1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Konflik adalah sesuatu yang alamiah terjadi dalam kehidupan manusia (Mc
Collum, 2009: 14). Terjadinya konflik merupakan sebuah keniscayaan dalam
proses interaksi antar-individu, individu dengan kelompok maupun kelompok
dengan kelompok yang masing-masing disebabkan oleh perbedaan baik dalam
latar belakang interaksi, kemampuan berinteraksi, maupun tujuan berinteraksi.
Tidak terkecuali konflik juga terjadi pada masyarakat Indonesia yang mempunyai
latar belakang politik, etnis, suku, dan agama yang berbeda. Dari latar belakang
yang beragam ini, corak konflik yang terjadi di Indonesia juga beragam
diantaranya konflik yang terjadi karena permasalahan etnis seperti yang pernah
terjadi di Solo antara etnis Cina dengan Pribumi pada Mei 1998 (Copel. 2006:
73), karena permasalahan politik dalam bentuk separatisme yang pernah terjadi di
Papua dan Aceh (Braithwaite. 2010: 49-166; 343-428; Bertrand. 2004: 161)
karena permasalahan suku antara suku Dayak dengan suku Madura seperti yang
terjadi di Sampit Kalimantan Barat (Klinken. 2007: 55; Braithwaite: 291) dan
karena permasalahan agama antara agama Islam dan Kristen seperti yang terjadi
di Ambon (Klinken: 88).
Konflik mempunyai dua sifat yaitu destruktif (merusak) dan konstruktif
(membangun). Sean Mc Collum (2009: 18) mengutip pendapat Deutsch Morton
seorang ahli dalam resolusi konflik yang berpendapat bahwa ketika konflik
2
faktor. Arah konflik dipengaruhi oleh latar belakang yang ada di balik konflik
yang terjadi; apa yang sedang dipertaruhkan; nilai-nilai dan norma apa yang
terhubung pada jaringan tersebut. Hasil yang didapatkan dari sebuah konflik juga
dipengaruhi oleh sikap dan keterampilan dalam resolusi konflik dan pengalaman
oang-orang yang terlibat dalam konflik.
Dalam konteks kehidupan masyarakat di Indonesia terutama kondisi
menjelang reformasi sampai reformasi bergulir, tercatat oleh Bapenas dan PBB
dalam rentang tahun 1997 sampai tahun 2004 terjadi sebanyak 3600 peristiwa
konflik di seluruh Indonesia (Kapanlagi.com). Dari jumlah yang tergolong banyak
tersebut menurut penelitian Klinken, (2007: 138) selama antara tahun 1999-2004
konflik yang terjadi telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 19.000 orang
meninggal dunia. Banyaknya korban jiwa dalam peristiwa konflik tersebut
menandakan bahwa selama ini konflik yang terjadi di Indonesia berjalan ke arah
destruktif yaitu merusak.
Dalam konteks skala perbandingan sebelum reformasi (orde baru) sampai
masa reformasi Sukardi Rinakit dalam Maribeth (2005: 83) memaparkan bahwa
telah terjadi peningkatan intensitas konflik pada saat sebelum dan sesudah Suharto
lengser dengan sifat yang semakin regional dan menelan korban jiwa yang sangat
besar. Peningkatan ini menurut Sukardi dikarenakan proses reformasi yang diikuti
dengan otonomi daerah tidak dijalankan dengan hati-hati mengingat Indonesia
mempunyai latar belakang yang beragam baik etnis, agama, demografi, politik
dan kelas sosial yang sangat memungkinkan terjadi konflik horizontal. Data yang
3
Indonesia yang pada mulanya hanya terjadi maksimal 8 kali dalam setahun
dengan korban jiwa ratusan dan meningkat intensitasnya menjadi ratusan kali
konflik dengan jumlah korban jiwa yang mencapai ribuan. Berikut data konflik
dari tahun 1990 sampai tahun 2001.
Gambar 2.1: Angka Konflik di Indonesia antara 1990-2001 Sumber: Sukardi Rinakit (2005: 83)
Fenomena konflik yang cenderung meningkat di Indonesia dari masa sebelum
reformasi sampai terjadi reformasi menarik perhatian banyak peneliti untuk
mengkajinya. John Braithwaite (2010: 1) mempublikasikan hasil penelitiannya
tentang fenomena konflik di Indonesia dan sempat memberikan kesimpulan
bahwa kurun waktu antara tahun 1997-2004 di Indonesia secara teoritik
mengalami masa yang dalam bahasa Emile Durkheim adalah anomie yaitu sebuah
4
kurun itu telah terjadi kekacauan yang telah didukung oleh lembaga. Menurutnya
pihak keamanan di Indonesia mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi dan
bukannya mencegah terjadinya kekerasan pada semua pihak. Oleh karena itu
sangat wajar apabila kurun waktu tersebut disimpulkan sebagai kondisi anomi
bangsa Indonesia.
Intensitas konflik di Indonesia yang cenderung meningkat tidak terlepas dari
masa transisi pemerintahan yang pada waktu sebelumnya bersifat terpusat menjadi
desentralisasi. Proses desentralisasi ini juga dibarengi dengan proses politik yang
pada masa sebelumnya bersifat top down sekarang menjadi bottom up. Proses
perubahan politik praktis seperti pemilihan kepala daerah yang pada masa lalu di
pilih oleh pemerintah pusat, sekarang menjadi hak setiap warga negara untuk
memilihnya secara langsung. Proses politik inipun menjadi salah satu pemicu
terjadinya konflik yang sifatnya komunal dan regional. Sukardi Rinakit dalam
Maribeth (2005: 84) memaparkan bahwa selama kurun waktu antara tahun
1999-2001 terjadi peristiwa konflik di 18 daerah dan 16 diantaranya bersifat komunal
dan 2 lainnya bersifat separatis dengan jumlah korban jiwa sebesar 6.208. Pada
kenyatannya proses peralihan pemerintahan dari sentralisasi menuju desentralisasi
telah meminta korban jiwa yang tidak sedikit.
Proses politik pemilihan kepala daerah tingkat I dan II secara langsung
sebagai tindak lanjut desentralisasi di Indonesia juga menjadi salah satu potensi
terjadinya konflik. Terhitung sejak disahkannya Undang-undang Pemilihan
Kepala Daerah (selanjutnya disingkat Pilkada) pada tahun 2005 sampai 2010
5
menimbulkan kerusuhan (Tempointeraktif.com: 2010). Konflik pasca pilkada
yang belanjut pada kerusuhan ini terjadi di Maluku Utara, Bengkulu, Aceh
Tenggara, Sulawesi Barat dan Tuban. Dari kelima kasus tersebut penulis tertarik
untuk mengkaji adalah kasus konflik kekerasan pasca konflik pilkada yang terjadi
di Tuban Jawa Timur. Perbedaan kasus kerusuhan yang terjadi di Tuban diantara
kelima yang lainnya adalah: kasus ini terjadi di Kabupaten Tuban Jawa Timur
yang notabene terletak di Pulau Jawa dan berbeda secara geografis dengan
keempat kasus yang lainnya; kasus kerusuhan di Tuban berlangsung sangat hebat
dan singkat meskipun tidak sampai jatuh korban jiwa. Berdasarkan observasi
pendahuluan yang dilakukan penulis, konflik Tuban tahun 2006 telah
meluluhlantakkan gedung pemerintahan, hotel, rumah pribadi, gudang, pompa
bensin, kendaraan, dan yang lainnya; sisa-sisa kerusuhan berupa konflik laten
sampai sekarang masih terlihat.
Dalam konflik yang terjadi pasca pilkada di beberapa daerah biasanya tidak
berlanjut pada kerusuhan. Konflik akan berakhir seiring dengan adanya keputusan
dari Pemerintah tentang penyelesaian konflik tersebut. Konflik pasca pilkada yang
terjadi di Tuban tahun 2006 antara masyarakat pendukung Noor Nahar Husein-Go
Tjong Ping (selanjutnya disingkat Non-Stop) dengan pemerintah dalam hal ini
Bupati Tuban Haeny Relawati yang pada saat itu menjadi calon incumbent sampai
sekarang masih menyisakan konflik secara laten. Konflik laten tersebut dapat
dilihat dari masih berdiri sisa-sisa bangunan pendopo yang dibiarkan hangus tidak
diperbaiki oleh pihak pemerintah sampai sekarang, Kantor KPUD yang dirusak
6
tantangan kepada pemerintah di tembok-tembok; beredarnya kaos bernada
tantangan kepada Bupati; proses pembangunan oleh pemerintah yang timpang;
bahkan pengaturan jadual imam di Masjid jami’ Tuban pun tidak terlepas dari
konflik laten yang terjadi (wawancara: M). Beberapa karakteristik yang unik dari
kasus konflik kerusuhan di Kabupaten Tuban inilah yang menarik untuk di
jadikan sebuah kajian, terutama jika dikaitkan dengan pendidikan IPS yang
seharusnya mempunyai andil besar dalam rangka proses pemberian ketrampilan
resolusi konflik untuk menjadikan masyarakat menjadi warga negara yang baik.
Konflik kekerasan pasca Pilkada di Tuban Jawa Timur terjadi antara masa
pendukung Noor Nahar Husein-Go Tjong Ping dengan Pemerintah dalam hal ini
Bupati Tuban Haeny Relawati sebagai incumbent berawal dari pemungutan suara
yang dilaksanakan pada tanggal 28 April 2006. Masa pendukung Non-Stop
merasa pengumuman hasil Pilkada pada saat itu banyak sekali di warnai
kacurangan. Konsentrasi masa pendukung Non-Stop mulai terlihat sejak sore hari
pada waktu penghitungan suara di kantor KPUD Tuban hingga larut malam
(Radar Bojonegoro, 29 April 2006). Setelah penghitungan suara hasil pilkada
berakhir dan ternyata Non-Stop dinyatakan kalah, menimbulkan kekecewaan di
pihak pendukungnya. Akhirnya malam itu juga mereka terlihat melakukan
koordinasi untuk melakukan protes di KPUD keesokan harinya dengan
mengerahkan masa yang sangat banyak.
Pada tanggal 29 April pukul 09.00, sekitar 15 ribu sampai 30 ribu masa
pendukung Non-Stop mulai berkumpul di depan kantor KPUD dan melakukan
7
saudara RS, saudara R dan saudara YM. Orasi mereka antara lain mengiginkan
adanya tinjauan ulang terhadap hasil pilkada dengan membeberkan jumlah DPT
(Daftar Pemilih Tetap) dengan rekapitulasi hasil pilkada oleh KPUD. Aksi mereka
tidak mendapat respon sama sekali oleh para pimpinan KPUD dan akhirnya aksi
masa memaksa masuk ke kantor KPUD. Sempat terjadi aksi saling dorong antara
masa aksi dengan aparat kepolisian yang berjaga-jaga didepan kantor KPUD.
Akhirnya masa aksi dengan mempergunakan kendaraan truk tronton menabrak
barikade polisi dan berhasil menguasai kantor KPUD. Setelah kantor KPUD
mereka kuasai akhirnya mereka merusak dan membakarnya sampai luluh lantah
(Surya, 30 april 2006).
Karena merasa aksi mereka belum mendapatkan hasil, maka masa aksi
melanjutkan demonstrasinya di depan kantor Bupati dan Pemda di Alun-alun
Tuban. Seperti tuntutan sebelumnya, mereka meminta hasil pemilu di batalkan
dan menuntut Bupati untuk turun jabatan. Karena tidak mendapatkan respon
akhirnya masa aksi merangsek kedalam rumah dinas Bupati dan Pendopo
Kabupaten Tuban. Karena jumlah aparat keamanan tidak sebanding dengan
banyaknya masa aksi, akhirnya dengan tiada berdaya aparat keamanan
membiarkan pendopo krido manunggal, dan enam bangunan lainnya seperti
gedung Korpri, gedung PKK, guest house, gedung dharma pertiwi, gedung
organisasi wanita (GOW)(Jawa Pos, 30 April 2006). Masa dikomando oleh orator
sambil membakar semangat perlawanan terhadap Bupati meluapkan
kekecewaannya dengan melakukan pembakaran terhadap asset-aset pribadi bupati
8
Sekitar pukul 1 siang masa mulai menyebar menuju asset-aset bupati yang
lain yaitu rumah mewahnya yang berdiri diatas tanah seluas sekitar 10 hektar,
hotel mustika milik bupati, gudang 99 milik bupati, pompa bensin di jalan RE
Martadinata dan Jl. Manunggal, Rumah pribadi bupati di Jl. Agus Salim, Kantor
Golkar di Jl. Basuki Rahmat (Surya, 30 April 2006). Semua bangunan tersebut
dijarah dan di rusak. Bahkan rumah mewah, hotel dan gudang milik Bupati
sempat dibakar oleh masa. Aksi tidak hanya dilakukan pada asset-aset pribadi
bupati, akan tetapi merembet pada rumah-rumah para pimpinan KPUD
diantaranya rumah Sumitro Karmani dan rumah pendukung Bupati yang notanebe
para kontraktor. Siang itu Kota Tuban menjadi lautan api dan terjadi kepanikan
warga terutama para pendukung Bupati yang mendapatkan ancaman bahwa rumah
mereka akan dibakar. Terjadi eksodus di beberapa tempat untuk menyelamatkan
asset-aset berharga terutama oleh pihak-pihak yang selama ini mendukung bupati.
Pada awalnya aksi masa tidak dapat di kendalikan oleh aparat Polres maupun
Kodim Tuban karena jumlah antara aparat dengan masa aksi yang tidak
sebanding. Bahkan para aparat hanya bisa menonton sambil mengamankan
beberapa tempat yang masih dapat mereka amankan. Menjelang siang konsentrasi
masa mulai terpecah menuju asset-aset pribadi Bupati dan pada saat bersamaan
didatangkan bantuan dari polres Bojonegoro, Lamongan, Jombang dan Polda
Jatim (Radar Surabaya, 30 April 2006). Kondisi inilah yang memudahkan para
aparat untuk sedikit mengendalikan aksi masa. Sampai malam tiba, kondisi
Kabupaten Tuban masih sangat mencekam karena beredar isu aka nada aksi
9
ibarat kota mati karena diberlakukan jam malam untuk mengantisipasi gerakan
masa susulan.
Keesokan harinya beredar isu akan ada aksi masa balasan dari beberapa
sektor pendukung Bupati sebagai calon incumbent. Siang itu kondisi jalan-jalan
sepi dan aktifitas perekonomian kota Tuban lumpuh total. Masa pendukung
Non-stop maupun Heany masing-masing berjaga-jaga untuk mengamankan asset
mereka masing-masing. Beberapa orang menjadi DPO dan terus di buru oleh
pihak aparat yang sudah mendapatkan bala bantuan personil yang sangat banyak
(Memo, 1 Mei 2006). Beberapa orang yang dicurigai ikut terlibat dan menjadi
provokator satu persatu ditangkap dan membuat shock terapi tersendiri bagi
warga. Akhirnya kondisi mencekam ini dapat dikendalikan meskipun masih
menyisakan berbagai permasalahan yang sampai sekarang masih terlihat.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sebagian warga masyarakat Tuban
pendukung calon bupati Noor Nahar Husein terhadap lawan politiknya yaitu
Haeny Relawati tidak mencerminkan sebuah perilaku kaum terpelajar ataupun
agamawan. Apabila dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat kabupaten Tuban,
seharusnya perilaku kekerasan tersebut tidak mesti terjadi dengan tingginya
tingkat pendidikan yang ada di Kabupaten Tuban (BPPS Tuban: 2010).
Disamping itu, masyarakat Tuban yang religius dengan dibuktikan adanya makam
salah satu penyebar agama Islam Sunan Bonang di Tuban dan banyaknya pondok
pesantren yang berdiri di sana, menimbulkan pertanyaan besar, mengapa
masyarakat Tuban melakukan kekerasan? Apalagi kekerasan yang dilakukan
10
dalam waktu beberapa saat saja. Apakah kekerasan tersebut memang murni
kekerasan akibat pilkada atau merupakan akumulasi dari kekecewaan yang
terpendam dan terluapkan pada saat pilkada?
Dalam hal ini perilaku kekerasan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat
Tuban pada saat pilkada tahun 2006 dapat digolongkan sebagai perilaku
kolektif/collective behavior. Kekerasan yang terjadi saat itu merupakan tindakan
kolektif dan menimbulkan kerusakan yang cukup parah dalam tempo waktu yang
sangat singkat. Perlu adanya sebuah analisis tentang sebab-sebab terjadinya
kekerasan tersebut, apakah memang murni permasalahan pilkada ataukah terdapat
permasalahan lainnya yang menjadi pemicu. Untuk menganalisis sebab-sebab
munculnya perilaku kolektif masyarakat Tuban tersebut dan bagaimana langkah
resolusinya pada saat sekarang melalui nilai-nilai yang terkandung dalam
peristiwa tersebut dapat dipergunakan analisa model the circle of conflict yang
telah dipergunakan oleh Christopher Moore dalam CDR Associates (Furlong,
2005: 30).
Beberapa langkah resolusi/penyelesaian konflik telah dilakukan setelah
terjadi konflik 2006, baik secara formal ataupun informal antara masa pendukung
Non-Stop dengan Haeny Relawati dan pendukungnya. Langkah-langkah resolusi
yang telah dilaksanakan diantaranya adjudikasi (menghukum para pelaku yang
diduga melakukan pembakaran dan pengerusakan), mediasi antara pemerintah
dengan elit politik maupun masyarakat yang pernah berseberangan (Radar
Bojonegoro,16 Mei 2006). Semua usaha resolusi tersebut agaknya belum begitu
11
eks-terpidana yang sampai sekarang merasa bahwa dirinya tidak bersalah dan
menyalahkan pihak lain. Selain itu mediasi yang dilakukan oleh LSM ataupun
pihak-pihak independen sampai sekarang belum dapat menemukan kedua belah
pihak untuk bersama-sama melakukan perdamaian. Kegagalan dalam resolusi ini
apakah disebabkan tipologi kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat saat itu
memang unik dan bukan kekerasan sesaat tetapi sebuah akumulasi? Ataukah
proses resolusi konflik yang dilakukan masih kurang tepat sehingga memerlukan
sebuah pendekatan yang baru? Semua hal itu akan menjadi kajian dalam
penelitian ini.
Menurut peneliti diperlikan sebuah pendekatan baru dalam penyelesaian
konflik perlu untuk dilakukan di Indonesia khususnya di wilayah yang pernah
terjadi konflik seperti di Tuban Jawa Timur yaitu melalui pendidikan terutama
pendidikan sosial. National Curriculum for Social Studies atau disingkat NCSS
(1994: 149) sebagai salah satu lembaga yang menaungi pendidikan social/ social
studies di Amerika Serikat telah memasukkan resolusi konflik sebagai salah satu
keterampilan yang harus diajarkan dalam pembelajaran IPS di sekolah. Hal ini
tidak terlepas dari banyaknya fenomena konflik yang mengarah pada tindakan
destruktif dan mulai mendapatkan perhatian oleh para ahli yang konsen terhadap
konflik dan resolusi sebagai sebuah kajian yang baru pada tahun 1990 an
(Schlenberg, 1997: 7).
Menurut Hursh (2000: 65) mengutip pendapat Brameld sebagai seorang
pencetus filsafat pendidikan reconstructionism bahwa pendidikan diharapkan ikut
12
yang baru. Pendidikan tidak boleh jauh dari realita kehidupan social dan
diharuskan ikut bertanggung jawab terhadap berbagai permasalahan social.
Pendidikan harus mengawal semua transformasi social yang terjadi sehingga tidak
hanya menjadi tempat penggodokan kawah candradimuka saja.
Sekolah sangat penting sebagai tempat pendidikan resolusi konflik
sebagaimana Morton dan Susan (Frydenberg. 2005: 139) berpendapat bahwa
sekolah adalah pusat kehidupan social siswa. Perbedaan etnis, gender, usia,
kemewahan dan kemiskinan, ketrampilan menjadi lahan subur bagi konflik serta
kesempatan untuk pertumbuhan. Sekolah harus mengubah dalam cara dasar
mendidik anak-anak sehingga mereka bukan melawan satu dengan yang lainnya
akan tetapi mengembangkan kemampuan untuk mengatasi konflik secara
konstruktif daripada destruktif dan siap untuk melaksanakan kehidupan secara
damai. Hal ini berarti membangun di seluruh system sekolah, belajar bersama,
pelatihan dalam resolusi konflik, penggunaan tema kontroversi konstruktif dalam
mengajar mata pelajaran dan menciptakan resolusi pada pusat senketa. Pada saat
dewasa siswa akan bisa mengembangkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan
yang akan memungkinkan mereka untuk bekerjasama dengan orang lain dan
menyelesaikan konflik dalam kehidupan yang tidak terelakkan secara konstruktif.
Berkaitan dengan permasalahan konflik pilkada di kabupaten Tuban yang
telah terjadi pada tahun 2006 dan sampai sekarang masih terlihat sisa-sisa konflik
yang bersifat laten, diperlukan sebuah langkah resolusi yang dapat meredakan
konflik dan bahkan menghilangkan potensi-potensi yang sampai sekarang masih
13
berkaitan dengan nilai-nilai yang mendorong masyarakat melakukan konflik
kerusuhan tersebut. Dibutuhkan sebuah pengungkapan kronologis kejadian untuk
mendapatkan gambaran yang jelas tentang peristiwa konflik kekerasan pasca
pilkada tahun 2006 tersebut. Dengan pengungkapan kronologi tersebut maka akan
dapat dianalisa faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa tersebut.
Pada gilirannya dari peristiwa tersebut dapat diambil beberapa nilai-nilai
khususnya nilai-nilai pendidikan yang terkandung sehingga dapat diterapkan
dalam pembelajaran IPS untuk memberikan bekal keterampilan kepada peserta
didik khususnya di Kabupaten Tuban agar peristiwa serupa tidak terulang
kembali.
B. Rumusan masalah
Berangkat dari beberapa pemaparan pada awal tulisan ini, maka penulis dapat
memformulasikan beberapa permasalahan dalam bentuk pertanyaan penelitian
yang akan diteliti dan dibahas secara tuntas pada penelitian berikut ini:
1. Bagaimana Kronologi Konflik kerusuhan pasca pilkada di Tuban tahun
2006?
2. Apa yang menjadi latar belakang penyebab konflik kerusuhan pasca
pemilihan kepala daerah langsung 2006 di Kabupaten Tuban Jawa Timur?
3. Nilai-nilai apa saja yang dapat diambil dari konflik kerusuhan pasca
pilkada tersebut sehingga dapat dipergunakan dalam pendidikan sebagai
langkah resolusi?
4. Bagaimana resolusi konflik pilkada Tuban tahun 2006 melalui pendidikan
14 C. Klarifikasi Konsep
Klarifikasi konsep dimaksudkan untuk memberikan batasan konseptual pada
kajian yang akan dilakukan oleh peneliti. Klarifikasi ini berupa pengertian yang
diberikan untuk menyatukan persepsi agar tidak terjadi mis-konsepsi dalam
penelitian ini. Berikut ini klasifikasi konsep-konsep utama maupun konsep
pendukung yang akan dikaji diantaranya:
1. Konflik
Konflik di terjemahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 799)
sebagai sebuah percekcokan; perselisihan dan pertentangan. Dalam konteks
konflik kekerasan pasca pilkada tahun 2006 di Tuban Jawa Timur, konflik
tersebut dapat dilihat dengan teori proses social sebagai hasil interaksi social
antara individu atau kelompok dan berusaha untuk membuat generalisasi tentang
sisfat dari proses tersebut (James A Sclenberg, 1996: 13). Konflik pasca pilkada
tahun 2006 di Tuban adalah hasil dari interaksi antara pendukung calon bupati
Noor Nahar Husein-Go Tjong Ping dengan pendukung pasangan Haeny
Relawati-Lilik Suhardjono yang bersinggungan dalam konteks pilkada pada tanggal 28
April tahun 2006. Konflik kekerasan ini terjadi secara komunal sebagai perilaku
kolektif antara pendukung calon bupati Noor Nahar Husein-Go Tjong ping
dengan Haeny Relawati-Lilik Suhardjono. Komponen penting dalam konflik
Tuban antara lain aktor Pemerintah (bupati sebagai incumbent dalam Pilkada) dan
pendukungnya dengan pihak Noor Nahar- Go Tjong Ping sebagai representasi
15
adalah pemasalahan hasil Pilkada 2006 dan tindakan yang dilakukan adalah
pengerusakan beberapa asset pribadi dan negara.
2. Resolusi Konflik
James A Sclenberg (1996: 9) memaparkan bahwa resolusi konflik merupakan
isu sentral dalam bidang kajian konflik yang berarti setiap usaha untuk
mengurangi/menyelesaikan konflik social. Usaha ini dapat dilakukan dengan
tindakan penyadaran pada peraturan, perubahan lingkungan, pengaruh pihak
ketiga, dan kemenangan pada salah satu pihak. Dalam konteks resolusi konflik
kasus kekerasan pasca pilkada di Tuban Jawa Timur, resolusi konflik di artikan
sebagai setiap usaha untuk mengurangi/menyelesaikan konflik dengan perubahan
lingkungan. Perubahan lingkungan yang dimaksud adalah dengan melihat latar
belakang konflik dan memberikan pendidikan resolusi konflik kepada siswa
sebagai langkah perubahan lingkungan yang sebelumnya menimbulkan konflik.
Materi pembelajarannya didapatkan dari nilai-nilai yang didapatkan dari kejadian
konflik tersebut.
3. Pemilihan Kepala Daerah Langsung
Pemilihan Kepala Daerah Langsung adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat di wilyah propinsi, Kabupaten dan atau Kotamadya berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Landasan
praktis pemilihan kepala daerah langsung adalah PP No. 6 tahun 2005 tentang
pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil
kepala daerah. Dalam konteks penelitian yang saya lakukan adalah pemilihan
16
dilaksanakan untuk pertama kali dan di ikuti oleh dua kontestan yaitu pasangan
calon Noor Nahar Husein-Go Tjong Ping dengan pasangan Haeny Relawati-Lilik
Suhardjono.
4. Pendidikan IPS
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 353) pendidikan berarti
perbuatan memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak
dan kecerdasan pikiran. Sedangkan IPS atau social studies menurut menurut
National Council for the Social Studies (NCSS) (1994: 3)
social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as
anthropology, archaeology, economics, geography, history, law,
philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned dicisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world.
Artinya: ilmu-ilmu sosial adalah studi terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial dan
humaniora untuk memperkenalkan kompetensi sipil. Dalam program sekolah,
studi sosial diberikan dalam bentuk interdisipliner, studi sistematis
menggambarkan pada disiplin ilmu seperti antropologi, arkeologi, ekonomi,
geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama, dan sosiologi,
serta konten yang sesuai dari humaniora, matematika, dan ilmu alam. Tujuan
utama penelitian sosial adalah untuk membantu kaum muda mengembangkan
kemampuan untuk membuat kebijakan informasi dan dasar yang baik sebagai
warga masyarakat, untuk keragaman budaya dan demokrasi di dunia yang saling
17
adalah pembelajaran ilmu social yang dilakukan pada jenjang SMA/ MA
khususnya pendidikan Sejarah. Materi pembelajaran yang diberikan adalah
integrasi dari nilai-nilai yang didapat dari peristiwa konflik kerusuhan pasca
pilkada tahun 2006 di Kabupaten Tuban. Ketrampilan social yang dikembangkan
dalam pembelajaran IPS ini adalah ketrampilan berpartisipasi dalam bernegosiasi,
kompromi, berargumen dalam resolusi konflik dan perbedaan.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan peneliatian ini adalah untuk mendeskripsikan:
1. Mengetahui kronologi peristiwa konflik kerusuhan pasca pilkada tahun
2006 di Tuban
2. Mengetahui penyebab konflik kerusuhan pasca pilkada tahun 2006 di
Tuban
3. Mengambil nilai-nilai dari peristiwa konflik tersebut untuk dijadikan
bahan pembelajaran dalam pendidikan IPS sebagai langkah resolusi.
4. Membuat sebuah kerangka pembelajaran IPS (sejarah) nilai-nilai dari
peristiwa konflik tersebut.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:
1. Secara teoritis, dalam kajian ilmiah menambah khazanah penelitian IPS
terutama tentang proses resolusi yang merupakan salah satu modal
18
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
terhadap penyelesaian konflik pasca pemilihan kepala daerah langsung
tahun 2006 di kabupaten Tuban Jawa Timur melalui pendidikan IPS
3. Bagi para praktisi pendidikan, pendidikan sejarah berbasis resolusi
konflik dapat dipergunakan sebagai pendekatan dalam pembelajaran.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini mempergunakan pendekatan kualitatif yaitu sebuah konsep
besar yang meliputi beberapa bentuk penyelidikan yang membantu kita
memahami dan menjelaskan makna fenomena sosial yang alami dengan tanpa
dilakukan sebuah perlakuan. Menurut Sharan (1998: 5) ada beberapa istilah yang
sering dipergunakan dalam pendekatan ini secara bergantian yaitu naturalistic
inquiry, field study, participant observation, inductive research, case study, dan
ethnography. Menurut Creswell dalam bukunya Educational Research penelitian
kualitatif adalah jenis penelitian dimana peneliti sangat tergantung terhadap
informasi dari objek/partisipan pada: ruang lingkup yang luas, pertanyaan yang
bersifat umum, pengumpulan data yang sebagian besar terdiri atas kata-kata/teks
dari partisipan, menjelaskan dan melakukan analisa terhadap kata-kata dan
melakukan penelitian secara subyektif (Creswell, 2008: 46). Menurut Gay (2006:
399) penelitian kualitatif adalah pengumpulan, analisis, dan interpretasi narasi
secara komprehensif pada data visual untuk mendapatkan wawasan terhadap
fenomena tertentu yang menarik.
Alasan dipergunakannya metode ini berkaitan dengan obyek yang akan
19
Strauss dalam bukunya Basics of Qualitative Research bahwa penelitian social
harus menggunakan pendekatan kulitatif . Menurut Anselm (1998: 9-10) hal ini
dilakukan dengan alasan:
peneliti harus turun kelapangan untuk menemukan apa yang sebenarnya terjadi, (b) relevansi teori didasarkan pada data untuk pengembangan disiplin dan untuk aksi social, (c) kompleksitas fenomena dan tindakan manusia, (d) keyakinan bahwa manusia adalah actor yang mengambil peran aktif dalam merespon suatu situasi problematic, (e) keasadaran bahwa manusia bertindak atas dasar makna, (f) pengertian bahwa makna didefinisikan dan definisikan ulang melalui interaksi, (g) suatu kepekaan terhadap alam akan mengungkap suatu peristiwa, (h) suatu kesadaran akan keterkaitan antara kondisi (struktur), tindakan (proses) dan konsekuensi.
Berdasarkan beberapa alasan diatas, peneliti mempergunakan pendekatan
kualitataif dalam meneliti konflik kerusuhan pasca pilkada di Kabupaten Tuban
tahun 2006. Adapun strategi yang penulis lakukan adalah dalam bentuk case study
(studi kasus) dimana menekankan pada sebuah peristiwa, oleh sekelompok