politik karena berpasrah pada pandangan-pandangan stereotip tersebut.

2.2.3. Faktor psikologis

(5)

2.2.4. Faktor sosial-budaya

Masih menguaknya budaya paternalstik dalam masyarakat, laki-laki sebagai pegang kendali segala sesuatu dalam masyarakat, terutama menyangkut harta warisan dan lain sebagainya. Perempuan hanyalah makhluk yang lemah lembut, tidak rasional dan pekerjaan utama mereka adalah melayani suami, mengurus anak dan rumah tangga. Pergerakan perempuan hanyalah sekitar rumah, dan dilarang untuk tampil di muka umum. Kekangan gaya hidup mengakibatkan perempuan mempunyai sedikit waktu untuk berpolitik. Mengurus keluarga dan kewajiban-kewajiban lainnya menuntut perhatian penuh perempuan, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk berpolitik.

Sejumlah faktor-faktor tersebut merupakan alasan substansial yang menghambat langkah perempuan dalam medio perpolitikan Indonesia. Faktor-faktor tersebut merupakan garisan tegas bahwa antara perempuan dan politik merupakan dua dunia yang berbeda dan tidak dapat bersinergi satu dengan yang lain. Hal ini pula nampak dalam rendahnya perwakilan mereka pada lembaga pemerintahan terutama pada era demokrasi modern yang kian berkembang saat ini. Rendahnya perwakilan mereka tentunya tidak semata-mata merugikan kelompok mereka sendiri, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.

2.3. Data Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia

2.3.1. Undang-Undang Keterwakilan Politik Perempuan

Berbicara mengenai keterwakilan politik perempuan tidak dapat dilepaskan dari peran politik perempuan secara umum. Indonesia memiliki catatan panjang dalam upaya pemberdayaan perempuan melalui berbagai ketentuan Perundang-Undangan. Hal ini dapat dilihat, antara lain dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang secara formal sebenarnya telah menjamin peran serta perempuan Indonesia dalam arena politik. Pasal-pasal yang tertuang dalam UUD NRI Tahun 1945 tersebut, telah dengan tegas menolak diskriminasi dalam bentuk apapun terhadap warga negaranya, bahwa negara mengakui Hak Dasar setiap warga negara. Selain itu, negara juga telah memberikan perlakuan khusus, agar setiap warga negara memperoleh kesempatan, dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Hak-hak politik warga negara antara lain tercantum dalam pasal 27 ayat (1), 28 ayat (3), dan 28 H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.10

(6)

Secara historis, pada masa Orde Lama selama masa pemerintahan Soekarno11, pemerintah telah memberikan hak kepada perempuan untuk memilih, dan dipilih dalam lembaga legislatif negara melalui Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958. Hal serupa terjadi pada tahun 1984, di bawah kepemimpinan Soeharto12, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.13

Perjalanan politik perempuan Indonesia kian menguat ketika ditetapkannya Undang Partai Politik Nomor 31 Tahun 2003 dan Undang-Undang Pemilu (Pemilihan Umum) Nomor 12 Tahun 2002. Kedua Undang-Undang ini berupaya mengakomodasi partisipasi perempuan dan memberi peluang bagi keterwakilan perempuan dalam lembaga birokrasi dan politik pembuat keputusan.14 Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Pemilu menyebutkan setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD I, DPRD II, untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Pasal 7 (e) Partai Politik menyebutkan bahwa rekrutmen politik dalam pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi harus memperhatikan kesetaraan gender. Juga pasal 13 ayat (3) menyatakan bahwa kepengurusan partai politik di setiap tingkat dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah parpol (partai politik) dengan AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini dicapai melalui peningkatan jumlah perempuan secara signifikan dalam kepengurusan partai politik di setiap tingkatan.15 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD (Pemilu Legislatif) serta Undang-Undang Dasar 1945 Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, telah memberikan mandat kepada partai politik untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat. Selanjutnya dalam pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menyatakan bahwa KPU Pusat, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan melalui daftar calon tetap partai politik lewat media masa khususnya media cetak harian dan elektronik nasional. Selain itu Undang-Undang Pemilu Nomor 8 Tahun 2012 tentang mengatur keterwakilan perempuan, dan Undang-Undang Partai Politik Nomor 2 Tahun 2011 ayat (5)

11 Soekarno dengan nama lengkap Koesno Sosrodihardjo lahir di Surabaya, Jawa Timur 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta 21 Juni 1970. Ia adalah presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945-1966. Ia memainkan peran penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia berjulukan sebagai bapak proklamator kemerdekaan yang terjadi pada 17 Agustus 1945. Soekarno (online),

(http://id.wikipedia.org/wiki/Soekarno, diakses 20 Oktober 2014).

12 Soeharto adalah mantan Jendral Besar TNI selama masa presiden Soekarno, lahir di Dusun Kemusuk Desa Agromulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul-Yogyakrta dan meninggal di Jakarta 27 Januari 2008. Ia adalah presiden Indonesia kedua periode 1967-1998 menggantikan Soekarno. Soeharto (online),

(http://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto, diakses 20 Oktober 2014).

13 Asmaeny Azis, loc. cit.

(7)

menyatakan kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan.16

Dengan menelisik ketentuan Hukum dan Undang-Undang tersebut diatas, terbukti bahwa negara telah menjamin secara yuridis-konstitusional keterwakilan perempuan untuk berkiblat dalam kancah perpolitikan Indonesia. Hal ini nampak pada tiap pasal Undang-Undang baik Undang Partai Politik maupun Undang-Undang Pemilu, negara dengan tegas menetapkan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan mereka dalam lembaga perwakilan rakyat dan tidak menutup kemungkinan untuk lebih dari kuota yang ditetapkan ini, serta negara telah menginstruksikan setiap partai politik secara real merekrut kader-kader perempuan, agar melalui kekuatan politik mampu mempercepat proses keterwakilan mereka dalam lembaga birokrasi pemerintahan.

2.3.2. Kesertaan Perempuan

Secara historis, keterwakilan perempuan Indonesia di parlemen telah berlangsung sejak masa Orde Lama. Pada periode pemilu legislatif antara tahun 1950 dan 1955, keterwakilan perempuan di parlemen 3,8% dari jumlah seluruh anggota parlemen dan 6,3% antara tahun 1955 dan 1960. Selama 30 tahun berikutnya, representasi perempuan tertinggi 13 persen dicapai pada periode tahun 1987 sampai tahun 1992.17

Keterwakilan perempuan pada institusi-institusi politik lainnya baik di tingkat lokal, Propinsi, maupun Nasional secara empirik mengalami fluktuasi. Selama periode pemilu legislatif dari tahun 1992 sampai tahun 1997, perempuan memperoleh hanya 12,5% kursi di parlemen. Jumlah ini kemudian mengalami penurunan pada periode legislatif tahun 1997-1998 yaitu 10,8%. Kecendrungan penurunan representasi perempuan tersebut berlanjut terus dimana pada periode legislatif tahun 1999-2004 hanya 9,0% dari seluruh anggota parlemen nasional.18

Kehadiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, bahwa tiap partai politik dan peserta pemilu perlu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% dari partainya. Hal ini langsung terbukti pada pemilu periode 2004-2009 melibatkan banyak kader perempuan yang maju dan terlibat dalam proses pemilu. Bahkan secara intuisi dikejutkan dengan terpilihnya Megawati Soekarno Putri sebagai presiden perempuan pertama dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Namun, kendatipun Megawati terpilih sebagai presiden perempuan pertama Indonesia pada periode pemilu tersebut, nyali perempuan lainnya masih belum mencapai kuota yang telah ditetapkan. Jumlah perempuan yang terpilih dalam lembaga perwakilan rakyat hanya 62 orang atau 11,6 persen dari 550 jumlah seluruh anggota dewan yang terpilih, dan jumlah menteri perempuan hanya 4 orang dari 36 jumlah seluruhnya. Fluktuasi jumlah representasi perempuan

16 Asmaeny Azis, op. cit., hlm. 260. 17 Ibid., hlm. 181.

(8)

kian berlanjut pada periode pemilu 2004-2009 yakni; 101 orang perwakilan perempuan terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau 18,03% dari 560 jumlah anggota seluruhnya. Kendatipun perolehan ini meningkat 6 persen dari periode pemilu sebelumnya, namun tetap saja masih jauh dari target yang telah ditentukan secara konstitutif. Jumlah menteri perempuan yang tergabung dalam kabinet hanya 5 orang dari 34 jumlah menteri seluruhnya.19

Ekspektasi keterwakilan perempuan sejatinya terwujud pada Pemilu 2014. Hal ini ditandai dengan jumlah Partai politik yang terlibat makin banyak dan berusaha untuk merebut posisi di parlemen. Hal ini sepintas membuktikan bahwa demokrasi perpolitikan Indonesia mengalami kemajuan ke arah yang ideal. Setiap partai politik khususnya partai-partai politik besar mengusung para kadernya masing-masing yang sudah siap dengan matang baik dari segi materinya maupun mentalnya. Selain itu, kehadiran partai-partai politik tersebut sejatinya membawa angin segar bagi para kader politisi perempuan untuk turut bersaing dengan kader lawannya untuk sama-sama merebut kursi di parlemen melalui Pemilihan Umum. Namun kendatipun demikian, perolehan hasil masih belum mencapai rata-rata minimal kuota keterwakilan perempuan khususnya di parlemen. Jumlah perolehan suara perempuan umumnya yang terpilih sebagai dewan perwakilan 23,31 persen namun jumlah kursi yang dibutuhkan untuk perempuan hanya 17% dari yang sebelumnya 18,03%, sedangkan jumlah menteri kabinet perempuan 8 orang dari 34 jumlah menteri seluruhnya.20

Sementara itu, gubernur perempuan hingga saat ini hanya ada satu (1) orang dari tiga puluh tiga (33) gubernur yang ada di Indonesia atau hanya 3 persen. Sementara itu kaum perempuan yang menjadi bupati/walikota hanya delapan (8) orang dari 440 kepala daerah di seluruh Indonesia dan hanya 18 orang dari 440 wakil kepala daerah di seluruh Indonesia.21

Perjalanan perpolitikan Indonesia telah diwarnai oleh keterlibatan perempuan. Hal ini terbukti melalui kiprahnya dalam proses Pemilihan Umum yang telah berlangsung sejak masa Orde Lama. Namun realitas menunjukkan kekuatan politik perempuan masih tidak sebanding dengan laki-laki. Kendatipun semangat dan daya juang perempuan memiliki landasan yuridis-konstitusional yakni Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Partai Politik, namun dalam langkah praktisnya masih jauh dari target yang ditentukan. Patut dipertanyakan isi materi dari Undang-Undang tersebut.

2.4. Upaya Meningkatkan Partisipasi Perempuan dalam Dunia Politik di Indonesia

19 (t.p.), MDGs (Millenium Development Goals) Sebentar Lagi. Sanggupkah Kita Menghapus Kemiskinan di Dunia? op.cit., hlm. 289.

20 Ibid.

(9)

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Stastitik, jumlah perempuan Indonesia adalah sebesar 118.010.413 jiwa atau sekitar 49% dari total jumlah penduduk.22 Jumlah ini merupakan kondisi ideal keterwakilan perempuan Indonesia dalam lembaga perwakilan. Berkaca pada hasil Pemilu selama ini, untuk mencapai angka kritis 30% keterwakilan perempuan belum memiliki sinyal positif. Oleh karena itu, untuk mencapai angka persentase tersebut dan juga untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan secara umum diperlukan upaya.

2.4.1. Melalui Sistem Pemilihan Umum (Pemilu)23

Pemilihan Umum merupakan salah satu sendi untuk tegaknya sistem politik demokrasi. Tujuan Pemilu tidak lain adalah untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi, dengan cara memilih wakil-wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat. Semuanya itu bertujuan untuk mengikutsertakan rakyat dalam kehidupan ketatanegaraan.

Salah satu sistem Pemilu yang diterapkan di Indonesia dan lebih menguntungan perempuan adalah sistem Pemilu Proporsional. Sistem Pemilu Proporsional adalah sistem Pemilihan Umum dengan cara pemungutan suara berimbang, jika dalam sistem distrik disesuaikan terhadap letak geografis wilayah, maka proporsional disesuaikan dengan jumlah suara berimbang dengan perbandingan tertentu. Jadi, dalam sebuah wilayah bisa jadi tidak hanya ada satu kursi yang diperebutkan, karena disesuaikan jumlah pemilih di dalamnya. Melalui sistem ini perempuan diberi ruang untuk maju melalui partai politik sebagai promotor keterwakilannya. Sistem ini sejatinya telah diterapkan pasca Pemilu masa reformasi hingga sampai dengan saat ini.

2.4.2. Melalui Partai Politik (Parpol)

Secara umum Partai Politik merupakan suatu organisasi yang disusun secara rapi dan stabil yang dibentuk oleh sekelompok orang secara sukarela yang mempunyai kesamaan kehendak, cita-cita dan persamaan ideologi tertentu untuk berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan melalui Pemilihan Umum untuk mewujudkan alternatif kebijakan atau program-program yang telah mereka susun.24 Partai Politik sebagai salah satu pilar demokrasi mutlak diperlukan sebagai penghubung perwakilan perempuan untuk mengisi jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintahan.

22 Hasil Sensus Penduduk 2010 (online), (http://dds.bps.go.id/eng/abotus.php?=o, diakses 15 September 2014) 23 Asmaeny Azis, op.cit.,hlm. 208.

24 Pengertian,Tujuan, dan Fungsi Partai Politik (online),

(10)

Hal yang sangat urgen yang menentukan mutu Partai Politik adalah rekrutmen politik. Rekrutmen politik merupakan suatu proses seleksi atau rekrutmen anggota-anggota untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan-jabatan administratif maupun politik.25 Rekrutmen politik adalah kesempatan partai politik untuk mengurus kadernya duduk dalam jabatan politik tertentu.

Oleh karena itu, dalam proses rekrutmen politik, partai politik perlu memperhatikan kesetaraan gender, dalam hal ini adalah perempuan. Partai politik harus peka terhadap gender agar dapat meningkatkan jumlah kandidat perempuan dalam daftar partai, serta memberi mereka peluang yang sama untuk berpartisipasi pada proses-proses pengambilan keputusan. Untuk memudahkan proses kaderisasi politik, perempuan perlu dibekali dengan pendidikan politik sebagai tuntutan dasar seorang politisi (kader) sebelum tampil dalam panggung politik praktis. Partai politik harus memiliki komitmen untuk memberikan pendidikan yang baik terhadap perempuan agar mereka mampu bersaing dengan para politisi laki-laki.

Selain itu, melalui rancangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, pendirian, pembentukan dan kepengurusan Partai Politik tentunya menjadi kabar baik bagi keterlibatan perempuan dalam dunia politik.26 Partai Politik sebagai wadas pembentukan kader-kader politik perlu mengakomodasi kaum perempuan untuk menduduki suatu jabatan politis tertentu dalam negara. Partai Politik mesti menjadi promoter penggerak dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam dunia politik.

2.4.3. Melalui Sistem Kuota27

Selain dengan perubahan sistem Pemilu dan juga pola rekrutmen Partai Politik, metode lain yang juga sangat urgen dan efisien membantu mempercepat peran politik perempuan adalah dengan menggunakan sistem kuota. Kuota politik adalah peraturan jumlah dalam perbandingan tertentu dalam hal ini adalah perempuan sekurang-kurangnya harus ada dalam forum atau lembaga perwakilan. Tujuan hal ini adalah meletakkan suatu persentase minimal untuk representasi laki-laki dan perempuan sehingga menjamin adanya keseimbangan jumlah jabatan politik dalam pengambilan keputusan.

Argumen dasar penggunaan sistem ini adalah untuk mengatasi ketidakseimbangan pola keputusan dan kebijakan hukum dan budaya serta berusaha menetapkan kesetaraan gender dalam dunia politik. Beberapa negara di dunia telah menggunakan sistem kuota yaitu; Bangladesh, Bostwana, Pakistan, Taiwan dan Tanzania.28

25 Fadilah Putra, Partai Politik dan Kebijakan Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 19.

26 Robert Mirsel, “Good Governance dan Pemilu 2009: Kerinduan di Tengah Kegelisahan”, Jurnal Ledalero, VII (Desember 2008), hlm. 143-144.

(11)

Di Indonesia, sistem kuota telah diterapkan pasca penetapan Undang-Undang Pemilu No. 12 Tahun 2003 yang bermateri tentang menuntut sekurang-kurangnya 30% kuota keterwakilan perempuan dalam dunia politik. Sasaran yang menjadi aktor utama yang berperan dalam hal ini adalah pola perekrutan Partai Politik. Partai Politik berusaha merekrut para kandidat perempuan untuk menduduki posisi atau jabatan politik melalui proses seleksi yang terbuka. Partai Politik secara sukarela dan efektif menjaring semua wakil-wakilnya baik laki-laki maupun perempuan tanpa terkecuali satupun. Selama proses tersebut berjalan Partai Politik perlu memperhatikan dua (2) hal berikut: pertama, Partai-partai Politik harus menampilkan daftar-daftar para kandidat secara sosial atau seimbang. Kedua, semua Partai Politik harus lebih banyak melibatkan perempuan dalam arti tanpa mengeksklusifkan kaum laki-laki.29

Dalam langkah praktis selama diterapkannya sistem kuota dalam medium perpolitikan Indonesia, khususnya dalam menjaga stabilitas keseimbangan perwakilan baik laki-laki maupun perempuan berangsur-angsur mengalami kemajuan yang signifikan. Hal ini terbukti ketika pesta demokrasi khususnya pasca Pemilihan Umum yang sudah berlangsung di Indonesia khususnya pada tahun-tahun terakhir ini, mendapatkan respon positif dari semua para politisi politik khususnya dalam menjaring kader-kader politiknya. Tak sedikitpun jumlah para kader politisi perempuan yang beramai-ramai mengambil posisi atau jabatan tertentu dalam partai politik untuk selanjutnya berkiprah ke parlemen.

2.4.4. Pemberdayaan Perempuan30

Pemberdayaan perempuan secara sederhana dapat dimaknai sebagai suatu upaya untuk mendorong dan meningkatkan kesadaran perempuan akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Upayan ini tentunya perlu diikuti dengan upaya yang konkret dengan cara memperkuat potensi atau daya yang dimiliki perempuan dengan langkah-langkah nyata seperti menciptakan iklim perpolitikan yang elegan dan adil.

Kekuatan hukum pemberdayaan perempuan di Indonesia adalah dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 sebagai suatu strategi Pengarus Utamaan Gender (PUG).31 Pengarusutamaan Gender adalah suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui perencanaan dan penerapan kebijakan yang berspektif gender pada organisasi dan institusi. Pengarusutamaan gender mengatur strategi alternatif bagi usaha percepatan tercapainya

29 Ibid., hlm. 180.

30 Asmaeny Azis, op. cit., hlm. 245.

(12)

kesetaraan gender karena nuansa kepekaan gender menjadi salah satu landasan dalam penyusunan dan perumusan strategi, struktur, dan sistem dari suatu organisasi atau institusi, serta menjadi bagian dari nafas budaya di dalamnya. Atau dalam arti lain pengarusutamaan gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan terfokus pada peningkatan perempuan dalam pembangunan. Strategi ini dibangun atas asumsi bahwa permasalahan kaum perempuan berakar pada rendahnya kualitas sumber daya perempuan itu sendiri yang menyebabkan mereka tidak mampu bersaing dengan kaum laki-laki dalam masyarakat termasuk dalam pembangunan.32

Dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2000 dikemukakan bahwa: seluruh departemen, lembaga pemerintahan, departemen propinsi, kabupaten/kota harus melakukan PUG dalam perencanaan program serta pelaksanaannya adalah meningkatkan kualitas hidup perempuan Indonesia. Beberapa upaya tersebut diantaranya: pertama, pendidikan; pendidikan merupakan proses yang sangat penting bagi pertumbuhan nalar manusia khususnya perempuan. Melalui pendidikan kemampuan daya pikir serta pola tingkah laku perempuan diasah dan dikembangkan, serta pendidikan merupakan modal dasar perempuan untuk bersaing dengan laki-laki terutama dalam kancah politik. Kedua, kesehatan; kesehatan merupakan unsur yang sangat urgen dalam kehidupan manusia. Kesehatan jiwa dan raga merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi oleh manusia karena sangat menentukan keberadaan hidup manusia itu sendiri. Pemberdayaan kesehatan kepada perempuan merupakan hal penting untuk mendorong kemajuan perempuan dalam segala hal. Kesehatan perempuan yang terjamin sangat menentukan bangsa dan negara yang sehat, selain sebagai motivator penggerak dalam hal pembangunan dan politik maupun sebagai jaminan untuk melahirkan tunas-tunas baru bangsa.33 Oleh karena itu, agar kedua hal tersebut dapat terwujud secara praktis, sangat diharapkan komitmen serta kinerja dari pemerintah melalui pencanangan kebijakan-kebijakan secara riil sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat perempuan untuk bangun dan bangkit bersama-sama dalam merancang pembangunan hidup bangsa dan negara yang lebih maju.

III. PENUTUP

Perjuangan perempuan dalam dunia perpolitikan Indonesia ternyata telah berlangsung jauh sebelum kemerdekaan Negara Republik Indonesia dikumandangkan. Perempuan turut berandil besar terhadap kemajuan bangsa dengan segala kemampuan yang mereka miliki. Pada diri perempuan sebetulnya sudah tertanam jiwa nasionalisme yang tinggi yang kian mendorong

32 Pengarus Utamaan Gender (PUG) di Indonesia (online),

(http://njgroupgender.blogspot.com/2013/12/makalah-pengarusutamaan-gender-pug-di_7803.html, diakses pada tanggal 20 Oktober 2014).

(13)

mereka untuk tampil di depan publik dan aktif dalam mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini ke arah yang makmur dan sejahtera. Perempuan telah banyak berkontribusi dan bekerja untuk bangsa dan negara ini.

Namun, dengan melihat realitas yang ada pada saat ini, kiprah perempuan dalam dunia perpolitikan Indonesia berangsur-angsur mencolok ke bawah bahkan berbanding jauh dari politisi laki-laki. Terlebih khusus dalam ruang parlemen Indonesia saat ini jumlah perempuan masih jauh dari jumlah laki-laki. Mayoritas laki-laki kian menghiasi kursi parlemen Indonesia sedangkan perempuan masih jauh dari harapan. Terhambatnya langkah politik perempuan pada umumnya dipengaruhi oleh beragam faktor, baik faktor internal yang berasal dari dalam diri perempuan itu sendiri maupun faktor eksternal yang timbul dari persepsi masyarakat dan juga terpasung oleh ideologi-ideologi yang berkembang dalam masyarakat yang bersikeras memojokkan kaum perempuan, sehingga kedudukan perempuan selalu dinomorduakan dalam masyarakat. Lebih jauh daripada itu, partai politik yang merupakan alat transportasi politik kurang menjalankan fungsinya secara sempurna bahkan dalam mengakomodir kader-kader politiknya tak jarang bias akan gender.

Oleh karena itu, beberapa upaya yang disodorkan untuk mengatasi masalah tersebut yakni: pertama; pengubahan sistem Pemilu di Indonesia yang lebih mendukung keseimbangan perwakilan. Kedua; melalui partai politik dalam merekrut dan memberikan pendidikan politik yang baik terhadap kaum perempuan sangat diharapkan. Ketiga; penetapan Kuota keterwakilan dengan menetapkan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Undang-Undang Partai Politik No. 21/2003. Keempat; meningkatkan kualitas perempuan Indonesia melalui pendidikan dan kesehatan yang terjamin. Apabila langkah-langkah ini terwujud, maka dunia perpolitikan Indonesia tidak lagi bias akan gender yang lebih memihak pada kaum laki-laki tetapi politik yang mengakomodasi hak setiap warga negara termasuk perempuan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN BUKU:

(14)

Lilijawa, Isidorus. Perempuan, Media dan Politik. Maumere: Penerbit Ledalero, 2010.

Lovenduski, Joni. Politik Berparas Perempuan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008.

Robert Mirsel, “Good Governance dan Pemilu 2009: Kerinduan di Tengah Kegelisahan”. Jurnal Ledalero. 7: 143-144, 2008.

Putra, Fadilah. Partai Politik dan Kebijakan Politik. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Belajar, 2004.

Sadli, Saparinah. Berbeda tetapi Setara. Pemikiran tentang Kajian Perempuan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.

(t.p.). MDGs (Millenium Development Goals) Sebentar Lagi. Sanggupkah Kita Menghapus Kemiskinan di Dunia?. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.

(t.p.). Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001.

Udu, Joan Domaiko. Melampui Kegelisahan. Klaten: Penerbit Dito Color, 2012.

INTERNET:

http:www//idea.int/publication/swippi/upload/memperkuat-partisipasi-perempuan-dalam-politik-diindonesia.pdf., diakses pada tanggal 11 September 2014.

http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=176:kontribusi perempuan-di-pemerintah-minim&catid=38:artikel-perempuan&Itemid=114, diakses pada tanggal 11 September 2014.

http://dds.bps.go.id/eng/abotus.php?=o, diakses 15 September 2014.

http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/07/pengertian-dan-fungsi-partai.html#xzz2uQnEiMbp, diakses pada tanggal 15 September 2014.

http://njgroupgender.blogspot.com/2013/12/makalah-pengarusutamaan-gender-pug-di_7803.html, diakses pada tanggal 20 Oktober 2014.

http://id.wikipedia.org/wiki/Soekarno, diakses 20 Oktober 2014.

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Apabila Pimpinan Perusahaan tidak bisa/berhalangan hadir dapat di wakilkan oleh Pengurus yang namanya tercantum dalam Akte Perusahaan dengan membawa surat Kuasa/ Tugas bermaterai

[r]

Dengan ini diberitahukan bahwa setelah diadakan penelitian oleh Kelompok Kerja Konstruksi IV (empat) ULP Kabupaten Lampung Tengah menurut ketentuan – ketentuan yang berlaku,

Kontrak Pekerjaan Yang Sedang Dilaksanakan (jika ada) Demikian disampaikan atas perhatiannya diucapkan terima

Seluruh asli dokumen penawaran Saudara yang telah diunggah melalui LPSE

Apabila dalam waktu tersebut perusahaan Saudara tidak hadir dalam pembuktian kualifikasi dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka perusahaan

Make sure that the products or services that you will be offering are desired, do not just decide to open up a store with out doing any market research is like playing craps,

If poker is your game it is a little different, most games depend on luck and all you really need to know if the basics, but poker is totally different because you are playing