• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kuli gendong Pasar Legi (Studi Kasus Sektor Informal Kuli Gendong di Pasar Legi Surakarta Jawa Tengah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kuli gendong Pasar Legi (Studi Kasus Sektor Informal Kuli Gendong di Pasar Legi Surakarta Jawa Tengah)"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

KULI GENDONG PASAR LEGI

(Studi Kasus Sektor Informal Kuli Gendong di Pasar Legi Kota Surakarta Jawa Tengah)

Oleh:

WAHYU SARWONO PUTRO

NIM K840705

SKRIPSI

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Surakarta, 20 Juli 2011

Pembimbing I

Drs. Basuki Haryono, M.Pd. NIP. 195002251975011002

Pembimbing II

Drs. A.Y. Djoko Darmono, M.Pd. NIP. 195308261980031005

(3)

commit to user

iii

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan.

Hari :

Tanggal :

Tim Penguji Skripsi

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Drs. T. Widodo, M.Pd. ………

Sekretaris : Dra. Siti Rochani, M.Pd. ………...

Anggota I : Drs. Basuki Haryono, M.Pd. ………

Anggota II : Drs. A.Y. Djoko Darmono, M.Pd. ………

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret

Dekan

Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd.

(4)

commit to user

iv ABSTRAK

WAHYU SARWONO PUTRO. K8407050, KULI GENDONG PASAR LEGI (Studi Kasus Sektor Informal Kuli Gendong Pasar Legi Kota Surakarta) Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juli 2011.

Penelitian ini bertujuan: 1) untuk mengetahui alasan orang-orang menjadi kuli gendong di pasar Legi dipilih sebagai salah satu matapencaharian bagi masyarakat, 2) untuk mengetahui eksistensi kuli gendong sebagai orang tua, anggota SPTI, dan anggota masyarakat, 3) untuk mengetahui pemanfaatan penghasilan yang diperoleh dari hasil kerja kuli gendong pasar Legi.

Penelitian ini menggunakan menggunakan metode kualitatif eksplanatif dengan strategi studi kasus tunggal. Sumber data dalam penelitian ini dari; 1) informan, yaitu pengurus SPTI dan anggota (kuli gendong), 2) tempat dan peristiwa di pasar Legi Kota Surakarta. Teknik cuplikan dengan menggunakan

purposive dengan teknik snowball. Sedangkan dalam mengumpulkan data

menggunakan teknik pengumpulan data observasi berperan pasif dan wawancara mendalam (indepth interviewing). Triangulasi data dan triangulasi metode digunakan dalam teknik validitas data. Untuk teknik analisis data menggunakan teknik interaktif yang meliputi empat komponen yaitu pengumpulan data (collecting data), reduksi data (reduction), sajian data (display), dan penarikan kesimpulan/verifikasi data.

(5)

commit to user

v ABSTRACT

WAHYU SARWONO PUTRO. K8407050. CARRYING PORTERS OF LEGI MARKET (Case Study Of Porters Carrying as Informal Sector In Legi Market of Surakarta City) Thesis, Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education, Sebelas Maret University, July 2011.

This study aims: (1) to learn why people become carrying porters in the market Legi selected as one of the livelihood for the people, (2) to determine the existence of carrying porters as a parent, a member of SPTI, and community members, (3) to knows the use of income derived from the work of carrying porters in Legi market.

This study uses qualitative methods explanative with a single case study strategy. Sources of data in this study are: (1) informants; chairman and members of SPTI, (2) places and events in the market Legi Surakarta city. Sample thecnique by using purposive and by snowball. While collecting data using observation data collection techniques play a passive role and in-depth interviews. Triangulation of data and triangulation methods used in data validation techniques. For data analysis techniques using interactive techniques that include four components, namely data collection, data reduction, data presentation (display), and drawing conclusions / verification data.

(6)

commit to user

vi MOTTO

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Q.S. Al-Am Nasyrah: 9)

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka mengubah nasib yang ada pada diri mereka sendiri.

(Q.S. Ar Ra’adu: 11)

(7)

commit to user

vii

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini sebagai wujud syukur, cinta, bakti, dan terima kasihku teruntuk:

1. Allah SWT atas segala nikmat dan anugerah yang diberikan pada hamba.

2. Bapakku Sukimin dan Ibuku Sarjinem tercinta, yang selalu memberi doa dan kasih sayang untukku menikmati hidup.

3. Bapak-ibu dosen Prodi Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP UNS atas bimbingan dan ilmu yang diberikan kepada peneliti selama di bangku kuliah..

(8)

commit to user

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

ABSTRAK ……….. iv

ABSTRACT ……..……….. v

MOTTO ……….. vi

PERSEMBAHAN ………... vii

DAFTAR ISI ……….. viii

KATA PENGANTAR ……… xi

DAFTAR TABEL ……….. xiii

DAFTAR GAMBAR ……….. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xv

I. PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Perumusan Masalah ……….. 7

C. Tujuan Penelitian ………... 7

D. Manfaat Penelitian………….………. 8

II. LANDASAN TEORI ………. 9

A. Tinjauan Pustaka ……… 9

1. Konsep Kebudayaan ………. 9

a) Pengertian Kebudayaan ……….. 9

b) Wujud Kebudayaan ……… 11

c) Unsur-unsur Kebudayaan ……….. 13

2. Konsep Mata Pencaharian ……… 15

a) Pengertian Mata Pencaharian ……..……….. 15

(9)

commit to user

ix

3. Konsep Sektor Informal ……… 18

a) Pengertian Sektor Informal …...………. 18

b) Ciri-ciri Sektor Informal ……… 19

c) Bidang-bidang Sektor Informal ………. 22

d) Munculnya Sektor Informal di Kota ……….. 24

4. Kuli Gendong di Pasar Legi sebagai Sektor Informal ………. 26

a. Pengertian Kuli Gendong ……….. 27

b. Kuli Gendong Merupakan Kegiatan Sektor Informal ………. 27

c. Migrasi ke Kota Menjadi Kuli Gendong …………... 29

B. Hasil Penelitian yang Relevan ……… 33

C. Kerangka Berpikir ………... 35

III. METODE PENELITIAN ………. 38

A. Tempat dan Waktu Penelitian ……… 38

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ……….... 39

C. Sumber Data ……….. 41

D. Teknik Cuplikan ...……… 43

E. Teknik Pengumpulan Data ………... 44

F. Validitas Data ………... 46

G. Analisis Data ………... 47

H. Prosedur Penelitian ………. 49

IV. HASIL PENELITIAN ………. 50

A. Deskripsi Lokasi Penelitian ………... 50

1. Gambaran Umum Pasar Legi ………. 50

2. Gambaran Umum Kuli Gendong di Pasar Legi ………. 53

(10)

commit to user

x

B. Deskripsi Hasil Penelitian ……….. 57

1. Latar Belakang Orang-orang Menjadi Kuli Gendong …. 59 2. Eksistensi Kuli Gendong sebagai Orang Tua, Anggota asyarakat, dan Anggota SPTI ……….. 64

3. Pemanfaatan Penghasilan yang Diperoleh dari Hasil Kerja Kuli Gendong Pasar Legi ……….. 68

C. Temuan Hasil Studi yang Dihubungkan dengan Teori ………. 71

V. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ………. 85

A. Simpulan ……….. 85

B. Implikasi ……….. 90

C. Saran ………. 91

DAFTAR PUSTAKA ……….. 92

(11)

commit to user

xi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini guna memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan di lingkungan Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti menghadapi banyak hambatan.

Namun berkat bantuan dari berbagai pihak, maka hambatan-hambatan tersebut dapat peneliti atasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuan, peneliti menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta,

2. Drs. Saiful Bachri, M.Pd, Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sebelas Maret Surakarta,

3. Drs. M. H. Sukarno, M.Pd, Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Drs. Basuki Haryono, M.Pd, Pembimbing I yang telah memberikan semangat, bimbingan, dorongan, pengarahan, dan saran-saran dalam penyusunan skripsi ini.

5. Drs. A.Y. Djoko Darmono, M.Pd., Pembimbing II yang telah memberikan semangat, bimbingan, dorongan, pengarahan dan saran-saran dalam penulisan skripsi ini.

6. Dra. Siti Chotidjah, M.Pd., pembimbing akademik yang telah memberikan dorongan dalam menyelesaikan kewajiban akademis.

7. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Soiologi Antropologi

FKIP UNS yang selama ini telah membimbing dan memberikan ilmu dan pengethuan kepada peneliti selama di bangku kuliah.

(12)

commit to user

xii

9. Ayah dan Ibun tercinta, terima kasih atas bimbingan, do’a dan dukungannya selama ini.

10.Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Terima kasih tak terhingga peneliti ucapkan, atas segala kebaikan, dukungan, dan doa pada peneliti, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan.

Peneliti berharap semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta bagi

yang berkepentingan. Disamping itu peneliti juga mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan penelitian ini.

Surakarta, Juli 2011

(13)

commit to user

xiii

DAFTAR TABEL

(14)

commit to user

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal dan daerah

tujuan serta rintangam ………. 30

Gambar 2. Skema Kerangka Berfikir ……… 35

Gambar 3. Model Analisis Interaktif ………. 48

Gambar 4. Keadaan pasar Legi Nampak depan samping ……….. 51

Gambar 5. Kuli gendong sedang bekerja ………. Gambar 6. Kartu Tanda Anggota (KTA) SPTI ………. 54

Gambar 7. Kantor SPTI unit pasar Legi ………. 55

(15)

commit to user

xv

DAFTAR LAMPIRAN

1. Field note ……… 95

2. Interview Guide ……….. 120

3. Denah Gedung Pasar Legi ……….. 123

4. Peta Lokasi Pasar Legi ……… 124

5. Foto kegiatan penelitian ……….. 125

6. Surat ijin menyusun skripsi kepada PD I ………. 126

7. Surat ijin menyusun skripsi kepada Rektor UNS ………. 127

8. SK Dekan FKIP tentang Ijin Penyusunan Skripsi ……… 128

9. Surat Permohonan Ijin Penelitian ke Dinas Pasar Kota Surakarta …... 129

10.Surat Permohonan Ijin Penelitian ke Kepala Pasal Legi ……….. 130

11. Surat Permohonan Ijin Penelitian ke Ketua SPTI Pasar Legi ………... 131

12.Daftar kelompok kerja kuli gendong pasar Legi ……….... 132

(16)

commit to user

KULI GENDONG PASAR LEGI

(Studi Kasus Sektor Informal Kuli Gendong di Pasar Legi Surakarta

Jawa Tengah)

SKRIPSI

Oleh:

WAHYU SARWONO PUTRO

NIM K8407050

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(17)

commit to user

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap negara memiliki karakteristik tertentu untuk mendefinisikan tingkat ekonomi mereka. Perekonomian pada mayoritas negara berkembang bahkan dibeberapa negara maju dicirikan dari tingginya pertumbuhan penduduk

dan banyaknya penduduk yang bekerja di sektor informal, melimpahnya sumber daya alam dan kurangnya modal, industri skala kecil, penggunaan teknologi sederhana, dan lain sebagainya. Sementara itu negara maju diidentikkan dengan kurangnya sumber daya alam, banyaknya ketersediaan modal, industri skala besar, penggunaan teknologi tinggi dalam kegiatannya.

Negara berkembang termasuk Indonesia memiliki banyak karakteristik yang menunjukkan tingkat perekonomiannya. Kehidupan sosial ekonomi dibeberapa daerah di Indonesia pada dewasa ini telah mengalami perubahan. Salah satunya ditandai dengan semakin beragam serta banyaknya aktivitas ekonomi baik di sektor formal maupun sektor informal. Salah satu jenis pekerjaan yang banyak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia adalah sektor informal. Banyaknya keberadaan sektor informal ini didorong oleh tingkat urbanisasi yang cukup tinggi di perkotaan sehingga membuat sektor informal menjadi salah satu pilihan pekerjaan.

Baik sektor formal dan informal sama-sama mendukung pertumbuhan perekonomian dalam suatu daerah bahkan dalam suatu negara. Kedua sektor tersebut memiliki peran masing-masing dalam kegiatan ekonomi sehari-hari. Sektor formal dikuasai oleh kapital dimana usahanya teratur, berbadan hukum

(ijin usaha), dan ter-audit. Sementara sektor informal lebih bersifat fleksibel, bebas, tanpa ikatan yang tegas, serta lebih merambah sebagian besar kalangan masyarakat, baik marginal maupun urban.

(18)

commit to user

pokoknya didasarkan atas perbedaan pendapatan dari gaji dan pendapatan dari usaha sendiri”. Sektor informal yang muncul tidak berdasarkan struktur permintaan yang efektif dan produktif, akan tetapi muncul karena tidak seimbangnya struktur kapitalisme pada saat ini. Dengan demikian pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang diarahkan pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi individu - individu tingkat bawah seperti pedagang kecil, industri mikro dan sebagainya dilakukan dalam upaya untuk menegakkan sistem ekonomi yang berlandaskan kerakyatan, kemartabatan dan kemandirian.

Sistem perekonomian yang diharapkan dapat membawa perkembangan kehidupan yang lebih baik dalam pemenuhan kebutuhan para masyarakat. Sistem perekonomian yang diharapkan berpihak pada rakyat justru terkadang tidak berpihak pada rakyat kecil. Dalam hal ini adalah masyarakat lapisan bawah terutama para pedagang, petani, dan kuli. Harga-harga kebutuhan pokok yang semakin lama semakin tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat terutama rakyat kecil. Mulai dari harga sembako yang melonjak, BBM, listrik, biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan lain sebagainya. Belum lagi biaya air PDAM pun tak luput dari kenaikan tarif bagi masyarakat perkotaan.

Sama halnya yang terjadi di kota Surakarta (juga disebut kota Solo atau Sala) adalah nama salah satu kota di provinsi Jawa Tengah Indonesia. Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo. Kota Surakarta memiliki semboyan BERSERI yang merupakan akronim dari Bersih, Sehat, Rapi dan Indah. Selain itu Solo juga memiliki slogan pariwisata “Solo the Spirit of Java” yang diharapkan bisa membangun pandangan kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa. Keramahan dan kesopan santunan warganya menjadi pelengkap citra bahwa Surakarta merupakan kota yang berbudaya tinggi.

(19)

commit to user

Gedhe yang merupakan pusat alat dan bahan kebutuhan sehari-hari, dan pasar Legi yang merupakan pusat penjualan dan pembelian hasil bumi.

Sebelum berbicara mengenai pasar yang ada di Kota Surakarta lebih lanjut, kita berbicara terlebih dahulu apa itu pasar. Menurut Everes dan Korff terjemahan Zulfahmi (2002: 217) “pasar merupakan memperjual-belikan barang-barang dan tempat produksi serta memproduksi makna dan sekaligus menjadi simbol kehidupan urban”. Dalam pengertian ini, pasar selain memilki peran utama sebagai sarana jual beli atau tempat memperjual-belikan barang-barang

sebagai pemenuh kebutuhan masyarakat sehari-hari, baik kebutuhan pangan, sandang, peralatan, perlengkapan rumah tangga, dan lain sebagainya.

Pasar juga merupakan penciptaan makna dan simbol kehidupan urban, maksudnya bahwa pasar dengan adanya pasar dapat menandakan dan mempresentasikan kehidupan urban yang lekat dengan aktifitas ekonomi yang kompleks, dan pola konsumsi masyarakat perkotaan. Sebagaimana pusat konsumsi kolektif memproduksi barang atau jasa tidak secara individual, melainkan secara kolektif sehingga apabila sebuah kota sudah tergolong ke dalam kota yang kapitalistik, maka akan sering terjadi konflik - konflik akibat perebutan konsumsi kolektif. Konsumsi kolektif terjadi di lapisan bawah masyarakat perkotaan, mereka melakukan konsumsi kolektifnya dalam sektor informal, konsumsi mereka ditandai dengan adanya penggunaan barang-barang bekas untuk perumahan, serta pembuatan dan pemasaran bahan-bahan makanan dan barang-barang lain untuk konsusmsi langsung. Kondisi demikian merupakan tipe ekonomi bazar yang identik dengan tipikal ekonomi informal.

Berbeda di masyarakat rural, sebagian besar mencukupi kebutuhannya dengan produksi sendiri dan subsisten. Namun tidak sedikit pula di daerah tersebut sudah berdiri pasar-pasar meskipun tidak permanen. Pasar merupakan

(20)

commit to user

maupun kebutuhan, sesama pedagang, sampai perangkat pemerintah setempat. Hal yang demikian merupakan salah satu sektor informal di masyarakat.

Damsar (2002: 83), “pasar merupakan salah satu lembaga yang paling penting dalam institusi ekonomi. Di dalam pasar banyak terdapat fenomena ekonomi. Fenomena itu tercermin dengan adanya aktivitas yang dilakukan oleh para pedagang dan pembeli serta para tenaga kerja di dalamnya”. Pasar selain merupakan salah satu lembaga yang penting dalam institusi ekonomi, juga menyatakan bahwa pasar juga terdapat banyak fenomena ekonomi. Banyak terjadi

kegiatan ekonomi yang merupakan fenomena ekonomi yang dapat ditemukan di pasar, pembelian, penjualan, tawar-menawar harga, serta karyawan yang bekerja dalam pasar, kuli gendong yang bekerja menawarkan jasa angkut barang dagangan, atau bahkan tukang becak menawarkan jasa dan bersiap di depan pintu pasar.

Di dalam kehidupan pasar terjadi proses pendistribusian barang-barang dari orang satu ke orang lainnya, baik dari penjual ke pembeli, atau sebaliknya. Bila membicarakan proses pendistribusian dan pengangkutan barang-barang di pasar tradisonal, maka tidak terlepas dari penyedia jasa angkut. Penyedia jasa yang terdapat di pasar Legi yaitu dengan bantuan kuli gendong. Disebut kuli gendong karena mengangkut barang bawaan dengan menggendong, ada pula yang memanggul barang - barang dagangan pedagang atau pembelian oleh pengunjung, seperti; sembako, buah-buahan, sayur-mayur, bumbu masak, rempah - rempah, dan sebagainya. Hal ini terjadi setiap hari di pasar Legi. Pasar Legi merupakan sebuah pasar yang merupakan pusat perdagangan hasil bumi. Pasar Legi berada di jalan S. Parman No. 23 Kelurahan Stabelaan Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. Pasar Legi dibatasi oleh stasiun kereta api Solo Balapan di sebelah utara, samping barat kantor penyiaran Radio Republik Indonesia (RRI)

Surakarta, sebelah selatan keraton Mangkunegaran, dan sebelah timur kompleks pertokoan Widuran dan monument Juang 45 atau monument Banjarsari.

(21)

commit to user

harapan memperbaiki tingkat kehidupan,daripada di rumah atau di daerah asal sebagai pengangguran atau buruh tani yang menggarap lahan milik orang lain. Namun tidak sedikit dari mereka yang harus rela menerima konsekuensinya, mereka rela meninggalkan anak, istri, ataupun suami di rumah yang jauh demi bekerja sebagai kuli gendong. Selain hal tersebut ada persyaratan pula untuk menjadi kuli panggul di pasar Legi, yaitu dengan menjadi anggota organisasi atau paguyuban yang khusus sebagai mengorganisasi para kuli gendong yaitu dalam Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI).

Pekerjaan sebagai kuli gendong merupakan kegiatan sektor informal, yang terkoordinasi, karena dengan adanya organisasi Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI) yang mengkoordinasi kuli-kuli gendong tersebut. Koordinasi yang dimaksud meliputi pembagaian wilayah maupun lokasi kerja di pasar, penyediaan Kartu Tanda Anggota (KTA) kuli gendong pasar Legi, penyediaan kaos atribut bagi kuli gendong yang tertera nama dan bagian wilayah kerja masing-masing, dan melakukan penarikan iuran kepada tiap kuli gendong perbulan. Namun bagi kuli gendong laki-laki masih ditambah lagi biaya untuk membeli keanggotaan bagi kuli gendong yang ingin berhenti hingga puluhan juta rupiah.

Hidup di pasar yang jauh dari keluarga yang dicintai, dan mau tak mau tidur di kontrakan atau los pasar yang ada, ataupun dilaju bagi yang bertempat tinggal tidak begitu jauh merupakan pilihan yang dijalani oleh para kuli panggul. Hal ini merupakan dampak lain dari bekerja sebagai kuli gendong. Apalagi dihadapkan dengan perekonomian sekarang ini, seseorang dituntut lebih keras dalam mencari penghasilan. Bila kita melihat tentang peluang kerja di sektor formal, permintaan tenaga kerja yang diminati dalam sektor formal adalah tenaga kerja berpendidikan, memililki keterampilan, dan berpengalaman, selain itu juga

batasan umur bagi pelamar pekerjaan, ini merupakan hal-hal yang disyaratkan oleh instansi atau perusahaan yang membuka lapangan pekerjaan.

(22)

commit to user

pendidikan, tidak perlu tingkat pendidikan yang tinggi untuk bekerja sebagai kuli gendong, karena yang diperlukan adalah badan sehat dan kuatan untuk menggendong beban berat dari satu tempat ke tempat lain, dan kesabaran untuk menanti dan menawarkan jasa gendong terhadap penjual atau pembeli di pasar Legi. Berbicara mengenai penghasilan, sebagai kuli gendong memiliki penghasilan yang sah.

Menurut Keith Hart dalam Manning dan Effendi (1996: 79) “kesempatan memperoleh penghasilan yang sah terdiri atas;

a. Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder; pertanian, perkebunan yang berorientasi pasar, kontraktor bangunan, dan lain-lain.

b. Usaha tersier dengan modal yang relatif besar; perumahan, transportasi, usaha-usaha untuk kepentingan umum, dan lain-lain. c. Distribusi kecil-kecilan; pedagang kaki lima, pedagang pasar,

pedagang kelontong, pedagang asongan, dan lain-lain. d. Transaksi pribadi; pinjam-meminjam, pengemis.

e. Jasa yang lain; pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, dan lain-lain.

Dari pendapat Hart di atas dapat diketahui bahwa penghasilan dari kuli gendong termasuk ke dalam penghasilan jasa, dimana kuli gendong menjual jasa gendong mereka kepada orang lain di pasar.

Ketidakberdayaan kuli gendong dalam hal pendidikan ini dilatarbelakangi oleh rendahnya pendidikan yang “dikenyam” oleh orang-orang yang bekerja sebagai kuli gendong. Masa kecil yang tidak dapat bersekolah atau putus sekolah merupakan hal biasa, hal ini yang menyebabkan mereka tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh berbagai aset yang lebih baik semisal pekerjaan, penghasilan, fasilitas, pelayanan masyarakat, dan sebagainya. Dengan menjadi kuli gendonglah mereka dapat menyambung hidup baik bagi dirinya maupun menghidupi keluarganya.

Kehidupan yang dijalani sebagai kuli panggul diharapkan tidak terjadi

(23)

commit to user

dengan menyekolahkan anak-anak mereka agar tidak menjadi seperti orang tuanya, dengan harapan memilki kehidupan yang lebih baik..

Meskipun setiap hari mereka harus lebih bekerja lebih keras lagi, dan rela bermukim di kompleks pasar Legi setiap hari, selainitu juga menjalin hubungan baik dengan sesama kuli gendong, kordinator SPTI, petugas pasar, pedagang, dan pembeli di pasar. Hal-hal inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk mengkaji lebih dalam mengenai kuli gendong Pasar Legi dalam sebuah penelitian yang berjudul “Kuli Gendong Pasar Legi (Studi Kasus Kuli Gendong Sektor

Informal di Pasar Legi Kota Surakarta)”

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1.

Mengapa menjadi kuli gendong di pasar Legi dipilih sebagai salah satu mata pencaharian bagi masyarakat?

2.

Bagaimana eksistensi kuli gendong sebagai orang tua, anggota SPTI, dan anggota masyarakat?

3. Bagaimana pemanfaatan penghasilan yang diperoleh dari hasil kerja kuli gendong pasar Legi?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang diharapkan peneliti dalam penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui alasan orang-orang menjadi kuli gendong di pasar Legi dipilih sebagai salah satu matapencaharian bagi masyarakat.

2.

Untuk mengetahui eksistensi kuli gendong sebagai orang tua, anggota SPTI, dan anggota masyarakat?.

(24)

commit to user

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pada pembelajaran mata pelajaran Sosiologi kelas XI Semester 1 dalam Standar Kompetensi 1. Memahami struktur sosial serta berbagai faktor penyebab konflik dan mobilitas sosial, tepatnya dalam Kompetensi Dasar 1.3 Menganalisis struktur sosial dengan mobilitas sosial.

b. Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pada pembelajaran mata

pelajaran Antropologi kelas XI Semester 1 dalam Standar Kompetensi 2. Menganalisis unsur-unsur proses dinamika dan pewarisan budaya dalam rangka integrasi nasional, tepatnya dalam Kompetensi Dasar 2.1 Mendeskripsikan unsur-unsur budaya, dan 2.2 Mendeskripsikan hubungan antara unsur-unsur kebudayaan.

c. Penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan dan menambah wawasan, pengalaman, referensi, dan pengetahuan bagi pengembangan ilmu-ilmu sosial khususnya dalam kaitannya Sosiologi Ekonomi.

d. Mampu mendorong adanya penelitian sejenis serta bisa digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pengabdian masyarakat.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian diharapkan dapat memberikan acuan kepada Pemerintah Kota Surakarta dalam pengelolaan pasar dan kuli gendong di pasar Legi Surakarta.

(25)

commit to user

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

Penelitian yang akan dilaksanakan bertujuan untuk menerangkan fenomena sosial yang dijadikan pusat penelitian, untuk menerangkan fenomena tersebut perlu mengkaji pustaka. Dari pustaka terdapat konsep dan teori yang

dapat digunakan sebagai pedoman bagi peneliti untuk mengungkapkan permasalahan dan mencoba menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian. Adapun fungsi utama dalam pemilihan teori yang tepat adalah memberi landasan dan acuan agar peneliti tidak menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sehingga peneliti mendapat penjelasan tentang fenomena yang diangkat, dapat melakukan analisis data dan prediksi kesimpulan. Adapun konsep dan teori yang relevan dengan penelitian yang dilaksanakan adalah sebagai berikut;

1. Konsep Kebudayaan

Manusia merupakan makhluk yang diciptakan memiliki cipta, rasa, dan karsa sehingga menjadi makhluk yang sempurna ciptaan Allah SWT. Dengan hal tersebut menjadikan manusia lebih dibandingkan makhluk yang lain. Dengan kelebihan inilah manusia merupakan makhluk yang beradab.

Berbicara mengenai manusia, tidak terlepas pula kita berbicara mengenai kebudayaan. Di kehidupan sehari-hari, orang sering membicarakan tentang kebudayaan. Di dalam kehidupan sehari-hari orang tidak akan mungkin tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap orang yang melihat, mempergunakan, dan bahkan kadang-kadang merusak kebudayaan. Namun

apakah yang dimaksud dengan kebudayaan itu sendiri, berikut penjelasannya; a. Pengertian Kebudayaan

(26)

commit to user

terinci yang mencakup segala sesuatu yang seharusnya termasuk dalam pengertian tersebut. dalam pengertian sehari-hari, istilah kebudayaan sering diartikan sama dengan kesenian, terutama seni suara dan seni tari. Akan tetapi apabila istilah kebudayaan diartikan menurut ilmu-ilmu sosial, maka kesenian merupakan salah satu bagian saja dari kebudayaan.

Dua antropolog terkemuka yaitu Merville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski dalam Soekanto (2002: 171), mengemukakan bahwa

Cultural Determination berarti segala sesuatu terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu. Kemudian Herskovits mengungkapkan bahwa kebudayaan merupakan super-organic, karena kebudayaan yang turun temurun dari generasi ke generasi

tetap hidup terus. Walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat silih berganti disebabkan kelahiran dan kematian.

Menurut Soerjono Soekanto (2002: 172), kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa Sansekerta) “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Adapun istilah “culture” yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata Latin “colere”. Artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Dari asal arti tersebut yaitu “colere” kemudian “culture”, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.

Seorang antropolog lain, yaitu E.B.Tylor (1871) dalam Soekanto (2002: 172) pernah mencoba memberikan definisi mengenai kebudayaan sebagai berikut (terjemahannya); “Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat,

dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.”

(27)

commit to user

yang normatif. Artinya, mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, akan sangat tertarik oleh obyek-obyek kebudayaan seperti rumah, sandang, jalan, alat komunikasi dan sebagainya. Seorang sosiolog mau tidak mau harus menaruh perhatian juga pada hal tersebut. akan tetapi dia juga akan memperhatikan perilaku sosial, yaitu pola-pola perilaku yang membentuk struktur sosial masyarakat. Jelas bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh peralatan yang dihasilkannya serta ilmu pengetahuan yang dimilki atau didapatkannya.

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Soekanto (2002: 173) merumuskan bahwa kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.

Dari beberapa pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa kebudayaan merupakan apa yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi berupa semua hasil karya, rasa, cipta masyarakat yaitu yang kompleks, mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

b. Wujud Kebudayaan

Kebudayaan bukan hanya sesuatu yang kasat mata, yang berupa bahasa, adat-istiadat, alat-alat, maupun bangunan yang menjadi bukti suatu peradaban, namun juga bewujud ide, gagasan. Hal ini sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1987: 2) yang menyatakan bahwa kebudayaan itu

mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu;

1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peratruran, dan sebagainya, 2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan

berpola dari manusia dalam masyarakat,

(28)

commit to user

Dari pendapat di atas dapat dijelaskan betuk-bentuk atau wujud kebudayaan; 1) kebudayaan yang berwujud ide. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto, berada di dalam kepala-kepala, atau dengan kata lain dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Jika warga masyarakat tadi menyatakan gagasan mereka itu dalam tulisan, maka kebudayaan ide sering berada dalam karangan, buku-buku hasil karya para penulis warga yang bersangkutan. Sekarang ini kebudayaan ide

juga dapat tersimpan dalam tape recorder, arsip, kartu memori (memory card), recorder digital, dan lain sebagianya.

Kebudayaan ide ini dapat kita sebut adat, tata kelakuan, atau secara singkat dalam arti khusus atau adat-istiadat dalam bentuk jamaknya. Sebutan tata kelakuan tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan ide itu biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendali dan memberi arah kepada tingkah laku dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsi itu, secara lebih khusus lagi adat terdiri dari beberapa lapisan, yaitu dari yang paling abstrak dan luas, sampai yang paling konkret dan terbatas. Lapisan yang paling abstrak misalnya sistem nilai budaya. Lapisan yang kedua, yaitu sistem norma-norma adalah lebih konkret lagi. Sedangkan peraturan-peraturan khusus mengenai berbagai aktifitas aktifitas sehari-hari dalam kehidupan masyarakat (misal; sopan-santun), merupakan lapisan adat-istiadat yang paling konkret tetapi terbatas ruang lingkupnya. 2) kebudayaan berwujud sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. sistem sosial ini berisi tentang aktifitas-aktifitas individu-individu yang berinteraksi (berhubungan antara satu dengan yang lain dalam kurun waktu tertentu yang mengikuti pola-pola tertentu menurut adat tata kelakuan).

(29)

commit to user

dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Berbentuk benda yang amat besar seperti pabrik, stasiun; ada benda-benda yang amat kompleks seperti suatu computer berkapasitas tinggi: atau benda-benda besar dan bergerak seperti bus, pesawat: ada benda yang besar dan indah seperti masjid, candi; atau pula benda-benda kecil seperti kain batik; atau yang lebih kecil lagi kancing baju batik.

Ketiga wujud kebudayaan tersebut dalam kehidupan sehari-hari tentu tidak terpisah antara satu sama lain. Kebudayaan ide dan adat-istiadat

memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya kebudayaan fisik itu membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pola-pola perbuatannya, bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya.

Dalam hal ini kegiatan sebagai kuli gendong termasuk ke dalam wujud kebudayaan yang kedua, yaitu kebudayaan berwujud sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari individu-individu yang berada di dalam pasar Legi. Dalam hal ini tentang aktifitas-aktifitas individu-individu sebagai kuli gendong yang berinteraksi baik sesama kuli gendong, koordinator SPTI, pedagang, pembeli di pasar, maupun keluarga dan masyarakat tempat asal mereka.

c. Unsur-Unsur Kebudayaan

Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas. Di dalamnya termasuk agama, ideologi,

(30)

commit to user

langsung diamalakan dalam kehidupan masyarakat. Rasa dan cinta dinamakan pula ke budayaan rohaniah (spiritual atau immaterial culture). Semua karya, rasa dan cipta, dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagaian besar atau seluruh masyarakat.

Kebudayaan setiap masyarakat itu sendiri terbentuk oleh beberapa unsur-unsur yang merupakan bagian dari satu kebulatan yang bersifat sebagai satu kesatuan. Beberapa unsur kebudayaan diklasifikasikan ke dalam

unsur-unsur pokok atau besar kebudayaan yang lazim disebut dengan cultural universal, yang merupakan unsur-unsur yang pasti bisa ditemukan di semua

kebudayaan di dunia, baik yang hidup dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang kecil terpencil maupun di dalam masyarakat perkotaan yang besar dan kompleks.

C. Khluchon dalam Soekanto (2002: 176) dalam sebuah karyanya yang berjudul Universal Categories of Culture, dimana berisi inti pendapat para sarjana dalam karyanya menunjuk tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universal, yaitu;

1. peralatan dan perlengkapan hidup manusia,

2. mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi, 3. sistem kemasyarakatan,

4. bahasa (lisan maupun tertulis)

5. kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya) 6. sistem pengetahuan,

7. religi (kepercayaan).

Unsur-unsur universal tersebut masing-masing dapat dipecah lagi ke dalam sub-unsur-unsurnya (unsur-unsur yang lebih kecil). Unsur yang pertama yaitu peralatan dan perlengkapan hidup manusia, hal ini dapat dijabarkan lagi menjadi pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, alat tansportasi dan lain sebagainya. Yang kedua, mata pencaharian

(31)

commit to user

Unsur yang keempat adalah bahasa baik berupa lisan maupun tertulis, setiap masyarakat baik dalam suku, bangsa, maupun negara memiliki sistem bahasa yang dimiliki oleh masing-masing, dan dengan bahasa mereka dapat berkomunikasi antara individu satu dengan yang lain, kelompok masyarakat satu dengan yang lain, disini bahasa berguna sebagai pengantar komunikasi. Selanjutnya unsur yang kelima adalah kesenian, unsur ini menyangkut tentang keindahan, dimana kesenian dapat dijabarkan lagi menjadi unsur seni yang lain, berupa seni rupa, seni suara, seni gerak dan

sebagainya. Selain kesenian, suatu kebudayaan dapat diperkuat dengan unsur sistem pengetahuan, dimana dengan unsur ini dapat digunakan sebagai tolok ukur peradaban suatu masyarakat. Dan unsur yang terakhir adalah religi atau sistem kepercayaan, dalam unsur ini masyarakat dari kebudayaan yang bersangkutan memiliki kepercayaan terhadap kekuatan besar yang menciptakan dan mengatur, baik kepercayaan animisme, dinamisme, maupun agama yang mempercayai adanya tuhan. Demikian tujuh unsur kebudayaan universal memang mencakup kebudayaan manusia secara keseluruhan.

Kemudian jika dilihat dari unsur-unsur kebudayaan di atas, manusia berusaha untuk bertahan hidup dengan mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup, usaha manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidup memiliki kaitan dengan sistem mata pencaharian. Karena manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk dapat melanjutkan kehidupan dengan bekerja sebagai sumber mata pencaharian atau pekerjaan.

2. Konsep Mata Pencaharian a. Pengertian Mata Pencaharian

(32)

commit to user

Berbeda lagi untuk masyarakat pesisir (pantai), keadaan geografis yang menjadikan mereka nelayan untuk melaut dan mencari ikan.

Dua hal tersebut di atas merupakan contoh mata pencaharian, namun secara definisi dalam arti luas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), “mata pencaharian merupakan pekerjaan atau pencaharian utama (yang dikerjakan untuk biaya hidup sehari-hari)”. Dari definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa mata pencaharian merupakan pekerjaan yang utama, sehingga jika seseorang memiliki suatu pekerjaan atau beberepa pekerjaan,

yang bisa disebut mata pencaharian adalah pekerjaan yang utama. Istilah pekerjaan dalam arti sempit, digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang. Dalam pembicaraan sehari-hari istilah ini sering dianggap sinonim dengan profesi. Mata pencaharian merupakan hal yang sangat melekat bagi individu, terutama dalam keluarga mata pencaharian orangtua sangat berperan penting dalam kelanjutan hidup baik anggota-anggota keluarga, maupun orang tua dalam keluarga tersebut.

b. Jenis Mata Pencaharian

Dari berbagai macam mata pencaharian atau pekerjaan mulai dari penyemir sepatu, tukang becak, kuli gendong, sampai pengusaha, anggota legislatif bahkan pejabat negara merupakan bagian dari macam-macam pekerjaan, namun dari banyaknya pekerjaan tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu;

1) Sektor Formal

Sektor formal merupakan salah satu jenis usaha yang resmi, ada ijin atau berbadan hukum, membutuhkan modal besar, memiliki aturan/tata tertib yang jelas, jumlah pekerja berpendidikan dan memilki keahlian, serta

jumlah pekerja tetap dan digaji, memiliki batasan waktu kerja yang jelas, dan menggunakan teknologi dalam usahanya.

(33)

commit to user

oleh dinas setempat, bekerja dengan ikatan dinas, jam dan hari kerja jelas, digaji setiap bulan lengkap lengkap dengan tunjangan dan mendapat dana pensiun jika sudah tidak bekerja, memilki tata tertib/ kode etik yang jelas, dan lain sebagainya, b) karyawan pabrik, untuk menjadi karyawan pabrik seseorang melamar di lowongan pekerjaan, melalui beberapa tes, dan membutuhkan syarat-syarat tertentu baik berupa pendidikan, pengalaman kerja di bidang-bidang tertentu dan keahlian khusus.

2) Sektor Informal

Sedangkan sektor informal merupakan sektor kebalikan dari sektor formal, dimana tidak perlu ijin dalam melaksanakan kegiatan usaha, modal relatif kecil, tidak ada aturan yang jelas, tidak memerlukan pendidikan yang tinggi, tanpa batasan waktu kerja yang jelas , serta tidak menggunakan terknologi ataupun menggunakan teknologi sederhana. Contoh pekerjaan dalam sektor informal: a) pedagang kaki lima, merupakan contoh sektor informal yang kerap mendapat perhatian besar karena keberadaannya terutama di kota-kota besar, tanpa perlu pendidikan tinggi untuk menjadi pedagang kakai lima, melainkan keterampilan yang di dapat dari bekerja pada orang lain, dan diterapkan untuk usaha sendiri, biasanya menempati trotoar jalan, pinggir-pinggir jalan, dengan modal tidak besar dan relatif kecil seseorang dapat menjadi pedagang kaki lima, tidak ada ijin yang kuat mengatur berdirinya pedagang kaki lima, kebanyakan pekerjanya adalah anggota keluarga sendiri dan tidak ada aturan kerja yang jelas, dan tempat bekerja (berjualan) bersifat sementara (non-permanen) hal ini dikarenakan mereka menempati tempat-tempat umum, b) kuli gendong (buruh

(34)

commit to user

3. Konsep Sektor Informal a. Pengertian Sektor Informal

Tadjudin Noer Effendi (1995: 74) memberikan pengertian tentang sektor informal, yaitu sektor yang diartikan sebagai “pekerja yang berusaha sendiri tanpa buruh, berusaha sendiri dengan buruh tak tetap, atau dibantu tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar”. Ini memberikan definisi bahwa sektor informal merupakan suatu jenis usaha mandiri, atau usaha keluarga, tanpa adanya aturan yang tidak tetap.

Dipak Mazmundar dalam Manning dan Effendi (1996: 12) memberikan definisi mengenai sektor informal, “sektor informal sebagai pasaran tenaga kerja yang tak dilindungi salah satu aspek penting perbedaan antara sektor informal dan formal sering dipengaruhi oleh jam kerja yang tidak tetap dalam jangka waktu tertentu.”

Jean Breman dalam Manning dan Effendi (1996: 139), tanpa memberikan batasan ilmiah yang jelas tetapi membedakan sektor informal dan formal yang menunjuk pada suatu sektor ekonomi masing-masing dengan konsistensi dan dinamika strukturnya sendiri.. Sektor formal digunakan dalam pengertian pekerjaan yang permanen, meliputi;

1) sejumlah pekerjaan yang saling berhubungan yang merupakan bagian dari suatu struktur pekerjaan dan terjalin dan amat terorganisir,

2) pekerjaan secara resmi terdaftar dalam statistik perekonomian, 3) syarat-syarat pekerja dilindungi oleh hukum.

(35)

commit to user

informal merupakan unit kerja yang mampu menciptakan lapangan kerja, kesempatan kerja, dan memilki daya serap tinggi bagi angkatan kerja.

Sektor informal lebih difokuskan pada aspek-aspek ekonomi, aspek sosial, dan budaya. Aspek ekonomi misalnya penggunaan modal yang rendah, pendapatan yang rendah dan skala usaha yang relatif kecil. Aspek sosial diantaranya meliputi tingkat pendidikan yang rendah, berasal dari kalangan ekonomi lemah. Sedangkan dari aspek budaya diantaranya kecenderungan untuk beroperasi di luar sistem regulasi, penggunaan teknologi sederhana,

tidak terikat oleh waktu kerja. Dengan cara pandang tersebut terhadap sektor informal tentunya lebih menitikberatkan pada suatu proses yang dinamis dan bersifat kompleks.

b. Ciri-ciri Sektor Informal

Sektor informal memiliki “cara kerja” yang memiliki ciri-ciri tertentu, yang membedakan sektor informal dengan sektor formal, dan memiliki karakteritik tertentu sebagai sektor informal.

Menurut Effendi (1995: 74) ciri-ciri mengenai sektor informal adalah sebagai berikut;

1) kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal,

2) pada umumnya unit usaha tidak mempunyai ijin usaha,

3) pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja,

4) pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini,

5) unit usaha mudah keluar masuk dari subsektor ke lain subsektor, 6) teknologi yang digunakan bersifat tradisional,

7) modal dan putaran usaha relatif kecil,

8) untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja,

9) pada umumnya unit usaha termasuk ke dalam golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakannya, buruh berasal dari keluarga,

(36)

commit to user

11)hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang juga berpenghasilan menengah.

Pendapat Effendi di atas telah dapat mempresentasikan pendapat-pendapat dari tokoh-tokoh lain mengenai ciri-ciri sektor informal. Dari hal-hal tersebut dapat dijelaskan bahwa kegiatan sektor informal merupakan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal,

misalnya pedagang kaki lima tidak ada lembaga yang mengikat dan mengoordinasi secara langsung, melainkan dikoordinasi secara swadaya oleh para pedagang kaki lima itu sendiri dalam sebuah paguyuban atau komunitas. Berbeda dengan sektor informal, misalkan PNS, ada organisasi yang konkret yang mengatur dan mengoordinasi terdapat fasilitas-fasilitas yang dapat dipergunakan, baik kantor, tempat kerja, akomodasi, alat transportasi dan lain sebagainya

Apabila dilihat dari ijin usaha pada umumnya unit usaha dalam sektor informal tidak mempunyai ijin usaha. Jika dalam sektor informal perlu ijin dalam usahanya, contoh membuka pabrik rokok, dokter membuka praktek, dan sebagainya. Untuk usaha dalam sektor informal dilaksanakan dalam lingkup kecil, tidak resmi, dan bersifat bebas siapa saja bisa masuk di dalamnya. Dengan kata lain siapa saja dapat membuka usaha dalam sektor informal. Bahkan ada usaha dalam sektor informal yang justru melanggar hukum dan penghasilan yang tidak sah, seperti copet, penadah barang curian, lintah darat, dan lain sebagainya.

Pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. Maksudnya adalah lokasi atau tempat yang digunakan

(37)

commit to user

Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini. Terkadang terjadi demikian, karena tidak adanya peraturan/ UU yang jelas menyangkut keberadaan usaha sektor informal, tidak adanya “tangan panjang” dari pemerintah yang langsung berhubungan dengan usaha tersebut, dan ketiadaan data yang jelas mengenai keberadaan dari usaha sektor informal tersebut sehubungan dengan pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik lokasi maupun jam kerja, sehingga kebijakan dari pemerintah baik aturan maupun bantuan tidak

sampai pada sektor ini.

Dalam sektor informal, unit usaha mudah keluar masuk dari subsektor ke lain subsektor. Tidak adanya batasan dan keterikatan dalam satu subsektor, karena usaha ini milik pribadi dan bebas dalam menetukan jenis usaha apa yang akan dilaksanakan. Perpindahan ini sah-sah saja dalam sector informal. Misal kegiatan primer dan sekunder seperti pertanian perkebunan yang pindah ke sektor jasa yang lain, seperti kuli gendong.

Teknologi yang digunakan dalam kegiatan sektor informal bersifat tradisional. Berbeda dengan sektor formal, menggunakan teknologi yang tinggi, sophisticated (canggih), dan mahal, berupa alat-alat berat, komputerisasi, dan lain sebagainya. Untuk sektor informal dalam kegiatannya hanya menggunakan teknologi sederhana, murah, dan dapat dibuat sendiri, berupa alat-alat sederhana. Misalnya pedagang kaki lima dengan menggunakan gerobak, pedagang asongan dengan kotak atau box dagangan, kuli gendong dengan selendang dan kekuatan badannya untuk mengangkat barang.

Jika dilihat dari segi permodalan, modal dan putaran usaha dalam kegiatan sektor informal relatif kecil, karena jenis usaha juga relatif

(38)

commit to user

Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja. Cukup dengan kemauan untuk bekerja dan lama-kelamaan pengalaman serta pengetahuan tentang pekerjaannya dapat didapatkan oleh yang seseorang dalam proses ia bekerja (otodidak), misal tukang cukur dan penyemir sepatu, penjual es potong. Berbeda dengan kegiatan sektor formal yang membutuhkan pendidikan formal, bahkan sampai pendidikan yang tinggi dan disertai keterampilan atau kecakapan khusus khusus untuk

bekerja dalam sekor formal, misal untuk menjadi perawat, menjadi manajer perusahaan.

Suatu usaha dikatakan usaha sektor informal juga dilihat dapat dilihat bahwa pada umumnya unit usaha termasuk ke dalam golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakannya, buruh berasal dari keluarga, ada beberapa yang juga termasuk subsisten. Sedangkan hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang juga berpenghasilan menengah.

c. Bidang-bidang Sektor Informal

Bidang yang ada dalam sektor informal cukup luas. Sektor ini sangat luas baik di tingkat daerah maupun di desa-desa dan daerah perkotaan. Sektor informal yang lahir diperkotaan merupakan hasil dari urbanisasi yang mana perpindahan ini untuk mencari penghasilan. Perkotaan yang persaingannya sangat ketat dan kadang tidak mendapat pekerjaan maka para urban ini membuka lapangan pekerjaan baru dalam perkotaan yaitu yang disebut sektor informal.

Menurut Keith Hart dalam Manning dan Tadjudin (1996:79-80) “bidang-bidang dalam sektor informal yang ditinjau dari pendapatan yang sah dan tidak sah sebagai berikut:

1) Sektor informal dengan penghasilan sah

(39)

commit to user

pengrajin usaha sendiri, pembuat sepatu, penjahit, pengusaha bir dan alkohol.

b) Usaha tersier dengan modal yang relatif besar: perumahan, transportasi, usaha kepentingan umum, spekulasi barang-barang dagangan, kegiatan sewa-menyewa.

c) Distribusi kecil-kecilan: pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang kaki lima, pengusaha makanan jadi, pelayan bar, pengangkut barang, agen atau komisi, dan penyalur.

d) Jasa yang lain: pemusik, pengusaha binatu, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, juru potret, pekerja reparasi kendaraan maupun reparasi lainnya, makelar dan perantara.

e) Transaksi pribadi: arus uang dan barang pemberian maupun semacamnya, pinjam-meminjam, pengemis. 2) Sektor informal dengan penghasilan tidak sah

Kegiatan-kegiatan sektor informal tidak hanya yang berkategorikan kegiatan sah, namun juga adapula kegiatan yang tidak sah. Sektor kegiatan informal yang tidak sah antara lain:

a) Jasa, merupakan kegiatan dan perdagangan gelap pada umumnya penadah barang curian, lintah darat, pedagang obat bius, pelacur, mucikari, penyelundupan, suap-menyuap, berbagai macam korupsi politik, perlindungan kejahatan.

b) Transaksi, sebagai contohnya adalah pencurian kecil, pencurian besar, pemalsuan uang dan penipuan.

(40)

commit to user

d. Munculnya Sektor Informal di Kota

Tadjudin Noer Effendi (1995: 73) menyatakan bahwa “sektor informal tidak dapat keberadaannya di dalam pembangunan”. Kehadiran sektor informal dipandang sebagai gejala transisi dalam proses pembangunan di negara berkembang. Sektor informal harus dilalui dalam menuju tahapan modern, selain itu juga merupakan gejala adanya ketidakseimbangan kebijakan pembangunan.

Konsep informal muncul dalam keterlibatan pakar-pakar

internasional dalam perencanaan pembangunan dunia ketiga, gejala ini muncul setelah kelahiran negara maju dan berakhirnya perang dunia kedua. Pada waktu itu muncul gagasan di tingkat internasional maupun nasional untuk mendapatkan laju pertumbuhan ekonomi pada negara-negara yang dimaksud. Jean Breman dalam Manning dan Effendi (1996: 138) menyatakan “sektor informal pertama kali diungkapkan oleh Keith Hart pada tahun 1971 dengan menggambarkan sektor informal senbagai bagian dari angkatan kerja yang tidak terorganisir.” Keith Hart merupakan seorang antropolog Inggris yang pertama kali menyatakan gagasan sektor informal.

Meskipun sudah berlangsung selama lebih dari tiga puluh tahun sejak gagasan mengenai sektor informal dicetuskan oleh Hart hingga kini perdebatan sektor informal masih juga belum mencapai kesepakatan. Pembahasan mengenai kegiatan-kegiatan sektor informal selama ini umumnya terfokus secara ekslusif pada konteks kontemporernya yang diantaranya membahas tingkat penghasilan pedagang, jumlah tenaga kerja, latar belakang sosial ekonomi dan sebagainya. Namun hanya sedikit yang membahas apa yang melatar belakangi kegiatan di sektor informal ini muncul. Sehingga peneliti merasa perlu untuk memberikan ulasan mengenai

latar belakang munculnya kegiatan sektor informal ini yang dikaji beberapa ahli.

(41)

commit to user

oleh Rachbini dan Hamid (1994: 13), “perbedaan tingkat upah serta kesempatan kerja di desa dan di kota merupakan faktor yang menstimulasi angkatan kerja untuk pindah ke kota”. Masyarakat umumnya menganggap di kota lebih mudah untuk mencari pekerjaan dan lebih menghasilkan uang. Padahal dengan perpindahan mereka ke kota mengakibatkan semakin sempit pula lapangan pekerjaan yang ada dan pada akhirnya membuka lahan pekerjaan baru di sektor informal.

Selain itu tumbuhnya sektor informal juga disebabkan kesenjangan

kapasitas keahlian dan tuntutan kerja formal yang modern. Sektor formal menuntut keahlian tinggi dari pekerjanya namun hal tersebut tidak diimbangi oleh keahlian yang dimililki para angkatan kerja. Menurut Mc Gee dalam Rachbini dan Hamid (1994: 26) “Sektor informal tumbuh karena perpindahan, dan penggunaan teknologi modern yang tidak selektif, yang berarti tidak memperhitungkan manfaat sosialnya, akan menciptakan sektor informal”. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan teknologi modern berarti banyak manusia yang tergantikan oleh teknologi yang berat kurang dibutuhkannya tenaga manusia di sektor formal. Akibatnya banyak sektor informal yang tumbuh karena kurang dibutuhkannya tenaga manusia di sektor formal. Karena sempitnya lahan pekerjaan, serta kurang dibutuhkan tenaga kerja manusia sehingga mengakibatkan munculnya pengangguran. Faktor tumbuhnya sektor informal juga disebabkan karena adanya pengangguran. Di sini sektor imformal berfungsi untuk mempertahankan hidup.

Kota sebagai suatu pemusatan penduduk di dalam wilayah yang sempit memilki masalah fundamental dalam pemenuhan kebutuhan pokok penduduk-penduduknya, maka kota sebagai pusat konsumsi kolektif

(42)

commit to user

konsumsi mereka ditandai dengan adanya penggunaan barang-barang bekas untuk perumahan, serta pembuatan dan pemasaran bahan-bahan makanan dan barang-barang lain untuk konsusmsi langsung.

Sektor informal sebagai identitas problematika perkotaan berkembang di berbagai bidang meliputi bidang industri, perdagangan, jasa, dan sebagainya. Profesi-profesi sektor informal di kota seperti pedagang kaki lima, pedagang asongan, kuli gendong, penyemir sepatu, pelacur, portir, pengemis, pengamen, pengemudi becak, tukang parkir, dan lain

sebagainya. Mereka merupakan pedagang kecil, pekerja yang tidak terikat dan tidak terampil dengan pendapatan yang relatif rendah dan tidak tetap.

Keberadaan sektor ekonomi informal di perkotaan sangat mudah dijumpai dan dikenali di trotoar-trotoar, alun-alun kota, dan dekat pusat keramaian kota serta ruang-ruang publik di perkotaan. Keberadan pedagang sektor informal ini muncul dan berkembang karena memangg kehadiran mereka merupakan sebuah response atas kondisi yang ada. Pedagang sektor informal merupakan sebuah pilihan dari ketidakberdayaan akan kondisi ini kemunculannya bahkan tidak dikehendaki oleh pelakunya sendiri itu. Saat ini jumlah pekerjaan informal menggelembung sedemikian besar bahkan hampir menyamai jumlah mereka yang bekerja di sektor formal.

4. Kuli Gendong sebagai Kegiatan Sektor Informal

Di dalam kehidupan pasar terjadi proses pendistribusian barang-barang dari orang satu ke orang lainnya, baik dari penjual ke pembeli, atau sebaliknya. Bila membicarakan proses pendistribusian dan pengangkutan barang-barang di pasar tradisonal, maka tidak terlepas dari penyedia jasa angkut. Penyedia jasa yang terdapat di pasar Legi yaitu dengan bantuan kuli gendong. Disebut kuli

(43)

commit to user

a. Pengertian Kuli Gendong

Secara umum kuli adalah orang yang bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisiknya atau buruh kasar yang menerima upah dari jasa mengangkut barang (www.wikipedia.com). Pekerjaan ini dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Untuk kuli perempuan sering disebut dengan kuli gendong, sedangkan untuk kuli laki- laki sering disebut kuli panggul. Kuli adalah sebuah profesi yang bergerak di bidang jasa (www.kbbi.com).

Buruh berbeda dengan pekerja. Pengertian pekerja lebih menunjuk

pada proses dan bersifat mandiri. Bisa saja pekerja itu bekerja untuk dirinya dan menggaji dirinya sendiri pula. Contoh pekerja ini antara lain petani, nelayan, dokter yang dalam prosesnya pekerja memperoleh nilai tambah dari proses penciptaan nilai tambah yang mereka buat sendiri. Istilah tenaga kerja di populerkan oleh pemerintah orde baru, untuk mengganti kata buruh yang mereka anggap kekiri-kirian dan radikal.

Pengertian tenaga kerja mempunyai makna yang sangat luas yang bersifat umum dan terkadang rancu dengan istilah angkatan kerja. Buruh saat ini identik dengan pekerja level bawah. Orang yang bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisiknya atau pekerja kasar (seperti membongkar muatan kapal, mengangkut barang dari stasiun satu tempat ke tempat lain).

b. Kuli Gendong Merupakan kegiatan sektor informal

Pekerjaan sebagai kuli gendong Pasar Legi memenuhi ciri-ciri daripada sektor informal

Menurut Effendi (1995: 74) ciri-ciri mengenai sektor informal adalah sebagai berikut;

1) kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal,

2) pada umumnya unit usaha tidak mempunyai ijin usaha,

3) pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja,

4) pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini,

(44)

commit to user

7) modal dan putaran usaha relatif kecil,

8) untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja,

9) pada umumnya unit usaha termasuk ke dalam golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakannya, buruh berasal dari keluarga,

10)sumber danaa modal biasanya dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan tidak resmi,

11)hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang juga berpenghasilan menengah.

Dari ciri-ciri di atas kegiatan kuli gendong juga memenuhi ciri-ciri tersebut; 1) bahwa kegiatan kegiatan kuli gendong merupakan usaha tidak terorganisir secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal, tidak ada lembaga yang mengikat dan mengoordinasi secara langsung, melainkan dikoordinasi secara swadaya oleh para kuli gendong itu sendiri dalam sebuah paguyuban, komunitas, atau serikat yang bernama Serikat Pekerja Transport Indonesia (SPTI). 2) Apabila dilihat dari ijin usaha pada umumnya unit usaha dalam sektor informal tidak mempunyai ijin usaha, pekerjaan ini tidak resmi, dan bersifat bebas siapa saja bisa masuk menjadi kuli gendong namun untuk menjadi kuli gendong di pasar Legi bagi perempuan dan hanya dikenakan biaya iuran perbulan. 3) Pola kegiatan berusaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. Hal ini dikarenakan usaha besifat fleksibel yang disesuaikan dengan banyaknya pedagang atau pembeli yang meminta memindahkan barang di pasar. 4) Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai pada sektor ini. Terkadang terjadi demikian, karena tidak adanya peraturan/ UU yang jelas

(45)

commit to user

membayar iuran perbulan sudah mendapat KTA, iuran kaos seragam, namun berbeda bagi yang laki-laki juga ditambah membeli keanggotaan kuli gendong yang akan digantikan hingga jutaan rupiah. 7) Untuk menjadi kuli gendong tidak diperlukan pendidikan formal karena yang dipergunakan untuk bekerja adalah tenaga dan kondisi badan.

c. Migrasi ke kota menjadi kuli gendong

Secara sederhana migrasi didefenisikan sebagai aktivitas

perpindahan. Sedangkan secara formal, migrasi didefenisikan sebagai perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain yang melampaui batas politik/ negara ataupun batas administrasi/batas bagian suatu negara. Bila melampaui batas negara maka disebut dengan migrasi internasional (migrasi internasional). Sedangkan migrasi dalam negeri merupakan perpindahan penduduk yang terjadi dalam batas wilayah suatu negara, baik antar daerah ataupun antar propinsi. Pindahnya penduduk ke suatu daerah tujuan disebut dengan migrasi masuk. Sedangkan perpindahan penduduk keluar dari suatu daerah disebut dengan migrasi keluar (www.depnaker.go.id).

Orang-orang rela ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada daerah asal. Namun karena keterbatasan-keterbatasan yang mereka miliki sehingga menghambat mereka untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal akhirnya mereka memilih bekerja sebaagai kuli gendong. Meskipun sedikit perhatian dari pemerintah namun mereka bekerja keras mencukupi segala kebutuhan keluarga, menyekolahkan anak bahkan ada anak dari beberapa kuli gendong yang kuliah diperguruan tinggi, dapat berbagi lokasi kerja dengan sesama kuli gendong yang lain, ikut bergabung dalam

(46)

commit to user

Jika kita berbicara daerah asal orang-orang yang menjadi kuli gendong, kita akan berbicara mengenai perpindahan mereka (migrasi), tepatnya urbanisasi dari daerah asal ke kota Surakarta. Ada hal-hal yang mempengaruhi seseorang melakukan migrasi, atau yang sering kita sebut dengan faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi.

Menurut Everett S. Lee dalam Widodo (2011: 102) “ada empat faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi, yaitu:

1. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal 2. Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan 3. Rintangan-rintangan yang menghambat 4. Faktor-faktor pribadi

Faktor-faktor 1,2 dan 3, secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1

Rintangan

Daerah Asal Daerah Tujuan

Gambar 1. Faktor-faktor yang terdapat di Daerah Asal dan Daerah Tujuan serta Rintangan

Pada masing-masing daerah terdapat faktor-faktor yang menahan seseorang untuk tidak meninggalkan daerahnya atau menarik orang untuk pindah ke daerah tersebut (+), dan ada pula faktor-faktor yang memaksa

(47)

commit to user

kenapa masyarakat berpindah ke pasar Legi kota Surakarta yang menjadi kuli gendong. Faktor-faktor tersebut adalah;

1) Faktor pendorong (daerah asal)

Dalam setiap kegiatan manusia maka akan selalu diiringi dengan dorongan atau motif yang mendasari mereka melakukan kegiatan tersebut. Dorongan atau motif ini akan sangat dipengaruhi beberapa faktor pendorong (push factor), misalalnya adalah aspek ekonomi, sosial, bahkan aspek psikologis.

Rendahnya upah tenaga kerja di sektor pertaian dan semakin langkanya lahan-lahan pertanian di pedesaan, maka banyak tenaga kerja yang memelih alternatif lain untuk urbanisasi dan bekerja di sektor non pertanian. Dari proporsi tenaga kerja yang mencari nafkah di berbagai sektor dalam pembangunan ekonomi, ternyata dari tahun ke tahun penyediaan kesempatan kerja sektor pertanian semakin menurun, sedangkan pada sektor non pertanian menunjukkan kenaikan.

Dipak Mazumdar dalam Manning dan Efendi (1996: 113) menjelaskan mengenai faktor dominan yang menjadi pendorong seseorang memasuki sektor informal perkotaan adalah faktor ekonomi. Dorongan dalam faktor ini meliputi 3 hal yaitu:

a) adanya ketimpangan pembangunan antara desa dan kota b) imbas dari terpusat dan terkonsentrasinya pembangunan

yakni menimbulkan kemiskinan di desa.

c) perubahan persepsi angkatan kerja yang ada di desa.

(48)

commit to user

motivasi, dan sikap terhadap sektor pertanian yang ada di desa. Mereka menganggap bahwa pekerjaan di sektor pertanian kurang begitu menjanjikan sehingga mereka cenderung memilai pekerjaan non pertanian, salah satunya adalah pekerjaan di sektor informal.

2) Faktor penarik (daerah tujuan)

Besarnya jumlah pendatang untuk menetap pada suatu daerah dipengaruhi besarnya faktor penarik (pull factor). Yaitu hal-hal yang menjadi daya tarik kepada calon pendatang untuk datang ke tempat tujuan.

Semakin maju kondisi sosial ekonomi suatu daerah akan menciptakan berbagai faktor penarik, seperti; a) adanya anggapan orang desa bawah di kota banyak pekerjaan dan penghasilan yang besar, b) di kota lebih banyak kesempatan untuk mendirikan perusahaan, industri, dan usaha lain, c) peredaran uang di kota lebih cepat dan lebih besar, d) sarana pendidikan di kota lebih banyak dan mudah didapat, e) kota merupakan tempat yang lebih menguntungkan untuk mengembangkan bakat, f) kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan tempat pergaulan dengan segala lapisan masyarakat.

3) Faktor fasilitas yang mendukung

Adanya fasilitas-fasilitas yang mendukung perpindahan masyarakat dari daerah asal para kuli gendong ke daerah tujuan yaitu pasar Legi kota Surakarta. Faktor-fakltor tersebuta antara lain; a) lowongan kerja banyak, b) pelayanan masyarakat yang lengkap, seperti kesehatan, keamanan, dan sebagainya, c) transportasi yang lengkap dan mudah diakses, mempermudah masyarakat berpindah dari satu tempat ke tempat lain, d) komunikasi dengan menggunakan alat-alat komunikasi yang canggih. 4) Faktor nilai

Gambar

Gambar 2. Skema Kerangka Berfikir …………………………………… 35
Gambar 1. Faktor-faktor yang terdapat di Daerah Asal dan
Gambar 2. Skema Kerangka Berpikir commit to user
Tabel Waktu Penelitian
+5

Referensi

Dokumen terkait

Citra  Satelit  LAPAN  A3IIPB  akan  menggunakan  kana!  tampak  mata  dan  inframerah  dekat  yang  panjang  gelombang  elektromagnetiknya  sarna  dengan 

Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui penyebaran oksigen terlarut yang berasal dari Sungai Cicendo sampai di Waduk Cirata dengan pendekatan perubahan nilai

Hasil: Akses dan kontrol kegiatan dalam pengambilan keputusan rujukan ke rumah sakit pada ibu hamil berisiko dalam perspektif gender pada keuangan, pemeriksaan kehamilan,

Genotypng on the ntron 1 regon of IGF-1 gene n the BTA5 n HF cattles of both hstorcal twn and non-hstorcal twn resulted n no genetc polymorphsm (monomorphc) as the DNA

The cuttng usng AluI enzyme on AluI GH gene fragment as much as 404 bp only resulted n one knd of fragment: a fragment whch can be cut (two bars) known as LL genotype, whereas

Apabila pemberian antibiotik tidak sesuai dengan standar terapi, maka kemungkinan timbul efek buruk penggunaan antibiotik, seperti dapat terjadinya resistensi yang akhir-akhir

Berpijak dari latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mendalami dan mengetahui kemampuan berbahasa anak usia dini, maka penelitian ini berjudul Peningkatan

Untuk mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan dan motivasi kerja terhadap kinerja karyawan pada Rumah Sakit Islam Kustati Surakarta4. Untuk mengetahui variabel yang paling