• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 29

PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Perlindungan dan kesejahteraan sosial diperlukan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk meningkatkan kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan sosial dengan menangani masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial dan korban bencana alam serta memberi perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar melalui pengembangan dan perbaikan sistem jaminan sosial.

I. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Permasalahan sosial yang banyak berkembang di dalam masyarakat, memerlukan perhatian untuk diatasi dengan segera. Permasalahan ini diantaranya adalah kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, ketunaan sosial, kerawanan sosial ekonomi, penyimpangan perilaku, keterpencilan, eksploitasi dan diskriminasi, serta kerentanan sosial warga masyarakat, yang semua ini berpotensi menimbulkan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Demikian halnya, bencana alam dan sosial juga harus mendapat perhatian, karena

(2)

banyaknya korban bencana yang kejadiannya sulit diperkirakan secara cepat dan tepat.

Masalah kemiskinan di Indonesia terlihat dengan populasi penduduk miskin sebanyak 36,1 juta jiwa dan penduduk fakir miskin sebanyak 14,8 juta jiwa. Kemiskinan di Indonesia sebagian besar termasuk ke dalam kategori kemiskinan kronis (chronic poverty) yang terjadi terus menerus, membutuhkan penanganan serius, terpadu secara lintas sektor, dan berkelanjutan. Selain itu, terdapat sejumlah penduduk miskin yang tergolong ke dalam kemiskinan sementara (transient poverty) yang diindikasikan dengan menurunnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat secara sementara disebabkan oleh perubahan kondisi perekonomian, bencana alam dan bencana sosial.

Masalah keterlantaran banyak dialami oleh bayi, anak-anak dan lanjut usia. Berdasarkan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial, pada tahun 2004 terungkap bahwa jumlah anak terlantar di Indonesia sekitar 3,3 juta anak atau sekitar 5,4 persen dari jumlah anak-anak. Jumlah anak rawan terlantar tercatat 10,3 juta atau 17,6 persen dari jumlah seluruh anak (58,7 juta) di Indonesia. Fenomena lain dari anak terlantar adalah munculnya anak jalanan yang saat ini diperkirakan jumlahnya lebih dari 50 ribu anak, balita terlantar, anak yang mengalami kecacatan, dan meningkatnya populasi anak yang menghadapi perlakuan salah yaitu anak-anak yang menjadi korban kekerasan, diperjualbelikan atau dieksploitasi dan terpaksa bekerja ditempat-tempat yang memiliki resiko tinggi. Jumlah lanjut usia pada tahun 2005 meningkat menjadi 19,9 juta jiwa atau 8,5 persen dari jumlah penduduk, dibandingkan dengan 15,3 juta jiwa pada tahun 2000. Jumlah lanjut usia terlantar, berdasarkan data Pusdatin Kesejahteraan Sosial Tahun 2004, adalah 3.092.910 jiwa.

Menurut Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, penyandang cacat diklasifikasikan dalam tiga jenis kecacatan yaitu cacat fisik, cacat mental, serta cacat fisik dan mental (cacat ganda). Kecacatan menyebabkan seseorang mengalami keterbatasan atau gangguan yang mempengaruhi keleluasaan aktivitas fisik, kepercayaan dan harga diri, hubungan antar manusia maupun dengan lingkungannya. Masalah kecacatan juga dirasakan semakin

(3)

berat jika terkait dengan masalah sosial lainnya seperti kemiskinan. Kondisi seperti ini menyebabkan hak penyandang cacat untuk tumbuh kembang dan berkreasi tidak dapat terpenuhi. Menurut Pusdatin Departemen Sosial Tahun 2004, jumlah penyandang cacat adalah sebanyak 1.847.692 orang, sedangkan jumlah penyandang cacat eks penderita penyakit kronis sebanyak 216.148 orang. Para penyandang cacat tersebut merasa perlu memiliki sarana dan prasarana pelayanan sosial dan kesehatan serta pelayanan lainnya termasuk aksesibilitas terhadap pelayanan umum yang dapat mempermudah kehidupan penyandang cacat, dan lapangan kerja bagi mereka. Untuk itu dikeluarkan Surat Edaran Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. 3064/M.PPN/05/2006 Tanggal 19 Mei 2006, tentang perencanaan pembangunan yang memberi aksesibilitas bagi penyandang cacat. Dalam edaran tersebut ditegaskan bahwa masyarakat dan Pemerintah wajib menyediakan aksesibilitas pada sarana dan prasarana umum yang meliputi aksesibilitas pada bangunan umum, jalan umum, pertamanan dan pemakaman umum, serta angkutan umum. Penyediaan aksesibilitas ini dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan prioritas aksesibilitas yang dibutuhkan penyandang cacat. Hal ini menunjukkan kesungguhan pemerintah di dalam memberikan pelayanan kepada penyandang cacat.

Permasalahan tuna sosial yang meliputi gelandangan, pengemis, tuna susila, bekas narapidana dan pengidap HIV/AIDS masih banyak terjadi. Menurut Pusdatin Departemen Sosial, pada tahun 2004 populasi tuna sosial berjumlah kurang lebih 303.231 orang yang terdiri dari gelandangan dan pengemis sebanyak 87.356 orang, tuna susila sebanyak 87.536 orang dan bekas warga binaan pemasyarakatan sebanyak 118.183 orang, serta penyandang HIV/AIDS sebanyak 10.156 orang.

Permasalahan sosial yang sulit diperkirakan secara tepat adalah bencana alam (seperti gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus), maupun bencana sosial (seperti kerusuhan dan konflik sosial). Wilayah Indonesia secara geografis terletak di daerah rawan bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir dan kekeringan, yang mengakibatkan penderitaan dan kerugian pada masyarakat. Selama tahun 2006 telah terjadi 274 kali bencana alam

(4)

berskala besar antara lain seperti banjir bandang di Jember, tanah longsor di Banjarnegara, banjir dan gempa di Maluku, banjir dan tanah longsor di Sulawesi Selatan. Selain itu, terjadi pula gempa bumi berskala besar terjadi di D.I Yogyakarta dan Jawa Tengah, dan terakhir adalah gempa yang diikuti tsunami di Pantai Selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Selain dari permasalahan penanganan dampak sosial bencana alam, terjadi juga berbagai bencana sosial seperti: kebakaran, kecelakaan perahu, korban konflik yang secara simultan masih berlangsung. Frekuensi dan intensitas bencana sosial terjadi akibat berbagai sebab yaitu faktor ikatan kesukuan, kedaerahan dan keagamaan. Oleh karena itu, penanganan bencana sosial tidak terbatas hanya pada upaya penanganan korbannya semata, tetapi juga diarahkan pada upaya pencegahan.

Permasalahan yang mengakibatkan rusaknya sarana dan prasarana umum serta jalur transportasi, dan terbatasnya peralatan untuk evakuasi korban dan pembenahan serta pembersihan lokasi bencana, menyebabkan bantuan bagi korban bencana terkesan lamban. Permasalahan lain yang juga sering dihadapi adalah keterlambatan dan kurang akuratnya laporan data dari daerah.

Permasalahan lainnya yang terkait dengan kurangnya jumlah tenaga lapangan di bidang kesejahteraan sosial yang terdidik, terlatih dan berkemampuan antara lain disebabkan oleh terbatasnya jangkauan dan kemampuan pelaku pembangunan kesejahteraan sosial dari unsur masyarakat sebagai sumber dan potensi kesejahteraan sosial, serta penataan sistem pendataan, pelaporan dan jalur koordinasi di tingkat nasional dan daerah. Selain itu, masih lemahnya koordinasi kerja antar instansi di tingkat nasional dan daerah, dan belum tertatanya sistem dan standar pelayanan minimal bidang kesejahteraan sosial merupakan permasalahan yang harus segera diatasi.

Berbagai permasalahan pembangunan kesejahteraan sosial, diperkirakan masih akan terus dihadapi dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini ditandai dengan masih rendahnya kualitas manajemen dan profesionalisme pelayanan kesejahteraan sosial, dan belum serasinya kebijakan kesejahteraan sosial di tingkat nasional dan daerah. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut,

(5)

pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial ke depan perlu diperkuat dengan lebih mengedepankan peran aktif masyarakat, diikuti dengan penggalian dan pengembangan nilai-nilai sosial budaya, seperti kesetiakawanan sosial dan gotong royong.

Kenaikan harga bahan bakar minyak beberapa waktu lalu, menyebabkan harga kebutuhan pokok meningkat yang berdampak pada menurunnya kemampuan daya beli kelompok masyarakat miskin. Oleh karena itu bagi rumah tangga sangat miskin/fakir miskin (poorest), rumah tangga miskin (poor) dan rumah tangga hampir miskin (near poor), diberikan bantuan dalam bentuk subsidi langsung tunai (SLT) bagi 19,2 juta rumah tangga miskin (RTM), hingga akhir September 2006.

Perlindungan sosial yang ada saat ini seperti sistem jaminan sosial, masih belum banyak memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat. Penyelenggaraan jaminan sosial telah banyak dilaksanakan baik oleh lembaga pemerintah maupun swasta. Masing-masing mempunyai landasan hukum sendiri, tetapi antara satu sistem dengan sistem lainnya belum terintegrasi dengan baik. UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional belum dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan. Bantuan sosial yang diperuntukkan bagi penduduk miskin juga masih terbatas, yaitu antara lain pada bidang pendidikan dan kesehatan. Demikian halnya, pembiayaan untuk perlindungan sosial, yang saat ini masih terbatas pada pembiayaan bantuan sosial yang bersumber dari APBN dan APBD. Perlunya pembenahan sistem penentuan sasaran (targeting), dan meningkatkan partisipasi masyarakat dan pemerintah daerah terhadap perlindungan sosial.

II. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL YANG DICAPAI

Berkaitan dengan permasalahan sosial tersebut arah kebijakan yang akan dilaksanakan adalah: (1) meningkatkan kualitas hidup dan akses seluas-luasnya terhadap pelayanan sosial dasar; (2) meningkatkan dan memeratakan pelayanan sosial yang lebih adil dan dengan sebaik-baiknya; (3) meningkatkan profesionalisme dan kualitas pelayanan sosial bagi fakir miskin, penyandang cacat, anak

(6)

terlantar, tuna sosial, komunitas adat terpencil, dan korban bencana alam dan korban bencana sosial yang perlu diberikan bantuan.

Langkah-langkah mengatasi masalah kemiskinan melalui bantuan sosial dilakukan dengan melakukan pemberian bantuan dan pemberdayaan kepada kelompok fakir miskin, kelompok miskin dan dekat miskin termasuk kepada komunitas adat terpencil (KAT). Kegiatan yang dilakukan antara lain: (1) memberikan bantuan bagi rumah tangga miskin dan hampir miskin dalam bentuk subsidi langsung tunai (SLT); (2) meningkatkan pemberdayaan sosial rumah tangga miskin dan komunitas adat terpencil melalui peningkatan usaha ekonomi produktif (UEP) dan usaha kesejahteraan sosial (UKS) serta kelompok usaha bersama (KUBE); (3) meningkatkan kerjasama kemitraan antara pengusaha dengan KUBE dan lembaga keuangan mikro (LKM); dan (4) meningkatkan kemampuan bagi petugas dan pendamping pemberdayaan sosial rumah tangga miskin dan komunitas adat terpencil.

Hasil-hasil yang telah dicapai antara lain adalah: (1) pelaksanaan pemberian subsidi langsung tunai kepada rumah tangga miskin meliputi keluarga sangat miskin, miskin, dan hampir miskin yang dilakukan bersama PT Pos Indonesia dan Bank Rakyat Indonesia. Pemberian subsidi langsung tunai dilakukan sebanyak 4 tahap dengan menyiapkan dana untuk tahun 2006 sekitar Rp. 18 triliun; (2) terbentuknya 18.872 kelompok usaha bersama (KUBE) pada tahun 2006 serta pemberian modal usaha ekonomi produktif (UEP) dan modal usaha bergulir untuk KUBE fakir miskin yang diberikan melalui 97 LKM Syari’ah di 22 provinsi. Pada tahun 2005 keluarga fakir miskin yang dibantu usahanya sebanyak 197.920 KK atau 19.772 KUBE. Sedangkan untuk pemberdayaan komunitas adat terpencil telah diberikan bantuan kepada 53.283 rumah tangga; (3) melakukan kerjasama dengan dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta instansi terkait.

Untuk mengatasi masalah kecacatan, keterlantaran dan ketunaan sosial pemerintah melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial, antara lain dilakukan dengan: (1) meningkatkan kualitas pelayanan, termasuk peningkatan sarana dan prasarana rehabilitasi kesejahteraan sosial bagi PMKS; (2) meningkatkan pembinaan, pelayanan dan perlindungan sosial dan hukum bagi anak

(7)

terlantar, lanjut usia, penyandang cacat, dan tuna sosial, serta korban penyalahgunaan narkotika, obat-obatan dan zat adiktif lainnya (Napza); (3) meningkatkan pelayanan psikososial bagi PMKS, termasuk korban bencana alam dan sosial.

Hasil-hasil yang telah dicapai dalam penanganan kecacatan, keterlantaran, dan ketunaan sosial yang telah ditangani selama ini, dilakukan baik melalui panti maupun luar panti, yaitu: (1) pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi penyandang cacat meliputi penyandang cacat tubuh, cacat mental (retardasi, cacat mental psychotik), tuna netra, tuna rungu wicara dan cacat bekas penderita penyakit kronis, sebanyak 66.580 orang, 12.130 anak cacat, 8.575 orang tuna sosial (yang terdiri atas wanita tuna susila, gelandangan, pengemis dan bekas narapidana), dan 8.200 orang korban penyalahgunaan Napza di 31 provinsi; (2) pembinaan terhadap 130.288 anak terlantar, 92.100 anak jalanan, dan 22.850 anak nakal; (3) pelayanan kesejahteraan sosial sebanyak 31.840 orang lanjut usia terlantar; (4) pelaksanaan kegiatan melalui 34 unit pelaksana teknis (UPT) Departemen Sosial yang terdiri dari tiga balai besar rehabilitasi sosial, satu balai penerbitan Braille, dan 30 panti sosial. Selain itu, telah dilaksanakan pula pemberian subsidi untuk tambahan biaya permakanan kepada 149.150 klien panti sosial, sedangkan bantuan UEP telah diberikan kepada 855 panti sosial.

Dalam menangani permasalahan bencana alam maupun soial pemerintah melakukan pemberian bantuan kepada korban bencana alam dan bencana sosial, kegiatan yang dilakukan antara lain: (1) menyediakan bantuan dasar berupa pangan, sandang, papan dan fasilitas bantuan tanggap darurat dan bantuan pemulangan/terminasi, serta stimulan bahan bangunan rumah bagi korban bencana alam, bencana sosial dan PMKS lainnya; (2) memberikan bantuan bagi pengungsi akibat konflik sosial dan pekerja migran terlantar; (3) memberikan bantuan bagi korban tindak kekerasan melalui perlindungan dan advokasi sosial; dan (4) menyelenggarakan bantuan dan jaminan sosial bagi fakir miskin dan PMKS lainnya.

Hasil-hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan pemberian bantuan kepada korban bencana alam dan bencana sosial adalah: (1) pemberian bantuan bagi korban bencana alam yang terjadi pada berbagai wilayah di 30 provinsi, termasuk korban bencana tsunami

(8)

dan gempa bumi di Nangroe Aceh Darussalam dan Nias, berupa bantuan darurat bagi 406.156 jiwa/100.000 rumah tangga; (2) pemberian bantuan santunan sosial kepada ahli waris yang anggotanya meninggal dunia/hilang akibat bencana alam, sebanyak 575 jiwa; (3) pemberian bantuan evacuation kit (tenda peleton, tenda regu, perahu karet bermesin, genset, alat dapur umum lapangan (dumlap), velbed, rompi pelampung, alat komunikasi dan mobil dapur umum lapangan) bagi daerah rawan bencana alam; (4) bantuan bahan bangunan rumah (BBR) bagi korban bencana alam sebanyak 15.136 rumah tangga di 33 provinsi; dan (5) pemantapan Karang Taruna Siaga Bencana, instruktur, Satgasos Penanggulangan Bencana, tim reaksi cepat dan penyelenggaraan mobil dapur umum lapangan di 33 provinsi. Sedangkan bantuan sosial yang telah diberikan bagi korban bencana sosial di beberapa daerah, antara lain adalah: (1) untuk penanganan pengungsi akibat konflik sosial telah diberikan bantuan tanggap darurat sebanyak 2.667.531 jiwa; (2) bantuan untuk pemulangan pengungsi/terminasi sebanyak 54.020 rumah tangga atau 371.535 jiwa di 13 provinsi; (3) pemberian santunan sosial bagi korban ledakan bom sebanyak 60 orang; dan (3) bantuan sosial bagi pekerja migran terlantar bagi sebanyak 69.405 jiwa.

Di dalam kerangka meningkatkan perlindungan sosial bagi masyarakat, pemerintah berupaya melakukan perbaikan sistem jaminan sosial melalui pemberian asuransi kesejahteraan sosial bagi 14.400 rumah tangga miskin.

III. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang masih akan dihadapi, tindak lanjut yang akan dilaksanakan dalam pembangunan perlindungan dan kesejahteraan sosial antara lain adalah: (1) menyelenggarakan sistem jaminan kesejahteraan sosial bagi penduduk fakir miskin, rentan, dan PMKS lainnya. (2) meningkatkan pelatihan keterampilan dan praktek belajar kerja bagi anak terlantar termasuk anak jalanan, anak cacat, dan anak nakal; (3) meningkatkan pembinaan, pelayanan dan perlindungan sosial dan hukum bagi korban eksploitasi, perdagangan perempuan dan anak, dan korban kekerasan; (4) meningkatkan peran aktif masyarakat dan kemitraan

(9)

dengan dunia usaha untuk mendukung pelayanan kesejahteraan sosial bagi PMKS; (5) meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) kesejahteraan sosial masyarakat antara lain tenaga kerja sosial masyarakat/relawan sosial, karang taruna, organisasi sosial, dan kelembagaan sosial di tingkat lokal; (6) meningkatkan kualitas penyuluhan, khususnya di daerah kumuh, perbatasan, rawan konflik dan gugus pulau, melalui media masa cetak dan elektronik; (7) menjamin ketersediaan bantuan dasar pangan, sandang, papan, dan fasilitas bantuan tanggap darurat bagi korban bencana alam dan sosial; (8) meningkatkan sistem pendataan dan pelaporan, baik di tingkat pusat maupun daerah; (9) mengembangkan alternatif kebijakan subsidi bagi penduduk miskin, termasuk sistem pendanaan dan kelembagaan, yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.

Referensi

Dokumen terkait

• Perwakilan peserta didik dalam kelompok menuliskan pokok masalah dan menentukan produk apa yang akan dibuat dengan bantuan guru sesuai dengan tujuan pembelajaran2.

pandangan ini, suatu pernyataan dianggap benar bila didukung oleh fakta empiris. Artinya penyajian atau pembuktian secara empirislah yang dianggap lebih mensahkan

ketepatan indikasi, pasien adalah 100% sedangkan untuk tepat obat 90%, dosis 73,06% dan waktu pemberian 93,6% hal ini bisa dikarenakan penggunaan antibiotik

Fitur dalam cloud medical record and monitoring yang dapat diakses oleh pengunjung (pasien) pada situs cloud M2Rec dapat dilihat pada Gambar 9. 4) Spesifikasi Teknologi Server:

mungkin berjalan dengan baik sebab tidak ada patokan yang pasti dalam bertingkah laku. Kepercayaan ini terpadu melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam

Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap kepuasan konsumen yang artinya meskipun harga mengalami

Dalam arti luas mencakup aktivitas negara (eksekutif, legislatif, yudikatif) dalam melaksanakan kekuasaan politiknya  “Overheid”3. Dalam arti sempit mencakup aktivitas badan

Dengan keluarnya granula pati dari dalam matriks akan memudahkan proses degradasi pati sehingga dapat meningkatkan konsentrasi gula pereduksi yang