• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYIDIKAN POLRI TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN DAERAH JAWA TENGAH - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENYIDIKAN POLRI TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN DAERAH JAWA TENGAH - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

PENYIDIKAN POLRI TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI

DI WILAYAH HUKUM

KEPOLISIAN DAERAH JAWA TENGAH

TESIS

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Program Magister Ilmu Hukum

Oleh :

PRATOMO, SH NIM : B4A 007 031

Pembimbing :

Prof. Dr . Nyoman Serikat Putra Jaya, SH.MH. NIP . 130 529 438

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

(2)

PENYIDIKAN POLRI TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH HUKUM

KEPOLISIAN DAERAH JAWA TENGAH

TESIS

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Program Magister Ilmu Hukum

Universitas Diponegoro

Oleh :

PRATOMO, SH NIM : B4A 007 031

Pembimbing :

Prof. DR. NYOMAN SERIKAT PUTRA JAYA, SH, MH. NIP . 130 529 438

Mengetahui :

Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro

Prof. DR. PAULUS HADI SUPRAPTO, SH,MHum. NIP. 130 531 702

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

PENYIDIKAN POLRI TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH HUKUM

KEPOLISIAN DAERAH JAWA TENGAH

TESIS

Diajukan untuk memenuhi syarat-syarat guna memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum pada Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro

Oleh :

PRATOMO, SH NIM: B4A 007 031

Tesis dengan judul diatas telah disahkan dan disetujui untuk diperbanyak

Pembimbing :

PROF. DR. NYOMAN SERIKAT PUTRA JAYA, SH, MH. NIP . 130 529 438

Mengetahui :

Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro

PROF. DR. PAULUS HADI SUPRAPTO, SH,MHum. NIP. 130 531 702

(4)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Dengan ini saya, Pratomo, S.H, Menyatakan bahwa Karya Ilmiah/ Tesis ini adalah asli hasil karya saya sendiri dan Karya Ilmiah ini belum pernah diajukan sebagai pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan Strata Satu (S1) maupun magister (S2) dari Universitas Diponegoro maupun Perguruan Tinggi lain.

Semua informasi yang dimuat dalam karya Ilmiah ini yang berasal dari penulis lain baik yang dipublikasikan atau tidak, telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis secara besar dan semua isi dari Karya Ilmiah/ Tesis ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya sebagai penulis.

Semarang, Pebruari 2009. Penulis,

(5)

HALAMAN PENGUJIAN

PENYIDIKAN POLRI TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH HUKUM

KEPOLISIAN DAERAH JAWA TENGAH

disusun oleh :

PRATOMO, SH NIM. B4A 007 031

Telah diujikan di hadapan Dewan Penguji Pada tanggal 3 April 2009

Tesis ini telah diterima

Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum

Pembimbing :

PROF. DR. NYOMAN SERIKAT PUTRA JAYA, SH, MH. NIP . 130 529 438

Mengetahui :

Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro

PROF. DR. PAULUS HADI SUPRAPTO, SH,MHum. NIP. 130 531 702

(6)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto :

• Sesungguhnya  setelah  kesulitan  itu ada kemudahan….  (QS.  Al‐ Insyirah : 5)

 

 

Tesis ini ku persembahkan untuk : 

 

Istriku Dra Zumrotun dan Anakku Zulfan Kurnia Ainun Najib,  tercinta dan  tersayang    yang  telah  memberikan  doa  restu  dan  motivasi  untuk  selalu  menimba ilmu sampai akhir hayat  

 

Kapolda Jateng dan Direktur Reserse Kriminil Polda Jateng yang selalu  memberikan motivasi untuk belajar , belajar dan belajar .  

   

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Yang Maha Menggenggam segala yang ada di langit dan di bumi, sungguh hanya karena ridho-Nya tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Setelah melewati waktu yang panjang dengan mengalami berbagai macam kesulitan dan hambatan . Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Agung Muhammad Saw. Rasul yang telah diutus untuk membawa rahmat kasih sayang bagi sem,esta alam dan sebegai penerang jalan manusia dari alam jahiliyah menuju kea lam yang diterangi oleh ilmu pengetahuan .

Dalam penyusunan tesis ini penulis memperoleh motivasi , bantuan dan dukungan dari berbagai pihak , baik yang bersifat moril maupun materiil , untuk itu Penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang tak terhingga atas bimbingan , bantuan serta petunjuk – petunjuk yang sangat berharga dalam penyusunan Tesis ini kepada yang terhormat :

Bapak Prof. Dr. dr. Susilo Wibowo, MS.Med.Sp.And. selaku Rektor Universitas Diponegoro Semarang yang telah memberikan kesempatan yang sangat berharga kepada penulis untuk menimba ilmu di Program S2 Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro .

Bapak Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH, MH atas semua bimbingan dan arahan selama proses penulisan tesis ini berlangsung.

Bapak Prof. Dr. Paulus Hadisuprapto, SH. MHum, Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, yang telah menjadi Team penguji dalam penulisan Tesis ini .

Bapak Prof. Dr. Barda Namawi Arief, SH.MH, yang menjadi Team Penguji dan telah memberikan masukan dan kritiknya yang konstruktif untuk penyempurnaan dalam penulisan Tesis ini

Ibu Ani Purwanti, SH. MHum, Sekretaris bidang Akademi beserta seluruh staf Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang yang telah memberikan kemudahan atas terselenggaranya studi ini dengan baik.

(8)

Bapak Kombes Pol. Drs. S. Edy Mulyono, SH. MH. Direktur Reserse Kriminal Polda Jateng dan Kepala Satuan Opsnal IV / Tindak Pidana Korupsi Direktorat Reserse Kriminal Polda Jateng beserta Staf yang telah memberikan data / bahan penelitian dalam rangka penulisan tesis ini .

Istri dan Anak tercinta, serta seluruh keluarga besar saya yang telah memberikan motivasi dalam rangka menimba ilmu pada Magister Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro Semarang sampai terselesainya penulisan Tesis ini .

Rekan – rekan mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro

Semarang , Sahabat-sahabat tercinta, dan untuk semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dan motivasinya semoga Allah SWT. membalas semua kebaikan yang telah tertanam dan semoga dengan bertambahnya ilmu kita akan menjadi semakin takut kepada Yang Maha Kekal karena sesungguhnya itulah tanda-tanda bahwa ilmu kita bermanfaat.

Harapan penulis semoga karya ini mampu memberi setitik manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Amien.

Semarang, April 2009

(9)

ABSTRAK

Korupsi yang terjadi di Indonesa sudah sangat memprihatinkan. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh pegawai negeri, tetapi juga pengusaha, swasta, pejabat negara, aparat penegak hukum serta para wakil rakyat yang duduk di DPR maupun DPRD. Korupsi merupakan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) dan untuk memberantasnya bukan perkara yang mudah, sehingga dibutuhkan cara yang luar biasa pula dengan dukungan dan komitmen seluruh rakyat Indonesia, aparat negara dan profesionalisme aparat penegak hukum yang tentunya juga harus didukung dengan penyempurnaan perangkat undang-undang yang terkait dengan pemberantasan korupsi khususnya penyidik POLRI. Sehingga tesis saya beri judul “ Penyidikan Polri terhadap Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Hukum Polda Jateng “.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : a) Proses penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Hukum Polda Jateng saat ini b). Proses penyidikan terhadap tindak pidana korupsi di Wilayah Hukum Polda Jateng berdasarkan hukum Ideal/masa depan .

Metode Penelitian dalam penulisan tesis ini dengan pendekatan yuridis normatif empiris, yakni meneliti azas-azas hukum terkait hubungan peraturan satu dengan peraturan lainnya serta kaitannya dengan penerapan dalam praktek . disamping itu juga dengan pendekatan deskriptif analitis yakni menggambarkan penyidikan Polri terhadap tindak pidana korupsi, serta pendekatan konseptual yang mengkaji pandangan para ahli yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas.

Hasil Penelitian memberikan kesimpulan : a) Bahwa dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi di Polda Jateng masih berdasarkan pada aturan hukum posisitf saat ini, antara lain Hukum Acara Pidana , UU No. 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999. b). Bahwa dalam proses penyidikan Polri terhadap Tindak Pidana Korupsi untuk dimasa yang akan datang atau ideal , diperlukan adanya Politice Will dari pemerintah dan instansi yang terkait , hal ini terlihat dari rumitnya birokrasi dalam pengurusan ijin pemeriksaan terhadap pejabat tertentu yang harus menunggu persetujuan tertulis dari Presiden karena hal tersebut mutlak diperlukan untuk Pejabat / orang-orang tertentu seperti Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah , sebagaimana yang tertuang dalam pasal 36 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, sehingga menghambat jalannya proses penyidikan .

Dari uraian tersebut diatas penulis memberikan saran / rekomendasi untuk dimasa yang akan datang dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi semestinya surat ijin atau surat persetujuan tertulis dari Presiden tidak diperlukan lagi, guna kelancaran penyidikan , hal ini agar tidak terjadi diskriminatif dan dalam hal penyidikan agar dibentuk sebuah Lembaga Terpadu (Satu Atap) yang terdiri dari personil Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan BPKP.

Kata Kunci: Penyidikan, Polri , Tindak Pidana Korupsi .

(10)

ABSTRAK

Corruption that occurred in Indonesia is very concern, Corruption is not only done civil servants, but also involve employers, the private sector , state official, law enforcers and the people’s representatives who sit in the DPR and DPRD. Corruption is an extra ordinary crime ( crime extra ordinary ) and to inforcement not an easy matter, son I needed that with the extraordinary supporty and commitment of all the Indonesian people , state officials and professionalism of law inforcemnt which must also be supported with the completion of the devive ;aws related to the eradication op curroption, especially police investigators, so give me thesis title “ The Investigation of Pilice to Corruption in Criminal Follow Jurisdiction Polda Jateng “.

This study aims t determine : a). The process of investigation of the follow Corruptin Crfiminal Law in the region Polda Jateng at this time . b). The process of investigation and of the Follow Corruption Criminal Law in the area at the time Polda Jateng at the Next time or the ideal of law .

Research method in the writing of this thesis with the juridical towards approach normative empirical, thet is researching related legal principlea regulation relations of one wityh the other regulation as well as its connection with the application in practice. And also with the discriptive approach analytical thet is discripting the Investigation of Pilice to Corruption in Criminal Follow, as well as the conceptual approach thet studied the view of experts who were linked with the subject of the discussed problem .

Research, provide conclutions : a) That in the process of investigation in the Follow Corruption Criminal Poalda Jateng the rule of law based on the positive at this time , among other event Criminal Law (KUHAP), Law No. 2 of Year 2002, is Kepolisian Negara Republik Indonesia, and Law No. 31 of Year 1999 is Follow Corruption and Criminal Law and No. 20 of Year 2001 is Changes in the Law No. 31 of year 1999. b). That in the process of investigation to Follow Cfriminal Police Corruption for the future or ideal , required the Politice Will of the government and relate institutions, it is visible the complexity of the bureaucracy in the license review office to have to wait a wriiten approval from the President . Because it is a must / is absolutely necessary for the officer / person as a Head of Regional or Deputy Regional , as written in article 36 of law No. 32 Of Year 2004 on Local Government, so that aobstruct gthe way process of invrstigation .

From the description above to give autor suggestion / recommendations for the fiture in the process of criminal investigation of Corruption should permit or a written letter of approval is not required, for a smooth investigation, so thet this does not cause discrimination , and in the case of an investigation thet was ingrated institutions (a roof), which consists of Personility Police , Judiciary, District Court and BPKP .

Keywords : The Investigation, Police , Follow-Corruption Criminal.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

HALAMAN PENGUJIAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN……….. ... iv

KATA PENGANTAR ... v

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... A. TINDAKAN PENYIDIK/POLRI DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH HUKUM POLDA JATENG BERDASARKAN HUKUM POSISTIF SAAT INI …………..……….... 61

B. TINDAKAN PENYIDIK/POLRI DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI WIL. HUKUM POLDA JATENG BERDASARKAN HUKUM IDEAL ATAU HUKUM MASA DEPAN ….…………. …… 111

BAB IV PENUTUP ...

(12)

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN ………..……… 146

B. SARAN ... 151

DAFTAR PUSTAKA

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Humas Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) Johan Budi SP yang menghadiri pertemuan Asosiasi Internasional Otoritas Pemberantasan Korupsi ( IAACA ) di Balai Besar Rakyat ( Great Hall of People ) Beijing ini, dalam rilisnya Rabu ( 25/10), keputusan memasukkan nama Indonesia merupakan keputusan dalam pertemuan tahunan pertama IAACA, Pertemuan IAACA secara resmi dibuka Presiden China Hu Jintao yang didalam sambutannya menegaskan pentingnya kerja sama dunia internasional dalam upaya pemberantasan korupsi .

Gerakan reformasi pada tahun 1998 membawa arus perubahan di Indonesia. Kekuasaan otoriter dalam wujud pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama 30 tahun lebih tidak mampu membendung semangat perubahan dari masyarakat dan akhirnya harus turun. Kini, pemilihan Kepala Daerah sudah dilakukan secara langsung dan demokrasi. Berbagai macam media serta kebebasan pers pun lebih terbuka dan masyarakat Indonesia lebih memahasi konsep Hak Asasi Manusia (HAM) dan lebih penting lagi terdapat kesadaran dalam masyarakat utuk menuntut pemenuhan atas hak-hak tersebut.

Amanat reformasi pada dasarnya, reformasi hukum tidak dapat dilakukan secara spontan yang hanya akan menimbulkan turbulensi1 sosial. yang dapat

1

(14)

dilakukan adalah percepatan (akselerasi), tetapi itupun harus tetap dalam koridor tertib dan teratur. Percepatan inilah yang diharapkan dari upaya perubahan atau pembaharuan hukum nasional kita.. Setiap perubahan selalu mengandung makna pembaharuan sebagai suatu proses dinamika kehidupan. Inilah hakikat reformasi yaitu perubahan dinamik untuk menjadikan sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru dapat berupa nilai, norma dan sebagainya. Perubahan yang terkandung dalam reformasi adalah perubahan menuju sesuatu keadaan yang lebih baik.

Dalam Kabinet Reformasi Pembangunan yang dipimpin oleh Presiden Habibie telah ditunjuk Menteri Kehakiman untuk melaksanakan dan bertanggung jawab atas program reformasi dibidang hukum. Sebagai tindak lanjut, dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.28 Tahun 1998 tentang pembentukan Tim Reformasi Hukum, yang pada intinya tim dibentuk untuk melaksanakan 4 program reformasi, yaitu:

1. Reformasi di bidang politik, antara lain mengenai pemilu, partai politik dan Susduk MPR,DPR, dan DPRD;

2. Reformasi di bidang hukum, antara lain mengenai pembentukan undang-undang TPK;

3. Reformasi di bidang hukum internasional, yaitu meratifikasi konvensi-konvensi internasional;

4. Reformasi di bidang perjanjian Indonesia dan IMF.2

2

(15)

Dari keempat bidang yang menjadi program reformasi, kemudian berkembang menjadi bidang-bidang lain seperti masalah bagaimana mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) dan tentang HAM.

Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, tidak dapat dilepaskan dari kepolisian. Tugas pokok POLRI itu sendiri sendiri menurut Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.3 Tugas penegakan hukum berkaitan dengan Sistem Peradilan Pidana di mana POLRI menjadi salah satu bagiannya selain hakim dan jaksa. Dalam Sistem Peradilan Pidana tersebut, POLRI diberi wewenang untuk melakukan upaya paksa. Upaya paksa itu meliputi kegiatan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

Dalam kenyataannya di POLDA JATENG, bahwa penanganan tindak pidana korupsi oleh penyidik POLDA JATENG merupakan tugas yang sangat berat yang harus diemban polisi. Dalam interaksinya dengan masyarakat, seorang anggota polisi harus berhadapan dengan beragam perilaku individual. Tingkat kepatuhan (compliance) dari tiap orang berbeda. Kadang tidak cukup bagi seorang polisi untuk menunjukkan bahwa ia memang anggota kepolisian, misalnya dengan pemakaian seragam polisi atau penunjukkan lencana. Dalam masyarakat memang terdapat

3

(16)

individu yang memang nekat atau berada di ujung keputusannya yang kemudian memiliki keberanian untuk melawan atau melarikan diri dari polisi.

Menghadapi anggota masyarakat (pejabat negara) yang memiliki tingkat kepatuhan yang rendah, polisi dibakali dengan wewenang untuk menggunakan kekuatan. Keberadaan anggota masyarakat seperti itu merupakan suatu ancaman bagi kedamaian dan ketentraman hidup dalam masyarakat secara umum serta ancaman langsung bagi keselamatan polisi itu sendiri secara khusus. Terlebih dimasa resesi ekonomi yang sepertinya tak berujung ini, keputusasaan di dalam masyarakat menyebabkan peningkatan kriminalitas secara signifikan. Penggunaan kekuatan oleh polisi ini kemudian menjadi hal yang justru didukung oleh masyarakat. Keresahan masyarakat menuntut agar polisi bertindak lebih tegas terhadap para pelaku kejahatan.

Tindakan tegas oleh petugas polisi dalam hal ini termasuk penggunaan kekuatan fisik. Dalam penangkapan misalnya, bilamana si tersangka pelaku kejahatan melawan dengan kekuatan fisik keselamatan petugas polisi menjadi terancam. Dalam situasi tertentu petugas itu harus menggunakan kekuatan fisik baik dalam rangka memperoleh kepatuhan dari si tersangka pelaku kejahatan. Tindakan yang dilakukan oleh petugas polisi tersebut dibenarkan oleh Undang-undang sehingga dapat dikatakan bahwa polisi melaksanakan wewenangnya berdasarkan asas legalitas.4

“Efektivitas” mengandung arti “keefektifan (effectiviness), yaitu pengaruh/efek keberhasilan, atau kemanjuran/kemujaraban”. Oleh karena itu di dalam tesis ini akan dibahas mengenai kebijakan kriminalitas dan penegakan hukum khususnya masalah

4

(17)

tindakan Penyidik / Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi di wilayah hukum Polda Jateng berdasarkan hukum positif saat ini dan berdasarkan hukum ideal atau hukum masa depan dalam rangka efektivitas penegakan hukum .

Membicarakan “ kebijakan formulasi tentang penyidikan tindak pidana korupsi dalam rangka efektivitas penegakan hukum”, tentunya tidak terlepas dari penganalisisan terhadap karekteristik 2 (dua) variabelyang terkait, yaitu karekteristik / dimensi dari “obyek/sasaran yang dituju” (yaitu korupsi) dan karekteristik dari “alat/sarana yang digunakan” (yaitu perangkat hukum pidana)5.

Karekteristik dan dimensi kejahatan korupsi dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Masalah korupsi terkait dengan berbagai kompleksitas masalah, antara lain masalah moral/sikap mental, masalah pola hidup serta budaya dan lingkungan sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesenjangan sosial-ekonomi, masalah struktur/sistem ekonomi, maslah sistem/budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) dibidang keuangan dan pelayanan publik. Jadi, kuasa dan kondisi yang bersifat krimonogen untuk timbulnya korupsi sangatlah luas (multidimensi), yaitu bisa di bidang moral, sosial, ekonomi, poltik, budaya, birokrasi/administrasi dan sebagainya.

2. Mengingat sebab-sebab yang multidimensional itu, maka korupsi pada hakikatnya tidak hanya mengandung aspek ekonomis (yaitu merugikan keuangan / perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri/orang lain), tetapi juga mengandung korupsi nilai-nilai moral, korupsi jabatan/kekuasaan, korupsi politik dan nilai-nilai demokasi dan sebagainya.

3. Mengingat aspek yang sangat luas itu, sering dinyatakan bahwa korupsi termasuk atau tekait juga dengan “economic crimes”, ‘organized crimes”, “illicit drug traffiking”, “money laundering”, “white collar crime”, “political crime”, “top hat crime” atau (“crime of politician in office”), dan bahkan “transnational crime”5 4. Karena terkait dengan masalah politik/jabatan/kekuasaan (termasuk “top hat

crime”), maka di dalamnya mengandung 2 (dua) fenomena kembar (“twin

5

(18)

phenomena”) yang dapat menyulitkan penegakan hukum (seperti dikemukakan oleh Prof.Dr.Dionysios Spinellis6

POLRI sebagai instrumen negara untuk menegakkan hukum serta memelihara keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat tidak luput dari perhatian publik. Kewenangan POLRI yang sangat luas dan kadang terasa tanpa batas menjadi sorotan masyarakat. Hal ini disebabkan peluang terjadinya pelanggaran HAM ketika menjalankan tugas.

Sebagaimana sekarang diketahui korupsi telah terjadi dimana-mana. Hampir di semua negara di seluruh dunia terjadi praktek korupsi, dan tidak terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri pengaturan, pengawasan dan penindakan korupsi telah dilakukan dari waktu ke waktu, baik sejak pemerintahan orde lama hingga pemerintahan saat ini. Selain dari nilai uangnya, jumlah orang yang terlibat serta cara-cara yang dipakai dalam praktek korupsi semakin lama semakin meningkat. Untuk mengantisipasi hal ini, semakin banyak dan berlapis-lapis pula lembaga yang ditugaskan untuk mengawasi pelaksanaan korupsi dan menindak para pelakunya, khususnya Kepolisian Negara Republik Indonesia (sesuai Undang-undang No.2 Tahun 2002). Namun dalam perkembangan hal itu ternyata diikuti pula oleh peningkatan teknik dan gaya penyelewengan, sehingga seakan-akan praktek korupsi itu tiada batas akhirnya.7

6

Dionysios Spinellis, “Crimes of Politicians in Office”, dalam “Crime by Government” oleh Dr.Helmut (Editor),hal.23.

7

(19)

Korupsi yang tejadi di Indonesa sudah sangat memprihatinkan. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh pegawai negeri, tetapi juga melibatkan pengusaha, swasta, pejabat negara, aparat penegak hukum serta para wakil rakyat yang duduk di DPR maupun DPRD. Korupsi merupakan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) dan untuk memberantasnya bukan perkara yang mudah, sehingga dibutuhkan cara yang luar biasa pula dengan dukungan dan komitmen seluruh rakyat Indonesia, aparat negara dan profesionalisme aparat penegak hukum yang tentunya juga harus didukung dengan penyempurnaan perangkat undang-undang yang terkait dengan pemberantasan korupsi khususnya penyidik POLRI.

Pengalaman empiris selama ini menunjukkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutam dalam peradilan tindak pidana korupsi memerlukan dukungan dan wewenang yang bersifat extra ordinary (luar biasa), profesional, dan dukungan biaya yang besar, serta tersedianya waktu untuk penyelidikan dan penyidikan yang cukup.8

Institusi pada tingkat pelaksanaan (aparat penegak hukum) yang diberi tugas dan tanggung jawab menanggulangi tindak pidana korupsi, memerlukan sarana berupa perangkat hukum yang memberikan landasan guna dapat melaksanakan tugas dan kewajiban secara efektif. Oleh karena itu, diperlukan istrumen yang luar biasa tersebut tidak bertentangan dengan atau menyimpang dengan pelbagai standar yang berlaku secara universal. Instrumen hukum yang luar biasa yang diadopsi ke dalam hukum

8

(20)

acara pidana, khususnya hukum acara dalam tindak pidana korupsi itu, antara lain, dapat berupa “pembalikan beban pembuktian”.9

Upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam memberantas korupsi dilakukan diantaranya dengan penyempurnaan Undang-undang tentang Pemberantasan Korupsi dan pembentukan lembaga pemberantasan korupsi baru guna mendukung penegakan hukum. Pemerintah telah membentuk Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentnag Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggantikan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1971. Dua tahun kemudian untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dikeluarkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 salah satunya disebabkan oleh adanya berbagai interpretasi atau penafsiran yang berkembang dimasyarakat khususnya mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan sebelum diundangkannya undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, karena Undang-undang ini menyebutkan bahwa sejak berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku lagi, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.10

9

Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah pengembangan hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 58.

10

(21)

Selain melakukan penyempurnaan Undang-undang tentang Pemberantsan Korupsi, pemerintah juga membentuk lembaga pemberantasan korupsi baru, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu alasan dibentuk nya lembaga ini adalah pemberantasan korupsi belum optimal dan lembaga pemerintah yang menangani perkara korupsi (Kejaksaan dan Kepolisian) belum berfungsinya secara efektif dan efisien dalam memberantas korupsi.11

Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio filosofis, sosio kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.12

Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena pada hakikatnya pembaharuan hukum yang dilakukan adalah bagian dari suatu langkah kebijakan (policy) yaitu bagian dari politik hukum atau penegakan hukum,

politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial. Setiap kebijakan (policy) pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula

berorientasi pada pendekatan nilai13.

11

Indonesia, undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.30, LN No.137 Tahun 2002, TLN 4250, bagian menimbag, huruf (a) dan (b).

12

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 hal. 31

13

(22)

Kebijakan pidana (penal policy), sebagaimana kebijakan publik umumnya, pada dasarnya harus merupakan kebijakan yang rasional. Kebijakan legislatif merupakan kebijakan dalam menetapkan merumuskan sesuatu di dalam peraturan perundang-undangan oleh karena itu sering juga kebijakan legislatif disebut sebagai istilah kebijakan formulatif14. Kebijakan formulasi merupakan tahap paling strategis dari keseluruhan proses operasionalisasi atau fungsionalisasi dan konkretisasi hukum pidana dalam rangka penanganan korupsi di Indonesia

Berpijak dari kenyataan tersebut penulis akan menggali, mengkaji, kemudian akan mengadakan penelitian untuk mendapatkan informasi , data dan kesimpulan mengenai Tindakan Penyidik / Polri dalam proses penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Hukum Polda Jateng, sehingga tesis saya beri judul : Penyidikan Polri terhadap Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Hukum Polda

Jateng “.

B. Perumusan Masalah

Mengingat peranan Polri dalam rangka penegakan hukum khususnya dibidang tindak pidana korupsi mempunyai banyak aspek yang terkait , maka dalam pembahasan ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Tindakan Penyidik / Polri dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi di Polda Jawa Tengah berdasarkan hukum Positif saat ini ?

14

(23)

2. Bagaimanakah Tindakan Penyidik / Polri dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi di Polda Jawa Tengah berdasarkan hukum ideal atau hukum masa depan ?.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada latar belakang penelitian ini maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana Tindakan Penyidik / Polri dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi di Polda Jawa Tengah berdasarkan hukum Positif saat ini .

2. Untuk mengetahui bagaimana Tindakan Penyidik / Polri dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi di Polda Jawa Tengah berdasarkan hukum ideal atau hukum masa depan

D. MANFAAT PENELITIAN

Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini dan tujuan yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

(24)

kebijakan kriminal dalam penanganan tindak pidana korupsi oleh penyidik POLRI/POLDA Jawa Tengah dalam perspektif Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pemikiran dan pertimbangan dalam penanganan tindak pidana korupsi dan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum (penyidik POLRI) dan pemerintah khususnya dalam penanganan tindak pidana korupsi.

E. Kerangka Teori

Permasalahan penegakan hukum , baik secara “ in abstracto “ maupun secara “ in Concreto “ merupakan masalah actual yang akhir-akhir ini disorot tajam oleh masyarakat hal tersebut tentunya tidak lepas dari kualitas Sumber Daya Manusia dibidang Penegakan Hukum terutama kualitas penegakan hukum secara materiil / substansial seperti terungkap dalam isu sentral di masyarakat, yakni :

1. Adanya perlindungan Hak Azazi Manusia ( HAM )

2. Tegaknya nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan kepercayaan antar sesama 3. Tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan / kewenangan .

4. Bersih dari praktik “favoritisme” ( pilih kasih), KKN dan mafia peradilan . 5. Terwujudnya kekuasaan kehakiman/penegakan hukum yang merdeka. 6. Adanya penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan berwibawa15.

15 Barda Namawi Arief , “ Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan

Kejahatan “ Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Cetakan Kedua Tahun 2006. hal . 19.

(25)

Banyak faktor yang mempengaruhi dan menentukan kualitas penegakan hukum, faktor-faktor tersebut adalah factor kualitas individual ( SDM ), kualitas institusional / struktur hukum ( termasuk mekanisme tata kerja dan manajemen ) , kualitas sarana dan prasarana, kualiatas perundang-undangan ( Substansi hokum ) dan kualitas kondisi lingkungan ( Sistem social, ekonomi, politik, budaya termasuk budaya hukum masyarakat ) .

Menurut Soerjono Sukanto, bahwa penegakan hukum merupakan suatu rangkaian proses yang terdiri dari pentahapan-pentahapan yaitu :

a Tahapan perumusan perbuatan - perbuatan yang dapat dipidana yang menjadi wewenang lembaga legislatife.

b. Tahapan penerapan / aplikatif yang menjadi wewenang lembaga yudikatif . c. Tahapan pelaksanaan/administratife yang menjadi wewenang lembaga ekskutif16. Penegakan hukum ini diartikan secara luas tidak hanya menerapkan hukum pidana tetapi dimaknai lebih dari sekedar penerapan hukum pidana positif, yakni tidak hanya mengatur perbuatan warga masayarakat pada umumnya namun juga mengatur kewenangan/kekuasaan aparat penegak hukum17.

Dengan demikian upaya peningkatan kualitas penegakan hukum harus mencakup keseluruhan faktor / kondisi / kausa yang mempengaruhinya karena kualitas sumber daya manusialah yang menjadi sumber utama dari proses penegakan hukum dan tentu pula berimplikasi terhadap efektifitas penegakan hukum termasuk

16 Nyoman Serikat Putra Jaya , “ Bahan Kuliah Sistim Peradilan Pidana “ Mahasiswa Program Magister Ilmu

Hukum. Universitas Diponegoro . hal . 8.

(26)

didalamnya tentang proses penyidikan tindak pidana korupsi oleh Polri di Wilayah Hukum Polda Jateng .

Berbicara mengenai Efektivitas berasal dari bahasa inggris : effectiveness.

Menurut Kamus Inggris-Indonesia, John Echols dan Hasan Sadily,18 bahwa kata

effectiveness bermakna “keefektipan, kemanjuran, kemujaraban”. Maka dari pengertian tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa efektifitas penanganan tindak pidana korupsi adalah sesuatu hal yang efektip/ manjur/ mujarab dalam hal penanganan tindak pidana korupsi.

Korupsi merupakan symbol dari pemerintahan yang tidak benar19, yang dicerminkan oleh prosedur berbelit-belit, unit pemungut pajak yang tidak efektif, korupsi besar-besaran dalam pengadaan barang dan jasa serta layanan masyarakat yang sangat buruk, tetapi bila pejabat pemerintah yang bertanggungjawab mengelola sumber daya milik masyarakat diwajibkan mempertanggungjawabkan tugasnya pada masyarakat luas , maka pengambilan keputusan dapat menjadi sendi bagi strategi pemerintah daerah untuk memperbaiki unit yang “sakit” dan meningkatkan kersejahteraan masyarakat20 .

Masalah korupsi ini tidak terlepas dari lingkungannya sehingga dapat membawa dampak yang besar bagi perkembangan masyarakat atau lembaga , baik lembaga swasta atau lembaga pemerintah, oleh karena itu perlu adanya usaha

18 John M.Echolis dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia ( An Inggris - Indonesia Dictionary ) Penerbit

PT. Gramedia Jakarta. 2005 .

19 Robert Klitgaard, Ronald Maclean Abaroe dan Lindsey Parris, “ Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam

Pemerintahan Daerah. Jakarta. Yayasan Obor. 2005. hal. 15

(27)

menanggulanginya .

Salah satu usaha penanggulangan korupsi adalah dengan menggunakan hukum pidana beserta saksinya . Penggunaan hukum pidana sebagai upaya untuk mengatasi masalah social ( korupsi ) termasuk kajian dalam penegakan hukum. Disamping itu karena tujuannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat pada umunya, maka kebijakan penegakan hukum inipun termasuk dalam

bidang kebijakan social21 . Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan korupsi

menggunakan hukum pidana merupakan masalah kebijakan (the problem of policy), karena system pidana itu merupakan bagian politik criminal 22 , yaitu: “suatu usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Ini mencakup kegiatan pembentukan undang-undang pidana. Aktifitas dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, disamping usaha-usaha yang tidak menggunakan hukum (hukum pidana).

Menurut Barda Nawawi Aruef istilah kebijakan yang diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat juga disebutkan dengan istilah “politik hukum pidana”, yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan istilah “penal policy”, “Criminal Law Policy”, atau “strafrechts politiek” 23.

21 Robert Klitgaard, Ronald Maclean Abaroe dan Lindsey Parris, Op. Cit. hal 13

22 Sudarto, “ Kapita Selecta Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1998 . hal. 73

(28)

Menurut Sudarto, “politik hukum pidana” dapat dilihat dari politik hukum maupun politik kriminal. Politik hukum adalah24:

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan - peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang dicita-citakan18.

Ini berarti bahwa hukum bertujuan untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakat, sekaligus juga mengandung tujuan untuk melindungi, memperbaiki, dan mendidik si pelaku kejahatan itu sendiri.

Perlu diketahui bahwa tidak semua pelaku tindak pidana yang terjadi di masyarakat bersentuhan dengan system peradilan pidana tak terkecuali tindak pidana korupsi . Hal ini disebabkan adanya bebarapa tindak pidana tidak dilaporkan atau diadukan, tidak semuanya diteruskan ke tingkat penyidikan sesuai dengan pasal 109 ayat (2) KUHAP 25 , disebabkan oleh :

a. Tidak terdapat cukup bukti atau

b. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana , atau c. Penyidikan dihentikan demi hukum

Tindak pidana yang ditingkatkan ke penyidikan , kemudian oleh Penyidik dilimpahkan ke Penuntut Umum , Tindak pidana yang dilimpahkan ke Penuntut Umum , tidak semuanya ditingkatkan ke penuntutan oleh Penuntut Umum, mengingat Penuntut Umum dapat berpendapat sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a. untuk

24 udarto, “ Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung. Alumni. 1983). hal. 20.

(29)

memutuskan menghentikan penuntutan dengan alasan sesuai dengan pasal 109 ayat (2) KUHAP disebabkan oleh :

a.Tidak terdapat cukup bukti atau

b.Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana , atau c.Penyidikan dihentikan demi hukum

Tindak pidana yang dilimpahkan ke Pengadilan oleh Penuntut Umum disertai permintaan untuk mengadilinya, oleh Pengadilan tidak semua dijatuhi pidana, mengingat dalam memeriksa perkara pidana terdapat beberapa kemungkinan antara lain :

b. Putusan bebas dari segala dakwaan ( Pasal 191 ayat (1) KUHAP,

c. Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan tindak pidana , sehingga diputus lepas dari segala tuntutan hokum d. ( Pasal 191 ayat (2) KUHAP.

e. Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana , maka dijatuhi pidana ( Pasal 193 ayat (1) KUHAP

Dalam UU. Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) sebagaimana telah diubah dengan UU. Nomor 20 Tahun 2001, memberikan batasan-batasan yang dapat dipahami dari bunyi teks pasal-pasal kemudian mengelompokkannya ke dalam beberapa rumusan delik. Jika dilihat dari kedua undang-undang di atas, dapat dikelompokkan sebagai berikut:26

1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2, Pasal 3 UU. Nomor 31 Tahun 1999);

2. Kelompok delik Penyuapan, baik secara aktif (yang menyuap) maupun yang secara pasif (yang menerima suap) (Pasal 5, 11, 12, 12 B, UU. Nomor 20 Tahun 2001) 3. Kelompok delik Penggelapan (Pasal 8, Pasal 10 UU. Nomor 20 Tahun 2001)

26

(30)

4. Kelompok delik Pemerasan (Pasal 12 e, dan f, UU. Nomor 20 Tahun 2001)

5. Kelompok delik yang berkaitan dengan Pemborongan, leveransir, dan rekanan (Pasal 7 UU. Nomor 20 Tahun 2001).

Dengan pengelompokkan delik-delik di atas, penting artinya bagi aparat penegak hukum. Dengan memahami hal tersebut diharapkan segala tindakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi akan terwujud, baik dalam bentuk pencegahan

(preventif) maupun tindakan represif. Pemberantasan korupsi tidak hanya memberikan efek jera (deterrence effect) bagi pelaku, tetapi juga dapat berfungsi sebgai daya tangkal (prevency effect).27

Semangat untuk memberantas korupsi terkean hanya menyalahkan sistem yang ada, tetapi kurang beroreientasi pada peningkatan dan pengawasan kinerja dan profesionalitas aparat penegak hukum. Sehingga, tidak jarang dalam prose pencegaha dan penindakan tindak pidana korupsi itu sendiri terhalang oleh perilaku para penegak hukum yang menyalahgunakan kewenangan (abuse of power).28 Semangat yang hanya berorientasi untuk perbaikan sistem hukum materil, dapat dilihat dari peraturan-peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi yang telah mengalami beberapa kali perubahan, berawal dengan keluarnya Peraturan Nomor PRT/PM 06/1957 Tentang Pemberantasan Korupsi dan PRT/PERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda dari Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Angkatan Darat, kemudian secara berturut-turut mengalami perubahan, Pertama, keluarnya PERPU Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak

27

Chaerudin, dkk, Op.Cit.,hal. 4. 28

(31)

Pidana Korupsi, yang kemudian menjadi UU. Nomor 1 Tahun 1961, kemudia kedua,

UU. Nomor 1 Tahun 1961 diubah dengan dengan UU. Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ketiga, Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan keempat UU. Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU. Nomor Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(32)

negara atau dalam hukum pidana dikenal dengan asas legalitas nullum crimen sine lege.29

Pelaku korupsi pada umumnya menyalahgunakan kekuasaan atau jabatannya untuk kepentingan pribadinya.Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime) mengingat pelaku korupsi yang mempunyai status sosial dan kedudukan yang terhormat. Istilah tersebut pertama kali diciptakan oleh Edwin H.Sutherland dalam suatu presidential addres didepan American Sociological Society

pada tahun 1939, yang menyatakan bahwa white collar crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang terhormat dan status sosial yang tinggi dalam kaitan dengan okupasinya (jabatannya).30

Dari uraian diatas, maka jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan kerena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan kedalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya31 Dengan demikian secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi adalah:

- Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk pribadi atau orang lain;

29

Chaerudin, dkk, Op.Cit., hal. 6. 30

Muladi, Op. Cit., hal.159. 31

(33)

- Busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).32

Sedangkan menurut Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi antara lain adalah :

- Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 UU no.20 tahun 2001);

- Perbuatan yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara (Pasal 3 UU No.20 Tahun 2001).

Menurut Pasal 1 angka 1 KUHAP, penyidik adalah pejabat polisi negara republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu yang dibebani wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan pada Pasal 1 angka 4 menyebutkan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

Jadi perbedaannya ialah penyidik terdiri dari polisi negara dan pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang, sedangkan penyelidik hanya terdiri dari polisi negara saja. Dalam Pasal 6 KUHAP ditentukan 2 (dua) wewenang penyidikan, yaitu :

- Kepolisian Negara Republik Indonesia;

(34)

- Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Khusus untuk Tindak Pidana Korupsi, institusi yang diberi wewenag untuk melakukan penyidikan adalah :

a. Kejaksaan (jaksa)

Sesuai dengan ketentuan Pasal 284 ayat ( 2) KUHAP dan Pasal 30 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.

b. Kepolisian Negara Republik Indonesia

Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 14 huruf (g) disebutkan bahwa :

“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya“

Dari ketentuan ini, kepolisian berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, karena Kepolisian Negara RI berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi.

c. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(35)

korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif empiris, focus penelitian yuridis normative empiris yaitu pada penerapan atau implementasi ketentuan hukum normative (in abstracto) pada peristiwa hukum tertentu (in concerto) dan hasilnya . Jadi yang diteliti adalah proses implementasi atau penerapan untuk mencapai tujuan dan tujuan sebagai hasil akhir . Ketentuan hukum normative yang menjadi tolok ukur terapan / implementasi dalam penelitian ini sudah dirumuskan lebih dahulu dalam kodifikasi , Undang-undang yakni Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang N. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .

Jenis penelitian yuridis normatife ini digunakan untuk meneliti azas-azas hukum karena permasalahan yang diteliti berkisar pada peraturan perundang-undangan yaitu hubungan peraturan satu dengan peraturan lainnya serta kaitannya dengan penerapan dalam praktek .

2. Spesifikasi Penelitian

(36)

instrumen-instrumen internasional mengenai tindak pidana korupsi, aparat penegak hukum dalam bekerjanya hukum itu sendiri dan disertai dengan analisis penulis terhadap peraturan dan penerapan peraturan tersebut.

Selain itu dalam penelitian ini dipergunakan pula pendekatan konseptual yang mengkaji pandangan para ahli yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas.

3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

a. Jenis bahan hukum

Dalam penelitian yuridis normatif, data utama adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Sumber data diperoleh dari kepustakaan dan dokumentasi.

1) Bahan hukum Primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini digali dan diperoleh dari sumber utama, yaitu Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 24 (Prp) Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(37)

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari sumber kedua yaitu hasil-hasil karya ilmiah para sarjana, hasil-hasil penelitian hukum.

3) Bahan hukum Tersier

Bahan hukum tersier dalam penelitian ini diperoleh dari sumber ketiga yaitu kamus hukum, majalah, surat kabar, Encyclopaedia dan Varia Peradilan.

b. Sumber bahan hukum

Bahan hukum dalam penelitian ini yaitu bahan hukum yang diperoleh melalui:

1) Studi Kepustakaan, hal dilakukan dengan mengadakan pemahaman terhadap undang-undang, literatur maupun karangan ilmiah, sebagai penunjang teori dalam penulisan serta pembahasan dalam hasil penelitian.

2) Studi Dokumenter, hal ini dilakukan dengan cara memahami berita-berita dan arsip-arsip mengenai tindak pidana korupsi.

4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menitikberatkan pada data sekunder, sedangkan data primer hanya sebagai penunjang.

1) Data sekunder, mencakup :

ƒ Bahan hukum primer terutama dari peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti, antara lain:

(38)

Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-udang No. 20 Tahun 2001 tentang Prubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

ƒ Bahan Hukum Sekunder meliputi :

Hasil-hasil karya ilmiah para sarjana, hasil-hasil penelitian.

ƒ Bahan hukum Tersier antara lain :

Kamus hukum, Majalah, Surat Kabar, Encyclopaedia dan Varia Peradilan. Data tersebut diperoleh dengan studi pustaka dan dokumentasi.

2) Data primer

Data primer dalam penelitian ini adalah data-data hasil wawancara (interview). Wawancara dilakukan untuk memperoleh data langsung dari narasumber tentang kasus tindak idana korupsi, yaitu aparat penegak hukum. Metode wawancara yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah wawancara yang terarah dan bertujuan untuk memperoleh data dan keterangan-keterangan.

5. Metode Analisis Data

(39)

internasional mengenai tindak pidana korupsi, namun juga menganalisis data yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas-asas dan informasi baru.

G. SISTEMATIKA PENYAJIAN

Penulisan direncanakan untuk ditulis dalam 4 Bab, yaitu : Bab I tentang Pendahuluan, Bab II menjabarkan tentang Tinjauan Pustaka yang menguraikan gambaran umum tentang Korupsi, kepolisian (sesuai UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang K epolisian Negara Republik Indonesia) serta Efektivitas Penanganan Tindak Pidana Korupsi oleh Penyidik POLRI dan kerangka konseptual yang digunakan dalam membahas permasalahan-permasalahan yang diketengahkan dalam perspektif pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Bab III dikemukakan uraian hasil penelitian dan pembahasan yang meliputi : (1) Bagaimanakah Tindakan Penyidik/POLRI dalam melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi oleh Penyidik Polda Jateng berdasarkan Hukum Positif saat ini ?. (2) Bagaimanakah Tindakan Penyidik/POLRI dalam melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi oleh Penyidik Polda Jateng berdasarkan Hukum ideal atau hukum masa depan ?.

(40)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN TINDAK PIDANA

Dalam hukum pidana kita mengenal beberapa rumusan pengertian tindak pidana atau istilah tindak pidana sebagai pengganti istilah "Strafbaar Feit". Sedangkan dalam perundang-undangan negara kita istilah tersebut disebutkan sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik. Melihat apa yang dimaksud diatas, maka pembentuk undang-undang sekarang sudah konsisten dalam pemakaian istilah tindak pidana. Akan tetapi para sarjana hukum pidana mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri. Adapun pendapat itu diketemukan oleh : Mulyatno, D. Simons, Van Hamel, WPJ. Pompe, JE. Jonker dan Soedarto yang dalam urainnya adalah sebagai berikut

1. Moelyatno

Perbuatan Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Unsur-unsur tindak pidana a. Perbuatan manusia

b. Memenuhi rumusan undang-undang c. Bersifat melawan hukum33

(41)

1. D. Simons

Strafbaar Feit adalah kelakuan (Hendeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.Unsur-unsur tindak pidana :

a. Unsur Obyektif : Perbuatan orang, Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu

b. Unsur Subyektif : Orang yang mampu bertanggung jawab, Adanya kesalahan (Dolus atau Culpa). Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau keadaan mana perbuatan itu dilakukan.34

2. Van Hamel

Strafbaar Feit adalah kelakuan (Menselijke Gedraging) orang yang dirumuskan dalam WET yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (Staff Waardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Unsur-unsur tindak pidana:

a. Perbuatan Manusia

b. Yang dirumuskan dalam Undang-Undang c. Dilakukan dengan kesalahan

d. Patut dipidana35

34 Ibid, halaman 56 35

(42)

3. W.P.J. Pompe

Pengertian Strafbaar Feit dibedakan antara definisi yang bersifat teoritis dan yang bersifat Undang-Undang. Menurut Teori : Strafbaar Feit adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Menurut Undang-Undang / Hukum Positif Strafbaar Feit adalah suatu kejadian (Feit) yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.36

4. J.E. Jonkers

Mengenai tindak pidana ada 2 (dua) pengertian yaitu dalam arti pendek dan arti panjang. Arti Pendek, Staafbaar Feit adalah suatu kejadian (Feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang-Undang. Arti Panjang, Strafbaar Feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan.37

5. VOS

Staafbaar Feit adalah suatu kelakukan manusia yang diancam pidana oleh peraturan Undang-Undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.38

Beliau menyebut Staafbaar Feit dengan istilah tindak pidana, dengan unsur-unsur sebagai berikut :

36

Bambang Purnomo, SH,Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, tahun 1985, Halaman 91 37 Ibid, halaman 92

(43)

a. Perbuatan yang memenuhi rumusan Undang-Undang. b. Bersifat melawan hukum.

c. Dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab dengan kesalahan (Sculd) baik dalam bentuk kesengajaan (Dolus) maupun kealpaan (Culpa) dan tidak ada alasan pemaaf.39

B. PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI

1. Pengertian Korupsi secara harfiah

Korupsi berasal dari bahasa latin:corruption = penyuapan;

corruptore = merusak, sedangkan dalam Ensiklopedi Indonesia disebut “korupsi” yaitu gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.40 Ada beberapa pengertian kata korupsi, diantaranya adalah, Kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.41 Pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan.42 Menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi43

39 Prof Soedarto, SH, Hukum Pidana I Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, tahun 1990, halaman 50 40 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 8.

41 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 7.

42 Ali Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, (Jakarta: LP3ES, 1987), hal vii.

(44)

Menurut Moch. Faisal Salam bahwa arti harafiah (letterlijk) dari korupsi adalah kebusukan, ketidak jujuran, dapat disuap dan penyimpangan dari bagaimana semestinya44. Dalam kamus bahasa Indonesia karangan Poerwodarminto, disebutkan: Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogol dan sebagainya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia45 dimuat pengertian korupsi sebagai berikut: “penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain”. Dalam The Lexicon Webster Dictionary, dimuat arti kata corrupt antara lain sebagai berikut:46 “corrupted; putried; infected or tainted; depraved or debated; dishonest or venal; influence by bribery; vitiated by errors or

alternation, as a text or worb

Baik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia maupun dalam The Lexicon Webster Dictionary, kurang jelas atau kurang lengkap menjelaskan arti kata “korupsi”. Memang, setiap korupsi mengandung unsure “penyelewangan atau dishonest (ketidakjujuran). Tetapi penyelewengan atau ketidakjujuran yang mana dapat dikatakan/ dikategorikan sebagai “korupsi”, tidak dijelaskan dalam kamus-kamus tersebut. Berdasarkan hal tersebut diperlukan pengertian korupsi sebagaimana dimuat dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999.

44

Moch. Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana KorupsiUntuk Mewujudkan Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2004), hal. 72.

45

Dep. P dan K, Kamus besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1989. 46

(45)

Pelaku korupsi pada umumnya menyalahgunakan kekuasaan atau jabatannya untuk kepentingan pribadinya. Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime) mengingat pelaku korupsi yang mempunyai status social dan kedudukan yang terhormat. Istilah tersebut pertama kali diciptakan oleh Edwin H. Sutherland dalam suatu

presidential addres di depan American Sociological Society pada tahun 1939, yang menyatakan bahwa white collar crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang terhormat dan status sosial yang tinggi dalam kaitan dengan okupasinya (jabatannya).47

Annual Report of the Attorney General pada tahun 1983, memberikan definisi “White Collar Crime” sebagai “… illegal acts that use deceit and concealment – rather than the application or threat of physical force or violence – to obtain money, property, service; to avoid the payment or loss of money; or to scour a business or professional advantage. White collar criminal occupy positions of responsibility and trust in government, industry, the profession and organizations”48

Dari uraian diatas, maka jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan jabatan yang busuk, jabatan dalam istansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam

jabatan karena pemberian, factor ekonomi dan politik, serta penempatan 47 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan system Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, 2002), hal. 159. 48

(46)

keluarga atau golongan kedalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya.49 Dengan demikian secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti:

a. penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk pribadi atau orang lain,

b. busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).50 Sedangkan menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi antara lain adalah:

c. perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (pasal 2 Undang-undang No. 31 Tahun 1999) d. perbuatan yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara (pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999). Selain kedua pengertian korupsi diatas, pengertian korupsi yang lain juga diatur dalam pasal-pasal lain dalam undang-undang tersebut.

49

Evi Hartanti, Op. cit., hal 9 50

(47)

2. Pengertian Korupsi Menurut Beberapa Pakar

Definisi korupsi sangat varitif. Namun, secara umum korupsi merupakan perbuatan yang sangat merugikan keuangan negara yang pada gilirannya mempunyai akibat mengganggu jalannya pembangunan nasional.51 Untuk menelaah lebih dalam pengertian korupsi dari berbagai pakar di bidangnya sebagai sumber, yaitu:

a. Robert Klitgaard

“Korupsi ada apabila seseorang secara tidak halal meletakkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan rakyat serta cita-cita, yang menurut sumpah akan dilayaninya. Korupsi dapat menyangkut janji, ancaman, atau keduanya, dapat dimulai oleh seorang pegawai negeri, abdi masyarakat atau pihak lain yang mempunyai kepentingan, dapat mencakup tindakan-tindakan penghilang jejak ataupun komisi, dapat melibatkan jasa yang halal maupun tidak halal, dan dapat terjadi di dalam atau di luar organisasi pemerintahan.”52

b. Carl J. Friedrich

“Pola korupsi ada apabila seorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pajabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang; membujuk

51

Tjipto Soeroso, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Komplikasi yang menyertainya, Masalah-Masalah Hukum No.4 (Semarang: FH. Undip), hal 4.

52

(48)

untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepantingan umum 53

c. Baharudin Loppa

Ia Mengemukakan bahwa pengertian umum tentang tindak pidana korupsi aalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan penyuapan, manipulasi, dan perbuatan-perbuatan lainnya sebagai perbuatan sifat melawan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keungan negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat.54

d. Syed Hussein Alatas

“Terjadi korupsi adalah apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi. Kadang-kedang juga berupa perbuatan menawarkan pemberian uang hadiah lain yang dapat menggoda pejabat. Termasuk dalam pengertian ini juga pemerasan yakni permintaan pemberian atau hadiah seperti itu dalam pelaksanaan tugas-tugas publik. Sesengguhnya istilah tersebut terkadang juga dikenakan pejabat-pejabat yang menggunakan dana

53

Carl J. Friederich, Political Pthologi, dalam Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal 10.

54

(49)

publik yang mereka urus bagi kepentingan mereka sendiri, dengan kata lain, mereka yang bersalah melakukan penggelapan di atas harga yang harus dibayar oleh publik. Fenomena lain yang bisa dipandang sebagai korupsi adalah pengangkatan sanak saudara, teman-teman, atau rekan-rekan politik pada jabatan publik tanpa memandang jasa mereka maupun koneksinya pada kesajahteraan publik yang selanjutnya disebut nepotisme.”55 Berdasarkan pandangan di atas dapat diketahui adanya empat jenis perbuatan dama istilah korupsi, yakni penyauapan (bribery), pemerasan (exortion), nepotisme dan penggelapan.56

Menurut Hussein empat tipe jenis korupsi dalam praktiknya meliputi cirri-ciri sebagai berikut:57

1) Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang; 2) Korupsi pada umumnya dilakukan penuh kerahasian

3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik;

4) Korupsi dengan berbagai macam akal berlindung di balik pembenaran hukum;

5) Mereka yang terlibat korupsi adalah yang menginginkan keputusan yang tegas dan mereka mampu mempengaruhi keputusan;

55

Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hal. 11. 56

Ibid, hal. 12. 57

(50)

6) Tindakan korupsi mengandung penipuan baik pada badan publik maupun masyarakat umum;

7) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan;

8) Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan itu;

9) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan peratanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.

3. Pengertian Tindak Pidana Korupsi menurut UU Korupsi yang Pernah

Berlaku di Indonesia

Untuk mengkaji lebih jauh mengenai masalah korupsi khususnya di Indonesia maka kita harus meninjau dari undang-undang pemberantasan korupsi yang pernah berlaku di Indonesia. Adapun sejarah undang-udang pemberantasan tindak pidana korupsi yang pernah beralaku di Indonesia adalah sebagai berikut: Menurut Pasal 1 Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan korupsi, yang dimaksud dengan korupsi adalah:

(51)

b. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kesewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan, langsung atau tidak langsung membawa keuntungan materiil baginya.

c. Kemudian pada tahun 1958, dikeluarkan peraturan yang melengkapi Peraturan Penguasa Militer yaitu peraturan No. Prt/PM/08/1957 yang berisi tentang pembentukan badan yang berwenang mewakili negara unutk menggugat secara predata orang-orang yang dituduh melakukan betu bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan ) Perbuatan Korupsi Lainnya) lewat Pengadilan Tingi Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta Benda. Sebagai pelaksana dari peraturan tersebut, pada proses gugatan perdata untuk bentuk-bentuk perbuatan korupsi lainnya dibutuhkan kewenangan pada PHB untuk melakukan pensitaan harta benda yang ianggap merupakan hasil perbuatan korupsi lainnya sambil menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi.58

d. Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/011/1957 Untuk memberikan dasar hukum bagi kewenangan Penguasa Militer dalam menyidik dan myita barang-barang hasil korupsi,

58

(52)

e. dikeluaranlah peraturan dengan suatu Peraturan Penguasa militer No. PRT/PM/011/1957.

4. Peraturan Penguasa Perang Pusat No. PRT/PEPERU/013/1958

Peraturan ini dikeluarkan ketika Regeling op den staat van Oorlog en van Beleg dicabut dan diganti oleh UU Keadaan Bahaya No. 74 Tahun 1957. Peraturan ini dikeluarkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat. Menurut peraturan ini yang dimaksud dengan perbuatan korupsi ialah: Perbuatan Korupsi pidana, terdiri dari :

a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.

b. Perbuatan seseorang, yang dengan sengaja atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

(53)

d. Perbuatan Korupsi lainnya, yang termasuk kategori perbuatan lainnya adalah:

1) Perbuatan seseorang yang dengan atau arena melakukan perbuatan melawan huku memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat;

2) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. (Perbuatan sub 2 korupsi lainnya ini budakn Tindak Pidana, tetapi dianggap prebuatan tercela, sanksi bukan pidan)

5. Peraturan Penguasa Perang Pusat No. PRT/Z.I/I/7/1958

(54)

baru dalam bentuknya berupa Peraturan Pemerintah pengganti No. 24 UU Tahun 1960 dan yang kemudian dengan UU No. 1 Tahun 1961 peraturan tersebut menjadi unang-undang. Menurut UU No.24/Prp/1960, tindak pidana korupsi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 yaitu:

a. Tindakan seorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.

b. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan lain dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

(55)

6. UU No. 3 Tahun 1971

Pola perumusan tindak pidana korupsi masih tetap menggunakan pola tertentu sejak masa Penguasa Militer sampai UU No. 3 Tahun 1971, yaitu dengan pola : Perumusan murni dari pembentuk undang-undang, terdiri dari: Merumuskan sendiri tindak pidana korupsi yang bersifat umum atau luas. Merumuskan tindak pidana korupsi yang merupakan penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan. Perumusan tindak pidana korupsi berupa penyebutan nomor pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan delik-delik jabatan. Menurut UU No. 3 Tahun 1971 yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi:

a. Pasal 1 ayat (1) butir a UU No. 3 Tahun 1971 Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugika keuangan negara atau perekonomian negara. b. Pasal 1 ayat (1) butir b UU No. 3 Tahun 1971 Barang siapa dengan

Referensi

Dokumen terkait

Informasi dan opini yang tercantum dalam Press Release ini tidak diverifikasi secara independen dan tidak ada satupun yang mewakili atau menjamin, baik dinyatakan secara jelas

(1) Gubernur dapat menetapkan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama di daerahnya sama atau lebih ketat dari ambang batas kendaraan bermotor lama sebagaimana

This problem isn’t simple, but on the Internet, it’s a problem we’ve largely solved —you don’t need different browsers for CNN and Facebook.. This kind of standardization is

Orang Dengan Hiv/ Aids (Odha) Menjadi Aktivis Hiv/ Aids (Studi kualitatif tentang makna stigma... ADLN Perpustakaan

Berdasarkan tabel di atas, hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen kegiatan praktik unit produksi pada aspek perencanaan praktik unit produksi di SMK kelompok Bisnis dan

Ciputat Raya No.32 Pondok Pinang Jakarta Selatan... 73

Pada metode ini bersamaan dengan cuplikan dipersiapkan unsur standar dengan jenis sama dengan unsur yang terkandung dalam cuplikan yang akan dianalisis dan

Terima kasih tak terhingga juga peneliti ucapkan kepada Allah SWyT dan Rasul-Nya karena telah karena telah memberikan kesempatan belajar dan terus belajar, hingga akhirnya