• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI ORANG TUA TENTANG BENTUK PERILAKU SOSIAL ANAK USIA DINI (Studi di TK Islam Bakti Kabupaten Dharmasraya) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERSEPSI ORANG TUA TENTANG BENTUK PERILAKU SOSIAL ANAK USIA DINI (Studi di TK Islam Bakti Kabupaten Dharmasraya) SKRIPSI"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Derajat Sajana Pendidikan Strata Satu (S-1)

Oleh :

SANDI AGUSTIAN NPM : 13060205

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

(STKIP) PGRI SUMATERA BARAT PADANG

(2)
(3)
(4)
(5)

i ABSTRAK

Sandi Agustian NPM (13060205), Persepsi Orang Tua tentang Bentuk Perilaku Sosial Anak Usia Dini (Studi di TK Islam Bakti Kabupaten Dharmasraya), Skripsi, Program Studi Bimbingan dan Konseling STKIP PGRI Sumatera Barat, Padang, 2018.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya anak usia dini yang kurang peduli pada teman yang sedang kesusahan, adanya anak usia dini yang tidak mau meminjamkan alat tulis kepada temannya yang sedang membutuhkan di kelas, adanya anak usia dini yang tidak mau bergiliran untuk masuk kelas setelah selesai berbaris. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bagaimana 1) Persepsi Orang tua tentang perilaku sosial anak usia dini di TK Islam Bakti dilihat dari aspek bentuk perilaku empati. 2) Persepsi Orang tua tentang perilaku sosial anak usia dini di TK Islam Bakti dilihat dari aspek bentuk perilaku murah hati. 3) Persepsi Orang tua tentang perilaku sosial anak usia dini di TK Islam Bakti dilihat dari aspek bentuk perilaku kerja sama. 4) Persepsi Orang tua tentang perilaku sosial anak usia dini di TK Islam Bakti dilihat dari aspek bentuk perilaku kasih sayang.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif. Populasi penelitian adalah sebanyak 80 orang tua anak usia dini di TK Islam Bakti yang masih lengkap dengan teknik pengambilan sampel Total Sampling. Instrumen yang digunakan yaitu angket. Sedangkan untuk analisis data menggunakan teknik persentase.

Berdasarkan hasil analisis data tentang Persepsi Orang Tua tentang Bentuk Perilaku Sosial Anak Usia Dini (Studi di TK Islam Bakti Kabupaten Dharmasraya) yang telah dilakukan terungkap bahwa, 1) Persepsi Orang tua tentang perilaku sosial anak usia dini di TK Islam Bakti dilihat dari aspek bentuk perilaku empati berada pada kategori cukup baik. 2) Persepsi Orang tua tentang perilaku sosial anak usia dini di TK Islam Bakti dilihat dari aspek bentuk perilaku murah hati berada pada kategori cukup baik. 3) Persepsi Orang tua tentang perilaku sosial anak usia dini di TK Islam Bakti dilihat dari aspek bentuk perilaku kerja sama berada pada kategori cukup baik. 4)Persepsi Orang tua tentang perilaku sosial anak usia dini di TK Islam Bakti dilihat dari aspek bentuk perilaku kasih sayang berada pada kategori cukup baik. Hasil penelitian ini direkomendasikan kepada orang tua agar mengembangkan kemampuan anak tentang prilaku sosial seperti empati, murah hati, kerja sama, kasih sayang pada anak usia dini.

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT, atas

rahmat dan karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini. Skripsi ini ditulis berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dengan judul

“Persepsi Orang Tua tentangBentuk Perilaku Perilaku Sosial Anak Usia Dini (Studi di TK Islam Bakti Kabupaten Dharmasraya)”.

Penelitian skripsi ini bertujuan untuk melengkapi syarat mencapai gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Bimbingan dan Konseling di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Sumatera Barat. Pelaksanaan penelitian dan penelitian skripsi ini, peneliti banyak mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, peneliti menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Ketua Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Sumatera Barat Ibu Dr. Zusmelia, M.Si, Wakil Ketua Bidang Akademik dan Administrasi Umum Ibu Sri Imelwaty, M.Pd.,P.h.D, Wakil Ketua Bidang Kemahasiswaan, Kerjasama dan Alumni Bapak Jarudin, MA, P.h.D yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk dapat menuntut ilmu di STKIP PGRI Sumatra Barat.

2. Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling di STKIP PGRI Sumatera Barat Bapak Ahmad Zaini, S.Ag.,M.Pd.

(7)

iii

3. Sekretaris Program Studi Bimbingan dan Konseling STKIP PGRI Sumatera Barat dan sekaligus sebagai pembimbing I Ibu Rahma Wira Nita, M.Pd, Kons yang selalu memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh sabar kepada peneliti dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Pembimbing II Bapak Rici Kardo, M.Pd.yang selalu memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh sabar kepada peneliti dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Penguji I Ibu Dra, Hj. Fitria Kasih M.Pd ,. Kons, penguji II Ibu Rilla Rahma Mulyani, M.Psi,. Psikolog, dan penguji III Bapak Fuadillah Putra M.Pd,. Kons, yang telah memberikan masukan dan saran serta sebagai penguji ahli instrumen kepada peneliti demi perbaikan dalam pembuatan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling di STKIP PGRI Padang Sumatera Barat yang telah memberikan arahan kepada peneliti sehingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Pengelola labor instrumen Program Studi Bimbingan dan Konseling, Ibu Narti Chania, S.Pd.,Kons yang telah membantu peneliti dalam kelancaran pengolahan data penelitian.

8. Ayahanda tercinta (Sutarno) dan Ibunda terkasih (Aidesnita) yang selalu mencurahkan dan melimpahkan cinta kasihnya yang tulus, selalu memfasilitasi kebutuhan peneliti dalam penyelesaian skripsi ini serta selalu memberikan semangat kepada peneliti hingga mampu menyelesaikan skripsi ini dengan motivasi yang besar, kesabaran, dan penuh keikhlasan. Semoga dengan bukti skripsi ini dapat membuat hati ayah dan ibu terobati atas jerih payah selama ini.

(8)

iv

Kepada yang teristimewa adik peneliti (Taufik Hidayat) yang selalu memberikan dukungan baik moril kepada peneliti mulai dari awal perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini.

9. Sahabat serta senior, dan rekan-rekan peneliti dan keluarga besar BK 2013 F yang telah menghadirkan banyak cerita dan tawa serta telah memberikan bantuan, semangat dan motivasi yang membantu peneliti dalam menyelesaikan srikpsi ini.

Penelitian skripsi ini peneliti berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan hasil yang terbaik, namun sebagai manusia biasa peneliti tidak lepas dari kekhilafan. Oleh Karena itu peneliti mengharapkan kepada pembaca untuk memberikan kritikdan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.Semoga bantuan yang diberikan dalam penelitian skripsi ini dapat dibalas oleh Allah SWT dengan pahala yang berlipat ganda.

Padang, Februari 2018

Sandi Agustian 13060205

(9)

v DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ... i KATA PENGANTAR ... ii DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Batasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan TentangPersepsi 1. Pengertian Persepsi ... ... 8

2. Proses Pembentukan Persepsi ... ... 9

3. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi ... ... 12

4. Organisasi Persepsi ... ... 13

5. Proses Terjadinya Persepsi ... ... 15

B. Perilaku Sosial Anak Usia Dini 1. Pengertian Perilaku Sosial ... ... 16

2. Kemampuan dalam Bersosialisasi ... ... 18

3. Kemampuan Melakukan Kegiatan Bermain dan Menggunakan Waktu Luang ... ... 19

(10)

vi

5. Pola Perilaku Sosial ... ... 21

6. Pengaruh Kelompok Sosial ... ... 24

7. Interaksi Sosial Anak dengan Teman ... ... 26

C. Perkembangan Perilaku Sosial Anak Usia Dini. ... ... 27

1. Bentuk-bentuk Tingkah laku Sosial ... ... 31

2. Bentuk-bentuk dan Bentuk Perilaku Sosial pada Anak ... ... 32

3. Aspek-aspek Perilaku Sosial Anak Usia Dini ... ... 36

4. Prinsip-prinsip Pengembangan Kemampuan Perilaku Sosial Anak ... ... 43

5. Penerapan Bimbingan untuk Peningkatan Kemampuan Perilaku Sosial ... ... 45

BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 51

B. Jenis Penelitian... 51

C. Defenisi Operasional Variabel Penelitian ... 52

D. Populasi dan Sampel ... 53

E. Jenis dan Sumber Data ... 55

F. Instrumen Penelitian ... 56

G. Penyusunan Instrumen ... 57

H. Teknik Analisis Data ... 62

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Penelitian ... 64

B. Rekapitulasi Hasil Penelitian ... 74

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 76

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 84

(11)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Level Penalaran Perilaku Sosial Eisenberg ... 29

2. Populasi Penelitian ... 54

3. Sampel Penelitian ... 54

4. Alternatif Jawaban ... 57

5. Uji Validitas ... 59

6. Rentang Klasifikasi ... 63

7. Distribusi Frekuensi dan Kategori Skor Persepsi Orang Tua tentang Bentuk Perilaku Sosial Anak Usia Dini di TK Islam Bakti Kabupaten Dharmasraya ... 65

8. Distribusi Frekuensi dan Kategori Skor Persepsi Orang Tua tentang Perilaku Sosial Anak Usia Dini di TK Islam Bakti Dilihat dari Aspek Bentuk Perilaku Empati ... 67

9. Distribusi Frekuensi dan Kategori Skor Persepsi Orang Tua tentang Perilaku Sosial Anak Usia Dini di TK Islam Bakti Dilihat dari Aspek Bentuk Perilaku Murah Hati ... 69

10. Distribusi Frekuensi dan Kategori Skor Persepsi Orang Tua tentang Perilaku Sosial Anak Usia Dini di TK Islam Bakti Dilihat dari Aspek Bentuk Perilaku Kerjasama ... 71

11. Distribusi Frekuensi dan Kategori Skor Persepsi Orang Tua tentang Perilaku Sosial Anak Usia Dini di TK Islam Bakti Dilihat dari Aspek Bentuk Perilaku Kasih Sayang ... 73

(12)

viii

DAFTAR GAMBAR

Grafik Halaman 1. Bentuk Perilaku Sosial Marion ... 34 2. Kerangka Pikir ... .49 3. Histogram Persepsi Orang Tua tentang Bentuk Perilaku Sosial Anak

Usia Dini di TK Islam Bakti Kabupaten Dharmasraya ... 66 4. Histogram Persepsi Orang Tua tentang Perilaku Sosial Anak Usia Dini

di TK Islam Bakti Dilihat dari Aspek Bentuk Perilaku Empati ... 68 5. Histogram Persepsi Orang Tua tentang Perilaku Sosial Anak Usia Dini

di TK Islam Bakti Dilihat dari Aspek Bentuk Perilaku Murah Hati ... 70 6. Histogram Persepsi Orang Tua tentang Perilaku Sosial Anak Usia Dini

di TK Islam Bakti Dilihat dari Aspek Bentuk Perilaku Kerjasama ... 72 7. Histogram Persepsi Orang Tua tentang Perilaku Sosial Anak Usia Dini

(13)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Angket Sebelum Judge ... 88

2. Angket Sesudah Judge ... 95

3. Rekapitulasi Judge Angket ... 102

4. Data Uji Validitas dan Reliabilitas ... 105

5. Pengolahan Data Penelitian... 110

6. Surat Izin Uji Coba dan Penelitian ... 119

(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pesatnya pertumbuhan saat sekarang ini menunjukkan bahwa pentingnya pendidikan anak usia dini (PAUD), hal ini tentu harus disikapi dengan bijak, mengingat besarnya harapan orang tua murid akan pendidikan anaknya. Pendidikan bagi anak usia dini bermunculan dimana-mana dan mulai disadari oleh banyak pihak sehingga menjadi salah satu kegiatan yang memiliki peranan penting dalam kegiatan pendidikan anak.

Menurut Susanto (2015:154) menjelaskan “Salah satu aspek perkembangan anak adalah perkembangan sosial yaitu kemampuan berperilaku yang sesuai dengan lingkungan sosial”. Salah satu aspek yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah derajat saling tolong menolong, kerja sama dan memiliki kepedulian antara sesama manusia.

Menurut Walgito (2010:99) mengemukakan “Persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh proses pengindraan yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui indra atau proses sensorik namun proses itu tidak berhenti begitu saja melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupaan proses persepsi”. Kemudian Slamet (2010:102) mengemukakan “Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi kedalam otak manusia, melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera pengelihat, pendengar, peraba, perasa, dan pencium”. Sejalan dengan pendapat tersebut Robbins

(15)

(2003:97) juga mendeskripsikan bahwa “Persepsi merupakan kesan yang diperoleh oleh individu melalui panca indera kemudian di analisa (diorganisir), diintepretasi dan kemudian dievaluasi, sehingga individu tersebut memperoleh makna”.

Berdasarkan definisi persepsi dan orang tua maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa persepsi orang tua adalah kesan, penafsiran, anggapan, pandangan, pengetahuan, dan sikap orang tua mengenai suatu hal yang berhubungan dengan perilaku sosial anak usia dini. Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga.

Menurut Rahman (2002:3) “Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial atau norma dalam masyarakat”. Proses ini biasanya disebut dengan sosialisasi. Tingkah laku sosialisasi adalah sesuatu yang dipelajari, bukan sekedar hasil dari kematangan. Perkembangan sosial anak diperoleh selain dari proses kematangan juga melalui kesempatan belajar dari respons terhadap tingkah laku. Perkembangan sosial mulai agak komplek ketika anak menginjak usia 4 tahun dimana anak mulai memasuki ranah pendidikan yang paling dasar yaitu taman kanak-kanak. Pada masa ini anak belajar bersama teman-teman diluar rumah.

Menurut Yusuf (2000:122) mengemukakan “Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga

(16)

diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama. Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial, atau norma-norma kehidupan bermasyarakat serta mendorong dan memberikan contoh kepada anaknya bagaimana menerapkan norma-norma.

Adapun menurut Beaty (Susanto, 2015 :173) mengemukakan “ Bahwa perilaku sosial merupakan aspek positif dari perkembangan moral yang mencakup perilaku empati, murah hati, kerja sama dan kasih sayang”. Seperti halnya model yang dikembangkan oleh Morion, Beaty pun membagi membagi masing-masing perilaku tersebut menjadi perilaku-perilaku yang spesifik.

Beaty (Susanto, 2015 :173) menjelaskan masing-masing dari model perilaku sosial tersebut, seperti :

a. Empati

Yaitu kemampuan untuk menunjukkan kepedulian kepada teman yag sedang kesusahan dan dapat menceritakan perasaan teman selama konflik. b. Murah Hati

Yaitu kemampuan untuk berbagi dan memberi sesuatu kepada orang lain. c. Kerja Sama

Yaitu kemampuan untuk bergiliran dan memenuhi permintaan teman tanpa rewel.

(17)

d. Kasih Sayang

Yaitu kemampuan untuk membantu orang lain untuk mengerjakan tugas dan membatu (peduli) pada teman yang membutuhkan.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku sosial adalah suatu hubungan atau interaksi yang terjadi pada anak terhadap kelompok, pada sebuah kegiatan dengan pihak lain yang memerlukan sosialisasi dalam hal tingkah laku sosial dan dipengaruhi oleh beberapa aspek yang ada di lingkungan anak tersebut.

Berdasarkan observasi yang telah dilakukan oleh peneliti pada tanggal 29 Mei 2017 dapat dilihat bahwa pada saat proses pembelajaran berlangsung, masih adanya anak usia dini yang kurang memiliki sikap kehangatan terhadap teman-temanya dan anak usia dini yang belum mau berbagi dengan teman sebayanya. Selanjutnya peneliti melakukan wawancara pada tanggal 29 Mei 2017 di TK Islam Bakti dengan 2 orang guru TK, berdasarkan hasil wawancara ditemukan informasi tentang model perilaku sosial pada anak usia dini yaitu: adanya anak usia dini yang kurang peduli pada teman yang sedang kesusahan, adanya anak usia dini yang tidak mau meminjamkan alat tulis kepada temannya yang sedang membutuhkan di kelas, adanya anak usia dini yang tidak mau bergiliran untuk masuk kelas setelah selesai berbaris. Selanjutnya peneliti melakukan wawancara dengan 3 orang tua dari anak usia dini di TK tersebut bahwasannya ditemukan informasi yaitu: adanya anak usia dini yang tidak mau mengerjakan tugas ketika di rumah, adanya anak usia dini yang kurang memiliki sikap perhatian terhadap teman-temannya,

(18)

adanya anak usia dini yang kurang memiliki rasa tolong menolong dan yang terakhir anak usia dini kurang memiliki sikap kerja sama dengan teman-temannya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan 3 orang tua anak usia dini di TK Islam Bakti tentang pendapat orang tua terkait dengan model perilaku sosial anak dengan permasalahan yang terjadi maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul: ”Persepsi Orang tua tentang Model Perilaku Sosial Anak Usia Dini di TK Islam Bakti Kabupaten Dharmasraya”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Adanya orang tua yang menganggap bahwa bermain dengan teman sebaya di rumah akan membuat rumah menjadi berantakan dan kotor.

2. Adanya orang tua yang menganggap jika anak meminjamkan mainan kepada teman maka mainan anak akan rusak dan tidak bisa digunakan lagi. 3. Adanya anak yang menganggap jika anak berbagi makanan dengan teman nya di sekolah akan membuat anak tidak sehat karena bekal yang dibawa berkurang.

4. Adanya orang tua yang menganggap anak yang kurang peduli terhadap teman lainnya adalah hal yang wajar.

5. Adanya orang tua yang menganggap bahwa bermain di luar rumah akan membuat anak tidak sehat karena kotor.

(19)

C. Batasan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah maka dalam penulisan skripsi ini peneliti membatasi masalah yang akan diteliti yaitu :

1. Persepsi orang tua tentang perilaku sosial anak usia dini di TK Islam Bakti dilihat dari model perilaku empati.

2. Persepsi orang tua tentang perilaku sosial anak usia dini di TK Islam Bakti dilihat dari model perilaku murah hati.

3. Persepsi orang tua tentang perilaku sosial anak usia dini di TK Islam Bakti dilihat dari model perilaku kerja sama.

4. Persepsi orang tua tentang perilaku sosial anak usia dini di TK Islam Bakti dilihat dari model perilaku kasih sayang.

D. Rumusan Masalah

Sehubungan dengan batasan masalah di atas, fokus masalah dalam penelitian ini adalah ”Bagaimana Persepsi Orang tua tentang Model Perilaku Sosial Anak Usia Dini di TK Islam Bakti Kabupaten Dharmasraya” ?

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mendeskripsikan tentang :

1. Persepsi Orang tua tentang perilaku sosial anak usia dini di TK Islam Bakti dilihat dari aspek model perilaku empati.

2. Persepsi Orang tua tentang perilaku sosial anak usia dini di TK Islam Bakti dilihat dari aspek model perilaku murah hati.

(20)

3. Persepsi Orang tua tentang perilaku sosial anak usia dini di TK Islam Bakti dilihat dari aspek model perilaku kerja sama.

4. Persepsi Orang tua tentang perilaku sosial anak usia dini di TK Islam Bakti dilihat dari aspek model perilaku kasih sayang.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi banyak pihak antara lain: 1. Orang tua, semoga dapat menambah wawasan orang tua tentang model

perkembangan sosial pada masa anak usia dini.

2. Pengelola TK, dapat menambah pengetahuan guru TK mengenai permasalahan model perilaku sosial dan bisa dijadikan sebagai bahan untuk pengajaran dan pengembangan terhadap anak usia dini.

3. Pengelola program studi Bimbingan dan Konseling, sebagai masukan dalam kegiatan perkuliahan untuk lebih memperkaya ilmu pengetahuan calon guru BK, tentang model perilaku sosial anak usia dini dalam mata kuliah Pendidikan BK di Pasekolah TK dan SD.

4. Peneliti, menambah wawasan, pengalaman tentang model perilaku sosial anak usia dini.

5. Peneliti selanjutnya, sebagai literatur dan studi awal untuk pengkajian tentang anak dengan veriabel yang berbeda.

(21)

BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan tentang Persepsi

1. Pengertian Persepsi

Persepsi dapat dikatakan suatu pemberian makna atau memaknai terhadap sesuatu yang diamati. Dalam pemberian makna terhadap sesuatu yang diamati tentunya setiap orang berbeda-beda dalam memaknainya. Sobur (2003: 445) menyatakan secara etimologis, persepsi atau dalam bahasa Inggris perception berasal dari bahasa Latin perception; dari

percipere yang artinya menerima atau mengambil. Menurut Hanurawan

(2010: 34) “Persepsi adalah sejenis aktivitas pengelolaan informasi yang menghubungkan seseorang dengan lingkungannya”. Selanjutnya Rahman (2013: 48) juga menyatakan bahwa persepsi merupakan proses pemaknaan terhadap stimulus.

Menurut Walgito (2004: 87) persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensori. Selanjutnya menurut Moskowitz dan Orgel, 1969 (Walgito, 2004: 88) persepsi merupakan proses yang integrated dalam diri individu terhadap stimulus yang diterimanya.

Tanpa persepsi yang benar manusia mustahil dapat menangkap dan memaknai fenomena, informasi atau data yang senantiasa mengitarinya. Demikian juga halnya dengan kehadiran peserta didik disekolah, tidak akan mendapat kemanfaatan yang berarti dari informasi atau materi pelajaran

(22)

yang disampaikan guru, atau mungkin menyesatkan, tanpa adanya persepsi yang benar. Hal ini karena persepsi merupakan proses yang menyangkut masukan informasi kedalam otak manusia. Dalam proses ini, manusia tidak seperti sebuah mesin, yang dapat memberikan respons terhadap setiap stimulus secara otomatis.

Berdasarkkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan pengorganisasian, penginterprestasian terhadap stimulus yang diinderakannya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan respon yang intergrated dalam diri individu. Karena itu dalam penginderaan orang akan mengaitkan dengan stimulus, sedangkan dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan objek. Dengan persepsi individu akan menyadari tentang keadaan di sekitarnya dan juga keadaan diri sendiri. 2. Proses Pembentukan Persepsi

Proses persepsi tidak terjadi begitu saja, akan tetapi terjadi melalui tahapan tertentu. Walgito (2010: 90) menyatakan bahwa “Proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses kealaman atau proses fisik. Stimulus yang diterima oleh alat indera diteruskan oleh syaraf sensoris ke otak”. Proses ini yang disebut sebagai proses fisiologis. Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu menyadari apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba.

Proses yang terjadi dalam otak atau dalam pusat kesadaran inilah yang disebut sebagai proses psikologis. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa taraf terakhir dari proses persepsi ialah individu

(23)

menyadari tentang apa yang dilihatnya, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba, yaitu stimulus yang diterima melalui alat indera. Menurut Pareek, 1996 (Sobur, 2003: 451) terdapat beberapa segi atau proses persepsi yaitu:

a. Proses Menerima Rangsangan

Proses pertama dalam persepsi adalah menerima rangsangan atau data dari berbagai sumber, kebanyakan data yang diterima melalui panca indera. Kita melihat sesuatu, mendengar, mencium, merasakan, atau menyentuhnya sehingga kita memepelajari segi-segi lain dari sesuatu itu.

b. Proses Menyeleksi Rangsangan

Setelah diterima, rangsangan atau data seleksi melalui proses penyaringan oleh indera terhadap stimulus. Menurut Desmita (2009: 120) proses seleksi ini adalah struktur kognitif yang telah ada dalam kepala akan menyeleksi, membedakan data yang masuk dan memilih data mana yang relevan sesuai dengan kepentingan dirinya.

Sobur (2003:452) menyatakan bahwa ada dua faktor menetukan seleksi rangsangan yaitu:

1) Faktor intern berkaitan dengan diri sendiri yaitu meliputi kebutuhan psikologis, latar belakang, pengalaman, kepribadian, sikap dan kepercayaan umum dan penerimaan diri.

2) Faktor ekstern yang mempengaruhi seleksi persepsi yaitu meliputi: intensitas, ukuran, kontras, gerakan, ulangan, keakraban, dan sesuatu yang baru.

(24)

c. Proses Pengorganisasian

Rangsangan yang diterima selanjutnya diorganisasikan dalam suatu bentuk. Menurut Desmita (2009: 120) proses pengorganisasian adalah menyusun, mereduksi, menata atau menyederhanakan informasi yang kompleks ke dalam suatu pola yang bermakna”. Selanjutnya menurut Pareek, 1996 (Sobur 2003: 462) ada tiga dimensi utama dalam pengorganisasian rangsangan, yaitu:

1) Pengelompokan yaitu berbagai rangsangan yang diterima dikelompokkan dalam suatu bentuk.

2) Bentuk timbul dan latar yaitu merupakan salah satu proses persepsi yang paling menarik dan paling pokok, dalam melihat rangsangan atau gejala-gejala tertentu yang timbul menonjol, sedangkan rangsangan atau gejala lainnya berada dilatar belakang.

3) Kemantapan persepsi yaitu ada suatu kecendrungan untuk menstabilkan persepsi dan perubahan-perubahan konteks tidak mempengaruhinya.

d. Proses Penafsiran

Penafsiran adalah suatu proses menerjemahkan atau menginterprestasikan informasi atau stimulus kedalam bentuk tingkah laku sebagai respon. Setelah rangsangan atau data diterima dan diatur, si penerima lalu menafsirkan data dengan memberikan arti berbagai data dan informasi yang diterima.

e. Proses Pengecekan

Setelah data diterima dan ditafsirkan, si penerima mengambil beberapa tindakan untuk mengecek apakah penafsirannya benar atau salah. Pengecekan ini dapat dilakukan dari waktu ke waktu untuk menegaskan apakah penafsiran atau persepsi dibenarkan oleh data baru,

(25)

data atau kesan-kesan itu dapat dicek dengan menanyakan kepada orang-orang lain mengenai persepsi mereka. Lebi-lebih dalam bentuk umpan balik tentang persepsi diri sendiri.

f. Proses Reaksi

Tahap terakhir dari proses persepsi adalah proses perseptual yaitu bertindak sehubungan dengan apa yang telah diserap. Hal ini biasanya dilakukan jika seseorang berbuat sesuatu sehubungan dengan persepsinya, lingkaran persepsi belum sempurna sebelum menimbulkan suatu tindakan. Menurut Pareek, 1996 (Sobur, 2003: 468) bahwa tindakan bisa tersembunyi dan bisa pula terbuka, tindakan tersembunyi berupa pembentukan pendapat atau sikap sedangkan tindakan berbuka berupa tindakan nyata sehubungan dengan persepsi itu. Satu gejala yang telah menarik perhatian sehubungan dengan tindakan tersembunyi adalah pembentukan kesan. Jadi proses pembentukan persepsi didahului oleh penginderaan yang dapat diterima dari seseorang secara keseluruhan, kemudian di interprestasikan oleh seseorang sehingga orang tersebut menyadari tentang apa yang diinderakannya.

3. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Persepsi individu mengorganisasikan dan menginterprestasikan stimulus yang diterimanya, sehingga stimulus tersebut mempunyai arti bagi individu yang bersangkutan. Dapat dikatakan bahwa stimulus merupakan salah satu faktor yang berperan dalam persepsi. Menurut Walgito (2004: 89) faktor-faktor yang berperan dalam persepsi, yaitu:

(26)

a. Objek yang Dipersepsi

Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun sebagian terbesar stimulus datang dari luar individu.

b. Alat Indera, Syaraf dan Pusat Susunan Syaraf

Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Di samping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan syaraf motoris.

c. Perhatian

Menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemuasatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.

4. Organisasi Persepsi

Sebelum melakukan persepsi terhadap suatu objek atau media, tentu melakukan pengorganisasian atau pembagian dari apa yang akan dilihat atau dipersepsikan.

(27)

Walgito (2004:2) mengatakan bahwa:

organisme atau individu mengadakan persepsi timbul suatu masalah apa yang dipersepsi terlebih dahulu, apakah bagian merupakan hal yang dipersepsikan lebih dahulu, baru kemudian keseluruhannya, ataukah keseluruhan dipersepsi lebih dahulu baru kemudian bagian-bagiannya.

Hal ini berkaitan bagaimana seseorang mengorganisasikan apa yang dipersepsi. Kalau organisme dalam mempersepsi sesuatu bagiannya lebih dahulu dipersepsi baru kemudian keseluruhannya, ini berarti bagian merupakan hal yang sekunder, sedangkan kalau keseluruhan dahulu yang dipersepsi baru kemudian bagian-bagiannya, maka keseluruhan merupakan hal yang primer dan bagian-bagiannya merupakan hal yang sekunder. Misalnya dalam seseorang mempersepsi sebuah sepada motor. Ada kemungkinan orang tersebut mempersepsi bagian-bagiannya terlebih dahulu baru kemudian keseluruhannya. Namun demikian ada pula kemungkinan orang tersebut mempersepsi keseluruhannya dahulu baru kemudian bagian-bagiannya. Dalam hal ini memang ada 2 teori yang berbeda satu dengan yang lain, atau bahkan dapat dikatakan berlawanan dalam hal persepsi ini, yaitu (1) teori elemen dan (2) teori Gestalt.

Menurut teori elemen dalam individu mempersepsi sesuatu maka yang dipersepsi mula-mula adalah bagian-bagiannya, baru kemudian keseluruhan atau Gestalt merupakan hal yang sekunder. Jadi kalau seseorang mempersepsi sesuatu maka yang dipersepsi terlebih dahulu adalah bagian-bagiannya, baru kemudian keseluruhannya.

(28)

Dalam hal ini dapat dikemukakan bahwa dalam seseorang mempersepsi sesuatu bagian-bagiannya merupakan hal yang primer, sedangkan keseluruhannya merupakan hal yang sekunder. Sebaliknya menurut teori Gestalt dalam seseorang mempersepsi sesuatu yang primer adalah keseluruhannya atau Gestaltnya, sedangkan bagian-bagiannya adalah sekunder. Jadi kalau seseorang mempersepsi sesuatu maka yang dipersepsi terlebih dahulu adalah keseluruhannya atau Gestaltnya, baru kemudian bagian-bagiannya. Sampai pada waktu itu kedua teori tersebut masih bertahan, namun rupa-rupanya teori Gestalt lebih berkembang dari teori elemen. Baik teori elemen maupun teori Gestalt keduanya berpengaruh dalam berbagai macam bidang, misalnya dalam psikologi belajar.

5. Proses Terjadinya Persepsi

Menurut Walgito (2004: 90) proses terjadinya persepsi yaitu objek menimbulkan stimulus dan stimulus mengenai alat indera atau reseptor. Perlu dikemukakan bahwa antara objek dan stimulus itu berbeda, tetapi ada kalanya bahwa objek dan stimulus itu menjadi satu, misalnya dalam hal tekanan. Benda sebagai objek langsung yang mengenai kulit, sehingga akan terasa tekanan tersebut. Proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses kealaman atau proses fisik. Stimulus yang diterima oleh alat indera diteruskan oleh syaraf sensoris ke otak. Proses ini yang disebut sebagai proses fisiologis. Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu menyadari apa yang

(29)

dilihat, atau apa yang didengar atau apa yang diraba. Proses yang terjadi dalam otak atau dalam pusat kesadaran inilah yang disebut sebagai proses psikologis.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dipersepsi oleh individu selain tergantung pada stimulusnya juga tergantung kepada keadaan individu yang bersangkutan. Stimulus yang mendapatkan pemilihan dari individu tergantung kepada bermacam-macam faktor, salah satu faktor adalah perhatian individu yang merupakan aspek psikologis individu dalam mengadakan persepsi.

B. Perilaku Sosial Anak Usia Dini 1. Pengertian Perilaku Sosial

Menurut Susanto (Yusuf, 2011:15) perkembangan adalah “perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya yang berlangsung secara sistematis, progresif dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah)”. Selanjutnya Nurhisan dan Agustin (2011:01) menjelaskan bahwa perkembangan berarti ”Serangkaian perkembangan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman”. Sejalan dengan Nurhisan dan Agustin, Hildayani (2005:13) mengemukakan bahwa “Perkembangan merupakan pola perubahan yang dimulai pada saat konsepsi (pembuahan) dan berlanjut disepanjang rentang kehidupan”. Wahyudin dan Agustin (2011:45) mengemukakan bahwa:

(30)

Kemampuan bersosialisasi adalah suatu kemampuan lain yang harus dikuasai anak, karena anak akan berinteraksi dengan orang lain. Tetapi tidak semua anak mampu bersosialisasi. Beberapa masalah sosial yang sering dialami anak adalah: anak ingin menang sendiri, sok berkuasa, tidak mau menunggu giliran bila sedang bermain bersama, selalu ingin diperhatikan atau memilih-milih teman, agresif dengan cara menyerang orang atau anak lain, merusak barang teman lain, dan kedidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.

Selanjutnya Susanto (2015:153) mengemukakan “Perilaku sosial atau sering juga disebut dengan istilah perilaku prososial adalah kegiatan yang berhubungan dengan orang lain, kegiatan dengan pihak lain yang memerlukan sosialisasi dalam hal tingkah laku yang dapat diterima oleh orang lain, belajar memainkan peran sosial yang diterima oleh orang lain, pengembangan perilaku sosial yang diterapkan di taman kanak-kanak meliputi, disiplin, kerja sama, tolong-menolong, empati, dan tanggung jawab”.

Sejalan dengan pendapat di atas Johnson (Susanto, 2015:155) mengemukakan “Menunjukkan bahwa anak berperilaku dalam suatu kelompok berbeda dengan perilakunya dalam kelompok lain. Perilaku anak dalam kelompok juga berbeda dengan pada waktu dia sendirian”. Sejalan dengan Johnson, Eisenberg (Susanto, 2015:155) menyatakan “Perilaku sosial adalah tingkah laku seseorang yang bermaksud mengubah keadaan psikis atau fisik penerima sedemikian rupa, sehingga penolong akan merasa bahwa penerima menjadi lebih sejahtera atau puas secara material ataupun psikologis”.

(31)

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku sosial adalah suatu hubungan atau interaksi yang terjadi pada anak terhadap kelompok, pada sebuah kegiatan dengan pihak lain yang memerlukan sosialisasi dalam hal tingkah laku sosial dan dipengaruhi oleh beberapa aspek yang ada di lingkungan anak tersebut.

2. Kemampuan dalam Bersosialisasi

Susanto (2015:156) menjelaskan “Pengalaman berhubungan (bersosialisasi) dengan orang lain ini memberikan pelajaran pada anak bahwa perilaku-perilaku yang disukai oleh teman-teman atau gurunya yang menyebabkan ia diterima oleh lingkungan mereka, dan ia tahu bahwa ada perilaku-perilaku yang tidak disukai temannya”. Dengan pengetahuan itu anak mulai merubah perilaku yang negatif dalam mengembangkan perilaku yang positif supaya hubungan dengan orang lain dapat berlangsung dengan baik. Anak semakin mampu mengendalikan perasaan-perasaannya untuk dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain.

Selanjutnya menurut Daeng (Susanto,2015:157) menjelaskan ada empat faktor yang berpengaruh pada kemampuan anak bersosialisasi, yaitu: (b) adanya minat dan motivasi untuk bergaul, (c) adanya bimbingan dan pengajaran dari orang lain, (d) adanya kemampuan berkomunikasi yang baik pada anak.

Sejalan dengan pendapat di atas Hurlock (Susanto, 2015:158) menjelaskan bahwa untuk menjadi orang yang mampu bersosialisasi

(32)

memerlukan tiga proses. Masing-masing proses terpisah dan sangat berbeda satu sama lain, tetapi saling berkaitan. Kegagalan dalam satu proses akan menurunkan kadar sosialisasinya. Adapun ketiga proses sosialisasi tersebut sebagai berikut: (1) belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial, (2) memainkan peran sosial yang dapat diterima, dan (3) adanya perkembangan sikap sosial.

Berdasarkan pedapat para ahli dapat disimpulkan bahwa kemampuan anak bersosialisasi adalah suatu proses dimana anak dalam kehidupan sehari-hari harus mampu bersosialisasi dengan baik dengan bimbingan dan pengajaran dari orang yang berada disekitar anak.

3. Kemampuan Melakukan Kegiatan Bermain dan Menggunakan Waktu Luang.

Susanto (2015:159) mengemukakan “kegiatan bermain adalah kegiatan yang dilakukan anak secara spontan tanpa mempertimbangkan hasil atau balasan apapun dan dari siapapun, tapi semata-mata untuk menimbulkan kesenangan dan kegembiraan saja. Anak melakukan kegiatan bermain biasanya dilakukan secara suka rela tanpa paksaan dan tanpa ada aturan main tertentu, kecuali bila ditentukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam permainan tersebut”.

Anak usia prasekolah pada umumnya senang melakukan permainan yang mengandung aktivitas gerak, seperti berlari, meloncat, memanjat, dan bersepeda, tetapi ada pula anak yang tidak begitu menyukai kegiatan bermain aktif, anak yang demikian lebih memilih bentuk kegiatan bermaian pasif yang kurang banyak merangsang aspek fisik motoriknya

(33)

tetapi lebih merangsang aspek perkembangan lainnya terutama berkembangan kognitifnya. Kedua jenis kegiatan bermain ini, baik bermain aktif ataupun bermain pasif, sama-sama bermanfaat bagi perkembangan anak, namun untuk memberi manfaat yang optimal dan bersifat menyeluruh bagi perkembangan anak, kedua jenis kagiatan bermain ini perlu dilakukan oleh anak secara seimbang.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan melakukan kegiatan bermain dan menggunakan waktu luang adalah kegiatan yang baik bagi anak, baik itu bermain aktif maupun pasif sama-sama bermanfaat bagi perkembangan anak, namun untuk memberi manfaat yang optimal dan bersifat menyeluruh bagi perkembangan anak, kedua jenis kegiatan bermain ini perlu dilakukan oleh anak secara seimbang.

4. Kemampuan Anak Mengatasi Situasi Sosial yang Dihadapi

Susanto (2015:160) menjelaskan “Kemampuan anak dalam mengatasi situasi sosial yang dihadapi erat kaitannya dengan kemampuan anak dalam menjalin hubungan antar manusia. Hal ini disebabkan karena situasi sosial yang dihadapi anak, mau tidak mau melibatkan orang lain sehingga pada dasarnya tidak dapat dari hubungannya dengan orang lain”. Salah satu yang berkaitan dengan kemampuan mengatasi situasi sosial ini, anak tidak selalu harus berhubungan lansung dengan orang lain, tetapi berhubungan dengan situasi sosial yaitu situasi yang diciptakan oleh orang lain.

(34)

Mengatasi situasi semacam ini diperlukan kemampuan anak untuk mencari pemecahan masalah yang sebaik-baiknya sesuai dengan perkembangan yang telah dicapainya. Pada usia ini diharapkan anak telah menyadari tuntutan yang diharapkan oleh lingkungan. Anak sudah harus dapat mengikuti aturan main yang ada, mengikuti tokoh otoritas yang dihadapi dan mencoba untuk mengendalikan perasaan-perasaan dengan cara lebih positif.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan anak dalam mengatasi situasi sosial berkaitan erat dengan kemampuan anak dalam menjalin hubungan antar manusia, sehingga anak dituntut untuk dapat mengikuti aturan main dalam hubungan sosial sesuai pencapaian perkembangan sosial anak.

5. Pola Perilaku Sosial

Menurut Susanto (2015:160) Sebagian bentuk dari perilaku sosial yang berkembang pada masa kanak-kanak awal, merupakan perilaku yang terbentuk atas dasar landasan yang diletakkan pada masa bayi. Sebagian lainnya merupakan bentuk perilaku sosial baru yang mempunyai landasan baru. Banyak diantara landasan baru ini dibina oleh hubungan sosial dengan teman sebaya di luar.

Pola perilaku dalam situasi sosial banyak yang tampak tidak sosial bahkan antisosial, tetapi masing-masing tetap penting bagi proses sosialisasi. Landasan yang diletakkan pada masa kanak-kanak awal akan menentukan cara anak menyesuaikan diri dengan orang lain.

(35)

Pola perilaku sosial menurut Hurlock (Susanto, 2015:161) terbagi atas dua kelompok, yaitu pola perilaku sosial dan pola perilaku yang tidak sosial. Pola perilaku yang termasuk dalam perilaku sosial adalah: kerjasama, persaingan, kemurahan hati, hasrat akan penerimaan sosial, simpati, empati, ketergantungan, sikap ramah, sikap tidak mementingkan diri sendiri, meniru, dan adanya perilaku kelekatan. Dari beberapa pola perilaku sosial tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Kerjasama. Sekelompok anak belajar bermain atau bekerja bersama dengan anak lain. Semakin banyak kesempatan untuk melakukan sesuatu bersama-sama, semakin cepat mereka belajar melakukannya dengan bekerja sama.

b. Persaingan, merupakan dorongan bagi anak-anak untuk berusaha sebaik-baiknya, hal itu akan menambah sosialisasi mereka, jika hal itu diekspresikan dalam pertengkaran dan kesombongan dapat mengakibatkan timbulnya sosialisasi yang buruk yang dialami anak. c. Kemurahan hati. Terlihat pada kesediaan untuk berbagi sesuatu dengan

anak lain meningkat dan sikap mementingkan diri sendiri semakin berkurang setelah anak belajar bahwa kemurahan hati menghasilkan penerimaan sosial.

d. Hasrat akan penerimaan sosial. Jika hasrat pada diri anak untuk diterima kuat, hal itu mendorong anak untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial. Hasrat untuk diterima oleh orang dewasa biasanya

(36)

timbul lebih awal dibandingkan dengan hasrat untuk diterima oleh teman sebaya.

e. Simpati. Anak kecil tidak mampu berperilaku simpati sampai mereka pernah mengalami situasi yang mirip dengan duka cita. Anak mengekspresikan simpati dengan berusaha menolong atau kecenderungan untuk mendominasi orang lain atau menjadi “majikan”. Jika diarahkan secara tepat hal ini dapat menjadi sifat kepemimpinan, tetapi umumnya tidak demikian, dan biasanya hal ini mengakibatkan timbulnya penolakan dari kelompok sosial.

f. Egosentrisme. Hampir semua anak kecil bersifat egosentrik, dalam arti bahwa mereka cenderung berfikir dan berbicara tentang diri mereka sendiri.

g. Prasangka. Landasan prasangka terbentuk pada masa kanak-kanak awal, yaitu ketika anak menyadari bahwa sebagian orang berbeda dari mereka dalam hal penampilan dan perilaku bahwa perbedaan ini oleh kelompok sosial dianggap sebagai tanda kerendahan.

h. Antagonisme jenis kelamin. Ketika masa kanak-kanak berakhir, banyak anak laki-laki ditekan oleh keluarga laki-laki dan teman sebaya untuk menghindari pergaulan dengan anak perempuan atau memainkan “permainan anak perempuan”. Mereka juga mengetahui bahwa kelompok sosial memandang laki-laki lebih tinggi derajatnya daripada anak perempuan. Walaupun demikian, pada umur ini anak laki-laki tidak melakukan pembedaan terhadap anak perempuan, tetapi

(37)

menghindari mereka dan menghindari aktivitas yang dianggap sebagai aktivitas yang dianggap sebagai aktivitas anak perempuan.

Selain dari itu, menurut Helms & Turner (Susanto, 2015:164) pola perilaku sosial anak dapat dilihat dari empat dimensi yaitu: (1) anak dapat bekerjasama (cooperating) dengan teman, (2) anak mampu menghargai (altruism) teman, baik dalam hal menghargai milik, pendapat, hasil karya teman atau kondisi-kondisi yang ada pada teman, (3) anak mampu berbagi (sharing) kepada teman, dan (4) anak mampu membantu (helping other) orang lain.

Berdasarkan penjelasan para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pola perilaku sosial adalah perilaku yang terbentuk pada masa kanak-kanak baik itu pola yang sosial bahkan yang antisosial, landasan ini yang akan membentuk anak dalam menentukan cara menyesuaikan diri dengan orang lain.

6. Pengaruh Kelompok Sosial

Pada semua tingkatan usia, orang dipengaruhi oleh kelompok sosial dengan siapa mereka mempunyai hubungan tetap, dan merupakan tempat mereka mengidentifikasi diri. Menurut Hurlock (Susanto, 2015:165) keluarga merupakan agen sosialisasi yang paling penting. Ketika anak-anak memasuki sekolah, guru mulai memasukkan pengaruh terhadap sosialisasi mereka, meskipun pengaruh teman sebaya biasanya lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh orang tua dan guru.

(38)

Maka dari itu, mengapa anak perlu diberi pengarahan dan pembelajaran tentang berbagai perilaku sosial, ada beberapa alasan yang mendasar mengapa perlu diberi pembelajaran tentang perilaku sosial, sebagai berikut:

a. Agar anak dapat belajar bertingkah laku yang dapat diterima lingkungannya.

b. Agar anak dapat memainkan peranan sosial yang bisa diterima kelompoknya, misalnya berperan sebagai laki-laki dan perempuan. c. Agar anak dapat mengembangkan sikap sosial yang sehat terhadap

lingkungannya merupakan model penting untuk sukses dalam kehidupan sosialnya kelak.

d. Agar anak mampu menyesuaikan dirinya dengan baik, dan akibat-nya pun dapat menerimanya dengan hati.

Dalam kaitan itu, guru maupun orang tua dalam lingkungan keluarga memiliki peran yang sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian anak. Orang tua pengasuh anak memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan anak. Hoffman (Susanto, 2015:166) menyatakan bahwa perlakuan orang tua dalam pengasuhan anak sangan menentukan perilaku anak menjadi perilaku yang prososial atau antisosial. Hal ini dipertegas pula oleh Kornadt (Susanto, 2015:166) bahwa pola pengasuhan yang dianut orang tua dalam mengasuh anak akan berkonstribusi terhadap terwujudnya motif agresi atau menghambat motif agresi anak tersebut.

(39)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasannya pengaruh kelompok sosial terjadi pada semua tingkatan usia oleh karena itu agar anak tidak terpengaruh oleh kelompok sosial yang dapat merusak perkembangan anak maka perlu dilakukan bimbingan dan arahan agar anak dapat melaksanakan tugas perkembangannya dengan baik.

7. Interaksi Sosial Anak dengan Teman Sebaya

Pada usia sekolah, anak-anak mulai keluar dari lingkungan keluarga dan memasuki dunia teman sebaya. Peristiwa ini merupakan perubahan situasi dari situasi emosional yang aman, yang dalam hal hubungan yang erat dengan ibu dan seluruh anggota keluarga lainnya ke dalam kehidupan dunia baru.

Anak-anak hendaknya belajar memperoleh kepuasaan yang lebih banyak dari kehidupan sosial bersama teman sebayanya. Melalui kehidupan sosial kelompok sebaya anak belajar memberi dan menerima, belajar berteman dan bekerja yang semuanya itu dapat mengembangkan kepribadian sosial anak.

Menurut Ahman (Susanto, 2015:168) proses pembelajaran dalam kelompok sebaya merupakan proses pembelajaran “kepribadian sosial” yang sesungguhnya. Anak-anak belajar cara-cara mendekati orang asing malu-malu atau berani, menjauhkan diri atau bersahabat. Ia belajar bagaimana memperlakukan teman-temannya, ia belajar apa yang disebut dengan bermain jujur.

(40)

Pengalaman anak berinteraksi sosial dengan anak lain dan bahkan dengan orang dewasa tidak sengaja memfasilitasi keterampilan anak dalam berkomunikasi dan sosialnya, tetapi juga turut mengembangkan aspek-aspek perkembangan lainnya, seperti perkembangan kognitif, emosi dan moralnya. Pergaulan sosial ini merupakan pengalaman hidup yang kaya dan alami bagi anak sehingga dapat mendorong segenap aspek perkembangan secara lebih terintegrasi dan menyeluruh.

Faktor penting lainnya, menurut Helms & Turner (Susanto, 2015:168), yang mempengaruhi perkembangan kelompok sosial ini adalah adanya kepemimpinan sebaya (peer leadership). Dalam kelompok sosial ini seorang anak dianggap mampu memimpin apabila memiliki karakteristik-karakteristik kemampuan (intelektual) lebih, memiliki kemampuan berkuasa (authoritarium) dan kemampuan mengendalikan teman lain.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwasannya hubungan antara anak dengan teman sebaya merupakan faktor yang sangat penting pada tahap perkembangan sosial anak pada masa usia dini.

C. Perkembangan Perilaku Sosial Anak Usia Dini

Pada umumnya ketika anak semakin bertambah, keterampilan kognitif mereka pun menjadi lebih tinggi. Anak-anak yang berusia dini cenderung lebih egosentris, atau kurang mampu berpikir menuntut persfektif orang lain bila dibandingkan anak yang lebih besar. Sejalan dengan bertambah usia, egosentris mulai berkurang dan perlahan-lahan mampu untuk melihat sesuatu

(41)

dari persfektif orang lain. Dengan demikian anak yang lebih berusia dapat lebih kooperatif dan murah hati karena mereka mampu untuk mengambil sudut pandang orang lain dan memahami apa yang dibutuhkan orang lain.

Secara lebih perinci, Landy (Susanto, 2015:169) menggambarkan tahapan perkembangan perilaku sosial pada anak-anak, sebagai berikut:

Dari 0-1 tahun; pada bulan-bulan pertama bayi mulai menunjukkan ketertarikan terhadap raut wajah manusia dan mulai belajar melakukan kontak mata dengan yang lain. Ketika mereka tumbuh, mereka mulai merespons lebih banyak, memperlihatkan tanda-tanda perilaku sosial lebih awal.

 Usia 1-2 tahun; anak menikmati keberadaannya bersama anak-anak lain dan bermain namun kadang-kadang berebut tempat rasa aman dari pengasuh mereka dan sering kali kembali untuk mengadu. Beberapa anak mulai meniru perilaku sosial orang lain mungkin dengan cara memberikan rasa aman kepada anak lain atau bahkan orang dewasa yang terlihat mengalami kesulitan.

 Usia 2-3 tahun; pada tahap ini, anak-anak menjadi lebih mudah melakukan permainan dengan teman sebayanya dan memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap perspektif orang lain. Anak-anak pada usia ini akan memungkinkan untuk menunjukkan cara-cara yang berbeda dalam memberikan kenyamanan bagi orang lain.

 Usia 3-4 tahun; pada usia ini anak-anak lebih cenderung untuk menjalin persahabatan yang kuat. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya

(42)

untuk bermain dan mereka dapat pula menyelesaikan konflik-konflik kecil yang terjadi di antara mereka.

 Usia 4-6 tahun; pada tahun-tahun ini bermain dengan permainan yang terorganisir dan bekerjasama dengan aturan-aturan tertentu menjadi lebih umum terjadi. Anak-anak mulai mengidentifikasi orang-orang di luar keluarga mereka.

Berdasarkan uraian Landy di atas terlihat bahwa perkembangan perilaku sesuai pada anak berkembang semakin baik seiring dengan bertambahnya usia mereka. Anak-anak yang lebih tua usianya cenderung lebih mampu menunjukkan perilaku sosial dibandingkan anak yang lebih muda.

Berdasarkan Tabel 1.1 terlihat bahwa anak usia dini masih berada pada level hedonistic (self-centered) atau needs-oriented. Untuk mengetahui level perilaku sosial anak yang berusia dini, menurut Eisenberg bahwa hal ini dapat dilakukan dengan mengajukan sebuah cerita dilema moral berangkat dari pengalaman sehari anak-anak.

Tabel 1.

LEVEL PENALARAN PERILAKU SOSIAL EISENBERG

Level Deskripsi Ringkas Rentang Usia

Hedonistic (self-centered)

Perhatian ditunjukkan terhadap diri sendiri; bantuan diberikan bila akan memberikan keuntungan terhadap dirinya.

Prasekolah dan anak usia SD awal.

Need-oriented Mendasarkan bantuan pada

kebutuhan terhadap orang lain; tidak terlalu bersimpati atau merasa

Anak-anak usia SD dan sedikit anak

(43)

bersalah saat membantu orang lain. usia

prasekolah

Approval-oritented

Lebih mampu untuk menampilkan tindakan-tindakan altruistik yang dipandang oleh orang lain sebagai hal yang bagus atau tindakan yang terpuji; perilaku yang dianggap tepat adalah berlaku baik atau dapat diterima secara sosial.

SD dan beberapa siswa SMP

Emphatic-oriented

Anak mulai menunjukkan respons simpatik, merasa nyaman bila telah melakukan sesuatu yang benar, mulai mengambil rujukan-rujukan mengenal prinsip-prinsip;

kewajiban, dan nilai-nilai yang abstrak walaupun masih rancu.

SMP dan beberapa siswa SD akhir. Strongly-internalized

Justifikasi untuk membantu

didasarkan pada nilai-nilai, norma, pengaruh, dan tanggung jawab yang disentralisasikan secara kuat, pelanggaran terhadap prinsip-prinsip seseorang yang

terinternalisasikan akan merusak rasa hormat terhadap diri sendiri.

Minoritas anak-anak SMP.

(44)

1. Bentuk-bentuk Tingkah Laku Sosial

Susanto (2011:41) menjelaskan bentuk-bentuk tingkah laku sosial sebagai berikut:

a. Pembangkangan (negativism)

Terjadi pada anak mulai usia 18 bulan sampai tiga tahun, yaitu suatu bentuk tingkah laku melawan. Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak. Dalam hal ini, sebaiknya orang tua mau memahami tentang proses perkembangan anak, yaitu bahwa secara naluriah anak itu mempunyai dorongan untuk berkembang dari posisi dependent

(ketergantungan) keposisi independent (bersikap mandiri). b. Agresif

Yaitu perilaku yang menyerang balik secara fisik maupun kata-kata. Agresif ini merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap frustasi (rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan atau keinginannya)

c. Berselisih atau Bertengkar

Terjadi apabila seorang anak merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap atau perilaku anak lain, seperti diganggu pada saat mengerjakan sesuatu atau direbut barang atau mainannya.

d. Menggoda

Yaitu merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan). Sehingga menimbulkan reaksi marah pada orang yang diserangnya.

(45)

e. Persaingan

Yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong atau distimulasi oleh orang lain.

f. Kerjasama

Yaitu sikap mau bekerja sama dengan kelompok. g. Tingkah laku berkuasa

Yaitu sejenis tingkah laku yang menguasai situasi sosial, mendominasi, atau bersikap bossiness.

h. Mementingkan diri sendiri

Yaitu sikap egosentris dalam memenuhi keinginannya i. Simpati

Yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh perhatian terhadap orang lain, mau mendekati atau bekerjasama dengannya.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasanya bentuk-bentuk tingkah laku sosial pada anak usia dini yaitu pembangkangan, agresi, berselisih atau bertengkar, menggoda, persaingan, kerjasama, tingkah laku berkuasa, mementingkan diri sendiri dan simpati.

2. Bentuk-bentuk dan Model Perilaku Sosial pada Anak

Secara umum dapat dikemukakan bahwa bentuk-bentuk perilaku sosial yang sering muncul pada anak usia dini adalah tolong-menolong, berbagi atau memberi, dan bekerjasama. Lebih lengkap, bentuk-bentuk perilaku sosial yaitu sebagaimana dikemukakan oleh para ahli berikut ini. Eliason dan Jenkins

(46)

(1994: 109) mengemukakan bahwa bentuk-bentuk perilaku sosial yang semestinya didorong guru pada anak usia dini sebagai berikut:

1. Mengikuti peraturan-peraturan kelas.

2. Belajar untuk mengatasi konflik sosial, seperti memanggil nama atau mengolok-olok.

3. Memperlakukan orang lain dengan sopan santun, dan belajar mengucapkan terima kasih atau tolong.

4. Mampu membagi perhatian dengan orang lain, termasuk kepada guru. 5. Mengembangkan kontak mata dengan teman sebaya dan orang dewasa. 6. Belajar tersenyum pada orang lain.

7. Mampu menolong orang lain.

8. Menunjukkan empati terhadap perasaan dan situasi, orang lain dan mengungkapkan simpati ketika orang lain mengalami kesulitan.

9. Merasa nyaman saat berbicara dengan orang lain dan belajar untuk menjadi pendengar yang baik.

10. Belajar mengikuti peraturan-peraturan permainan yang sederhana, bergiliran, dan bekerjasama.

11. Belajar mendapatkan perhatian dari teman dengan cara yang positif dan kontruktif.

12. Mengembangkan perilaku bertanggung jawab, seperti menjaga miliknya sendiri.

13. Belajar untuk memberikan pujian daripada kritikan terhadap orang lain. 14. Menunjukkan toleransi terhadap orang lain dan perbedaannya.

(47)

15. Mampu berbagi dan bekerja sama dengan orang lain dalam situasi bermain.

16. Mampu mengungkapkan penyesalan ketika berbuat atau berkata yang menyakiti orang lain.

Sementara itu, Howard (2002: 26) mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk perilaku sosial yang perlu diajarkan sejak dini dan sekaligus merupakan kebutuhan anak, adalah: (1) tukar-menukar; (2) bergiliran; (3) menunggu; (4) meminta sesuatu; (5) berterima kasih; (6) mengambil sudut pandang orang lain; (7) melihat efek tindakannya sendiri; dan (8) mengenali perasaan orang lain.

Adapun menurut Marion (1991: 235) menggambarkan bentuk-bentuk perilaku sosial yang sering muncul pada anak ke dalam perilaku berbagi, memberi, bekerja sama, dan membantu. Perilaku berbagi dan memberi dapat berupa waktu, materi ataupun informasi, sedangkan membantu dapat berupa perilaku menyelamatkan, membela, atau memindahkan penyebab stres. Uraian Marion lebih lanjut dan perinci dapat dilihat dalam Gambar 1.1

Gambar 1.

MODEL PERILAKU SOSIAL MARION Perilaku Sosial Berbagi/Memberi Berbagi Waktu Berbagi Materi Berbagi Informasi

Bekerja Sama Membantu

Menyelamatkan Membela Memindahan Penyebab Stres

(48)

Adapun menurut Beaty (Susanto, 2015:173) mengemukakan. “Bahwa perilaku sosial merupakan aspek positif dari perkembangan moral yang mencakup perilaku empati, murah hati, kerja sama dan kasih sayang. Seperti halnya model yang dikembangkan oleh Morion, Beaty pun membagi membagi masing-masing perilaku tersebut menjadi perilaku-perilaku yang spesifik.

Beaty (Susanto, 2015 :173) menjelaskan masing-masing dari model perilaku sosial tersebut, seperti :

a. Empati

Yaitu kemampuan untuk menunjukkan kepedulian kepada teman yag sedang kesusahan dan dapat menceritakan perasaan teman selama konflik.

b. Murah Hati

Yaitu kemampuan untuk berbagi dan memberi sesuatu kepada orang lain.

c. Kerja Sama

Yaitu kemampuan untuk bergiliran dan memenuhi permintaan teman tanpa rewel.

d. Kasih Sayang

Yaitu kemampuan untuk membantu orang lain untuk mengerjakan tugas dan membatu (peduli) pada teman yang membutuhkan.

(49)

3. Aspek-aspek Perilaku Sosial Anak Usia Dini

Keterampilan sosial atau perilaku sosial yang hendaknya dimiliki oleh anak usia dini ini sedikitnya meliputi: (1) kemampuan memilih teman bermain atau kemampuan bersosial dengan orang lain; (2) memulai interaksi sosial dengan anak lain; (3) berbagi makanan; (4) meminta izin untuk memakai benda orang lain; (5) menunggu atau menunda keinginan untuk bergiliran; (6) menikmati kedekatan sementara dengan salah satu teman; (7) menunjukkan kebanggan terhadap keberhasilannya; (8) dapat memecahkan masalah dengan teman.

Berbagai cara dalam mengajarkan berbagi pada anak usia dini ini dapat dilakukan dengan cara, antara lain:

1. Konsep bermain dengan suatu benda secara bergiliran lebih mudah dipahami anak balita daripada konsep berbagi mainan.

2. Bermain peran. Tunjukkan pada anak bahwa dengan mau berbagi dia mendapatkan jalinan pertemanan yang erat dan menyenangkan misalnya, bermain dokter-dokteran.

3. Bermain bersama. Anak sering berkesempatan bermain bersama teman sebayanya akan banyak belajar tentang manfaat berbagi. Rancanglah play date, yakni kegiatan bermain disuatu tempat yang sudah ditentukan.

4. Menginap ditempat saudara. Sesekali, perlu mengajak anak menginap di rumah salah satu saudara yang memiliki sepupu yang sebaya. Anak berkesempatan belajar berbagi dengan saudara sepupunya.

(50)

5. Meminjamkan mainan. Setiap anak memiliki mainan yang sangat spesial dan ia tak ingin meminjamkannya pada orang lain.

6. Peduli musibah. Anak bisa belajar memberi perhatian dan berbagi pada orang lain ketika anda mengajaknya berpartisipasi membantu masyarakat yang tertimpa musibah.

Sehubungan dengan aspek-aspek perilaku sosial, maka materi pembelajaran yang harus dipersiapkan dalam rangka mengembangkan perilaku sosial yang diterapkan di taman kanak-kanak, meliputi disiplin, kerjasama, tolong menolong, empati, dan tanggung jawab. Aspek-aspek tersebut di atas secara perinci dijelaskan di bawah ini:

1) Disiplin

Secara umum, pengertian disiplin adalah adanya kesediaan untuk mematuhi ketentuan/peraturan-peraturan yang berlaku. Kepatuhan disini bukanlah karna paksaan, tetapi kepatuhan atas dasar kesadaran tentang nilai dan pentingnya mematuhi peraturan-peraturan itu. Disiplin harus ditanamkan dan ditumbuhkan dalam diri anak, sehingga akhirnya rasa disiplin itu akan tumbuh dari hati sanubari anak itu sendiri (self-disipline). Oleh karena itu, guru dalam menanamkan disiplin pada anak usia dini harus memperhatikan beberapa langkah sebagai mana dikemukakan Sabri (Susanto, 2015:181), berikut ini:

a. Pembiasaan

Anak agar dibiasakan hidup atau melakukan sesuatu dengan tertib, baik, dan teratur.

(51)

b. Penyadaran

Selain dengan menanamkan pembiasaan dengan disertai contoh dan teladan dari pihak orang tua dan murid, maka sedikit demi sedikit anak harus diberikan penjelasan tentang pentingnya peraturan-peraturan sehingga anak lambat laun menyadari arti pentingnya peraturan-peraturan tersebut untuk dikerjakan.

c. Contoh dan teladan

Untuk menanamkan disiplin supaya anak terbiasa hidup dan melakukan sesuatu dengan tertib baik dan teratur perlu didukung oleh adanya contoh dan teladan dari pihak orang tua di rumah dan guru di sekolah. d. Pengawasan

Pengawasan bertujuan untuk menjaga atau mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan atau tata tertib yang biasa dilakukan.

2) Kerjasama.

Kerja sama (cooperation), yaitu sikap mau bekerja sama dengan kelompok. Anak yang berusia dua atau tiga tahun belum berkembang sikap kerja samanya, mereka masih kuat sikap self-contered-nya. Mulai usia tiga tahun akhir atau empat tahun, anak sudah mulai menampakkan sikap kerja samanya dengan anak lain. Pada usia enam tahun atau tujuh tahun, sikap kerja sama ini sudah berkembang dengan lebih baik lagi. Pada usia ini anak mau bekerja sama dengan teman-temannya

(52)

Menurut Susanto (2015:183) Menjelaskan bahwa kerja sama atau kooperatif adalah gejala saling mendekati untuk mengurus kepentingan bersama dengan tujuan yang sama. Kerja sama dan pertentangan merupakan dua sifat yang dapat dijumpai dalam seluruh proses sosial masyarakat, di antara seseorang dengan orang lain, kelompok dengan kelompok, dan kelompok dengan seseorang.

Tujuan kerja sama untuk anak usia dini yaitu:

a. Untuk menyiapkan anak didik dengan berbagai keterampilan baru supaya dapat ikut berpartisipasi dalam dunia yang selalu berubah dan berkembang.

b. Membentuk kepribadian anak didik supaya dapat mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain dalam berbagai situasi sosial.

c. Mengajak anak untuk membangun pengetahuan secara aktif karena dalam pembelajaran kerja sama (kooperatif), serta anak taman kanak-kanak tidak hanya menerima pengetahuan dari guru begitu saja, tetapi siswa menyusun pengetahuan yang terus menerus sehingga menempatkan anak sebagai pihak aktif.

d. Dapat memantapkan interaksi pribadi diantara anak dan diantara guru dan anak didik. Hal ini bertujuan untuk membangun suatu proses sosial yang akan membangun pengertian bersama.

Pembelajaran kerja sama dianggap sebagai suatu metode alternatif yang mampu memberikan dampak positif bagi perkembangan siswa, baik

(53)

dari aspek emosional maupun intelektual, kaitannya dengan hubungan sosial siswa.

3) Tolong-menolong.

Menolong artinya membantu teman atau orang yang mengalami kesulitan. Tolong-menolong artinya saling membantu bekerja sama dengan orang yang ditolong. Berkerja sama dengan orang yang membeutuhkan pertolongan, orang yang suka menolong biasanya banyak temannya.

Manfaat tolong-menolong, antara lain: a. Mempercepat selesainya pekerjaan. b. Mempererat persauaraan.

c. Pekerjaan yang berat menjadi ringan.

d. Menumbuhakn kerukunan antara sesama manusia. e. Menghemat tenaga karena dekerjakan bersama-sama. f. Saling membantu biaya yang dikeluarkan relatif sedikit. g. Saling bertukar pikiran dan saling memahami.

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki naluri untuk saling tolong-menolong, toleransi, serta empati terhadap sesamanya. Keadaan inilah yang menjadikan suatu masyarakat yang baik, harmonis ataupun menjadi rukun. Dalam manusia mereka harus selalu terhindar dari kebohongan. Manusia sosial yang bermoral adalah manusia yang selalu hati-hati dalam berkata-kata, selalu jujur, sopan dan lain-lainnya.

(54)

Pembelajaran tentang tolong menolong ini sangat perlu bagi anak usia dini , dimana sejak usia dini mereka harus sudah mulai ditanamkan rasa kesadaran bahwa manusia adalah makhluk sosial yang salung perlu dan memerlukan orang lain. Sejak dilahirkan sehingga akhir hayat, memberi dan menerima pertolongan adalah hal yang biasa bagi manusia normal. Manusia dan orang-orang sekitarnya adalah dua elemen yang tidak bisa dipisahkan dalam memastikan kesempurnaan dan kelangsungan kehidupan.

4) Empati.

Susanto (2015:189) menyatakan bahwa “Empati adalah suatu proses ketika seseorang merasakan perasaan orang lain, dan menangkap arti dari perasaan itu, kemudian mengkomunikasikannya dengan kepekaan sedemikian rupa hingga menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh mengerti perasaan orang lain itu”.

Empati seperti halnya simpati, empati membutuhkan pengertian tentang perasaan dan emosi orang lain, tetapi di samping itu juga membutuhkan kemampuan untuk membayangkan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain. Istilah empati sudah sangat populer diartikan sebagai kemampuan dalam memahami perasaan orang lain yang menciptakan keinginan untuk menolong.

Empati sangat penting dikembangkan pada anak sejak usia dini, termasuk anak usia taman kanak-kanak, berkaitan dengan adanya fenomena dalam kehidupan saat ini yang mengkhawatirkan untuk

Gambar

Gambar 2. Kerangka Pikir  Sumber : Beaty (Susanto, 2015:174)      Keterangan Gambar:
Tabel 2. Populasi Penelitian  N o  Peserta Didik  TK Islam Bakti Jorong Padang Tarok   Kabupaten  Dharmasraya
Tabel 5. Uji Validitas
Gambar  3.  Grafik  Persepsi  Orang  Tua  tentang  Bentuk  Perilaku  Sosial  Anak  Usia  Dini  di  TK  Islam  Bakti  Kabupaten  Dharmasraya
+6

Referensi

Dokumen terkait

unsur tari yaitu wirahma, yang dimana selaras dengan pola irama musik tari. Ketepatan gerak terhadap pola irama musik ini memiliki korelasi

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan

Dalam hal tidak terjadi perbedaan waktu yang signifikan antara penetapan kewajiban (pengakuan beban) dan pengeluaran kas serta masih dalam periode pelaporan, maka

Armstrong, Thomas. Kecerdasan Multipel di dalam Kelas. Diterjemahkan oleh: Widya Prabaningrum, Dyah. Jakarta: Permata Puri Media. Pengantar Psikologi

Desain yang berbasis sustainable memungkinkan perancangan pasar kuliner dan hotel. tersebut dapat bertahan hingga beberapa puluh

This study aims to identify species of birds as well as calculate species diversity, evenness type, and bird species dominance based on vertical strata of vegetation in

ISU-ISU PENTING DALAM PENGAWASAN PROYEK KONSTRUKSI DARI PERSPEKTIF PENGAWAS PROYEKA. Marisa Universitas

Berdasarkan wawancara prapenelitian terhadap pegawai di RSUP Moh Hoesin Palembang, telah ditemukan kurang lengkapnya hasil rekam medik pasien yang seharusnya dilakukan