• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. memproduksi sel darah. Karena peranannya ini, kerusakan tulang dapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. memproduksi sel darah. Karena peranannya ini, kerusakan tulang dapat"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tulang memiliki peranan yang penting dalam tubuh manusia. Fungsi tulang antara lain sebagai pembentuk kerangka tubuh, tempat menempelnya otot dan jaringan, penyimpan mineral, pelindung organ, serta tempat untuk memproduksi sel darah. Karena peranannya ini, kerusakan tulang dapat mengganggu aktivitas manusia. Kerusakan tulang dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kecelakaan maupun penyakit. Menurut data dari WHO, kerusakan tulang akibat tumor mencapai 8-11 kasus per 1.000.000 penduduk tiap tahunnya.

Terapi yang telah berkembang untuk penyembuhan kerusakan tulang adalah teknik bone graft atau transplantasi tulang. Bone graft ada beberapa jenis berdasarkan asal pendonornya, antara lain autograft, allograft, xenograft, dan alloplast (Kumar, dkk., 2013). Autograft adalah cangkok yang berasal dari jaringan tubuh pasien sendiri, biasanya diambil dari tulang rusuk dan tulang panggul. Allograft adalah cangkok yang berasal dari jaringan individu lain tetapi masih dalam spesies yang sama. Xenograft adalah cangkok yang berasal dari jaringan spesies yang berbeda. Sedangkan alloplast adalah cangkok yang bahannya berasal dari bahan sintetis. Teknik regenerasi tulang tersebut memiliki banyak kekurangan antara lain adanya keterbatasan jaringan pengganti, penolakan imun tubuh, kemungkinan terjadinya

(2)

2 penularan penyakit, serta membutuhkan area operasi sekunder yang jumlahnya terbatas (Burg, dkk., 2000). Selain itu metode ini sangat mahal dan melibatkan operasi yang kompleks. Salah satu alternatif untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan dikembangkannya tissue engineering.

Salah satu aplikasi penggunaan tissue engineering ini adalah dengan sintesis scaffold. Scaffold berfungsi sebagai pendukung struktural sel dan sebagai matriks selama proses perkembangan dan regenerasi sel tulang, sedangkan scaffold akan terdegradasi dan diserap oleh tubuh (O’Brein, 2011). Scaffold terdiri dari dua jenis, yaitu scaffold 2 dimensi (2D) dan 3 dimensi (3D) seperti pada Gambar 1. Pada scaffold 2D, sel akan tumbuh menjadi sistem monolayer yang memungkinkan semua sel menerima nutrisi. Sedangkan ketika sel tumbuh dalam scaffold 3D, sel-sel akan membentuk agregat dalam matriks. Scaffold 3D ini lebih cocok digunakan sebagai aplikasi untuk tulang, karena morfologi sel-sel akan mirip dengan bentuk alami tubuh (Endmondson, dkk., 2014). Oleh karena itu, pada penelitian ini akan disintesis scaffold 3D.

Gambar 1. Scaffold 2D monolayer cell culture (A), 3D cell culture system (B) (C) (Edmondson, dkk., 2014)

(3)

3 Scaffold dapat dibuat dari biomaterial, seperti polimer dan keramik. Salah satu polisakarida yang jumlahnya cukup melimpah di Indonesia adalah kitin yang dapat disintesis dari cangkang crustacea seperti udang dan kepiting. Deasetilasi parsial kitin (1,4-linked 2-acetamido-2-deoxy- β-D-glucan) akan menghasilkan produk kitosan. Penelitian tentang aplikasi kitosan sebagai bahan untuk biomaterial telah banyak dilakukan, salah satunya adalah kitosan sebagai bahan pembuatan scaffold (Rinaudo, 2006). Kelebihan kitosan dalam aplikasinya di bidang biomaterial adalah sifatnya yang biodegradable, biocompatible, dan tidak beracun. Kitosan dapat digunakan secara efektif sebagai bahan baku pembuatan scaffold, namun sifat mekanik scaffold dari kitosan ini kurang baik (Levengood dan Zhang, 2014). Scaffold kitosan dapat kehilangan sekitar 28% massanya dalam waktu 8 minggu (Depan, dkk., 2013). Kecepatan degradasi ini dipengaruhi oleh kemampuan swelling dari scaffold, dimana swelling scaffold kitosan murni sulit untuk dikontrol sehingga degradasinya cenderung cepat dan sulit dikontrol (She, dkk., 2008). Selain itu, scaffold kitosan murni juga memiliki kekuatan mekanik yang rendah dengan nilai Modulus Young sekitar 0,011 MPa (Madihally dan Matthew, 1999). Oleh karena itu, diperlukan modifikasi scaffold agar karakteristik scaffold meningkat dan kecepatan degradasi menjadi lebih lambat.

Berdasarkan hasil dari penelitian Levengood dan Zhang (2014), scaffold kitosan dapat dimodifikasi dengan penambahan polianion seperti alginat untuk meningkatkan kekuatan mekaniknya. Alginat adalah polimer

(4)

4 anionik yang diproduksi dari alga cokelat (phaeophyceae) dan bakteria. Di Indonesia banyak terdapat jenis alga coklat yang potensial, salah satunya adalah Padina australis. Alga ini dapat ditemukan pada karang-karang di perairan Pulau Kakaban, Pulau Samama, Pulau Derawan, Pulau Panjang, teluk Kotania, dan provinsi Maluku. Alginat dipilih karena sifatnya yang tidak beracun, biodegradable, biocompatible, ketersediaannya cukup melimpah, dan murah (Sowjanya, dkk., 2013). Alginat memiliki gugus fungsional – COOH yang dapat berinteraksi dengan gugus –NH2 dari kitosan. Komposit

kitosan/alginat akan menghasilkan kompleks poliion yang dapat meningkatkan sifat mekanik scaffold dan membentuk ikatan yang stabil dengan kitosan (Ramay, dkk., 2005). Untuk meningkatkan sifat mekanik scaffold dari polimer kitosan/alginat, dapat ditambahkan bahan lain seperti silika.

Pada penelitian ini akan digunakan silika yang berasal dari geothermal sludge yang jumlahnya cukup melimpah. Indonesia diperkirakan memiliki 40% potensi panas bumi dunia, yaitu sekitar 28 GW (pabum.ebtke.esdm.go.id). Namun yang sudah dimanfaatkan oleh PLTP hanya sebesar 1.343 MW. Salah satu masalah utama dari PLTP ini adalah silica scaling. Silica scalling akan mengakibatkan pengurangan diameter pipa, sehingga laju alir di dalam pipa terhambat. Dalam penelitian ini, silika diperoleh dari geothermal sludge PT. Geo Dipa Energi Dieng. Geothermal sludge mengandung silika yang bersifat amorf sekitar 50% sehingga perlu dimurnikan terlebih dahulu dengan metode sol-gel. Silika merupakan material

(5)

5 keramik yang bersifat kaku dan brittle, namun dapat menahan beban kompresi. Penggunaan silika sebagai material pembuatan komposit sudah cukup banyak diteliti. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Kavya, dkk., (2013), dimana penambahan silika dapat meningkatkan sifat mekanik komposit. Diharapkan penambahan silika dalam biokomposit kitosan/alginat dapat meningkatkan kekuatan mekanik scaffold, mengontrol kemampuan swelling, membentuk interconnected pore, serta mengontrol kemampuan degradasi scaffold. Interconnected pore ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan cell infiltration dan transfer nutrisi ke dalam scaffold yang diperlukan untuk pertumbuhan sel tulang.

Scaffold kitosan/alginat/silika yang telah terbentuk akan ditambahkan crosslinker untuk mengetahui efeknya terhadap kemampuan swelling dan kecepatan degradasi scaffold. Crosslinker yang akan digunakan pada penelitian ini adalah CaCl2 yang telah banyak digunakan sebagai crosslinker

alginat (Sun dan Tan, 2013). CaCl2 memiliki sifat biocompatible, murah, dan

dapat membentuk gel secara spontan. Secara fisiologis, kalsium dapat berikatan dengan proteoglikan untuk mempertahankan struktur dan fungsi jaringan (Wan, dkk., 2008). Oleh karena itu, ion kalsium ini memiliki fungsi yang penting selama perkembangan sel tulang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wan, dkk. (2008), penambahan crosslinker akan menurunkan kemampuan swelling scaffold. Kemampuan swelling ini akan memberikan dampak pada kecepatan degradasi scaffold. Scaffold akan mulai terdegradasi setelah mengalami swelling maksimum. Swelling maksimum ini akan terjadi

(6)

6 saat ion-ion Ca2+ terputus ikatannya dengan alginat kemudian ion Ca2+ berdifusi ke medium (Bajpai dan Sharma, 2004). Oleh karena itu, penambahan crosslinker akan menurunkan kecepatan degradasi scaffold karena kemampuan swelling akan menurun dengan penambahan crosslinker itu sendiri.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah penambahan silika geotermal dan crosslinker mampu meningkatkan sifat mekanik dan mengontrol kecepatan degradasi scaffold?

2. Bagaimana model kecepatan degradasi yang sesuai untuk degradasi scaffold?

1.3. Keaslian Penelitian

Penelitian pendahuluan mengenai pembuatan biokomposit scaffold menggunakan silika geotermal telah dilakukan oleh Najmina (2016). Najmina mempelajari kekuatan mekanik dan kemampuan swelling scaffold dengan komposisi kitosan : alginat : silika adalah 1:1:1, 2:1:1, dan 1:2:1 namun dengan total massa yang berbeda. Selain itu, pembuatan biokomposit scaffold dari bahan baku kitosan/alginat/nano-silika sudah pernah dilakukan oleh Sowjanya, dkk. (2013). Sowjanya, dkk. membandingkan morfologi, kuat mekanik, kemampuan swelling, serta cell viability scaffold tanpa silika dan scaffold dengan penambahan silika pada rasio 1:1:1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan nano-silika dapat meningkatkan

(7)

7 interconnected pore serta menurunkan kemampuan swelling scaffold. Penelitian lain yang mempelajari pengaruh penambahan nano-silika terhadap karakteristik biokomposit scaffold dilakukan oleh Kavya, dkk., (2013). Dalam penelitiannya ini, dipelajari karakteristik biokomposit scaffold kitosan/gelatin/silika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan nano-silika akan meningkatkan kuat mekanik scaffold.

Pada penelitian ini akan dibandingkan pengaruh komposisi penambahan silika dengan total konsentrasi tetap untuk berbagai rasio komposisi, serta pengaruh penggunaan bahan baku lokal dan bahan komersial yang diproduksi oleh Sigma Aldrich terhadap morfologi, kuat mekanik, dan kemampuan swelling scaffold yang dihasilkan. Selain itu pada penelitian ini akan dicari model kecepatan degradasi scaffold dari kitosan/alginat/silika geotermal yang belum pernah diteliti sebelumnya.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, yaitu:

1. Dapat menentukan komposisi optimum dan mempelajari pengaruh penambahan silika geotermal terhadap karakteristik maupun kecepatan degradasi scaffold.

2. Mempelajari pengaruh penambahan crosslinker CaCl2 terhadap

karakteristik dan kecepatan degradasi scaffold.

1.5. Manfaat Penelitian

(8)

8 1. Memberikan nilai tambah pemanfaatan bahan baku lokal untuk biomaterial dengan pengembangan kitosan, alginat, dan silika geotermal sebagai bahan pembuatan scaffold.

2. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, diharapkan dapat memberikan informasi tentang karakteristik biokomposit scaffold dengan penambahan silika geotermal.

Gambar

Gambar 1. Scaffold 2D monolayer cell culture (A), 3D cell culture system  (B) (C) (Edmondson, dkk., 2014)

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, peneliti menawarkan sebuah solusi yakni dengan menggunkan model pembelajaran PRP (practice rehearsal pairs) sebagai upaya untuk

+kode_ikan: string +nama_ikan: string +harga_dasar: string +harga_jual: string +stok: int +hitung_harga_jual(): void +ubah(): void +tambah(): void +simpan():

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Yuliyani, Handayani, & Somawati (2017) yang menyatakan bahwa kemampuan representasi siswa berkemampuan tinggi

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah penelitian deskriptif, dengan teknik Cluster Random Sampling.Adapun hasil penelitian ini yaitu: (a) faktor internal yang

Jenis penelitian ini adalah telaah kepustakaan ( library research ) dengan menelaah data-data dari buku, jurnal, majalah dan lain sebagainya yang berkaitan dengan

apa ya… suatu penyakit kulit yang disebabkan oleh beberapa faktor dan merupakan hal yang mengganggu sih mbak menurut saya.” P: “Faktornya itu menurut mbak apa saja mbak?”

Dilihat dari sisi akademis, guru yang merangkap sebagai pegawai akan terbantu dengan sistem informasi manajemen sekolah, sehingga kesempatan untuk mengajar akan lebih

NOTIS: Pemilihan sarung tangan spesifik untuk aplikasi khas dan tempoh penggunaan di tempat kerja perlu mengambil kira semua faktor relevan tempat kerja seperti, tetapi tidak terhad