• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun , pemerintah mengakui masih rendahnya kualitas sumberdaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun , pemerintah mengakui masih rendahnya kualitas sumberdaya"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009, pemerintah mengakui masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh masih rendahnya hasil pembangunan SDM di Indonesia yang tercermin dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia. Data Indonesia Human Development Report BPS-BAPENAS-UNDP 2004 melaporkan bahwa nilai IPM Indonesia pada tahun 2002 sebesar 69.21, dan menempatkan Indonesia pada menempati urutan 111 dari 177 negara di dunia. Selanjutnya, pemerintah juga mengakui masih rendahnya kualitas hidup perempuan Indonesia yang ditunjukkan oleh lebih rendahnya Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia dibandingkan IPMnya serta rendahnya angka Indeks Pemberdayaan Gender atau IDG (Gender Empowerment Measurement atau GEM). Data IPG Indonesia pada tahun 2002 sebesar 59.2, sementara IDGnya sebesar 54.6.2 Angka IDG Indonesia ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-33 dari 71 negara yang diukur IDGnya. Lebih tingginya angka IPM dibandingkan dengan angka IPG menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan sumberdaya manusia secara keseluruhan belum sepenuhnya diikuti

1 Angka IPM merupakan komposit dari Angka Harapan Hidup (66,2 tahun), Angka Melek Huruf (AMH) penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas (87,9%), Angka Partisipasi Kasar (65 %), dan Pendapatan Domestik Bruto per kapita sebesar $US3.230 (RPJMN 2004-2009: Bagian 1.1:8)

2 Kecuali dalam hal Angka Harapan Hidup, pada variabel lainnya AMH dan APK pendidikan perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Dalam hal IDG, perempuan yang duduk di parlemen hanya 8,8 persen, persentase perempuan dalam posisi manajerial dan angkatan kerja berturut-turut sebesar 39,2 dan 37,5 persen (Mugniesyah, 1995)

(2)

dengan keberhasilan pembangunan gender. Dengan perkataan lain masih terdapat kesenjangan gender pada hasil-hasl pembangunan SDM Indonesia.

Ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam beragam dimensi kehidupan, termasuk pendidikan, menurut Mugniesyah dkk (2004) diduga berhubungan dengan berbagai faktor, diantaranya adalah ideologi gender yang terinternalisasi pada hampir semua masyarakat. Ideologi atau sistem nilai gender sebagai bagian dari kebudayaan menjadikan individu-individu anggota masyarakat menafsirkan perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki menjadi seperangkat acuan sosial tentang kepantasan dalam berperilaku, yang kemudian berpengaruh kepada hak-hak, distribusi sumberdaya dan kekuasaan, baik dalam lingkup rumahtangga, masyarakat dan negara.

Dari hasil studinya di Jawa Barat, Mugniesyah dkk (2004) mengemukakan masih adanya kesenjangan gender pada civitas akademik, khususnya pada kelembagaan pendidikan Perguruan Tinggi Negeri (PTN), terlihat bahwa masih rendahnya akses dan kontrol perempuan terhadap pendidikan dan dalam memperoleh manfaat untuk menduduki posisi strategis yang memfasilitasi perempuan dalam mengambil keputusan dan meningkatkan pendapatan karena adanya dominasi laki-laki sebagai penentu kebijakan dalam struktur kelembagaan di berbagai kelembagaan baik di lingkungan pemerintahan maupun non-pemerintah, termasuk sekolah dan masyarakat. Perempuan cenderung dominan dilibatkan dalam kegiatan yang berhubungan dengan peranan domestik dan administratif. Hal tersebut terjadi karena masih relatif banyaknya para penentu kebijakan dan pengambil keputusan pembangunan, terutama di bidang pendidikan, yang kurang sensitif gender dan atau memandang Kesetaraan dan

(3)

Keadilan Gender (KKG) tidak harus dilaksanakan melalui tindakan-tindakan afirmatif yang dapat mengakselarasi perempuan untuk akses, kontrol, berpartisipasi, dan memperoleh manfaat dari pembangunan bidang pendidikan.

Kondisi tersebut di atas, menunjukkan masih belum efektifnya Instruksi presiden RI No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional.3 Dalam RPJMN 2004-2009, pemerintah mengakui adanya kondisi yang bersifat kultural (masih kuatnya nilai-nilai budaya patriarkal) dan struktural (dimapankan oleh tatanan sosial politik yang ada) yang menyebabkan adanya kesenjangan gender dalam hasil-hasil pembangunan SDM Indonesia. Dengan perkataan lain, kondisi tersebut mencerminkan relatif masih banyaknya perilaku anggota masyarakat yang diskriminatif terhadap perempuan, padahal pemerintah Indonesia telah mestratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) dengan menetapkan Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

Sehubungan dengan itu, dalam RPJMN, khususnya pada Bab 12 tentang Peningkatan Kualitas Kehidupan Perempuan dan Perlindungan Anak, pemerintah menyatakan bahwa arah kebijakan pembangunan itu harus didukung tindakan pemihakan yang jelas dan nyata guna mengurangi kesenjangan gender di berbagai bidang pembangunan, antara lain dengan memperkuat kelembagaan, koordinasi dan jaringan PUG dalam pembangunan serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya. Adapun salah satu kegiatan pokok dalam rangka

3 Inpres No. 9 Tahun 2000 menginstruksikan menteri, kepala lembaga pemerintah non-departemen untuk melaksanakan pembangunan yang responsif gender, baik pembangunan nasional, daerah maupun sektoral, guna mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

(4)

memberdayakan SDM perempuan Indonesia tersebut adalah melalui pelaksanaan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan di tingkat nasional dan daerah.

Menurut para ahli sosiologi dan komunikasi gender, terinternalisasinya sistem nilai gender yang diskriminatif terhadap perempuan terbentuk melalui proses sosialisasi oleh beragam kelembagaan masyarakat. Keluarga dianggap sebagai lembaga yang berperan sangat penting dalam proses sosialisasi sistem nilai dan peranan gender, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Kelembagaan lainnya yang juga berperan penting adalah kelembagaan pendidikan, media massa dan organisasi. Proses sosialisasi oleh beragam aktor kelembagaan tersebut membentuk persepsi dan identitas gender pada setiap individu, laki-laki dan perempuan.

Menyadari masih dominannya bias gender di kalangan birokrat, teknokrat termasuk anggota lembaga legislatif -yang sebagian besar merupakan generasi terdahulu (generasi tua)- mendorong Badan Perencanaan Pembangunan Nasioal (Bappenas) RI dan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Kantor Meneg PP) untuk mengakselerasi pelaksanaan PUG di beragam sektor atau departemen melalui program Capasity Building di beragam sektor atau departemen tersebut. Sebagaimana diakui oleh para pakar gender dan pembangunan, hasil Capasity Building di kalangan penentu kebijakan tersebut belum memberikan hasil yang memuaskan. Ini menunjukkan betapa sulitnya generasi tua merubah sistem nilai gender mereka. Permasalahannya adalah bahwa negara ini sebaiknya tidak membuang sumberdaya (dana dan waktu) untuk hanya berfokus pada generasi tua. Sejalan dengan perjalanan waktu, generasi muda

(5)

Indonesia akan menggantikan tanggung jawab mereka demi keberlanjutan pembangunan yang mampu mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sebagaimana diamanatkan Inpres No. 9 Tahun 2000.

Dengan demikian, pelaksanaan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan menuntut partisipasi generasi muda sebagai komponen penting dalam tatanan masyarakat Indonesia. Permasalahannya adalah bahwa belum banyak hasil penelitian yang mengemukakan perihal persepsi dan identitas gender di kalangan generasi muda. Penelitian Rahasthera (2003) menemukan masih adanya bias gender pada mahasiswa-mahasiswi terhadap sifat atau karakteristik perempuan dan laki-laki. Hal ini terlihat bahwa masih tingginya persentase mahasiswa (62,2%) yang memiliki persepsi ketat, yakni masih membedakan secara tegas sifat maskulin yang lebih baik dimiliki laki-laki dan sifat feminin yang lebih baik dimiliki perempuan. Selanjutnya Rahastera melaporkan bahwa mahasiswa masih memiliki persepsi Program Studi yang dipilihnya memiliki karakter gender tertentu, baik feminin maupun maskulin. Namun demikian, temuan tersebut tidak disertai dengan penjelasan berkenaan dengan faktor-faktor yang menyebabkan bias gender di kalangan mahasiswa IPB tersebut. Selain itu, fokus penelitiannya terbatas pada pemilihan bidang studi di lingkungan Fakultas Pertanian, belum sepenuhnya mencakup peranan gender sebagaimana dikemukakan para ahli, khususnya Moser (1993). Moser mengemukakan bahwa peranan gender mencakup peranan domestik, produktif dan pengelolaan masyarakat, yang disebutnya sebagai tripple role.

(6)

Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu studi lebih lanjut tentang persepsi dan konsep diri berkenaan identitas dan peranan gender di kalangan mahasiswa -generasi muda berpendidikan tinggi- dan faktor-faktor yang mempengaruhinya secara lebih holistik. Penelitian ini penting, karena mahasiwa akan mengisi posisi-posisi strategis dalam kelembagaan masyarakat Indonesia masa depan. Persepsi identitas gender dan konsep diri mereka tentang peranan gender dalam keluarga, masyarakat dan bernegara serta faktor-faktor yang mempengaruhinya akan menentukan keberhasilan pembangunan dalam mewujudkan KKG dalam beragam dimensi kehidupan. Pengetahuan atas faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi identitas gender dan konsep diri gender mahasiswa diperlukan untuk menetapkan perlu tidaknya Capasity Building PUG bagi mereka, serta mempersiapkan mereka sebagai bagian dari focal point PUG diberbagai sektor pembangunan, khususnya pendidikan.

1.2 Perumusan Masalah

Merujuk pendapat beberapa ahli (Verberder,1981; Applbaum dkk,1973; Louisser dan Poulos,1997 dalam Mugniesyah, 2000), persepsi adalah proses pemberian makna yang dilakukan individu terhadap stimulus (termasuk informasi), baik mengenai perilaku diri sendiri dan orang lain, yang diperoleh individu melalui inderanya. Dalam konteks penelitian ini, persepsi tersebut berkenaan identitas gender dan konsep peranan gender. Identitas gender adalah sejumlah aspek penampilan dan perilaku personal yang secara budaya diatributkan menjadi maskulin dan feminin. Identitas gender adalah sejumlah aspek penampilan dan perilaku personal yang secara budaya diatributkan menjadi

(7)

maskulin dan feminin (Children’s Health Encyclopedia, 2008). Dalam konteks tersebut, Sandra Bem memperkenalkan apa yang dikenal sebagai konsep psikologi androgini, yang membedakan identitas gender individu ke dalam empat kategori, diantaranya: maskulin, feminin, dan androgini. Sehubungan dengan itu, persepsi identitas gender apakah yang dimiliki mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (selanjutnya disebut mahasiswa TPB) IPB?

Dalam penelitian ini konsep diri mahasiswa TPB yang dipandang penting untuk diketahui adalah konsep diri berkenaan peranan gender mereka. Karenanya pengertian gender dan peranan gender menjadi acuan penting dalam penelitian ini. Gender diartikan sebagai perbedaan-perbedaan (sifat, peranan, status) dan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya, bisa dipelajari, bervariasi secara luas diantara masyarakat dan budaya, serta berubah sejalan dengan perkembangan waktu (ILO, 2000; Wood, 2001 dalam Mugniesyah, 2005). Peranan gender adalah perilaku yang diajarkan pada setiap masyarakat, komunitas dan kelompok sosial tertentu yang menjadikan aktivitas-aktivitas, tugas-tugas dan tanggung jawab tertentu dipersepsikan sebagai peranan perempuan dan laki-laki. Peranan gender tersebut dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai status, lingkungan, budaya dan struktur masyarakatnya. Sebagaimana dikemukakan Moser (1993) dalam Mugniesyah (2005), terdapat tiga kategori peranan gender (tripple roles): produktif (productive role), reproduktif (reproductive role), dan pengelolaan masyarakat (community managing) dan politik (politic). Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, peranan gender manakah yang menjadi bagian dari konsep diri mahasiswa TPB IPB?

(8)

Berlo (1960) menyatakan bahwa pembentukan konsep diri pada individu berlangsung melalui proses komunikasi. Mead dalam Johnson (1981) juga mengemukakan bahwa konsep diri terdiri dari kesadaran individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung dalam suatu komunitas yang terorganisasi. Menurut Mead terdapat beberapa pelaku penting (significant others) sebagai agen sosialisasi yang berperan dalam pembentukan identitas gender dan konsep diri tersebut. Para ahli sependapat tentang adanya sejumlah aktor yang berperan sebagai agen sosialisasi yang mempengaruhi konstruksi nilai gender seorang individu, diantaranya adalah keluarga, teman sebaya (peer group), lembaga pendidikan, dan media massa (Pearson, 1985; Mugniesyah, 1995; Ivy dan Backlund, 1994 dalam Mugniesyah, 2005). Secara umum juga disepakati bahwa peranan keluarga sebagai agen penyosialisasi identitas dan peranan gender sangat utama, namun kontribusinya sebagai agen sosialisasi juga dipengaruhi oleh sistem kekerabatan di mana keluarga tersebut menjadi anggotanya. Sehubungan dengan itu siapa sajakah yang menjadi agen sosialisasi gender di kalangan mahasiswa TPB IPB? Apakah semua pihak yang disepakati para ahli tersebut -keluarga, teman sebaya, lembaga pendidikan, organisasi, media massa, dan sistem kekerabatan- berperan?

Meskipun proses pembentukan identitas gender dan konsep diri tentang peranan gender pada individu diperoleh melalui komunikasi interpersonal, namun Louisser dan Poulos (1997) dalam Mugniesyah (2000) beranggapan bahwa pembentukan kedua hal tersebut -identitas gender dan konsep gender- bisa dipengaruhi oleh bias yang dimiliki individu, khususnya stereotipe dan harapan. Hal itu didukung pendapat Richmond dan Robertson (1977) dalam Pearson (1985)

(9)

yang menyatakan bahwa stereotipe yang berlaku dalam masyarakat tentang bagaimana seharusnya individu berperilaku dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi interpersonal antara laki-laki dan perempuan. Di pihak lain, individu mencoba untuk menerima, menyeleksi, mengorganisasikan, dan menginterpretasi informasi -termasuk informasi sistim nilai gender- sesuai dengan pengalaman dan prediksi (harapan) mereka ke masa mendatang. Sehubungan dengan itu, apakah pengalaman mereka dalam melaksanakan peranan gender sebelumnya menjadi mahasiswa TPB IPB serta harapan-harapan mereka mempengaruhi identitas gender dan konsep diri peranan gender mereka?

1.3 Tujuan Penelitian

Mengacu pada perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengidentifikasi persepsi identitas gender -maskulin, feminin, dan androgini-

yang terinternalisasi pada mahasiswa TPB IPB, serta untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya.

2) Mengetahui peranan gender -produktif, reproduktif, dan pengelolaan masyarakat dan politik- yang menjadi bagian dari konsep diri mahasiswa TPB IPB.

3) Mengidentifikasi agen sosialisasi gender di kalangan mahasiswa yang berperan mempengaruhi pembentukan identitas gender dan konsep diri peranan gender mahasiswa TPB IPB.

4) Mengetahui stereotipe gender di kalangan mahasiswa TPB IPB serta harapan atas peranan gender mereka, khususnya ketika mereka akan memilih pasangan hidup dalam membentuk keluarga inti.

(10)

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak yang meminati kajian komunikasi gender, khususnya:

1) Bagi peneliti sendiri, pengalaman penelitian ini merupakan bagian dari proses pembelajaran dalam menyintesis beragam konsep, teori dan metodologi berkenaan komunikasi gender, khususnya tentang persepsi, konsep diri, identitas dan peranan gender serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

2) Bagi kalangan akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar bagi bahan kajian lebih lanjut mengenai fenomena gender dalam kelembagaan pendidikan tinggi.

3) Bagi Institut Pertanian Bogor khususnya dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional pada umumya, penelitian ini diharapkan menjadi informasi dasar bagi upaya-upaya pengarusutamaan gender di lingkungan pendidikan tinggi.

Referensi

Dokumen terkait

engoperasian alat tangkap ini dibutu!kan unit penangkapan yaitu berupa kapal& %apal ini  berfungsi ketika pengoperasian yaitu untuk melingkarkan "aring pada

Adalah simpanan anggota atau calon anggota kepada BMT Bahtera yang pengambilannya hanya dapat dilakukan pada saat jatuh tempo simpanan berjangka itu

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, Tahun 2010-2014 yang selanjutnya disebut RPJMN 2010-2014 adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, sebagaimana dimaksud

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 – 2019, Agenda prioritas pembangunan nasional sebagai penjabaran operasional dari Nawa Cita yang

[(c) Suatu cip TLD dengan ketebalan 0.5 mm digunakan untuk menentukan dos terserap dalam air akibat suatu sumber gamma Co-60.. (i) Bolehkan teorem rongga Bragg-Gray cavity

Dalam rangka mendukung pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten

Hal ini sangat berkaitan bagaimana dengan cara anggota HmC membentuk kesamaan persepsi di dalam kelompoknya, image yang ingin dibentuk oleh kelompok ini adalah

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan penurunan kadar surfaktan dan COD dalam air bekas cucian kendaraan dengan melakukan variasi diameter reaktor, ketinggian